BAB II KAJIAN PUSTAKA Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nanawi, 2001:39). Berikut beberapa teori yang relevan dengan penelitian ini: II.1 Media Massa Sebagai Arena Sosial Teori ini pertama kali dikemukakan oleh William Gamson dan Andre Modigliani, menyatakan bahwa proses sosial dalam rangka mengkonstruksi suatu realitas berlangsung dalam suatu “arena sosial”. Media massa dianggap sebagai wadah pertarungan dari berbagai kepentingan yang terdapat dalam masyarakat. kepentingan-kepentingan ini berusaha menampilkan defenisi situasi atau realitas versi mereka yang paling sahih (Hidayat 1999:48). Dan di dalam penelitiannya tersebut, Gamson menyimpulan bahwa ada tiga frame yang mampu mempengaruhi gerakan sosial yakni: pertama, aggregate frame, yaitu merupakan proses pendefenisian isu mengenai masalah sosial. Bagaimana individu yang mendengar fraame peristiwa tersebut sadar bahwa isu yang sedang berkembang tersebut adalah yang berpengaruh bagi setiap individu. Kedua, Consensus Frame, yaitu proses pendefenisian yang berkaitan dengan masalah sosial yang hanya bisa diselesaikan secara kolektif. Dan ketiga, Collective Action F, yaitu proses pendefenisian yang berkaitan dengan alasan mengapa dibutuhkan tindakan kolektif serta tindakan kolektif apa yang seharusnya dilakukan. Dan selanjutnya hasil studi tersebut menjadi teori yang memandang bahwa media massa merupakan suatu arena dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam masyarakat (Eriyanto, 2002 :221-222). Dalam memproduksi sebuah isu ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sehingga menjadi suatu proses. Hal tersebut adalah:
Universitas Sumatera Utara
a. Cultural Resonances/ Resonansi Budaya Disini media mengandung nilai-nilai budaya di dalamnya, dimana setiap isu yang terdapat didalamnya terkait dengan nilai budaya yang melekat dalam suatu masyarakat tersebut, seperti halnyapada kaitannya dengan isu tenaga nuklir tersebut bahwa di Amerika sendiri menganggap bawa teknologi mereka yang harus ditempatkan pada skala yang tepat dan adanya ekosistem yang harus tetap terpelihara denganbaik bukan malah menyalahgunakan teknologi yang ada untuk menggali alam atau merusak alam karena dapat mengganggu dan mengancam ketentraman dan kualitas hidup (gamson dan modigliani, 1989 :6). Pada kasus ini media yang didalamnya terdapat berbagai kepentingan tidak terlepas dari dalam kultur media sendiri. Nilai-nilai budaya sudah mendarah daging dalam tubuh media ini sangat mempengaruhi berbagai berita yang akan diturunkan kepada khalayak. Nilai kebudayaan ini bersifat konstan. Hal ini membantu kita untuk menerangkan perubahan dalam surut dan mengalirnya paket (packages) dalam perbincangan media. paket kebudayaan yang diperdebatkan ini melengkapi kerja sponsor dan memperkuat pengaru aktifitas sponsor dan posisi media. Karena setiap individu masing-masing memiliki latar belakang sejarah, interaksi sosial dan kecenderungan psikologis yang berbeda dalam melakukan proses konstrusi makna. Umumnya, pendekatan yang dilakukan terhadap suatu isu adalah membuat suatu bagan pendahuluan, sekalipun hanya bersifat sementara (Gamson dan modigliani, 1987:2)
b. Sponsor Activities/ Kegiatan Sponsor Sponsor adalah mereka yang terlibat dalam suatu isu yang sedang dibicarakan dalam wadah media massa tersebut. di sini berkaitan dengan isu yang sedang terjadi bahwa sponsor itu sendiri berkaitan dengan berbagai kepentingan seoerti dari pihak pemerintah, pengusaha, masyarakat, tokoh masyarakat, LSM, pemilik moidal atau dengan kata lain bisa merupakan individu atau organisasi. Di
Universitas Sumatera Utara
