Bab II Kajian Literatur
BAB II KAJIAN LITERATUR 2 Dalam konsep pengoperasian waduk, belum banyak yang memperhitungkan sedimentasi, padahal untuk kasus studi ini masalah sedimentasi merupakan hal yang harus diperhatikan mengingat besarnya sedimen yang masuk ke waduk. Untuk itu perlu dipelajari dasar-dasar teori mengenai erosi pada daerah aliran sungai (DAS) yang membawa angkutan sedimen, sistem pengoperasian waduk, kemudian sedimen khususnya sedimentasi yang ada di waduk.
2.1
DAERAH ALIRAN SUNGAI
Daerah aliran sungai (DAS) dapat diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau/laut (Manan, 1979). DAS merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur utama vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala upaya yang dilakukan di dalamnya (Soeryono, 1979). Sebagai suatu ekosistem, di DAS terjadi interaksi antara faktor biotik dan fisik yang menggambarkan keseimbangan masukan dan keluran berupa erosi dan sedimentasi. Daerah aliran sungai dapat dibedakan berdasarkan bentuk atau pola dimana bentuk ini akan menentukan pola hidrologi yang ada. Corak atau pola DAS dipengaruhi oleh faktor geomorfologi, topografi dan bentuk wilayah DAS. Manusia dengan aktivitasnya dan sumberdaya tanah, air, flora serta fauna merupakan komponen ekosistem di Sub-DAS yang saling berinteraksi dan berinterdependensi. Oleh karena itu pengertian DAS disini adalah pengelolaan daru lahan untuk produk air dengan kuantitas optimum, pengaturan produk air dan stabilitas tanah yang maksimum. AlRasyd dan Samingan (1980) mengatakan bahwa dalam pengelolaan DAS, orientasi pengelolaan seharusnya kepada konservasi tanah dan air dengan penekanan kepada upaya
2‐1
Bab II Kajian Literatur peningkatan kesejahteraan rakyat. Titik sentral dalam hasil pengelolaan ini adalah kondisi tata air yang baik dan dicerminkan oleh penyediaan tata air yang cukup sepanjang waktu, baik kuantitas maupun kualitas. Hal ini dapat dicapai dengan mengelola unsur yang berperan penting, yaitu tanah dan vegetasi tanpa melupakan unsur lainnya. Dengan demikian pengelolaan DAS merupakan upaya menjaga keseimbangan dan berfungsinya unsur-unsur tersebut dengan baik sesuai dengan syarat yang diperlukan. Upaya pokok yang dilakukan dalam pengelolaan DAS adalah melakukan •
Pengelolaan lahan melalui usaha konservasi tanah dalam arti luas.
•
Pengelolaan air melalui pengembangan sumberdaya air.
•
Pengelolaan vegetasi khususnya pengelolaan hutan yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air.
•
Pembinaan kesadaran manusia dalam pengelolaan sumberdaya alam secara bijaksana.
Stalling (1957) mengatakan tujuan pengelolaan DAS adalah melakukan prinsip konservasi tanah dan air untuk produksi air (kuantitas dan kualitas) serta pemeliharaan tanah (pencegahan erosi dan banjir). Ini menunjukkan bahwa muara dari pengelolaan DAS adalah mewujudkan kondisi optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga memberikan manfaat yang maksimal dan berkelanjutan bagi kesejahteraan manusia. Peningkatan kesejahteraan manusia sangat tergantung kepada bentuk pengelolaan sumbersumber daya alam yang terdapat di dalam DAS (Nasoetion dan Anwar, 1981). Pengelolaan DAS dapat dianggap sebagai suatu sistem dengan input manajemen dan input alam untuk menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan baik di tempat (on site) maupun di luar (offsite). Secara ekonomi ini berarti bentuk dari proses produksi dengan biaya ekonomi untuk penggunaan input manajemen dan input alam serta hasil ekonomi berupa nilai dari outputnya (Hulfschmidt, 1985). Tujuan pengelolaan DAS secara ringkas adalah •
Menyediakan air, mengamankan sumber-sumber air dan mengatur pemakaian air;
•
Menyelamatkan tanah dari erosi untuk meengurangi jumlah sedimentasi yang terjadi serta meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah
2‐2
Bab II Kajian Literatur 2.2
ANALISA SISTEM
Analisis sistem adalah studi mengenai sistem dengan menggunakan asas metode ilmiah sehingga dapat dibentuk konsepsi dan model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk mengadakan perubahan serta menentukan kebijaksanaan, strategi dan taktik (Soerianegara, 1978). Analisis sistem merupakan proses yang berkaitan dengan lintasan sebab akibat. Secara umum dapat dikatakan bahwa analisis sistem merupakan metode ilmiah yang menjadi dasar bagi pemecahan masalah pengelolaan. Pada dasarnya analisis sistem merupakan serangkaian teknik yang mencoba untuk : 1. Mengidentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem yang merupakan perwujudan karena adanya interaksi di dalam sistem atau sub-sistem. 2. Menjelaskan interaksi atau proses yang berpengaruh terhadap sistem secara keseluruhan yang diakibatkan karena adanya berbagai masukan 3. Menduga/meramal apa yang mungkin terjadi pada sistem bila beberapa faktor yang ada dalam sistem berubah Faktor yang berperan cukup besar di dalam analisis sistem adalah model. Model merupakan gambaran abstrak tentang suatu sistem dimana hubungan antar peubah dalam sistem digambarkan sebagai hubungan sebab akibat. Suatu model yang baik seharusnya mengandung semua hal penting yang ada di dunia nyata untuk masalah tertentu. Model menjadi sangat bermanfaat bila kita menghadapi sistem yang rumit. Dalam pengelolaan DAS, keberadaan model sangat berarti, terutama sebagai sumber informasi dalam menyusun kebijakan untuk merubah suatu kondisi atau kebijaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam di suatu DAS. Hal yang paling penting dalam perencanaan dan pengelelolaan sumberdaya air adalah masalah kuantitas air yang dapat dijamin dengan tingkat kepastian yang tinggi serta kualitas air yang memadai guna mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Masalah yang dihadapai adalah bagaimana menemukan strategi yang terbaik untuk memenuhi tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhatikan keterbatasan-keterbatasan sumberdaya yang ada. Yang dimaksud dengan terbaik dan bagaimana mendapatkannya, kita dapat menggunakan ilmu sistem rekayasa (engineering system) atau analisa sistem.
2‐3
Bab II Kajian Literatur Sebelum mambahas masalah analisa sistem secara lebih terinci, ada baiknya mendefinisikan sistem terlebih dahulu. Sistem adalah sekumpulan komponen yang fungsional dan saling berkaitan dengan beragam cara, dimana sistem tersebut memerlukan input dan menghasilkan output, seperti terlihat pada gambar 2.1. Keterkaitan antara komponen-komponen tersebut dapat berupa fisik, ekonomi, sosial. SISTEM Komponen Input
Output
Gambar 2. 1 Skema sistem Hall-Dracup mendefinisikan analisa sistem sebagai suatu cara pendekatan rasional yang efisien dan sistematis untk mencapai suatu keputusan yangterbaik dari sekumpulan alternatif yang mungkin bagi suatu sistem berdasarkan informasi yang ada dengan segala keterbatasannya. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga elemen dasar didalam analisa sistem, yaitu : a.
Objektif
: apa yang ingin dicapai.
b.
Alternatif
: bagaimana melaksanakannya.
c.
Constraints
: batasan-batasan yang ada
Analisa sistem sumberdaya air bertujuan untuk memodifikasi bekalan air (water supply) yang tersedia secara alami. Dengan menggunakan metode analisa sistem, diharapkan sumberdaya air yang tersedia secara alami dan tidak dapat diandalkan pendistribusiannya menurut ruang dan waktu.Untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air, pendekatan rasional dengan analisa sistem memerlukan prosedur pemecahan sebagai berikut : a.
Mendefinisikan masalah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
b.
Mengidentifikasikan kerja sistem dan mengumpulkan data-data yang diperlukan.
c.
Mendefinisikan sasaran dan tujuan serta pengukuran kuantitatif untuk mengetahui keefektifan dari solusi alternatif.
d.
Merumuskan alternatif-alternatif yang layak sesuai dengan kendala-kendala yang ada pada sistem tersebut. 2‐4
Bab II Kajian Literatur e.
Mengevaluasi dan menentukan alternatif terbaik.
f.
Meninjau, memperbaharui, dan membuat analisa umpan balik (feed back) untuk memastikan kebenaran dari keputusan yang diambil. Prosedur-prosedur diatas dapat disajikan dalam bentuk bagan seperti terlihat pada gambar 2.2. Dengan melakukan prosedur penyelesaian masalah seperti tersebut diatas akan memberikan hasil yang optimal. Ada dua teknik yang biasa digunakan dalam analisa sistem sumberdaya air, yaitu Teknik Simulasi dan Teknik Optimasi yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Definisi kedua teknik tersebut adalah sebagai berikut :
2‐5
Bab II Kajian Literatur
Spesifikasi Masalah
Identifikasi sistem
Tujuan & Sasaran
Efektifitas Pengukuran
Perumusan Alternatif
Evaluasi Alternatif
Alternatif terbaik
Tidak
Ya Umpan balik
Implementasi Rencana
Gambar 2. 2 Proses Perencanaan dengan Analisa Sistem
2‐6
Bab II Kajian Literatur 1.
Teknik Simulasi adalah model deskriptif untuk memperkirakan konsekuensi atau output dari suatu manajemen sistem berdasarkan input yang sudah ditentukan. Pendekatan dan penyelidikan sistem dilakukan dengan bantuan suatu sistem tiruan. Model ini disebut juga Behaviour Modelling System, yang biasa digunakan untuk menentukan kebijaksanaan menajemen yang terbaik. Teknik simulasi ini memiliki kelebihan seperti : a.
Model akurat dan mendekati kenyataan.
b.
Model fleksibel serta mudah dimengerti.
c.
Dapat mensimulasi input data dalam jumlah yang cukup banyak.
d.
Dapat membandingkan beberapa manajemen kebijaksanaan.
Sedangkan kekurangan-kekurangan yang ada didalam teknik simulasi ini antara lain a.
Proses dilakukan dengan cara coba-coba (trial and error)
b.
Memerlukan banyak waktu dan dana
c.
Tidak dapat memberikan hasil yang optimum
MODEL SIMULASI
Alternatif Manajemen
Perkiraan dari konsekuensi
Sistem SDA yang dimodelkan
Gambar 2. 3 Skema Mode Simulasi Model simulasi ini hanya memperkirakan konsekuensi dari berbagai alternatif manajemen yang diberikan, tetapi tidak bisa menemukan kebijakan manajemen yang paling baik dengan sendirinya. 2.
Teknik Optimasi adalah suatu proses yang sistematis dalam rangka mencari pola kebijakan yang paling baik tanpa harus mempertimbangkan semua kemungkinan yang ada . Pada teknik optimasi, model dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menemukan manajemen kebijakan yang paling baik (optimal). Model optimasi biasanya dibentuk dengan cara mengkombinasikan kelakuan sistem (behaviour system) dengan fungsi tujuan (objective) dari sistem itu sendiri. Komponen kelakuan 2‐7
Bab II Kajian Literatur sistem disebut kendala (constraint) dan sistem objektif dibentuk menjadi fungsi tujuan, kemudian algoritma matematik yang cocok akan dipilih untuk ditetapkan kedalam mode optimasi tersebut. Kadangkala untuk memenuhi persyaratan salah satu algoritma optimasi, model optimasi suatu sistem perlu disederhanakan kedalam bentuk algoritma optimasi yang akan dipakai
MODEL OPTIMASI
Sistem SDA yang ada
Solusi terbaik
Algoritma Matematik
Gambar 2. 4 Skema Model Optimasi Model optimasi ini mempunyai kelebihan-kelebihan yaitu : a.
