BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 1.1
Perpajakan Definisi Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi di atas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1. Pengertian pajak menurut Adriani (2005), pajak adalah iuran masyarakat pada negara (yang sifatnya dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas-tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah. Sedangkan Soemitro dalam Mardiasmo (2009) mengatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintahan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Selain itu menurut Djajadiningrat (2009) dalam mardiasmo (2009), Pajak sebagai suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian kekayaan negara karena suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu
8
9
tetapi bukan sebagai hukuman menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan umum. Pajak memiliki peran penting di dalam suatu negara. Pajak merupakan salah satu pendapatan nasional yang paling besar. Tanpa adanya pajak kehidupan negara tidak akan berjalan dengan baik. Penerimaan pajak digunakan untuk pembangunan infrastruktur, biaya pendidikan, biaya kesehatan, subsidi, pembayaran gaji PNS dan pembangunan fasilitas publik lainnya. 1.1.1 Dasar Hukum Perpajakan Hukum pajak dibedakan menjadi 2, yaitu hukum pajak material dan hukum pajak formal. Hukum pajak material memuat tentang pertanyaan apa objek pajaknya, siapa subjeknya, dan berapa jumlah pajak terhutangnya. Contoh hukum pajak material secara rinci adalah : 1.
UU PPh (Pajak Penghasilan).
2.
UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
3.
UU No. 18 tahun 2000 tentag Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM).
4.
UU No. 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB).
5.
UU No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai.
6.
UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.
7.
UU No. 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
8.
UU PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
10
Hukum pajak formal berisi tentang ketentuan-ketentuan dalam hukum pajak material. Dalam hukum pajak formal, memuat mengenai bagaimana mewujudkan hukum pajak material. Contohnya terdapat pada UU KUP (Ketentuan Umum Perpajakan). Dasar-dasar hukum pajak formal antara lain: 1.
UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Dan Tatacara Perpajakan (UU KUP).
2.
UU No. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP).
3.
UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
2.1.2 Fungsi Pajak Fungsi dan tujuan pajak haruslah selaras dengan tujuan negara. Pajak memiliki 2 macam fungsi menurut Mardiasmo (2011:1) yaitu fungsi anggaran dan fungsi mengatur : 1.
Fungsi Anggaran (Budgetary) Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya. Biaya tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan oprasional pemerintahan serta pembangunan dan pemberian fasilitas kepada masyarakat. 2.
Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak juga dapat dijadikan alat ukur atau pelaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contohnya seperti pengenaan pajak terhadap barang-barang impor yang masuk ke dalam negeri, hal ini bertujuan
11
mengurangi sifat konsumtif masyarakat terhadap barang-barang impor serta agar masyarakat lebih memilih menggunakan produk dalam negeri. 2.1.3 Asas Pemungutan Pajak Ada berbagai macam pendapat mengenai asas pemungutan pajak. Menurut Mardiasmo (2009;7) asas pemungutan pajak antara lain : 1.
Asas domisili atau Asas kependudukan Berdasarkan asas ini pajak akan dikenakan kepada wajib pajak orang
pribadi maupun badan atas penghasilan yang diterima di negara dimana wajib pajak tersebut berkedudukan atau berdomisili. Dalam asas ini, tidak di persoalkan berasal dari mana penghasilan wajib pajak tersebut. 2.
Asas sumber Negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan berdasarkan sumber
penghasilan tersebut diperoleh dari sumber-sumber yang berada di negara tersebut. Dalam asas ini, kependudukan wajib pajak orang pribadi atau badan tidak berpengaruh. Seperti halnya pekerja asing yang bekerja di Indonesia, penghasilannya akan di kenai pajak oleh pemerintah Indonesia. 3.
Asas kebangsaan atau Asas kewarganegaraan Pajak akan dikenakan berdasarkan kewarganegaraan wajib pajak orang
pribadi atau badan tersebut memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, berasal dari mana penghasilan tersebut tidak di permasalahkan. Sedangkan pendapat Adam Smith dengan ajaran terkenal “The Four Maxims” mengatakan asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
12
1.