sini sponsor adalah mereka-mereka yang dimintai keterangan oleh media berkaitan dengan isu-isu tertentu. Mengenai sumber berita, shoemaker dan reese (Hidayat, 1999:409) menguraikan beberapa dimensi karakter tyaitu dimensi effectiveness, dimana sumber memiliki efek yang besar terhadap isi media dan karena itu dalam melaporkan reportasenya, reporter harus mencantumkan sumber dari fakta yang diperolehnya. Serta dimensi multi acces yaitu untuk mengetahui objektivitas berita, dimana media melalui repoter/jurnalisnya berhubungan dengan peristiwa dengan pihak-pihak yang dianggap memiliki pengetahuan atas peristiwa yang diliput. Namun, dalam konteks media massa yang berlaku name make news atau pewawancarfa terhadap tokoh penting maka seringkali bahwa proses produksi dan reproduksi struktur sosial lebih banyak didominasi oleh elit sumber. c. Media Practices/ Kegiatan media Berkaitan dengan sumber, maka jurnalis atau wartawan seringkali secara tidak sadar telah memberi ruang pada elit sumber tetapi hal tersebutlah yang nantinya akan membuat suatu keragu-raguan apakah berita tersebut akan benar atau salah. Beberapa pengamat telah menuliskan bahwa betapa cerdik/halusnya dan secara tidak sadarnya proses ini berlangsung (gamson-modigliani, 1989:7). Disini awak media sangat berperan penting dalam kaitannya dengan penyuguhan berita. Mereka lazim menguraikan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri, menjabarkan skemata interpretasinya sendiri, serta mendistribusikan retorika-retorika untuk meneguhkan keberpihakan atau kecenderungan tertentu (Sudibyo, 2001:187). II.2
Konstruksi Realitas Sosial Media Massa Konstruktivisme membantu kita mengerti stuktur konstruksi sebuah
objek. Konstruktivisme bukan membuat kita mengerti akan sebuah realitas secara ontologis, namun hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu.Realitas bagi konstrukstivisme tidak terpisah dari pengamat. Realitas
Universitas Sumatera Utara
yang kita ketahui bukan suatu realitas “di sana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh yang menangkapnya. Menurut Shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing terbentuk pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan
kita
adalah
konstruksi
(bentukan)
kita
sendiri
(Ardianto,2007:154). Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu: 1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19) 2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. Lewat bahasa yang dipakai; media dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya sebagai perusuh. 3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik 4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. 5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.
Universitas Sumatera Utara
6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, adalah bagian
yang
integral
dan
tidak
terpisahkan
dalam
membentuk
dan
mengkonstruksi realitas. 7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009:95) Konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya. Dan konstruksivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann (1990) disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14). Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966. Berger dan Luckman mengatakan: “ institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat obyektif namun pada kenyataannya semua dibangun dalam defenisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki defenisi subyektif sama. Teori konstruksi sosial realitas berpandangan bahwa masyarakat yang memiliki kesamaan budaya akan memiliki pertukaran makna yang berlangsung terus-menerus. Secara umum, setiap hal akan memiliki makna yang sama bagi orang-orang yang memiliki kultur yang sama. Tanda larangan berhenti di jalan, misalnya, memiliki makna yang akan sama bagi setiap orang. Berger dan Luckman menyebut tanda larangan itu memiliki simbol makna objektif karena orang kerap menginterpretasikan secara
Universitas Sumatera Utara
biasa-biasa saja. Namun, ada beberapa hal lain yang merupakan makna subjektif, hal ini disebut tanda. Dalam konstruksi realitas, mobil adalah lambang (simbol) mobilitas, namun mobil dengan merek-merek tertentu, seperti Cadillac atau Mercedes Benz merupakan tanda kemakmuran atau kesuksesan (Morissan, dkk, 2010:135) . Proses dialektika ini, menurut Berger dan Luckmann berlangsung dengan tiga momen simultan yaitu: 1. Eksternalisasi yakni individu melakukan penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. 2. Objektivasi yakni interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, produk sosial berada pada proses institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya
dalam
produk-produk
kegiatan
manusia
baik
bagi
produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama. Hal terpenting pada tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda-tanda sebagai isyarat bagi pemaknaan subjektif. 3. Internalisasi yaitu proses yang mana individu mengidentifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian Berger dan Luckmann tidak memasukan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann telah direvisi dengan menambahkan variabel atau fenomena media
Universitas Sumatera Utara
massa yang sangat substantif dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai konstruksi sosial media massa. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203). Ketika teori ini diterapkan kepada komunikasi massa, teori ini akan membuat asumsi yang serupa dengan interaksionisme simbolik, yaitu asumsi bahwa khalayak adalah aktif. Khalayak tidak secara pasif mengambil dan menyimpan informasi di dalam laci mereka; mereka secara aktif mengolah informasi, mengubahnya, dan menyimpannya hanya yang mereka butuhkan secara kultural. Mereka aktif bahkan ketika aktifitas ini hanya menguatkan apa yang sudah mereka tahu untuk membuat mereka lebih percaya dan bertindak berdasarkan pandangan mengenai dunia sosial yang dikomunikasikan oleh media kepada mereka. Dengan demikian, media dapat bertindak sebagai cara yang penting bagi lembaga sosial untuk menyiarkan kebudayaan kepada kita (Davis, 2010:384). Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum. 2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.
Universitas Sumatera Utara
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak lepas dari konstruksi
realitas
sosial.
Pekerjaan
media
pada
hakikatnya
adalah
mengkonstruksikan realitas. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang dikonstruksikan. Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusuanan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita ( Tuchman, 1980). Berkenaan dengan hal tersebut, media lazim melakukan berbagai tindakan dalam mengkonstruksi realitas di mana hasil akhirnya berpengaruh kuat terhadap pembentukan makna atau citra tentang suatu realitas. Beberapa cara yang dilakukan melalui seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkostruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi
Universitas Sumatera Utara
sosialnya.
Gambar 1: Proses Konstruksi Sosial Media Massa
II.3 Surat Kabar dan Berita Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai dipergunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah media massa ini sangat sering disingkat menjadi media. Keuntungan komunikasi dengan menggunakan media massa adalah bahwa media massa menimbulkan keserempakan artinya suatu pesan dapat diterima oleh komunikan yang jumlah relatif banyak. Jadi untuk menyebarkan informasi, media massa sangat efektif untuk dapat mengubah sikap, pendapat dan prilaku komunikasi. Media massa yang paling pertama ditemukan adalah media cetak, dalam hal ini berupa surat kabar atau majalah, definisi surat kabar tidak bisa lepas dari karakteristiknya, surat kabar (news paper) dibatasi pengertiannya sebagai berikut: “Penerbitan yang berupa lembaran yang berisi berita-berita, karangan-karangan,
Universitas Sumatera Utara
dan iklan yang dicetak dan secara tetap atau periodik dan dijual umum”. (Assegaf, 1983 : 140). Surat kabar memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Publisitas Pengertian publisitas ialah surat kabar diperuntukkan umum artinya surat kabar harus menyangkut kepentingan umum. 2. Universalitas Universalitas sebagai ciri lain surat kabar menunjukkan surat kabar harus memuat aneka berita mengenai kejadian di seluruh dunia dan segala aspek kehidupan manusia. 3. Aktualitas Aktualitas di sini maksudnya adalah kecepatan mengumpulkan laporan mengenai kejadian di masyarakat kepada khalayak. Saat ini aktualitas surat kabar harus dapat mengimbangi aktualitas berita media elektronik. 4. Periodisitas Periodisitas artinya keteraturan terbitnya surat kabar pada waktu yang telah ditentukan baik harian maupun mingguan. Surat kabar memiliki kelebihan khusus bila dibandingkan dengan media cetak lainnya yaitu pesan-pesan yang disampaikan melalui surat kabar bersifat permanen, mudah disimpan serta diambil kembali dan pengaruhnya dapat dikontrol pembaca. Isi pesannya dapat dibaca dimana dan kapan saja, yang berarti tidak terikat pada waktu. Dapat dikemukakan bahwa surat kabar merupakan pola dasar dan juga prototipe semua media massa modern (Tunstall, 1977, hal. 22) dan dapat dipastikan dalam hal apapun bahwa unsur penting dalam surat kabar dan media adalah berita. Produk dari surat kabar terdiri atas tiga bagian besar, yaitu: berita, opini dan iklan. Berita merupakan salah satu bagaian yang paling penting dan paling banyak disajikan di surat kabar ataupun media massa. Berita juga
