BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1
Teori pengharapan (expectancy theory) Teori pengharapan merupakan teori yang mengarah kepada keputusan
mengenai seberapa banyak usaha yang dilakukan dalam situasi atau tugas tertentu. Teori ini menyatakan bahwa motivasi dipengaruhi oleh harapan individu pada tingkat usaha tertentu yang menghasilkan prestasi yang ingin dicapai. Menurut Suprianto (2009), teori pengharapan berlandaskan pada empat asumsi dasar yaitu pertama, perilaku ditentukan oleh kombinasi faktor-faktor di dalam diri individu dan lingkungan. Kedua, individu-individu membuat keputusan tentang perilaku mereka sendiri di dalam organisasi. Ketiga, individu-individu yang berbeda memiliki tipe-tipe kebutuhan, keinginan, dan tujuan yang berbeda. Keempat, individu membuat pilihan perilaku dari banyak alternatif perilaku, berbasis pada persepsi mereka tentang sejauh mana suatu perilaku tertentu memberikan hasil yang diharapkan. Menurut
Griffin
(2002),
berdasarkan
teori
pengharapan
yang
mengidentifikasi dua variabel kunci, yaitu seberapa kuat kita menginginkan sesuatu dan seberapa besar kemungkinan kita mendapatkannya. Teori pengharapan juga menjelaskan bahwa motivasi auditor adalah menyelesaikan tugas audit tepat pada waktu yang ditetapkan. Auditor cenderung akan melakukan tindakan yang diinginkannya walaupun bertentangan dengan prosedur audit pada
11
saat auditor dihadapkan pada kondisi yang sulit. Perilaku tersebut terjadi akibat adanya dorongan untuk mempertahankan dirinya agar dapat mencapai kinerja yang baik di KAP.
2.1.2
Teori kontigensi (contingency theory) Teori kontigensi awalnya diperkenalkan oleh Lawrence dan Lorsch (1967)
kemudian dipakai oleh Kast dan Rosenzweig (1973). Menurut Sari (2006) dalam Azli dan Azizi (2009), teori kontingensi merupakan sebuah teori yang tepat dipakai dalam konteks mengkaji reka bentuk, perancangan, prestasi, dan kelakuan organisasi serta kajian yang berkaitan dengan pengaturan strategik. Menurut Rayburn dan Thomas (1991) dalam Azli dan Azizi (2009), teori kontigensi menyatakan pemilihan sistem akuntansi oleh pihak manajemen adalah tergantung pada perbedaan desakan lingkungan perusahaan. Pendekatan kontigensi memberi dukungan perlunya memfokuskan pada perubahan. Tidak ada satu aturan hukum yang memberi solusi terbaik untuk setiap waktu, tempat semua orang atau situasi. Ada beberapa anggapan dasar dalam pendekatan kontingensi yaitu antara lain: 1) Manajemen pada dasarnya bersifat situasional. Menghadapi konsekuensi dalam pemilihan teknik-teknik manajemen bergantung pada situasi lingkungan. Dengan kata lain diversitas dan kompleksitas situasi eksternal yang dihadapi organisasi harus dipecahkan dengan teknik yang sesuai. 2) Manajemen harus mengadopsi pendekatan dan strategi sesuai dengan permintaan setiap situasi yang dihadapi. Kebijakan dan praktik manajemen
12
yang secara spontan dapat merespon setiap perubahan lingkungan bisa dikatakan efektif. 3) Ketika keefektifan dan kesuksesan manajemen dihubungkan secara langsung dengan kemampuannya menghadapi lingkungan dan setiap perubahan
dapat
diatasi,
maka
harus
ditingkatkan
keterampilan
mendiagnosa yang proaktif untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang komprehensif. 4) Manajer yang sukses harus menerima bahwa tidak ada satu cara terbaik dalam mengelola suatu organisasi, serta tidak ada solusi yang dapat diaplikasikan secara universal. Penelitian sebelumnya mengidentifikasikan variabel locus of control internal memiliki hasil yang tidak pasti antara penelitian yang satu dengan yang lainnya. Adanya hasil yang tidak pasti menyebabkan dapat digunakannya teori kontingensi untuk merekonsiliasi perbedaan dari penelitian ini. Kontigensi memungkinkan adanya pendekatan variabel-variabel yang dapat bertindak sebagai pemoderasi yang mempengaruhi hubungan antara locus of control internal pada perilaku underreporting of audit time. Penelitian ini menggunakan tekanan anggaran waktu sebagai pemoderasi dalam faktor kontigensi.
