6
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian Relevan 1. Model Problem Based Learning (PBL) a. Hakekat Problem Based Learning Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang berlandaskan pada teori kontruktivisme pembelajaran. Proses berpikir dalam pembelajaran PBL diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapkan pada siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Sebagai suatu pembelajaran yang berdasarkan pada pengalaman siswa, PBL mengorganisasikan siswa agar terlibat secara langsung dalam kegiatan belajar mengajar. Salah satu rumusan mengenai PBL diungkapkan oleh Barbara J. Duch (1996) dalam Wijayanto (2009: 15) menyatakan bahwa: Problem based learning (PBL) is an instructional model that challenge students to “learn to learn”, workingcooperaticely in groups to seek solutions to real world problems. These problems are used to engane students’ curiosity and initiate learning the subject matter. Pbl prepare students to think critically and analytically, and to find and use appropriate learning resources. Problem-based learning (PBL), at is most fundamental level, i s an instructional model model characterized by use of “real world” problem as a context for students to learn critical thinking and problem solving skills, and acquire knowledge of the eddential conceps of the course. Using PBL, students acquire life long learning skills which include the abiliy to find and use appripriate learning resources. Sesuai kutipan diatas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa Problem Based Learning (PBL) adalah satu model yang ditandai dengan penggunaan masalah yang ada di dunia nyata untuk melatih siswa berfikir kritis dan terampil memecahkan masalah, dan memperoleh pengetahuan tentang konsep yang penting dari apa yang dipelajari. Dengan PBL, para siswa memperoleh ketrampilan tentang belajar sepanjang hidup, termasuk 6
7
kemampuan untuk menemukan dan menggunakan sumber belajar yang sesuai. Klein, Stephen B. (1996: 370) A problem is a situation in wich a person is motivated in reach a goal but attainment of the goal is blocked by some abstracles. The person’s talk is to find a solution the problem, that is to discover way to overcome the abstacle” Sesuai kutipan diatas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa pembelajaran dengan menggunakan permasalah yang ada di sekitar lingkungan lebih memotivasi siswa untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan menggunakan masalah tersebut, siswa mencoba menemukan solusi untuk mengatasinya. Sehingga masalah yang benar-benar dialami membuat siswa lebih memahami pelajaran. Menurut Sanjaya (2006: 214), Problem Based Learning (PBL) merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Ada tiga ciri utama pembelajaran Problem Based Learning. Pertama: Merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran; artinya dalam implementasinya ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Dalam pembelajran Problem Based Learning menuntut siswa secara aktif terlibat berkomunikasi, mengembangkan daya pikir, mencari dan mengolah data serta menyusun kesimpulan bukan hanya sekedar mendengarkan, mencatat, atau menghafal materi pembelajaran. Kedua: Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan maslah. Tanpa masalah pembelajaran tidak akan terjadi. Ketiga: Pemecahan masalah dilakukan dengan pendekatan berpikir ilmiah. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis
artinya cara berpikir melalui
tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas. Dilihat dari aspek psikologi belajar, Problem Based Learning didasarkan pada psikologi kognitif yang berangkat dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Belajar bukan sekedar menghafal sejumlah fakta tetapi suatu proses interaksi secara
8
sadar antara individu dengan lingkungannya. Melalui Problem Based Learning, diharapkan siswa dapat berkembang di berbagai aspek baik kognitif, afektif maupun psikomotor melalui penghayatan problem yang dihadapinya. Sanjaya (2006: 216) memberi batasan, hakekat permasalahan yang diangkat dalam Problem Based Learning adalah gap atau kesenjangan antara situasi nyata dengan situasi yang diharapkan, atau antara yang terjadi dengan harapan. Kesenjangan tersebut dapat dirasakan dari adanya keresahan, keluhan, kecemasan atau kerisauan. Untuk mengetahui adanya masalah dan kesenjangan maka pembelajaran harus diawali dengan penyajian konsep, informasi serta teori-teori yang seharusnya, sehingga siswa secara mudah dituntun untuk menyandingkan dengan kondisi yang terjadi, baru muncul masalah. Dengan demikian secara keseluruhan sumber dan materi Problem Based Learning tidak hanya terbatas pada buku teks saja tetapi lebih luas; bisa dari media massa, narasumber serta keadaan riil masyarakat. Menurut Sanjaya (2006: 216) kriteria pemilihan bahan pembelajaran yang akan disajikan melalui Problem Based Learning adalah sebagai berikut: 1) Bahan pelajaran mengandung isu-isu yang mengundang konflik yang bisa bersumber dari media massa, rekaman maupun kondisi riil masyarakat. 2) Bahan pelajaran familier dengan siswa sehingga siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik. 3) Bahan pelajaran menyangkut kepentingan atau berkaitan dengan orang banyak sehingga terasa manfaatnya. 4) Bahan pelajaran mendukung kompetensi yang diajarkan atau yang termuat dalam kurikulum. 5) Bahan pelajaran merangsang minat siswa sehingga siswa tertarik untuk memecahkan masalah yang disajikan melalui pembelajaran. Model Problem Based Learning sangat tepat diterapkan bila kompetensi yang diharapkan adalah: 1) Siswa tidak hanya dapat mengingat materi pembelajaran tetapi untuk dapat memahami dan menguasai secara penuh.
