BAB II CERITA RAKYAT, STRUKTUR DAN NILAI MORAL SERTA MODEL PELESTARIANNYA DI MADRASAH TSANAWIYAH
1. Ihwal Cerita Rakyat 1.1. Pengertian Cerita Rakyat Cerita rakyat merupakan tradisi lisan yang secara turun temurun diwariskan dalam kehidupan masyarakat, seperti dongeng Sangkuriang, Si Kancil, Si Kabayan dan sebagainya. Cerita rakyat biasanya berbentuk tuturan yang berfungsi sebagai media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat di dalam kehidupan masyarakat. Dalam sastra Indonesia, cerita rakyat adalah salah satu bentuk folklor lisan (Bunanta, 1998:21). Kata folklor adalah pengindonesiaan dari kata bahasa Inggris folklore. Kata itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Dandles menyatakan bahwa, Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting adalah mereka telah memiliki suatu tradisi yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi turun temurun, sedikitnya ada dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersamanya. Di samping itu, yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Sedangkan lore adalah tradisi folk 13
yaitu
14
kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun, secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memoric device). Definisi folklor secara keseluruhan menurut Danandjaya (2007:2) adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak dan isyarat atau alat pembantu pengingat (memoric device). Dorson,(Endraswara,2009:108) mengatakan folklor maupun folklife dapat diklasifikasikan menjadi empat : (1) oral literature, kadang-kadang disebut juga seni verbal atau sastra ekspresif. Sastra lisan adalah bagaian folklor yang menjadi ruh folklor. Sastra lisan pula yang menguatkan folklor hingga lekat dihati pendukungnya; (2) budaya material, yaitu folklor dan folklife yang kontras dengan dengan sastra lisan. Budaya folklor adalah kehidupan fisik. Folklor semacam ini terkait dengan karya, seperti pakaian, desain, candi, dan seterusnya; (3) social folk costum, artinya kebiasaan sosial rakyat. Kebiasaan ini menyangkut tradisi rakyat. Hal-hal yang berhubungan dengan rites de passage, seperti kelahiran, inisiasi, ekmatin dan ritual lainnya adalah folklor ; (4) performaing folk arts, artinya seni pertunjukan rakyat seperti jatilan, ketoprak, srandul, dan sebagainya. Berdasarkan pengklasifikasian folklor menurut Dorson ini, maka cerita PAL termasuk didalam kategori yang pertama, yaitu oral literature. Kategori yang dikatakan sebagai ruhnya folklor, sehingga penelitian berkenaan dengan cerita PAL
15
ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian yang penting atau esensial bagi perkembangan folklor. Pengklasifikasian folklor juga dilakukan oleh Brunvand, yang membagi folklor berdasarkan tipenya. Brunvand (Danandjaja,2007:21) mengatakan bahwa berdasarkan tipenya folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar : (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore, dan (3) folklore bukan lisan (non verbal folklore),atau masing-masing dengan istilah mentifacts, sociofact,dan artifacts. Tiga kelompok folklor tersebut selanjutnya dapat diperjelas sebagai berikut. Pertama, folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk kedalam kelompok besar ini antara lain; (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan title kebangsawanan, (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo, (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki, (d) puisi rakyat seperti pantun, gurindam dan syair, (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng, dan (f) nyanyian rakyat. Kedua, folklor sebagian lisan, folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh orang modern sering sekali disebut tahayul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda
16
material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki, seperti batu-batu permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, juga permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain. Ketiga, folklor bukan lisan. Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong yang material antara lain; arsitektur rakyat ( bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain; gerak isyarat tradisioanal (gesture) bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di Afrika), dan musik rakyat. Berdasar pada pengelompokan menurut Brunvand ini maka cerita PAL dapat digolongkan ke dalam folklor lisan yaitu cerita prosa rakyat. Folklor
dapat digunakan sebagai alat untuk mewariskan adat-istiadat,
norma-norma masyarakat pemiliknya khususnya untuk sastra lisan. Hal ini tercermin dari pernyataan Yanagita, (Endraswara,2009:109) yang mengatakan folklor merupakan “ajaran untuk hari esok”, yang berarti sebuah disiplin ilmu yang dapat membantu orang Jepang untuk mengerti jati diri mereka sendiri serta sejarah mereka secara lebih mendalam.
17
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat merupakan karya sastra yang berbentuk lisan, yang merupakan hasil tuturan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan merupakan warisan kebudayaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat serta bagian dari folklor. Berdasarkan definisi ini maka, cerita PAL dikategorikan sebagai bagian dari folklor, dan merupakan karya sastra yang berbentuk lisan. 1.2. Ciri-Ciri Cerita Rakyat Cerita rakyat merupakan genre dari folklor yang hidup tersebar dalam bentuk lisan dan kisahnya bersifat anonim yang tidak terikat pada ruang dan waktu serta nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Oleh karena itu, cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor menurut Danandjaya (2007:3). memiliki ciri-ciri sebagai berikut. (1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni tutur kata yang disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai gerakan isyarat dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, kini penyebaran folklor dapat kita temukan dengan bantuan mesin cetak dan elektronik. (2) Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi). (3) Ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda, karena cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau
18
rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation) muncul varian-varian tersebut. (4) Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. (5) Biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola. (6) Mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam. (7) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi floklor lisan dan sebagian lisan. (8) Menjadi milik lisan bersama (collective) dari kolektif tertentu. (9) Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatanya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi manusia yang paling jujur manifestasinya. Berdasarkan
ciri-ciri
folklor
tersebut,
ada
sebagian
orang
yang
berpandangan bahwa cerita rakyat atau dongeng tidak berarti apa-apa, atau dongeng hanyalah sebuah sarana untuk menidurkan anak saja. Hal ini menurut penulis tidak dapat dibenarkan begitu saja sekaligus juga tidak dapat disalahkan begitu saja. Jika mencermati ciri folklor yang ke tujuh yang disampaikan Dananjaja di atas, yaitu bahwa ciri folklor lisan dan sebagian lisan adalah bersifat pralogis maka anggapan masyarakat tersebut dapat dibenarkan. Namun demikian jika melihat ciri yang ke
19
enam yaitu folklor juga berguna atau memiliki fungsi maka anggapan ini tidak dapat dikatakan benar. Anggapan masyarakat yang berkaitan dengan cerita rakyat ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Bunanta (1998:25) yang menyatakan kekhawatirannya tentang cerita rakyat. Ia mengatakan bahwa : bagi sementara orang paling tidaknya ada tiga hal yang dicela atau dikhawatirkan oleh cerita rakyat, yaitu yang berkaitan dengan masalah moral, kebenaran dan fantasi. Masalah moral berkaitan dengan adanya kejadiankejadian dalam cerita yang dianggap tak manusiawi, misalnya pencungkilan mata (ibu Panji Laras dicungkil matanya sebagai imbalan supaya dia tidak dibunuh). Masalah kebenaran berkaitan dengan penggambaran kehidupan yang tidak seperti apa adanya sehingga dianggap tidak sehat. Masalah fantasi berkaitan dengan kekhawatiran bahwa anak akan mempercayai keajaiban yang ada dalam cerita. Berkenaan dengan pendapat Bunanta ini, penulis berasumsi bahwa permasalahan tiga hal yang dicela dalam cerita rakyat terkait dengan masalah moral, kebenaran, dan fantasi perlu mendapat perhatian yang cukup dalam. Perlu sikap arif untuk melihat dari berbagai sisi. Kekhawatiran sebagian orang yang diungkap oleh Bunanta ini juga terkait dengan ciri ke sembilan yang disampaikan Danandjaja di atas sehingga diperlukan adanya analisis yang dapat memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa cerita rakyat tidak hanya menyampaikan hal-hal yang pralogis saja, tetapi lebih dari itu menyimpan hal-hal yang penuh makna yang perlu diungkap. Ratri (2008:3) mengatakan bahwa, salah satu pisau analisis untuk membedah maknamakna yang ada dalam cerita rakyat adalah melalui analisis struktural model Levi Strauss.
20
1.3. Fungsi Cerita Rakyat Secara umum fungsi sastra termasuk cerita rakyat, hampir sama dengan karya sastra lainnya. Kosasih (2003:222) menyatakan bahwa fungsi sastra dapat digolongkan dalam lima kelompok besar, yaitu: (1) fungsi rekreatif, yaitu memberikan rasa senang, gembira, serta menghibur, (2) fungsi didaktif, yaitu mendidik para pembaca karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang ada didalamnya, (3) fungsi estetis, yaitu memberikan nilai-nilai keindahan, (4) fungsi moralitas, yaitu mengandung nilai moral yang tinggi sehingga para pembaca dapat mengetahui moral yang baik dan buruk, (5) fungsi religiuditas, yaitu mengandung ajaran yang dapat dijadikan teladan bagi para pembacanya. Selain fungsi secara umum yang hampir sama dengan fungsi karya sastra di atas, Bascom, menyampaikan fungsi cerita rakyat yang lebih spesifik. Menurut Bascom (Danandjaya, 2007:19), folklor termasuk juga di dalamnya cerita rakyat memiliki empat fungsi, yakni: (1) sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai alat pencermin angan-angan kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidik anak, (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Melalui ciri-ciri yang disampaikan baik secara umum maupun lebih spesifik di atas maka cerita PAL sebagai sebuah cerita rakyat sangat besar kemungkinannya mengandung fungsi-fungsi tersebut. Fungsi-fungsi yang akan penulis kaji dari cerita ini adalah memfokuskan pada fungsi moralitas sekaligus
21
mengkaji fungsi folklor sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi oleh anggota kolektifnya. 1.4. Macam-Macam Cerita Rakyat Menurut Bascom (Danandjaya, 2007:50) menyatakan bahwa cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga bentuk atau genre, yakni (1) mite (myth), (2) legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Ketiga cerita rakyat tersebut dapat penulis jelaskan sebagai berikut. (1) Mite Mite (mitos) berasal dari bahasa Yunani yang berarti cerita tentang dewa-dewa dan pahlawan yang dipuja-puja. Mitos adalah cerita suci yang mendukung sistem kepercayaan atau religi. Menurut Bascom, mite isinya merupakan penjelasan suci atau sakral. Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang ini, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, bentuk fotografi, gejala alam, bentuk khas binatang, terjadinya maut, dan sebagainya. Mite mengisahkan petualangan percintaan, hubungan kekerabatan dan kisah perang para dewa (Danandjaya, 2007:51). Pengertian mitos dalam kamus Bahasa Indonesia dibedakan dari mite. Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan jaman dulu, yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu
22
sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Mite adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercaya oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung
hal-hal
ajaib,
umumnya
ditokohi
oleh
dewa.
