BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Investasi Investasi adalah suatu komitmen atas sejumlah dana atau sumber dana yang dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh keuntungan dimasa yang akan datang (Tandelilin, 2010:2). Harapan keuntungan di masa yang akan datang merupakan kompensasi atas waktu dan risiko yang terkait dengan keuntungan yang diharapkan atau sering disebut return. Untuk mencapai efektivitas dan efisiensi dalam suatu keputusan, diperlukan ketegasan terhadap tujuan yang diharapkan. Begitu pula halnya dalam bidang investasi perlu menentukan tujuan apa yang hendak dicapai. Menurut Fahmi (2012:3), tujuan investasi yaitu: 1) Terciptanya keberlanjutan (continuity) dalam investasi tersebut, 2) Terciptanya profit yang maksimum atau keuntungan yang diharapkan (profit actual), 3) Terciptanya kemakmuran bagi para pemegang saham, 4) Turut memberikan andil bagi pembangunan bangsa. Setiap akan melakukan keputusan investasi, selalu saja diperlukan proses. Proses tersebut akan memberikan gambaran pada setiap tahap yang akan ditempuh perusahaan. Secara umum proses manajemen investasi meliputi lima langkah (Fahmi, 2012:6), sebagai berikut:
15
1) Menetapkan sasaran investasi Penetapan sasaran berarti melakukan keputusan yang bersifat fokus atau menempatkan target sasaran terhadap yang akan diinvestasikan. 2) Membuat kebijakan investasi Tahap ini berkaitan dengan bagaimana perusahaan mengelola dana yang berasal
dari
saham,
obligasi,
dan
lainnya
untuk
kemudian
didistribusikan ke tempat-tempat yang dibutuhkan. 3) Memilih strategi portofolio Tahap ini menyangkut keputusan peranan yang akan diambil oleh pihak perusahaan, yaitu apakah bersifat aktif atau pasif saja. Investasi aktif akan selalu mencari informasi yang tersedia dan kemudian selanjutnya mencari kombinasi portofolio yang paling tepat untuk dilaksanakan. Sementara secara pasif hanya dapat dilihat pada indeks rata-rata atau dengan perkataan lain berdasarkan reaksi pasar saja, tanpa ada sikap atraktif. 4) Memilih aset Pihak perusahaan berusaha memilih aset investasi yang nantinya akan memberi imbal hasil yang tertinggi (maximal return). Imbal hasil disini dilihat sebagai keuntungan yang akan mampu diperoleh perusahaan. 5) Mengukur dan mengevaluasi kinerja Tahap ini menyangkut tahap reevaluasi bagi perusahaan untuk melihat kembali apa yang telah dilakukan selama ini dan apakah tindakan yang telah dilakukan selama ini telah benar-benar maksimal atau belum. Jika
16
belum, maka sebaiknya segera melakukan perbaikan agar tidak terjadi kerugian kedepannya. Investor selalu berusaha meminimalisasi berbagai risiko yang timbul, baik risiko yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang dalam mengambil setiap keputusan investasi. Risiko investasi dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya perbedaan antara tingkat pengembalian yang sesungguhnya (actual return) dan tingkat pengembalian yang diharapkan (expected return). Menurut Halim (2013:43), risiko investasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : 1) Risiko sistematis (systematic risk) Risiko yang tidak dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi, karena fluktuasi risiko ini dipengaruhi oleh faktor-faktor makro yang dapat memengaruhi pasar secara keseluruhan. Misalnya perubahan tingkat bunga, inflasi, kurs valuta asing, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. 2) Risiko tidak sistematis (unsystematic risk) Risiko yang dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi, karena risiko ini hanya ada dalam satu perusahaan atau industri tertentu. Misalnya faktor struktur modal, struktur aset, tingkat likuiditas, tingkat keuntungan, dan sebagaiannya.