Memberikan solusi yang terbaik
b.
Semua alternatif dapat dievaluasi secara bersamaan.
Selain itu model ini juga memiliki kekurangan , karena struktur modelnya terbatas dan kompleks. Dari kedua teknik yang telah disebutkan diatas , yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah teknik simulasi yang menggunakan prinsip Hukum Kekekalan Massa (Mass Balance)
2.3
WADUK DAN KARAKTERISTIKNYA
2.3.1 Klasifikasi penggunaan waduk Berdasarkan fungsinya, waduk dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu: a) Waduk eka guna (single purpose) Waduk eka guna adalah waduk yang dioperasikan untuk memenuhi satu kebutuhan, misalnya kebutuhan air irigasi, air baku, atau PLTA. Pengoperasian waduk eka guna lebih mudah dibandingkan waduk multi guna dikarenakan pada waduk eka guna tidak akan terjadi konflik dalam pengoperasiannya atau dengan kata lain tidak adanya konflik
2‐8
Bab II Kajian Literatur kepentingan.
Pada
waduk
eka
guna
pengoperasian
yang
dilakukan
hanya
mempertimbangkan pemenuhan satu kebutuhan. b) Waduk multi guna (multi purpose) Waduk multi guna adalah waduk yang berfungsi untuk memenuhi berbagai kebutuhan, misalnya waduk yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan air irigasi, air baku, dan PLTA.
Kombinasi
dari
berbagai
kebutuhan
ini
dimaksudkan
untuk
dapat
mengoptimumkan fungsi waduk dan meningkatkan kelayakan pembangunan suatu waduk. Hal yang harus diperhatikan dalam mengoperasikan waduk dengan berbagai manfaat adalah konflik kepentingan terutama pada waduk yang memiliki sumber daya air yang terbatas. Konflik kepentingan terjadi dikarenakan setiap kebutuhan memiliki persyaratan dalam mengoptimalkannya, misalnya : PLTA mempertahankan muka air tinggi agar didapatkan energi listrik yang besar, sedangkan irigasi tidak mempertimbangkan TMA tetapi banyaknya volume air yang dikeluarkan. Contoh lain adalah waduk yang mempunyai fungsi untuk pembangkitan tenaga listrik dan pengendalian banjir. Waduk yang ditujukan untuk pengendalian banjir, pola operasinya akan mengusahakan agar waduk sebelum musim penghujan dalam kondisi kosong. Pola operasi yang umumnya digunakan dalam kondisi ini adalah kompromi antara berbagai kebutuhan.
2.3.2 Karakteristik waduk Karakteristik waduk yang diperlukan dalam penyusunan pola operasi suatu waduk adalah data fisik waduk (lebar dan elevasinya pelimpah, ada / tidak adanya pintu di atas pelimpah, data outlet dari waduk, data elevasi maksimum pengoperasian, data tampungan mati, tampungan efektif, dan lain-lain) dan data hubungan antara elevasi – luas dan volume dari waduk. Data hubungan antara elevasi - luas dan elevasi - volume didapatkan dari hasil pengukuran / pemeruman kedalaman waduk yang perlu dilakukan secara rutin.
2.3.3 Penentuan kapasitas waduk Kapasitas waduk ditentukan dari beberapa metode sebagai berikut : Metode analisa kurva masa dengan pendekatan secara grafis, membandingkan grafik kumulatif masukan ke waduk dengan kumulatif outflow yang merupakan kebutuhan. Kapasitas tampung ditentukan berdasarkan pada jarak terbesar antara kedua grafik.
2‐9
Bab II Kajian Literatur Metode analitis dengan tahapan : tentukan besarnya inflow dan outflow untuk suatu tahun operasi, hitung besarnya St+1 = St + Ot - It
(2.1)
untuk kondisi dimana St+1 negatif dibuat St+1 = 0, ambil awal Storage St = 0. hitung St+1 untuk 2 s/d 3 siklus inflow dan outflow, ambil nilai tertinggi yang merupakan kapasitas waduk yang diperlukan.
2.3.4 Masukan air ke waduk Dalam analisis seringkali air yang masuk ke waduk diklarifikasikan dalam tiga kondisi, yaitu : masukan air ke waduk pada kondisi basah, normal, dan kering. Air yang masuk ke waduk dapat terdiri dari aliran air yang masuk dari sungai, dari daerah sekelilingnya, dan dari curah hujan yang jatuh langsung pada permukaan waduk. Untuk menentukan inflow dari sungai untuk tahun basah normal dan kering, prosedur yang dibutuhkan baik untuk kondisi dimana data debit tersedia maupun data debit yang tidak tersedia dapat dilihat pada diagram alir seperti terlihat pada gambar dibawah. Sedangkan Contoh perhitungan inflow untuk kondisi normal, basah dan kering dapat dilihat pada Lampiran.
2‐10
Bab II Kajian Literatur
Pengumpulan
Data Debit
Tersedia > 10 tahun YA
Hitung Persentase volume inflow & plot grafiknya
T
Tersedia Data hujan > 10 tahun
T
Regional Analisis
YA
Pilih Model Rainfall-Runoff
Kalibrasi Model Tentukan 0 -33,3% tahun kering 33,3% - 66,6% tahun normal 66,6% - 100% tahun basah
Pilih dan tentukan tahun-tahun yang masuk ke dalam tahun normal, kering dan basah
Generating Data Debit
Data Debit Sinthetis
Inflow (air yang masuk ke waduk ) untuk kondisi Basah, Normal, Kering
Gambar 2. 5 Diagram alir penentuan inflow (air yang masuk) ke waduk
2.3.5 Keluaran dari waduk Kebutuhan air sangat ditentukan oleh fungsi dari waduk tersebut. Untuk waduk yang mempunyai manfaat tunggal, keluaran air waduk dihitung hanya untuk pemenuhan suatu kebutuhan saja namun pada waduk yang dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, keluaran dari waduk merupakan total dari seluruh kebutuhan seperti untuk irigasi, PLTA, air baku, perikanan, dan lain-lain. Meskipun seringkali terjadi konflik dalam pengoperasiannya namun hal tersebut dapat dikompromikan / disusun sesuai dengan skala prioritas yang telah
2‐11
Bab II Kajian Literatur dituangkan dalam undang-undang pengairan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Kebutuhan air dapat dikategorikan menjadi:
2.4
•
Kebutuhan air minum dan kegiatan perkotaan
•
Kebutuhan air untuk industri
•
Kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai
•
Kebutuhan air untuk perikanan
•
Kebutuhan air untuk peternakan
•
Kebutuhan air untuk irigasi
PENGELOLAAN DAN PENGOPERASIAN SISTEM WADUK
Pengoperasian sistem waduk pada prinsipnya merupakan penerapan dari teori Mass Balance ( Hukum Kekekalan Massa). Teori ini disebut juga dengan Hydrologic Budget, menyatakan bahwa simpanan air dalam waduk untuk akhir periode ke-t adalah sama dengan simpanan air waduk pada awal periode ke-t, ditambah dengan masukan air dari sungai, dikurangi dengan evaporasi, kebutuhan untuk suplai air dan tenaga listrik serta irigasi selama periode t. Namun teori ini perlu dikoreksi lagi. Mengingat jumlah sedimentasi yang masuk ke waduk sangat besar sehingga akan mengurangi kapasitas waduk. Dianggap bahwasanya air yang keluar untuk kebutuhan turbin adalah air bersih yang nantinya bisa digunakan untuk keperluan water supply di hilir waduk. Secara matematis hukum kekekalan massa di atas dapat ditulis dalam bentuk persamaan berikut : St = I t + St −1 − Et − Vsi + Vso − Rt
(2.2)
dimana : St
= Volume tampungan (air dan sedimen) pada akhir periode t
St-1 = Volume tampungan (air dan sedimen) pada awal periode t It
= Inflow selama periode t
Et
= Evaporasi yang terjadi selama periode t
Vsi
= Sedimen yang masuk ke waduk selama periode t
Vso =
Sedimen
yang
keluar
dari
sistem
pembuangan
(pintu
pembilas
dan
penggelontoran) Rt
= Air yang dilepas dari waduk selama periode t 2‐12
Bab II Kajian Literatur t
= waktu (contoh : bulanan)
Yang perlu diperhatikan dalam pengoperasian sistem waduk adalah banyaknya air yang keluar. Untuk masing-masing sistem waduk besar debit inflow dan debit outflow tergantung dari kondisi yang ada serta kegunaan dari sistem waduk yang bersangkutan. Batasan-batasan yang digunakan dalam menentukan strategi pengoperasian waduk, yaitu volume waduk pada awal dan akhir operasi adalah tetap pada kondisi maksimum, debit yang melaui turbin tidak boleh melebihi kapasitasnya dan tidak boleh kurang dari debit minimum.
2.4.1 Kebutuhan air untuk Hidropower Energi listrik yang dihasilkan oleh turbin tergantung dari besarnya debit yang masuk ke pintu pengambilan, tinggi jatuh air serta efisiensi turbin dan generator yang digunakan. Untuk menentukan berapa besarnya enegi listrik yang dihasilkan, penting diketahui hubungan antara energi yang dihasilkan dengan variabel tinggi jatuh dan debit. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam menentukan hubungan ini, yaitu : 1. persamaan energi dari Bernoulli 2. pendekatan energi kerja
Gambar 2. 6 Diagram Bernoulli untuk Hydropower kerja = gaya * jarak
dW
= µ × g × H × dV
(2.3)
dV
= dQ × dt
(2.4)
dW
= dP × dt
(2.5)
dP.dt = µ × g × H × dQ.dt dP
= µ × g × H × dQ
(2.6) (2.7)
2‐13
Bab II Kajian Literatur Penjumlahan elemen dari komponen tenaga dan debit total yang melalui turbin menghasilkan persamaan berikut :
P = C × µ × g × H ×Q
(2.8)
dimana : P = tenaga listrik yang dihasilkan selama bulan ke–t (kW) Q = debit yang digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik selama bulan ke- t (m3/s) H = tinggi jatuh selama bulan ke-t (m) g = percepatan gravitasi
µ = kerapatan air (=1000 kg/m3) C = efisiensi turbin dan generator
2.4.2 Pengendalian Banjir Banjir adalah peristiwa alam biasa, yaitu peristiwa terjadinya limpasan air oleh karena debit yang mengalir dari sungai ke waduk melebihi kapasitas waduk. Banjir ini bukanlah merupakan masalah, selama peristiwa tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi manusia. Masalah banjir timbul akibat interaksi dari peristiwa alam dan pengaruh kegiatan manusia. Peristiwa alam yang dapat menimbulkan masalah banjir, antara lain adalah curah hujan, kondisi topography pada dataran banjir, kondisi muara sungai dan sebagainya. Kegiatan manusia yang merupakan andil terjadinya masalah banjir antara lain : penyempitan alur sungai akibat pemukiman sepanjang sungai, pemanfaatan lahan dataran banjir, debit puncak banjir dan volume sedimen yang meningkat akibat penggundulan lahan di hulu sungai, kurangnya kesadaran masyarakat, dan sebagainya. Untuk mengatasi masalah banjir, pada umumnya dilakukan usaha-usaha baik yang bersifat non fisk maupun fisik. Usaha yang bersifat non fisik antara lain : pengaturan penggunaan lahan di dataran banjir, peramalan dan peringatan banjir, pemindahan penduduk yang bermukim di sepanjang aliran sungai dan lain-lain. Sedangkan usaha yang bersifat fisik yaitu dengan bangunan-banguna pengendali banjir seperti : tanggul, waduk, normalisasi aliran sungai , sudetan, banjir kanal dan sebagainya. Dalam penulisan ini, cara yang digunakan untuk mengatasi masalah banjir adalah pembangunan waduk, dengan menyediakan sebagaian dari volume tampungan waduk sebagai wadah untuk menampung debit banjir yang terjadi. Besarnya tampungan yang
2‐14
Bab II Kajian Literatur disediakan untuk pengendali banjir (flood control) disesuaikan dengan umur rencana dari bangunan dan besarnya debit banjir bulanan dengan periode ulang tertentu. Prinsip yang digunakan dalam menentukan volume tampungan untuk debit banjir adalah berdasarkan besarnya inflow banjir dikurangi besarnya air untuk kebutuhan irigasi yang dikeluarkan melaui turbin dan juga air yang dilepas untuk pembilasan dan penggelontoran sedimen melaui outlet.