2.1.3
Perilaku underreporting of audit time Bentuk lain perilaku audit disfungsional yang terjadi dalam praktek audit
adalah tindakan underreporting of audit time. Menurut Kustinah (2013), perilaku underreporting of audit time merupakan perilaku yang tidak dilaporkannya
13
keseluruhan waktu penyelesaian audit dalam pemeriksaan laporan untuk mencegah lebih anggaran. Perilaku underreporting of audit time merupakan tindakan yang dilakukan oleh auditor dengan memanipulasi laporan waktu audit dalam pelaksanaan tugas audit. Menurut Nelaz, dkk. (2014), perilaku underreporting of audit time terjadi ketika auditor tidak melaporkan dan membebankan seluruh waktu audit yang digunakan untuk menyelesaikan tugas audit yang dibebankan oleh KAP. Perilaku underreporting of audit time terutama dimotivasi keinginan auditor untuk dapat menyelesaikan tugas audit dalam batas anggaran waktu untuk usaha mendapatkan kinerja personal yang lebih (Hardyan, 2013 dan Tanjung, 2013). Perilaku underreporting of audit time juga dapat disebut sebagai the practice of eating time. Perilaku underreporting of audit time dapat dilakukan melalui tindakan, seperti mengerjakan pekerjaan audit dengan menggunakan waktu personal (misalnya bekerja pada jam istirahat), mengalihkan waktu audit yang digunakan untuk pelaksanaan tugas audit tertentu pada tugas lain yang pengerjaannya dilakukan pada waktu yang bersamaan, dan tidak melaporkan waktu lembur yang digunakan dalam mengerjakan prosedur atau tugas audit tertentu (Nelaz, dkk., 2014). Perilaku underreporting of audit time sering dipandang auditor tidak berpengaruh terhadap kualitas audit karena auditor menyelesaikan program audit secara lengkap dan seksama (McNair, 1991). Meskipun demikian, perilaku underreporting of audit time merupakan tindakan disfungsional yang pada akhirnya berdampak pada kualitas audit dan KAP. Menurut Otley dan Pierce
14
(1996), perilaku underreporting of audit time adalah perilaku disfungsional karena perilaku underreporting of audit time berdampak negatif pada lingkungan audit. Perilaku underreporting of audit time berpengaruh pada proses pengambilan keputusan internal KAP dalam berbagai bidang, seperti evaluasi atas kinerja personal auditor, menutupi kebutuhan revisi anggaran, penentuan fee, dan menghasilkan tekanan waktu untuk audit di masa mendatang yang tidak diketahui, pengalokasian personal auditor untuk mengerjakan tugas audit, dan selanjutnya berpengaruh terhadap penurunan kualitas audit (Sitanggang, 2007; Wahyudi, 2013; Ratnaningtias, 2014).
2.1.4
Locus of control (LOC) Menurut Nelaz, dkk. (2012), LOC adalah persepsi tentang kendali mereka
atas nasib kepercayaan diri dan kepercayaan mereka atas keberhasilan diri. Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan LOC sebagai tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Teori LOC menggolongkan individu apakah termasuk dalam LOC internal atau eksternal (Sampetoding, 2014). Menurut Gustati (2012), LOC internal mengacu kepada persepsi bahwa kejadian baik positif maupun negatif terjadi sebagai konsekuensi dari tindakan atau perbuatan diri sendiri dan di bawah pengendalian diri, sedangkan LOC eksternal mangacu kepada keyakinan bahwa suatu kejadian tidak mempunyai hubungan langsung dengan tindakan oleh diri sendiri dan berada di luar kontrol dirinya.