Sudjiman
(Lantini,1996:224) mengartikan kata mitos dalam dua pengertian, yaitu (1) cerita rakyat legendaris atau tradisional, biasanya bertokoh makhluk yang luar biasa dan mengisahkan peristiwa-peristiwa yang tidak dijelaskan secara rasional, seperti terjadinya sesuatu; (2) kepercayaan atau keyakinan yang tidak terbukti tetapi diterima mentah-mentah. Sejalan dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa dongeng mite adalah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supranatural dengan latar suci dan waktu masa purba. Mitos merupakan salah satu genre cerita rakyat yang dianggap suci dan diyakini betul-betul terjadi oleh masyarakat pendukungnya, bersifat religius karena memberi rasio pada kepercayaan. Selain itu, mitos berfungsi untuk menyatakan, memperteguh dan mengkondifikasi kepercayaan, melindungi dan melaksanakan moralitas, dan sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma serta pengendali masyarakat. Mite menceritakan tentang ceritacerita yang berbau supranatural dan ditokohi oleh makhluk-makhluk dunia lain. (2) Legenda Bascom (Danandjaya, 2007:50) mengatakan bahwa seperti halnya mite, legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Namun, legenda berlainan dengan mite. Legenda ditokohi
23
manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering kali dibantu oleh makhluk-makhluk gaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal ini, karena waktu terjadinya belum terlalu lampau. Legenda dianggap oleh yang punya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler dan keduniawian. Legenda bersifat migratoris sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda. Legenda juga dinyatakan sebagai cerita tradisional yang pelakunya dibayangkan seolah-olah terjadi dalam sejarah. Biasanya dalam peristiwanya terdapat juga hal-hal yang luar biasa. Dengan demikian, pada dasarnya legenda merupakan peristiwa sejarah yang bersifat kolektif dan biasanya ditokohi oleh manusia, bahkan seringkali muncul tokoh-tokoh makhluk gaib. Legenda merupakan salah satu genre cerita rakyat yang mencangkup hal-hal luar biasa dan terjadi dalam dunia nyata. Legenda dipandang sebagai sejarah masyarakat sehingga diyakini kebenarannya. Legenda berfungsi mendidik dan membekali manusia agar terhindar dari ancaman marabahaya. Legenda dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai cerita dari zaman dahulu yang bertalian dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Sudjiman (Lantini,1996:226) mendefinisikan legenda sebagai cerita rakyat tentang tokoh, peristiwa, atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis dan mitos. Darusuprata (Lantini,1996:227) menunjukan adanya unsur legenda yang terdapat dalam sastra sejarah di Indonesia, biasanya merupakan cerita yang bertalian dengan unsur-unsur air, unsur tanah, termasuk tumbuh-tumbuhan; unsur api,dan
24
udara. Unsur legenda inilah yang disebut sebagai unsur kosmogonis atau kosmologis. (3) Dongeng Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh empunya cerita dan tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Bila legenda dianggap sebagai sejarah kolektif (folk history), maka dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusasteraan lisan serta cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk
hiburan, walaupun
banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan moral atau bahkan sindiran (Danandjaya, 2007:50-86). Bagi orang awam, dongeng seringkali dianggap meliputi seluruh cerita rakyat yang disebutkan di atas (legenda dan mite). Tetapi, menurut beberapa ahli, dongeng adalah cerita yang khusus yaitu mengenai manusia atau binatang. Penulis menganggap bahwa pembedaan-pembedaan antara konsep-konsep cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng tidak terlalu penting untuk diperhatikan dalam penelitian ini, dan untuk selanjutnya istilah mitos, legenda dan dongeng dapat dipakai secara bergantian. Pendapat penulis ini sesuai dengan pendapat Putra (2006:77) yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
mitos dalam pandangan
strukturalisme Levi Strauss tidak lain adalah dongeng. Dongeng merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari apa
25
yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi Putra memperlakukan cerita-cerita sastra yang ditulis oleh Umar Kayam sebagai dongeng atau mitos. Hal ini bertolak dari pandangan Levi Strauss bahwa legenda atau cerita rakyat mengandung mitos, karena ide dasar, konflik, dan penyelesaian cerita, mencerminkan kesepakatan yang ada dalam kolektifnya pada masa itu. Berdasarkan pendapat Putra tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa baik mite, legenda maupun dongeng pada intinya merupakan hasil dari imajinasi-imajinasi manusia berdasarkan apa yang mereka lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian tertuang dalam sebuah karya sastra lisan. 2. Teori Struktur 2.1. Strukturalisme dalam karya sastra Sebuah benda tersusun atas unsur-unsur yang membangunnya. Unsurunsur tersebut bersinergi menjadi sebuah kesatuan. Perpaduan unsur-unsur tersebut biasanya membentuk sebuah pola. Pola-pola inilah yang akhirnya membentuk sebuah benda. Dengan demikian unsur-unsur tidak ada artinya jika tidak ada jalinan atau hubungan dengan unsur-unsur yang lain. Makna sebuah benda tidak dapat dilihat dari satu unsur saja tetapi dilihat dari jalinan unsur-unsur tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pengertian struktur yang disampaikan oleh Foley (Siswantoro,2010:13) bahwa struktur berarti bentuk keseluruhan yang kompleks (complex whole). Setiap objek atau peristiwa adalah pasti sebuah struktur, yang terdiri dari berbagai unsure, yang setiap unsur tersebut menjalin hubungan.
26
Doktrin pokok strukturalisme adalah bahwa hakikat benda tidaklah terletak pada benda itu sendiri, tetapi terletak pada hubungan-hubungan di dalam benda itu. Tidak ada unsur yang mempunyai makna pada dirinya secara otonom, kecuali terkait dengan makna semua unsur di dalam sistem struktur yang bersangkutan. Sebagai sebuah analogi sebuah bangunan gedung beton tersusun atas unsur-unsur material yang membangunnya, seperti; air, batu, pasir, semen, dan unsur lainnya yang menyatu menjadi sebuah kesatuan melalui pencampuran materialmaterial tersebut. Air saja tidak dapat dikatakan sebagai sebuah beton, demikian juga batu, pasir, dan material yang lainnya, sehingga relasi antara material inilah yang membentuk sebuah pola dan akhirnya membentuk beton. Dari analogi tersebut, cerita rakyat sebagai sebuah karya sastra pada hakikatnya adalah sebuah benda. Sebagai sebuah benda tentu saja karya sastra juga tersusun atas material-material yang menyusunnya. Unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra biasanya dibedakan atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti alur, tema, tokoh, seting, gaya bahasa, sudut pandang dan lain sebagainya. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada diluar karya sastra tersebut, tetapi masih ada hubungan dengan karya tersebut. Unsur ini seperti biografi pengarang, situasi penciptaan karya dan lain sebagainya. Berkaitan dengan struktur karya sastra, Teeuw (1988:135) mengemukakan bahwa kajian struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat,
27
seteliti, semendetil dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Makna menyeluruh seperti yang disampaikan A Teeuw di atas karena karya sastra tersusun atas unsur-unsur dalam sebuah sistem. Hal ini sesuai dengan pendapat Pradopo ( 2009:188-119) bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsurunsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendirisendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung. Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2002:36). Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal
ini
fiksi,
dapat
dilakukan
dengan
mengidentifikasi,
mengkaji
dan
mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2002:37). Konsep fungsi dalam strukturalisme memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperan secara maksimal sematamata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukan antarhubungan unsurunsur yang terlibat (Ratna, 2008:76). Strukturalisme sebagai aliran sastra yang tumbuh kemudian, hadir dengan menunjukan adanya berbagai keragaman meskipun prinsip dasarnya sama, yakni “sastra merupakan struktur verbal yang bersifat otonom
28
dan dapat dipisahkan dari unsur-unsur lain yang menyertainya” (Aminuddin, 2009:52). Paradigma strukturalisme membatasi analisis dan pemahaman terhadap karya sastra semata-mata pada tataran instrinsik (Ratna, 2010:74). Pendapat ini didasarkan atas argumentasi yang dikemukakan oleh Tynjanov, dan dipertegas oleh Mukarovsky, yang menyatakan bahwa karya sastra memiliki dua ciri yang selalu hadir bersama-sama, yaitu: ciri otonom dan komunikatif. Ciri otonom diperoleh melalui hubungan unsur-unsur dengan totalitas, sedangkan ciri komunikatif diperoleh melalui hubungan karya dengan sistem kultural. Strukturalisme, dengan menolak relevansi penulis, pada gilirannya secara keseluruhan memusatkan pehatiannya pada kekayaan unsur-unsur karya, yang pada umumnya disebut sebagai unsur-unsur instrinsik. Cara pemahaman yang dianjurkan adalah model mikroskopis, pusat perhatian yang semata-mata didasarkan atas unsurunsur yang terkandung didalamnya (Ratna, 2010:77). Permasalahan penting dalam memahami karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan adalah sudut pandang, paradigma terhadap hakikat objek. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan dua sudut pandang yang berbeda, yaitu: 1) sebagai aktivitas kreatif karya sastra penuh dengan makna, 2) karya sastra merupakan entitas kosong, karya sastra sebagai manifestasi bahasa biasa, bahkan disusun secara gramatikal. Pendapat pertama cenderung menganggap karya sastra penuh dengan makna, diwujudkan melalui bentuk dan isi. Jadi untuk menganalisis sebuah karya
29
sastra peneliti tidak perlu keluar dari karya tersebut sebab segala sesuatu yang diperlukan sudah terkandung di dalamnya. Penganalisisan karya sastra yang menganggap bahwa tidak perlu keluar dari karya sastra untuk mencari ha-hal yang diperlukan, sejalan dengan teori kritik objektif (objective criticism) yang disampaikan oleh M.H. Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp. Kritik objektif (objective criticism) memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri (otonom), bebas dari pengaruh sekitarnya, bebas dari pengarangnya, pembaca, atau dunia sekitarnya. Karya sastra adalah sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya dan lingkungan sosial budayanya. Karya harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan struktur verbal yang otonom dengan koherensi interen. Oleh sebab itu, karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencukupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling terjalin erat dan padu, serta menghendaki pertimbangan analisis intrinsik berdasarkan keberadaan karya sastra itu sendiri, seperti kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antara unsur-unsur pembentuknya. 2.2. Struktur Cerita Rakyat Konsep struktur pada karya sastra di atas tidak jauh berbeda pada konsep struktur dongeng di dalam kajian folklor. Perbedaan ini tidak begitu nyata, hanya pada istilah-istilah yang dipakai dalam analisisnya. Prop, (Endraswara,2009:112) mengatakan bahwa konsep struktur dalam folklor adalah “ as the internal relationship through which constituents of a whole are organized”. Berdasarkan pikiran Prop ini, Dundes, menganalisis struktur dongeng Indian Amerika. Yang
30
dimaksud dengan struktur dongeng dalam hal ini adalah satu unit kesatuan cerita (dongeng) yang unsur-unsurnya saling berhubungan. Di dalam ilmu folklor unsurunsur sebuah cerita, atau bagian cerita yang dapat dipergunakan sebagai satuan analisis, disebut motif. Di dalam dongeng unsur-unsur ini dapat berupa; gejala alam, binatang, suatu konsep, suatu perbuatan, penipuan terhadap suatu tokoh, dan lainlain. Berkaitan dengan struktur dalam
dongeng ini Endraswara (2009:112)
mengatakan bahwa dongeng atau cerita rakyat dapat dipotong-potong menjadi beberapa
bagian dan dapat dibenarkan dalam analisis struktural. Setiap bagian
disebut motifem. Jadi, setiap dongeng atau cerita rakyat terdiri dari sederet motifem. Namun demikian, tidak berarti setiap unsur-unsur motifem itu terpisah-pisah, melainkan merujuk pada keutuhan makna. Dundes (Endraswara,2009:112) menyatakan “ The motifemic slots may be filled with varius motifs and the spiopic alternatir motifs for any given motifemic slot may be labeled allomotifs” maksudnya, motifem ini ibarat kotak (petak) kosong yang dapat diisi berbagai jenis motif, atau alomotif, yaitu suatu motif pengganti. Motifemmotifem demikian yang menjadi satuan analisis dalam konstruksi penelitian folklor. Dari pendapat-pendapat
mengenai struktur baik karya sastra maupun
dongeng yang ada dalam foklor dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, struktur tersusun atas unsur-unsur yang membangunnya dan unsur-unsur tersebut hanya akan bermakna jika unsur-unsur tersebut saling berhubungan.