2.4.3 Evaporasi Sebenarnya evaporasi bukan merupakan kebutuhan air tetapi lebih tepat dikatakan sebagai kehilangan air. Evaporasi dimasukkan ke dalam bab ini karena evaporasi merupakan salah satu faktor yang mengurangi jumlah simpanan air yang dipunyai waduk. Dalam hidrologi evaporasi didefinisikan sebagai peristiwa berubahnya air menjadi uap air yang menguap dari permukaan air ke atmosfir. Besarnya evaporasi ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan lingkungan yang disebabkan oleh faktor-faktor berikut : a)
Faktor meteorologi
−
suhu udara
−
kelembababan udara
−
kecepatan angin
−
tekanan udara
−
sinar matahari
b) Sifat permukaan benda yang menguap c)
Pengaruh kualitas air
Pengukuran langsung untuk mengetahui besarnya tingkat evaporasi pada kondisi-kondisi lapangan, memerlukan asumsi-asumsi sesuai dengan keadaan setempat.
Sebagai
konsekuensinya berbagai teknik telah dipakai untuk menentukan atau memperkirakan besarnya evaporasi dari permukaan air waduk diantaranya, adalah sebagai berikut: a.
Pengukuran evaporasi dengan menggunakan panci penguapan, panci ini terbuat dari besi tak digalvanisir dan tidak dicat dengan diameter 122 cm dan tinggi 25,4 cm dan terbuka pada rangka kayu agar air dapat bersikulasi di bawah panci.
b.
Metode Penmann, dengan menggunakan data temperatur, kelembaban udara, kecepatan angin dan radiasi sinar matahari.
2‐15
Bab II Kajian Literatur 2.5
SIMULASI PENGOPERASIAN WADUK
Simulasi pengoperasian waduk dilakukan dengan menggunakan persamaan keseimbangan air (Mass Balance) seperti yang ditunjukkan pada persamaan (2.1). Untuk mengetahui keandalan strategi pengoperasian waduk yang dihasilkan oleh program komputer, maka kita perlu melakukan melakukan pengujian dengan cara simulasi. Simulasi adalah teknik pemecahan masalah berdasarkan cara coba-coba (trial and error) untuk mempelajari sistem–sistem yang kompleks yang tidak dapat dianalisa secara langsung. Simulasi dilakukan dengan cara meniru sifat-sifat dasar atau karakteristik pokok yang ada dalam sistem, kedalam suatu bentuk model tanpa meniru sistem itu sendiri. Model simulasi adalah teknik untuk menghasilkan atau memperkirakan kondisi-kondisi yang akan terjadi di masa mendatang berdasarkan model yang dibuat. Pada umumnya model simulasi terdiri dari 5 komponen besar, yaitu: a.
State variable
: menggambarkan pernyataan dari suatu aktivitas dalam bentuk
sistem fisik untuk disimulasi , state variable digunakan untuk menentukan kendala yang dihasilkan oleh model dalam suatu periode. b.
Eksogen variable : menggambarkan sifat-sifat atau kondisi diluar model yang dapat mempengaruhi kelakuan sistem.
c.
Hubungan fungsional : menggambarkan hubungan antar komponen-komponen yang ada di dalam model, hubungan ini digunakan untuk memperkirakan perubahanperubahan yang akan terjadi selama periode simulasi sebagai hasil aktivitas faktor luar yang ada didalam state variabel.
d.
Input : masukan-masukan yang diperlukan untuk mengoperasikan model yang telah dibuat.
e.
Output : menggambarkan hasil aktivitas model pada akhir simulasi berdasarkan input yang ada.
Dengan teknik simulasi ini kita dapat mengetahui apakah model pengoperasian waduk yang telah dibuat mempunyai tingkat kehandalan yang cukup tinggi.
2‐16
Bab II Kajian Literatur 2.6
SEDIMENTASI WADUK
2.6.1 Umum Sedimen adalah suatu kepingan material yang terbentuk oleh proses fisika dan kimia yang terjadi pada tanah dan batuan. Komposisi, ukuran dan kerapatan partikel tersebut bervariasi. Apabila suatu partikel sedimen terlepas, maka ada kemungkinan untuk terangkut angin, air maupun akibat gravitasi. Bila partikel sedimen tersebut yang mengangkut adalah air maka disebut angkutan sedimen atau fluvial. Angkutan sedimen di sungai yang bergerak oleh aliran air sangat erat berhubungan dengan erosi tanah permukaan karena hujan. Sebagaimana lazimnya aliran sungai yang masuk ke waduk, bila kedalaman aliran meningkat maka kecepatan aliran berkurang. Ini mengurangi kapasitas angkutan sedimen dan menyebabkan pengendapan, sehingga akan terjadi penimbunan sedimen di waduk, kemudian akan meningkatkan elevasi dasar sungai dan menyebabkan terjadinya agradasi. Pola penumpukan pada umumnya dimulai dengan terbentuknya delta di hulu waduk. Partikel sedimen yang lebih besar akan terangkut oleh
aliran lumpur (density currents) ke bendungan untuk selanjutnya mengikuti pola penimbunan. Gambar (2.7) menggambarkan pola sedimentasi di waduk. Agradasi di hulu bisa saja terjadi sepanjang jarak di waduk karena pengurangan kecepatan dan kapasitas angkutan sedimen.
Rdt
Rdso
Gambar 2. 7 Pola Sedimentasi di Waduk Sedimentasi waduk adalah sebuah proses kompleks yang berubah-ubah tergantung dari produksi sedimen, tingkat angkutan dan jenis penimbunan. Sedimentasi waduk tergantung dari bentuk jaringan sungai, frekuensi banjir, operasi dan bentuk geometri waduk, potensi 2‐17
Bab II Kajian Literatur mengendap, konsolidasi sedimen, aliran lumpur, dan kemungkinan tata guna lahan yang merubah usia guna waduk (life expectancy). Didalam menganalisa sedimentasi, kehilangan tampungan dalam hal live storage dan dead storage, trap effisiensi, pengukuran pengendalian dan pengoperasian waduk harus dipertimbangkan hal-hal berikut : inflow hidrograph, inflow dari sedimen dan karakteristik sedimen, konfigurasi waduk, keadaaan geography dan tata guna lahan. Usia guna waduk menandakan lamanya waktu dimana waduk telah terisi penuh oleh sedimen. Penebangan pohon, bencana alam dapat mempengaruhi usia guna waduk.
2.6.2 Sumber dan Beban Sedimen yang Masuk Sedimentasi pada Waduk Saguling bersumber dari erosi lahan yang terjadi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum seluas 2.283 km2 mengingat di DAS tersebut terdapat seluruh aktivitas penduduk kota dan Kabupaten Bandung yang berjumlah sekitar 9 juta jiwa. Padatnya jumlah penduduk di DAS Citarum mengakibatkan perubahan tata guna lahan yang akhirnya mempengaruhi masalah sedimentasi di Waduk Saguling. Mekanisme sedimentasi yang terjadi adalah permukaan tanah yang terbuka (gundul), tererosi langsung oleh curah hujan kemudian masuk ke sistem aliran terbawa masuk ke dalam Waduk Saguling dan mengendap (sedimentasi). Beban sedimen yang masuk dapat dikategorikan dua macam yaitu bedload dan suspended load. Mengingat Waduk Saguling ini mempunyai kedalaman yang besar sehingga kecepatan yang masuk ke waduk pun semakin kecil sehingga bedload yang ada cukup kecil dibandingkan suspendedload sehingga bisa diabaikan, hal ini dapat dilihat pada gambar (2.8) Untuk selanjutnya pemodelan yang dilakukan merupakan hasil pengukuran dan perhitungan suspended load.