9
2) Siswa
mengembangkan pola berpikir rasional
yaitu kemampuan
menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka kuasai dalam situasi baru, mengenal perbedaan antara fakta dengan pendapat serta mengembangkan kemampuan mengambil keputusan secara obyektif. 3) Siswa dapat mengembangkan kemampuan memecahkan masalah serta mengembangkan tantangan intelektualnya. 4) Siswa dapat memahami hubungan antara yang dipelajari dengan kenyataan dalam kehidupan. b. Karakteristik Problem Based Learning Model PBL memiliki ciri-ciri: (1) mengajukan pertanyaan atau masalah yang terkait masalah kehidupan nyata, (2) melibatkan berbagai disiplin ilmu, (3) melakukan penyelidikan autentik, (4) menghasilkan produk atau karya serta mengkomunikasikannya atau memamerkannya, dan kerjasama dalam melakukan penyelidikan. Tujuan PBL adalah di samping siswa menguasai materi pelajaran yang dipelajari, yang dalam hal ini adalah Geografi, juga melatih kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa. Menjadi handal dalam berbicara merupakan salah satu contoh yang dapat membantu siswa menjadi pemecah masalah yang baik dan menjadi siswa yang dapat belajar sendiri. Pada awalnya, bagaimanapun, beberapa siswa tidak mampu untuk berpikir sendiri. Dalam hal ini, tutor atau instruktur atau bisa juga guru dalam PBL harus menjadi tutor atau pelatih kognitif yang mengajarkan startegi inkuiri, membantu eksplorasi, dan membantu siswa memperjelas dan selalu mengikuti atau mengejar segala pertanyaan dalam permasalahan mereka. Tutor memainkan peran penting dalam membantu siswa belajar sendiri dan harus membuat lingkungan kelas dimana siswa menerima pembelajaran yang sistematis dalam hal konseptual, strategi, dan merefleksikan penalaran dalam konteks pembelajaran yang pada akhirnya akan membuat mereka lebih berhasil dalam penyelidikan selanjutnya (Gallagher et al , 1995, dalam Wong & Day, 2009: 625 ) Amir (2010: 21) merangkum karakteristik yang tercakup dalam proses PBL yaitu masalah digunakan sebagai awal pembelajaran merupakan masalah
10
dunia nyata yang disajikan secara mengembangkan (ill-structured); masalah membuat siswa tertantang untuk mendapatkan pembelajaran yang baru; sangat mengutamakan belajar mandiri; memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi; pembelajaran bersifat kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Model PBL merupakan pembelajaran yang dirancang berdasarkan masalah riil kehidupan yang bersifat tidak terstruktur, terbuka, dan mendua. Melalui model PBL siswa dirangsang untuk melakukan penyelidikan atau inkuiri dalam menemukan solusi-solusi terhadap masalah yang dihadapinya. Peran guru dalam pembelajaran ini adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan (Ibrahim, 2000: 15). Arends (2004: 43) mengemukakan PBL dapat merangsang siswa untuk berpikir tingkat tinggi, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Model PBL memiliki ciri siswa bekerja sama antara satu dengan lainnya dalam bentuk berpasangan atau berkelompok untuk bersama-sama memecahkan masalah yang dihadapi. Dalam belajar berkelompok, siswa akan termotivasi secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan berpeluang untuk berdialog dalam mengembangkan kemampuan sosial dan kemampuan berfikir. Perbandingan
antara
model
pembelajaran
PBL
dan
model
pembelajaran konvensional dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Perbandingan Karakteristik PBL dan Konvensional Model Pembelajaran Problem Based Learning - Pengetahuan dibangun oleh Siswa - Penilaian secara kelompok dan individual - Lebih menekankan pada proses - Pembelajaran berpusat pada siswa - Memerlukan dana dan waktu lebih banyak - Tidak dapat diterapkan pada semua materi (Sumber: Aisyah, 2003: 16)
Model Pembelajaran Konvensional - Pengetahuan dibangun oleh guru - Penilaian secara individual - Lebih menekankan pada hasil - Cenderung berpusat pada guru - Dana dan waktu relatif lebih sedikit - Dapat diterapkan hampir pada semua materi
11
Tabel 2.1. Perbandingan Karakteristik PBL dan Konvensional menunjukkan bahwa model pembelajaran PBL mempunyai kelebihan dibanding
model
pembelajaran
konvensional
terutama
dalam
proses
membangun pengetahuan (konsep). Pada model pembelajaran PBL dengan pendekatan kelompok siswa terlibat secara aktif dalam menemukan konsep, sehingga konsep yang diperoleh akan lebih lama mengendap dalam ingatan siswa. c. Manfaat Problem Based Learning Pengajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya
kepada siswa. Pengajaran
berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan kemampuan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim & Nur, 2000: 7). Menurut Buana dalam artikelnya, dalam situasi PBL, siswa mengintegrasikan pengetahuan dan kemampuan
secara
simultan dan
mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalahmasalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung (Buana, 2010: 2). Dalam kutipannya (Savery & Duffy, dalam Osman & Kaur, 2014: 186) mengungkapkan bahwa: “a
curriculum
development
and
instructional
system
that
simultaneously develops both problem solving strategies and disciplinary knowledge bases and skills by placing students in the active role of problem solvers confronted with an ill-structured problem that mirrors real-world problems” Berdasarkan pengembangan
dan
kutipan sistem
diatas
dijelaskan
instruksional
yang
bahwa
kurikulum
secara
bersamaan
mengembangkan kedua strategi pemecahan masalah dan basis pengetahuan
12
disiplin dan keterampilan dengan menempatkan siswa dalam peran aktif dari pemecah masalah dihadapkan dengan masalah yang runtut pada dunia nyata. Ketrampilan di
dunia
untuk nyata
memecahkan yang
masalah
kompleksitas.
yang
siswa
dibutuhkan
harus
mampu
untuk menganalisis masalah, membentuk hipotesis tentatif, mengumpulkan dan
menafsirkan
data,
dan
mengembangkan
beberapa
jenis
logis
pendekatan untuk memecahkan masalah. Ketika PBL diterapkan, akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan. PBL memberikan dorongan kepada siswa untuk tidak hanya sekedar berpikir sesuai yang bersifat konkret, tetapi lebih dari itu berpikir terhadap ide-ide yang bersifat abstrak dan kompleks. Dengan kata lain, PBL melatih kepada peserta didik untuk memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi khususnya berpikir kreatif. Menurut Ibrahim (2000: 15), :peran guru di kelas PBL yaitu mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari, memfasilitasi/membimbing penyelidikan misalnya melakukan pengamatan atau melakukan eksperimen/percobaan, memfasilitasi dialog siswa, dan mendukung belajar siswa”. Tabel 2.2. Sintaks PBL Tahap Tahap-1 Orientasi siswa pada masalah
Tahap-2 Mengorganisasikan siswa untuk belajar Tahap-3
Tingkah Laku Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Guru membantu siswa untuk mengumpulkan informasi
13
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Tahap-4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses – proses yang mereka gunakan.