31
Levi Staruss seorang ahli antropolog memandang cerita rakyat tidak berbeda dengan mitos yang tersusun atas bagian-bagian yang menyusunnya. Bagian terkecil dari sebuah mitos menurut Levi Strauss adalah miteme (mytheme) (Putra,2006:85-86). Makna sebuah mitos terletak pada relasi antar miteme-miteme tersebut. Berkaitan dengan pendapat Levi Strauss ini, pada bagian selanjutnya akan penulis paparkan tentang pendekatan strukturalisme Levi Strauss . 2.3. Pendekatan Strukturalisme Levi Strauss Tujuan utama teori strukturalisme Levi Strauss adalah mengungkapkan struktur humand mind melalui relasi antar elemen penyusunannya. Humand mind ini erat kaitannya dengan sistem proyeksi yang membangkitkan berbagai macam pesan. Titik tolak dari teori strukturalisme Levi Strauss adalah konsep-konsep dalam linguistik. Terdapat kesamaan antara mitos dengan bahasa. Legenda PAL selanjutnya dicirikan sebagaimana mitos. Mitos dalam konteks penelitian ini sejalan dengan pemikiran Levi-Strauss yaitu tak lebih dari sebuah dongeng (Endraswara, 2003: 110). Dongeng dalam kerangka pemikiran Levi Strauss adalah kisah atau cerita yang lahir dari imajinasi manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Putra,2006: 77). Berdasarkan definisi demikian, jelas kiranya penulis memperlakukan Legenda PAL sebagai sebuah cerita rakyat, yang di dalamnya mengandung aspek mitos.
32
Analisis struktural pada mitos PAL adalah dengan memperlakukan mitos PAL dengan dua hal berikut. Pertama, seperti halnya bahasa, mitos merupakan sebuah cerita (sistem simbol) yang menyampaikan pesan tertentu (Paz, 1997: xxxii). Kedua, mengadopsi konsep linguistik, mitos tersusun atas oposisi binair sebagaimana langue dan parole; sintagmatik dan paradigmatik; serta sinkronis dan diakronis (Endraswara, 2005: 231). Leach (Putra,2006:79) mengatakan bahwa pendekatan strukturalisme Levi Strauss berfokus pada narasi teks, sebuah teks mitos diyakini sebagai ekspresi atau perwujudan dari keinginan-keinginan yang tidak disadari, yang terkekang
atau
sedikit banyak tidak konsisten, tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari. Sejalan dengan pemikiran demikian, teks mitos dianggap mempunyai analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara internal dalam sistem oposisi binair. Fokus perhatian strukturalisme adalah sistem relasi dari strukturstruktur yang mendasari sesuatu. Struktur-struktur semacam inilah yang oleh Levi Strauss dianggap melatarbelakangi keanekaragaman fenomena kenyataan pada kehidupan sehari-hari. (Putra,2006:79-86) Mitos sebagai produk dari kebudayaan adalah hasil dari aktivitas nalar manusia di mana ia memiliki kesejajaran dengan bahasa yang juga merupakan produk dari nalar manusia. Kesejajaran tersebut terletak sumber yang sama yaitu relasi, oposisi, dan korelasi (Syam, 2007: 68-69). Sementara itu Putra (2007: 2325) mengatakan bahwa ada tiga macam pandangan mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Tiga pandangan tersebut adalah pertama bahasa dianggap
33
sebagai rerfleksi dari kebudayaan, kedua bahasa adalah salah satu unsur dari kebudayaan, dan ketiga bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dari tiga pandangan tersebut Levi Strauss menganut pandangan yang terakhir, yaitu bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari material pembentuknya bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai material yang sama dan secara diakronis bahasa mendahului
kebudayaan karena melalui
bahasalah manusia mengatahui kebudayaan. Levi Strauss, menggangap bahwa oposisi binair adalah the essence of sense making : struktur yang mengatur sistem pemaknaan terhadap budaya dan kehidupan. Oposisi binair adalah produk dari budaya dari sistem penandaan yang berfungsi menstrukturkan persepsi terhadap alam natural dan dunia sosial melalui penggolongan-penggolongan. Konsep dasar dari oposisi binair yaitu the secondstage of the sense making process: penggunaan kategori-kategori sesuatu yang hanya eksis di dunia alamiah untuk menjelaskan kategori-kategori konsep kultural yang abstrak. John Fiske mencontohkan konsep oposisi binair angin badai dan angin tenang (konkret) misalnya, dapat disejajarkan dengan oposisi binair alam yang kejam dan alam yang tenang (abstrak) (http: // kunci .or .id/es ai /nws /04/ binair.htm, diakses tanggal 19 Agustus 2010). Proses pensejajaran ini selanjutnya memunculkan konsep transformasi. Levi Strauss beranggapan bahwa berbagai aktivitas dan hasil kebudayaan seperti makanan, perkawinan, sistem kekerabatan, dan utamanya mitos merupakan perwujudan dari logika dasar atau nalar manusia. Bagaimana kondisi nalar tersebut
34
bekerja, perlu dilakukan analisis terhadap struktur dan relasi-relasi yang dibangun di dalam sebuah mitos (Putra,2006:75-78). Seperti untuk memahami bahasa, mitos pun harus dituturkan, tidak hanya pada proses penceritaan, tetapi pada proses pengkomunikasian. Sistem pengkomunikasian yang dimaksudkan dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, legenda PAL yang mengandung mitos pada hakikatnya adalah karya sastra. Korelasinya, antara sastra dan masyarakat menampilkan hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Cerita PAL sebagai karya sastra lama yang tidak diketahui dengan jelas siapa pengarangnya menduduki salah satu fungsinya yaitu sebagai sistem komunikasi. Hakikatnya fungsi karya sastra adalah dulce et utile (indah dan berguna). Poe ( Wellek dan Warren, 1993: 25) menyatakan bahwa suatu karya sastra hendaknya berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Fungsi komunikasi adalah turunan dari fungsi dulce et utile. Sistem
komunikasi
yang
ditunjukkan,
tidak
hanya
proses
penyampaian pesan secara linear dari masyarakat pendahulu kepada masyarakat sekarang. Namun, lebih tepatnya sistem komunikasi sebagai proses pembangkitan atau penciptaan makna. Karya sastra sebagai proses komunikasi dapat dilihat dari gambar di berikut ini.
