BAB II DATA DAN ANALISA
2.1
Metode Penelitian Data diperoleh melalui wawancara, survey, media cetak dan elektronik. Wawancara:
Bpk. Sumari, SENAWANGI. Survei dilakukan ke Gedung Perwayangan Kautaman.
Media cetak :
Nilai-nilai Kearifan Budaya Wayang, Drs. Soeparno, MSi Tafsiran Ajaran Suluk Bharatayudha, Basri Priyo Handoko Dhalang, Wayang, dan Gamelan, Wawan Susetya Tuntunan Pedalangan Wayang Surakarta, Bambang Soewarno
2.2
Data dan literatur 2.2.1
Asal usul kesenian wayang
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek
4
penelitian. Sekitar abad 10, raja Kediri berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Setelah berganti generasi pada kerajaannya, gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan di-buat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.
Menurut Wawan Susetya dalam bukunya yang bertajuk “Dhalang, Wayang dan Gamelan”, 2007. Wayang kulit adalah pedalangan dan drama tradisional Indonesia, yang sudah digemari oleh rakyat Indonesia sejak zaman
5
prasejarah sampai sekarang, berkembang di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Wayang berasal dari kata ‘bayang’, mulai pada zaman purbakala sebagai upacara memanggil arwah dengan memasang lampu minyak kelapa (blencong) sebagai sarana penerangan dan menayangkan bayangan pada dinding atau kain putih (kelir) yang dibentangkan, sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Wayang kemudian berkembang sejak abad ke-9 dan ke-IO sebagai media untuk pementasan lakon-lakon (cerita) yang diciptakan bertemakan sastra epos Ramayana dan Mahabharata, dan kemudian sejak abad-abad pertengahan diciptakan pula lakon-lakon yang dimasukkan kaedah-kaedah agama Islam. Jenis-jenis wayang berkembang pesat dari zaman ke zaman, sehingga pada saat ini, terdapat lebih dari 60 jenis wayang, tersebar di seluruh Indonesia. Betapa banyaknya corak ragam jenis wayang yang berkembang di tanah air. Wayang Kulit atau Wayang Purwa termasuk kategori yang paling berkembang hingga diakui sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO sebagai ‘Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity’ pada tanggal 7 November 2003.
6
Wayang istiwewa sebagai bentuk kesenian karena memiliki sifat-sifat yang dalam bahasa Jawa disebut adiluhung dan edipeni, yaitu sangat agung dan luhur, dan juga sangat indah (etika dan estetika). Menurut para pujangga Jawa, wayang berfungsi sebagai tontonan dan tuntunan, dan merupakan gabungan lima jenis seni, yakni : 1. Seni Widya (filsafat dan pendidikan) 2. Seni Drama (pentas dan musik karawitan) 3. Seni Gatra (pahat dan seni lukis) 4. Seni Ripta (sangit dan sastra) 5. Seni Cipta (konsepsi dan ciptaan-ciptaan baru)
Setiap karakter dalam perwayangan
Jawa juga memiliki lambang
simbolis dan filosofi. Seperti yang dikutip dalam buku “Dari Ilmu Hastha Brata Sampai Sastra Jendra Hayuningrat (Wawan Susetya, 2006)” dijelaskan bahwa jumlah ‘Pandhawa 5’ identik dengan angka sakral 5 (lima), cermin jumlah Rukun Islam, identik dengan jumlah shalat lima waktu, dan melambangkan buah-buah sila Pancasila. Dan melalui pendekatan visual diharapkan masyarakat dapat lebih memahami sisi karakter-karakter dalam pembahasan tentang simbolis dan filosofi perwayangan Indonesia.
Wayang bukan sekedar tontonan bayang-bayang atau "shadow play", melainkan
sebagai
'wewayangane
ngaurip' yaitu
bayangan
hidup
manusia. Dalam suatu pertunjukan wayang dapat dinalar dan dirasakan
7
bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari pertunjukan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh guna mendapatkan keridhoan Illahi. Wayang juga secara nyata menggambarkan konsepsi hidup 'sangkan paraning dumadi', manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan Kepribadian Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain.