Gambar 2. 8 ratio suspended dan total load 2‐18
Bab II Kajian Literatur
2.6.3 Angkutan Sedimen Dasar (Bed load Transport) Proses angkutan ini terjadi pada kondisi kecepatan aliran yang relatif rendah, sehingga butiran yang semula diam akan menggelinding dan meluncur di sepanjang saluran. Partikel nonkohesif yang berada di dasar aliran akan bergerak ketika tegangan geser melewati tegangan geser kritis. Umumnya, lumpur dan lempung akan tersuspensi sedangkan partikel pasir dan kerikil akan menggelinding dan meluncur pada lapisan yang tipis di dasar aliran atau dinamakan bed layer. Pada umumnya rata-rata transpor bedload dari sungai berkisar 5% dari yang mengendap.Untuk material yang lebih kasar persentase yang lebih tinggi akan di dipindahkan sebagai bedload. Beberapa dari rumus klasik untuk sedimen tranpor diturunkan langsung untuk bedload. Bedload merupakan partikel sedimen transport yang selalu berhubungan dengan dasar aliran Dalam studi literatur banyak sekali formula untuk menghitung bedload tranpor ini yang melalui pendekatan yang berbeda-beda. Dalam penulisan ini mengambil formula Einstein yang melakukan pendekatan secara probabilistik. Formula einstein ini mempunyai dua ide dasar dalam menghitung transpor bedload yang mematahkan konsep-konsep yang dipakai sebelumnya yaitu : 1) Kriteria kritis untuk gerakan permulaan (awal) saat partikel sedimen mulai bergerak dihindarkan karena sangat sulit untuk didefinisikan. 2) Transpor bedload berhubungan dengan fluktuasi aliran turbulent daripada nilai rata-rata gaya desakan oleh arus pada partikel sedimen yang selama ini digunakan pada konsepkonsep terdahulu. Sebagai akibatnya permulaan dan berhentinya gerakan partikel disajikan dalam bentuk probabilitas. Berdasarkan hasil percobaan Einstein menyimpulkan bahwa : 1) Ada perubahan yang tetap dan terus menerus antara bed material dan bedload 2) Pergerakan dari bedoad dalam rangkaian langkah-langkah.Panjang rata-rata langkah tersebut kira-kira 100 kali partikel diameter 3) Nilai pengendapan per unit daerah bed tergantung pada nilai transpor daerah sebelumnya dan sama saja dengan
kemungkinan yang menyebabkan gaya
hidrodinamik yang membuat parikel mengendap. Harga dari erosi tergantung pada jumlah dan sifat-sifat partikel dalam unit area dan juga probabilitas gaya angkat hidrodinamis yang seketika pada partikel cukup besar untuk menggerakkannya.Untuk
kondisi bed yang stabil, harga pengendapan mesti seimbang dengan harga erosi. 2‐19
Bab II Kajian Literatur Einstein memperkenalkan juga ide bahwasanya butiran bergerak dalam langkah-langkah yang sebanding dengan ukurannya. Dia menjelaskan ketebalan bedlayer sama dengan dua kali diameter partikel. Dia menggunakan konsep probabilitas yang sangat luas untuk memformulasikan hubungan untuk debit sedimen yang berhubungan. Debit sedimen yang berhubungan qbv dalam volume sedimen per unit lebar dan waktu (qbv dalam L2/T) diubah dengan menggunakan rumus Rubey untuk kecepatan jatuh air yang jernih kepada sebuah unit volumerik debit sedimen tak berdimensi qbv* yaitu : qbv* =
qbv ω0ds
(2.9)
⎛ ⎧ ⎫⎪ ⎞ 36v 2 36v 2 3 ⎪ 2 ⎟ qbv = qbv* ⎜ (G − 1) gd s ⎨ + − 3 ⎬ ⎜ ⎟ 3 (G − 1) gd s 3 G gd ( 1) − s ⎪ ⎪ ⎩ ⎭ ⎝ ⎠
−1
(2.10)
Harga transpor sedimen tak berdimensi qbv* merupakan fungsi dari Shields parameter
τ * = τ 0 / (γ s − γ ) d s . Brown (1950) menyarankan dua hubungan yang berikut : qbv* = 2.15e
qbv* = 40τ *
−0.391/ τ *
3
ketika τ * < 0,18 ketika
0,18 < τ * < 0,52
(2.11) (2.12)
Sedangkan untuk data sedimen transpor pada Shear yang tinggi τ * > 0,52 seorang menyarankan 1.5
qbv* = 15τ *
ketika τ * > 0,52
(2.13)
2.6.4 Angkutan Sedimen Layang (Suspended Load Transport) Ketika gaya hidraulik mendorong partikel sedimen melebihi dari kondisi batas dari gerakan awal (incipient motion), partikel sedimen kasar bergerak dan bersentuhan dengan dasar sungai. Apabila fluktuasi turbulensi kecepatan sangat besar maka partikel yang lebih besar akan tergenang tanpa bersentuhan dengan dasar sungai. Partikel tersebut disedut suspended load. Menurut Bagnold (1966) suspensi akan terjadi apabila u* ≥ ω , sedangkan menurut Van Rijn (1984) suspensi akan terjadi pada kecepatan geser dasar aliran yang makin kecil.
2‐20
Bab II Kajian Literatur Gerakan-gerakan yang terjadi pada partikel sedimen suspended load dapat dibedakan atas : rolling dan sliding, loncatan, dan suspension.Perilaku suspended load biasanya digambarkan dengan konsentrasi sedimen, yaitu perbandingan antara massa sedimen (kg) dengan volume fluida (m3). Penelitian membuktikan bahwa semakain kebawah aliran maka konsentrasi sedimen akan meningkat. Penurunan tersebut tergantung dari rasio dari kecepatan jatuh dan kecepatan geser dasar aliran (ω / u* ) .
2.6.5 Konsentrasi Sedimen
Untuk memahami konsep ini, maka terlebih dahulu perlu ditinjau suatu elemen fluida yang berbentuk kubus kecil dengan ukuran ∆x,∆y, dan ∆z yang dilewati oleh aliran fluida dengan kandungan konsentrasi polutan yang mengalami difusi molekul (gambar 2.9) z S (sumber dari luar elemen) E
F
A
B
(konveksi) uc ∆ y ∆ z ∂c εm ∂x (difusi molekul) y
H
G
∂ uc ⎛ ⎞ ∆x ⎟ ∆y∆z ⎜ uc + ∂x ⎝ ⎠ ∂c ∂ ∂c ⎛ ⎞ + εm ∆x ⎟ ∆y ∆z ⎜εm ∂x ∂x ∂x ⎝ ⎠
D
C
∂c ∆x∆y ∆z ∂t (elemen polutan luruh atau tumbuh) x
Gambar 2. 9 Elemen kubus fluida untuk transpor sedimen Dengan menggunakan hukum kekekalan massa, maka untuk aliran fluida pada arah-x yang masuk melaui bidang AECG dan keluar melaui bidang BFHD penurunan persamaan transpor polutannya adalah : Aliran yang masuk – Aliran yang keluar = perubahan divolume kontrol
Maka : ∂c ∂uc ⎞ ∂c ∂ ∂c ⎞ ⎛ ⎞ ⎛⎛ ⎛ ∆x ⎟ ∆y∆z − ⎜ ε m + ε m ∆x ⎟ ∆y∆z ⎜ uc∆y∆z − ε m ∆y∆z ⎟ − ⎜ ⎜ uc + ∂x ∂x ∂x ∂x ∂x ⎠ ⎝ ⎠ ⎝⎝ ⎠ ⎝ ∂c ⎞ ∂M − ∆x∆y∆z − S ∆x∆y∆z ⎟ = ( 2.14 ) ∂t ⎠ ∂t
dimana : 2‐21
Bab II Kajian Literatur
M = jumlah massa unsur polutan pada elemen kubus fluida M = c∆V = c∆y∆x∆z
(2.15)
Dari persamaan (2.15) didapatkan : ∂M ∂c∆V ∂c ∂∆V = = ∆V +c ∂t ∂t ∂t ∂t
Untuk bentuk elemen tetap maka
(2.16)
∂∆V = 0 , sehingga persamaan (2.16) menjadi ∂t
∂M ∂c∆V ∂c = = ∆x∆y∆z ∂t ∂t ∂t
(2.17)
substitusikan persamaan (2.17) ke persamaan (2.14) sehingga diperoleh :
−
∂uc ∂ ∂c dc ∂c ∆x∆y∆z + ε m ∆x∆y∆z + ∆x∆y∆z + S ∆x∆y∆z = ∆x∆y∆z ∂x ∂x ∂x ∂t dt
(2.18)
Untuk semua sisi, maka kita akan mendapatkan persamaan sbb :
⎡ ∂uc ∂vc ∂wc ⎤ ∂c ∆x∆y∆z + ⎢ + + ∆x∆y∆z = ∂t ∂z ⎥⎦ ⎣ ∂x ∂y ⎡ ∂ ⎛ ∂c ⎞ ∂ ⎛ ∂c ⎞ ∂ ⎛ ∂c ⎞ dc ⎤ ⎢ ⎜ ε m ⎟ + ⎜ ε m ⎟ + ⎜ ε m ⎟ + + S ⎥ ∆x∆y∆z ⎣ ∂x ⎝ ∂x ⎠ ∂y ⎝ ∂y ⎠ ∂z ⎝ ∂z ⎠ dt ⎦
(2.19)
Untuk suku tambahan dapat ditulis dalam bentuk persamaan umum source sebagai berikut : dc + S = λc dt
(2.20)
dimana : dc = laju peluruhan / pertumbuhan (decay/growth) unsur polutan akibat proses- proses dt fisika, kimia dan biologi. S = laju massa unsur polutan persatuan volume yang masuk dari luar elemen fluida akibat proses source (contoh : unsur polutan dari tempat pembuangan limbah)
λ = mewakili bentuk turunan / variabel λ Dengan mensubstitusikan pers. (2.20) ke dalam persamaan (2.19) maka didapatkan transpor polutan sebagai berikut : 2‐22
Bab II Kajian Literatur
∂c ⎡ ∂uc ∂vc ∂wc ⎤ ∂ ⎛ ∂c ⎞ ∂ ⎛ ∂c ⎞ ∂ ⎛ ∂c ⎞ + + + = ⎜ ε m ⎟ + ⎜ ε m ⎟ + ⎜ ε m ⎟ + λc ∂t ⎢⎣ ∂x ∂y ∂z ⎥⎦ ∂x ⎝ ∂x ⎠ ∂y ⎝ ∂y ⎠ ∂z ⎝ ∂z ⎠
(2.21)
dimana : c
= konsentrasi polutan
u,v,w = kecepatan arah x, y, z
εm
= koefisien difusi molekul
λc
= suku source
λ c Dalam permasalahan tugas akhir ini dianggap suspended load yang terjadi tidak berasal dari polutan . Dan konsentrasi yang ada semuanya mengendap. Sehingga persamaan akhirnya adalah : ∂C ∂C ∂ 2C +u = εx 2 ∂t ∂x ∂x
(2.22)
untuk selanjutnya persamaan (2.22) diselesaikan dengan metode finite difference. Untuk debit unit sedimen suspended load merupakan hasil integral dari flux adfektif sedimen Cvx untuk kedalaman diatas bedlayer h
qs = ∫ Cvx dz
(2.23)
a
Pada umumnya partikel yang terangkut secara bergulung, bergeser dan melompat disebut angkutan muatan dasar (bed load transport). Dan jika partikel terangkut dengan cara melayang disebut dengan angkutan muatan layang suspensi (suspended load transport). Muatan layang disamping merupakan muatan yang berasal dari aliran setempat juga mengangkut muatan ukuran kecil yang terbawa dalam suspensi dari daerah pengaliran sungai yang disebut sebagai muatan cuci (washe load)
2.7
HIDRAULIKA WADUK
Dalam permasalahan hidraulika waduk hal yang harus diperhatikan adalah fenomena backwater, semakin besar backwater effect maka akan semakin besar besar sedimen yang akan terakumulasi dengan kata lain akan memperbesar trap efficiency sedimen yang masuk 2‐23
Bab II Kajian Literatur
ke waduk (Jiahua Fan dan Shou-Shan Fan, 1996). Selanjutnya dalam penulisan ini akan dianalisa backwater effect dan trap efficiency yang menyatakan besarnya pengendapan sedimen terhadap kondisi di hulu.