15
Seseorang yang mempunyai LOC internal yakin dapat mengendalikan tujuan mereka sendiri, memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan di dalamnya. Individu dengan LOC internal diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan juga
lebih
menyukai
keahlian-keahlian
dibanding
hanya
situasi
yang
menguntungkan, sedangkan LOC eksternal diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung pada orang lain, hidup mereka cenderung dikendalikan oleh kekuatan di luar diri mereka sendiri (seperti keberuntungan), serta lebih banyak mencari dan memilih kondisi yang menguntungkan (Husna et al., 2012:7 dalam Wahyudi, 2013). Menurut Pujaningrum (2012), seseorang yang percaya bahwa mereka memiliki kontrol internal yang tinggi atas hasil dan nasib (a) akan lebih suka berperilaku yang dapat menerima sebagai hal yang penuh tujuan, (b) LOC akan menyebabkan perilaku diterima internal pada seseorang yang dipandang sebagai perilaku masa lalu yang lebih memiliki tujuan daripada memandang perilaku mereka secara eksternal. LOC
berperan
dalam
motivasi.
LOC
yang
berbeda
biasanya
mencerminkan motivasi yang berbeda dan kinerja yang berbeda (Sampetoding, 2014). LOC internal akan cenderung lebih sukses dalam karir mereka daripada eksternal, mereka cenderung mempunyai level kerja yang lebih tinggi, promosi lebih cepat, dan mendapatkan penghasilan lebih sebagai tambahan. LOC internal dilaporkan memiliki kepuasan yang lebih tinggi dengan pekerjaan mereka dibandingkan dengan LOC eksternal (Wahyudi, 2013).
16
LOC baik internal maupun eksternal bukanlah merupakan suatu konsep tipologi, melainkan merupakan pengaruh atau sumbangsih dari berbagai faktor lingkungan. Artinya, LOC bukan berasal sejak lahir melainkan timbul dalam proses pembentukan yang berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan (Sarita dan Agustia., 2009).
2.1.5
Tekanan anggaran waktu Gundry (2006) menyatakan bahwa perusahaan audit memantau efisiensi
kerja mereka melalui penggunaan anggaran waktu dan menggunakan ini sebagai dasar utama penentuan fee audit, maka bisa dipastikan saat itu anggaran menjadi lebih ketat karena daya saing ini meningkat. Tekanan anggaran waktu merupakan suatu keadaan yang menunjukkan auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran yang sangat ketat dan kaku (Raghunatan, 1991 dalam Ratnaningtias, 2014). Menurut Herningsih (2001), tekanan anggaran waktu adalah suatu keadaan ketika auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun. Auditor seringkali bekerja dalam keterbatasan waktu, untuk itu setiap KAP perlu membuat anggaran waktu dalam kegiatan pengauditan (Setyorini, 2011). Proses penyusunan anggaran waktu audit pada sebagian besar KAP cenderung mengikuti proses yang sama, yaitu dengan melakukan taksiran waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan setiap tahapan program audit pada berbagai level auditor (Tanjung, 2013).