2.2.2 Teknik Pembuatan Wayang •
Bahan Bahan pokok wayang kulit purwa adalah kulit kerbau atau kulit
lembu. Kulit kerbau mempunyai sifat lebih tebal, kuat tetapi mudah patah dan tahan segala cuaca. Kulit kerbau biasanya digunakan untuk tokoh utama atau wayang simpingan, misalnya danawa raton, boma, sasran, katongan, satria, bambangan, putren dan bayen, serta wayang jenis gamanan (panah, gada, tombak, dan sebagainya). Sedangkan kulit lembu lebih tipis, ulet, tidak mudah patah, tapi tidak tahan cuaca dingin sehingga mudah lembek. Jenis kulit ini biasa digunakan untuk membuat
8
wayang-wayang
dhudhahan
terutama
hewan
dan
rempahan
(prampongan dan kereta). Kulit yang bagus untuk membuat wayang adalah kulit kerbau dan lembu yang tidak terlalu tua (Jawa:kebo/sapi gemaron). Hal ini disamping serat kulitnya padat dan ulet, juga warna kulitnya jernih (Jawa:ngaca). Peralatan untuk menatah wayang kulit meliputi: penyorek, wali, penggaris, jangka, tatah, pandhukan, rindhih, gandhen, malam, ungkal, cowek, dan pethel. Penyorek digunakan menggambar wayang. Wali digunakan untuk mengahaluskan bagian tepi wayang. Penggaris untuk menggaris bidang datar seperti pundak, serta untuk membagi bidang. Jangka untuk membentuk mata serta untuk persendian tangan. Tatah untuk memahat wayang. Tatah berjumlah sekitar 20 biji; pahat bengkok, pahat lurus. Pandhukan untuk alas memahat, biasanya digunakan kayu yang keras. Tindhih untuk menindih kulit yang ditatah. Gendhen utnuk memukul tatah. Malam digunakan untuk melicinkan tatah. Ungkal digunakan untuk mengasah tatah. Coek untuk tempat air pada waktu mengasah. Pethel digunakan untuk mengatur tebal tipis kulit.
•
Gapitan Gapitan wayang kulit pada dasarnya berfungsi memberikan
kekuatan pada wayang yang bersangkutan serta sebagai tangkai pegangan. Tangkai penggapit wayang disebut cempurit. Gampitan sangat erat kaitannya dengan bentuk dan gerak wayang. Lekukan-
9
lekukan cempurit pada pinggang, leher, telinga dan bagian atas wayang sangat besar pengaruhnya terhadap corekan wayang yang digapit. Dalam hal penggapitan wayang kulit, dikenal istilahmecut, membat, dan nggebug. Mecut yaitu suatu bentuk gerakan lentur seperti mencambuk, mambat adalah suatu gerakan yang kenyal,sedangkan nggebug adalah suatu gerakan yang kaku. Berkaitan dengan itu, Darman Gandadarsana berpendapat
untuk
wayang-wayang
bermahkota
seperti
Kresna,
Baladewa, dan figur Kayon, gapitannya mecut, sehingga kalau digetarkan ujungnya dapat bergerak ringan. Untuk tokoh-tokoh satria bergelung seperti Werkudara, Gatotkaca, dan Arjuna, gapitannya membat, sehingga jika digerakkan akan memunculkan kesan mantap. Untuk tokoh yang cekatan dan lincah seperti Cakil dan prajurit kera, gapitannya nggebug, sehingga tidak lentur jika digerakkan dengan ritme cepat. Untuk wayang-wayang berbentuk besar seperti kereta, ampyak, atau wayang-wayang binatang, gapitannya dibuat seimbang antara bagian depan dan belakang, sehingga lebih mudah menghidupkan gerak sesuai dengan sifatnya. Disamping itu,semua bentuk gapitan harus nyangga. Artinya, cempurit yang dipakai harus sesuai dengan ukuran wayang.
10
•
Sunggingan Sunggingan adalah pewarnaan pada wayang kulit. Setelah
pahatan selesai, makan proses pengamplasan biasanya dilakukan oleh penyungging, agar kedua sisi wayang lebih halus. Pewarna untuk nyungging terdiri atas lima macam warna dasar, yaitu: putih, merah, kuning, biru, dan hitam. Untuk warna emas digunakan prada atau brons, sedangkan untuk arsir (cawen) dan drenjeman hitam digunakan tinta cina (mbag). Sebagai perekat tradisional adalah ancur, namun dalam perkembangannya sekarang dapat menggunakan lem rakol dan lainnya. Untuk memperkaya warna sunggingan perlu mencampur warna-warna dasar, meliputi: 1.