2.7.1 Persamaan momentum
Dengan rujukan kepada saluran persegipanjang yang digambarkan dalam sketsa dibawah ini, hubungan momentum dalam arah hulu x diterapkan pda sebuah saluran terbuka, sekarang menampilkan hujan pada sudut θ r , kecepatan Vr pada area Ar , wind shear τ r , bank shear τ s = τ yx dan
Bed shear stress τ b = τ 0 = τ zx ;
z Energi Grade Line 1
θr
y 1
xc 2
p2
τ yx
x
p1
Water Surface
τw
τb θ
W
Sf
v1
τ yx
Sw
h
So
1
So
1
v2
Gambar 2. 10 Persamaan momentum pada saluran terbuka
d ∂y ∂z ⎞ ∂x ⎛ ∂x ρ m vx d ∀ + ∫ ρ m vx ⎜ vx + v y + vz ⎟ dA = ∫ ρ m g x d ∀ − ∫ p dA ∫ dt ∀ ∂n ∂n ⎠ ∂n ⎝ ∂n ∀ A A ∂y ∂z ⎞ ⎛ ∂x + ∫ ⎜ τ xx + τ yx + τ zx ⎟ dA ∂n ∂n ∂n ⎠ A⎝
(2.24)
Integral pertama dapat dihilangkan untuk aliran steady.Yang lainnya hilang untuk aliran satu dimensi dalam saluran kedap air, v y = vz = τ xx = 0 jadi tinggal
∫ρ A
2 m x
v
∂x ∂x ∂z ∂y dA + ∫ p dA = ∫ ρ m g x d ∀ + ∫ τ zx dA + ∫ τ yx dA ∂n ∂n ∂n ∂n A A A ∀
(2.25)
Dengan mempertimbangkan bahwa sebuah fluida homogen tak termampatkan, ρ m = ct dan ditetapkan faktor koreksi momentum β m dengan kecepatan rata-rata penampang Vx :
2‐24
Bab II Kajian Literatur
βm =
1 2 AVx
∫
A
2
(2.26)
vx dA
Dengan tekanan rata-rata p, kecepatan v dan luas A pada hulu penampang 1 dan hilir penampang 2, integral dari persamaan momentum untuk volume kontrol ∀ dengan panjang xc, lebar W dan tinggi h, menghasilkan 2 2 β m ρ m A2V22 + p2 A2 − β m ρ m AV 1 1 − p1 A1 − ρ ArVr sin(θ + θ r ) = γ m∀ sin θ − τ bWX c − τ s 2hX c + τ wWX c
(2.27)
Asumsi boundary shear stress τ 0 sama dengan bank shear stress τ s dan bed shear stress
τ b , persamaan di atas mengabaikan faktor hujan, A → 0, tanpa tegangan angin, τ w → 0, jika kemiringan θ kecil(sin θ ≅ So ) maka rumus di atas dapat ditulis kembali sebagai : p2 A2 + β m ρ m A2V22 + τ o (W + 2h ) X c (2.28)
⎛ A1 + A2 ⎞ 2 = p1 A1 + β m ρ m AV 1 1 +γm ⎜ ⎟ X c So ⎝ 2 ⎠ Jika
alirannya
adalah
aliran
seragam
(A
=
A1
=
A2),
dimana
p1 A1 = p2 A2 , β m ρ mV12 = β m ρ mV22 dan kemiringan energi Sf sama dengan kemiringan permukaan air dan kemiringan dasar So, maka hubungan bed shear stress τ o dengan kemiringan energi adalah :
τo = γ m
A A S f = γ m S f = γ m Rh S f W + 2h P
(2.29)
dimana jari-jari hidraulik Rh =A/P adalah perbandingan antara luas penampang A = Wh dengan keliling basah P = W +2h. Untuk penampang empat persegi panjang dengan lebar W yang sangat besar, W
h dan Rh = h, persamaan ini menjadi
τ o = γ m hS f
(2.30)
Untuk kasus aliran steady dan seragam, maka :
τ o = γ m hSo ,
(2.31)
dimana S f = So
2‐25
Bab II Kajian Literatur Dengan memperhatikan faktor friksi Darcy Weisbach f = 8τ o / ρ mV 2 , akan didapatkan
( f / 8) ρ mV 2 = ρ m gRh S f V=
8 g 1/ 2 1/ 2 Rh S f f
(2.32)
Untuk aliran steady uniform pada penampang empat persegi panjang yang lebar dengan
q = Vh , maka kedalaman normal hn = ( fq 2 / 8 gS f
)
1/ 3
= ( f / 8 g ) (V 2 / S f
)
(2.33)
Untuk aliran steady uniform, So = S f hn = ( fq 2 / 8 gSo )
1/ 3
= ( f / 8 g ) (Vn2 / So )
(2.34)
Perbandingan h dengan hn dengan q yang konstan dan faktor f adalah : ⎛h ⎞ =⎜ n ⎟ So ⎝ h ⎠
Sf
3
(2.35)
2.7.2 Persaman Energi Bernoulli
Persamaan Bernoulli juga menunjukkan bentuk khusus dari persamaan gerakan untuk arus irrasional steady dari fluid yang tidak banyak bergesek.Persamaan gerakan untuk fluida bermuatan sedimen yang tak termampatkan dari densitas massa ρ m sebagai : ∂vx v2 ⎞ ∂ ⎛ p 1 ⎛ ∂τ xx ∂τ yx ∂τ zx ⎞ − Ωg + + + + ⎜ ⎟ = ( v y ⊗ z − vz ⊗ y ) − ⎜ ⎟ 2g ⎠ ∂x ⎝ ρ m ∂t ρ m ⎝ ∂x ∂y ∂z ⎠
(2.36)
∂v y 1 ⎛ ∂τ xy ∂τ yy ∂τ zy ⎞ v2 ⎞ ∂ ⎛ p − Ω + + + + ⎜ ⎟ = ( vz ⊗ x − vx ⊗ z ) − ⎜ ⎟ g 2g ⎠ ∂y ⎝ ρ m ∂t ρ m ⎝ ∂x ∂y ∂z ⎠
(2.37)
v2 ⎞ 1 ⎛ ∂τ xz ∂τ yz ∂τ zz ⎞ ∂ ⎛ p ∂vz − Ωg + + + + ⎜ ⎟ = ( vx ⊗ y −v y ⊗ x ) − ⎜ ⎟ 2g ⎠ ∂z ⎝ ρ m ∂t ρ m ⎝ ∂x ∂y ∂z ⎠
(2.38)
Untuk aliran steday irrational dari fluida yang tidak banyak bergesek, sisi kanan persamaan diatas dihilangkan dan Bernouli mengatakan penjumlahan H untuk fluida homogen tak termampatkan adalah konstan disepanjang fluida :
2‐26
Bab II Kajian Literatur
H=
p
ρm
+ z$ +
v2 = ct 2g
(2.39)
Dalam kasus yang khusus dalam bidang horizontal (constan z$ ) dari fluida yang homogen( constan ρ m ), tekanan pada setiap titik p dimana kecepatan dapat dihitung dari tekanan pr pada setiap titik referensi (rujukan) dengan kecepatan rujukan yang diberikan vr : p=
ρm 2
(v
2
r
)
− v 2 + pr
(2.40)
Ketika aliran adalah steady, tidak banyak bergesek, tetapi berputar, suku kanan persamaan (2.36) s/d (2.38) menjadi nol sepanjang garis aliran ; karena itu untuk fluida homogen tak termampatkan menjadi H=
p
ρm
+ z$ +
v2 = ct 2g
sepanjang garis energi
(2.41)
Untuk kasus khusus dari aliran unsteady irrattional dari fluida homogen tak termampatkan, ∂H 1 ∂vx =− ∂x g ∂t
(2.42)
1 ∂v y ∂H =− g ∂t ∂y
(2.43)
1 ∂vz ∂H =− g ∂t ∂z
(2.44)
Persamaan-persaman ini dapat diterapkan hanya apabila seluruh shear stress dapat diabaikan. Untuk aliran steady pada sebuah kecepatan nilai tengah dalam sebuah saluran persegipanjang yang lebar pada kemiringan dasar (bed), suku pertama dan ketiga dari penjumlahan Bernoulli menjelaskan fungsi energi spesifik E sebagai :
E=
p
γm
+ αe
V2 V2 = h cos 2 θ + α e 2g 2g
(2.45)
Dengan mengingat bahwa q = Vh dan Froude Number Fr didefenisikan sebagai Fr 2 = V 2 gh = q 2 / gh3 , sehingga fungsi E ketika θ → 0 diperkirakan sebesar
2‐27
Bab II Kajian Literatur
E = h + αe
⎛ Q2 q2 Fr 2 ⎞ h h α 1 α = + = + ⎜ ⎟ e e 2 gA2 2 gh3 2 ⎠ ⎝
(2.46)
persamaan (2.46) dikatakan persamaan energi spesifik apabila didifferensialkan terhadap h dengan ketentuan Q adalah konstan dE Q 2 dA V 2 dA = 1 − αe 3 = 1 − αe dh gA dh gA dh
(2.47)
dengan dA / dh = T dan kedalaman hidraulik D = A / T , maka persamaan (2.47) menjadi dE V 2T V2 = 1 − αe = 1 − αe dh gA gD
(2.48)
untuk selanjutnya kedalaman hidraulik D diekivalensikan menjadi h, maka persamaan (2.48) menjadi dE V 2T V2 q2 = 1 − αe = 1 − αe = 1 − αe 3 dh gA gh gh
(2.49)
Untuk kasus satu dimensi backwater bisa diartikan berubahnya tinggi energi terhadap jarak akibat adanya pembendungan.