35
Dimensi Horisontal seleksi
MM P
E1
M
K
Dimensi Vertikal
S
M2
I (Ps)
E2
Gambar 1 Proses Penciptaan dan Pengkomunikasian Karya Sastra diadaptasi dan dikembangkan dari Model Komunikasi Gerbner (Fiske, 2004) dan terdapat pada A Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra (1984: 66), (Ratri,2008:12) Keterangan: P E1
: Peristiwa : Persepsi
I E2
: Isi : Persepsi atas Karya Sastra
M
: Masyarakat
M2 : Masyarakat Pembaca (tujuan)
K
: Karya Sastra
Ps
S
:Bentuk
: Pesan
Dimensi Horisontal Proses diawali dari sebuah peristiwa (P), sesuatu di dalam realitas eksternal yang diserap oleh manusia atau masyarakat (M). Penghayatan atau persepsi masyarakat atas peristiwa yang terjadi adalah persepsi E1. Relasi antar P dan E1 melibatkan seleksi, mengingat masyarakat tidak mungkin menyerap keseluruhan kompleksitas suatu peristiwa. Salah satu hasil dari proses seleksi,
36
masyarakat kemudian menciptakan karya sastra. Di dalam karya sastra terjadi proses pemahaman dan penghayatan atas peristiwa yang pernah terjadi. Dimensi Vertikal Karya sastra yang telah diciptakan melahirkan pesan (Ps). Pesan tersebut dibagi menjadi 2 bagian, S mengacu pada bentuk dan I mengacu pada isi pesan. Garis putus-putus di dalam pesan (Ps) menunjukkan bahwa meskipun dibagi menjadi dua, pesan adalah konsep utuh bukan bidang yang terpisah. Masyarakat pembaca (M2) menerima E2, yakni pesan yang terekam dalam karya sastra, yang terlebih dahulu telah mengalami serangkaian seleksi dan pemahaman atas sebuah peristiwa. Pada kondisi inilah terjadi proses intrepretasi karya
sastra, proses intrepretasi
membawa masyarakat pembaca kepada
sekumpulan konsep yang bersumber pada budaya. Konsep budaya tersebut berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. Akhirnya dapat dikatakan masyarakat pembaca dapat menemukan makna dalam pesan (yang terkandung dalam karya sastra). Pesan sendiri hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang berpotensi memiliki banyak makna. Potensi ini tidak pernah terwujudkan secara utuh dan isi pesan tersebut belum bisa ditentukan sampai terjadi interaksi, yaitu proses intrepretasi masyarakat pembaca atas karya sastra yang telah dihasilkan (dari suatu peristiwa). Pesan yang dibangkitkan dari karya sastra seringkali berada secara implisit dan berbentuk simbolik. Bentuk simbolik adalah sesuatu hal yang dikaitkan dengan (1) penafsiran pemakaian, (2) kaidah pemakaian sesuatu dengan
37
jenis wacananya, dan (3) kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya (Sobur,2006: 156). Claude Levi-Strauss mengembangkan analisis mitos dengan memanfaatkan model-model linguistik. Menurutnya, ada kesamaan antara mitos dengan bahasa. Persamaannya, yakni pertama, bahasa adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan dari satu individu ke individu yang lain, atau kelompok satu ke kelompok lain. Demikian halnya dengan mitos, ia disampaikan melalui bahasa dan lewat proses penceritaan, pesan-pesan yang ada di dalamnya dapat tersampaikan (Putra, 2006: 80-81). Kedua, seperti halnya bahasa, mitos mengandung aspek langue dan parole, sinkronis dan diakronis, sintagmatik dan paradigmatik. Aspek langue inilah yang
memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antar manusia
karena langue dimiliki bersama. Langue merupakan sebuah fenomena kolektif, ia adalah sistem, fakta sosial atau aturan-aturan, norma-norma yang tidak disadari. Pada tataran Langue-lah struktur tertentu dalam sebuah mitos dapat ditunjukkan. Sedangkan parole adalah tuturan yang bersifat individual, ia merupakan cerminan kebebasan seseorang. Penceritaan mitos yang berbeda-beda merupakan implikasi dari parole (Putra, 2006: 44-45). Selanjutnya, seperti dalam linguistik, diakronik adalah dimensi waktu (bersifat historis, menyangkut perkembangan masa lalu, masa kini, dan yang akan datang). Sedangkan sinkronik adalah aspek yang merepresentasikan bahasa pada setiap kejadian pada waktu tertentu. Dimensi sinkronik yang ada dalam mitos
38
adalah
rangkaian
mytheme-mytheme
yang
secara
struktural
terkait
(Badcock,2008:77). Selain persamaan-persamaan antara mitos dan bahasa, juga terdapat perbedaan diantara keduanya. Hal yang membedakan mitos dengan bahasa adalah mitos mempunyai ciri khas dalam isi dan susunannya. Ciri khas ini membuat mitos dapat diterjemahkan ke bahasa manapun tanpa kehilangan sifatsifat mistisnya, sedangkan bahasa, kata-kata penyusunannya tidak bisa diubah secara semena-mena (Putra,2006:85). Penggantian suatu kata yang tidak hatihati dapat mengubah makna. Berdasarkan
persamaan
dan
perbedaan
di
atas,
Levi
Strauss
mengemukakan implikasi penting dalam analisis mitos. Jika bahasa tersusun atas unit terkecil seperti fonem dan morfem, maka mitos tersusun atas gross constituent unit atau mythemes (Putra,2006:85-86). Mythemes merupakan bagian atau unsur terkecil dari mitos yang biasanya berbentuk suatu kalimat singkat, yaitu kalimat yang terdiri dari subjek dan predikat (Sasono,2001:25). Mytheme inilah yang harus didapatkan apabila ingin mengetahui makna dari sebuah mitos. Oleh karena itu, kajian strukturalisme Levi Strauss adalah kajian tentang interelasi struktural tentang struktur-struktur dasar mitos. Terdapat dua konsep yang perlu diketahui pada analisis struktural, yaitu konsep struktur dan transformasi. Struktur adalah suatu model yang dibuat untuk memahami gejala kebudayaan yang dianalisis. Levi Strauss membedakannya menjadi dua macam yaitu struktur lahir sebagai struktur luar (surface structure)
39
dan struktur dalam sebagai struktur batin (deep structure). Struktur luar adalah relasi antar unsur yang dibangun berdasarkan ciri-ciri luar atau empiris dari relasirelasi tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan struktur lahir yang tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang dianalisis. Struktur dalam seringkali merupakan struktur tetap yang sangat jarang (tidak) mengalami perubahan. (Ratri,2008:11-16). Perbedaan struktur luar dan struktur dalam dapat dianalogikan dalam kalimat yang disampaikan oleh Ratri (2008:16) di bawah ini. (1). Saya (2) Aku
berjalan lagi mlaku
di jalan ing
(Indonesia) ndalan (Jawa-ngoko)
(3) Kula
saweg mlampah wonten margi (Jawa-krama madya)
(4) Inyong
lagi mlaku
S
P
ning
gili
(Jawa-ngoko Banyumas)
KT
Secara empiris, kalimat-kalimat tersebut menunjukkan adanya perbedaan dan perubahan. Struktur antara elemen-elemen dalam satu kalimat disebut struktur permukaan. Meskipun ditulis dalam bahasa yang berbeda-beda tapi makna dan pesan yang dikandung keempat kalimat tersebut sama, inilah yang disebut struktur dalam. Perubahan pada tataran permukaan (struktur luar) disebut transformasi seperti yang ditunjukkan pada contoh kalimat di atas. Terjadi perubahan antara kalimat (1), (2), (3), (4), transformasi di sini berada dalam tataran bahasa.
40
Istilah transformasi juga dapat digunakan untuk menunjukkan pergantian seperti pada kalimat yang disampaikan oleh Ratri (2008:16) di bawah ini. (1) Saya berbelanja di pasar Kemang . ( S - P - KT) (2) Di pasar Kemang saya berbelanja. (KT - S - P) (3) Berbelanja saya di pasar Kemang . (P - S - KT)
Pergantian-pergantian pada kalimat di atas terdapat pada susunan dari elemen-elemen kalimat tersebut. Elemen saya misalnya pada kalimat pertama berada di depan, di kalimat kedua menduduki tingkat kedua di belakang keterangan tempat, dan di kalimat terakhir menduduki tingkat kedua, tetapi berada di belakang predikat. Meskipun elemen-elemen tersebut menduduki tempat yang berbeda-beda, tetapi pesan yang dikandung dalam kalimat tersebut tetap sama. Transformasi yang ditunjukkan pada kalimat di atas adalah transformasi berupa pergantian susunan elemen-elemen yang membentuk struktur. Jenis transformasi yang lain, yakni tidak hanya pergantian elemen penyusunnya, tetapi hilangnya elemen-elemen tertentu, seperti pada contoh yang disampaikan oleh Ratri (2008:17) di bawah ini. (1) Saya mohon anda jangan pergi (2) Mohon anda jangan pergi (3) Jangan pergi Perubahan di tiga kalimat di atas terjadi karena hilangnya elemen-elemen tertentu, namun, perubahan tersebut tidak menimbulkan perbedaan makna.
41
Berdasarkan konsep-konsep teoritis sebagaimana yang dijelaskan di atas, Levi Strauss telah menganalisis berbagai dongeng hampir di seluruh dunia. Salah satunya adalah dongeng tentang seorang Indian bernama Asdiwal. Menurutnya, dongeng ini merupakan simbolisasi kegagalan dari upaya nalar dan masyarakat Thimshian (kolektifnya) untuk mendamaikan, menyatukan, paradoks-paradoks yang ada pada kehidupan mereka, termasuk di antaranya paradoks tentang kehidupan sosial, yang muncul karena adanya pola matrinilinear yang berlawanan dengan pola tempat tinggal patrilokal. Paradoks ini berusaha diselesaikan lewat perkawinan matrilineal cross-coussin, tetapi ternyata tetap gagal. Kegagalan ini sulit diakui dalam kenyataan, tetapi lewat mitos-mitos mereka, orang Thimshian memberikan pengakuan atas kegagalan tersebut (Putra, 2006: 135). 3.