Campuran putih dan merah, menjadi merah jambu;
2.
Campuran kuning dan merah, menjadi orange ato sawo matang;
3.
Campuran kuning dan biru, menjadi hijau;
4.
Campuran putih dan hitam, menjadi abu-abu (wesen atau lemah teles);
5.
Campuran putih, merah, dan biru, menjadi ungu;
6.
Campuran merah, hitam, dan biru, menjadi coklat (puru). Adapun tahap-tahap penyunggingan sebagai berikut:
1.
nDhasari, yakni memberi warna dasar putih tipis pada tubuh dan busana wayang kecuali rambut, muka dan tubuh yang akan diwarnai hitam.
11
2.
Nyecegi, yakni menghitam pada seritan rambut, agar warna hitamnya merata dalam pahatan seritan.
3.
Jika menggunakan prada, maka langkah berikutnya adalah mendasari pada bidang yang akan diprada terutama pada bidang busana, dengan warna kuning. Selanjutnya melekatkan prada pada bidang busana.
4.
Mlepesi, adalah memberi warna putih pada bidang busana, sekaligus sebagai daasran warna jadi.
5.
Memberi warna-warna, diawali warna muda, yaitu merah jambu muda, kuning dan biru muda, untuk menentukan komposisi warnanya.
6.
Memberi sorotan warna berikutnya dengan warna-warna yang lebih tua, yaitu; merah jambu tua (diatas merah jambu muda), hijau muda (diatas kuning), dan biru agak tua (di atas biru muda).
7.
Memberi sorotan warna tua, yaitu merah (diatas merah jambu tua), hijau agak tua (diatas hijau muda), dan biru tua (diatas biru agak tua).
8.
Memberi sorotan coklat dan hijau tua.
9.
Nyawi, yakni mengarsir pada sorotan warna dengan tinta hitam;aadkalanya untuk sorotan merah digunakan tinta merah.
12
10.
Drenjemen, yakni titik-titik pada sorotan; untuk sorotan warna hijau dan biru menggunakan tinta hitam, sedangkan untuk sorotan warna merah dan orange menggunakan tinta merah.
11.
Mrada, yaitu memberi warpada muka wayang atau muka.
12.
Ngraupi, yakni memberi warna pada muka wayang sesuai dengan warna yang dikehendaki; putih, merah jambu, biru muda, hijau muda, dan sebagainya.
13.
Ulat-ulatan, yakni merias wajah, meliputi; membuat alis, ganggeng kanyut (di muka godeg), kumis, simbar jaja, bulu-bulu tangan, dan sebagainya.
14.
Toya mangsi, yakni memberi tekanan pada alis, kumis, bulubulu, dan sebagainya, dengan menggunakan sorotan toya mangsi.
15.
Ngedus, adalah proses pelapisan pada seluruh bidang agar cemerlang dan mantap.
2.2.3
Pengelompokan Wayang Wayang kulit purwa gaya Surakarta berdasarkan fungsinya dalam
pakeliran dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni wayang baku dan wayang srambahan. Wayang baku adalah peran tokoh utama yang mempunyai nama, tipe figur, seperti; Dasamuka, Gatotkaca, Kresna, Setyaki, Puntadewa, Werkodara, Arjuna, Dropadi, Banowati, dan sebagainya. Wayang srambahan adalah jenis tipe figur wayang yang fleksibel digunakan untuk peran tokoh
13
sesuai dengan jenis tipologi dan karakternya, misal; danawa raton, boma, sasran, katongan banyakan, patihan, dan beberapa putren. Berdasar golongan, wayang satu kotak dapat dibedakan menjadi 15 kelompok, yakni : 1.
Katongan, yaitu para raja (Duryudana, Baladewa, Kresna, Salya dan sebagainya).
2.
Putran, yaitu para satria (Bima, Arjuna, Abimanyu).
3.
Putren, yaitu tokoh wayang peran putri (Kunti, Banowati, Drupadi, dan sebagainya).
4.
Boyen, yaitu wayang kecil untuk peran bayi,seperti Dewa Ruci.
5.
Dewa, yaitu tokoh para dewa (Batara Guru, Narada, Brahma, Bayu, Wisnu, dan sebagainya).
