BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Undang-Undang KUP No. 16 Tahun 2009 Pasal 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar - besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang - undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2013:1). Dari beberapa defisnisi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur pokok, yaitu : a.
Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
b.
Berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan). Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang - undang serta aturan pelaksanaannya.
5
c.
Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditujukkan. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan kontraprestasi individual oleh pemerintah.
d.
Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran - pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2 Fungsi Pajak Ada dua fungsi pajak (Mardiasmo, 2013:2), yaitu : 1. Fungsi Budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran - pengeluarannya. 2. Fungsi Mengatur (Regulered) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
2.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemugutan pajak dapat dibagi menjadi 3 (Mardiasmo, 2013:7), yaitu : a.
Official Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya adalah : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
6
2) Wajib Pajak bersifat pasif. 3) Utang Pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b. Self Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Ciri-cirinya adalah: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri. 2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c.
With Holding System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya adalah wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
2.1.4
Pajak Penghasilan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 januari 1984. Undang-Undang ini telah beberapa
7
kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan UndangUndang No. 36 Tahun 2008. Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang - Undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai dan berakhir dalam tahun pajak (Mardiasmo, 2013:155).
2.1.5
Subjek Pajak Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atau penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Yang menjadi Subjek Pajak adalah (Mardiasmo, 2013:156) : 1.
a. Orang Pribadi. b. Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak.
2.
Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.
8
3.
Bentuk Usaha Tetap (BUT).
2.1.6 Objek Pajak Penghasilan Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1) yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk : a. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. c.
Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk yang telah ditetapkan dalam undang - undang. e.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
f.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
9
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak. i.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. l.
Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. n. Premi asuransi. o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah. r.
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
s.
2.1.7
Surplus bank Indonesia.
Yang Tidak Termasuk Objek Pajak Berdasarkan Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 yang dikecualikan dari objek pajak adalah :
10
1.
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. b. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak - pihak yang bersangkutan.
2.
Warisan
3.
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
4.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit).
11
5.
Pembayaran
dari
perusahaan
asuransi
kepada
orang
pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. 6.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh Perseroan Terbatas (PT) sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang.
7.
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam bidang - bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
9.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura, berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
12
a.
Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
b.
Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.1.8 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2013 mengatur tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Objek pajak dari PP 46 tahun 2013 adalah :
13
1. Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4,8 Milyar dalam 1 tahun. 2. Tidak termasuk penghasilan dari usaha jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. 3. Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang. Subjek pajak PP 46 tahun 2013 adalah orang pribadi dan badan, tidak termasuk BUT. Pengecualian subjek pajaknya adalah : 1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana dan prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik menetap maupun tidak menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, misalnya pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan sejenisnya. 2. Wajib pajak badan yang belum beroperasi secara komersial atau yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp. 4,8 Milyar. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4,8 Milyar dalam 1 tahun dikenai PPh final dengan tarif 1% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari setiap tempat usaha, yaitu dengan cara : PPh Terutang = 1% x Peredaran Bruto Setiap Bulan Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013
14
Pada dasarnya, usaha yang dikenakan PP 46 Tahun 2013 adalah jika sumber penghasilannya berasal dari usaha yang bukan merupakan usaha yang bersifat final (seperti usaha konstruksi atau usaha lainnya yang bersifat final) dan peredaran brutonya tidak melebihi Rp. 4,8 Milyar. Jika peredaran brutonya melebihi Rp. 4,8 Milyar, maka untuk menghitung PPh terutangnya menggunakan skema biasa. Patokan untuk peredaran brutonya apakah dikenakan PP 46 atau tidak, dilihat dari tahun sebelumnya. Jika sumber penghasilannya berasal dari usaha yang bersifat final atau dari pekerjaan bebas, maka tidak dikenakan PP 46.
2.1.9 Koreksi Fiskal Koreksi fiskal adalah koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajak sebelum menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam menghitung penghasilan kena pajak). Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan maupun biaya antara akuntansi (komersial) dengan pajak (fiskal). Menurut Sukrisno Agoes dan Estralita Trisnawati (2013:238), perbedaan-perbedaan
antara
akuntansi
dan
fiskal
tersebut
dapat
dikelompokkan menjadi beda tetap/permanen (permanent differences) dan beda waktu/sementara (timing differences). a. Beda Tetap/Permanen Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan beban menurut akuntansi dengan fiskal, ataupun
15
sebaliknya. Beda tetap mengakibatkan laba atau rugi menurut akuntansi (laba sebelum pajak/pre tax income) yang berbeda secara tetap dengan laba atau rugi menurut fiskal PhKP (taxable income). Beda tetap biasanya terjadi karena peraturan perpajakan mengharuskan hal – hal berikut dikeluarkan dari perhitungan PhKP. 1. Penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final (Pasal 4 ayat (2) UU PPh). 2. Penghasilan yang bukan objek pajak (Pasal 4 ayat (3) UU PPh). 3. Pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan usaha, yaitu mendapatkan,
menagih,
dan
memelihara
penghasilan
serta
pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran (Pasal 9 ayat (1) UU PPh). 4. Beban yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan objek pajak dan penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final. 5. Penggantian sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura. 6. Sanksi perpajakan.
b. Beda Waktu/Sementara Sesuai namanya, beda waktu merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya, secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi tetap berbeda alokasi setiap tahunnya.
