BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1.
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Stewardship Pandangan masyarakat secara umum terhadap ilmu akuntansi nampaknya masih dalam tatanan konsep fundamental yaitu akuntansi sebagai sebuah proses mencatat, meringkas, pemeriksaan (auditing), pelaporan keuangan dalam lingkup aktivitas perusahaan yang didominasi oleh organisasi profit. Pandangan ini cukup beralasan jika berangkat dari terminologi teoritis yang diajukan oleh masyarakat akuntansi (dalam hal ini praktisi profesi akuntansi dan akademisi), sebagaimana yang dikemukakan institusi ataupun para pakar akuntansi seperti sebuah organisasi profesi akuntan di USA, Accounting Principles Board (APB), A Statement Of Basic Accounting Theory (ASOBAT), Belkoui, True Blood Committee. American Certified Public Accountant. (AICPA) Dewasa ini akuntansi telah merambah ke berbagai disiplin ilmu antara lain seperti sosiologi, psikologi, teknologi informasi, manajemen, dan sebagainya, hal ini disebabkan oleh perkembangan bisnis yang demikian pesat dalam bidang teknologi dan perubahan di seluruh kehidupan dengan isu global ikut serta menyebabkan akuntansi masuk ke dimensi lain dari disiplinnya. Perkembangan teori akuntansi belakangan ini tidak hanya pada ilmu ekonomi dan manajemen saja. Ilmu akuntansi terus berusaha untuk menyiapkan diri dan mengantisipasi tantangan-tantangan serta kebutuhan yang dituntut oleh pemakainya. (Donaldson
9
dan Davis, 1991). Berangkat dari perkembangan ilmu akuntansi yang tidak hanya terpaku pada manajemen dan ilmu-ilmu ekonomi, penelitian ini memberikan sebuah uraian/diskripsi dan menampilkan kajian mengenai konsep pengelolaan organisasi ditinjau dalam perspektif akuntansi manajemen dengan pendekatan Stewardship Theory (Donaldson dan Davis, 1991). Walaupun fokus dari Stewardship Theory adalah harmonisasi antara pemilik modal (principles) dengan pengelola modal (steward) dalam mencapai tujuan bersama, namun secara merefleksikan bagaimana ilmu akuntansi merintis sebuah konstruksi pola kepemimpinan dan hubungan komunikasi antara shareholder dan manajemen dapat juga terjadi antara top manajemen dengan jajaran manajemen menengah dan lain dibawahnya dalam suatu organisasi perusahaan dengan mekanisme situasional yang mencakup seluruh filosofis manajemen dengan perbedaan budaya organisasi,
dan kepemimpinan dalam
mencapai tujuan
bersama
tanpa
menghalangi kepentingan masing-masing pihak. Stewardship Theory merupakan teori yang berdasarkan dalam teori sosiologi dan psikologi, dimana manajer dimotivasi untuk berperilaku dan berbuat secara kolektif demi kepentingan organisasi, sehingga kerjasama seluruh anggota organisasi merupakan ciri utama dari stewardship. Para ahli teori stewardship mengasumsikan bahwa adanya hubungan kuat antar kesuksesan dan kepuasan organisasi. Kesuksesan organisasi mencerminkan maksimalisasi kekayaan para pemegang saham (pemilik). Kesuksesan organisasi akan memaksimumkan utilitas kelompok manajemen, dan maksimalisasi utilitas kelompok pada akhirnya akan
10
memaksimumkan kepentingan-kepentingan individu yang telah ada dalam kelompok organisasi tersebut. Teori stewardship merupakan teori yang menggambarkan situasi dimana para manajer tidaklah termotivasi oleh seluruh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada target hasil utama mereka hanya untuk kepentingan organisasi, sehingga teori ini mempunyai dasar sosiologi dan psikologi yang telah dirancang dimana para eksekutif sebagai steward termotivasi untuk bertindak sesuai keinginan prinsipal, selain itu perilaku steward tidak akan meninggalkan organisasinya sebab steward akan berusaha mencapai target organisasinya. Teori ini didesain bagi peneliti untuk menguji situasi dimana para eksekutif dalam perusahaan sebagai pelayan agar dapat termotivasi untuk bertindak dengan metode terbaik pada principalnya (Donaldson dan Davis, 1991). Teori stewardship menjelaskan perilaku steward adalah perilaku kolektif, sebab steward akan berpedoman dengan perilaku tersebut demi tujuan organisasi yang dapat dicapai. Contohnya dalam peningkatan penjualan atau profitabilitas. Perilaku kolektif ini akan menguntungkan pemilik termasuk outside owner (efek positif yang timbul dari keuntungan dalam bentuk shareprices dan deviden), hal ini akan memberikan keuntungan dalam status manajerial, sebab tujuan mereka dilaksanakan dengan apa yang di tujukan oleh steward. Para ahli teori stewardship mengasumsikan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara kesuksesan organisasi dengan kepuasan principal. Steward memaksimumkan dan melindungi shareholder melalui kinerja suatu perusahaan, sehingga fungsi utilitas steward akan dimaksimalkan.