d E d E dh = = S0 − S f , dari persamaan (2.49) dx dh dx ⎛ q 2 ⎞ dh ⎜⎜1 − α e 3 ⎟⎟ = S0 − S f gh ⎠ dx ⎝
(2.50)
Setelah mengganti bilangan froude dan dengan α e ≅ 1, hubungan yang menjelaskan elevasi permukaan air untuk aliran steady 1-dimensi dari sebuah fluida yang bermuatan sedimen tak termampatkan : dh S0 − S f = dx 1 − Fr 2
(2.51)
2‐28
Bab II Kajian Literatur
dengan menggunakan rumus kedalaman kritis dan kedalaman normal dalam saluran persegi panjang yang lebar, Rh = h, persamaan pengatur untuk aliran steady dengan q dan f konstan menjadi ⎡ ⎛ h ⎞3 ⎤ dh =S 0 ⎢1 − ⎜ n ⎟ ⎥ dx ⎢⎣ ⎝ h ⎠ ⎥⎦
⎡ ⎛ hc ⎞ 3 ⎤ ⎢1 − ⎜ ⎟ ⎥ ⎢⎣ ⎝ h ⎠ ⎥⎦
(2.52)
dimana : ⎛ fq 2 ⎞ ⎟⎟ hn = ⎜⎜ ⎝ 8 gS0 ⎠
1
3
(2.53)
dan ⎛ q2 ⎞ hc = ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ g ⎠
1
3
(2.54)
Perhitungan numerik dapat dimulai dari kedalaman aliran yang diberikan h1 dan pertambahan jarak
x pada h2 = h1 ± h ditaksir oleh :
⎡ ⎛h ∆x ≅ ∆h ⎢1 − ⎜⎜ c ⎢⎣ ⎝ h1
⎞ ⎟⎟ ⎠
3
⎤ ⎥ ⎥⎦
⎡ ⎛h S 0 ⎢1 − ⎜⎜ n ⎢⎣ ⎝ h1
⎞ ⎟⎟ ⎠
3
⎤ ⎥ ⎥⎦
(2.55)
2.7.3 Trap Efisiensi dan Agradasi
Jumlah kapasitas angkutan sedimen yang mengendap semakin ke hilir akan semakin berkurang. Delta akan terbentuk dan waduk akan dipenuhi oleh sedimen. Dengan persamaan kontinuitas sedimen tanpa adanya sumber polutan (C = 0)
∧
∧
∧
∂C ∂ qtx ∂ qty ∂ qtz + + + =0 ∂t ∂x ∂y ∂z
Asumsi
( ∂C / ∂t = 0 ) ,
persamaan (2.56) ditinjau aliran satu dimensi
(2.56)
( ∂q
ty
/ ∂y ) = 0
persamaan (2.56) menjadi :
2‐29
Bab II Kajian Literatur ∧
∧
∂ qtx ∂ qtz + =0 ∂x ∂z
(2.57)
Lebih lanjut diasumsikan bahwa
diffusive fluks dan mixing fluks
lebih kecil
dibandingkan dengan advective fluks di reservoir. Dengan mempertimbangkan pengendapan menjadi dominan advective fluks dalam arah vertikal, vz = −ω ,
∂vxC ∂ω C − =0 ∂x ∂z
(2.58)
Pendekatan yang praktis kemudian diterapkan untuk aliran berubah beraturan
( ∂vx / ∂x → 0 ) , kecepatan jatuh ω vx
yang tetap konstan dan ∂C ∂z = − C h ;
∂C ω C + =0 h ∂x
(2.59)
Penyelesaian untuk ukuran-ukuran butiran (grain sizes) untuk fraksi i ( kecepatan jatuh tetap) pada debit persatuan lebar yang tetap q = Vh , dimana vx = V , adalah sebuah fungsi dari konsentrasi sedimen dari hulu Coi dari fraksi i pada x= 0 :
C i = C oi e − X ω i
hV
(2.60)
ini menunjukkan bahwa konsentrasi di kiri dapat diabaikan ( Ci Coi = 0.01 ) pada jarak X Ci : X Ci = 4.6
hV
ωi
(2.61)
Trap efisiensi menyatakan persentase fraksi sedimen yang mengendap sejarak X TEi = 1 − e − X ωi / hV
(2.62)
Fluks sedimen yang mengendap menyebabkan perubahan dasar sungai dalam arah z . Dengan porositas po persamaan () diintegralkan menjadi :
TEi
dz ∂qtxi + (1 − po ) i = 0 ∂x ∂t
(2.63)
atau TEi ∂qtxi ∂zi =− ∂t (1 − po ) ∂x
(2.64)
2‐30
Bab II Kajian Literatur
Dimana dz
= perubahan kedalaman dalam arah vertikal (m)
dt
= interval waktu (detik)
TEi
= Trap effisiensi (%)
po
= porositas
dqtxi
= selisih jumlah debit sedimen anta xi −1 dan xi (m3/s)
dx
= interval jarak (m)
2.8
METODA BEDA HINGGA (FINITE DIFFERENT METHOD)
2.8.1 Umum
Metode numerik dimaksudkan untuk mencari solusi permasalahan matematika yang tidak dapat dipecahkan secara eksak. Solusi numerik pada hakekatnya adalah pendekatan terhadap solusi eksak, dimana solusi eksak ini sangat sulit atau tidak mungkin diketahui. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu persamaan differensial adalah metode selisih hingga. Metode selisih hingga ini digunakan untuk perhitungan suspended load. Pada permasalahan ini sedimen terakumulasi yang tercatat berada di daerah stasiun pengamatan yang berjarak cukup jauh dari Waduk Saguling. Untuk itu digunakan metode selisih hingga ini untuk menghitung sedimen yang terkumpul di bendungan untuk waktu t.
2.8.2 Pendekatan Dengan Deret Taylor
Misalkan kita mempunyai suatu fungsi kontinu f(x) di titik x seperti pada gambar 3.1 . Dengan menggunakan deret Taylor, maka fungsi tersebut pada titik (x +
x), dapat
didekati sebagai berikut : ∆x 2 ∆x 3 f "( x0 ) + f "'( x0 ) 2! 3! ∆x n n f ( x0 ) + ..... + n!
f ( x0 + ∆x) = f ( x0 ) + ∆xf '( x0 ) +
(2.65)
2‐31
Bab II Kajian Literatur y
y = f(x) ∆x
x = x0 x=x0 +∆x
x
Gambar 2. 11 Fungsi f(x) Untuk deret Taylor orde satu, maka persamaan (2.35) menjadi : f ( x0 + ∆x) = f ( x0 ) + ∆xf '( x0 ) + O ⎡⎣(∆x) 2 ⎤⎦
(2.66)
dimana O(∆x) 2 menyatakan suku-suku dengan orde yang lebih tinggi dari (∆x) . Dari persamaan (3.2) dapat diperoleh :
f '( x0 ) =
f ( x0 + ∆x) − f ( x0 ) + O(∆x) ∆x
(2.67)
Bentuk di atas disebut forward difference karena melibatkan titik yan g ada di depannya. forward x x0
x0 + ∆x
Gambar 2. 12 Skema forward difference Untuk titik (x -
x), maka : f ( x0 − ∆x) = f ( x0 ) + (−∆x) f '( x0 ) + O(−∆x) 2
(2.68)
Selanjutnya dari persamaan (2.38) dapat diperoleh sebagai berikut :
2‐32
Bab II Kajian Literatur f '( x0 ) =
f ( x0 ) − f ( x0 − ∆x) + O ( ∆x ) ∆x
(2.69)
Bentuk di atas disebut backward difference karena melibatkan titik yang ada di belakangnya.
backward x
x0 − ∆x
x0
Gambar 2. 13 Skema backward difference Bila pers. (2.68) dikurangi pers. (2.69) maka akan diperoleh :
f ( x0 + ∆x) − f ( x0 − ∆x) = (2∆x) f '( x0 ) + O (∆x)3
(2.70)
Dari persamaan (2.70) alan diperoleh persamaan sebagai berikut :
f ' ( xo ) =
f ( xo + ∆x ) − f ( xo − ∆x ) 2 + O ( ∆x ) 2 ∆x
(2.71)
Bentuk di atas disebut central difference karena melibatkan titik yang ada di depan dan di belakang. backward
forward x
x0 − ∆x
x0
x0 + ∆x
Gambar 2. 14 Skema central difference
2.8.3 Grid Selisih Hingga
Daerah solusi untuk persamaan f(x) dapat dilingkupi oleh suatu grid empat persegi panjang. Jarak grid dalam arah sumbu-sumbu adalah
x, dan
t. Letak x,t dinyatakan
dengan indeks i dan j, sehingga grid terdiri dari sekumpulan garis paralel terhadap sumbux, yaitu : x = xi , i =1, 2, …, I
2‐33
Bab II Kajian Literatur
dimana xi = i
x, dan sekumpulan garis paralel terhadap sumbu-t, yaitu:
t = tk , k = 1, 2, …,T dimana tk = k
t. Titik-titik diskrit grid dapat dilihat pada gambar di bawah ini. t
∆x
i-1, k-1
i, k+1
i+1, k+1
i-1, k-1
i, k
i+1, k
i-1, k-1
i, k-1
i+1, k-1 x
Gambar 2. 15 Titik-titik diskrit grid Dengan begitu maka persamaan (2.69), (2.70), (2.71), dapat dituliskan sebagai berikut:
f i +1,k − f i ,k ⎛ ∂f ⎞ + O ( ∆x ) ⎜ ⎟ = ∆x ⎝ ∂x ⎠i
(2.72)
f i , k − f i −1,k ⎛ ∂f ⎞ + O(∆x) ⎜ ⎟ = ∆x ⎝ ∂x ⎠i
(2.73)
f i +1,k − f i −1, k ⎛ ∂f ⎞ + O(∆x ) 2 ⎜ ⎟ = 2 ∆x ⎝ ∂x ⎠i
(2.74)
k
k
k
2.8.4 Pendekatan Eksplisit dan Implisit
Untuk pendekatan selisih hingga terhadap ruang dan waktu, persamaan differensial dapat didekati dengan selisih pusat (central difference) terhadap ruang karena untuk ruang bisa kemana saja, dan selisih maju (forward difference) terhadap waktu karena hanya bisa ke depan (tidak bisa mundur). Misalnya kita ambil persamaan :
∂F ∂F = −c ∂t ∂x
(2.75)
dimana : F = Fungsi yang ditinjau c = konstanta 2‐34
Bab II Kajian Literatur
t = waktu x = jarak Maka :
∂F ∂t ∂F ∂x
k
=
1 ( Fi k +1 − Fi k ) → forward difference ∆t
(2.76)
=
1 Fi +k1 − Fi −k1 ) → central difference ( 2∆x
(2.77)
i k
i
Dengan deskripsi di atas, maka pers. (2.77) menjadi :
Fi k +1 − Fi k Fk − Fk = −c i +1 i −1 2 ∆x ∆t
(2.78)
Sehingga pers. (2.78) menjadi :
Fi k +1 = Fi k − c∆t
Fi +k1 − Fi −k1 2∆x
(2.79)
Untuk penyelesaian persamaan (2.79) dilakukan penyelesaian berurut (marching point), dimana persamaan tersebut diselesaikan selangkah demi selangkah dengan syarat bahwa harga semua variabel untuk satu tungkat diketahui agar dapat mengetahui harga-harga variabel tingkat berikutnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar . Dari gambar dapat dilihat bahwa pada indeks k, harga-harga F telah diketahui. Dengan demikian pada indeks k+1, kita dapat menghitung harga-harga F dengan menggunakan harga-harga F pada indeks k
k+3
Nilai-nilai tingakt k+3 dihitung dari nilai-nilai tingkat k+2
k+2
Nilai-nilai tingakt k+2 dihitung dari nilai-nilai tingkat k+1
∆t Nilai-nilai tingkat k+1 dihitung dari nilai-nilai tingkat k
k+1
∆x k
i-2
i-1
i
i+1
i+2
Gambar 2. 16 Skema time marching
2‐35
Bab II Kajian Literatur
Pada persamaan (2.79) dapat dilihat bahwa hanya ada satu variabel yang nilainya belum diketahui, yaitu Fi k +1 . Dengan demikian, pers. (2.79) merupakan satu persamaan dengan satu unknown variabel yang dapat diselesaikan. Menggunakan cara yang sama, maka akan didapatkan nilai-nilai Fi −k1+1 , Fi +k1+1 dst, sehingga seluruh harga variabel F pada k+1 dapat diketahui. Ini merupakan pendekatan eksplisit. Untuk implisit, penyelesaian persamaan ini lebih sulit daripada eksplisit, terdapat lebih dari satu unknown sehingga dibutuhkan suatu solusi simultan dari persamaan tersebut.
2.9
PERKIRAAN LAJU EROSI
Erosi adalah suatu peristiwa berpindahnya tanah atau bagian tanah dari satu tempat ketempat lainnya oleh media alami yaitu air. Sebenarnya erosi merupakan peristiwa alam yang wajar (natural erosion), dan proses geologi yang dapat menyebabkan berubahnya tinggi gunung, garis pantai atau delta pada dataran rendah secara perlahan sekali. Tetapi kalau proses ini berjalan cepat sekali (accelerated erosion) maka terjadi kehilangan tanah menjadi lebih cepat dari pembentukannya sendiri. Percepatan erosi ini bias disebabkan oleh alam, tetapi yang ditakuti adalah percepatan akibat kegiatan manusia.