Asas Equality (Asas Keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan) Asas ini menjelaskan bahwa pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara
harus sesuai dengan penghasilan wajib pajak. Wajib pajak tidak boleh merasa terbebani dengan pemungutan pajak tersebut. 2.
Asas Certainty (Asas kepastian hukum) Semua pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang yang berlaku
di negara tersebut. Bagi yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukum. 3.
Asas Convinience of Payment (Asas pemungutan pajak tepat waktu) Pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak, seperti disaat
wajib pajak baru menerima penghasilannya. Dengan begitu wajib pajak dapat menyisihkan penghasilannya dan langsung memenuhi kewajibannya guna membayar pajak. 4.
Asas Effeciency (Asas ekonomis) Biaya pemungutan haruslah sehemat mungkin. Biaya pemungutan tidak
boleh lebih besar daripada jumlah pajak yang terhutang. 1.2
Subyek Pajak dan Wajib Pajak
1.2.1 Pengertian Subyek Pajak Menurut Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1983, sebagaimana telah dirubah dan disempurnakan terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 Pajak Penghasilan, ”Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak”.
13
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) nya dijelaskan, bahwa yang menjadi subjek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah : a.
Orang Pribadi (Perseorangan).
b.
Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan.
c.
Badan.
d.
Bentuk Usaha Tetap (BUT). Subyek pajak dalam negeri meliputi orang pribadi (individu) maupun badan.
Pengertian subyek pajak orang pribadi adalah seseorang yang bertimpat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia selama 183 hari dalam kurun waktu 12 bulan. Warisan juga subyek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak dikemudian hari, ini menjadi dasar agar pengenaan pajak dari warisan tersebut tetap terjamin. 2.2.2 Pengertian Wajib Pajak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah berubah beberapa kali terahir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Pasal 1 angka 2 yang membahas tentang pengertian Wajib Pajak: “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan kententuan peraturan perundang-undangan perpajakan” Terdapat beberapa ciri-ciri wajib pajak sesuai dengan definisi di atas sebagai berikut :
14
1.
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Yang dimaksud wajib pajak orang pribadi disini adalah seorang individu.
Contohnya dokter, pengacara, Pengusaha, TNI, POLRI, PNS, dan lain sebagainya sesuai peraturan perundang-undangan. Wajib pajak orang pribadi terdiri dari 5 katagori, yaitu : a.
Orang Pribadi (Induk). Yaitu terdiri dari Wajib Pajak belum menikah, dan suami sebagai kepala
keluarga. b.
Hidup Berpisah (HB) Yaitu wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup
berpisah berdasarkan putusan hakim (cerai). c.
Pisah Harta (PH) Yaitu suami-istri yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki
secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis. d.
Memilih Terpisah (MT) Yaitu wanita kawin, selain katagori hidup berpisah dan pisah harta, yang
dikenai pajak secara terpisah karena memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya. e.
Warisan Belum Terbagi (WTB) Sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan
mereka yang berhak, yaitu ahli waris.
15
2.
Wajib Pajak Badan (WP Badan) Sesuai dengan Undang-Undang KUP yang terbaru Pasal 1 angka 3, Badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas. Wajib Pajak Badan terdiri atas 5 katagori, yaitu : a.
Badan Sesuai dengan definisi yang telah dijelaskan di atas.
b.
Joint Operation (JO) Yaitu bentuk kerja sama operasi yang melakukan penyerahan Barang kena
pajak dan/ataujasa kena pajak atas nama bentuk kerja sama operasi. Biasanya JO ini berupa perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaian suatu proyek, penggabungan ini sifatnya sementara sampai proyek tersebut selesai. c.