Universitas Sumatera Utara
merupakan aktivitas inti oleh sebagian besar profesi kewartawanan. Menurut Tuchman (1973-74) berita menyediakan komponen yang menonjolkan atau membedakan sesuatu yang disebut surat kabar dari jenis media lainnya. Assegraf mendefenisikan berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang terkini yang dipilh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena itu luar biasa, entah karena penting atau akibatnya, entah pula karena mencakup segi-sedi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan. Charley and James M. Neal mendefenisikan berita adalah laporan tercepat tentang suatu peritistiwa, opini, kecenderungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru dan harus secepatnya disampaikan kepada masyarakat. Dari defenisi diatas, dapat disimpulkan berita adalah laporan tercepat tentang suatu peristiwa, fakta, atau hal yang baru, menarik dan perlu diketahui masyarakat umum. Tidak semua hal dapat dikatakan berita. Sesuatu dapat dikatakan berita jika terdapat unsur-unsur berita didalamnya. Aktual (baru), kedekatan, penting, akibat, pertentangan/ konflik, seks, ketegangan, kemajuankemajuan, konsekuensi, emosi, humor, dan human interest merupakan beberapa unsur berita. Berita terdiri dari berbagai jenis. Sumadiria dalam bukunya Jurnalistik Indonesia menuliskan beberapa jenis berita, yaitu Straight news yaitu laporan langsung mengenai suatu berita. Depth news yaitu berita yang merupakan pengembangan atau kelanjutan dari adanya sebuah berita yang masih belum selesai pengungkapanya secara mendalam, tajam, lengkap dan aktual. Comprehensive news yaitu laporan tentang fakta yang berisfat menyeluruh ditinjau dari berbagai aspek (kritik terhadap straight news). Interpretative report yaitu lebih dari sekedar straight dan depth news, dan merupakan gabungan antara fakta dan interpretasi. Dalam penulisannya boleh dimasukkan uraian, komentar dan sebagainya yang ada kaitannya dengan peristiwa yang dilihat. Feature story yaitu tulisan khas yang sengaja disajikan untuk menarik perhatian pembaca dengan penulisan yang lebih ringan. Investigative reporting yaitu berita atau
Universitas Sumatera Utara
laporan yang biasanya memusatkan pada masalah yang kontroversi. Dalam hal ini wartawan melakukan penyelidikan untuk memperoleh fakta yang tersembunyi demi mengungkapkan kebenaran. Secara umum, suatu kejadian dipandang memiliki news value apabila mengandung satu atau beberapa unsur seperti Significance (penting), Magnitude (besar), Timeliness (waktu), Proximity (dekat), Prominence (tenar), Human interest (manusiawi). Berita yang dimuat dalam surat kabar sendiri memiliki unsur layak berita (Kusumaningrat, 2007:48) sebagai berikut: a. Akurat Dalam sebuah berita fakta yang disajikan dalam berita harus persis seperti adanya, tidak dilebih-lebihkan ataupun dikurangi. Dengan kata lain sebuah berita haruslah memiliki tingkat akurasi yang tinggi, sehingga dapat dipercaya oleh khalayak. b. Lengkap, Adil dan Berimbang Lengkap, adil dan berimbang yang dimaksud adalah bahwa seorang wartawan harus melaporkan apa yang sesungguhnya yang terjadi. Unsur lengkap, adil dan berimbang menempatkan wartwan selaku wakil dari pembaca dimana berita haruslah tidak boleh memihak kepada apapun atau siapapun. Keseimbangan dimungkinkan dengan mengakomodir kedua golongan (misalnya dalam penulisan berita tentang konflik). Hal demikian dalam jurnalistik disebut dengan “Both Side Covered”. c. Objektif Unsur objektif adalah berita yang dibuat itu selaras dengan kenyataan, tidak berat sebelah, bebas dari prasangka. Dalam pengertian objektif ini, termasuk pula keharusan wartawan menulis dalam konteks peristiwa secara keseluruhan, tidak dipotong-potong oleh kecenderungan subjektif.