2.9.1 Type Erosi
Menurut bentuknya erosi dapat dibedakan menjadi 6 jenis yaitu: 1. Erosi Permukaan (Sheet erosion) Erosi ini terjadi karena aliran permukaan air hujan (Direct runoff) yang bergerak diatas permukaan tanah dan mengangkut lapisan atas permukaan tanah ke arah yang lebih rendah (sungai) 2. Erosi Alur Erosi ini terjadi akibat terkonsentrasinya aliran air pada tempat-tempat tertentu pada permukaan tanah. Penggerusan tanah lebih banyak terjadi pada tempat ini. Alur-alur air terlihat masih dangkal. Karena mudah terlil:at, maka penanggulangan erosi ini lebih mudah dilakukan. 3. Erosi Parit (Rill Erosion)
2‐36
Bab II Kajian Literatur
Erosi ini terjadi karena topografi yang mengaki'oatkan terkumpulnya aliran permukaan dan membentuk aliran di dalam parit. Aliran air didalam parit tersebut mengangkut tanah clan timbullah erosi parit. 4. Erosi Jurang (gully erosion) Apalagi topografi di daerah tersebut lebih curam clan intensitas hujan lebih tinggi, maka kecepatan clan debit aliran permukaan semakin besar. Hal ini mengakibatkan erosi parit akan berkembanS menjadi erosi jurang, yaitu dengan ukuran yang lebih besar. 5. Erosi Tebing (Bank Erosion) Ada 2 faktor penyebab terjadinya erosi ini, yaitu: - Pengikisan oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing - Gerusan tebing bagian atas, akibat adanya arus pada belokan sungai. Akibat adanya erosi tebing ini, biasanya pada sungai tersebut akan terbentuk meander. 6. Longsor (Land Slide) Berbeda dengan erosi sebelumnya, longsor ini merupakan berpindahnya tanah pada suatu saat tertentu dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini menyebabkan meluncurnya suatu lapisan tanah diatas lapisan tanah lain yang iebih kedap air. Proses terjadinya longsor ini akan terjadi bila dipenuhi 3 keadaan yaitu: -
Adanya lerer,g yang cukup curam
-
Adanya lapisan yang lebih kedap air pada lapisan bawah
-
Terdapat culmp air yang dapat menjenuhkan tanah bagian atas
Lapisan tanah yang lebih kedap biasanya terdiri dari lapisan tanah liat; atau mengandung tanah liat yang iebih tiggi. 7. Erosi Internal Erosi ini biasa juga disebit erosi vertikal. Butir-butir primer pada lapisan tanah bagian atas tersangkut kebawah, mengisi celah-celah lapisan tanah bawah, sel:ingga tanah menjadi kedap air. Erosi ini tidak mengakibatkan kerusakan yang berarti, karena bagian-bagian tanah tidak hilang ketempat lain. Akan tetapi erosi ini menimbulkan menurunnya kapasitas infiltrasi tanah, sehingga mengakibatkan terjadinya erosi permukaan, erosi alur dan erosi parit.
2‐37
Bab II Kajian Literatur
Pendugaan besaran laju erosi pada setiap unit lahan terdiri dari banyak metode yang dipilih. Pemilihan metode yang akan diterapkan sangat bergantung pada berbagai faktor, yaitu: o Tergantung pada jenis data yang diperlukan, dimana semakin sedikit dan semakin mudah data yang dibutuhkan, maka semakin layak metode tersebut untuk diterapkan dilapangan. o Metode perkiraan erosi yang akan digunakan dapat diterapkan secara universal pada seluruh unit lahan. o Metode yang dipilih dapat dilakukan validasi dengan pengukuran secara sederhana dilapangan. Berbagai metode perkiraan erosi yang tersedia, pada umumnya berasal dari model pengukuran sample plot atau sub Das kecil. Hasil pengukuran tersebut, kemudian diterapkan untuk setiap unit lahan dalam Das atau lengsung menduga besaran erosi yang terjadi pada Das atau sub Das dengan melakukan uji kesesuaian. Ada beberapa metode yang sering digunakan dalam mempPrkirakan besaran erosi tetapi salah satu yang sering digunakan adalah metode USL E.
2.9.2
Estimasi Laju Sedimentasi
Laju angkutan sedimen sungai bergantung dari debit dan kecepatan, jenis sedimen (dasar dan layang) serta kemiringan sungai. Hasil erosi lahan oleh air hujan akan masuk kedalam sistem sungai dan dibawa aliran sungai menuju waduk Saguling. Sedangkan laju sedimentasi waduk merupakan kecepatan penambahan sedimen di waduk. Perkiraan laju sedimen di waduk dapat diperkirakan dengan cara empiris maupun berdasarkan hasii pemeruman dengan menghitung perbedaan kapasitas tampungan efektif awal (perencar.aan) dengan kapasitas tampungan hasil pemeruman terakhir. Perbedaan tersebut men:pakan kondisi volume sedimen yang diendapkan di dasar waduk dan tingkat laju sedimentasi waduk dapat dihitung berdasarkan total volume sedimen dibagi dengan lamanya waktu operasi, dalam satuan m3/tahun. Sedangkan untuk memperkirakan besarnya laju sedimentasi secara empiris, dapat dilakukan nuelalui analisa lengkung debit sedimen yang dibuat berdasarkan data pengukuran debit aliran (Qw) dan debit sedimen (Qs). Komponen debit aliran dengan komponen sedirnen melayang
2‐38
Bab II Kajian Literatur
sangat berhubungan erat yang biasanya disebut sebagai Sediment Rating Curve. Kedua komponen tersebut secara matematik dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: Qs = a Qwb Dimana :
(2.80)
Qs
= laju sediment (ton/hari)
Qw
= debit aliran (m3/detik)
A dan b = konstanta
2.9.3 USLE (Universal Soil Loss Equation)
USLE adalah metode untuk perkiraan besaran erosi permukaan yang paling banyak digunakan. Metode tersebut diperkenalkan oleh Wischmeier dan Smith pada tahun 1965, 1967 dan 1978, yang dikembangkan dari hasil penelitian mereka terhadap pengukuran erosi yang terjadi melalui plot standard yang berukuran 22,1 m x 1 m dengan kemiringan plot sebesar 9%. USLE diterapkan dengan memperhatikan bahwa erosi tanah disebakan oleh adanya interaksi dari faktor-fakrtor yang dikemukakan oleh Baver (1976), yaitu topografi (T), tanah (S), iklim (C), vegetasi (V) dan manusia (H). Sedangkan formula dari USLE tersebut adalah: E = RK'LSCP
(2.81)
dimana: E
: besarnya laju erosi tanah yang terjadi (ton/ha/tahun)
R
: faktor erosivitas hujan (mm/ha/jam/tahun)
K'
: faktor erodibilitas tanah (ton/ha.jam/ha/mm)
L
: faktor panjang lereng (m), pengaruh panjang lereng yang menyebabkan terjadinya erosi dibandingkan dengan panjang lereng standar sebesar 22,1
S
: faktor kemiringan lereng (%), yaitu pengaruh kemiringan lereng yang menyebabkan erosi dibandingkan dengan kemiringan lereng standar sebesar 9%.
C
: indeks penutupan lahan (tanpa satuan), yaitu pengaruh pola penutupan tanah pada tanah yang bersangkutan dibandingkan dengan lahan standar yang dilakukan pengolahan dan dibiarkan bertahun-tahun.
P
: indeks upaya konservasi tanah (tanpa satuan), yaitu nilai perbandingan besaran pada lahan tersebut dibandingkan dengan lahan standar tanpa terasering.
2‐39
Bab II Kajian Literatur
1) Faktor Erosivitas Hujan (R) Faktor erosivitas hujan adalah kemampuan air hujan untuk memecahkan agragat tanah menjadi pariikel-partikel tanah yang kemudian dilakukan transportasi oleh aliran limpasan ke daerah dibawahnya. Menurut Siswomartono (1984), untuk pulau Jawa dan Madura maka besarnya faktor erosivitas hujan dapat dicari dengan rumus Bols (1978), yaitu: Rm = 6,119(R)1.21 (D)-0.27 (max P)0.53
(2.82)
dimana: R,,,
: erosivitas hujan bulanan (EI3o)
R
: curah hujan bulanan (cm)
D
: hari hujan bulanan
maxP
: hujan maksimum dalam bulan (cm) 12
R = ∑ Rm
(2.83)
n =1
R : erosivitas hujan tahunan rata-rata = jumlah total Rm selama 12 bulan Besarnya faktor erosivitas hujan tahunan adalah merupakan nenjumlahan dari besaran erosivitas bulanan. Rumus Lenvain Rumus Lenvain digunakan apabila hanya tersedia data curah hujan tahunan ratarata. Formulanya adalah sebagai berikut: Rm = 2.21(R)1.36
(2.84)
dimana: R, : erosivitas hujan bulanan (EI3o) R : curah hujan bulanan (cm) 12
R = ∑ Rm n =1
(2.86)
R : erosivitas hujan tahunan rata-rata = jumlah total Rm selama 12 bulan
2‐40
Bab II Kajian Literatur
2) Faktor Erodibilitas Tanah (K) Faktor erodibilitas tanah (K) adalah besaran yang menunjukkan kemampuan tanah dalam menahan daya pemecahan tanah oleh air hujan. Besaran faktor erodibilitas tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur tanah, tekstur tanah, kandungan bahan organis, permeabilitas tanah.struktur tanab dan permeabilitas tanah. Besaran faktor erodibilitas
tanah ini
dapat ditentukan . dengan
mudah
menggunakan nomogram K yang didapatkan melalui nilai-nilai tekstur tanah, bahan organik, struktur, permeabilitas tanah dan kandungan pasir halus telah diketahui dari hasil survei tanah (fisika dan kimia tanah) . Tata cara penentuan erodibitas tanah ini adalah sebagai berikut : a. Menentukan titik nilai persentase dari silt dan pasir (silt and very fine sand) pada surnbu vertikal paling kiri, lalu tarik garis horizontal sehingga memotong kurva persentase pasir kasar (dengan ukuran butiran sebesar 0,1 2 mm:) untuk tekstur yang bersangkutan, dari titik ini kemudian ditarik garis vertikal sampai memotong kurva bahan organic. Dari titik potong dengan bahan organik ditarik garis horizontal sampai memotong garis kurva permeabilitas , dan pada akhirnya dibuat garis mendatar ke kiri untuk menemukan besaran nilai K pada sumbu tegak kurva erodibilitas tanah. b. Seandainya data tanah tentang tekstur tanah, bahan organik dan lain-lain belurn atau tidak diketahui, maka digunakan pendekatan menurut Hammer (1978), yang memperhitungkan pasir halus (very fine sand) sebagai 0,3 dari pasir. Penilaian persentase pasir tersebut dapat menggunakan Tabel 2.1, sebagai berikut : Tabel 2. 1 Penilaian Tekstur tanah Lapangan
untuk Penggunaan Nomogram (Hammer, 1978) Penilaian
Tekstur Tanah
Penilaian
Heavy clay
2
Silty clay loam
38
Medium clay
15
Sandy clay
16
Sandy loam
45
Ligt clay
20
Loamy sand
45
Silty clay
23
Loam
46
Sandy clay loam
26
Silt loam
68
33
Silt
74
Tekstur Tanah
Clay loam
Sand
I
43
2‐41
Bab II Kajian Literatur
Untuk penentuan bahan organik, struktur dan perrneabilitas tanah dapat digunakan Tabel 2.2 dan 2.3 dan 2.4 yang selanjutnya dengan nilai-nilai yang terdapat dalam tabel-tabel tersebut lalu digunakan untuk mencari nilai K dari Nomograf Tabel 2. 2 Penilaian Bahan Organik (Hammer, 1978) Kelas
Kisaran (%)
Penilaian
Rendah
<2
1
Sedang
2,1-6,0
4
Agak Tinggi
6,1-10,0
6
10,1--)O,0
6
> 30,0
6
Tinggi Sangat Tinggi
Tabel 2. 3 Struktur Tanah (Hammer, 1978) Struktur
Penilaian
Butiran sangat halus
1
Butiran halus
2
Butiran sedang sampai kasar
3
Padat, massif dan lempengan
4
Tabel 2. 4 Permeabilitas tanah (Hammer, 1978) Kelas Permeabilitas Cepat
cm/jam
Penilaian
< 25,4
1
Sedang -cepat
12,7-25,4
2
Sedang
6,3-12,7
3
Lambat - sedang
2,0-6,3
4
Lambat
0,5-2,0
5
> 0,5
6
Sangat lambat
2‐42
Bab II Kajian Literatur
3) Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Faktor panjang dan kemiringan lereng merupakan sumber terjadinya kesalahan yang terbesar jika diterapkan dalam rumus USLE untuk aplikasi lapangan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan peta dengm skala I : 25.000 atau 1:50,000 untuk mendapatkan nilai panjang dan kemiringan lereng. Peta lereng yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan satuan lahan, memberi informasi lereng yang terlalu umum untuk digunakan dalam rumus USLE, terutama iika informasi tersehut dihitung dan informasi kontur. Panjang lereng harus ditentukan di lapangan. L merupakan panjang lereng dan batas atas lapangan (misalnya batas lapangan bervegetasi) hingga ke titik dimana aliran air terkonsentrasi pada saluran di lapangan, jurang atau sungai, atau titik dimana mulai terjadi deposisi mlai panjang rata-rata clan nilai kemiringan lereng dapat digunakan untuk satu satuan lahan yang tidak banyak mempunyai variasi. Perlu ditekankan bahwa informasi kemiringan lereng dan panjang lereng yang lebih diandalkan diperoleh dan pengukuran lereng di lapangan yang kemudian dibagi lagi seperti yang diperIukan tiap satuan lahan menjadi satuan lahan yang lebih kecil dan terinci, berdasarkan kemiringan lereng clan panjang lereng. Yang terpenting yaitu informasi lereng harus dipetakan secara terinci menentukan kemiringan lereng ratarata (S) dalam %. dan panjang lereng rata-rata di lapangan (L) untuk lahan pertanian kurang lebih dalam satuan lahan yang sarna. lnformasi tersebut dapat digunakan untuk menghitung nilai LS. a. panjang lereng (L) ditetapkan pada titik yang bersesuaian pada sumbu horizontal nomogram I. b. ditanik ganis vertikal hingga mefiiotong garis yang menunjukkan kemiringan lereng (S). c. titik perpotongan ini ditarik garis horisontal hingga memotong sumbu vertikal dimana nilai LS dapat dibaca. Disarankan agar menggunakan nomograf LS, LS dapat juga dihitung dengan dua rumus yang penggunaannya tergantung pada kemiringan lereng lebih besar atau kurang dari 22%. Karena rumus kedua menggunakan kemiringan lereng dalam derajat bukannya dalam prosentase.