Nilai Moral dalam Cerita Rakyat
3.1. Pengertian Nilai Moral Sebelum membahas apa itu pengertian nilai moral maka ada baiknya penulis menyampaikan terlebih dahulu tentang pengertian nilai. Secara etimologis, nilai (value=velare) diartikan harga . Secara sederhana nilai dapat diartikan
sebagai
sesuatu yang dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik (Sumantri, 2008:4), sementara moral menurut Lillie (Budiningsih,2004:24) berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Dari pendapat tersebut maka secara sederhana penulis menyimpulkan bahwa pengertian nilai moral adalah tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat yang
42
dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik. Persoalan yang kemudian muncul adalah apa yang dianggap baik oleh sekelompok orang belum tentu baik menurut kelompok lainnya. Untuk menjawab persoalan di atas Poespoprojo menyampaikan tentang keuniversalitasan moral dalam bukunya Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktik. Menurut Poespoprojo moral berarti bahwa hidup kita itu mempunyai arah tertentu meskipun arah tersebut sekarang belum dapat kita tunjukan sepenuhnya. Seseorang menangis atau menyesal dalam hatinya karena melihat bahwa perbuatannya melanggar, menyeleweng, mengkhianati arah ini. Ia mengerjakan sesuatu yang mestinya tidak ia kerjakan. Lebih lanjut Puspoprojo menyampaikan bahwa berdasarkan penelitian para ahli antropologi dan sosiologi seperti Lowie, Goldenwiser, Paul Radin, William Schmidt, Westermarck, Boas, Evans Pritchard, dan Malinowski, terhadap suku-suku bangsa dan masyarakat manusia, baik yang masih dalam taraf pramodern maupun yang telah dalam taraf modern, berkesimpulan, …the fact of the universal existence of a body of basic rules of morality present in all societies without distinction of race and culture has been established beyond doubt.(Poespoprojo,1999:14). Berkaitan dengan keuniversalan moral, Imanuel kant (Puspoprojo,1999:14) menyampaikan bahwa “ No man is wholly destitute of moral feeling for if he were totally ususceptible of this sensation he would be morally dead…then his humanity would be dissolved (as if it were by chemical laws) into mere animality.”
43
Dari pendapat ini Puspoprojo juga menyampaikan bahwa jika kita sekarang disodori keberatan tentang hukum moral secara universal tidak ditaati, seperti yang tampak pada praktik-praktik kanibalisme, pengayauan, pembunuhan bayi, dan sebagainya pada suku-suku primitif
dan tampak pada praktik-praktik penipuan,
korupsi, pengguguran kandungan pada orang-orang modern, maka ada jawaban yang cukup terurai. Terdapat dua cara pelanggaran suatu hukum moral, yakni secara sengaja atau karena tidak tahu. Dalam hal sengaja, masih ada aspek hukum meskipun telah dilanggar, kekuatan mengikat masih terasakan, dan membangkitkan rasa salah (sense of guilt) atau rasa sesal (feeling of remorse, gewetenswroeging) pada diri orang yang melanggarnya. Tidak sedikit suku-suku primitif yang setelah mengadakan pembunuhan masal terhadap lawannya, kemudian mengadakan upacara pembersihan diri, bahkan di antara mereka ada yang sangat menyesali perbuatan jahatnya dimasa lalu, sampai-sampai mereka bunuh diri. Mengenai soal tidak tahu, ini bisa terjadi mengenai prinsip moral yang sekunder, yaitu mengenai penerapan dan kesimpulan dari prinsip-prinsip pertama yang pasti diketahui. Kekurangmampuan menalar dengan akal budinya membuat seseorang menyimpulkan secara salah, dan juga salah menerapkan prinsip pada kejadian tertentu. Apabila suatu suku primitif mempraktikan kanibalisme atau pembunuhan bayi, mereka tidak pernah secara prinsip menganggap bahwa Licet (boleh) membunuh setiap orang pada sembarang saat atau sembarang keadaan. Mereka
44
berbuat demikian hanya bila ada prestise, keharusan, atau upacara keagamaan menuntutnya. Selanjutnya, praktik-praktik tersebut, juga kekeliruan moral lainnya, pada umumnya karena penyelesaian yang salah dalam menyelesaikan dua keputusan moral yang nampaknya saling bertentangan (Puspoprojo,1999:16) Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa meskipun nilai baik dan buruk dikatakan berbeda pemaknaan dari satu kelompok masyarakat dengan masyarakat
pada
kelompok
lainnya,
namun
ternyata
manusia
dimanapun
kelompoknya akan merasa berbuat salah jika melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan fitrah kemanusiannya. Hal
ini
senada
dengan
apa
yang
disampaikan
oleh
Magnis
(Budiningsih,2004:24) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia . Syahidin (2009:239) membedakan antara nilai, moral dan etika. Menurut dia nilai merupakan perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan, dan perilaku. Contoh nilai adalah ketuhanan, kemanusian, dan keadilan. Moral merupakan penjabaran dari nilai, tetapi tidak seoperasional etika. Misalnya saja ke-36 butir P-4 disebut sebagai Moral Pancasila karena merupakan penjabaran dari nilai Pancasila. Adapun etika merupakan penjabaran dari moral dalam bentuk formula, peraturan atau ketentuan pelaksanaan. Misalnya etika belajar, etika mengajar, dan etika dokter.
45
3.2. Nilai Moral dalam Cerita Rakyat Cerita rakyat dan karya sastra pada umumnya menyampaikan nilai-nilai moral untuk dipahami oleh penikmatnya. Hal ini senada dengan pendapat Nurgiantoro ( 2007: 321) yang mengatakan bahwa moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna yang disarankan lewat cerita. Hal itu berarti pengarang menyampaikan pesan-pesan moral kepada pembaca melalui karya sastra baik penyampaian secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk penyampaian langsung artinya moral yang disampaikan, atau diajarkan kepada pembaca dilakukan secara langsung dan eksplisit. Sebaliknya bentuk penyampaian secara tidak langsung maksudnya pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Lebih lanjut Nurgiantoro juga mengatakan bahwa moral dalam karya sastra yang diperoleh oleh pembaca selalu dalam pengertian baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya sastra ditampilkan hal-hal yang tidak terpuji, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan pembacanya untuk bertindak dan bertingkah laku tidak terpuji. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari hal-hal yang tidak baik tersebut. Karya sastra senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Senada dengan pendapat tersebut Semi (Jumani,2009:51) mengatakan bahwa karya sastra yang hanya mementingkan nilai seni tanpa memperhatikan moral, dinilai sebagai karya sastra yang tidak bermutu.
46
Cerita rakyat seperti yang telah penulis sampaikan di awal berfungsi sebagai media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat di dalam kehidupan masyarakat. Dari fungsi ini maka cerita rakyat akan mengandung nilai moral di dalamnya dan biasanya nilai ini cenderung disampaikan secara terselubung melaui jalinan cerita yang ada. Untuk membedah pesan yang terselubung ini maka dibutuhkan sebuah pisau analisis sehingga pesan ini dapat terkuak. Salah satu pisau analisis yang akan digunakan untuk membedah cerita PAL dalam penelitian ini adalah dengan model strukturalisme Levi Strauss. Cerita PAL sebagai sebuah mitos merupakan cerminan angan-angan pemiliknya yang tertuang dalam sebuah kisah, sehingga besar kemungkinan mengandung nilai moral. Pengungkapan nilai moral dalam cerita PAL membutuhkan sebuah analisis yang dapat mengungkapkan nilai tersebut. Untuk menganalisisnya penulis mengambil analisis konten atau isi seperti yang disampaikan Endraswara (2006:83) bahwa dalam kaitannya dengan nilai moral atau budi pekerti, peneliti dapat membuat kategori budi pekerti sebagai berikut: 1) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan, seperti semedi, menyembah, berkorban, slametan dan lain sebagainnya, 2) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan manusia, misalkan sikap gotong royong, rukun, membantu, kasih-mengasihi, dan sebagainya, 3) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan alam semesta, yaitu sikap tidak semena-mena kepada benda mati (batu, air, sungai, gunung), 4) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan makhluk lain, misalkan jin,setan, hewan,
47
tumbuhan dan lain-lain, 5) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan dirinya sendiri. Kategori yang dibuat untuk menganalisis nilai moral dalam cerita PAL ini, selanjutnya dihubungkan dengan budaya Jawa. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa cerita PAL hidup dan berkembang di daerah Jawa, sehingga mencerminkan budaya yang ada pada masyarakatnya. 4.