11
Steward yang sukses akan dapat meningkatkan kinerja suatu perusahaan dan akan mampu memuaskan sebagian besar organisasi-organisasi yang lain, karena sebagian besar shareholder memiliki kepentingan yang telah dilayani dengan baik dengan meningkatkan kemakmuran yang telah diraih organisasi. Oleh karena itu, steward yang mendukung organisasi termotivasi untuk memaksimumkan kinerja suatu perusahaan, disamping dapat memberikan kepuasan oleh kepentingan shareholder. Sebelumnya para penganut teori stewardship menitikberatkan pada suatu struktur yang memungkinkan untuk manajer-manajer pada tingkat yang lebih tinggi (Donalson dan Davis, 1991; Davis, Scoorman dan Donalson (1997) berpendapat bahwa CEO yang bertindak sebagai steward akan mempunyai sikap pro-organisasional pada saat struktur manajemen perusahaan memberikan otoritas dan keleluasaan yang tinggi. Struktur tersebut
memperlihatkan adanya
disfungsional model of man dari teori agensi. Tetapi model of man pada Stewardship Theory akan memaksimasi utilitas steward untuk mencapai tujuan organisasional dibandingkan dengan tujuan untuk diri sendiri. Stewardship Theory difokuskan pada intrinsic reward (penghargaan yang hakiki) yang tidak dapat diubah dengan mudah. Penghargaan ini merupakan kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan, prestasi, asosiasi, dan aktualisasi diri. Pada titik terendah dalam hubungan stewardship pada hakikatnya memotivasi untuk bekerja keras untuk kepentingan organisasi dengan penghargaan yang tidak nyata. Stewardship lebih difokuskan pada tingginya kebutuhan pada hierarki Maslow (1970).
12
Berdasarkan teori tersebut, maka : 1) Orang yang dimotivasi oleh order kebutuhan yang lebih tinggi akan lebih suka menjadi steward dalam hubungan steward-principal, daripada orang yang tidak termotivasi oleh order kebutuhan yang lebih tinggi. 2) Orang yang dimotivasi oleh faktor intrinsik akan lebih suka menjadi steward dalam hubungan steward-principal, daripada orang yang dimotivasi oleh faktor ekstrinsik. Dari sisi identifikasi, manajer menetapkan sendiri dirinya sebagai anggota dalam organisasi khusus sesuai dengan misi, visi dan tujuan organisasi. Melalui identifikasi suatu organisasi menjadi eksistensi dari struktur psikologi steward. Identifikasi memungkinkan manajer seolah-olah memperoleh penghargaan untuk kesuksesan organisasi dan pengalaman frustasi akan kegagalan organisasi, hal ini dapat menambah hubungan kerja. Beberapa penulis mempunyai pendirian bahwa manajer yang diidentifikasi dengan atribut organisasi, kesuksesan organisasi, dan atribut ini memberikan kontribusi pada self-image, dan self concept. Ini menggambarkan bahwa identifikasi sosial konsisten dengan Stewardship Theory. Konsep diatas diidentikan sebagai komitmen organisasi, yaitu adanya individu-individu tangguh dan termasuk dalam unsur utama organisas. Karakteristik komitmen organisasi sebagai suatu bangunan multidimensi yang berisi pengulangan komitmen yang disebut “belief individu and acceptance of goal of the organization”. Dalam teori agency nilai komitmen tidak memiliki nilai ekonomis dan tidak relevan untuk dijadikan sebagai exchange agreement.