Kantor Perwakilan Perusahaan Asing Yaitu Wajib Pajak perwakilan dagang asing atau kantor perwakilan
perusahaan asing di Indonesia yang bukan bentuk usaha tetap. d.
Bendahara Bendahara pemerintah berkewajiban membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, serta melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan jasa, serta pembayaran lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
16
e.
Penyelenggara Kegiatan Selain wajib pajak sebagaimana yang telah dimaksudan pada 1,2,3, dan 4
yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan dan diwajibkan melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. f.
Kewajiban Wajib Pajak Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk mendapatkan NPWP, wajib pajak mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi kedudukan wajib pajak dengan mengisi formulir pendaftarkan dan melampirkan persyaratan administrasi lainnya. Wajib pajak dapat disebut sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan akan mendapatkan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP). Setelah itu wajib pajak dapat melakukan sendiri perhitungan pembayaran pajaknya serta pelaporan pajak yang terhutang berupa Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai dengan sistem self assessment. 1.3
Kepatuhan Wajib Pajak
1.3.1 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak Menurut Norman D. Nowak dalam Zain (2004), Kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, yang tercermin dalam situasi di mana: 1.
Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
17
2.
Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
3.
Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
4.
Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Sedangkan pengertian Kepatuhan Wajib Pajak menurut Zain (2004)
menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak adalah suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, yang tercemin dalam situasi dimana wajib pajak paham dan berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar dan membayar pajak yang terhutang tepat pada waktunya. Kepatuhan wajib pajak merupakan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak (Wajib Pajak) dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan negara yang diharapkan di dalam pemenuhannya diberikan secara sukarela (voluntary compliance). Kepatuhan wajib pajak menjadi aspek penting mengingat sistem perpajakan Indonesia menganut sistem Self Asessment. Menurut Mardiasmo (2002) Self Assessment System adalah sistem yang proses pemungutan pajaknya memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan surat pemberitahuan (SPT) secara benar, jujur, lengkap dan tepat pada waktunya. Kepatuhan wajib pajak terdapat 2 macam yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
perpajakan.
Contohnya
mengenai
batas
akhir
masa
18
penyampaiansurat pemberitahuan (SPT). Apabila wajib pajak telah melaporkan surat pemberitahuan penghasilan (SPT PPh) Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal. Sedangkan kepatuhan material adalah keadaan wajib pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan,yakni sesuai isi dan jiwa undang-undangan perpajakan. Kepatuhan material contohnya jika wajib pajak mengisi SPT dengan jujur, benar, dan lengkap sesuai dengan ketentuan dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu berakhir. 1.3.2 Macam-Macam Kepatuhan Pajak Menurut Rahayu (2010) macam-macam kepatuhan pajak adalah: 1.
Kepatuhan Formal Yaitu suatu kejadian dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara
formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. 2.
Kepatuhan Material Yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi substantive atau
hakekatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai dengan isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan Material dapat juga meliputi kepatuhan formal. 2.3.3 Kriteria Wajib Pajak Patuh Sesuai pasal 17 C KUP Jis KMK Nomor 544/KMK.04/2000 Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan beberapa kriteria Wajib Pajak Patuh. Wajib Pajak Patuh adalah wajib pajak yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat diberikan
19
pengembalian pendahuluan atas kelebihan pembayaran pajak. Kriteria Wajib Pajak Patuh antara lain sebagai berikut: a.
Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak baik Pajak
Tahunan maupun Pajak Masa. b.
Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah
memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Mengacu pada ketentuan yang mengatur tentang angsuran dan penundaan pembayaran pajak, tidak semua jenis pajak yang terutang dapat diangsur. Pajak yang dapat diangsur pembayarannya adalah: pajak yang masih harus diabayar dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar tambah. Tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan SPT yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak berakhir. c.
Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindakan pidana dibidang
perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir yang mengakibatkan kerugian Negara. d.