2.1.2 Pasar Modal Menurut Darmaji, (2012:1) Pasar modal (capital market) merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah) sebagai
17
sarana bagi kegiatan berinvestasi. Pasar modal memfasilitasi berbagai sarana dan prasarana kegiatan jual beli dan kegiatan terkait lainnya. Aktivitas perekonomian diharapkan meningkat karena adanya pasar modal. Pasar modal merupakan alternatif pendanaan bagi perusahaan, sehingga perusahaan dapat beroperasi dengan skala yang lebih besar. Menurut Darmadji (2012:2), beberapa manfaat dari keberadaan pasar modal adalah sebagai berikut: 1) Menyediakan sumber pembiayaan (jangka panjang) bagi dunia usaha sekaligus memungkinkan alokasi sumber dana secara optimal. 2) Memberikan wahana investasi bagi investor sekaligus memungkinkan upaya diversifikasi. 3) Menyediakan indikator utama (leading indicator) bagi tren ekonomi Negara. 4) Memungkinkan penyebaran kepemilikan perusahaan hingga lapisan masyarakat menengah. 5) Memungkinkan
penyebaran
kepemilikan,
keterbukaan,
dan
profesionalisme serta terciptanya iklim berusaha yang sehat. 6) Menciptakan lapangan kerja/profesi yang menarik. 7) Memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dan mempunyai prospek. 8) Menjadi alternatif investasi yang memberikan potensi keuntungan dengan risiko yang bisa diperhitungkan melalui keterbukaan, likuiditas, dan diversifikasi investasi.
18
9) Membina iklim keterbukaan bagi dunia usaha, memberikan akses kontrol sosial. 10) Mendorong pengelolaan perusahaan dengan iklim keterbukaan dan pemanfaatan manajemen profesional. Adapun lembaga-lembaga yang menjadi pelaku pasar modal adalah sebagai berikut (Raharjaputra, 2009:29): 1) Emiten Emiten adalah perusahaan yang membutuhkan dana melalui pasar modal. Melalui pasar modal tersebut, perusahaan dapat memperoleh dana jangka panjang, baik berupa modal sendiri (equity) maupun melalui modal pinjaman. 2) Pemodal (Investor) Investor adalah seseorang atau pihak yang menanamkan modalnya secara langsung, membangun pabrik, memiliki sumber daya manusia, dan sebagainya yang mendirikan dan mengoperasikan suatu perusahaan sampai memproduksi barang dan jasa untuk dijual ke masyarakat. 3) Lembaga Penunjang Keberadaan lembaga penunjang merupakan salah satu faktor penting berkembangnya pasar modal. Lembaga penunjang yang menyediakan jasanya bagi para emiten dan pemilik modal meliputi: penjamin emisi, penunjang (guarantor), wali amanat, perantara perdagangan efek (pialang/broker), pedagang efek, perusahaan surat berharga, dan perusahaan pengelola dana.
19
4) Kantor (Biro) Administrasi Efek Kegiatan kantor administrasi efek adalah sebagai berikut. A. Membantu emiten dan penjamin emisi dalam rangka emisi efek. Bantuan ini dalam bentuk mencetak sertifikat saham emiten, mencatat permohonan pembelian efek pada pasar perdana, dan sebagainya. B. Melaksanakan kegiatan untuk menyimpan dan pengalihan hak atas saham para pemodal. C. Menyusun daftar pemegang saham dan perubahannya untuk melakukan pembukuan pemegang saham dan diserahkan oleh emiten kepada kantor administrasi efek. D. Menyiapkan koreponden emiten kepada para pemegang saham, seperti menyampaikan panggilan RUPS termasuk pemberitahuan pembayaran dividen. E. Membuat laporan-laporan lainnya bila diminta instansi berwenang seperti Bapepam-LK.