2‐43
Bab II Kajian Literatur
Lereng 22%
Untuk lereng < 22%, rumusnya adalah: (penyederhanaan dari rumus Wischmeier dan Smith, 1978) LS = {(La 1,38 + 0,965s + 0,13s2 )/1001}0.5
(2.87)
dimana: La
: panjang lereng aktual (m)
s
: kemiringan lereng (%) dibagi seratus
Untuk lereng > 22% digunakan rumus Gregory: LS = {(La / 22,1)m C cos(Sd) 1.503 (0,5 * sin(Sd))2,249}0.5
(2.88)
dimana: Sd
: kemiringan lereng (°)
C
: konstanta (34,7046)
m
: 0,5
4) Faktor pengolahan lahan (CP) Faktor pengolahan iahan ditentukan oleh dua unsur yaitu faktor vegetasi penutup lahan (C) dan faktor pengolahan tanah (P). Niiai C merupakan perbandingan antara kehilangan tanah lahan yang tertutup suatu jenis vegetasi dengan kehilangan tanah pada lahan kosong, yang besarnya dapat dilihat pada tabel 2.5 sedangkan nilai ini merupakan perbandingan antara kehilangan tanah pada lahan yang diadakan konservasi dan tidak, yang besarnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
2‐44
Bab II Kajian Literatur
Tabel 2. 5 Harga C Dari Beberapa Jenis Vegetasi di Indonesia JENIS VEGETASI Tanah yang diberokan tapi diolah secara periodik Sawah beririgasi Sawah tadah hujan Tanaman tegalan (tidak dispesi Tanaman rumput Brachiaria tahun sebelumnya tahun berikutnya ubi kayu Kacang-kacangan Kentang Kacang tanah Padi tebu pisang Sereh wangi Kopi dengan tanaman penutup tanah Yam Cabe, jahe, dll, (rempah-rempah) Kebun campuran - kerapatan tinggi - ubi kayu dan kedelai Kerapatan sedang - kerapatan rendah (kacang tanah) Perladangan berpindah (shifting cultivation) Perkebunan (penutup tanah buruk) - karet - teh - kelapa - kelapa Hutan alam Teras bangku rencana standar dan bangunan balk rencana siandar dan bangunan sedang rencana star.dar dan bangunan jelek Teras tradisional Penanaman menurut kontur pada: penuh dengan seresah seresah sedikit Hutan produksi tebang habis (clear cutting) tebang pilih (selective cutting) Belukar / rumout Ubi kayu dan kedelai Ubi kayu dan kacang tanah Padi & sorgun Kacang tanah & kacang tunggak
NILAI (C) 1.00 0.01 0.05 0.70 0.30 0.02 0.80 0.60 0.40 0.20 0.50 0.20 0.60 0.40 0.20 0.85 0.90 0.10 0.20 0.30 0.50 0.40 0.80 0.50 0.50 0.80 0.04 0.15 0.35 0.40 0.001 0.005 0.50 0.20 0.30 0.181 0.345 0.571 0.049 0.096 2‐45
Bab II Kajian Literatur Kacang tanah & mulsa jerami 4 ton/ha Padi dan mulsa jerami 4 ton/ha Kacang tanah & mulsa crotalria 3 ton/ha Kacang tanah & mulsa kacang tunggak Kacang tanah & mulsa jerami 2 ton/ha Padi dan mulsa crotalria 3 ton/ha
0.136 0.259 0.377 0.387 0.C79 0.347
Tabel 2. 6 Harga Pada Beberapa Teknik Konservasi Tanah JENIS VEGETASI - lereng 0-8 %
NILAI (P) 0.50
- lereng 8-20 %
0.75
- lereng > 20 %
0.90
Pada penanaman (bahlia) dalam strip - rencana standar dan kondisi pertumbuhan balk
0.04
- rencana standar dan kondisi pertumbuhan jelek
0.40
Penanaman crotalaria dalam rotasi
0.60
Penggunaan mulsa - jerami 6 ton/halth
0.30
- jerami 3 ton/ha/th
0.50
- jerami 1 ton/ha/th
0.80
Penanaman vegetasi rendah penutup tanall pada tanaman perkebunan - kerapatan tinggi
0.10
- kerapatan sedang
0.50
2‐46
Bab II Kajian Literatur
Contents BAB II ................................................................................................................................... 1 2 ............................................................................................................................................. 1 2.1 DAERAH ALIRAN SUNGAI................................................................................ 1 2.2 ANALISA SISTEM ................................................................................................ 3 2.3 WADUK DAN KARAKTERISTIKNYA ............................................................. 8 2.3.1 Klasifikasi penggunaan waduk ........................................................................ 8 2.3.2 Karakteristik waduk......................................................................................... 9 2.3.3 Penentuan kapasitas waduk ............................................................................. 9 2.3.4 Masukan air ke waduk ................................................................................... 10 2.3.5 Keluaran dari waduk...................................................................................... 11 2.4 PENGELOLAAN DAN PENGOPERASIAN SISTEM WADUK ..................... 12 2.4.1 Kebutuhan air untuk Hidropower .................................................................. 13 2.4.2 Pengendalian Banjir....................................................................................... 14 2.4.3 Evaporasi ....................................................................................................... 15 2.5 SIMULASI PENGOPERASIAN WADUK ......................................................... 16 2.6 SEDIMENTASI WADUK.................................................................................... 17 2.6.1 Umum ............................................................................................................ 17 2.6.2 Sumber dan Beban Sedimen yang Masuk ..................................................... 18 2.6.3 Angkutan Sedimen Dasar (Bed load Transport) ........................................... 19 2.6.4 Angkutan Sedimen Layang (Suspended Load Transport) ............................ 20 2.6.5 Konsentrasi Sedimen ..................................................................................... 21 2.7 HIDRAULIKA WADUK ..................................................................................... 23 2.7.1 Persamaan momentum................................................................................... 24 2.7.2 Persaman Energi Bernoulli ............................................................................ 26 2.7.3 Trap Efisiensi dan Agradasi .......................................................................... 29 2.8 METODA BEDA HINGGA (FINITE DIFFERENT METHOD) ........................ 31 2.8.1 Umum ............................................................................................................ 31 2.8.2 Pendekatan Dengan Deret Taylor .................................................................. 31 2.8.3 Grid Selisih Hingga ....................................................................................... 33 2.8.4 Pendekatan Eksplisit dan Implisit ................................................................. 34 2.9 PERKIRAAN LAJU EROSI ................................................................................ 36 2.9.1 Type Erosi ..................................................................................................... 36 2.9.2 Estimasi Laju Sedimentasi............................................................................. 38 2.9.3 USLE (Universal Soil Loss Equation) .......................................................... 39
Gambar 2. 1 Skema sistem .................................................................................................... 4 Gambar 2. 2 Proses Perencanaan dengan Analisa Sistem ..................................................... 6 Gambar 2. 3 Skema Mode Simulasi ...................................................................................... 7 Gambar 2. 4 Skema Model Optimasi .................................................................................... 8 Gambar 2. 5 Diagram alir penentuan inflow (air yang masuk) ke waduk .......................... 11 Gambar 2. 6 Diagram Bernoulli untuk Hydropower ........................................................... 13 Gambar 2. 7 Pola Sedimentasi di Waduk ............................................................................ 17 Gambar 2. 8 ratio suspended dan total load......................................................................... 18 Gambar 2. 9 Elemen kubus fluida untuk transpor sedimen ................................................. 21 Gambar 2. 10 Persamaan momentum pada saluran terbuka ................................................ 24 Gambar 2. 11 Fungsi f(x) .................................................................................................... 32 Gambar 2. 12 Skema forward difference ............................................................................ 32 Gambar 2. 13 Skema backward difference.......................................................................... 33 2‐47
Bab II Kajian Literatur
Gambar 2. 14 Skema central difference .............................................................................. 33 Gambar 2. 15 Titik-titik diskrit grid .................................................................................... 34 Gambar 2. 16 Skema time marching ................................................................................... 35 Tabel 2. 1 Penilaian Tekstur tanah Lapangan .................................................................. 41 Tabel 2. 2 Penilaian Bahan Organik (Hammer, 1978) .................................................... 42 Tabel 2. 3 Struktur Tanah (Hammer, 1978) ..................................................................... 42 Tabel 2. 4 Permeabilitas tanah (Hammer, 1978) .............................................................. 42 Tabel 2. 5 Harga C Dari Beberapa Jenis Vegetasi di Indonesia ...................................... 45 Tabel 2. 6 Harga Pada Beberapa Teknik Konservasi Tanah .............................................. 46
2‐48