Model Pelestarian Cerita Rakyat Putri Ayu Limbasari di Madrasah Tsanawiyah. Model adalah sesuatu yang menggambarkan adanya pola berpikir. Sebuah
model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang saling berkaitan. Model juga dapat dipandang sebagai upaya untuk mengkonkretkan sebuah teori sekaligus juga merupakan sebuah analogi dan representasi dari variabel-variabel yang terdapat di dalam teori tersebut. Morisson, Ross, dan Kemp (Pribadi, 2009:86) mengatakan bahwa model atau desain pembelajaran adalah sebagai perancang program atau kegiatan pembelajaran dalam memahami kerangka teori dengan lebih baik dan menerapkan teori tersebut untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. Selain itu juga model pembelajaran dapat berperan sebagai alat konseptual, pengelolaan,
komunikasi
untuk
menganalisis,
merancang,
menciptakan,
mengevaluasi program pembelajaran, dan program pelatihan. Pada umumnya, setiap desain/model pembelajaran memiliki keunikan dan perbedaan dalam langkah-langkah dan prosedur yang digunakan. Begitu juga
48
perbedaan kerap sekali terdapat pada istilah-istilah yang digunakan. Namun demikian, model tersebut memiliki dasar prinsip yang sama dalam upaya merancang program pembelajaran yang berkualitas. Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model pembelajaran yang mampu mengatasi segala kesulitan. Komarudin (Sagala, 2010:175), memahami model sebagai; (1) suatu tipe atau desain; (2) suatu deskripsi atau analogi yang digunakan untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati; (3) suatu sistem asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan secara matematis suatu objek atau peristiwa; (4) suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang disederhanakan; (5) suatu deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner; dan (6) penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya. Model dirancang untuk mewakili realitas/kenyataan yang sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia yang sebenarnya. Atas dasar pengertian tersebut, maka model mengajar dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur secara sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan suatu belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi para guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran. Model pembelajaran menurut Joyce dan Weil (2000:13) adalah suatu deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum,
49
kursus-kursus, desain unit pelajaran dan pembelajaran, perlengkapan belajar, bukubuku pelajaran buku-buku kerja, program multimedia, dan bantuan belajar melalui alat-alat elektronik berupa komputer. Berdasarkan beberapa pendapat di atas yang dimaksud dengan model pelestarian cerita rakyat Putri Ayu Limbasari di Madrasah Tsanawiyah adalah upaya yang dilakukan untuk melestarikan cerita PAL melalui pembelajaran di Madrasah Tsanawiyah. Upaya ini dilakukan dengan membuat sebuah model atau desain pembelajaran dengan cerita PAL sebagai bahan ajarnya. Model pembelajaran yang akan diterapkan sebagai salah satu upaya pelestarian cerita rakyat PAL di Madrasah Tsanawiyah adalah dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning – CTL). Penerapan model pembelajaran kontekstual pada cerita PAL di Madrasah Tsanawiyah perlu memperhatikan beberapa aspek yang terkait dengan materi cerita rakyat di Madrasah Tsanawiyah. Aspek-aspek tersebut antara lain kurikulum, prinsipprinsip pemilihan bahan ajar dalam pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual, dan rancangan pembelajaran cerita rakyat PAL. Aspek-aspek
yang
perlu
diperhatikan
dalam
penerapan
model
pembelajaran kontekstual pada cerita PAL di Madrasah Tsanawiyah, dapat dijelaskan sebagai berikut.. 4.1. Tinjauan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Madrasah Tsanawiyah. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 20 tahun
50
2003 tentang Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan gambaran dan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan dan tenaga kependidikkan. Standar Nasional Pendidikan juga digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai salah satu produk pengembangan kurikulum, mengandung bagian penting yang disebut dengan silabus. Silabus didefinisikan sebagai rencana pembelajaran pada sutu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/ pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Pada KTSP pembelajaran sastra untuk tingkat SMP/Madrasah Tsanawiyah masuk dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran sastra terintegrasi dalam empat keterampilan berbahasa yaitu: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Hal ini berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang memisahkan pembelajaran sastra dengan pembelajaran kebahasaan dalam materi Bahasa Indonesia. Pada kurikulum-kurikulum sebelumnya materi pembelajaran Bahasa Indonesia terdiri dari mendengarkan, berbicara, membaca, menulis dan apresiasi sastra. Pada
pengembangan
silabus
Bahasa
Indonesia
untuk
tingkat
SLTP/Madrasah Tsanawiyah terdapat materi yang berkaitan dengan cerita rakyat yang tercantum dalam standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD). SK kelas
51
VII semester 1, tercantum mengapresiasi dongeng yang diperdengarkan, dan pada KD-nya tercantum menemukan hal-hal menarik dari dongeng yang diperdengarkan dan
menunjukkan relevansi isi dongeng yang diperdengarkan dengan situasi
sekarang. Materi cerita rakyat ini juga terdapat dalam SK dan KD kelas X semester 2 yaitu: mendengarkan (memahami cerita rakyat yang dituturkan) (SK) dan menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat yang disampaikan langsung atau melalui rekaman (KD). Berdasarkan pedoman silabus tersebut, cerita rakyat PAL mempunyai kesempatan yang baik untuk dijadikan sebagai salah satu materi pembelajaran apresiasi sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kesempatan ini merupakan wahana yang baik untuk memperkenalkan cerita PAL kepada siswa, sehingga cerita PAL dapat lebih diketahui dan akhirnya dapat dijadikan model alternatif pelestarian cerita tersebut. Cerita
PAL
sebagai
materi
pembelajaran
Bahasa
Indonesia
di
SMP/Madrasah Tsanawiyah memberikan pengalaman kepada siswa untuk memeroleh pengalaman melihat, mengenali, serta dapat mengapresiasi tradisi daerahnya sendiri sebagai kearifan lokal masyarakatnya. Hal inilah yang sering dibicarakan para budayawan atau seniman mengenai keberadaan sekolah sebagai bagian terpenting dalam pelestarian budaya daerah. Melalui sekolah, tradisi daerah dapat diestafetkan kepada generasi sekarang dan generasi mendatang. Kemungkinan cerita PAL sebagai bahan ajar materi mata pelajaran Bahasa Indonesia di Madrasah Tsanawiyah tidak begitu saja dapat diterapkan, namun harus
52
memperhatikan kriteria-kriteria pemilihan bahan ajar dalam pendidikan. Untuk mengetahui kriteria-kriteria tersebut berikut ini penulis sampaikan uraian berkaitan dengan pemilihan bahan ajar dalam pendidikan. 4.2. Pemilihan Bahan Ajar dalam Pendidikan Masalah bahan ajar merupakan masalah yang sering dihadapi guru ketika memilih atau menentukan materi karena dalam kurikulum (silabus) hanya dituliskan secara garis besar dalam bentuk materi pokok. Bahan ajar ini diserahkan kepada guru dengan tujuan agar pembelajaran lebih bermakna dan mengena pada subjek pembelajaran, karena gurulah yang berada di lapangan sehingga lebih mengetahui persoalan yang dihadapi. Namun demikian, kelonggaran pemilihan bahan ajar ini bagi sebagian guru menjadi sebuah beban karena harus dipusingkan atau direpotkan untuk mencari bahan ajar. Hal ini pulalah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian terhadap cerita PAL sebagai salah satu alternatif bahan ajar dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat membantu guru untuk menemukan bahan ajar pada materi cerita rakyat. Bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur) keterampilan, sikap atau nilai. Pembelajaran prosa fiksi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) termasuk dalam standar kompetensi yang harus diajarkan oleh guru dalam
53
materi pembelajaran sastra. Hal ini menunjukan bahwa materi prosa fiksi merupakan materi yang dapat menunjang tujuan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Tujuan pembelajaran sastra pada tiap-tiap tingkatan sekolah pada dasarnya sama, hanya saja ada perbedaan tekanan berkaitan dengan jenis dan tingkatan sekolah, yaitu menumbuhkan keterampilan berbahasa, kepekaan sosial, kesadaran sosial, mengembangkan daya imajinasi dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Rahmanto (1993:16-24), bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Pada dasarnya dalam memilih bahan pembelajaran, penentuan jenis dan kandungan materi sepenuhnya terletak di tangan guru. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai dasar pegangan untuk memilih objek bahan pelajaran yang berkaitan dengan pembinaan apresiasi siswa. Prinsip dasar dalam pemilihan bahan pembelajaran adalah bahan pembelajaran yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya
pada suatu tahapan
pengajaran tertentu (Rahmanto, 1993:26). Kemampuan siswa berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan jiwanya. Oleh karena itu, karya sastra yang disajikan hendaknya diklasifikasikan berdasarkan derajat kesukarannya disamping kriteria-kriteria lainnya. Tanpa ada kesesuaian antara siswa dengan bahan yang diajarkan, proses pembelajaran yang disampaikan akan mengalami kegagalan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
54
Agar dapat memilih bahan pembelajaran sastra dengan tepat, beberapa aspek perlu dipertimbangkan. Menurut Rahmanto (1993: 27-31) ada tiga aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan pembelajaran sastra, yaitu: 1) bahasa; 2) kematangan jiwa (psikologi); 3) latar belakang kebudayaan siswa. 1) Aspek Bahasa Penguasaan bahasa pada setiap individu biasanya tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap yang mudah diidentifikasi. Sebaliknya, bahasa dalam sastra sering tampak rumit karena permasalahan yang diungkapkan, teknik penulisan, serta bahasa dalam karya sastra yang memiliki ciri tersendiri. Sehubungan dengan hal ini, maka guru diharapkan dapat memilih karya sastra yang didalamnya menggunakan kosa kata dan ungkapan-ungkapan yang dapat dimengerti siswa. Jika ada kosa kata yang tidak dimengerti siswa, guru berkewajiban terlebih dahulu memberikan penjelasan. 2) Aspek Psikologi Perkembangan psikologi seseorang sejak kanak-kanak sampai dewasa melalui berbagai tahapan. Pertama, tahap penghayal (8 – 9 th), pada tahap ini imaji anak belum banyak diisi hal-hal nyata tapi masih penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan. Kedua, tahap romantik (10-12 th) pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meskipun pandangannya tentang dunia masih sangat sederhana. Pada tahap ini anak menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan.
55
Ketiga, tahap realistik (13 – 16 th), sampai tahap ini anak sudah benarbenar terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitas atau hal yang benar-benar nyata. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata. Keempat, tahap realistik ( 16 th ke atas), tahap ini anak sudah tidak hanya berminat pada hal-hal yang bersifat praktis, tetapi juga sudah berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena. Mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab fenomena tersebut yang kadangkadang mengarah kepada pemikiran filsafati untuk menentukan keputusan-keputusan moral. 3) Aspek Latar Belakang Budaya Latar belakang karya sastra meliputi hampir semua faktor kehidupan manusia dan lingkungannya seperti geografi, sejarah, topografi, iklim, mitologi, legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olah raga, hiburan, moral, dan lain sebagainya. Secara alami siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra berlatar budaya yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka. Mungkin mereka tertarik dengan peristiwa yang dikisahkan, tempat, atau kelompok masyarakat tertentu. Sangat boleh jadi tokoh-tokoh cerita lebih menarik perhatian mereka karena ada kencenderungan pada mereka untuk mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh tersebut. Terlebih lagi jika tokoh tersebut berasal dari lingkungan yang memiliki kesamaan dengan mereka atau orang-orang disekitar mereka.