2.1.3 Analisis Fundamental Untuk melakukan analisis saham dapat digunakan dua pendekatan dasar, yaitu analisis teknikal dan analisis fundamental (Husnan, 2009:307). Analisis teknikal merupakan upaya untuk memperkirakan harga saham dengan mengamati perubahan harga saham tersebut di waktu yang lampau, (Husnan, 2009:341). Menurut Husnan (2009:307) analisis fundamental mencoba memperkirakan harga saham dimasa yang akan datang dengan mengestimasi nilai faktor-faktor
20
fundamental yang mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang dan menerapkan hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham. Menurut Darmadji (2006:189), analisis fundamental merupakan salah satu cara melakukan penilaian saham dengan mempelajari atau mengamati berbagai indikator terkait kondisi makro ekonomi dan kondisi industri suatu perusahaan. Dengan demikian analisis fundamental merupakan analisis yang berbasis pada data riil untuk mengevaluasi atau memproyeksikan nilai suatu saham. Analisis fundamental didasarkan atas pemikiran bahwa kondisi perusahaan tidak hanya dipengaruhi faktor internal tetapi juga faktor-faktor eksternal, yaitu kondisi ekonomi dan industri. Analisis fundamental dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan topdown untuk menilai prospek perusahaan yang terdiri atas 3 (tiga) tahapan (Tandelilin, 2010:339) yaitu: 1) Analisis ekonomi dan pasar modal dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada kondisi ekonomi di suatu negara. Apabila kondisi ekonomi buruk maka kemungkinan besar investor menjadi tidak tertarik untuk melakukan investasi saham dan akan berdampak pada penurunan harga saham. 2) Analisis industri dengan membandingkan kinerja dari berbagai industri untuk dapat mengetahui jenis-jenis industri mana saja yang menguntungkan dan mana yang tidak berprospek baik. 3) Analisis perusahaan melalui analisis terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan melihat laporan keuangan perusahaan. Analisis
21
kinerja perusahaan dapat dilakukan dengan menggunakan analisis terhadap rasio-rasio dari laporan keuangan perusahaan
2.1.4 Saham Menurut Riyanto (2011:240) saham adalah tanda bukti keikutsertaan sebagai pemilik dalam suatu perusahaan. Saham yang diterbitkan oleh emiten diperjualbelikan di bursa efek sesuai harga berlaku. Dalam pasar modal ada dua jenis saham yang paling umum dikenal oleh publik (Hartono, 2009:141-150), antara lain: 1) Saham biasa (common stock) Saham biasa adalah surat berharga yang dijual oleh suatu perusahaan yang menjelaskan nilai nominal (rupiah, dollar, yen, dan sebagainya) dimana pemegangnya diberi hak untuk mengikuti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) serta berhak untuk menentukan membeli right issue (penjualan saham terbatas) atau tidak. 2) Saham istimewa (preferred stock) Saham istimewa adalah surat berharga yang dijual oleh suatu perusahaan yang menjelaskan nilai nominal (rupiah, dollar, yen dan sebagainya) di mana pemegangnya akan memperoleh pendapatan tetap dalam bentuk dividen yang akan diterima setiap kuartal (tiga bulanan).
22
Investor biasaya memilih untuk berinvestasi saham untuk tujuan mendapatkan keuntungan. Terdapat beberapa keuntungan bila memiliki saham (Fahmi, 2012:88), antara lain: 1) Memperoleh dividen yang akan diberikan pada setiap akhir tahun. 2) Memperoleh keuntungan modal (capital gain), yaitu keuntungan pada saat saham yang dimiliki tersebut dijual kembali pada harga yang lebih mahal. 3) Memiliki hak suara bagi pemegang saham jenis saham biasa (common stock).
2.1.5 Harga Saham Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2004:151), harga saham merupakan nilai sekarang (present value) dari penghasilan-penghasilan yang akan diterima oleh pemodal dimasa yang akan datang. Harga saham adalah harga selembar saham yang terjadi pada saat tertentu yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar modal (Hutami, 2012). Menurut Ang (dalam Dini dan Indarti (2012), harga saham dapat dibedakan menjadi 3, antara lain: 1) Harga/nilai normal (Par Value) Harga dasar suatu saham erat kaitannya dengan harga pasar suatu saham. Harga dasar suatu saham baru merupakan harga perdananya.