Apabila dilakukan pemeriksaan pajak, koreksi fiscal yang dilakukan oleh
pemeriksa pajak untuk setiap jenis pajak yang terutang tidak lebih dari 10% (sepuluh persen) dilihat dari penghasilan bruto (PKP). Kepatuhan pajak badan adalah kepatuhan tax professional dalam memenuhi kewajiban perpajakan perusahaan. Penelitian Brown dan Mazur (2003) dalam Mustikasari (2007) mengukur kepatuhan pajak dengan 3 pengukuran yaitu :
20
a.
Kepatuhan penyerahan SPT (filing compliance) Kepatuhan dalam penyerahan SPT didasarkan atas ketepatan dalam
pembayaran tidak melebihi dari ketentuan yang sudah ditentukan kantor pajak. b.
Kepatuhan pembayaran (payment compliance) Kepatuhan dalam pembayaran didasarkan atas ketepatan dalam nilai dan
besaran yang harus dibayar dan waktu pembayaran. c.
Kepatuhan pelaporan (reporting compliance) Kepatuhan dalam pelaporan didasarkan atas ketepatan dalam waktu
pelaporan nilai pajak yang harus dibayarkan ke kantor pajak. 2.3.4 Indikator Kepatuhan Wajib Pajak Indikator kepatuhan wajib pajak menurut Sri dan Ita (2009) adalah sebagai berikut : 1.
Kepatuhan untuk mendaftarkan diri. Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib
mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya terdiri dari tempat tinggal dan tempat kegiatan usaha Wajib Pajak untuk kemudian mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). NPWP digunakan sebagai identitas bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. 2.
Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terhutang. Pajak yang telah dihitung kemudian disetorkan ke kas negara melalui bank
atau kantor pos dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SPP). 3.
Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan pajak
21
Tunggakan pajak merupakan pajak terhutang yang belum dilunasi oleh Wajib Pajak setelah jatuh tempo tanggal pengenaan denda. 4.
Kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengisi dan menyampaikan SPT kepada
KPP dengan batas waktu penyampain untuk SPT Masa paling lambat 20 hari setelah akhir masa pajak, sedangkan untuk SPT tahunan paling lambat 3 bulan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan 4 bulan untuk Wajib Pajak Badan setelah akhir tahun pajak. Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi apabila terlambat atau tidak menyampaikan SPT sampai tanggal jatuh tempo. Sedangkan indikator kepatuhan wajib pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, antara lain dapat dilihat dari : 1.
Aspek ketepatan waktu Dalam hal ini indikator kepatuhan adalah persentase pelaporan SPT yang
disampaiakan tepat waktu sesuai ketentuan yang berlaku. 2.
Aspek income atau penghasilan Wajib Pajak Indikator kepatuhannya adalah kesediaan wajib pajak untuk membayar
kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) sesuai ketentuan yang berlaku. 3.
Aspek law enforcement (pengenaan sanksi) Indikator kepatuhannya adalah pembayaran pajak terhutang yang diterapkan
berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebelum masa jatuh tempo. 4.
Dalam perkembangannya indikator kepatuhan ini dpat juga dilihat dari
aspek lainnya, misalnya aspek pembayaran dan aspek kewajiban pembukuan.
22
Pendapat yang lain di kemukakan olehRahayu (2009:138). Indikator kepatuhan adalah sebagai berikut : 1.
Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. 2.
Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
3.
Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
4.
Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
2.4
Surat Pemberitahuan (SPT) Menurut UU Nomor 16 Tahun 2000, Surat Pemberitahuan (SPT) adalah
surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pasal 3 UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 menegaskan bahwa setiap WP wajib mengisi surat pemberitahuan dengan benar, lengap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaian ke kantor DJP tempat WP terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh DJP. 2.4.1 Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) Berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 pasal 1 angka 12 dan 13 Surat Pemberitahuan dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : 1.
Surat Pemberitahuan Masa Yaitu surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak. Surat Pemberitahuan
Masa terdiri dari :
23
a.