Tahap-5 Menganalisis dan mengevaluasi pemecahan masalah Sumber : Ibrahim (2000) dalam Trianto (2010: 98)
Tahapan pertama dalam PBL yaitu mengorientasikan siswa pada masalah. Guru menyajikan suatu masalah yang melibatkan siswa dalam mengidentifikasikan masalah yang akan dilanjutkan dengan penyelidikan terhadap masalah tersebut dalam rangka mencari solusi permasalahan. Masalah yang dapat berupa gambar, video, atau pun cerita tentang sebuah realita. Pada tahap ini siswa akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan menyampaikan gagasan-gagasannya terhadap suatu pemecahan masalah sehingga dapat mengembangkan kemampuan berfikir kreatif siswa meliputi aspek kemampuan berfikir lancar (fluency) dan kemampuan berfikir luwes (flexibility). Tahap kedua, mengorganisasikan siswa untuk belajar dan tahap ketiga, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, pada tahaptahap ini siswa mengumpulkan informasi yang sesuai untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, siswa dapat menambahkan ide-ide orisinilnya dalam pemecahan masalah, kegiatan ini akan membantu siswa mengembangkan
aspek
originality.
Pada
tahap
ke
empat
yaitu
mengembangkan dan menyajikan hasil karya, siswa kemudian merencanakan dan menyiapkan laporan dan menyajikannya kepada teman-teman yang lain, pada kegiatan ini diharapkan siswa lain dapat menambahkan gagasannya untuk memperkaya gagasan yang sudah dipresentasikan, sehingga mengembangkan aspek kemampuan memperinci atau elaboration. Kemampuan untuk menilai atau aspek evaluation akan muncul pada proses Problem Based Learning tahap analisis dan evaluasi pemecahan
14
masalah, dengan dibantu oleh guru, siswa memberikan pertimbangan terhadap penyelesaian suatu masalah yang t elah dikemukakan atas dasar sudut pandangya sendiri. d. Langkah-langkah Implementasi Problem Based Learning Kecakapan apa saja yang harus dimiliki guru untuk memerankan pembelajaran Problem Based Learning? Albanese M. Anderson dan Mitchell S. Richard (1993: 52) menjelaskan: The instructor must guide, probe, and support students initiatives, not lecture, direct or provide easy solutions. The degree to wich a PBL course is student-direct versus teacher-directed is a decision that the faculty member must make based on the size of the class, the intellectual maturity level of the students, and the instructional goals of the course. When faculty in corporate PBL in their courses, they empower their students to take responsible role in their learning and a result, faculty must be ready to yield some of their own authority in the classroom to their students. Sesuai kutipan diatas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa guru atau peneliti berperan untuk memberi petunjuk, menggali atau memberi kesempatan dan keleluasaan kepada siswa untuk memilih masalah yang akan diselidiki, karena cara ini dapat meningkatkan motivasi siswa. Situasi masalah yang baik seharusnya autentik, mengandung teka-teki dan tidak didefinisikan secara ketat, memungkinkan kerjasama, bermakna bagi siswa, dan konsisten dengan tujuan kurikulum. Jatmiko (2002: 2) menegaskan ada lima tahap dalam pembelajaran PBL yaitu: (1) orientasi siswa pada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk
belajar,
(3)
membimbing
individual
maupun
kelompok,
(4)
mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Albanese M. Anderson dan Mitchel S. Richard (1993: 52) menetapkan prosedur pelaksanaan Problem Based Learning adalah sebagai berikut: (1) Para siswa mempresentasikan sebuah masalah. Dalam kelompoknya mereka mengorganisasikan ide dan pengetahuan yang berkaitan dengan masalah yang ada di alam nyata (kehidupan), (2) Langkah berikutnya adalah diskusi, para
15
siswa menampilkan pertanyaan berkaitan dengan isu pembelajaran (learning issues) berkaitan aspek masalah yang tidak mereka pahami. Learning issues ini direkam atau dicatat oleh
kelompok. Para siswa melanjutkan dengan
mengidentifikasi pengertian yang mereka ketahui, yang urgen serta yang tidak mereka ketahui, (3) Para siswa mengurutkan masalah sesuai tingkat kepentingannya, learning issues digerakkan dan dibahas dalam sesi ini. Berbagai pertanyaan, permasalahan akan ditindaklanjuti oleh kelompok besar dan isu mana yang dapat menarik menyentuh setiap individu, kemudian guru yang membimbing menulis dikelompoknya. Para siswa dan instruktur selalu diskusi materi apa yang ingin dihubungkan kepada learning issues, dan dimana mereka harus menyelesaikan. (4) Ketika para siswa mengadakan pertemuan lanjutan,
mereka
mengeluarkan
berbagai
pendapat
learning
issues,
menggeneralisasikan dengan pengetahuan baru mereka dalam konteks masalah (problem). Para siswa juga menyususn rangkuman pengetahuan mereka dalam hubungannya konsep baru dengan yang lama. Mereka melanjutkan ke pengertian learning issues yang baru seperti kelanjutan dari problem atau masalahnya. Para siswa memandang bahwa pembelajaran ini adalah sebuah proses dan mereka akan selalu mencari learning issues untuk diangkat. Agar pembelajaran Problem Based Learning berjalan efektif maka guru dituntut memiliki kecakapan khusus, di samping memahami metodologi pembelajaran pada umumnya. Lie (2002: 77) merumuskan langkah-langkah prosedur pelaksanaan pembelajaran Problem Based Learning adalah sebagai berikut: 1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan sarana dan alat yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih, 2) Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dan lain-lain),
16
3) Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dalam pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah, 4) Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan teman, 5) Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. e. Keunggulan dan kelemahan Model Problem Based Learning (PBL) Menurut Sanjaya (2006: 220), penerapan model pembelajaran PBL memiliki beberapa keunggulan, yaitu: 1) Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran sehingga pembelajaran lebih bermakna. 2) Pemecahan
masalah
dapat
menantang
kemampuan
siswa
serta
memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa. 3) Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa 4) Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan siswa untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. 5) Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang dilakukan. Disamping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya. 6) Melalui pemecahan masalah bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku saja. 7) Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa. 8) Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan menyesuaikan dengan pengetahuan baru. 9) Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan siswa untuk menerapkan pengetahuan yang dimiliki dalam dunia nyata.