23
2) Harga/ nilai Nominal (Base Price) Nilai nominal suatu saham adalah nilai yang tercantum pada saham yang bersangkutan yang berfungsi untuk tujuan akuntansi. Jadi, nilai nominal ini merupakan suatu nilai yang berguna bagi pencatatan akuntansi, dimana nilai nominal inilah yang dicatat sebagai modal ekuitas perseroan di dalam neraca. 3) Harga pasar (Market Price) Harga pasar merupakan harga yang paling mudah ditentukan karena harga pasar merupakan harga suatu saham pada pasar yang sedang berlangsung. Jika pasar bursa efek sudah tutup, maka harga pasar adalah harga penutupan (closing price). Harga saham setiap waktu dapat berubah-ubah tergantung pada besarnya penawaran dan permintaan investor akan saham tersebut. Besar kecilnya jumlah permintaan terhadap suatu saham yang terjadi di pasar modal pada dasarnya dipengaruhi oleh informasi yang diterima oleh investor (Amalia, 2010). Hal ini merupakan kekuatan pasar yang akan berpengaruh terhadap harga saham. Bila terdapat kecenderungan kenaikan permintaan saham suatu perusahaan maka hal ini akan meningkatkan harga saham tersebut. Keadaan ini menunjukkan bahwa posisi perusahaan mempunyai prospek jangka panjang yang baik dan berarti akan menaikan nilai perusahaan tersebut. Apabila keadaan yang terjadi adalah sebaliknya maka hal ini akan menurunkan nilai perusahaan yang bersangkutan. Menurut Fahmi (2012:89), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan harga saham dapat berfluktuasi, antara lain:
24
A. Kondisi mikro dan makro ekonomi. B. Kebijakan
perusahaan
dalam
memutuskan
untuk
ekspansi
(perluasan usaha), seperti membuka kantor cabang (brand office) dan kantor cabang pembantu (sub-brand office), baik yang dibuka di domestik maupun luar negeri. C. Pergantian direksi secara tiba-tiba. D. Adanya direksi atau pihak komisaris perusahaan yang terlibat tindak pidana dan kasusnya sudah masuk ke pengadilan. E. Kinerja perusahaan yang terus mengalami penurunan dalam setiap waktunya. F. Risiko sistematis, yaitu suatu bentuk risiko yang terjadi secara menyeluruh dan telah ikut menyebabkan perusahaan ikut terlibat. G. Efek dari psikologi pasar yang ternyata mampu menekan kondisi teknikal jual beli saham.
2.1.6 Analisis Makro Ekonomi Analisis makro ekonomi atau analisis ekonomi merupakan salah satu dari tiga analisis dalam pendekatan top-down. Analisis ini perlu dilakukan untuk dapat membantu investor dalam menentukan keputusan investasinya yang dilihat dari faktor-faktor makro ekonomi. Tujuan dari analisis makro ekonomi adalah untuk mengidentifikasi variabel-variabel makro ekonomi yang mempengaruhi kinerja atau return suatu sekuritas Analisis ini perlu dilakukan karena kecenderungan
25
adanya hubungan yang kuat antara apa yang terjadi pada lingkungan ekonomi makro dan kinerja suatu pasar modal, (Tandelilin, 2010:339). Adanya fluktuasi yang terjadi dalam pasar modal akan berkaitan dengan adanya perubahan yang terjadi pada berbagai variabel makro ekonomi. Suku bunga SBI dan inflasi selanjutnya digunakan dalam penelitian ini sebagai cerminan dari variabel makro ekonomi. 1) Suku Bunga SBI Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh BI sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto/bunga. Menurut Rismawati (2010), suku bunga SBI merupakan instrumen suku bunga yang dikeluarkan oleh BI untuk mengontrol peredaran uang di masyarakat. SBI merupakan instrumen yang diperdagangkan oleh Bank Indonesia untuk mengontrol likuiditas di pasar uang. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang yang mengacu pada suku bunga BI. Adapun dasar hukum penerbitan SBI adalah surat SBI diterbitkan berdasarkan keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/67/KEP/DIR pada tanggal 23 Juli 1998 penjualan SBI diprioritaskan pada lembaga perbankan. Tetapi tidak tertutup kemungkinan masyarakat baik perorangan maupun perusahaan untuk dapat memiliki SBI. Pembelian SBI oleh masyarakat tidak dapat dilakukan secara langsung kepada Bank Indonesia, melainkan harus melalui bank umum serta pialang pasar modal yang ditunjuk oleh Bank Indonesia (Novianto, 2011). Menurut
26
situs www.bi.go.id, suku bunga SBI dapat mempengaruhi pasar modal melalui beberapa cara diantaranya: (1) Melalui peningkatan suku bunga SBI akan diikuti dengan peningkatan suku bunga tabungan. Dengan peningkatan suku bunga tabungan maka investor cenderung akan mengalihkan dananya dari saham ke tabungan atau deposito karena bunga yang tinggi dan memberikan risiko yang lebih rendah, dengan begitu banyak investor yang menjual saham dan mengalihkan dananya ke pasar uang dengan asumsi permintaan saham tetap dan tingkat penawaran saham meningkat, maka harga saham akan turun (2) Melalui peningkatan suku bunga kredit maka beban biaya bunga perusahaan meningkat dan berakibat pada turunnya laba perusahaan. Hal tersebut akan berakibat pada tidak menariknya perusahaan tersebut dan turunnya harga saham. 2) Inflasi Menurut Tandelilin (2010: 342) inflasi merupakan kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk-produk secara keseluruhan. Inflasi yang tinggi mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari investasi. Sebaliknya, jika tingkat inflasi suatu negara mengalami penurunan maka hal ini merupakan sinyal yang positif bagi investor seiring dengan turunnya resiko daya beli uang dan risiko penurunan pendapatan riil. Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006:116) mendefinisikan inflasi sebagai suatu kondisi dimana harga barang-barang pada umumnya menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Inflasi memiliki dampak positif dan negative tergantung
27
parah atau tidaknya inflasi. Inflasi yang rendah akan mempunyai pengaruh yang positif dalam arti mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang menjadi bergairah untuk bekerja, menabung, dan berinvestasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi) keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Minat dan gairah masyarakat untuk bekerja, menabung dan berinvestasi akan menurun karena terjadinya peningkatan harga barang. Inflasi merupakan keadaan naiknya harga barang–barang dalam periode tertentu. Inflasi juga berpengaruh terhadap harga saham. Baik buruknya pengaruh inflasi tergantung pada besar kecilnya tingkat inflasi tersebut. Inflasi yang tinggi menurunkan harga saham perusahaan karena permintaan terhadap saham tersebut menurun.
2.1.7 Analisis Perusahaan Analisis perusahaan atau analisis mikro ekonomi bertujuan untuk membantu investor dalam menentukan keputusan investasi atas saham suatu perusahaan emiten. Hasil dari analisis perusahaan dapat memberikan gambaran tentang nilai perusahaan, kualitas dan kinerja manajemen, serta prospek perusahaan di masa datang. Menurut Tandelilin, (2010:364) bagi para investor yang melakukan analisis perusahaan, informasi laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan merupakan salah satu jenis informasi yang paling mudah dan paling murah didapatkan dibandingkan dengan alternatif informasi lainnya.