16
Beda waktu biasanya timbul karena perbedaan metode yang dipakai antara fiskal dengan akuntansi dalam hal : 1. Akrual dan realisasi 2. Penyusutan dan amortisasi 3. Penilaian persediaan 4. Kompensasi kerugian fiskal
2.1.10 Koreksi Positif dan Negatif Dari Rekonsiliasi Fiskal Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh WP yang pembukuannya menggunakan
pendekatan
akuntansi
komersial,
yang
bertujuan
mempermudah mengisi SPT Tahunan PPh dan menyusun laporan keuangan fiskal yang harus dilampirkan pada saat menyampaikan SPT Tahunan PPh. Koreksi fiskal dapat berupa koreksi positif dan negatif (Sukrisno Agoes dan Estralita Trisnawati, 2013:239). Koreksi positif terjadi apabila laba menurut fiskal bertambah. Koreksi positif biasanya dilakukan akibat adanya sebagai berikut. 1. Beban yang tidak diakui oleh pajak/non-deductible expense (Pasal 9 ayat (1) UU PPh). 2. Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan fiskal. 3. Amortisasi komersial lebih besar dari amortisasi fiskal. 4. Penyesuaian fiskal positif lainnya.
Koreksi negatif terjadi apabila laba menurut fiskal berkurang. Koreksi negatif biasanya dilakukan akibat adanya hal – hal berikut.
17
1. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak (Pasal 4 ayat (3) UU PPh). 2. Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final (Pasal 4 ayat (2) UU PPh). 3. Penyusutan komersial lebih kecil daripada penyusutan fiskal. 4. Amortisasi komersial lebih kecil daripada amortisasi fiskal. 5. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya. 6. Penyesuaian fiskal negatif lainnya.
2.1.11 Beban Yang Boleh Dikurangkan Menurut Sukrisno Agoes dan Estralita Trisnawati (2013:225) dalam akuntansi komersial, semua biaya termasuk kerugian (losses) dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan neto (net income). Untuk tujuan perpajakan, tidak semua biaya dapat dikurangkan. Selama suatu biaya dapat dibuktikan/dikeluarkan dalam usaha memperoleh penghasilan, ketentuan perpajakan mengakuinya sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (1) UU PPh No. 36 Tahun 2008, beban yang dapat dikurangkan (deductible expenses) adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk berikut ini : 1.
Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain : a. Biaya pembelian bahan
18
b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang c. Bunga, sewa, dan royalti d. Biaya perjalanan e. Biaya pengolahan limbah f. Premi asuransi g. Biaya promosi penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan h. Biaya administrasi i. Pajak kecuali Pajak Penghasilan Semua biaya tersebut harus valid, reliable, dan wajar. Dengan demikian, semua pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain PPh, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Meterai (BM), dapat dibebankan sebagai biaya. 2.
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, sepanjang harta yang disusutkan/diamortisasi tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
3.
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
19
4.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
5.
Kerugian selisih kurs mata uang asing.
6.
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
7.
Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan. Biaya tersebut dikeluarkan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan berdasarkan Peratuan Menteri Keuangan.
8.
Piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : a.
Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial
b.
WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Dirjen Pajak
c.
Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu
d.
Syarat pada huruf c tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil.
20
Pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 9.
Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.1.12 Beban Yang Tidak Boleh Dikurangkan Berbeda dengan akuntansi komersial, untuk tujuan penghitungan PhKP tidak semua biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Pasal 9 ayat (1) UU PPh No. 36 Tahun 2008 menyebutkan jenis – jenis biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebagai berikut (Sukrisno Agoes dan Estralita Trisnawati, 2013:230) : 1.
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden, termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
21
2.
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
3.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
4.
Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh WP orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi WP yang bersangkutan (wajib dipotong PPh 21).
5.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
6.
Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
7.
Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh, kecuali sumbangan dalam pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah berdasrkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
8.
Pajak penghasilan.
22
9.
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau orang yang menjadi tanggungannya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komaditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. 11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang – undangan dalam bidang perpajakan.
2.1.13 Pajak Penghasilan Pasal 25 Ketentuan pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan : 1. Wajib Pajak membayar sendiri (PPh Pasal 25). 2. Melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh pasal 21, 22, 23, dan 24). Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan : a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23, serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
23
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak (Mardiasmo, 2013:269). Cara perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Badan Setelah menentukan PPh terhutang yang besarnya adalah XXX, maka langkah selanjutnya : PPh Terhutang
XXX
Pot/put pihak ke-3 atau pihak lain (jika ada) : -
PPh Pasal 22
= XXX
-
PPh Pasal 23
= XXX
-
PPh Pasal 24
= XXX
Total
(XXX)
Dasar Perhitungan PPh Pasal 25
XXX
Besarnya PPh Pasal 25 per bulan (angsuran untuk tahun berikutnya) adalah Dasar Perhitungan PPh Pasal 25 12
24
=
XXX