SPT Masa PPh Pasal 21 dan Pasal 26
b.
SPT Masa PPh Pasal 22
c.
SPT Masa PPh Pasal 23
d.
SPT Masa PPh Pasal 25
e.
SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)
f.
SPT Masa PPh Pasal 15
g.
SPT Masa PPN
h.
SPT Masa PPN bagi pemungut
i.
SPT Masa PPN bagi pengusaha kena pajak
j.
SPT Masa PPnBM
2.
Surat Pemberitahuan Tahunan Yaitu surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
Surat Pemberitahuan untuk suatu tahun pajak terdiri atas : a.
Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Wajib Pajak Badan.
b.
Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Wajib Pajak Badan yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat.
c.
Surat Pemberitahuan Tahunan PPh WPOP Jika surat pemberitahuan tidak dilaporkan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi dalam bentuk denda. 2.4.2 Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) Terdapat beberapa fungsi dari Surat Pemberitahuan yaitu:
24
a.
Bagi Wajib Pajak PPh Surat Pemberitahuan merupakan salah satu alat untuk melaporkan dan mempertanggung
jawabkan
perhitungan
pajak
terutang
dan
guna
melaporkan tentang: 1.
Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak.
2.
Melaporkan penghasilan yang meruakan objek pajak dan atau bukan objek pajak.
3.
Melaporkan mengenai kepemilikan harta dan kewajiban.
4.
Melaporkan pembayaran dari pemotongan atau pemungut terhadap wajib pajak pribadi atau badan dari suatu masa pajak.
b.
Bagi Pengusaha Kena Pajak Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana untuk melaporkan dan
mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: 1.
Melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.
2.
Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundanganan perpajakan.
25
3. Bagi Pemungut/Pemotong Pajak Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan alat/sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan pajak yang dipungut dan disetorkan. 2.4.3 Tempat Pengambilan Surat Pemberitahuan (SPT) Surat Pemberitahuan (SPT) dapat diperoleh Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Peyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), Kantor Wilayah DJP, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak (DJP), atau dapat di unduh via online di laman http://www.pajak.go.id 2.4.4 Ketentuan Penyampaian SPT 1.
Penyampaian SPT oleh WP dapat dilakukan: a.
Secara langsung ke KPP/KP2KP atau tempat lain yang ditentukan (Drop Box, Pojok Pajak, Mobil Pajak Keliling).
b.
Melalui pos dengan pengiriman surat.
c.
Cara lain yaitu melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat atau e-Filing melalui penyedia jasa aplikasi atau ASP (Application Service Provider).
d. Untuk SPT PPh Wajib Pajak Orang Pribadi dengan menggunakan formulir 1770S atau 1770SS, dapat menggunakan aplikasi pada situs DJP (www.pajak.go.id) berupa aplikasi e-Filing (efiling.pajak.go.id). 2.
Bukti penerimaan SPT untuk yang disampaikan : a.
Secara langsung adalah tanda penerimaan surat.
b.
e-Filing melalui ASP atau situs DJP adalah bukti penerimaan elektronik.
26
c.
Pos dengan bukti pengiriman surat adalah bukti pengiriman surat.
d.
Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan adalah tanda penerimaan surat.