17
Menurut Liyanarachchi dan McNamara (2007), anggaran waktu audit memiliki potensi untuk menciptakan tekanan karena hal ini tidak hanya sebagai kontrol mekanisme, tetapi juga sebagai alat pengukuran kinerja di perusahaan akuntan publik. Seringkali anggaran waktu tidak sesuai dengan realisasi atas pekerjaan yang dilakukan, akibatnya muncul perilaku disfungsional yang menyebabkan kualitas audit lebih rendah (Muhshyi, 2013). Hal ini sesuai dengan pernyataan De Zoort dan Lord (1997) dalam Simanjuntak (2008) menyebutkan bahwa ketika menghadapi tekanan anggaran waktu, auditor akan memberikan respon dengan dua cara, yaitu fungsional dan disfungsional. Tipe fungsional adalah perilaku auditor untuk bekerja lebih baik dan menggunakan waktu sebaikbaiknya, sedangkan tipe disfungsional adalah perilaku auditor yang membuat penurunan kualitas audit (Setyorini, 2011). Gambar 2.1 Model Teoritis Tekanan Anggaran Waktu Stressors
Strains
Outcomes
Lingkungan anggaran waktu
Disfungsional behaviour
Individual Organizational
Tipe KAP Posisi
Time Budget
Reduced Audit Quality
Program Audit
attainability
Underreporting of Time
Partisipasi Anggaran tahun lalu Sumber: McNamara dan Gregory (2008)
18
McNamara dan Gregory (2008) menyebutkan bahwa stressors adalah kondisi yang mendahului (antecedent condition) dan strains adalah salah satu respon yang diberikan terhadap kondisi tersebut yang akan berpengaruh terhadap hasil secara individu maupun organisasi. Salah satu kondisi tersebut adalah tekanan anggaran waktu yang dapat menyebabkan perilaku penurunan kualitas audit dan underreporting of audit time.
2.2
Rumusan Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh locus of control internal pada perilaku underreporting of audit time Locus of control (LOC) internal memiliki keyakinan bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apapun yang terjadi pada diri mereka. Individu yang memiliki LOC internal akan lebih aktif dalam mencari, mengolah, memanfaatkan informasi, dan memiliki keinginan untuk berprestasi. Individu yang memiliki LOC internal akan memiliki peluang besar untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh Mallone dan Robert (1996) menyatakan bahwa LOC sebagai karakteristik personal tidak mempengaruhi perilaku underreporting of audit time. Hasil penelitian tersebut mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Maryanti (2005) yang menunjukkan bahwa LOC tidak ada kaitannya dengan perilaku underreporting of audit time. Hasil yang mirip ditemukan Gustati (2012) yang menunjukkan bahwa LOC internal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit.
19
Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: H1: Locus of control internal berpengaruh negatif pada perilaku underreporting of audit time.
2.2.2
Tekanan anggaran waktu dalam memoderasi pengaruh locus of control internal pada perilaku underreporting of audit time Chen (2008) menguji hubungan antara LOC dan perilaku stress kerja,
kepuasan kerja, dan kinerja. Temuan-temuan menunjukkan bahwa salah satu dari aspek kepribadian seorang akuntan yang diukur dengan LOC internal yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat stress kerja, tingkat kepuasan kerja dan kinerja praktis lebih tinggi. Salah satu penyebab tekanan (stressor) auditor adalah tekanan anggaran waktu. Akers dan Eaton (2003) mengemukakan jika auditor merasakan terdapat tekanan anggaran waktu dalam pelaksanaan tugas audit, maka untuk menanggulangi kendala tersebut, auditor mungkin bertindak dengan cara fungsional yaitu melaksanakan prosedur audit sebagaimana mestinya, tetapi memanipulasi catatan waktu dengan tidak melaporkan waktu aktual yang digunakan untuk pelaksanaan tugas audit. Pelaporan waktu aktual dan melebihi anggaran audit dapat menjadi sinyal bagi kinerja yang buruk atau bahkan ketidakmampuan untuk manajemen perusahaan. Dampak buruk dari pelaporan waktu aktual yang melebihi anggaran audit menyebabkan auditor mungkin percaya bahwa tidak dilaporkannya waktu
20
aktual adalah satu-satunya solusi yang bisa diterapkan untuk anggaran waktu tak terjangkau (Ponemon, 1992). Auditor akan menanggulangi waktu dengan melakukan perilaku underreporting of audit time. Meskipun auditor dapat meminta waktu tambahan untuk menanggulangi kendala tekanan anggaran waktu, namun bukti empiris dari hasil penelitian-penelitian terdahulu seperti Coram et al. (2004) dan Pierce dan Sweeney (2004) menunjukkan dengan adanya kendala tekanan anggaran waktu, kadang-kadang
auditor
akan
merespon
dengan
melakukan
perilaku
underreporting of audit time. Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: H2: Tekanan anggaran waktu memperkuat pengaruh locus of control internal pada perilaku underreporting of audit time.
21