56
Selain kriteria yang disampaikan oleh Rahmanto tersebut, masih terdapat hal-hal yang harus diperhatikan sebagai dasar pegangan dalam memilih objek bahan pelajaran yang disampaikan oleh Suyitno. Hal-hal tersebut adalah bahwa bahan pelajaran harus mampu menunjang dan membantu siswa pada hal-hal sebagai berikut. 1) Mampu membantu siswa mengenal dan memahami manusia secara lebih baik. 2) Mampu membuat siswa memahami serta menghayati kehidupan secara lebih baik. 3) Memungkinkan pekerjaan jiwa dan perasaan siswa berkembang dengan baik. 4) Menunjang pemahaman yang lebih baik terhadap kebudayaan pada umumnya dan kebudayaan nasional pada khususnya. 5) Sebaiknya dipilih karya sastra yang menonjol dalam sejarah perkembangan sastra, Rahmanto (1993: 32). Kriteria-kriteria di atas tentu saja tidak bersifat mutlak. Seorang pengajar masih dapat menentukan skala prioritas tersendiri yang dirasakan lebih mengena bagi kepentingan pengajaran. Hal ini disesuaikan dengan kondisi objektif siswa dan tenaga pengajar demi tercapainya tujuan pengajaran. 4.3. Model Pembelajaran Kontekstual Andriana (Sudarmono,2009:39) menjelaskan tentang pembelajaran dengan metode kontekstual yaitu pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata, dan pembelajaran yang memotifasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan menerapkannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
57
Berdasarkan pengertian tersebut, maka metode kontekstual merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran. Siswa didorong untuk beraktivitas mempelajari materi pelajaran sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya. Belajar dalam konteks CTL bukan hanya sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses berpengalaman secara langsung. Melalui proses berpengalaman itu diharapkan perkembangan siswa terjadi secara utuh, yang tidak hanya berkembang secara kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan juga psikomotor. Sanjaya ( 2010:255) menyampaikan bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antar materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antar pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan
58
nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan hanya bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional terhadap materi yang dipelajarinya tetapi juga akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata. Pembelajaran kontekstual mempunyai tujuh komponen utama yaitu; konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya, Andriana (Sudarmono,2009:39). Suatu pembelajaran dikatakan pembelajaran kontekstual jika dalam pembelajarannya menerapkan tujuh komponen tersebut. a. Konstruktivisme Konstrukttivisme merupakan landasan berpikir bagi pendekatan kontekstual. Landasan berpikir pada pendekatan ini memandang bahwa pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong (Sudarmono,2009:40). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Pengetahuan harus dikontruksi dan diberi
59
makna oleh siswa melalui pengalaman nyata. Berkaitan dengan hal ini, maka siswa perlu dilatih untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya, dan terbiasa dengan gagasan- gagasan. Pelatihan yang dilakukan siswa juga untuk membantu guru dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, sebab, pada kenyataannya guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Teori
kontruktivisme
dapat
diartikan
bahwa
siswa
harus
mengembangkan pemikirannya untuk melakukan kegiatan belajar agar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru yang harus dimilikinya b. Menemukan Menemukan (inquiri) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan dari hasil menemukan sendiri, bukan hasil mengingat seperangkat fakta. Guru dituntut agar dalam merancang kegiatan pembelajaran, sejauh mungkin
agar bersifat
inquiri untuk semua topik yang diajarkan. Proses menemukan yang dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran tidak begitu saja dapat dipahami oleh siswa. Peran guru ikut menentukan keberhasilan siswa dalam proses menemukan ini. Guru perlu menyampaikan beberapa langkah kepada siswa agar siswa dapat termotivasi untuk melakukan proses
menemukan.
Langkah-langkah
tersebut
menurut
Nurwanti
(Sudarmono,2009:41) antara lain; merumuskan masalah, mengamati dan
60
melakukan observasi, menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya, dan mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiens yang lain. c. Bertanya Kegiatan pembelajaran yang bersifat kontekstual harus mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan
memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Kegiatan
bertanya merupakan bagian penting bagi siswa untuk menggali informasi, mengonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya. Nurwanti
(Sudarmono,2009:41)
mengemukakan
bahwa
kegiatan
bertanya sangat berguna dalam pembelajaran. Kegunaan tersebut meliputi; (1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademik; (2) mengecek pemahaman siswa; (3) membangkitkan respon siswa; (4) mengetahui sejauh mana keinginan siswa; (5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa; (6) memfokuskan perhatian siswa; (7) membangkitkan pertanyaan yang lebih banyak dari siswa; dan (8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa. d. Masyarakat belajar Konsep masyarakat belajar memberi peluang untuk memperoleh hasil pembelajaran melalui kerja sama dengan orang lain. Dalam hal ini guru berupaya menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab dan lain sebagainya. Melalui kegiatan berkelompok terjadi kerja sama antarsiswa dan kerja sama siswa dengan guru, yang bersifat terbuka.
61
Pembelajaran dengan konsep masyarakat belajar dapat berlangsung apa bila terjalin komunikasi. Siswa yang terlibat dalam kegiatan, memberikan informasi yang diperlukan oleh teman belajarnya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan kepada teman belajarnya tersebut. Kegiatan ini harus menghindari pendominasian oleh siswa. Semua siswa harus terlibat aktif dalam diskusi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya dan tidak ada pihak yang menganggap paling tahu. e. Pemodelan Proses pembelajaran kontekstual membutuhkan suasana yang konkrit, agar pembelajaran dapat cepat dikuasai siswa. Untuk memunculkan suasana yang konkrit ini, guru dapat memunculkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, atau bahkan melalui media yang sebenarnya. f. Refleksi Kegiatan refleksi diperlukan untuk mengetahui sejauh mana siswa merespon kejadian, aktifitas, atau pengetahuan yang baru diterimanya. Refleksi adalah cara berpikir tentang hal yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang hal-hal yang sudah dilakukan dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran kontekstual guru sebisa mungkin membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Hal ini dapat memberikan umpan balik bagi guru, tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan. Sehingga guru dapat menilai, memperbaiki, dan menyempurnakan strategi pembelajarannya.
62
g. Penilaian yang Sebenarnya Penilaian merupakan proses pengumpulan informasi yang bisa memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa, dan sekaligus memberikan umpan balik kepada guru terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. Penilaian
yang disusun guru harus dapat menilai proses dan hasil.
Keaktifan siswa dalam diskusi, mengemukakan ide-idenya, serta pencarian yang serius merupakan penilaian tersendiri sebagai proses belajar siswa. Pada bagian akhir pembelajaran guru melakukan evaluasi sebagai proses penilaian untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa. Pengumpulan tugas kelompok juga merupakan proses penilaian yang dapat dilakukan oleh guru. 4.4. Rancangan Pembelajaran Cerita Rakyat PAL Rancangan model pembelajaran cerita PAL yang akan diterapkan mengadopsi dari model-model mengajar dan Komponennya yang disampaikan oleh Joyce & Weil. Joyce & Weil (1980:9) membagi model mengajar ke dalam empat rumpun, yaitu; (1) The Second Interaction Sources (Model Interaksi Sosial); (2) The Information Processing Sources (Model Pemrosesan Informasi); (3) The Personal sources (Model Personal/Pribadi); (4) Behaviour Modification as a Sources (Model Prilaku). Setiap rumpun terdiri atas beberapa model mengajar berdasarkan teori yang disusun para ahli sehingga nama model pada setiap rumpun bergantung pada teori para ahli dan tujuan yang hendak dicapai.
63
Penyusunan model pembelajaran cerita rakyat PAL yang akan disusun didasarkan pada rumpun The Information Processing Sources (Model Pemrosesan Informasi). Model ini menekankan pada bagaimana cara individu memberikan respon yang
datang
dari
lingkungannya
dengan
cara
mengorganisasikan
data,
memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahkan masalah serta penggunaan simbol-simbol verbal dan nonverbal. Selain itu, model ini juga memberikan kepada siswa sejumlah konsep, pengujian hipotesis, dan memusatkan perhatian pada pengembangan kemampuan kreatif. Joyce & Weil (1980) mengemukakan bahwa sebuah model mengajar memiliki empat komponen. Keempat komponen yang harus ada dalam setiap model mengajar itu adalah: (1) orientation the model (orientasi model), (2) the model of teaching (model mengajar), (3) application (penerapan), (4) instructional and nurturant effect (dampak pengajaran dan penyerta). Pada komponen the model of teaching (model mengajar), terbagi atas syntax (urutan kegiatan), social system (sistem sosial), principal of rection (prinsip reaksi), dan support system (sistem penunjang). Penerapan model pembelajaran cerita PAL berdasarkan komponenkomponen tersebut penulis mengurutkannya sebagai berikut, (1) orientasi model, (2) sintaksis, (3) sistem sosial, (4) prinsip-prinsip reaksi, (5) sistem penunjang, (6) penerapan dan (7) dampak instruksional.
64
5.