6.
Raseksa, yaitu tokoh wayang para raksasa (danawa raton, danawa nem, punggawa raseksa, raksasa-raksesi wanan).
7.
Rewanda, yaitu tokoh wayang bala tentara kera (Anila, Anggada, Anggeni, Jembawan, Saraba, dan sebagainya).
8.
Pungawa, yaitu wayang punggawa kerajaan (Udawa, Pragota, Prabawa, Potropolo, dan sebagainya).
9.
Pandhita atau brahmana, yaitu wayang tokoh pendeta, brahmana, biku, dan cantrik (Abiyasa, Bisma, Krepa, dan sebagainya).
10.
Dhagelan, yaitu wayang-wayang humoris (punakawan dan setanan).
11.
Pawongan, yaitu wayang-wayang peran pembantu atau dayang-dayang (Cangik dan Limbuk).
14
12.
Kewanan, yaitu wayang-wayang rempahan berupa binatang hutan (harimau, banteng, ular, babi hutan, dan sebagainya).
13.
Titihan, yaitu wayang jenis kendaraan (kereta, perahu, kuda, gajah, dan prampongan/ampyak).
14.
Gemanan, yaitu wayang-wayang jenis senjata (panah, cakra, keris, tombak, gada, pedang).
15.
Kayon, yaitu wayang figur gunungan (gapuran dan blumbangan).
Berdasar penataan pada pertunjukan, jenis wayang dikelompokkan menjadi tiga bagian: 1.
Wayang panggungan atau simpingan, yaitu wayang-wayang yang ditata di atas batang pisang pada sisi kanan dan kiri panggungan.
2.
Wayang dhudhahan, yaitu wayang-wayang yang ditata di dalam kotak.
3.
Wayang ricikan, yaitu wayang-wayang yang ditata ditutup kotak.
2.2.4 Bentuk Organ Tubuh Wayang Wayang kulit purwa gaya Surakarta dapat dikelompokkan berdasarkan polatan, pasemon, dan adegnya. Berdasarkan polatan atau raut muka, wayang kulit Surakarta dibedakan menjadi tiga kelompok: 1.
Wayang luruh/oyi, yakni figur wayang yang raut mukanya menunduk (Puntadesa, Werkudara, Arjuna, Abimanyu, Drupadi).
2.
Wayang semuruh, yakni figur wayang yang raut mukanya tegap (Nakula, Sadewa, Irawan).
15
3.
Wayang lanyap/endhel,yakni figur wayang yang raut mukanya mendongak (Narayana, Suman, Rukmarata, Banowati, Srikandi).
Berdasarkan adeg atu postur tubuhnya, wayang kulit Surakarta dibedakan menjadi empat kelompok: 1.
Adeg jejeg, figur wayang yang postur tubuhnya tegap (Abimanyu, Arjuna, Bratasena).
2.
Adeg ndhetheng, yakni figur wayang yang postur tubuhnya rebah ke belakang (Narayana, Karna).
3.
Adeg sangkuk, yakni figur wayang yang postur tubuhnya membungkuk (Anoman dan para kera, Rama).
4.
Adeg wungkuk, yakni figur wayang yang garis punggungnya membungkuk ke depan (Semar, pendeta tua).
2.3
Produk Buku referensi visual mengenai karakter perwayangan Purwa versi Pandawa.
2.4
Karakteristik Produk Produk publikasi Tugas Akhir ini memiliki beberapa ciri-ciri, yakni: •
Membahas silsilah dan karakter-karakter dalam dunia perwayangan yang ada dalam perwayangan purwa.
•
Pembahasan yang dilakukan masih berada dalam lingkup pengenalan karakter, dengan penceritaan yang bersifat mendasar, namun kaya akan
16
visual. •
Memiliki visual yang penuh ilustrasi dan warna yang disesuaikan dengan selera target konsumen.
2.5
Struktur Buku Spesifikasi buku secara terperinci, adalah sebagai berikut: Cover BAB I.
Pendahuluan Legenda Peta Negara
BAB II.
Pandawa Puntadewa Bima Arjuna Nakula Sadewa
BAB IV.
Sesepuh Bisma Kresna
BAB V.
Punakawan Semar Bagong Petruk
17
Gareng Penutup
Ukuran buku
:
25cm x 30cm (hard cover) Full Colour
Tebal buku
:
42 halaman.
2.5.1 Karakter-karakter •
PUNTADEWA Puntadewa adalah putra sulung Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Kunti dari negara Mandura. Ia mempunyai dua orang adik kandung bernama Bima dan Arjuna, dan dua adik kembar lain ibu, bernama Nakula dan Sadewa, putra Prabu Pandu dengan Dewi Madrim dari negara Mandaraka. Puntadewa adalah titisan Batara Darma. Ia mempunyai watak sabar, sabar, ikhlas, percaya atas kuasa Tuhan, tekun dalam agamanya, tahu membalas guna dan selalu bertindak adil dan jujur. Ia senang bermain catur. Setelah Pandawa berhasil mebangun negara Amarta di hutan Mertani, Puntadewa dinobatkan menjadi raja Amarta bergelar Prabu Darmakusuma. Ia juga bergelar Prabu Yudhistira karena dalam tubuhnya memanggil arwah Prabu Yudhistira, raja jin negara Mertani. Prabu Puntadewa menikah dengan Dewi Drupadi dari negara Pancala, dan berputrakan Pancawala. Prabu Puntadewa mempunyai
18
pusaka kerajaan berwujud payung bernama Kyai Tunggulnaga dan sebuah tombak bernama Kyai Karawelang. Dalam perang Bharatayudha, Prabu Puntadewa tampil sebagai senopati para Pandawa, dan berhasil menewaskan Prabu Salya, raja negara Mandaraka. Sesudah berakhirnya perang, Prabu Puntadewa menjadi raja negara Astina bergelar Prabu Karimataya. Setelah menobatkan Parikesit, putra Abimanyu dengan Dewi Utari sebagai raja Astina, Prabu Puntadewa memimpin perjalanan moksa para Pandawa yang diikuti Dewi Drupadi menuju Nirwana.
•
BIMA Bima atau Werkudara adalah putra kedua Prabu Pandu, raja negara Astina dengan Dewi Kunti dari negara Mandura. Bima mempunyai dua orang saudara kandung bernama Puntadewa dan Arjuna, serta dua saudara lain ibu, yaitu : Nakula dan Sadewa. Bima memiliki sifat dan perwatakan gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Ia memiliki keistimewaan ahli bermain gada dan memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alagara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang dimiliki
:
Aji
Bandungbandawasa,
Aji
Ketuklindu
dan
Aji
Blatukpangantol-antol. Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati,
19
Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan celama Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh/kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem. Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta. Ia mempunyai tiga orang isteri dan tiga orang anak, yaitu: Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja, Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca dan Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena. Akhir riwayat Bima diceritakan, mati sempurna (moksa) bersama keempat saudaranya setelah akhir perang Bharatayudha.
•
ARJUNA Arjuna seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Arjuna pernah menjadi brahmana di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan para dewa untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa (dari Bhatara Indra), Panah Ardadadali (dari Bhatara Kuwera), Panah Cundamanik (dari Bhatara Narada). Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopansantun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin
20
Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuddha, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia moksa (mati sempurna) bersama keempat saudaranya yang lain di gunung Himalaya.
•
NAKULA Nakula dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat) adalah putra keempat Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa (pedalangan Jawa). Nakula juga mempunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama; Puntadewa/Yudhistira, Bima/Wekodara dan Arjuna. Nakula adalah titisan Batara Aswi, Dewa Tabib. Ia mahir menunggang kuda dan pandai menggunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala yang ia ketahui karean ia mempunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Ia juga mempunyai cupu berisi, "Banyu Panguripan/Air Kehidupan" pemberian Batara Indra. Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal di kasatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang istri
21
yaitu,
1.
Dewi
Sayati,
putri
Prabu
Kridakirata,
raja
negara
Awuawulangit, dan memperoleh dua orang anak bernama Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. 2. Dewi Srengganawati, putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala) dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik. Setelah selesai perang Bharatayuda, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya, kaka ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa bersama keempat saudaranya.
•
SADEWA Sadewa atau Sahadewa dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Tangsen (buah dari tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipakai untuk obat) adalah putra kelima/bungsu Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati dari negara Mandraka. Ia lahir kembar bersama kakaknya, Nakula. Sadewa juga mempunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari keluarga Mandura, bernama; Puntadewa, Bima/Werkudara dan Arjuna.