28
2.1.8 Rasio Keuangan Menurut Brigham dan Houston (2010), dari sudut pandang investor, peramalan masa depan adalah inti dari analisis keuangan sebenarnya. Sementara itu, dari sudut pandang manajemen, analisis laporan keuangan berguna untuk membantu mengantisipasi kondisi masa depan, yang lebih penting lagi adalah sebagai titik awal untuk merencanakan tindakan-tindakan yang akan memperbaiki kinerja dimasa depan. Rasio keuangan dirancang untuk membantu kita mengevaluasi laporan keuangan. Berdasarkan informasi rasio keuangan tersebut dapat diketahui kondisi keuangan suatu perusahaan dari berbagai aspek. Rasio keuangan tersebut hanyalah refleksi dari yang sebenarnya terjadi, dan dari informasi rasio keuangan tersebut maka perlu dilakukan analisis rasio keuangan. Menurut Wiagustini (2010:75), analisis rasio adalah suatu teknik analisis yang menghubungkan anatara satu pos dengan pos lainnya baik dalam neraca atau rugi laba maupun kombinasi dari kedua laporan keuangan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Tujuan dilakukannya analisis ini adalah untuk memberi informasi atas hasil interpretasi mengenai kinerja yang dicapai perusahaan. Menurut Wiagustini (2010:75-77) kondisi keuangan perusahaan dapat dilihat dalam lima (5) aspek yaitu aspek likuiditas yang merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek dengan dana lancar yang dimiliki perusahaan, aspek solvabilitas/leverage yaitu kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang atau mengukur sejauh mana perusahaan dibiayai dengan utang, aspek profitabilitas/rentabilitas yang menunjukkan kemampuan perusahaan memperoleh 29
laba atau ukuran efektivitas pengelolaan manajemen perusahaan, aspek aktivitas usaha yaitu untuk mengukur tingkat efektivitas pemanfaatan sumberdaya perusahaan, dan aspek penilaian pasar yang mengukur kemampuan manajemen dalam menciptakan nilai pasarnya di atas biaya investasi. Rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio penilaian pasar yang diproksikan melalui Earning Per Share (EPS), rasio profitabilitas yang diproksikan melalui Return On Equity (ROE), dan rasio leverage yang diproksikan melalui Debt to Equity Ratio (DER). 1) Earning Per Share Menurut Tandelilin (2010:365), Earning Per Share adalah salah satu jenis rasio pasar yang digunakan untuk membandingkan antara laba bersih yang siap dibagikan bagi pemegang saham dengan jumlah lembar saham perusahaan. Menurut Gitosudarmo dan Basri (2002) dalam Priatinah dan Kusuma (2012) memaksimalkan kekayaan pemegang saham dapat diukur dari pendapatan per lembar saham (earning per share/ EPS), sehingga dalam hal ini EPS akan memengaruhi kepercayaan investor pada perusahaan. Informasi EPS suatu perusahaan menunjukkan besarnya laba bersih perusahaan yang siap dibagikan kepada semua pemegang saham perusahaan. EPS biasanya menjadi perhatian investor dan manajer keuangan. Semakin tinggi EPS suatu perusahaan, maka semakin besar pula earning yang akan di terima investor dari investasinya, sehingga bagi perusahaan peningkatan EPS tersebut dapat memberi dampak positif terhadap harga sahamnya di pasar (Nurfadillah, 2011).
30
Besarnya EPS suatu perusahaan dapat diketahui dari informasi laporan keuangan perusahaan. Meskipun beberapa perusahaan tidak mencantumkan besarnya EPS perusahaan bersangkutan dalam laporan keuangannya, tetapi besarnya EPS dapat dihitung berdasarkan laporan rugi laba perusahaan yaitu dengan membagi antara laba bersih setelah bunga dan pajak dengan jumlah saham perusahaan yang beredar (Tandelilin, 2010:374). 2) Return On Equity Return On Equity (ROE) adalah proksi dari rasio profitabilitas yang mengkaji sejauh mana suatu perusahaan mempergunakan sumber dana yang dimiliki untuk mampu memberikan laba atas sekuritas (Fahmi, 2012:99). Apabila Return On Equity (ROE) meningkat maka akan mengakibatkan profitablitas perusahaan meningkat, sehingga akan meningkatkan profitablitas yang dinikmati oleh pemegang saham. Dengan kata lain, semakin tinggi rasio ini maka semakin baik produktivitas aset dalam memperoleh keuntungan bersih (Husnan, 2009:331). Menurut Mardiyanto (2009: 196) ROE adalah rasio yang digunakan untuk mengukur keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi para pemegang saham. ROE dianggap sebagai representasi dari kekayaan pemegang saham atau nilai perusahaan. Menurut Riyadi (2006: 155) Return On Equity (ROE) adalah perbandingan antara laba bersih dengan modal (modal inti) perusahaan. Rasio ini menunjukkan tingkat persentase yang dapat dihasilkan. ROE sangat penting bagi para pemegang saham dan calon investor, karena ROE yang tinggi berarti para pemegang saham akan memperoleh dividen yang tinggi pula dan kenaikan ROE akan menyebabkan kenaikan saham. Menurut Chrisna (2011) dalam Hutami (2012)