Penelitian yang Relevan Penelitian berkaitan dengan cerita rakyat di Indonesia telah banyak
dilakukan oleh para peneliti. Beberapa yang penulis temukan akan disampaikan dibawah ini. 1). Heddy Shri Ahimsa Putra, seorang dosen Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, dan staf pengajar pada program Pascasarjana UGM, dalam bukunya Srukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra menyampaikan beberapa hasil penelitiannya berkenaan dengan cerita rakyat yang disebut dengan mitos, mite atau dongeng. Hasil penelitian tersebut antara lain berjudul Analisis Struktural Dongeng Bajo yang menganalis sebuah cerita rakyat dari orang Bajo (orang Laut) berjudul Pitoto’Si Muhamma’. Analisis cerita ini menggunakan metode analisis dari Strukturalisme Levi Straus, namun demikian terdapat beberapa perubahan yang dilakukan oleh Ahimsa Putra, yaitu pembuatan episode-episode dalam cerita yang sebelumnya tidak dilakukan oleh Levi Strauss dan penggunaan ciriteme untuk mengganti mhytheme. Ceriteme digunakan oleh Ahimsa Putra untuk membedakan dengan miteme (mhytheme), jika ceriteme berupa rangkaian kalimat- kalimat sedangkan miteme berupa kalimat-kalimat. Cireteme sama halnya dengan miteme yang hanya dapat diketahui maknanya atau pengertiannya setelah ditempatkan dengan ceriteme atau miteme yang lain. Analisis cerita Pitoto’Si Muhamma’ ini menghasilkan beberapa ceriteme yang kemudian dari ceriteme-ceriteme ini terbentuk episode-episode. Episode-episode dalam cerita Pitoto’Si Muhamma’ adalah sebagai berikut; episode
65
I: Daeng Manjakari, Hejira dan Muhamma dan Realitas Sosial-Ekonomis Orang Bajo, episode II: DM Pergi Mengantar Hejira ke Sumur Toraja dan Realitas Ekologi Orang Bajo; episode III: Hejira Jatuh Cinta Pada DM dan Realitas SosialBudaya (I) Orang Bajo; episode IV: Perselisihan DM dengan M di Dalam Sumur dan Realitas Sosial-Budaya (II) Orang Bajo; episode V: DM dibunuh oleh M dan Realitas Sosial-Budaya (III) Orang Bajo; episode VI: Hejira Jatuh Cinta Pada M dan Realitas Sosial-Budaya (IV) Orang Bajo; episode VII: M Meninggalkan H dan Realitas Ruang dalam Budaya Orang Bajo. Selanjutnya episode-episode ini dianalisis dengan metode Analisis Strukturalisme Levi Strauss dan ditafsirkan dengan latar belakang budaya Orang Bajo. Hasil analisis membuahkan kesimpulan yang diambil oleh Ahimsa Putra yaitu bahwa cerita Orang Bajo berjudul Pitoto’Si Muhamma’ merupakan sebuah upaya simbolisasi orang Bajo untuk memahami kontradiksi-kontradiksi empiris yang mereka hadapi sebagai orang yang hidup dari pengumpulan hasil laut. Kontradiksi-kontradiksi abadi yang mereka hadapi adalah kenyataan bahwa mereka hidup di laut, namun juga masih tergantung pada hasil bumi dari darat; bahwa untuk hidup di laut mereka membutuhkan bantuan bukan saja dari kerabat, tetapi juga dari mereka yang bukan kerabat, yang berada di darat. 2). Penelitian berkaitan dengan cerita rakyat juga dilakukan oleh Heddy Shri Ahimsa Putra, terhadap dongeng Umar Kayam yang berjudul Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi: Sebuah Analisis Struktural-Hermeneutik. Alasan yang mendasari penulis untuk menyampaikan hasil penelitian ini sebagai bahan rujukan karena ada
66
beberapa hal mendasar yang disampaikan oleh Ahimsa Putra berkaitan dengan cerita Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi. Hal mendasar tersebut adalah Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita tersebut sebagai mitos atau dongeng. Jika melihat dari ciri-ciri cerita rakyat, dongeng atau mite yang telah penulis sampaikan maka salah satu sifat cerita rakyat adalah anonim. Berdasarkan sifat ini, maka cerita yang ditulis Umar Kayam tersebut tidak dapat dikatakan sebagai dongeng atau mitos. Namun demikian, Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita tersebut sebagai mitos karena ada dua alasan. Dua alasan yang mendasari Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita Umar Kayam sebagai dongeng atau mitos yaitu; pertama, bahwa berbagai cerita tersebut ditulis oleh Umar Kayam dalam upayanya memahami sebuah peristiwa dahsyat yang secara pribadi sulit dipahaminya; kedua, Umar Kayam menulis cerita tersebut bukan sebagai pengarang biasa ataupun sebagai pengamat dan penulis reportase, tetapi sebagai individu yang telah melibatkan diri di tengah peristiwa itu sebagai aktor yang membuat interpretasi. Posisi semacam ini pada dasarnya tidak berbeda dengan posisi individu-individu yang telah melahirkan berbagai mitos dalam masyarakat (Putra,2006:260). Penulis beranggapan bahwa setuju atau tidak setuju terhadap pendapat Ahimsa Putra tersebut tidak menjadi persoalan yang perlu dibahas dalam penelitian ini. Hal yang terpenting yang dapat penulis ambil bahwa analisis struktural model Strukturalisme Levi Strauss dapat diterapkan pada ketiga cerita
67
Umar Kayam tersebut, meskipun Levi Strauss sendiri meragukan keampuhan pisau analisis strukturalnya jika digunakan untuk membedah karya-karya sastra. Namun tokoh strukturalisme lain, yakni Roland Barthes, malah menyarankan dan mendukung cara analisis semacam itu (Putra,2006:261). Berdasarkan analisis menggunakan model strukturalisem Levi Strauss ini ternyata Ahimsa Putra berhasil menemukan makna dibalik peristiwa gestapu, antara mana yang dianggap sebagai anggota PKI maupun mana yang dianggap bukan angota PKI, melalui relasi-relasi dalam yang ada dalam ketiga cerita tersebut. Ahimsa Putra dalam manganalisis cerita Umar Kayam berjudul Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi mengaitkan munculnya cerita tersebut dengan peristiwa Gestapu 1965. Karena ketiga cerita tersebut merupakan kebimbangan pada diri Umar Kayam dalam memahami peristiwa tersebut dan pertanyaan yang tidak dapat dijawab yaitu siapa yang harus dan tidak harus jadi korban. Seperti apa
yang
ditulis
Umar
Kayam
berikut
“Dalam
kebimbangan
dan
ketidakmengertian saya, saya coba pertanyakan dalam cerita”(Putra,2006:256) Hasil analisis dari ketiga cerita tersebut menghasilkan ceriteme-ceritime yang kemudian membentuk episode-episode. Episode-episode ini merupakan relasi-relasi dari ketiga cerita tersebut yang disusun oleh Ahimsa Putra. Episodeepisodenya adalah sebagai berikut; a. Episode Latar belakang Tokoh; b. Episode Kehidupan Remaja; c. Episode Kehidupan Keluarga dan Politik; d. Episode Pelarian; dan e. Episode Akhir Kisah. Selanjutnya berbagai episode yang dialami
68
ditempatkan secara sinkronis (paradigmatis) dan diakronis (sintagmatis). Analisis berlanjut sampai pada analisis nilai Jawa dan nalar Jawa yang merupakan latar belakang penulis cerita dan melatar belakangi juga peristiwa Gestapu. 3) A. Totok Priyadi seorang mahasiswa program S-3 Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, melakukan penelitian terhadap cerita-cerita rakyat Dayak Kanaytn dalam desertasinya. Desertasi yang dipertahankannya pada tahun 2010 ini berjudul Analisis Struktur dan Makna Cerita Rakyat Dayak Kanaytn. Priyadi dalam desertasinya ini menganalisis hampir 90 cerita rakyat Dayak Kanaytn, yang diperoleh dengan cara observasi, wawancara terhadap 30 informan. Dari 90 cerita rakyat ini Priyadi mengambil 9 cerita yang mendapat fokus lebih, dalam penelitiannya.
Selanjutnya cerita-cerita tersebut dianalisis
dengan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama cerita-cerita tersebut dibuat ringkasan ceritanya, kemudian dianalisis pada tingkat lingkungan penceritaan yang meliputi
daerah
pakai
dan
situasi
pakai.
Langkah
selanjutnya
yaitu
mengklasifikasikan cerita-cerita tersebut pada genre dongeng, mitos ataupun legenda. Setelah diketahui genre dari cerita tersebut kemudian analisis struktur cerita dengan menggunakan teknik analisis struktur model Maranda. Teori struktur naratif model Maranda ini berbeda dengan model strukturalisme Levi Strauss. Model Levi Strauss terdapat miteme (mhytheme) dalam sebuah mitos, sedangkan pada model Maranda ada terem (term) dan fungsi dalam sastra lisan. Menurut Maranda (Priyadi,2010), terem yaitu simbol yang dilengkapi dengan konteks kemasyarakatan dan kesejarahan, sedangkan fungsi
69
adalah peranan yang dipegang oleh terem. Fungsi wujudnya dibatasi oleh terem, sehingga terem dapat berubah-ubah sedangkan fungsi tetap. Hasil dari analisis cerita-cerita ini ditemukannya lingkungan penceritaan, klasifikasi, struktur, makna cerita, kearifan lokal, identitas Dayak Kanaytn dan dimungkinkannya cerita-cerita tersebut sebagai bahan ajar pembelajaran sastra. 4). Penelitian berkaitan dengan cerita rakyat juga dilakukan oleh Maman Rukmana, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung tahun 2006, yang menganalisis cerita rakyat Banten Selatan. Analisis cerita ini disusun dalam sebuah tesis dengan judul Studi Deskriptif Terhadap Struktur, Fungsi, dan Nilai Budaya Cerita Rakyat Banten Selatan: Penyusunan Bahan Ajar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Untuk Siswa SD di Kabupaten Pandeglang. Analisis yang dilakukan dalam cerita Banten Selatan ini, dilakukan dengan menitikberatkan pada struktur intrinsik cerita yang meliputi alur, penokohan, tema dan moral, latar, gaya penulisan, dan motif menurut genre cerita rakyat. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data menggunakan teknik tes, angket, wawancara. Teknik-teknik ini digunakan untuk mengetahui apakah ceritacerita rakyat Banten Selatan tersebut dapat digunakan sebagai bahan ajar di Sekolah Dasar, sehingga penelitian yang dilakukan dikaitkan dengan pembuatan bahan ajar dari cerita rakyat. Cerita rakyat Banten Selatan yang menjadi kajian dalam penelitian ini berjumlah tiga buah. Cerita-cerita tersebut berjudul Syekh Mansyur dan Harimau
70
Ujung Kulon, Asal Mula Orang Badui, dan Pengeran Pande Gelang dan Putri Cadasari. Selanjutnya cerita-cerita ini dianalisis struktur intrinsiknya berdasarkan tanggapan dari para siswa melalui tes. Tes ini juga diterapkan kepada guru-guru bahasa Indonesia. Untuk mengetahui fungsi dan nilai budaya dalam cerita Rukmana menggunakan teknik wawancara yang deterapkan kepada para praktisi pendidikan. Selanjutnya penggunaan angket diterapkan kepada guru-guru sekolah dasar di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang, untuk menganalisis variable penyusunan bahan ajar. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Rukmana menyimpulkan bahwa cerita rakyat Banten Selatan berjudul Syekh Mansyur dan Harimau Ujung Kulon, Asal Mula Orang Badui, dan Pengeran Pande Gelang dan Putri Cadasari, dapat digunakan sebagai alternatif dan variasi bahan ajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar. Alasan yang mendasari pengambilan kesimpulan ini, menurut Rukmana adalah bahwa cerita-cerita tersebut telah memenuhi kriteria yang memadai serta memperhatikan langkah-langkah dalam penyusunan bahan ajar. Berdasarkan beberapa penelitian berkenaan dengan cerita rakyat tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap cerita PAL dengan model analisis strukturalisme Levi Strauss. Model ini penulis anggap sesuai dengan cerita PAL sebagai sebuah mitos, karena mitos merupakan fokus analisis dalam strukturalisme Levi Strauss.