13
Berdasarkan teori tersebut, maka orang yang lebih suka menggunakan personal power sebagai dasar untuk mempengaruhi lainnya akan lebih suka menjadi steward dalam hubungan steward-prinsipal, daripada orang yang menggunakan power institusional. 2.1.2 Financial Distress Financial distress adalah kondisi yang menggambarkan keadaaan sebuah perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Financial distress digunakan
sebagai
sarana
untuk mengidentifikasikan bahkan memperbaiki
kondisi sebelum sampai pada kondisi krisis atau kebangkrutan.
Menurut
Whitaker (1999), financial distress terjadi saat arus kas perusahaan kurang dari jumlah porsi hutang jangka panjang yang telah jatuh tempo. Plat dan Plat (2002) mendefinisikan financial distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Salah satu penyebab kesulitan keuangan menurut Brigham dan Daves (2003) dalam Almilia (2004) adalah adanya serangkaian kesalahan, pengambilan keputusan yang tidak tepat, dan kelemahan-kelemahan yang saling berhubungan yang dapat menyumbang secara langsung maupun tidak langsung kepada manajemen serta tidak adanya atau kurangnya upaya mengawasi kondisi keuangan sehingga penggunaan uang tidak sesuai dengan keperluan. Financial distress terjadi sebelum kebangkrutan. Umumnya model financial distress berpegang pada data-data kebangkrutan, karena data-data ini mudah diperoleh. Altman, Marco dan Varetto (1994) dan Yang, Platt dan Platt (1999) menggunakan model neural network untuk membedakan perusahaan yang
14
gagal dan tidak gagal. Pengguna dari model ini termasuk kreditur, suplier yang berfokus pada repayment dan investor potensial. Model ini
memberikan
keuntungan untuk berbagai macam aplikasi seperti: Pemilihan portofolio (Platt dan Platt, 1991); Penilaian kredit (Altman dan Haldeman, 1995); Perubahan manajemen (Platt dan Platt, 2000). Salah satu dampak financial distress adalah dapat membawa perusahaan mengalami kesulitan dalam membayarkan kewajiban yang ditanggung. Menurut Anggarini (2010), perusahaan yang mengalami financial distress (kesulitan keuangan) akan menghadapi kondisi : 1) Tidak mampu memenuhi jadwal atau kegagalan pembayaran kembali kewajiban yang sudah jatuh tempo kepada kreditor. 2) Perusahaan dalam kondisi tidak solvable (insolvency). Terdapat tiga hal yang paling terlihat ketika perusahaan mengalami financial distress, yaitu : 1. Business Failure (kegagalan bisnis), dapat diartikan sebagai : a)
Keadaan dimana realized rate of return dari modal yang diinvestasikan secara signifikan terus menerus lebih kecil dari rate of return pada investasi sejenis.
b)
Suatu keadaan dimana pendapatan perusahaan tidak dapat menutupi biaya perusahaan.
c)
Perusahaan diklasifikasikan mengalami kerugian operasional selama beberapa tahun atau memiliki return yang lebih kecil dari pada biaya modal (cost of capital) atau negative return.
15
2. Insolvency (tidak solvable), dapat diartikan sebagai: a)
Technical insolvency timbul apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran hutangnya pada saat jatuh tempo.
b)
Accounting insolvency, perusahaan memiliki negative networth, secara akuntansi memiliki kinerja buruk (insolvent), hal ini terjadi apabila nilai buku dari kewajiban perusahaan melebihi nilai buku dari total harta perusahaan tersebut.