2.4.5 Batas Waktu Pembayaran dan Pelaporan SPT Masa dan Tahunan Batas waktu penyetoran dan pelaporan SPT Masa dan SPT Tahunan adalah sebagai berikut :
27
Tabel 1 Batas Waktu Pembayaran dan Pelaporan SPT Batas waktu Jenis Pajak
Penyetoran/ Pembayaran
Pelaporan
PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan
Tanggal 10 bulan berikutnya
Tanggal 20 bulan berikutnya
PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
Tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
Tanggal 20 bulan berikutnya
PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh
Tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
Tanggal 20 bulan berikutnya
PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri
Tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
Tanggal 20 bulan berikutnya
28
PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
tanggal 20 bulan berikutnya
PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh
Tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
Tanggal 20 bulan berikutnya
PPh Pasal 25 Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan termasuk PPh Pasal 4 ayat 2 (PP 46 Tahun 2013)
15 (lima belas) bulan
Tanggal 20 bulan berikutnya
PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor
Harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor
PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak
Secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya
29
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara
Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara
14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir
PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
Tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
Tanggal 20 bulan berikutnya
PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak
Tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
Tanggal 20 bulan berikutnya
30
Akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan
akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri oleh orang pribadi atau badan
Tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut akhir bulan berikutnya
PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean oleh orang pribadi atau badan
15 (lima belas) bulan berikutnya
Akhir bulan berikutnya
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN
Tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya
Akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak
31
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN
Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
Akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk
Tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
Akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa
Akhir Masa Pajak terakhir
20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya
32
Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undangundang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa
Sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak
20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi
sebelum SPT Tahunan PPh OP disampaikan
3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak
SPT Tahunan PPh Badan
Sebelum SPT Tahunan PPh Badan disampaikan
4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak
33
2.4.6 Sanksi Keterlambatan Penyampaian SPT Terdapat beberapa sanksi yang berlaku apabila Wajib Pajak terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan. Sanksi yang dikenakan adalah sanksi administrasi berupa denda, diantaranya: 1.
SPT Tahunan PPh orang pribadi dikenakan denda sebesar Rp 100.000
(seratus ribu rupiah). Denda tersebut dikenakan untuk setiap SPT Tahunan yang tidak dilaporkan maupun yang terlambat melaporkan. SPT Tahunan dilaporkan maksimal 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak (31 Maret). Sehingga untuk SPT Tahunan 2016 maksimal dilaporkan pada tanggal 31 Maret 2017. 2.
SPT Masa Badan dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp 100.000 (seratus
ribu rupiah) untk setiap bulan yang terlambat. 3.
SPT Tahunan PPh badan dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000 (satu juta
rupiah). Penyampaian SPT Tahunan Badan yang dilaporkan 4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak (30 April). Sehingga untuk SPT Tahunan 2016 maksimal dilaporkan tanggal 30 April 2017. 4.
SPT Masa PPN dikenakan denda sebesar Rp 500.000 (lima ratus ribu
rupiah). Denda berlaku setiap bulan yang terlambat atau tidak dilaporkan. Untuk SPT Masa PPh dilaporkan maksimal tanggal 20 bulan berikutnya, sedangkan SPT Masa PPN maksiml akhir bulan berikutnya. 5.
Sedangkan denda yang dikenakan untuk SPT Masa Lainnya sebesar Rp
100.000 (seratus ribu rupiah).
34
Selain sanksi administratif berupa denda, ada juga sanksi berupa bunga atas pajak yang terlambat dibayar dan dilaporkan sebesar 2% per bulan untuk setiap masa pajak (SPT Masa bulanan maupun tahunan). Sanksi administratf ini akan disampaikan kepada Wajib Pajak dalam bentuk Surat Tagihan Pajak (STP). Namun tidak semua Wajib Pajak akan dikenakan sanksi. Wajib Pajak yang tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda, yaitu: 1) Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia. 2) Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. 3) Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negar asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia. 4) Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia. 5) Wajib Pajak badan yang tidak melalukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 6) Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi. 7) Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Keuangan, atau 8) Wajib Pajak lain yaitu Wajib Pajak yang dalam keadaan antara lain: kerusuhan masal, kebakaran, ledakan bom atau aksi terorisme, perang antar suku atau kegagalan sistem komputer administrasi penerimaan negara atau perpajakan. 2.4.7 Pembetulan SPT 1.
WP dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang
telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat
35
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan, kecuali untuk SPT Rugi atau SPT Lebih Bayar paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajakyang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yangmengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 2.
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan
tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan
penyidikan,
apabila
Wajib
Pajak
dengan
kemauan
sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. 3.