31
kenaikan ROE biasanya diikuti oleh kenaikan harga saham perusahaan yang bersangkutan. Semakin tinggi ROE berarti semakin efisien penggunaan modal sendiri yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan untuk menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham. 3) Debt To Equity Ratio Menurut Brigham and Houston (2010:143), rasio total utang terhadap total ekuitas yang umumnya disebut rasio utang modal (debt to equity ratio) adalah rasio yang mengukur persentase dana yang diberikan oleh kreditor dengan membandingkan antara total utang perusahaan dengan total ekuitas yang dimiliki. Total utang tersebut sudah termasuk seluruh kewajiban lancar dan utang jangka panjang. Kreditor lebih menyukai rasio utang yang lebih rendah karena semakin rendah rasio utang perusahaan, maka makin besar perlindungan terhadap kerugian kreditor jika terjadi likuidasi. Di sisi lain, pemegang saham mungkin menginginkan lebih banyak leverage karena akan memperbesar laba yang diharapkan dalam upaya melakukan ekspansi. Menurut Basuki (2012), semakin besar debt to equity ratio (DER) menunjukkan semakin besar tingkat ketergantungan perusahaan terhadap pihak eksternal (kreditur) dan semakin besar pula beban biaya utang atau biaya bunga yang harus dibayar oleh perusahaan. Dengan semakin meningkatnya rasio ini, maka hal tersebut berdampak terhadap profitablitas yang diperoleh perusahaan, karena sebagian digunakan untuk membayar bunga pinjaman. Dengan biaya bunga yang semakin besar, maka profitabilitas (earnings after tax) semakin berkurang sehingga dapat menyebabkan hak para pemegang saham berupa dividen juga semakin
32
berkurang. DER yang tinggi menunjukkan tingginya ketergantungan permodalan perusahaan terhadap pihak luar, sehingga beban perusahaan juga semakin berat. Jika suatu perusahaan menanggung beban utang yang tinggi, yaitu melebihi modal sendiri yang dimiliki, maka harga saham perusahaan akan menurun (Amanda et al, 2012).
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Suku Bunga SBI Terhadap Harga Saham Peningkatan suku bunga SBI diikuti dengan peningkatan suku bunga simpanan akan menyebabkan investor cenderung mengalihkan dananya dalam bentuk simpanan deposito dengan pendapatan/return yang lebih tinggi dan risiko yang lebih rendah daripada berinvestasi pada saham (Tandelilin, 2010:343). Tingkat penawaran saham akan meningkat karena banyak investor menjual sahamnya sedangkan tingkat permintaan saham tetap sehingga harga saham akan turun atau berpengaruh secara negatif. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Permana (2009), Kewal (2012), Yogaswari (2012) dan Aurora (2013) menyatakan bahwa tingkat bunga SBI memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : H1: Suku Bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Harga Saham.
33
2.2.2 Pengaruh Inflasi Terhadap Harga Saham Inflasi merupakan penurunan nilai uang atau naiknya harga barang dan jasa secara keseluruhan. Tingkat Inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang terlalu panas (overheated). Artinya kondisi ekonomi mengalami permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga harga-harga cenderung naik (Tandelilin, 2012:343). Biaya produksi perusahaan juga akan ikut naik karena kenaikan harga kebutuhan pokok dan bahan baku produksi. Hal ini juga akan mempengaruhi pasar modal dimana permintaan saham akan menurun karena penurunan daya beli investor. Dampaknya adalah jumlah saham yang ditawarkan akan lebih tinggi dari jumlah permintaan saham sehingga harga saham akan mengalami penurunan. Hasil penelitian dari Aurora (2013), Yogaswari (2012) dan Sihaloho (2013) menyatakan bahwa tingkat inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H2: Inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Harga Saham.