17
10) Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar, sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. Para pendidik harus memahami bahwa tidak ada satupun model pembelajaran yang sempurna dan selalu cocok diterapkan dalam segala situasi. Menurut Sanjaya (2006: 221) sebagai suatu model pembelajaran, Problem Based Learning di samping memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan, antara lain: 1) Manakala siswa tidak memiliki minat atau siswa berasumsi bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka akan merasa enggan untuk mencoba. 2) Keberhasilan model pembelajaran melalui Problem Based Learning membutuhkan cukup waktu untuk persiapan. 3) Tanpa pemahaman mengapa siswa berusaha memecahkan masalah yang dipelajari, maka siswa tidak akan belajar apa yang ingin dipelajari. Model Problem Based Learning mendorong kreativitas siswa dalam belajar sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan lebih mudah diingat oleh siswa. 2. Pemahaman Konsep Proses belajar mengajar siswa memahami sesuatu dari pengalaman yang didapat dari mengetahui seperti definisi, peristiwa, fakta yang disusun kembali dalam struktur kognitif sehingga dapat dikatakan bahwa anak memahami lingkungan berkat struktur kognitif yang ada pada dirinya yang berdasarkan pengalaman. Struktur yang ada ia tidak dapat memahami sesuatu dalam lingkungannya, maka harus diadakan rekonstruksi kognitif, yaitu mengubah atau mengakomodasikan struktur itu sehingga lingkungan dapat dikenalnya dan dapat diasimilasinya. Anak yang memiliki pemahaman terhadap sesuatu, dipelajarinya bila ia mampu menyusun sendiri jawaban secara bebas dengan menggunakan gagasan, pikiran dan tanggapan yang telah terbentuk pada waktu belajar pertama kali (Hamalik, 2001: 84). Konsep
adalah
suatu
ide
abstrak
yang
memungkinkan
kita
mengklasifikasikan objek-objek atau peristiwa-peristiwa itu termasuk atau tidak
18
ke dalam ide abstrak tersebut (Hudojo, 2003: 124). Sedangkan menurut Hamalik (2003: 162), konsep adalah suatu kelas atau kategori stimuli yang memiliki ciriciri umum. Stimuli adalah objek-objek atau orang (person). Untuk menyatakan suatu konsep dengan cara menyebut nama. Menurut Samlawi dan Maftuh (2001: 10), konsep secara sederhana adalah penanaman (pemberian label) untuk sesuatu yang membantu seseorang mengenal, mengerti, dan memahami sesuatu tersebut. Winkel (1996: 82) menyatakan konsep adalah suatu satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang memiliki ciri-ciri yang sama. Belajar konsep merupakan salah satu cara belajar dengan pemahaman, ciri khas yang diperoleh sebagai hasil belajar ini adalah adanya skema konseptual. Skema konseptual adalah suatu keseluruhan kognitif yang mencakup semua ciri khas yang terkandung dalam suatu pengertian. Schuncke dalam Samlawi dan Maftuh (2001: 12) mengemukakan beberapa karakteristik konsep yaitu : a. Merupakan suatu abstraksi b. Mencerminkan pengelompokan atau klasifikasi benda (kegiatan, peristiwa, maupun gagasan) yang mempunyai karakteristik atau kualitas tertentu. c. Bersifat pribadi, latar belakang dan pengalaman pribadi kemungkinan bisa agak berbeda antar personal. d. Dipelajari melalui pengalaman. e. Bukan sekedar suatu kata-kata. Pemahaman
menurut
Bloom
(Winkel,
1996:
274)
mencakup
kemampuan untuk menangkap makna dalam arti yang dipelajari. Kemampuan memahami dapat juga disebut dengan istilah “mengerti”. Seorang siswa dikatakan telah mempunyai kemampuan mengerti atau memahami apabila siswa tersebut dapat menjelaskan suatu konsep tertentu dengan kata-kata sendiri, dapat membandingkan, dapat membedakan, dan dapat mempertentangkan konsep tersebut dengan konsep lain. Kemampuan tersebut mencakup tiga hal yaitu, translasi yang mencakup penerjemahan pengetahuan atau gagasan dari bentuk abstrak ke bentuk konkret atau sebaliknya, interpretasi yang mencakup kemampuan untuk mencirikan merangkum pikiran utama dari suatu gagasan, serta
19
eksplorasi yang mencakup kemampuan untuk menerjemahkan, mengerti serta menyelesaikan masalah. Jadi pemahaman konsep Geografi adalah kemampuan siswa untuk mengerti dalam analisis keruangan. Menurut Bloom dalam Krathwohl (2002: 70) pengetahuan konsep sebagai dasar untuk memahami konsep. Proses kognitif dalam kategori, yakni sebagai berikut: a. Interpretasi (interpreting) b. Mencontohkan (exemplifying) c. Mengklasifikasikan (classifying) d. Menggeneralisasikan (summarizing) e. Inferensi (inferring) f. Membandingkan (comparing) g. Menjelaskan (explaining) 3. Kualitas Hasil Belajar Menurut Sudjana (2011:22) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Howard Kingsley (Sudjana, 2011: 22) membagi tiga macam hasil
belajar, yakni
(a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Gagne (Sudjana, 2011: 22) membagi lima kategori hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan motoris. Menurut Sudjana (2011: 3) ada beberapa fungsi penilaian hasil belajar diantaranya sebagai berikut: a. Alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional. Dengan fungsi ini maka penilaian harus mengacu kepada rumusan-rumusan tujuan instruksional. b. Umpan balik bagi perbaikan proses pembelajaran. Perbaikan mungkin dilakukan dalam hal tujuan instruksional, kegiatan belajar peserta didik, strategi mengajar guru, dan lain-lain.
20
c. Dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar peserta didik kepada para orang tuanya. Dalam laporan tersebut dikemukakan kemampuan dan kecakapan belajar peserta didik dalam berbagai bidang studi dalam bentuk nilai-nilai prestasi yang dicapainya. Tujuan penilaian hasil belajar (Sudjana, 2011: 4) adalah untuk: a. Mendeskripsikan kecakapan belajar para peserta didik sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya. Dengan pendeskripsian kecakapan tersebut
dapat
diketahui
pula
posisi
kemampuan
peserta
didik
dibandingkan dengan peserta didik lainnya. b. Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, yakni seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku para peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang diharapkan. Keberhasilan pendidikan dan pengajaran penting artinya mengingat peranannya sebagai upaya memanusiakan atau membudidayakan manusia, dalam hal ini para peserta didik agar menjadi manusia yang berkualitas dalam aspek intelektual, sosial, emosional, moral, dan keterampilan. c. Menentukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya. Kegagalan para peserta didik dalam hasil belajar yang dicapainya hendaknya tidak dipandang sebagai kekurangan pada diri peserta didik semata, tetapi juga bisa disebabkan oleh program pembelajaran yang diberikan kepadanya atau oleh kesalahan strategi dalam melaksanakan program tersebut. Misalnya kekurangtepatan dalam memilih dan menggunakan metode mengajar dan alat bantu pengajaran. d. Memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari pihak sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak yang dimaksud meliputi pemerintah, masyarakat, dan para orang tua peserta didik. Dalam mempertanggungjawabkan hasil-hasil yang telah dicapainya, sekolah memberikan laporan berbagai kekuatan dan kelemahan pelaksanaan sistem pendidikan dan pengajaran serta kendala yang dihadapinya.