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib
36
Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan: a.
Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil.
b.
Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar.
2.5
Electronic Filing System (e-Filing) Menurut PER-01/PJ/2014 e-Filingadalah suatu cara penyampaian SPT yang
dilakukan melalui sistem on-line dan real-time melalui Internet pada website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau Application Service Provider (ASP) atau Penyedia Jasa Aplikasi. Dengan memanfaatkan perkembangan ilmu teknologi seperti halnya penggunaan internet, Wajib Pajak tidak perlu mencetak formulir laporan dan menunggu tanda terima secara manual. Aplikasi e-Filing dapat digunakan kapan saja (24 jam selama 7 hari seminggu) dan dimana saja. Dengan adanya e-Filing ini dapat mempermudah proses pengisian dan penyampaian SPT sehingga lebih efektif dan efisien. Hal ini digunakan untuk memberikan pela yanan yang lebih baik, terpadu, dan personal melalui konsep One Stop Service yang melayani semua jenis pajak, sumber daya manusia yang lebih profesional (Abdurrohman et al., 2010). Dalam proses penggunaannya e-Filing di bagi menjadi 2 macam, yaitu eFiling Dial Up dan e-Filing melalui ASP. e-Filing Dial Up adalah cara penyampaikan SPT yang langsung terhubung dengan server yang ada di Derektorat Jendral Pajak. Yang dimaksud dengan Dial Up sendiri adalah menghubungkan komputer ke internet menggunakan perangkat keras yang dapat
37
mengubah sinyal digital menjadi sinyal analog begitu pula sebaliknya contohnya seperti modem. Modem tersebut akan dikoneksikan atau disambungkan dengan PC Wajib Pajak yang terletak di Kantor Pelayanan Pajak. Namun dalam prakteknya e-Filing Dial Up belum banyak digunakan. Sedangkan e-Filing memalui ASP memerlukan beberapa tahapan wajib pajak harus mendaftar ke ASP terlebih dahulu, kemudian menginstal aplikasi e-SPT, melakukan pengisian dan pelaporan SPT secara online kemudian mencetak formulir SPT ke Kantor Pelayanan Pajak. Sistem e-Filing juga sebagai salah satu jalan untuk mencegah adanya tindak pidana korupsi dalam sektor pajak. Segala bentuk proses pengisian dan penyampaian SPT dilakukan secara transparan. 2.5.1 Manfaat e-Filing Ada beberapa manfaat dengan diterapkannya sistem e-Filing di Indonesia dan mengapa sistem ini diperlukan, antara lain adalah : 1.
Dengan adanya e-Filing, waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data
Surat Pemberitahuan (SPT) menjadi lebih singkat. 2.
Meminimalisir adanya kesalahan pada saat pengisian data, sehingga data
yang di berikan oleh wajib pajak dalam Surat Pemberitahuan dapat akurat dan sesuai dengan yang diperoleh pihak DJP. 3.
Tidak membutuhkan sumber daya manusia yang banyak.
4.
Dapat menginput data SPT dengan cepat.
5.
Tidak memerlukan formulir pengisian SPT dalam bentuk kertas, sehingga
dapat mengurangi jumlah penggunaan kertas.
38
6.
Tidak terbatas dengan jarak dan waktu.
7.
Penyimpanan data base menjadi lebih mudah, karena data akan disimpan di
dalam sistem yang sifatnya selamanya tanpa memerlukan ruang / tempat tertentu. 2.5.2 Tujuan e-Filing Tujuan utama dari sistem e-Filing adalah: a.
Menyediakan fasilitas guna membantu Wajib Pajak untuk pelaporan SPT
secara elektronik atau via internet. Dengan begitu wajib pajak dapat melakukan pengisian SPT baik di rumah, kantor, atau dimana pun wajib pajak tersebut berada. Hal ini juga dapat menghemat jumlah pengeluaran biaya dan waktu dalam proses pengisian dan pelaporan SPT. b.