22
Sadewa adalah titisan Batara Aswin, Dewa Tabib. Ia sangat mahir dalam ilmu kasidan (mistikus). Mahir menunggang kuda dan mahir mengguankan senjata panah dan lembing. Selain sanagt sakti, Sadewa juga memiliki Aji Purnamajati pemberian Ditya Sapulebu, Senapati negara Mretani yang berkhasiat;dapat mengerti dan mengingat dengan jelas pada semua peristiwa. Sadewa mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Bawetalun, wilayah negara Amarta. Sahadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati,
adik
Dewi
Srengganawati
(istri
Nakula).
Dari
perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Bambang Widapaksa. Setelah selesai perang Bharatayudha, Sadewa menjadi patih negara Astina mendampingi Prabu Yudhistira. Akhir riwayatnya diceritakan, Sadewa mati moksa bersama keempat saudaranya.
•
BISMA Bisma terlahir sebagai Dewabrata. Ia merupakan putera dari pasangan Prabu Santanu dan Satyawati. Ia juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda ia bernama Dewabrata, namun berganti menjadi Bisma semenjak ia bersumpah bahwa tidak akan menikah seumur hidup. Bisma ahli dalam segala modus peperangan dan sangat disegani oleh Pandawa dan Korawa. Ia gugur dalam sebuah
23
pertempuran besar di Kurukshetra oleh panah dahsyat yang dilepaskan oleh Srikandi dengan bantuan Arjuna. namun ia tidak meninggal pada saat itu juga. Ia sempat hidup selama beberapa hari dan menyaksikan kehancuran para Korawa. Ia menghembuskan nafas terkahirnya saat garis balik matahari berada di utara (Uttarayana). Nama Bhishma dalam bahasa Sansekerta berarti “Dia yang sumpahnya dahsyat (hebat)”, karena ia bersumpah akan hidup membujang selamanya dan tidak mewarisi tahta kerajaannya. Nama Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan pratigya, yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Hal itu dikarenakan Bisma tidak ingin dia dan keturunannya berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya. Bisma memiliki dua adik tiri dari ibu tirinya yang bernama Satyawati. Mereka bernama Citranggada dan Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, ia pergi ke Kerajaan Kasi dan memenagkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga orang puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada adikadiknya. Karena Citranggada wafat, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan Wicitrawirya sedangkan Amba mencintai Bisma namun Bisma menolak cintanya karena terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin seumur hidup. Demi usaha untuk menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja ia menembakkan panah menembus dada Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa kelak Amba
24
bereinkarnasi menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu putera Raja Drupada yang bernama Srikandi. Kelak kematiannya juga berada di tangan Srikandi yang membantu Arjuna dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.
•
KRESNA Prabu Kresna pada waktu mudanya bernama Narayana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra. Ia lahir kembar bersama kakaknya, Kakrasana, dan mempunyai adik lain ibu bernama Dewi Sumbadra, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Prabu Kresna adalah titisan Sang Hyang Wisnu yang terakhir. Selain sangat sakti dan bertiwikrama, ia juga mempunyai pusaka-pusaka sakti,
antara
lain;
Senjata
Cakra,
Kembang
Wijayakusuma,
Terompet/Sangkala Pancajahnya, Kaca Paesan, Aki Pameling dan Aji Kawrastawan. Ia mendapat negara Dwarawati setelah mengalahkan Prabu Kalakresna, kemudian naik tahta bergelar Prabu Sri Batara Kresna. Prabu Kresna mempunyai empat orang permaisuri: Dewi Jembawati, berputra Samba dan Gunadewa (berwujud kera) Dewi Rukmini, berputra Saradewa (berwujud raksasa), Partadewa dan Dewi Titisari Dewi Setyaboma, berputra Arya Setyaka
25
Dewi Pratiwi, berputra Bambang Sitija dan Dewi Siti Sundari Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan perantaraan panah seorang pemburu bernama Ki Jara yang mengenai kakinya.