21
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek. Keenam aspek tersebut menurut Anderson dan Kharthwohl (2001) (99-133)adalah sebagai berikut. a. Mengingat (Remember) Jika tujuan pembelajarannya adalah menumbuhkan kemampuan untuk meretensi materi pelajaran sama seperti materi yang diajarkan, kategori proses kognitif yang tepat adalah mengingat. Proses mengingat adalah mengambil pengetahuan yang dibutuhkan dari memori jangka panjang. b. Memahami/Mengerti (Understand) Tujuan utama pembelajaran adalah menumbuhkan kemampuan retensi,
fokusnya
ialah
mengingat.
Akan
tetapi,
bila
tujuan
pembelajarannya adalah menumbuhkan kemampuan transfer, fokusnya ialah lima proses kognitif lainnya sampai mencipta. Dari kelimanya, proses kognitif yang berpijak pada kemampuan transfer dan ditekankan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi adalah memahami. Peserta didik dapat dikatakan memahami apabila mereka dapat mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat lisan, tulisan ataupun grafis, yang disampaikan melalui pengajaran, buku, atau layar komputer. c. Menerapkan (Apply) Proses
kognitif
mengaplikasikan/menerapkan
melibatkan
penggunaan prosedur-prsedur tertentu untuk mengerjakan soal latihan atau menyelesaikan
masalah.
Mengaplikasikan
berkaitan
erat
dengan
pengetahuan prosedural. Soal latihan adalah tugas yang prosedur penyelesaiannya telah diketahui peserta didik, sehingga peserta didik menggunakannya secara rutin. Masalah adalah tugas yang prosedur penyelesaiannya belum diketahui peserta didik, sehingga peserta didik harus mencari prosedur untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kategori mengaplikasikan terdiri dari dua proses kognitif, yakni mengeksekusi ketika tugasnya hanya soal latihan dan mengimplementasikan ketika tugasnya merupakan masalah.
22
d. Menganalisis (Analyze) Menganalisis melibatkan proses memecah-mecah materi jadi bagian-bagian kecil dan menetukan bagaimana hubungan antarbagian dan antara setiap bagian dan struktur keseluruhannya. Kategori proses menganalisis
ini
meliputi
proses-proses
kognitif
membedakan,
mengorganisasi, dan mengatribusikan. Tujuan-tujuan pendidikan yang diklasifikasikan dalam menganalisis mencakup belajar untuk menentukan potongan-potongan informasi yang relevan atau penting (membedakan), menentukan cara-cara untuk menata potongan-potongan informasi tersebut (mengorganisasikan), dan menentukan tujuan dibalik informasi itu (mengatribusikan). Walaupun belajar menganalisis dapat dianggap sebagai tujuan itusendiri, sangat beralsan untuk secara edukatif memandang analisis sebagai perluasan dari memahami atau sebagai pembuka untuk mengevaluasi dan mencipta. e. Mengevaluasi (Evaluate) Mengevaluasi
didefinisikan
sebagai
membuat
keputusan
berdasarkan kriteria dan standar. Kriteria yang paling sering digunakan adalah kualitas, efetivitas, efisiensi, dan konsistensi. Kriteria ini ditentukan oleh peserta didik. Standarnya bisa bersifat kuantitatif atau kualitatif. Standar-standar ini berlaku pada kriteria. Kategori mengevaluasi mencakup proses-proses kognitif memeriksa (keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan kriteria internal) dan mengkritik (keputusankeputusan yang dimabil berdasarkan kriteria eksternal). f. Menciptakan (Create) Mencipta melibatkan proses menyusun elemen-elemen jadi sebuah keseluruhan yang koheren atau fungsional. Tujuan-tujuan yang diklasifikasikan dalam mencipta meminta peserta didik membuat produk baru dengan mereorganisasi sejumlah elemen atau bagian jadi suatu pola atau struktur yang tidak pernah ada sebelumnya. Proses-proses kognitif yang terlibat dalam mencipta umumnya sejalan dengan pengalamanpengalaman belajar sebelumnya. Meskipun mengharuskan cara piker
23
kreatif, mencipta bukanlah ekspresi kreatif yang bebas sama sekali dan tak dihambat oleh tuntutan-tuntutan tugas atau situasi belajar. Dimensi proses kognitif dalam taksonomi revisi terbagi menjadi 6 kategori akan dijelaskan sebagai berikut. Tabel 2.3. Kategori Taksonomi Anderson dan Kratwohl Kategori dan Proses Kognitif Nama-Nama Lain Definisi dan Contoh 1. Mengingat – Mengambil pengetahuan dari memori jangka panjang 1.1. Mengenali Mengidentifikasi Menempatkan pengetahuan dalam memori jangka panjang yang sesuai dengan pengetahuan tersebut (misalnya, mengenali tanggal terjadinya peristiwa penting dalam sejarah Indonesia) 1.2. Mengingat kembali Mengambil