2.2.3 Pengaruh Earning Per Share Terhadap Harga Saham Menurut Darmadji (2012:97), Earning Per Share (EPS) merupakan rasio yang menunjukkan berapa besar keuntungan yang dapat diperoleh investor atau pemegang saham per saham. Semakin tinggi nilai Earning Per Share (EPS) tentu saja menggembirakan pemegang saham karena semakin besar laba yang akan diperoleh pemegang saham. Earning Per Share (EPS) dalam laporan keuangan sering digunakan oleh manajemen untuk menarik perhatian calon investor. Nilai
34
EPS yang terus meningkat akan menarik minat investor untuk berinvestasi saham pada perusahaan tersebut sehingga harga saham juga akan meningkat karena tingginya permintaan. Begitu juga sebaliknya, apabila EPS menurun akan mempengaruhi turunnya minat investor dalam berinvestasi dan akan berdampak pada menurunnya harga saham. Teori tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu (2008), Amalia (2010), Silviana (2013),dan Widaningsih (2013), menunjukkan hasil bahwa secara parsial earning per share (EPS) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham. Hal serupa juga ditemukan oleh Malhotra (2013) dan Putranto (2014) bahwa earning per share EPS berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H3: Earning per share (EPS) berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham.
2.2.4 Pengaruh Return On Equity Terhadap Harga Saham Return On Equity (ROE) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi para pemegang saham. ROE dianggap sebagai representasi dari kekayaan pemegang saham atau nilai perusahaan (Mardiyanto, 2009:196). Nilai ROE yang positif menunjukkan baiknya kinerja manajemen dalam mengelola modal yang ada untuk menghasilkan laba. Menurut Chrisna (2011) dalam Hutami (2012) kenaikan ROE biasanya diikuti oleh kenaikan harga saham perusahaan yang bersangkutan. Semakin tinggi ROE berarti semakin efisien penggunaan modal sendiri yang dilakukan oleh pihak manajemen
35
perusahaan untuk menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham. Teori tersebut didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kusumawardani (2011), Wang et al. (2013), dan Sari (2014) menyatakan bahwa return on equity (ROE) berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham. Hal ini berarti semakin tinggi Return On Equity (ROE) suatu perusahaan, maka akan berdampak pada peningkatan harga saham. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H4: Return On Equity (ROE) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Harga Saham.
2.2.5 Pengaruh Debt To Equity Ratio Terhadap Harga Saham Debt to equiy ratio (DER) merupakan salah satu rasio keuangan yang mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan melunasi utang dengan modal yang dimiliki (Husnan, 2009:70). Menurut Sudana (2011:153) penggunaan utang yang semakin besar dibandingkan dengan modal sendiri akan berdampak pada penurunan nilai perusahaan. DER yang tinggi menunjukkan tingginya ketergantungan permodalan perusahaan terhadap pihak luar, sehingga beban perusahaan juga semakin berat. Jika suatu perusahaan menanggung beban utang yang tinggi, yaitu melebihi modal sendiri yang dimiliki, maka harga saham perusahaan akan menurun (Amanda et al, 2012). Investor cenderung akan menghindari berinvestasi pada perusahaan dengan tingkat DER yang tinggi karena semakin tinggi tingkat penggunaan hutang maka dividen yang seharusnya dibagikan kepada pemegang saham akan berkurang karena laba yang diperoleh
36
digunakan untuk membayar utang perusahaan. Hal ini menyebabkan investor menjadi tidak tertarik untuk berinvestasi pada saham tersebut sehingga permintaan saham akan menurun. Penurunan permintaan saham ini kemudian berdampak pada penurunan harga saham. Teori tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Hatta (2012) dan Widaningsih (2013), menyatakan bahwa debt to equity ratio (DER) memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap harga saham. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh serta Ratih (2013) juga menemukan bahwa secara parsial variabel DER berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H5: Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Harga Saham.
37
Gambar 2.1 Model Penelitian Pengaruh Suku Bunga SBI dan Inflasi, Serta Fundamental Perusahaan Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Indeks LQ-45 di Bursa Efek Indonesia (BEI) Suku Bunga SBI (X1) H1 (-) Inflasi (X2) H2 (-) EPS (X3)
Harga Saham (Y)
H3 (+) ROE (X4)
DER (X5)
H4 (+)
H5 (-)
38