•
SEMAR Semar adalah pamong/parampara trah keturunan Witaradya (sejarah keturunan para raja). Semar adalah puta Batara Wungkuam, yang berarti cucu Sang Hyang Ismaya. Semar juga merupakan penjelmaan Ang Hyang Ismaya, kakeknya sendiri. Semar mempunyai sifat dan perwatakan ; sabar, longgar, momong (menjaga mengasuh), bicaranya mengandung fatwa nasehat. Dalam cerita pedalangan, Semar dikenal sebagai manusia boga sampir. Berbadan pendek, rambutnya berkuncung putih, mata rembes, hidung kecil, bibir cabik. Semar menikah dengan Dewi Kanistri, putri Batara Hira, keturunan Sang Hyang Caturwarna, putra Sang Hyang Caturkanwaka. Sepanjang hidupnya Semar selalu menjadi pamong keturunan witaradya bersama dengan Bagong. Kemudian bertambah dengan Gareng dan Petruk. Ketiga temannya itu kemudian diakuinya sebagai putra angkatnya. Dalam keadaan sehari-harinya, Semar berlaku sebagai punakawan biasa, tetapi bilamana perlu ia tidak segan-segan bertindak untuk membenarkan hal-hal yang tidak betul.Sebagai penjelmaan Sang
26
Hyang Ismaya, Semar juga memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk datang ke Jonggringsaloka bertemu dengan Sang Hyang Manikmaya, atau menemui Sang Hyang Tunggal di khayangan Alangalangkumitir. Sebagai penjelmaan Sang Hyang Ismaya, Semar berumur sangat panjang, mencapai ribuan tahun, hidup dari jaman Ramayana, Mahabrahata dan jaman Parikesit. Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga oleh para ksatria Semar dihormati. Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para ksatria disaat menghadapi bahaya baik akibat ulah sesama manusia maupun akibat ulah para Dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa yang ngejawantah atau Dewa yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru. Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana
menurut
segala
nasehat
Semar
akan
mendapatkan
27
kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir ditengahtengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbul rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang berkuasa.
•
PETRUK Petruk dikenal pula dengan nama Kanthongbolong. Petruk lazim disebut sebagai anak Semar, masuk dalam golongan punakawan. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecrukpanyukilan, putra Bagawan Salantara dari padepokan Kembangsore. Ia sangat gemar bersendagurau, baik dengan ucapan ataupun tingkah laku dan senang berkelahi. Bambang Pecrukpanyukilan pergi berkelana untuk menguji kesaktian. Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukskati, yang pergi dari pedepokannya diatas bukit untuk mencoba kekebalannya. Karena menpunyai madsud yang sama, terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, berhantam, bergerumul, tendang menendang, injak menginjak, hingga tubuh mereka menjadi cacat dan beda sekali dengan bentuk aslinya. Perkelahian mereka berhenti setelah dilerai Sang Hyang Ismaya/Semar dan Bagong. Setelah diberi fatwa dan nasehat, keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Semar, dan mengabdi kepada Sang Hyang Ismaya. Karena perubahan wujud tersebut, mereka masing-masing berganti
28
nama, Bambang Sukskati menjadi Nala Gareng, sedangkan Bambang Pecrukpanyukilan menjadi Petruk.
•
GARENG Gareng lazim disebut sebagai anak Semar dan masu dalam golongan punakawan. Aslinya, Gareng bernama Bambang Sukskati, putra Resi Sukskadi dari padepokan Bluluktiba. Bertahun-tahun Bambang Sukskati bertapa di bukit Candala untuk mendapatkan kesaktian. Setelah selesai tapanya, ia kemudian minta ijin pada ayahnya untuk pergi menaklukkan raja-raja. Di tengah perjalanan Bambang Sukskati bertemu dengan Bambang Panyukilan, putra Begawan Salantara dari padepokan Kembangsore.
Karena
sama-sama
congkaknya
dan
sama-sama
mempertahankan pendiriannya, terjadilah peperangan antara keduanya. Mereka mempunyai kesaktian yang seimbang sehingga tiada yang kalah dan menang. Mereka juga tak mau berhenti berkelahi walau tubuh mereka telah saling cacat tak karuan. Perkelahian baru berakhir setelah dilerai oleh Semar/Sang Hyang Ismaya, berubahlah wujud keduanya menjadi sangat jelek. Tubuh Bambang Sukskati menjadi cacat, matanya juling, hidung bulat bundar, tak berleher, perut gendut, kaki pincang, dan tangan bengkok. Oleh Sang Hyang Ismaya namanya diganti menjadi Nala Gareng, sedangkan Bambang Panyukilan menjadi Petruk.
29
Nala Gareng menikah dengan Dewi Sariwati, putri Prabu Sarawasena dengan permaisuri Dewi Saradewati dari negara Salarengka, yang siperolehnya atas bantuan Resi Tritusta dari negara Purwaduksina. Nala Gareng berumur sangat panjang, ia hidup sampai jaman Madya.
2.6
2.7
Kompetitor Buku Judul Buku
: Dragonology
Ukuran
: 25,5 cm X 29,7 cm
Penerbit
: Candlewick Press.
Target Komunikasi Psikografi
: Sudah mandiri, sudah dapat menetapkan keputusan untuk diri sendiri, memiliki rasa ingin tahu yang besar, menyukai visual art yang kaya warna, senang melihat hal-hal baru.
Behaviour
: Menyukai hal-hal menyangkut budaya.
Demografi
: Generasi muda umur 20-30 tahun, SES A dan atau B.
Geografi
: Berdomisili di kota-kota besar.
30
2.8
Mandatoris Gramedia Pustaka Utama Penerbit Gramedia mulai menerbitkan buku sejak tahun 1974. Dengan misi “Ikut mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa serta masyarakat Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama berusaha keras untuk menjadi agen pembaruan bagi bangsa ini dengan memilih dan memproduksi buku-buku yang berkualitas, yang memperluas wawasan, memberikan pencerahan, dan merangsang kreativitas berpikir. Gramedia Pustaka Utama mengkonsentrasikan diri untuk menggarap dua bidang utama, yakni fiksi dan non-fiksi. Bidang fiksi dibagi menjadi fiksi anak-anak dan pra-remaja, remaja, dewasa. Bidang nonfiksi dibagi menjadi humaniora, pengembangan diri, bahasa dan sastra Indonesia, bahasa Inggris/ELT, kamus dan referensi, sains dan teknologi, kesehatan, kewanitaan (masakan, busana), dsb.
PT.Gramedia Pustaka Utama Gedung Gramedia lt. 2-3 Jl. Palmerah Barat 33-37 Jakarta 10270 Telp. (021) 53677834 (hunting) ext. 3251, 3252, 3258 Fax (021) 5360316, 5360315, 5300545
31
2.9
Analisa SWOT 2.9.1 •
Strength (Kekuatan/Faktor Pendukung) Buku mengenai wayang sudah banyak yang berupa tulisan, namun buku yang berupa referensi visual belum begitu banyak.
•
Penggambaran
detil
yang
sehingga
target
komunikasi
dapat
memperhatikan dengan baik ciri dari tiap karakter. Mengingat gambargambar wayang yang beredar secara umum tidak jelas (low ressolution).
2.9.2 •
Weakness (Kelemahan/Faktor Penghambat) Dikarenakan target masih tergolong anak muda, agak sulit untuk dapat selalu memahami target konsumen dalam masalah selera.
•
Publikasi buku ilustrasi memerlukan biaya produksi yang tidak sedikit, oleh karena itu ada kemungkinan harga buku pereksemplar tidak dapat disanggupi oleh beberapa pihak.
2.9.3
Opportunity (Peluang/Keuntungan)
•
Makin maraknya studi-studi yang menggali kembali kebudayaan lokal.
•
Masih minimnya buku bergambar dengan tema serupa.
•
Pada masa modern ini, masih ada kolektor muda yang masih tertarik dengan budaya wayang dan juga ada yang tertarik dengan ilustrasi sehingga ikut tertarik untuk membaca lebih lanjut.
•
Bangsa Indonesia dewasa ini banyak menerima ancaman dari dalam maupun luar negeri tentang kepemilikan sebuah budaya. Dengan
32
meningkatkan minat pada budaya wayang yang sudah diakui keberadaannya sebagai warisan dunia, termasuk juga menyelamatkan salah satu khasanah budaya bangsa.
2.9.4 Threat •
Hingga saat ini, penggambaran wayang dalam pikiran awam, pusing dan susah dimengerti penceritaan, karakter yang banyak dan berbelit-belit, bahkan beberapa orang menganggap dalam mengangkat topik wayang itu sudah outdate.
•
Banyaknya kebudayaan dari luar yang mendominasi kehidupan anak muda sekarang ini.
•
Buku serupa buatan luar yang lebih menarik.
33