Mengambil pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang (misalnya mengingat kembali tanggal peristiwaperistiwa penting dalam sejarah Indonesia) 2. Memahami – Mengkonstruksi makna dari materi pembelajaran, termasuk apa yang diucapkan, ditulis, dan digambar oleh guru 2.1. Menafsirkan Mengklarifikasikan Mengubah satu bentuk gambaran Memparafrasekan (misalnya angka) jadi bentuk lain Mempresentasi (misalnya kata-kata), (misalnya Menerjemahkan memparafrasekan puisi menjadi karangan bebas 2.2. Mencontohkan Mengilustrasikan Menemukan contoh atau ilustrasi Memberi contoh tentang konsep atau prinsip (misalnya memberi contoh aliranaliran seni lukis) 2.3. Mengklasifikasikan Mengategorikan, Menentukan sesuatu dalam satu Mengelompokkan kategori (misalnya mengklasifikasikan hewan-hewan bertulang belakang) 2.4. Merangkum Mengabstraksi Mengabstraksikan tema umum Menggeneralisasi atau poin-poin pokok (misalnya menulis ringkasan pendek tentang peristiwa-peristiwa yang ditayangkan di televisi) 2.5. Menyimpulkan Menyarikan, Membuat kesimpulan yang logis Mengesktrapolasi, dari informasi yang diterima
24 Menginterpolasi, Memprediksi
(misalnya dalam belajar bahasa Inggris, menyimpulkan tata bahasa berdasarkan contohnya 2.6. Membandingkan Mengontraskan, Menentukan hubungan antara dua Memetakan, ide, dua objek, dan semacamnya Mencocokkan (misalnya, membandingkan peristiwa-peristiwa sejarah dengan keadaan sekarang) 2.7. Menjelaskan Membuat model Membuat model sebab – akibat dalam sebuah sistem (misalnya, menjelaskan sebab terjadinya peristiwa-peristiwa penting pada abad ke 18 di Indonesia 3. Mengaplikasikan – Menerapkan atau menggunakan suatu/prosedur dalam keadaan tertentu 3.1. Mengeksekusi Melaksanakan Menerapkan gaya gravitasi dalam kehidupan sehari-hari 3.2. Mengiplementasikan Menggunakan Menerapkan suatu prosedur pada tugas yang tidak familier (misalnya, menggunakan Hukum Newton kedua pada konteks yang tepat) 4. Menganalisis - Memecah-mecah materi jadi bagian-bagian penyusunnya dan menentukan hubungan-hubungan antar bagian itu dan hubungan antara bagianbagian tersebut dengan keseluruhan struktur atau tujuan 4.1. Membedakan Menyendirikan, Membedakan bagian materi Memilah, pelajaran yang relevan dan tidak Memfokuskan, relevan, (membedakan antara Memilih bilangan prima dan bukan bilangan prima dalam matematika) 4.2. Mengorganisasikan Menemukan Menentukan bagaimana elemenkoherensi, elemen bekerja atau berfungsi Memadukan, dalam sebuah struktur (misalnya, Membuat garis besar, menyusun bukti-bukti dalam Mendeskripsikan cerita sejarah menjadi bukti-bukti peran, yang mendukung dan menentang Menstrukturkan suatu penjelasan historis) 4.3. Mengatribusikan Mendekonstruksi Menentukan sudut pandang, bias, nilai, atau maksud dibalik materi pelajaran (misalnya menunjukkan sudut pandang penulis cerita berdasarkan latar belakang
25 pendidikan penulis) 5. Mengevaluasi - Mengambil keputusan berdasarkan kriteria atau standar 5.1. Memeriksa Mengoordinasi, Menemukan kesalahan dalam Mendeteksi, suatu proses atau produk; Memonitor, menemukan efektivitas suatu Menguji prosedur yang sedang dipraktikkan (misalnya memeriksa apakah kesimpulan seseorang sesuai dengan data-data pengamatan atau tidak) 5.2. Mengkritik Menilai Menemukan inkonsistensi antara suatu produk dan kriteria eksternal; menentukan apakah suatu produk memiliki konsistensi eksternal, menemukan ketepatan suatu prosedur untuk menyelesaikan masalah (misalnya, menentukan satu metode dari dua metode untuk menyelesaikan suatu masalah) 6. Mencipta - Memadukan bagian-bagian untuk membentuk sesuatu yang baru dan koheren atau untuk membuat suatu produk yang orisinal 6.1. Merumuskan
Membuat hipotesis
6.2. Merencanakan
Mendesain
6.3. Memproduksi
Mengkonstruksi
Membuat hipotesis-hipotesis berdasarkan kriteria (misalnya membuat hipotesis tentang sebabsebab terjadinya gempa bumi) Merencanakan prosedur untuk menyelesaikan suatu tugas (misalnya merencanakan proposal penelitian tentang topik sejarah Candi Borobudur) Menciptakan suatu produk (misalnya membuat habitat untuk spesies tertentu demi suatu tujuan)
Sumber : Anderson dan Karthwohl (100-102) 4. Peta Secara umum Peta didefinisikan sebagai gambaran dari unsur-unsur alam maupun buatan manusia yang berada diatas maupun dibawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu (PP Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah).