Universitas Sumatera Utara
d. Ringkas dan Jelas Penulisan berita yang efektif adalah penulisan yang ringkas dan jelas, yang mudah dicerna dan dimengerti secara sederhana. Penulisan berita haruslah ringkas, terarah, tepat, menggugah. Inilah kandungan-kandungan kualitas yang harus dikejar oleh setiap penulis. Faktor kejelasan bisa diukur apakah khalayak mengerti isi dan maksud berita yang disampaikan, bukan jelas dalam konteks teknis, namun lebih condong pada faktor topik, alur pemikiran, kejelasan kalimat, kemudian pemahaman bahasa dan pernyaratan penulisan lainnya. e. Hangat Syarat umumnya sebuah berita haruslah hangat, merupakan hal yang baru, merupakan hal yang terkini, hal yang tidak basi, ataupun hal yang baru-baru saja terjadi. Munculnya berita dalam sebuah media bukanlah hal tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa kemudian suatu media menampilkan suatu berita pada medianya (Sudibyo,2001) yaitu: a.
Faktor Individual, Dalam hal ini berkaitan dengan latar belakang professional dari pengelola
media yang kemudian mempengaruhi isi berita yang ditampilkan. Misalnya jenis kelamin, agama, umur, latar belakang pendidikan bahkan juga orientasi pada partai politik. b. Rutinitas Media (Media Routine). Hal ini berhubungan dengan ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, ciri-ciri berita yang baik dan layak untuk dimuat yang dimiliki oleh setiap media. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsing setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya, dan pada akhirnya mempengaruhi wuhud akhir dari sebuah berita.
Universitas Sumatera Utara
c. Level Organisasi. Hal ini berhubungan dengan struktur organisasi media yang bersangkutan yang dapat mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukanlah orang tunggal yang ada di dalam struktur organisasi media, selain itu terdapat juga iklan, pemasaran, sirkulasi dan lainnya yang juga memiliki kepentingan sendiri-sendiri dan berpengaruh terhadap terbentuknya sebuah berita. d. Level Ekstramedia. Hal ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Walaupun berada di luar organisasi media namun sedikit banyak sangat mempengaruhi isi berita. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain adalah seperti sumber berita, sumber penghasilan media, pemerintah dan lingkungan bisnis, dan juga pada tingkatan level ideologi. II. 4 Analisis Framing Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis, yang diperkenalkan sosiolog intepretatif, Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya (Zamroni, 2009:94). Ide tentang framing, pertama kali dilontarkan oleh Baterson tahun 1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974) yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca realitas. Erving
Goffman
membangun
analisis
frame untuk
memberikan
pemahaman sistematis mengenai bagaiman kita menggunakan pengharapan untuk memaknai situasi sehari-hari dan orang-orang yang di dalamnya. Meskipun setuju dengan argumen konstruksionis sosial mengenai perlambangan, Goffman menganggap bahwa hal tersebut terlalu sederhana. Ia berpendapat bahwa kita
Universitas Sumatera Utara
secara terus-menerus dan sering kali radikal mengubah cara kita mendefenisikan atau melambangkan situasi, tindakan, dan orang lain ketika kita bergerak melalui ruang dan waktu (Davis, 2010:392). Peneliti yang paling konsisten mendiskusikan konsep framing adalah W.A Gamson. Gamson terkenal dengan pendekatan konstruksionisnya yang melihat proses framing sebagai proses kontruksi sosial untuk memaknai realitas. Proses ini bukan hanya terjadi dalam wacana media, tetapi juga dalam struktur kognisi individu. Dalam konteks inilah Gamson melihat adanya hubungan antara wacana media dan opini publik yang terbentuk di masyarakat. Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah realiatas dikemas dan disajikan dalam presentasi media. Oleh karena itu frame sering diidentifikasikan sebagai cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna spesifik tentang objek wacana. Framing secara umum dirumuskan sebagai proses penyeleksian dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas yang tergambar dalam teks komunikasi dengan tujuan agar aspek itu menjadi noticeabel, meaningfull, dan memorable bagi khalayak. Framing juga dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga elemen isu tertentu mendapat alokasi besar dalam kognisi individu, sehingga lebih besar pula mempengaruhi pertimbangan individu. Analisis framing mempunyai asumsi bahwa wacana media massa mempunyai peran yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting dan signifikan bagi publik dari bermacam-macam isu dan persoalan yang hadir. Media massa dilihat sebagai media diskusi antara pihak-pihak dengan ideologi dan kepentingan yang berbeda. Mereka berusaha untuk menonjolkan kerangka pemikiran, perspektif, konsep, dan klaim interpretatif masing-masing dalam rangka memaknai objek wacana. Perdebatan yang terjadi didalamnya dilakukan dengan cara-cara yang simbolik, sehingga lazim ditemukan bermacam-macam perangkat linguistik atau perangkat wacana yang umumnya menyiratkan tendensi untuk melegitimasi diri sendiri dan mendelegitimasi pihak lawan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta kedalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perpektifnya. Dengan kata lain framing adalah pendekatan pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perpektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan serta hendak dibawa kemana berita tersebut ( Nugroho, Eryanto, Surdiasis, 1999:21). Rumusan tentang perangkat framing juga diberikan oleh McCauley dan Frederick (dinyatakan pula oleh William A. Gamson dan Andre Modigliani). Rumusan ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media; berita dan artikel, terdiri atas package interpretatif yang mengandung konstruksi makna tertentu. Studi awal Gamson mengenai framing pertama kali juga berkaitan dengan studi mengenai gerakan sosial. Menurut Gamson, keberhasilan dari gerakan sosial terletak bagaimana peristiwa dibingkai sehingga menimbulkan tindakan kolektif. Untuk menunculkan tindakan kolektif tersebut dibutuhkan penafsiran dan pemaknaan simbol yang bisa diterima secara kolektif. Dalam pandangan gamson, seseorang berfikir dan mengkomunikasikannya melalui citra dan diterima sebagai kenyataan. Makna di sini bukan sesuatu yang tetap dan pasti, melainkan secara terus menerus dinegosiasikan. Citra dan simbol itulah yang bisa membangkitkan perasaan bersama khalayak. Gagasan Gamson dan Andre Modigliani menyatakan sebuah frame mempunyai struktur internal. Pada titik ini ada sebuah pusat organisasi atau ide, yang membuat peristiwa menjadi relevan dan menekankan sebuah isu. Sebuah frame pada umumnya menunjukkan dan menggambarkan range posisi, bukan hanya satu posisi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif tersebut pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak kemana berita tersebut dibawa, Gamson Modigliani menyebut cara pandang tersebut sebagai kemasan (package) (Eriyanto, 2005 :223-224). Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan politis tersendiri. Di dalam package ini terdapat dua struktur, yaitu core frame dan condensing
symbols.
Struktur
pertama
merupakan
pusat
organisasi
elemen-elemen ide yang membantu komunikator untuk menunjukkan substansi isu yang sedang dibicarakan. Sedangkan struktur yang kedua mengandung dua sub-struktur, yaitu framing devices dan reasoning devices. Seperti dijelaskan Gamson, framing devices terdiri atas: methapor, exemplars, catchphrase, depiction, dan visual image. Sedangkan reasoning devices terdiri atas: root (analisis kausal), consequencies (efek-efek spesifik), dan appeals to principle (klaim-klaim moral).
Universitas Sumatera Utara