Mempermudah kinerja Kantor Pelayanan Pajak dalam hal percepatan
penerimaan laporan SPT dan perampingan kegiatan administrasi, pendataan, distribusi dan penyimpanan data SPT. 2.5.3 Prosedur Pelaporan e-Filing e-Filing melalui website DJP memberikan pelayanan berupa penyampaian dua jenis SPT, yaitu SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi formulir 1770S dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi formulir 1770SS. Tahapan pelaporan e-Filing sebagai berikut : 1) Penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik dapat dilakukanselama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggudengan standar WaktuIndonesia Bagian Barat (WIB).
39
2) Surat Pemberitahuan yang disampaikan secara elektronik pada akhir batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang jatuh pada hari libur, dianggap disampaikan tepat waktu. 3) Wajib Pajak mencetak dan menandatangani induk Surat Pemberitahuan yang telah diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak. 4) Wajib Pajak wajib menyampaikan dokumen lainnya yang wajib dilampirkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar secara langsung atau melalui pos secara tercatat, paling lama : a. 14 (empat belas) hari sejak batas terakhir pelaporan Surat Pemberitahuan dalam hal Surat Pemberitahuan disampaikan sebelum batas akhir penyampaian. b. 14 (empat belas) hari sejak tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik dalam hal Surat Pemberitahuan disampaikan setelah lewat batas akhir penyampaian. 5) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan dokumen lainnya yang dipersyaratkan, Wajib Pajak dianggap tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan. 6) Surat Pemberitahuan dianggap telah diterima dan tanggal Penerimaan Surat Pemberitahuan sesuai dengan tanggal yang tercantum pada Bukti Penerimaan secara elektronik. 7) Bukti Penerimaan secara elektronik berisi informasi yang meliputi Nomor Pokok Wajib Pajak, tanggal, jam, Nomor Transaksi Penyampaian Surat Pemberitahuan (NTPS) danNomor Transaksi Pengiriman ASP (NTPA) serta nama Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP).
40
Dalam pelaporan SPT pada sistem e-Filing yang semua serba digital, namun hukum belum dapat memberlakukan tanda tangan digital (digital signature). Hukum akan mengakui dokumen SPT jika terdapat tanda tangan asli dari wajib pajak yang bersangkutan. 2.5.4 Jenis SPT Tahunan yang Dilaporkan Menggunakan e-Filing 1.
SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan formulir
1770S. Digunakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber pendapatannya diperoleh dari satu atau lebih pemberi kerja dan memiliki pendapatan lainnya yang bukan dari kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas. Contoh Wajib Pajak adalah: Karyawan, Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, serta pejabat Negara lainnya, yang memiliki pendapatan lainnya seperti sewa rumah, honor pembicara/pengajar/pelatih dan lain sebagainya; dengan jumlah penghasilan bruto lebih dari Rp 60.000.000 pertahun. 2.
SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan Formulir
1770SS. Formulir ini digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan jumlah penghasilan bruto tidak melebihi dari Rp 60.000.000 dalam periode setahun (penghasilan yang diperoleh dari satu atau lebih pemberi kerja). 2.6
Rerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap Implementasi
Sistem e-Filing terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Penyampaian SPT Tahunan pada KPP Pratama Surabaya Rungkut.
41
Diawali dengan mengimplemetasikan Electronic Filing System (e-Filing) dalam penerapan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak pada KPP Pratama Surabaya Rungkut dan membandingkannya dengan teori kajian pustaka.
42
PAJAK
Meningkatkan PENDAPATAN NEGARA
Dikeluarkan kebijakan pemerintah dalam bidang perpajakan UNDANG- UNDANG No. 16 Tahun 2009 (Perubahan keempat dari UU No. 6 Tahun 1983)
Sistem pemungutan pajak di Indonesia Self Assessment System
Kepatuhan Wajib Pajak
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
Sistem e-Filing