26
Menurut Kraak dan Ormeling (2007: 1) Peta digunakan untuk visualisasi data keruangan (geospatial), yaitu data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu obyek atau fenomena di permukaan bumi. Peta membantu penggunaannya untuk memahami geospasial secara lebih baik. Peta mengandung arti komunikasi, artinya merupakan suatu signal atau saluran antara pengirim pesan (pembuat peta) dengan penerima pesan (pembaca peta). Dengan demikian peta digunakan untuk mengirim pesan yang berupa informasi tentang realita dalam wujud berupa gambar. Agar pesan (gambar) tersebut dapat dimengerti maka harus ada bahasa yang sama antara pembuat peta dan pembaca peta (Aryono Prihandito, 1989 : 1) dalam (Sariyono dan Nursa’ban, 2010 : 2). Jadi dapat disimpulkan peta merupakan media komunikasi antara pengirim pesan dan penerima pesan yang digunakan untuk menvisualisasikan data kerunagan (geospatial). B. Penelitian yang Relevan Penelitian – penelitian sebelumnya dapat dijadikan sebagai sumber acuan yang relevan. Hasil penelitian relevan yang dijadikan acuan oleh penulis, adalah sebagai berikut : a. Lia Ullynuha. Pengaruh Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas X Sma Negeri 6 Surakarta Tahun Pelajaran
2012/2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas X SMA Negeri 6 Surakarta tahun pelajaran 2012/2013.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui
penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL), siswa berpartisipasi aktif di dalam proses pembelajaran. Hasil uji hipotesis menghasilkan keputusan uji (sig) < 0,05 sehingga H0 ditolak, hal ini berarti perolehan rata-rata kemampuan berpikir kritis antara kelas kontrol dan kelas eksperimen berbeda nyata. Pernyataan tersebut juga didukung secara diskriptif yaitu dari data nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis sebesar 76.14862
27
untuk kelas eksperimen dan nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis sebesar 83.24593 untuk kelas kontrol. b. Febri Arianto (2013) Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (NUMBERED HEAD TOGETHER) Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Konsentrasi Belajar Pada Mata Pelajaran Matematika Siswa Kelas VII SMP N 16 Surakarta Tahun Ajaran 2013/ 2014. Berdasarkan hasil tes siklus I dan tes siklus II pemahaman konsep meningkat seperti yang terlihat pada persentase siswa yang tuntas pada siklus I sebesar 66,67 % dan pada siklus II persentase siswa yang tuntas mengalami peningkatan sebesar 13,33 % menjadi 80 %. Sedangkan hasil observasi lima observer, pada siklus I dihasilkan rata-rata persentase konsentrasi siswa mencapai 71,25 % dengan persentase perilaku kognitif 70 %, perilaku afektif 59,99 %, perilaku psikomotor 68,33 %, perilaku berbahasa 86,67 % dan pada siklus II mengalami peningkatan rata-rata persentase konsentrasi siswa sebesar 6,52% menjadi 77,77% dengan persentase perilaku kognitif 81,66 %, perilaku afektif 64, 44 %, perilaku psikomotor 75 %, dan perilaku berbahasa 90 %. Kesimpulan hasil penelitiaPenggunaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT ( Numbered Head Together ) mampu meningkatkan pemahaman konsep siswa pada materi himpunan mata pelajaran matematika siswa kelas VIIB SMP N 16 Surakarta tahun pelajaran 2013/2014 terbukti dari hasil tes akhir siklus I dan tes akhir siklus II mengalami peningkatan sesuai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. c. Lilis Marina Angraini (2010) Pengaruh model pembelajaran pencapaian konsep (concept attainment model) terhadap pemahaman konsep matematika siswa di MA Pembangunan UIN Jakarta. Hasil penelitiannya yakni nilai ratarata tes pemahaman konsep matematika dengan model pembelajaran pencapaian konsep lebih tinggi daripada nilai rata-rata tes pemahaman konsep matematika siswa dengan model pembelajaran konvensional. Atau dengan kata lain, nilai rata-rata tes pemahaman konsep matematika dengan model pembelajaran pencapaian konsep lebih baik daripada nilai rata-rata tes pemahaman
konsep
matematika
siswa
dengan
model
pembelajaran
28
konvensional. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan dengan menggunakan uji t, maka diperoleh nilai t hitung sebesar 5,64. Untuk mengetahui nilai t tabel dengan derajat kebebasan (dk) = 50 dan taraf signifikansi (α) = 0,05 dilakukan penghitungan, dari hasil penghitungan didapat nilai t tabel = 2,01. Dengan membandingkan nilai t hitung dan t tabel diperoleh thitung > t tabel, ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima. dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran pencapaian konsep memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
pemahaman
konsep
matematika
siswa.
25
Tabel 2.4. Matrik Penelitian Relevan
Judul
Tujuan
Febri Arianto (2014) Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Head Together) sebagai upaya untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Konsentrasi Belajar Pada Mata Pelajaran Matematika Siswa Kelas VII SMPN 16 Surakarta Tahun Ajaran 2013 / 2014.
Lilis Marini Anggraini (2010) Pengaruh Model Pembelajaran Pencapaian Konsep (Concept Attainment Model) terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa di MA Pemabangunan UIN Jakarta.
Henri Pratika R (2015) Penerapan Model Problem Based Learning ( PBL) Berbantuan Peta Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Hasil Belajar Materi Pelajaran Geografi (Kompetensi dasar Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Siswa Kelas XI IS 1 SMA Negeri 1 Klirong)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas X SMA Negeri 6 Surakarta tahun pelajaran
1. Untuk mengetahui apakah pemahaman konsep matematika siswa dapat meningkat dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) pada mata pelajaran matematika siswa kelas VII B SMPN 16 Surakarta tahun mata pelajaran 2013 / 2014. 2. Untuk mengetahui apakah konsentrasi siswa saat belajar
1. Untuk mengetahui kemapuan pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran konvensional dan model pembelajaran pencapaian konsep. 2. Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran pencapaian konsep terhadap pemahaman konsep matematika siswa.
1.Mengetahui peningkatan pemahaman konsep siswa pada materi pembelajaran pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan penerapan Problem Based Learning (PBL) berbantuan peta di Kelas XI IS 1 SMA Negeri 1 Klirong tahun ajaran 2014/2015. 2.Mengetahui peningkatan
29
Lia Ullynuha (2013) Pengaruh Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas X SMA Negeri 6 Surakarta Tahun Pelajaran 2012/2013.
26
2012/2013
hasil belajar siswa pada materi pembelajaran pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan penerapan Problem Based Learning (PBL) berbantuan peta di Kelas XI IS 1 SMA Negeri 1 Klirong tahun ajaran 2014/2015.
30
matematika dapat meningkat dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) pada mata pelajaran matematika siswa Kelas VII B SMPN 16 Surakarta tahun pelajaran 2013 / 2014. 3. Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) yang dapat meningkatkan pemahaman konsep dan konsentrasi belajar siswa Kelas VII B SMPN 16 Surakarta tahun pelajaran 2013/2014. 4. Mengetahui peningkatan pemahaman konsep dan konsentrasi belajar siswa Kelas VII B SMPN 16 Surakarta tahun pelajaran 2013/2014 setelah mengikuti pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together).
27
Metode
Hasil
Deskriptif kualitatif.