3. Bankruptcy Bankruptcy yaitu kesulitan keuangan yang mengakibatkan perusahaan memiliki negative stockholders equity atau nilai pasiva perusahaan lebih besar dari nilai wajar harta perusahaan. Apabila hutang lebih banyak dari pada aktiva perusahaan akan kesulitan menutup kerugian aktivitas operasional. Bankruptcy nantinya akan berpengaruh going concern suatu perusahaan. Berdasarkan tiga macam kategori financial distress di atas, penelitian ini menggunakan poin pertama untuk mengkategorikan perusahaan yang dianggap mengalami financial distress, yaitu ketika perusahaan mengalami kegagalan bisnis yang terlihat dari pendapatan perusahaan yang tidak dapat menutupi biaya perusahaan yang timbul. Berarti jika terjadi hal demikian, perusahaan sedang mengalami kerugian, yang berimbas pada kewajiban perusahaan untuk menutupi kekurangan biaya yang terjadi dengan sumber-sumber pendanaan yang lain. Financial distress dapat timbul karena adanya pengaruh dari dalam perusahaan sendiri (internal) maupun dari luar perusahaan (eksternal). Faktor-
16
faktor penyebab financial distress dari dalam perusahan lebih bersifat mikro, faktor-faktor tersebut antara lain: 1) Kesulitan arus kas Terjadi ketika penerimaan pendapatan perusahaan dari hasil operasi perusahaan tidak cukup untuk menutupi bebab-beban usaha yang timbul atas aktivitas operasi perusahaan. Kesulitan arus kas juga disebabkan adanya kesalahan manajemen ketika mengelola aliran kas perusahan untuk pembayaran aktivitas perusahaan yang memperburuk kondisi keuangan perusahaan. 2) Besarnya jumlah hutang Kebijakan pengambilan hutang perusahaan untuk menutupi biaya yang timbul akibat operasi perusahaan akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan untuk mengembalikan hutang di masa depan. Ketika tagihan jatuh tempo dan perusahaan tidak mempunyai cukup dana untuk membayar tagihan-tagihan yang terjadi maka kemungkinan yang dilakukan kreditur adalah mengadakan penyitaan harta perusahaan untuk menutupi kekurangan pembayaran tagihan tersebut. 3) Kerugian dalam kegiatan operasional perusahaan selama beberapa tahun. Kerugian operasional perusahaan menimbulkan arus kas negatif dalam perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena beban operasional lebih besar dari pendapatan yang diterima perusahaan. Jika perusahaan mampu menutupi atau menanggulangi tiga di atas, belum tetu perusahaan tersebut dapat terhindar dari financial distress. Karena masih terdapat faktor eksternal perusahaan yang menyebabkan financial distress.
17
4) Faktor eksternal perusahaan lebih bersifat makro dan cakupannya lebih luas. Faktor eksternal dapat berupa kebijakan pemerintah yang dapat menambah beban usaha yang di tanggung perusahaan, misalnya tarif pajak yang meningkat yang dapat menambah beban perusahaan. Selain itu masih ada kebijakan suku bunga pinjaman yang meingkat, menyebabkan beban bunga yang ditanggung perusahaan meningkat. 2.1.3 Financial Strength Financial strength (kekuatan keuangan) merupakan kondisi sebaliknya dari kesulitan keuangan (financial
distress).
Perusahaan
yang
kondisi
keuangannya baik, maka perusahaan tersebut dapat dikatakan mempunyai kekuatan keuangan. Kekuatan keuangan suatu perusahaan dapat digunakan sebagai indikator sehatnya suatu perusahaan. Financial Strength Index merupakan ukuran tentang kesehatan keuangan dari perusahaan yang juga dapat digunakan untuk sektor industri (Price, Cameron and Price, 2005). Ukuran ini berimplikasi bahwa perusahaan dengan tingkat keuntungan tinggi, likuiditas yang baik, tingkat hutang yang rendah dan fasilitas yang baik akan mempunyai kekuatan/ kemampuan keuangan yang baik. Sedangkan perusahaan dengan tingkat keuntungan yang kecil, tingkat likuiditas yang rendah, keuntungan yang kecil serta fasilitas fisik yang kuno cenderung akan mengalami keuangan yang buruk. Nilai FSI > 3 menunjukkan bahwa kondisi keuangan dari perusahaan tersebut sangat baik; 0 sampai 3 kondisi keuangan perusahaan tersebut baik; -2 sampai 0 menunjukkan bahwa kondisi keuangan tersebut biasa saja; serta
18
perusahaan
yang
mempunyai
indeks
kekuatan
keuangan
dibawah
-2
menjunjukkan kondisi keuangannya buruk. Sehingga, jika suatu perusahaan mempunyai indek kekuatan keuangan (financial strength index) kurang dari -2, maka harus segera dianalisis agar perusahaan tidak mengalami kesulitan keuangan (financial distress). Kondisi kemampuan keuangan suatu perusahaan dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah. Tabel 2.1 Penggolongan Kondisi Keuangan Perusahaan Berdasarkan Nilai Financial Strength Index. Financial Strength Index
Kondisi Keuangannya
> 3,00
Sangat Baik
3,00 - 0,00
Baik
0,00 - (2,00)
Cukup
(2,00) <
Buruk (financial distress)
Sumber: Price, Cameron and Price, (2005) 2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Rasio Modal Kerja pada Financial Strength Rasio modal kerja menunjukkan tersedianya aktiva lancar yang lebih besar daripada hutang jangka pendek sehingga dapat melunasi kewajibannya (Platt dan Platt, 2002). Price, Cameron and Price (2006) meneliti kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan (financial distress) pada usaha rumah sakit di Amerika. Amalia (2006) dan Agusti (2013) menggunakan model logit dalam penelitian terhadap perusahaan manufaktur menyimpulkan rasio modal kerja berpengaruh negative terhadap financial distress. Rasio modal kerja merupakan salah satu
19
indikator dalam penelitian ini. Hal ini menunjukkan tingkat keamanan bagi kreditur jangka pendek menjamin going concern suatu perusahaan. H1 : Rasio modal kerja berpengaruh positif pada financial strength. 2.2.2 Pengaruh Rasio Laba ditahan pada Financial Strength Rasio laba ditahan menunjukkan laba ditahan dibandingkan keseluruhan asset. Altman (2000) menunjukkan bahwa laba sesudah pajak dan pembayaran bunga hutang merupakan hasil bersih dari perusahaan yang dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek maupun jangka panjangnya. Rasio laba ditahan digunakan untuk menghitung laba untuk dijadikan modal perusahaan seberapa besar proporsi laba ditahan tersebut. Semakin besar laba ditahan kemungkinan perusahaan tidak mengalami kesulitan keuangan. H2 : Rasio laba ditahan berpengaruh positif pada financial strength. 2.2.3 Pengaruh Rasio Return on Asset pada Financial Strength Return on Asset (ROA) merupakan ukuran tentang efektifitas penggunaan asset untuk menghasilkan pendapatan. Semakin tinggi nilai ROA ini menunjukkan penggunaan asset yang semakin efektif dalam menghasilkan pendapatan (Altman, 2000). Hasymi (2007) dan Agusti (2013) menyimpulkan bahwa ROA memiliki pengaruh negative terhadap financial distress merupakan salah satu rasio keuangan yang menunjukkan kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan yang baik akan mencegah kesulitan keuangan. H3 :Rasio Return on Asset berpengaruh positif pada financial strength.
20
2.2.4 Pengaruh Rasio Penjualan pada Financial Strength Rasio penjualan merupakan perbandingan antara penjualan dengan total asset. Altman (2000) menemukan bahwa rasio penjualan berpengaruh secara signifkan negative terhadap kemungkinan terjadinya kseulitan keuangan (financial distress) pada perusahaan. Price, Cameron and Price (2005) menyatakan semakin penjualan semakin baik kinerja perusahaan. Penjualan merupakan pendapatan utama dari perusahaan. Penjualan yang besar menunjukan kinerja pemasaran perusahaan tersebut baik sehingga dapat terhindar dari kesulitan keuangan. H4: Rasio penjualan berpengaruh positif pada financial strength index. 2.2.5 Pengaruh Rasio Price to Book Value pada Financial Strength Rasio Price to Book Value merupakan perbandingan nilai pasar saham dengan nilai bukunya (Altman, 2000). Nilai pasar saham yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat yang membeli saham menaruh kepercayaan yang tinggi pula terhadap perusahaan tersebut dan sebaliknya. PBV adalah salah satu indikator dalam penelitian ini. Harga pasar saham akan mempengaruhi perilaku manajemen dalam mengembangkan perusahaan. Harga pasar saham dipengaruhi tingkat penawaran dan permintaan pasar dalam bursa efek. H5: Rasio Price to Book Value berpengaruh positif pada financial strength
21