1. Uji prasayarat analisis 2. Pengujian hipotesis penelitian.
Deskriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil tes siklus I dan tes siklus II pemahaman konsep meningkat seperti yang terlihat pada persentase siswa yang tuntas pada siklus I sebesar 66,67 % dan pada siklus II persentase siswa yang tuntas mengalami peningkatan sebesar 13,33 % menjadi 80 %. Sedangkan hasil observasi lima observer, pada siklus I dihasilkan rata-rata persentase konsentrasi siswa mencapai 71,25 % dengan persentase perilaku kognitif 70 %, perilaku afektif 59,99 %, perilaku psikomotor 68,33 %, perilaku berbahasa 86,67 % dan pada siklus II mengalami peningkatan rata-rata persentase konsentrasi siswa sebesar 6,52% menjadi
Nilai rata-rata tes pemahaman konsep matematika dengan model pembelajaran pencapaian konsep lebih tinggi daripada nilai rata-rata tes pemahaman konsep matematika siswa dengan model pembelajaran konvensional. Atau dengan kata lain, nilai rata-rata tes pemahaman konsep matematika dengan model pembelajaran pencapaian konsep lebih baik daripada nilai rata-rata tes pemahaman konsep matematika siswa dengan model pembelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan dengan menggunakan uji t, maka diperoleh nilai t hitung
Berdasarkan hasil observasi pemahaman konsep siswa pada siklus I yakni sebesar 56,7% dan pada siklus II sebesar 86,9%. Pada observasi pemahaman konsep siswa XI IS 1 telah sesuai dengan indikator keberhasilan penelitian, yakni pada siklus II setidaknya siswa mencapai pemahaman konsep sebesar 75%. Hal tersebut berdampak pada nilai hasil belajar siswa yaitu pada tes akhir siklus 1, siswa memiliki presentase nilai rata-rata sebesar 45,7%, sedangkan pada siklus II mengalami peningkatan
31
Metode Quasi ekspereimental research dengan desain penelitian Posstest Only with Nonequivalent Group Design. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL), siswa berpartisipasi aktif di dalam proses pembelajaran. Hasil uji hipotesis menghasilkan keputusan uji (sig) < 0,05 sehingga H ditolak, hal ini berarti perolehan rata-rata kemampuan berpikir kritis antara kelas kontrol dan kelas eksperimen berbeda nyata. Pernyataan tersebut juga
28
didukung secara diskriptif yaitu dari data nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis sebesar 76.14862 untuk kelas eksperimen dan nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis sebesar 83.24593 untuk kelas kontrol.
77,77% dengan persentase perilaku kognitif 81,66 %, perilaku afektif 64, 44 %, perilaku psikomotor 75 %, dan perilaku berbahasa 90 %.
sebesar 5,64. Untuk mengetahui nilai t tabel dengan derajat kebebasan (dk) = 50 dan taraf signifikansi (α) = 0,05 dilakukan penghitungan, dari hasil penghitungan didapat nilai t tabel = 2,01. Dengan membandingkan nilai t hitung dan t tabel diperoleh thitung > t tabel, ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima. dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran pencapaian konsep memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pemahaman konsep matematika siswa.
sebesar 85,7%. Disimpulkan bahwa pada nilai hasil belajar siswa kelas XI IS 1 telah mencapai indikator keberhasilan penilitian yaitu sebesar 75%.
32
33
C. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan arahan penalaran untuk dapat sampai pada penelitian jawaban atas masalah yang telah dirumuskan. Untuk mengetahui keberhasilan siswa selama mengikuti proses belajar mengajar perlu dilakukan evaluasi belajar yang dilaksanakan secara kontinu untuk mencapainya. Pembelajaran konvensional yang diterapkan seperti guru masih dominan dalam pembelajaran karena masih menerapkan model pembelajaran konvensional, aktivitas siswa hanya meliputi mencatat disertai tanya jawab dari guru seperlunya kemudian dilanjutkan dengan pengerjaan latihan soal atau tugas, dan proses pembelajaran yang diterapkan belum menggunakan sarana dan prasarana secara optimal berdampak pada pemahaman konsep dan hasil belajar siswa terhadap mata pelajaran geografi di kelas XI IS 1 SMA Negeri 1 Klirong juga masih belum optimal dan nilai yang masih dibawah KKM. Berdasarkan
latar
belakang
masalah
dapat
diidentifikasi
bahwa
permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah rendahnya pemahaman konsep dan hasil belajar pada materi pembelajaran Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan siswa Kelas XI IS 1 SMA Negeri 1 Klirong tahun ajaran 2014/2015 terhadap geografi. Rendahnya pemahaman konsep siswa terhadap geografi dikarenakan beberapa faktor, diantaranya diantaranya tidak tertariknya siswa pada proses pembelajaran dan siswa mempelajarinya dengan cara menghafal. Rendahnya pemahaman konsep siswa tersebut dapat dilihat dari banyaknya siswa yang mendapat nilai di bawah KKM pada ujian tengah semester tahun ajaran 2014/2015. Pada materi pembelajaran Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan mata pelajaran geografi, sekitar lebih dari 45% siswa kelas XI IS 1 mendapat nilai di bawah KKM. Model pembelajaran Problem Based Learning, mengajak siswa untuk melatih berpendapat, menyelesaikan masalah dengan gagasan atau ide baru, sehingga didapatkan
sebuah pemecahan masalah (solusi) baru.
Model
pembelajaran ini, dapat melatih siswa untuk berpikir kreatif dan rasional, selain itu juga menambah tingkat pemahaman akan materi yang disajikan dengan
33
34
berbantuan peta dengan tujuan agar pemahaman
konsep dan hasil belajar
mengalami peningkatan dari sebelumnya. Filosofi atau esensi geografi sebagai ilmu spasial memberikan bekal kemampuan spasial, maka media yang digunakan merupakan media menyajikan telaah spasial materi pembelajaran di sekolah. Dan peta merupakan media utama yang menyajikan telaah spasial materi pembelajaran di sekolah. Berdasarakan hal tersebut, maka perlunya penggunaan peta sebagai media bantu pada mata pelajaran geografi. Gambar 2.1. Kerangka Berpikir Hasil belajar siswa XI IS 1 SMA Negeri 1 Klirong lebih dari 45% di bawah KKM dan nilai rata-rata akhir semester mendekati KKM, yakni 71 tahun pelajaran 2013/2014. Masalah
Rendahnya pemahaman konsep
Model pembelajaran kurang efektif
Tindakan Penerapan Problem Based Learning ( Pbl) Berbantuan Peta
Meningkatnya pemahaman konsep siswa dan hasil belajar siswa terhadap geografi
Keterangan : : Input (Masukan masalah SMA Negeri 1 Klirong) : Proses (Penerapan model pembelajaran) : Output ( Hasil Penerapan model pembelajaran)
35
D. Hipotesis Tindakan 1. Penerapan model Problem Based Learning (PBL) berbantuan peta dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa kelas XI IS 1 SMA Negeri 1 Klirong Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran 2014/2015 pada kompetensi dasar pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. 2. Penerapan model Problem Based Learning (PBL) berbantuan peta dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IS 1 SMA Negeri 1 Klirong Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran 2014/2015 pada kompetensi dasar pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan.