BAB IV ANALISIS STRUKTUR, NILAI MORAL DAN MODEL PELESTARIAN CERITA RAKYAT PUTRI AYU LIMBASARI DI MADRASAH TSANAWIYAH
1. Kondisi Sosial Geografis Desa Limbasari Terdapat hubungan yang erat antara kondisi geografis dengan kebudayaan yang dikembangkan oleh masyarakatnya. Masyarakat pesisir misalnya, terkenal dengan sifatnya yang lugas, terbuka, dan egaliter ternyata dipengaruhi oleh kondisi alamnya yaitu daerah pantai, yang bersifat terbuka. Demikian pula di daerah gurun yang panas, akan menghasilkan kebudayaan yang khas yang berbeda dengan kebudayaan di daerah yang beriklim dingin. Dalam konteks ini kebudayaan dipahami sebagai upaya adaptasi manusia atas dunianya. Pengertian semacam ini erat hubungannya dengan proses kelahiran karya sastra (khususnya sastra lama). Sastra adalah hasil dari kebudayaan yang di dalamnya tergambar pengetahuan rakyatnya (Ratri,2008:24). Analisis kondisi sosial ini dilakukan untuk mengetahui kondisi empiris masyarakat yang memiliki cerita PAL, di mana teks tersebut lahir dan berkembang. Seperti yang tertuang pada bab tiga, bahwa proses ini perlu dilakukan mengingat karya sastra menurut Grebstain (Endraswara,2003: 92) baru dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila tidak dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang telah menghasilkannya. Sebab suatu karya sastra tidak lahir dalam kekosongan dan ketiadaan.
79
80
Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui teknik observasi, pencatatan dokumen, dan wawancara, maka diperoleh data yang berkaitan dengan kondisi sosial geografis masyarakat Desa Limbasari, yang tergambarkan sebagai berikut. 1.1. Lingkungan Fisik Desa Limbasari bagian dari Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga. Desa ini terletak di sebelah timur gunung Slamet, sekitar 15 km di sebelah utara kota kabupaten atau 5 km di sebelah utara kota kecamatan. Terdapat empat pedukuhan (wilayah dalam sebuah desa) yaitu dukuh Limbasari, dukuh Arjosari, dukuh Karang Joho, dan dukuh Sitrondol, dengan luas keseluruhan 221,179 ha. Desa Limbasari dilalui empat aliran sungai yaitu sungai Tuntunggunung, Blongising, Gadungan, dan sungai Plana. Oleh sebab itu kawasan ini dapat disebut sebagai daerah delta aliran sungai. Desa Limbasari merupakan daerah delta yang subur, sehingga cocok untuk lahan pertanian. Komoditas utama bidang pertanian adalah padi, hampir 100% petani di desa Limbasari adalah petani padi. Komoditas lain adalah buahbuahan seperti mangga, rambutan, salak, duku, pisang, durian, dan nanas. Hasil perkebunan meliputi kelapa, kopi, dan cengkih. Selain itu terdapat juga hasil peternakan seperti sapi, kerbau, ayam, bebek, dan kambing. Sementara hasil sumber daya alam dari bahan galian tidak ditemukan di desa ini. Secara geografis, Desa Limbasari berbatasan langsung dengan Desa Palumbungan di sebelah barat, Desa Pabuaran disebelah timur, Desa Banjarsari di sebelah selatan dan disebelah utara berbatasan langsung dengan hutan dan gunung
81
Plana. Hutan di sebelah utara desa, merupakan hutan milik perhutani yang banyak ditanamai pohon pinus. Hutan ini dimanfaatkan oleh penduduk desa dengan cara mbabad. Mbabad hutan dilakukan penduduk dengan terlebih dahulu ada izin dari pihak perhutani. Penduduk dapat memanfaatkan lahan hutan dengan bercocok tanam, sementara mereka membiarkan pohon-pohon milik perhutani untuk tetap hidup dan menjaganya. Hal ini menunjukan adanya simbiosis mutalisme antara pihak perhutani dengan penduduk. Penduduk mendapatkan hasil dari bercocok tanam, sedangkan perhutani mendapat keuntungan dengan terpeliharanya pohonpohon mereka. Letaknya yang berbatasan langsung dengan hutan (gunung), maka jenis tipologi Desa Limbasari dapat dikategorikan menjadi desa sekitar hutan, dan tergolong sebagai daerah pedesaan (unurbanized village) karena wilayah ini jauh dari perkotaan. Berdasarkan data sejarah, kawasan Desa Limbasari merupakan situs arkeologi. Banyak penelitian arkeologi dilakukan di daerah ini. Artefak yang berhasil ditemukan antara lain bungkal-bungkal batu rinjang sebagai bahan baku pembuatan beliung, bahan gelang, sisa bahan gelang, fragmen gelang, dan batu pukul. Hasil-hasil penemuan ini tersimpan di Sanggaluri Park, yang dijadikan kawasan wisata Pemerintah Kabupatan Purbalingga. Hasil-hasil penemuan tersebut menunjukan bahwa Desa Limbasari dulunya merupakan situs perbengkelan yang memproduksi kapak beliung dan gelang. 1.2. Lingkungan Sosial Desa Limbasari termasuk kawasan Karesidanan Banyumas, oleh karena itu
dalam
keseharian
penduduk
Desa
Limbasari
menggunakan
dialek
82
Banyumasan. Ciri khas dialek ini adalah pengucapan vocal [o] (diucapkan a) dan konsonan k, atau huruf-huruf seperti a-b-d-g-h-y-k-l-o-w diucapkan dengan mantap, tegas, dan lugas, tidak setengah-setengah atau terdengar ringan (Herusatoto,2008:122). Status sosial di Desa Limbasari dibedakan menjadi dua, yaitu status sosial tinggi (kaum priyayi) dan rendah (wong alit) yang kebanyakan dilatar belakangi dari pekerjaan. Ada anggapan bahwa pegawai negeri, tokoh agama, dan pemuka masyarakat menempati status sosial tinggi/terhormat di masyarakat. Sebagian besar pegawai negeri di Desa Limbasari mempunyai kedudukan dalam pemerintahan desa, misalnya anggota BPD atau LKMD. Sedangkan orang yang dianggap mempunyai status sosial rendah adalah mereka yang bekerja sebagai buruh, penderes gula kelapa, dan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya. Dilihat dari tingkat kesejahteraan, tidak semua yang berstatus sosial tinggi adalah orang kaya. Mereka rata-rata menempati kondisi perekonomian menengah ke atas. Orang yang berstatus sosial rendah biasanya menempati perekonomian menengah ke bawah. Namun demikian, pada kenyataannya banyak orang yang berstatus sosial rendah memiliki tingkat perekonomian yang tinggi. Biasanya orang-orang ini mempunyai anggota keluarga yang bekerja di kota besar. Hal ini mengakibatkan stratifikasi sosial, priyayi dan kaum alit sifatnya terbuka. Artinya mobilitas dari wong alit ke dalam golongan priyayi mungkin terjadi. Secara umum tingkat kesejahteraan masyarakat tergambar dalam tabel berikut.
83
Tabel 1 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Kondisi
Jumlah
Persentase (%)
Keluarga prasejahtera
237
24,92
Keluarga sejahtera I
223
23,45
Keluarga sejahtera II
313
32,91
Keluarga sejahtera III
169
17,77
9
0,94
Keluarga sejahtera III plus
Sumber : Daftar Isian Tingkat Perkembangan Desa, 2010 Berdasarkan tingkat kesejahteraan penduduk, persentasi tertinggi adalah keluarga sejahtera II yaitu 32,91%, diikuti keluarga prasejahtera 24,92%, keluarga sejahtera I 23,45%, keluarga sejahtera III 17,77%, dan keluarga sejahtera III plus 0,94%. Berdasarkan persentase ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat Desa Limbasari masih banyak yang belum sejahtera. Keadaan ini mengakibatkan adanya perbedaan status sosial pada masyarakat. Perbedaan tingkat status sosial masyarakat Desa Limbasari pada realitas empiris kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlalu berpengaruh pada interaksi antar anggota masyarakat. Hubungan antar individu terjalin akrab, seluruh penduduk desa saling mengenal. Hal ini disebabkan mobilitas penduduk yang rendah. Migrasi penduduk hanya terjadi karena perkawinan atau sanak keluarga yang pulang kampung setelah merantau. Menurut Ibu Kaliyem seorang sesepuh di Desa Limbasari bahwa sebagian besar penduduk usia produktif pergi merantau ke kota, sehingga ketika hari raya datang mereka pulang bersama-sama. Maka tidak heran jika hari raya di Desa Limbasari akan terlihat meriah, khususnya untuk hari
84
raya Idul Fitri. Sementara untuk pendatang dari luar yang bermaksud menetap di Desa Limbasari jarang terjadi. Berdasarkan hasil wawancara tak terarah dengan informan yang sama didapat keterangan bahwa kehidupan masyarakat Desa Limbasari umumnya mengikuti norma-norma kehidupan manusia pada umumnya, dan aturan kehidupan sosial masyarakat pedesaan. Sanksi berupa gunjingan masyarakat akan diterima bagi mereka yang melakukan kesalahan atau melanggar norma-norma kehidupan. Kegiatan kemasyarakatan masih kental dengan kegotong-royongan. Seperti halnya untuk kebersihan desa dilakukan dengan sitem kerigan (sistem gotong royong tanpa mendapat upah). Ketika seorang warga akan membangun rumah, untuk pembuatan galian pondasi pun dilakukan kerigan, sehingga akan meringankan bagi orang yang akan membangun rumah. Hal ini kemudian bergilir kepada orang yang akan membangun rumah berikutnya. Kegiatan kerigan ini dilakukan tanpa adanya paksaan dan tidak ada upah sedikitpun, hanya mereka biasanya mendapat makan dan minum yang disediakan yang punya rumah. Berdasarkan hasil observasi, pencatatan dokumen dan wawancara dengan Sekretaris Desa bernama Edi Prasojo di kediamannya pada 5 Maret 2011 diperoleh data mengenai profil desa tahun 2010 yang berkaitan dengan penduduk, pendidikan, keagamaan, dan mata pencaharian yang dapat penulis sampaikan berikut ini.
85
1) Penduduk Berdasarkan data profil desa tahun 2010, penduduk Desa Limbasari berjumlah 3.611 jiwa terdiri dari 1.811 laki-laki dan 1.800 perempuan. Perincian lebih lanjut adalah penduduk berumur 0-5 tahun berjumlah 346 jiwa, 6-14 tahun berjumlah 571 jiwa, 15-55 tahun berjumlah 2.064 jiwa, dan di atas 55 tahun berjumlah 630 jiwa. Dari jumlah penduduk 3.611 terbentuk 951 keluarga, artinya satu keluarga rata-rata terdiri 3-4 orang. Hal ini mengindikasikan bentuk keluarga yang umum adalah keluarga kecil dengan 12 orang anak yang dimiliki oleh sepasang suami istri. Data penduduk dalam penelitian ini perlu dijelaskan, sebab berkaitan dengan eksistensi manusia, yang dapat digunakan untuk menghitung angka kelahiran (fertilitas), angka kematian (mortalitas), jumlah penduduk usia sekolah, jumlah penduduk usia tenaga kerja, dan migrasi penduduk yang dapat berpengaruh pada situasi sosial dan ekonomi. 2) Pendidikan Berdasarkan data statistik tingkat perkembangan desa, diperoleh data persentase tingkat pendidikan sebagai berikut (dari umur 5 tahun ke atas), jumlah penduduk tamat Perguruan Tinggi 0,64%, D1-D3 0,82%, SLTA 10,65%, SLTP 14,30%, SD 54,48%, dan jumlah penduduk yang tidak tamat dan belum tamat SD 16,47%, sedangkan presentase penduduk yang divonis buta huruf 2,6%. Selanjutnya , dari jumlah keseluruhan penduduk sebesar 3.611 jiwa terdapat 559 jiwa berada pada usia sekolah (7-15 tahun). Data yang tercatat
86
pada daftar isian tingkat perkembangan desa, terdapat selisih antara anak usia sekolah dengan anak usia sekolah yang masih bersekolah yaitu sejumlah 25. Selisih tersebut menunjukan bahwa terdapat 25 anak yang seharusnya masih mengenyam pendidikan tetapi tidak mendapatkannya. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa taraf kehidupan intelektual masyarakat dan cara pandang masyarakat terhadap pendidikan masih belum tinggi. Meskipun menurut Sekretaris Desa Limbasari setiap tahun kemajuan di bidang pendidikan di Desa Limbasari mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Bahan perbandingan dengan kondisi tersebut, di Desa Limbasari tersedia fasilitas pendidikan Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar Negeri, Madrasah Ibtidaiyah, dan Sekolah Menengah Pertama. 3) Keagamaan Berdasarkan laporan tingkat desa teridentifikasi bahwa seluruh masyarakat Desa Limbasari menganut agama Islam. Tempat ibadah seperti masjid dan mushola hampir terdapat di setiap dukuh. Kegiatan keagamaan berjalan rutin, seperti tahlilan, pengajian dan yasinan. Sebagian besar masyarakat merupakan kaum nahdiyin,, meskipun ada juga paham yang lain namun tidak berpengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan di Desa Limbasari. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Yana MH. dalam bukunya Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa mengatakan bahwa berdasarkan keagamaan, orang Jawa dibedakan atas dua kelompok yaitu jawa kejawen dan Santri, maka kedua golongan inipun terdapat di Desa Limbasari.
Jawa
87
kejawen, sering disebut kaum abangan yang dalam kesadaran cara hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa pra-Islam ini biasanya diikuti oleh kaum priyayi. Sedangkan kaum santri adalah kaum yang memahami dirinya sebagai orang Islam atau orientasinya yang kuat terhadap agama Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam. 4) Mata Pencaharian Mata pencaharian utama penduduk Desa Limbasari adalah bertani, yaitu bersawah, berladang, berkebun, dan beternak. Berdasarkan data isian potensi desa, dari total penduduk yang bekerja, sebesar 61,98% bergerak di sektor pertanian (dengan perincian petani 28,9%, buruh tani 21,36%, dan peternak 11,69%). Penyebutan petani dan buruh tani ini didasarkan pada kepemilikan tanah pertanian. Penduduk yang memiliki tanah pertanian dan bekerja dilahan pertaniannnya disebut petani. Sedangkan penduduk yang tidak mempunyai tanah pertanian, tetapi bekerja dilahan pertanian disebut buruh tani. Seorang buruh tani adalah orang yang bekerja di sawah mengerjakan tanah orang lain. Pekerjaan yang dilakukan adalah mencangkul, menanam padi, menyiangi rumput dan memanen. Kemunculan buruh tani ini disebabkan oleh sistem pertanian yang berjalan di Desa Limbasari. Seorang petani yang memiliki lahan pertanian luas biasanya membagi tanah garapannya kepada buruh tani dengan sistem bagi hasil.
88
Ada dua macam cara bagi hasil yang dijalankan petani di Desa Limbasari yaitu sistem maro dan mertelu. Menurut Badrun (52 th) seorang buruh tani di Desa Limbasari mengatakan bahwa: “ jenenge wong maro kue angger sawah siji dibagi wong loro, sing due sawah ora udu apa-apa, bibit, pupuk, pokoke kabeh ditanggung sing nggarap. Mengko nek wis panen hasile dibagi loro pada akehe. (yang namanya sistem maro adalah sawah satu dibagi dua orang, orang yang mempunyai sawah tidak ikut andil dalam proses penggarapan sawah, baik pupuk, bibit padi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penggarapan ditanggung oleh penggarap (pihak yang tidak mempunyai tanah/buruh). Nanti apabila panen hasilnya dibagi dua sama banyak).
“Sejen maning mertelu, angger mertelu, wong sing due sawah ngetokna biaya, nyediani pupuk, bibit, obat semprot lan lia-liane. Wong singgarap mung nggarap tok. Nek panen hasile dibagi telu. Sepertelune kanggo sing nggarap, sing due tanah oleh rong pertelune.” (lain lagi untuk mertelu, kalau mertelu, orang yang mempunyai sawah mengeluarkan biaya, menyediakan pupuk, bibit, obat hama dan lain-lainnya. Penggarap hanya menggarap sawah saja. Jika penen hasilnya dibagi menjadi tiga. Sepertiga untuk penggarap dan duapertiga untuk yang memiliki sawah.
Selain bertani, penduduk Desa Limbasari bekerja sebagai pedagang, penderes gula kelapa, pegawai negeri, sopir, montir, tukang dan “nelayan”. Khusus yang dimaksud nelayan disini adalah nelayan untuk mencari ikan tawar di sungai, karena Desa Limbasari bukan merupakan daerah pantai sehingga jauh dari laut. Berdasarkan data ini maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat desa Limbasari masih bergantung pada alam.
89
2. Identifikasi dan Deskripsi Teks Lisan Melalui teknik wawancara dan perekeman diperoleh teks lisan PAL. Teks lisan ini diperoleh dari beberapa informan yang telah dipilih dan diseleksi. Kriteria pemilihan informan yang digunakan mengadopsi apa yang disampaikan Ratri (2008:37) bahwa untuk memperoleh teks lisan perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut; 1) pengetahuan informan mengenai cerita PAL , 2) kedudukan informan dalam masyarakat, 3) pendidikan, dan 4) usia. Informan. Berdasarkan kriteria ini, yang dipilih antara lain adalah ; Kaliyem (70 th), Sucipto (75 th), Momot Prabowo (49 th), Besus Yunanto (45 th), Edi Prasojo (47th), Sarji (82 th), Runtah (80 th) dan Mahtum (81 th). Informan yang dipilih tersebut kemudian diwawancarai berkaitan dengan cerita
PAL. Teknik wawancara yang diterapkan yaitu menggunakan
teknik terarah dan tidak terarah. Khusus untuk wawancara tidak terarah proses wawancara seperti perbincangan biasa. Hal ini untuk menghindari jarak antar peneliti dengan informan, sehingga diharapkan terjadi keakraban dan akhirnya informan tidak canggung untuk memberikan semua informasi yang terkait dengan cerita PAL. Untuk wawancara terarah prosesnya menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun peneliti. Penggunaan pedoman wawancara ini tidak bersifat kaku, artinya dilakukan secara fleksibel disesuaikan dengan kondisi dan situasi baik saat wawancara maupun dengan kondisi informan, sehingga wawancara dapat berjalan sesuai dengan harapan peneliti. Untuk kelengkapan data teknik perekaman digunakan saat wawancara. Namun demikian, ada beberapa informan yang menolak untuk menggunakan
90
sarana ini. Teknik lain yang gunakan untuk kepentingan kelengkapan data teks digunakan teknik bola salju (snowball) yaitu bahwa proses wawancara tidak terbatas pada informan-informan yang telah disebutkan di atas, namun dapat dilakukan wawancara dengan informan-informan lain untuk kelengkapan data. Setelah proses pengumpulan data melalui teknik wawancara, diperoleh lima varian teks lisan cerita PAL . Kelima varian ini diperoleh melalui proses penyimpulan
dari
seluruh
informan
yang
telah
diwawancarai,
dengan
memperhatikan perbedaan dan kesamaan cerita serta kelengkapan cerita. Kelima varian cerita PAL tersebut akan penulis sampaikan berikut ini. Teks 1 Secara garis besare kue angger nang buku Babad Purbalingga, abad 17 sing kraton Mataram ana wong kang Ngerum wong sekti, cara siki carane ya arep ngode, terus diwei tugas kon mbangun desa dari Mataram getul Rajawana, tekan Limbasari. Kuwe nek menurut Babad Purbalingga. Ning, nek Putri Ayu Limbasari dimulai sekang cerita Kyai Gandiwasi. Kyai sing terkenal tekan pulau Bali, sehingga ana pemuda loro sekang bali sing jenenge Ketut Wlingi Karo Patrawisa arep nggolet elmu. Pemuda kue kangelan arep nyabrang kali Klawing, ning kedung ana suara-suara sing ora genah. Terus pemuda loro memuja njaluk petunjuk. Akhire tempat sing nggomuja di arani desa Pamujan. Kedunge di arani kedung Belis. Terus wong loro mlaku nglanjutna laku, terus tekan punthuk sing nggo ndeleng desa Limbasari, lha ning kono munggah watu tumpuk. Tempate kue di jenengi desa Watutumpang. Mlaku ngetan ketemu nini-nini, takon sing jenenge desa Limbasari endi, terus dijawab kue ngisor, akhire nggone dijenengi gunung Nini. Nyong wektu kue esih bocah sekolah ana cungkub kuburan. Mungkin kuburane putri ayu. Terus ceritane Ketut Wlingi karo Patarawisa diterima dadi muride Kyai Gandiwesi. Terus kon gawe bendungan cara siki irigasi. Nang kono Patrawisa apes kepleset ninggal. Dadi tempate bendungan mau diarani bendungan Patrawisa. Ketut Wlingi akhire ditukna, dipet mantu karo anake Kyai Gandiwasi sing jenenge Dyah Wasiati eh udu biyunge. Ketut Wlingi lan anake Kyai Gandiwesi due anak loro sing jenenge Wlingi Kusuma sing sekti banget lan Dyah Wasiati sing ayu banget. Saking ayune terkenal nang ngendi-ngendi. Akhir ana adipati papat sing nglamar, ning nglamare bareng. Akhire Dyah Wasiati kue bingung dasare para adipati kue ya sekang Solo kancane kakine jane ya wis tua. Akhire Wlingi Kusuma nganakna sayembara, sapa sing teyeng ngalahna Wlingi Kusuma dadi bojone adine. Ning jalaran sekti oranana
91
sing ngalahna Wlingi Kusuma. Akhire Wlingi Kusuma dikroyok rame-rame ning adipati papat mau. Dadine Wlingi Kusuma kalah, awake dipotong-potong, di pendem pisah-pisah. Sikile kue dipendem ning jenenge lemah jejekan. Kue mbiyen jamane aku sekolah nek mlaku nganah men ora kesel sikile kudu njejek lemah kue. Weruh kakange mati Dyah Wasiati tambah bingung. Ora mungkin deweke ntrima salah siji adipati mau. Apa maning para adipati mau wis matine kakange. Jane ya Dyah Wasiati ora seneng maring adipati papat mau. Enggane milih salah sijine ya sing liane ora terima. Akhire Dyah Wasiati nembung maring wong tuane arep njaluk wangsit. nganggo tapa pendem. Akhire Dyah Wasiati mati. Terjemahan Bahasa Indonesia Secara garis besarnya jika di buku Babad Purbalingga, pada abad 17 ada sesorang dari Keraton Mataram ada seseorang dari daerah Ngerum seorang yang sakti. Kalau sekarang ya mau mencari pekerjaan. Terus diberi tugas untuk membangun desa dari Mataram sampai ke Rajawana, sampai ke Limbasari. Itu kalau menurut Babad Purbalingga. Tetapi kalu Putri Ayu Limbasari dimulai dari cerita Kyai Gandiwesi. Kyai yang terkenal sampai Pulau Bali. Sehingga ada dua orang pemuda dari Bali yang bernama Ketut Wlingi dan Patrawisa akan mencari ilmu. Dua pemuda itu kesulitan akan menyebrang sebuah sungai bernama sungai Klawing. Di sungai tersebut terdengar suara-suara aneh yang tidak jelas. Kemudian, pemuda tersebut berdoa untuk meminta petunjuk. Akhirnya tempat untuk berdoa di namakan Pamujan, sedangkan sungai tersebut dinamakan Kedung Belis. Kemudian kedua pemuda tersebut melanjutkan perjalanan. Sampai pada sebuah bukit yang digunakan untuk melihat desa Limbasari. Di tempat tersebut pemuda tadi naik pada batu yang ditumpuk. Tempat tersebut dinamakan Watutumpang. Berjalan kearah timur, ketemu dengan seorang nenek, kemudian
92
bertanya kepada nenek tersebut yang namanya desa Limbasari letaknya di mana. Kemudian oleh nenek tersebut dijawab itu di bawah bukit. Tempat tersebut kemudian dinamakan Gunung Nini. Saya waktu itu masih anak sekolah, ada cungkup makam, mungkin ya kuburannya Putri Ayu. Kemudian ceritanya Ketut Wlingi dan Patrawisa diterima menjadi murid Kyai Gandiwesi. Kemudian mendapat tugas untuk membuat bendungan kalau sekarang ya irigasi. Di tempat itu Patrawisa mengalami musibah terpeleset dan akhirnya meninggal. Jadi tempat bendungan tersebut dinamakan bendungan Patrawisa. Ketut Wlingi dijodohkan dengan anak dari Kyai Gandiwesi yaitu Dyah Wasiati, eh bukan tapi ibunya. Ketut Wlingi dan anaknya Kyai Gandiwesi kemudian mempunyai dua orang anak. Bernama Wlingi Kusuma yang mempunyai kesaktian yang tinggi, dan Dyah Wasiati yang mempunyai paras cantik jelita. Kecantikannya sampai terkenal kemana-mana. Akhirnya datang empat orang bupati yang hendak melamar secara bersamaan. Hal ini membuat Dyah Wasiati menjadi bingung. Pada dasarnya para bupati tersebut dari Solo dan merupakan teman kakeknya dulu. Jadi ya sudah tua. Akhirnya Wlingi Kusuma mengadakan sayembara. Barang siapa yang dapat mengalahkan dirinya, itu yang menjadi jodoh adiknya. Tetapi karena kesaktiannya tidak ada yang dapat mengalahkan Wlingi Kusuma. Akhirnya Wlingi kusuma dikeroyok rame-rame oleh empat bupati tadi. Wlingi Kusuma akhirnya kalah, tubuhnya dipotong-potong dan dikuburkan secara terpisah. Kakinya di kubur di sebuah tempat yang bernama Lemah Jejekan. Itu dulu ketika saya masih sekolah kalau ke tempat tersebut supaya tidak capek harus menginjak tempat itu.
93
Melihat kakanya meninggal Dyah Wasiati semakin bingung. Tidak mungkin dirinya menerima salah satu dari keempat bupati tersebut. Apalagi keempat bupati itu telah membunuh kakaknya. Sebenarnya Dyah Wasiati tidak suka terhadap keempat bupati tersebut. Seandainya memilih salah satunya, maka yang lainnya tidak akan bisa menerima. Akhirnya Dyah Wasiati memohon kepada orang tuanya untuk meminta petunjuk dengan jalan tapa pendem. Akhirnya Dyah Wasiati meninggal dunia. Teks 2 Neng jaman ganu ana rombongan sing nduwe maksud nggoleti lembah nggo ngadegna padepokan. Rombongan kuwe dipimpin Kyai Gandawesi, ditutke karo putrane Wlingi Kusuma lan Dyah Ayu Wasiati, uga bature Patrawisa lan Ketut Wlingi sing asale sekang Bali. Critane, sewise mlaku pirang-pirang ndina, pirang-pirang taun, tekan neng pinggir kali utawa kedung. Jebule kali kuwe wingit banget, akeh setane. Ben teyeng tekan sebrang, gelem ora gelem kudu nyebrang kali kuwe. Kyai Gandawesi banjur semedi, nyuwun pituduh karo sing gawe urip, kepriwe carane ben teyeng nyingkirna setan-setan kuwe. Sewise semedi, Kyai Gandawesi akhire teyeng nyingkirna setan-setan maring sawijining panggonan. Neng Kyai Gandawesi, panggonan setan-setan pada nyingkir diarani Penisihan, sing asale sekang tembung nyisih utawa nyingkir. Kedung sing dilewati mau dijenengi kedung Belis, sing tegese kedung kuwe kali, belis kuwe setan, dadi kedung belis artine kedung sing akeh setane. Panggonan nggo semedi diarani Pemujan, sekang tembung muja, muji tegese panggonan nggo muji. Akhire rombongan Kyai Gandawesi slamet nganti sebrang. tekan sebrang, rombongan kuwe mlebu maring gunung. Neng gunung, panggonan sing sekirane pas kanggo ngadegna padepokan urung keton. Malahan Kyai Gandawesi bingung milih arah ngendi sing bener. Akhire, nganggo kesakten sing diduweni, Kyai Gandawesi ngunggahna watu sing ukurane gedhe banget ditumpuk dadi siji. Sewise ditumpuk, banjur Kyai Gandawesi munggah maring nduwur watu, ndeleng arah. Sekang nduwur watu, katon panggonan sing kirane pas, arahe ngetan ngalor. Nganti siki, petilasan watu sing ditumpuk esih ana, diarani Watutumpang. Asale tembung, watu sing tumpang-tumpangan. Banjur Kyai Gandawesi serombongan nerusna mlakune.neng tengah dalan ketemu karo nini-nini. Karo nini-nini kuwe, Kyai Gandawesi takon, arah ngendi sing kudu dipilih tekan panggonan ngisor gunung, sing sekirane pas nggo ngadegna padepokan. Sewise njawab pitakone Kyai Gandawesi , nini-nini kuwe ngilang mbuh maring ngendi. Kanggo ngemuti kedadean kuwe, Kyai Gandawesi ngarani gununge, nganggo jeneng Gunung Nini.
94
Sewise mlaku maning selawas-lawas, akhire tekan maring panggonan sing digoleti. Nanging panggonane wujude esih alas-alas. Kyai Gandawesi ngongkon karo bature Ptrawisa lan Ketut Wlingi mbabad alas kuwe mau, nganti teyeng nggo ngedegna padepokan kanggo nuntut ngelmu. Pas lagi gawe kali, ndilalah Patrawisa kepleset nganti seda. Panggonan Patrawisa seda, diarani bendungan Patrawisa utawa Patrawingsa. Kali sing wis dadi diarani Kali Wlingi nggo ngormati bektine Ketut Wlingi. Sewise padepokan dadi, taun maring taun sengsaya tambah kesohor. Akeh banget wong-wong adoh pada teka kepengin merguru dadi muride Kyai Gandawesi. Padepokan kuwe dijenengneni Nimbasari, sing tegese nimba sari utawa nimba ngelmu. Tekan seprene aran Nimbasari dadi Limbasari, ndean anu salah ngomong. Amarga padepokane kesohor, keluargane Kyai Gandawesi uga melu kesohor lewih-lewih putrine Kyai Gandawesi sing arane Dyah Ayu Wasiati, sing ayu banget tur alus budhine. Ora tanggung-tanggung akeh jejaka sing nduwe niat nglamar, nanging Dyah Wasiati gumune ora gelem tetep ora gelem nrima lamarane salah siji jaka sing teka. Nganti sewijining dina, teka bupati cacahe papat. Bupati-bupati kuwe uga kepengin nglamar Dyah Wasiati. Nrima lamarane wong papat, apa maning bupati-bupati, gawe Dyah Wasiati sekeluarga pada kaget tur bingung. Bupati-bupati kuwe asmane Wira Yuda, Wira Tenaya, Wir Taruna, lan Wira Praja. Dyah Wasiati bingung banget kepriwe carane milih salah sijine, ning nek milih uga wedi mbok liyane pada gela. Ndeleng adhine kebingungen, Wlingi Kusuma ora tegel. Banjur ngusulna gawe sayembara adu kesakten. Sapa sing teyeng ngalahna dheweke, kuwe sing pantes dadi bojone adhine. Usulane Wlingi Kusuma mau dituruti kabehan bupati. Akhire ning dina sing wis ditetepna, Wlingi Kusuma karo patang bupati gelut adu kesekten. Mergane Wlingi Kusuma ngelmu kanuragane dhuwur, ora ana siji-sijia bupati sing teyeng ngalahna dheweke. Bupate papat dadi mangkel, jengkel banget karo Wlingi Kusuma, isin banget margane kalah. Akhire bupati-bupati mau pada rembugan, kepriwe carane ben teyeng ngalahna Wlingi Kusuma. Dalan siji-sijine ya kue ngroyok Wlingi Kusuma. Akhire Wlingi Kusuma dikroyok neng para bupati. Nanging Wlingi Kusuma tetep bae menang. Akhire bupati-bupati teyeng ngalahna Wlingi Kusuma nganggo dalan nugel-nugel awake Wlingi Kusuma ben ora teyeng nyambung lan ora nyenggol lemah. Akhire Wlingi Kusuma benar-bener sedha. Sewise Wlingi Kusuma sedha, mergane dikroyok, Dyah Wasiati tambah bingung merga kangmase kalah ora ijen ning dikroyok, dadi ora bisa milih sing ndi sing dadi jodone. Dheweke ngakoni yen kangmase wis kalah, nanging dheweke uga ora bias milih. Dijukut papat-papate jelas ora mungkin. Akhire ben gawe bupate pada ora gela tur seneng, Dyah Wasiati ngejokna penyuwunan. Dheweke kepengin nyuwun pituduh maring Gusti Allah nganggo dalan tapa pendem. Tapa pendem kuwi tapa ning ngisor bumi, gampangane tapa dikubur nang jero lemah. Dheweke nyuwun digawekna luang nggo tapa. Bupati-bupati banjur manut karo penyuwunane Dyah Wasiati. Kanggo ngerteni yen Dyah Wasiati wis oleh pituduh apa urung, nganggo benang seler. Benang kuwe dicekel Dyah Wasiati sing sebelah trus sing sebelah maning metu maring njaba luangan.
95
Angger benang kuwe esih uget-uget tandhane urung olih pituduh, ning angger wis meneng tegese wis olih pituduh.nek wis meneng luangane oleh dibongkar. Sewise dienteni pirang-pirang dina, akhire benange meneng. Bupatibupati seneng banget, cepet-cepet luangane didudah. Nanging, sewise dibongkar, Dyah Wasiati malah wis kaku, sedha. Bupati-bupati mau pda getun banget, nyesel, ngrasa salah karo Dyah Wasiati sekeluarga. Sewise kedadian kuwe, Kyai Gandawesi gawe larangan kanggo masyarakat padepokan Nimbasari. Mengko angger Nimbasari dadi negeri sing rakyate akeh tur makmur, aja ana prawan sing ayu, ayu banget ndawakna rambut nganti tekan ngisor dengkul. Dicritakna, Dyah Wasiati kuwe prawan sing ayu banget, rambute dawa apik banget tekan ngisor dengkul. Terjemahan Bahasa Indonesia; Pada zaman dahulu kala, terdapat serombongan orang yang bertujuan mencari lembah untuk mendirikan sebuah padepokan. Mereka adalah Kyai Gandawesi beserta dua putranya, Wlingi Kusuma dan Dyah Ayu Wasiati, dan dua orang pembantunya Patrawisa dan Ketut Wlingi yang berasal dari Bali. Dikisahkan, setelah sekian lama mengembara sampailah mereka di tepian sungai. Sungai tersebut sangat angker. Banyak makhluk halus berdiam di sungai tersebut. Agar dapat menyeberang, mau tidak mau mereka harus terjun kesungai. Karena keangkeran sungai tersebut Kyai Gandawesi melakukan semedi memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa agar dapat menyingkirkan makhluk halus tersebut. Dengan izin Allah, setan-setan tersebut dapat disingkirkan ke sebuah tempat. Kyai Gandawesi menamakan tempat menyingkirnya setan-setan tersebut dengan nama Penisihan, yang artinya tempat untuk menyisih atau menyingkir. Sementara tempat Kyai Gandawesi semedi diberi nama Pamujan yang berarti tempat untuk memuja. Sungai yang mereka lewati diberi nama Kedung Belis, kedung berarti sungai, dan belis berarti setan. Kedung Belis berarti
96
sungai yang banyak setannya. Akhirnya mereka berhasil menyeberang sungai dengan selamat dan sampailah mereka pada sebuah bukit. Di bukit tersebut, lembah yang mereka cari belum juga kelihatan. Kyai Gandawesi ingin melihat arah mana yang harus dituju untuk sampai kesebuah lembah. Dengan menggunakan kesaktian dan kekuatan yang dimiliki, menaikan batu berukuran raksasa untuk landasan tempat ia melihat arah. Dari atas batu inilah terlihat sebuah lembah yang terletak di arah timur laut dari tempatnya berdiri. Kemudian tempat ini diberi nama Watu Tumpang yang berarti batu yang tumpang tindih. Di tengah perjalanan menuju lembah tersebut, mereka bertemu dengan seorang nenek. Kyai Gandawesi kemudian bertanya kepada nenek tersebut, tentang arah mana yang harus ditempuh ke lembah untuk mendirikan sebuah padepokan. Setelah menjawab pertanyaan, nenek tersebut menghilang. Untuk mengenang kejadian tersebut Kyai Gandawesi memberi nama bukit tempat bertemu dengan nenek tersebut dengan nama Gunung Nini yang berarti gunung nenek. Setelah berjalan berhari-hari, sampailah mereka ke lembah yang dituju. Di lembah tersebut mereka mendirikan padepokan untuk menyebarkan ilmu. Pada waktu itu, lembah masih berupa hutan belantara. Kyai Gandawesi memerintahkan kepada dua orang pembantunya untuk membuka hutan sampai dapat digunakan untuk menetap. Pada saat kedua pembantunya yang bernama Patrawisa dan Ketut Wlingi membuat irigasi untuk mengairi lembah, Patrawisa jatuh terpeleset dan meninggal dunia. Tempat meninggalnya Patrawisa ini sampai sekarang bernama
97
Patrawisa atau Patrawingsa. Hasil saluran irigasi berupa aliran sungai dinamakan Sungai Wlingi untuk menghormati jasa Ketut Wlingi. Dari tahun ketahun, padepokan yang dipimpin Kyai Gandawesi semakin terkenal. Banyak orang yang datang untuk berguru ilmu kanuragan dan ilmu pengetahuan. Padepokan tersebut diberi nama Nimbasari, yang artinya menimba sari (ilmu). Nama Nimbasari kemudian berubah menjadi Limbasari. Tidak hanya padepokan saja yang terkenal, tetapi putri Kyai Gandawesi yang bernama Dyah Ayu Wasiati juga sangat terkenal dengan kecantikan parasnya dan kehalusan
budinya.
Tidak
sedikit
para
pemuda
yang
datang
hendak
mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Namun demikian lamaran para pemuda selalu ditolak oleh Dyah Ayu Wasiati. Pada suatu waktu, datanglah empat orang bupati bersama-sama dengan maksud mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Empat bupati tersebut adalah; Bupati Wirayuda, Bupati Wiratenaya, Bupati Wirataruna, dan Bupati Wirapraja. Lamaran keempat bupati ini membuat Dyah Ayu Wasiati menjadi bingung. Ia tidak mungkin memilih kempat-empatnya dan apabila salah satu dipilih maka yang lain akan kecewa dan marah. Melihat keresahan yang dialami Dyah Ayu Wasiati, Wlingi Kusuma sebagai kakak tidak tega melihatnya. Ia menawarkan jalan keluar dengan membuat sayembara. Sayembara tersebut berbunyi barang siapa yang mampu mengalahkannya, ia berhak mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Sayembara tersebut kemudian disetujui oleh Dyah Ayu Wasiati dan keempat bupati tersebut. Pertempuran antara Wlingi Kusuma dan para bupati pun dimulai. Namun karena
98
Wlingi Kusuma sangat sakti, maka tidak satu pun bupati yang sanggup mengalahkannya. Hal ini membuat resah para bupati. Mereka akhirnya sepakat untuk mengalahkan Wlingi Kusuma dengan jalan mengeroyoknya. Meskipun dikeroyok empat bupati Wlingi Kusuma tetap tak terkalahkan. Ia mempunyai kesaktian bahwa apabila ia mati kemudian jasadnya menyentuh tanah maka ia dapat hidup kembali. Melihat kondisi ini, para bupati kemudian memotongmotong tubuh Wlingi Kusuma yang saat itu mati agar tidak dapat bersatu lagi. Potongan-potongan tubuh Wlingi Kusuma kemudian, dibawa oleh para bupati. Bagian lambung yang dalam bahasa Jawa dinamakan bumbung dibawa bupati Wiratenaya ke kadipatennya di Penisihan. Namun dalam perjalanan bumbung itu akhirnya dikubur, karena Wiratenaya tidak tahan membawa lambung yang terus bergerak-gerak. Tempat untuk menguburkan lambung tersebut diberi nama Palumbungan yang diambil dari nama bumbungan. Bagian anggota tubuh Wlingi Kusuma berupa kepala dibawa Bupati Wirapraja ke daerah Tlahab dan dikuburkan di daerah tersebut. Tempat untuk menguburkan kepala Wlingi kusuma ini diberi nama Siregol, yang berarti sirah gigal atau kepala jatuh. Kaki Wlingi kusuma dibawa Bupati Wirayuda ke arah utara yaitu daerah Karang Jambu dan dikuburkan di tempat tersebut. Daerah ini kemudian diberi nama Lemah Jangkar. Alat kelamin Wlingi Kusuma juga dikuburkan didaerah tersebut. Dengan cara demikian akhirnya Wlingi Kusuma benar-benar tewas. Setelah Wlingi Kusuma tewas, kalah dalam pertempuran karena kelicikan para bupati, Dyah Ayu Wasiati semakin bingung. Kekalahan kakaknya
99
bukan oleh seorang bupati melainkan oleh keempat bupati tersebut. Sebagai seorang berbudhi mulia Dyah Ayu Wasiati mengakui kekalahan kakaknya dalam sayembara, tetapi ia tidak dapat memilih dari keempat bupati tersebut untuk menjadi suaminya. Untuk mengatasi hal ini, Dyah Ayu Wasiati kemudian mengajukan permohonan. Untuk menentukan siapa yang akan dipililih sebagai suaminya, ia akan memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa dengan jalan tapa pendhem (bertapa di dalam tanah). Ia kemudian meminta dibuatkan sebuah lobang untuk tempat bertapa. Permohonan akhirnya dapat diterima oleh para bupati. Untuk mengetahui apakah Dyah Ayu Wasiati sudah dapat petunjuk atau belum, maka digunakan seutas tali yang dipegang Dyah Ayu Wasiati bagian ujung dan bagian ujung yang lain menjulur keluar lobang bertapa. Apabila tali tersebut masih bergerak-gerak, maka manandakan Dyah Ayu Wasiati belum mendapat petunjuk. Apabila tali sudah diam tak bergerak menandakan Dyah Ayu Wasiati sudah dapat petunjuk dan lobang tempat bertapa dapat dibongkar. Setelah ditunggu oleh para bupati, akhirnya tali tersebut diam tak bergerak. Melihat hal ini dengan cepat para bupati membongkar lobang tempat Dyah Ayu Wasiati melakukan tapa pendhem. Para bupati semakin berharap bahwa dirinya lah yang akan terpilih untuk menjadi suami Dyah Ayu Wasiati. Namun setelah lobang dibongkar, betapa terkejutnya keempat bupati melihat jazad Dyah Ayu Wasiati yang telah terbujur kaku di dalamnya. Melihat kejadian ini para bupati menyadari kekeliruannya. Mereka sangat menyesal dan merasa bersalah kepada Dyah Ayu Wasiati dan keluarganya.
100
Setelah peristiwa menyedihkan tersebut, Kyai Gandawesi membuat larangan atau arahan kepada masyarakat Nimbasari pada saat itu, bahwa apabila nanti padepokan ini tambah maju, jika ada perempuan Nimbasari yang cantik jangan terlalu cantik, dan tidak boleh memanjangkan rambutnya melebihi lutut. Hal ini karena Dyah Ayu Wasiati diceritakan berambut panjang sampai lutut. Teks 3 Ceritane perawan ayu meniko intine, wonten lare estri ingkang ayu sanget, dilamar ning katah pemuda. Saking katahe, perawan ayu dados bingung. Wong siji ko’ dilamar wong akeh, mbok bingung? Lajeng perawan ayu niku nyuwun didamelaken luangan, carane arep tapa pendem. Mbuh kepripun, ya mbuh nguja napa mboten, perawan ayu niku gole tapa, sesampunipun dibuka sampun seda. Nggih duko tapaniku namung kangge jalaran, saking bingunge dados carane bunuh diri, nggih duko kepripun. Niku mung carios thok, leres mbotene nggih duko. Nanging niku, riyin pas jamane Londo. Londo-londo niku sami hormat sanget kalih pesareane perawan ayu. Nggih rumiyin kathah ingkang sami ngantos sujud-sujud kados nyembah, Londo-londo niku. Lajeng rumiyin nggih wonten tiang-tiang ingkang sami datheng ning pesareane perawan ayu niku. Nggih werni-werni tujuane, wonten sing mung ziarah, wonten sing nyuwun macem-macem. Niku riyin pas malem Jumat kliwon kalih Slasa kliwon, niku mesthi rame. Malah kathah tiang saking pundi-pundi sami ngantos sare teng mriku. Sesampune zaman kamardikan pesareane perawan ayu niku, nggih duko kepripun sampun mboten wonten ingkang nekani malih. Terjemahan Bahasa Indonesia Ceritanya Perawan Ayu itu intinya, ada anak perempuan yang sangat cantik dilamar banyak laki-laki. Karena banyaknya, perawan ayu menjadi bingung. Perempuan satu kok dilamar banyak laki-laki ya jadi bingung. Kemudian Perawan Ayu meminta dibuatkan lubang dalam tanah untuk bertapa didalam tanah. Tidak tahu bagaimana, apakah memang benar-benar sengaja atau tidak, Perawan Ayu itu, setelah tempat bertapa dibongkar ternyata ia telah meninggal.
101
Tidak tahu apakah bertapa hanya menjadi alasan baginya, karena sangat bingung menghadapi keadaan sehingga bunuh diri, atau memang tidak sengaja. Namun
dulu,
sewaktu
zaman
Belanda,
orang-orang
Belanda
menunjukan sifat hormat pada makam Perawan Ayu. Dahulu banyak yang sampai bersujud di hadapan Perawan Ayu. Dulu juga banyak orang yang berdatangan ke makam Perawan Ayu untuk berziarah, ada yang hanya berziarah, ada juga yang mempunyai maksud permintaan yang bermacam-macam. Ziarah semacam itu, dulu sering terjadi sewaktu malam Jumat Kliwon dan malam Selasa Kliwon. Sewaktu malam-malam tersebut, makam Perawan Ayu ramai. Banyak orang yang datang dari jauh sengaja datang untuk berziarah. Setelah zaman kemerdekaan, tidak tahu apa sebabnya sudah tidak ada lagi yang mengunjunginya. Teks 4 Nalika jaman semanten, wonten salah satunggaling senopati saking kerajaan Mataram ingkang mlajar datheng tlaltah Purbalingga. Ingkang didherek aken abdinipun kalih. Senopati wau ingkang asma Kyai Gandiwesi. Wonten ing Purbalingga senopati wau lajeng nyiaraken agami Islam saking satunggaling dusun maring satunggaling dusun kalian mbikak wana dados dusun, antawisipun dusun Rajawana, Baleraksa, Banjarkerta, Buara, ngantos dumugi datheng dusun Limbasari. Ingkang sewau dereng name dusun Limbasari, nanging sebab senopati wau ngedegaken padepokan wonten ing Limbasari. Padepokan wau ngantos kondang ing pundi kemawon. Sahingo kathah piantun ingkang sami datheng padepokan wau sami nimba ngilmu. Akhire dados diwastani desa Nimbasari. Ingkang ateges nimba Ilmu. Namung, sa, meniko terkenalipun dados desa Limbasari. Trus wonten nem-neman saking Bali asma Ketut Wlingi kalian Patrawangsa, badhe ngudi ngilmu datheng padepokan wau, ingkang dipun guruni ingih meniko Kyai Gandiwesi. Kyai Gandiwesi kagungan putro ingkang asmo Rumbiah. Ketut Wlingi dipun jodohaken kalian Rumbiah. Mbanjur kagungan putro kaliah inggih meniko Wlingi Kusuma kalian Dyah Wasiati.Wlingi Kusuma lare ingkang sekti sanget, dene Dyah Wasiati lare ingkang ayu sanget. Sehinggo padepokan Nimbasari sengsaya kondang. Kathah bupati-bupati ingkang badhe nglamar kalian Dyah Wasiati. Namun, sebabipun ingkang nglamar kathah Dyah Wasiati bingung. Akhiripun Ketut Wlingi ngawontenaken sayembara, sinten ingkang saged ngalahaken Wlingi Kusuma inggih meniko ingkang saged ketampi jodhone Dyah Wasiati. Akhiripun
102
bupati-bupati wau sami bertanding, namung Wlingi Kusuma mboten saged dipun kalahaken. Akhiripun bupati-bupati wau ngroyok kalian Wlingi Kusuma. Namung raganipun sesampunipun dipethil-pethil saged gandeng malih. Akhiripun ragane Wlingi Kusuma dipun pothong-pothong dibekto bupati-bupati wau. Wonten ingkang mbekto astonipun, gembungipun, samparanipun, dipun kubur piambakpiambak. Dyah Wasiati ngantos bingung, sebab kakangipun sampun dipun pejahi ko, adhinipun badhe nampi salah sawijine bupati. Akhiripun Dyah Wasiati nyuwun dipun damelakan luang kangge tapa. Kangge tenger dipun dekeki benang. Menawi benangipun teksih dipun tarik artinipun teksih gesang. Nanging manawi sampun mboten kenging ditarik artinipun sampun nilar. Antawis pitung dinten Dyah Wasiati wontening luang lajeng dipun tarik nanging mboten kenging. Akhiripun luangan dipun dhudhuk. Bupati kalian tiang sepahipun sami kaget antawisipun Dyah Wasiati sampun nilar. Para bupati sami kaget, sami kajogan, sami gumun dhene Dyah Wasiati ngorbanaken awakipun piambak kangge masyarakat. Amargi menawi Dyah Wasiati milih salah satunggaling bupati, mesti ndadosaken kawontenan mboten aman. Akhiripun tiang sepuhipun Dyah Wasiati kesah datheng sanesipun. Ingkang sa’meniko katelak desa Srandil ngantos seda wonten mrika. Terjemahan Bahasa Indonesia Pada zaman dahulu, ada salah satu senopati dari kerajaan Mataram, yang mengembara ke daerah Purbalingga diikuti oleh dua abdinya. Senopati itu bernama Kyai Gandiwesi. Di Purbalingga senopati tadi menyiarkan agama Islam dari satu desa ke desa yang lain, sekaligus membuka hutan menjadi desa, antara lain Desa Rajawana, Baleraksa, Banjarkerta, Buara sampai dengan Desa Limbasari. Desa Limbasari dahulunya belum bernama Desa Limbasari, tetapi sebab senopati tadi mendirikan padepokan di Limbasari. Padepokan tadi terkenal dimana-mana, sehingga banyak orang yang datang kepadepokan untuk menimba ilmu. Akhirnya dinamakan Desa Nimbasari yang berarti Nimba(menuntut) ilmu. Tetapi sesudahnya terkenal dengan nama Desa Limbasari.
103
Kemudian ada pemuda dari Bali yang bernama Ketut Wlingi dan Patrawisa, ingin menimba ilmu di padepokan yang mempunyai guru besar yaitu Kyai Gandiwesi. Kyai Gandiwesi mempunyai anak yang bernama Rumbiah. Ketut Wlingi dijodohkan dengan Rumbiah yang akhirnya mempunyai putra dua yaitu Wlingi Kusuma dan Dyah Wasiati. Wlingi Kusuma tumbuh sebagai pemuda yang sangat sakti dan Dyah Wasiati tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik. Sehingga padepokan menjadi terkenal. Banyak bupati datang untuk melamar Dyah wasiati. Akan tetapi karena yang melamar banyak Dyah Wasiati menjadi bingung. Akhirnya Ketut Wlingi mengadakan sayembara. Siapa yang dapat mengalahkan dirinya, dialah yang dapat diterima menjadi suami Dyah Wasiati. Akhirnya para bupati bertanding dengan Wlingi Kusuma. Karena Wlingi Kusuma sangat sakti tidak ada satupun bupati yang mengalahkannya. Akhirnya para bupati memutuskan untuk mengeroyok Wlingi Kusuma. Akan tetapi sampai badannya dipotong-potong Wlingi kusuma tetap dapat kembali hidup. Akhirnya tubuh Wlingi Kusuma dipotong-potong dan dibawa pergi. Ada yang membawa tangan, ada yang membawa lambung, ada yang membawa kaki, semuanya dikubur sendiri-sendiri. Dyah Wasiati menjadi bingung. Kakaknya sudah dibunuh, sementara ia harus memilih salah satu yang membunuh kakaknya untuk dijadikan suami. Akhirnya Dyah Wasiati meminta dibuatkan lubang untuk bertapa. Sebagai tanda diberi benang. Apabila benang tersebut masih dapat ditarik, berarti masih hidup, tetapi apabila sudah tidak dapat ditarik berarti sudah meninggal.
104
Kurang lebih setelah tujuh hari Dyah Wasiati berada dalam tanah, lalu benang ditarik sudah tidak bisa. Akhirnya tempat bertapa dibongkar. Para bupati dan orang tua Dyah Wasiati sangat terkejut karena Dyah Wasiati sudah meninggal. Para bupati sangat kaget dan menyesal, mereka kagum sebab Dyah Wasiati mau mengorbankan dirinya untuk masyarakat. Seandainya Dyah Wasiati memilih salah satu dari bupati, pasti akan menjadikan keadaan tidak aman. Akhirnya orang tua Dyah Wasiati pergi, sampai ke Desa Srandil dan meninggal di sana. Teks 5 Prawan Ayu niku kepripun nggih, critane kulo mboten ngertos. Nggih ngertine mung jerene wonten lare wadon ayu sanget. Jerene remone dhawa, kriting. Dhawane nganti sengisore dengkul. Jerene kuwi saking ayune ngantos mboten gadah jodho. Mulane bocah Limbasari angger ana sing ayu aja dawakna remo dhawa-dhawa. Mbok nasibe kaya putri ayu kuwi. Jodone angel, angele ya kuwe akeh banget sing seneng nganti deweke bingung, ya kayane. Trus, putri ayu kuwi mati. Kuburane kae nang kidule kuburan legok. Lha kuburane kan, nang ngarepe Bu Pat. Kae ya, jerene angger pendak wengi ana sing weruh padhang-padhang senduwure kuburan kuwi. Mulane kayane siki anake Bu Pat dadi wong kabeh. Uripe sugih-sugih nang Jakarta. Ya ndean gara-gara prawan ayu kae, wong jerene ganu cok wadag ngeton ning ngarepe Bu Pat. Terjemahan Bahasa Indonesia Perawan Ayu itu bagaimana ya, ceritanya saya tidak tahu pasti. Setahu saya, katanya ada anak perempuan yang sangat cantik. Katanya rambutnya panjang dan keriting. Panjangnya sampai melebihi lutut. Katanya itu, karena sangat cantiknya samapai tidak mempunyai jodoh. Oleh karena itu, anak perempuan di Limbasari kalau ada yang cantik tidak boleh memanjangkan rambutnya. Takut kalau nasibnya sama dengan Putri Ayu itu. Jodohnya susah. Karena banyak yang suka sampai bingung. Kemudian Putri Ayu itu mati.
105
Kuburannya itu yang sekarang di selatan pekuburan Desa Limbasari legok. Makam Putri Ayu itu, berada di depan rumah Ibu Pat (Fatimah, salah satu penduduk di Desa Limbasari). Katanya setiap malam ada yang melihat cahaya di atas makam tersebut. Oleh karena itu, sekarang anak-anak Ibu Pat menjadi orang yang berhasil semua. Hidupnya menjadi orang kaya. Mungkin dulu Prawan Ayu sering kali menampakan diri di depan Ibu Pat. 3. Kritik Teks Lisan Kegiatan kritik teks lisan merupakan suatu langkah untuk memberikan penilaian atau evaluasi terhadap teks, dengan cara meneliti, membandingkan teks satu dengan teks yang lainnya, serta menentukan teks yang paling baik untuk dijadikan bahan suntingan (Basuki,2004:39). Kegiatan kritik teks ini kemudian diberlakukan pada teks hasil wawancara dengan beberapa informan berkaitan dengan cerita PAL. Terdapat lima teks lisan yang didapatkan dari proses wawancara yaitu teks lisan dari Hj.Kaliyem (70 th), Besus Yunanto (45 th), Sarji (82 th), Sucipto (75 th), dan Runtah (80 th). Langkah-langkah kritik teks yang dilakukan dengan mengadopsi langkah kritik teks yang dilakukan oleh Basuki (2004:39) yaitu ; 1) pembacaan teks; 2) deskripsi teks; 3) perbandingan teks; 4) penetapan teks; 5) translasi teks; dan 6) penyuntingan teks. 1) Pembacaan Teks Langkah pertama kegiatan kritik teks adalah pembacaan atas teks yang berhasil didapatkan dari masyarakat Desa Limbasari. Kegiatan pembacaan teks ini
106
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana isi cerita, tokoh-tokoh dalam cerita, dan jalannya cerita.
2) Deskripsi Teks 2.1. Teks 1 Teks 1 didapat dari Kaliyem (70 th), pemilihan informan ini didasarkan atas pengetahuannya mengenai objek penelitian. Hasil wawancara menggunakan bahasa Jawa ngoko dialek Banyumas.
Hasil observasi dan wawancara tidak
terarah dengan masyarakat Desa Limbasari, dapat dikatakan bahwa Kaliyem merupakan salah satu warga Desa Limbasari yang dianggap mengerti mengenai cerita PAL . Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Kaliyem yang mengatakan sudah ada beberapa peneliti yang datang kepadanya untuk menceritakan cerita PAL. 2.2. Teks 2 Teks 2 didapat dari Besus Yulianto (45 th), pemilihan informan ini didasarkan atas pengetahuannya mengenai objek penelitian. Hasil observasi dan wawancara tidak terarah dengan masyarakat Desa Limbasari, didapat hasil bahwa di tengah masyarakat Desa Limbasari, Besus dianggap mampu bercerita tentang cerita PAL. Pendapat dari masyarakat ini tidak terlepas dari pengaruh ayahnya, seseorang yang dituakan dan pernah menjabat sebagai carik desa (almarhum). Hasil wawancara dengan Besus Yulianto (45 th) menggunakan bahasa Jawa
107
ngoko dialek Banyumas. Berdasarkan hasil pembacaan teks 2 ini, didapatkan pengetahuan bahwa cerita yang dituturkan Besus paling lengkap dibandingkan dengan informan lainnya.
2.3. Teks 3 Teks 3 didapat dari Sarji. Pemilihan informan ini didasarkan atas umur, pendidikan, pengetahuan mengenai objek penelitian, dan agama. Sarji merupakan penduduk Desa Limbasari yang telah berumur 82 tahun dan dituakan oleh masyarakat Desa Limbasari. Kenyataan sehari-hari, Sarji dikenal sebagai orang tua yang taat beribadah. Sarji dipilih sebagai informan yang mewakili golongan tua yang taat beribadah (golongan santri). Teks hasil wawancara dengan Sarji tidak lengkap, hanya berupa potongan-potongan cerita dan pengetahuan mengenai sejarah keberadaan cerita PAL bagi masyarakat Desa Limbasari. 2.4. Teks 4 Teks 4 didapat dari Sucipto (75 th). Pemilihan informan ini didasarkan atas umur, pendidikan, kedudukan di masyarakat, dan pengetahuan mengenai objek penelitian. Teks hasil wawancara dengan Sucipto banyak memiliki kesamaan alur dengan cerita teks cetak. Sucipto mengaku pernah membaca teks cetak sehingga ia mampu bercerita. 2.5. Teks 5 Teks 5 didapat dari Runtah (80 th). Pemilihan informan ini didasarkan atas umur, agama, pendidikan, dan pengetahuannya mengenai objek penelitian.
108
Runtah merupakan penduduk Desa Limbasari yang tergolong berusia tua dan dikenal tidak tekun dalam menjalankan ibadah. Teks hasil wawancara dengan Runtah berisi potongan-potongan cerita PAL yang ditambah dengan informasi mengenai keberadaan cerita PAL bagi masyarakat Desa Limbasari yang beraroma mistis. Deskripsi cerita PAL dari teks 1 sampai dengan teks 5 dapat dilihat pada bab identifikasi dan deskripsi teks lisan. 3) Perbandingan Teks Cerita PAL sebagai sebuah folklor memiliki karekteristik yaitu disebarkan secara lisan. Penyebaran secara lisan ini menimbulkan adanya variasi cerita. Variasi bahkan versi cerita ini terjadi karena mengandalkan daya ingat pencerita. Daya ingat masing-masing pencerita berbeda-beda. Pencerita yang daya ingatnya kuat akan menuturkan cerita sesuai dengan apa yang didengarkannya oleh penutur cerita sebelumnya mendekati kesamaan dengan cerita yang diperolehnya. Sementara pencerita yang daya ingatnya kurang akan menuturkan cerita sesuai dengan apa yang diingatnya. Melalui proses lupa manusia, maka apa yang diingat masing-masing pencerita berbeda-beda. Berdasarkan hal ini maka kelima varian yang cerita PAL yang telah diperoleh dari penutur cerita selanjutnya dibandingkan, untuk melihat persamaan dan perbedaan dari masing masingmasing varian cerita. Perbandingan dari 5 teks cerita lisan PAL dilakukan berdasarkan unsur-unsur pembangun teks tersebut. Teks cerita PAL pada hakikatnya adalah karya sastra, maka unsur pembangunnya adalah unsur-unsur intrinsik karya sastra.
109
Unsur-unsur intrinsik yang dapat dijadikan pembanding meliputi tema, plot, tokoh, latar, dan amanat. Perbandingan teks-teks tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
110
Tabel 2 Perbandingan Teks Lisan PAL Perbandingan Tema
Plot
Tokoh
Latar
Amanat
Teks 1 Kisah pendirian padepokan Nimbasari dan kemundurannya Dimulai dari Kyai Gandawesi yang terkenal, perjalanan Patrawisa dan Ketut Wlingi mencari ilmu, padepokan Nimbasari terkenal, kedatangan para bupati, pertempuran dengan Wlingi Kusuma dan meninggalnya Dyah Wasiati
Teks 2
Kisah pendirian padepokan Nimbasari dan kemundurannya Dimulai dari perjalanan rombongan Gandawesi mencari lembah, mendirikan padepokan, padepokan Nimbasari terkenal, kedatangan para bupati, pertempuran dengan Wlingi Kusuma dan meninggalnya Dyah Wasiati Kyai Gandiwesi, Ketut Kyai Gandawesi, Ketut Wlingi, Patrawisa, Wlingi Wlingi, Patrawisa, Wlingi Kusuma, Dyah Wasiati, Kusuma, Dyah Wasiati empat bupati dan empat bupati Rajawana, Sungai, Pamujan, Sungai, Penisihan, Watutumpang, Gunung Pamujan, Watutumpang, Nini, Padepokan Nimbasari, Gunung Nini, Padepokan Bendungan Patrawisa Nimbasari, Bendungan Patrawisa, Sungai Wlingi Kecantikan dan kekuatan Kecantikan dan kekuatan seseorang dapat membawa seseorang dapat membawa malapetaka malapetaka
Teks 3 Kecantikan seorang Prawan Ayu
Teks 4
Teks 5
Kisah Pendirian Padepokan Nimbasari dan kemundurannya Dimulai dari perjalanan Kyai Gandiwesi membuka daerah untuk dijadikan pedesaan, mendirikan padepokan Nimbasari, pertarungan para bupati dengan Wlingi kusuma dan kematian Dyah Wasiati.
Kecantikan Prawan Ayu.
Prawan ayu
Kyai Gandiwesi, Dyah Wasiati, 2 orang abdi, Ketut Wlingi, dan para bupati
Prawan ayu
Limbasari
Purbalingga, Rajawana, Baleraksa, Banjarkerta, Limbasari, Desa Srandil.
Limbasari
Kecantikan yang dimiliki seseorang dapat membawa malapetaka
Pengorbanan seseorang demi ketentraman desa
Larangan memanjangkan rambut bagi perempuan Desa Limbasari
Terdapat seorang prawan ayu yang kesulitan mencari pasangan hidupnya dan meninggal karena tapa pendhem.
seorang
Terdapat seorang wanita cantik yang kesulitan mencari pasangan hidupnya
111
4) Suntingan Teks Hasil dari perbandingan teks-teks lisan tersebut, dapat dikatakan bahwa teks lisan hasil penuturan Besus Yunanto merupakan teks lisan yang paling lengkap. Perbedaan-perbedaan dengan teks lisan dari informan yang lain tidak begitu menonjol, atas dasar hal-hal tersebut teks tuturan dari Besus Yunanto ini dijadikan suntingan akhir teks lisan cerita PAL. Suntingan akhir teks cerita PAL adalah sebagai berikut : Neng jaman ganu ana rombongan sing nduwe maksud nggoleti lembah nggo ngadegna padepokan. Rombongan kuwe dipimpin Kyai Gandawesi, ditutke karo putrane Wlingi Kusuma lan Dyah Ayu Wasiati, uga bature Patrawisa lan Ketut Wlingi sing asale sekang Bali. Critane, sewise mlaku pirang-pirang ndina, pirang-pirang taun, tekan neng pinggir kali utawa kedung. Jebule kali kuwe wingit banget, akeh setane. Ben teyeng tekan sebrang, gelem ora gelem kudu nyebrang kali kuwe. Kyai Gandawesi banjur semedi, nyuwun pituduh karo sing gawe urip, kepriwe carane ben teyeng nyingkirna setan-setan kuwe. Sewise semedi, Kyai Gandawesi akhire teyeng nyingkirna setan-setan maring sawijining panggonan. Neng Kyai Gandawesi, panggonan setan-setan pada nyingkir diarani Penisihan, sing asale sekang tembung nyisih utawa nyingkir. Kedung sing dilewati mau dijenengi kedung Belis, sing tegese kedung kuwe kali, belis kuwe setan, dadikedung belis artine kedung sing akeh setane. Panggonan nggo semedi diarani Pemujan, sekang tembung muja, muji tegese panggonan nggo muji. Akhire rombongan Kyai Gandawesi slamet nganti sebrang.tekan sebrang, rombongan kuwe mlebu maring gunung. Neng gunung, panggonan sing sekirane pas kanggo ngadegna padepokan urung keton. Malahan Kyai Gandawesi bingung milih arah ngendi sing bener. Akhire, nganggo kesakten sing diduweni, Kyai Gandawesi ngunggahna watu sing ukurane gedhe banget ditumpuk dadi siji.Sewise ditumpuk, banjur Kyai Gandawesi munggah maring nduwur watu, ndeleng arah. Sekang nduwur watu, katon panggonan sing kirane pas, arahe ngetan ngalor. Nganti siki, petilasan watu sing ditumpuk esih ana, diarani Watutumpang. Asale tembung, watu sing tumpang-tumpangan. Banjur Kyai Gandawesi serombongan nerusna mlakune.neng tengah dalan ketemu karo nini-nini. Karo nini-nini kuwe, Kyai gandawesi takon, arah ngendi sing kudu dipilih tekan panggonan ngisor gunung, sing sekirane pas nggo ngadegna padepokan. Sewise njawab pitakone Kyai Gandawesi , nini-nini kuwe ngilang mbuh maring ngendi. Kanggo ngemuti kedadean kuwe, Kyai Gandawesi ngarani gununge, nganggo jeneng Gunung Nini.
112
Sewise mlaku maning selawas-lawas, akhire tekan maring panggonan sing digoleti. Nanging panggonane wujude esih alas-alas. Kyai Gandawesi ngongkon karo bature Ptrawisa lan Ketut Wlingi mbabad alas kuwe mau, nganti teyeng nggo ngedegna padepokan kanggo nuntut ngelmu. Pas lagi gawe kali, ndilalah Patrawisa kepleset nganti seda. Panggonan Patrawisa seda, diarani bendungan Patrawisa utawa Patrawingsa. Kali sing wis dadi diarani Kali Wlingi nggo ngormati bektine Ketut Wlingi. Sewise padepokan dadi, taun maring taun sengsaya tambah kesohor. Akeh banget wong-wong adoh pada teka kepengin merguru dadi muride Kyai Gandawesi. Padepokan kuwe dijenengneni Nimbasari, sing tegese nimba sari utawa nimba ngelmu. Tekan seprene aran Nimbasari dadi Limbasari, ndean anu salah ngomong. Amarga padepokane kesohor, keluargane Kyai Gandawesi uga melu kesohor lewih-lewih putrine Kyai Gandawesi sing arane Dyah Ayu Wasiati, sing ayu banget tur alus budhine. Ora tanggung-tanggung akeh jejaka sing nduwe niat nglamar, nanging Dyah Wasiati gumune ora gelem tetep ora gelem nrima lamarane salah siji jaka sing teka. Nganti sewijining dina, teka bupati cacahe papat. Bupati-bupati kuwe uga kepengin nglamar Dyah Wasiati. Nrima lamarane wong papat, apa maning bupati-bupati, gawe Dyah Wasiati sekeluarga pada kaget tur bingung. Bupati-bupati kuwe asmane Wira Yuda, Wira Tenaya, Wira Taruna, lan Wira Praja. Dyah Wasiati bingung banget kepriwe carane milih salah sijine, ning nek milih uga wedi mbok liyane pada gela. Ndeleng adhine kebingungen, Wlingi Kusuma ora tegel. Banjur ngusulna gawe sayembara adu kesakten. Sapa sing teyeng ngalahna dheweke, kuwe sing pantes dadi bojone adhine. Usulane Wlingi Kusuma mau dituruti kabehan bupati. Akhire ning dina sing wis ditetepna, Wlingi Kusuma karo ptang bupati gelut adu kesekten. Mergane Wlingi Kusuma ngelmu kanuragane dhuwur, ora ana siji-sijia bupati sing teyeng ngalahna dheweke. Bupati papat dadi mangkel, jengkel banget karo Wlingi Kusuma, isin banget margane kalah. Akhire bupati-bupati mau pada rembugan, kepriwe carane ben teyeng ngalahna Wlingi Kusuma. Dalan siji-sijine ya kue ngroyok Wlingi Kusuma. Akhire Wlingi Kusuma dikroyok neng para bupati. Nanging Wlingi Kusuma tetp bae menang. Akhire bupati-bupati teyeng ngalahna Wlingi Kusuma nganggo dalan nugel-nugel awake Wlingi Kusuma ben ora teyeng nyambung lan ora nyenggol lemah. Akhire Wlingi Kusuma benar-bener sedha. Sewise Wlingi Kusuma sedha, mergane dikroyok, Dyah Wasiati tambah bingung merga kangmase kalah ora ijen ning dikroyok, dadi ora bisa milih sing ndi sing dadi jodone. Dheweke ngakoni yen kangmase wis kalah, nanging dheweke uga ora bias milih. Dijukut papat-papate jelas ora mungkin. Akhire ben gawe bupate pada ora gela tur seneng, Dyah Wasiati ngejokna penyuwunan. Dheweke kepengin nyuwun pituduh maring Gusti Allah nganggo dalan tapa pendem. Tapa pendem kuwi tapa ning ngisor bumi, gampangane tapa dikubur nang jero lemah. Dheweke nyuwun digawekna luang nggo tapa. Bupati-bupati banjur manut karo penyuwunane Dyah Wasiati. Kanggo ngerteni yen Dyah Wasiati wis oleh pituduh apa urung, nganggo benang seler. Benang kuwe dicekel Dyah Wasiati sing sebelah trus sing sebelah maning metu maring njaba luangan.
113
Angger benang kuwe esih uget-uget tandhane urung olih pituduh, ning angger wis meneng tegese wis olih pituduh.nek wis meneng luangane oleh dibongkar. Sewise dienteni pirang-pirang dina, akhire benange meneng. Bupatibupati seneng banget, cepet-cepet luangane didudah. Nanging, sewise dibongkar, Dyah Wasiati malah wis kaku, sedha. Bupati-bupati mau pda getun banget, nyesel, ngrasa salah karo Dyah Wasiati sekeluarga. Sewise kedadian kuwe, Kyai Gandawesi gawe larangan kanggo masyarakat padepokan Nimbasari. Mengko angger Nimbasari dadi negeri sing rakyate akeh tur makmur, aja ana prawan sing ayu, ayu banget ndawakna rambut nganti tekan ngisor dengkul. Dicritakna, Dyah Wasiati kuwe prawan sing ayu banget, rambute dawa apik banget tekan ngisor dengkul. 4. Identifikasi dan Deskripsi Teks Cetak Berdasarkan hasil observasi ke Desa Limbasari dan wawancara dengan beberapa informan, diperoleh informasi bahwa cerita PAL sudah pernah ditulis dan dibukukan. Melalui pegawai Pemerintah Daerah bernama Momot Prabowo penulis berhasil memperoleh teks tulis PAL. Naskah tersebut tidak diakui sebagai miliknya, melainkan milik seorang pegawai Dinas Pendidikan dan kebudayaan yang telah purna tugas sejak lama bernama Soeritno. Soeritno ini menurut informan sudah tidak diketahui tempat tinggalnya. Teks tulis cerita PAL berbentuk cetakan. Teks ini merupakan hasil penelitian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1987 berjudul Pasang Surut Lereng Timur Laut Gunung Slamet: Kisah Putri Ayu Limbasari. Deskripsi naskah cetak cerita PAL adalah sebagai berikut: Judul
: “Pasang Surut Lereng Timur Laut Gunung Slamet: Kisah Putri Ayu Limbasari”
Jenis naskah
: Cetakan
Bahasa naskah
: Indonesia
Tahun penulisan
: 1987
114
Tempat penulisan
: Bobotsari
Penulis
: Anonim
Pemilik naskah
: Soeritno
Bahan naskah
: Kertas
Warna tinta
: Hitam
Kondisi naskah
: Baik dan terbaca, jilidan terlepas
Jumlah halaman
: 68 halaman
Jumlah baris perhalaman
: hal 55 terdapat 11 baris hal 7, 46 terdapat 16 baris hal 2, 6 terdapat 17 baris hal 12, 25, 29 terdapat 19 baris hal 16, 19, 20, 26, 27 terdapat
22 baris
hal 22, 28, 30-37, 41-45, 47, 50-54 terdapat
23
baris hal 48, 49, 15 terdapat 24 baris Jumlah halaman yang ditulis: 64 halaman Jumlah halaman kosong
: 4 halaman
Jumlah lembar pelindung :
-
Ukuran
: 20,5 x 16 cm
Penomoran halaman
: menggunakan angka latin di tengah atas halaman
Warna sampul
: coklat tua
Jenis huruf
: ketikan
Ringkasan
:
Syekh Gandiwesi yang berasal dari Ngerum menghadap Panembahan Senopati di Mataram untuk meminta izin menyebarkan agama Islam di Jawa.
115
Setelah
mendapatkan
izin,
Syekh
Gandiwesi
mengadakan
perjalanan
menyebarkan agama Islam dengan ditemani lima senopati beserta prajuritnya. Masing-masing senopati mendirikan daerah pemerintahan, dan Syekh Gandiwesi mendirikan padepokan bernama Nimbasari. Sementara itu, Ketut Wlingi dan Patrawisa yang berasal dari Bali, pergi ke Jawa untuk mencari ilmu. Akhirnya mereka tiba di Nimbasari dan berguru di tempat tersebut. Ketut Wlingi dinikahkan dengan Siti Rumbiah, anak Syekh Gandiwesi. Sedangkan Patrawisa meninggal ketika membuat saluran air. Perkawinan Ketut Wlingi dan Siti Rumbiah menghasilkan dua orang anak, yaitu Wlingi Kusuma dan adiknya Dyah Wasiati. Ketut Wlingi merupakan anak laki-laki yang mempunyai ilmu kesaktian yang mumpuni, sedangkan Dyah Wasiati tumbuh sebagai perempuan yang cantik jelita. Suatu ketika datang empat bupati yang dahulunya adalah para senopati yang mengiring perjalanan Syekh Gandiwesi hendak melamar Dyah Wasiati. Lamaran serentak keempat bupati tersebut membuat Dyah Wasiati menjadi bingung. Melihat kebingungan adiknya Wlingi Kusuma mengadakan sayembara adu kekuatan. Siapa yang dapat mengalahkan dirinya dialah yang berhak mempersunting adiknya. Pada sayembara tersebut Wlingi Kusuma kalah. Kekalahan ini diakibatkan para bupati mengroyok Wlingi Kusuma dengan jalan memotongmotong tubuh Wlingi Kusuma untuk dikubur secara terpisah. Kekalahan Wlingi Kusuma yang tidak seharusnya ini membuat Dyah Wasiati semakin bingung.
116
Akhirnya dia memutuskan untuk mencari petunjuk Tuhan dengan jalan bertapa di dalam tanah. Akhirnya Dyah Wasiati meninggal dunia. Secara garis besar tidak terdapat perbedaan yang berarti antara teks lisan dan teks cetak. Faktor campur tangan peneliti (pegawai dinas Pendidikan dan Kebudayaan ) pada waktu itu, dapat dikatakan kecil. Hal ini dapat dilihat dari indikasi bahwa, apa yang ditulis dalam teks PAL cetak tidak jauh berbeda dengan apa yang diingat kolektifnya. 5. Perbandingan Teks Lisan dengan Teks cetak Meskipun teks cetak/tulis berasal dari teks lisan, namun tidak menutup kemungkinan terjadi interpolasi. Interpolasi adalah penambahan atau pengisian unsur-unsur baru pada sebuah cerita (teks). Misalnya pada waktu memperoleh cerita rakyat tidak lengkap, tidak jelas, atau tidak sesuai dengan nilai budaya atau norma yang berlaku di masyarakat, maka biasanya ada kecenderungan bahwa secara sadar atau tidak sadar terjadi proses penambahan, penggantian, atau penghilangan unsur-unsur cerita yang sudah dikenal. Begitu pula dengan teks lisan, karena mengandalkan daya ingat pencerita, maka umumnya ditemukan banyak varian bahkan versi dari sebuah cerita. Namun, perbedaan hanya berada pada bagian luarnya, sedangkan bentuk dasarnya tetap sama, Dananjaja (Ratri,2008:57). Teks lisan dan teks cetak cerita PAL banyak mengandung perbedaan. Perbedaan ini berada pada tataran permukaan, bentuk atau inti dari cerita tetap sama. Pada proses pembedaan ini teks lisan dijadikan sebagai landasan. Hal-hal yang dapat dijadikan faktor pembeda antara teks lisan dan teks cetak, yakni pelaku
117
cerita (tokoh) dan alur (jalan cerita). Proses penamaan suatu tempat juga dijadikan faktor pembeda karena cerita PAL dapat dikategorikan bergenre legenda. Perbedaan pertama dari segi pelaku cerita atau tokoh. Pada teks cetak ada beberapa tokoh yang tidak terdapat pada teks lisan. Tokoh-tokoh dalam teks cetak lebih banyak diceritakan, sementara pada teks cetak tidak diceritakan. Untuk mengetahui lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3 Perbandingan Tokoh Teks Lisan dengan Teks Cetak PAL Tokoh
Teks Lisan
1 2 Kyai Gandawesi (KG) Penutur tidak menyebutkan asal-usul tokoh ini
Siti Rumbiah (SR)
Tidak terdapat dalam teks lisan
Ketut Wlingi (KW)
Pembantu Kyai Gandawesi yang berasal dari Bali
Wlingi Kusuma (WK) Anak dari Kyai Gandawesi Dyah Wasiati (DW) Anak dari Kyai atau Dyah Ayu Gandawesi Wasiati (DAW) Patrawisa (P) Pembantu Kyai Gandawesi berasal dari Bali
Teks Cetak 3 Menyebut dengan sebutan Syekh Gandiwesi (SG), berasal dari luar Jawa yaitu Ngerum Anak dari Syekh Gandiwesi, menikah dengan Ketut Wlingi dan menurunkan Dyah Wasiati dan Wlingi Kusuma Pengembara dari Bali yang ingin mencari ilmu, menikah dengan Siti Rumbiah, menurunkan Dyah Wasiati dan Wlingi Kusuma Anak dari Ketut Wlingi dan Siti Rumbiah Anak dari Ketut Wlingi dan Siti Rumbiah Bersama Wlingi Kusuma dari Bali mengembara untuk mencari ilmu
118
1 Wira Tenaya (WT)
2 Salah satu bupati yang melamar Dyah Wasiati berasal dari Kadipaten Penisihan
Wira Praja (WP)
Salah satu bupati yang melamar Dyah Wasiati, tidak ada keterangan darimana bupati ini berasal
Wira Yuda (WY)
Salah satu bupati yang melamar Dyah Wasiati, tidak ada keterangan darimana bupati ini berasal
Wira Truna (WTr)
Salah satu bupati yang melamar Dyah Wasiati, tidak ada keterangan darimana bupati ini berasal
Wira Tama (WT)
Tidak ditemui
3 Senopati yang awalnya mengawal perjalanan Sekh Gandiwesi, kemudian menjadi bupati di Penisihan. Salah satu bupati yang melamar Dyah Wasiati Senopati yang awalnya mengawal perjalanan Sekh Gandiwesi, kemudian menjadi bupati di Sawangan. Salah satu bupati yang melamar Dyah Wasiati Senopati yang awalnya mengawal perjalanan Sekh Gandiwesi, kemudian menjadi bupati di Bandingan. Salah satu bupati yang melamar Dyah Wasiati Senopati yang awalnya mengawal perjalanan Sekh Gandiwesi, kemudian menjadi bupati di Wanalaya dan Beji. Salah satu bupati yang melamar Dyah Wasiati Senopati yang awalnya mengawal perjalanan Sekh Gandiwesi, kemudian menjadi bupati di Baleraksa.
Perbedaan kedua dari segi alur. Pada teks lisan, penutur langsung bercerita ketika Kyai Gandawesi mengembara mencari tempat untuk mendirikan padepokan. Sementara pada teks cetak PAL cerita diawali dari Kyai Gandiwesi menghadap Panembahan Senopati, raja Kerajaan Mataram. Secara terperinci perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
119
Tabel 4 Perbandingan Alur atau Jalan Cerita Teks Lisan dengan Teks Cetak PAL
Jalan Cerita 1 Permulaan Cerita
Anggota rombongan Kyai Gandawesi (KG) Perjalanan Kyai Gandawesi
Tempat pemerintahan yang didirikan KG selama perjalanan
Rintangan dalam perjalanan KG
Proses Pendirian Padepokan Nimbasari
Teks Lisan
Teks Cetak
2 Cerita dimulai dari pengembaraan Kyai Gandawesi mencari tempat untuk mendirikan padepokan Wlingi Kusuma, Dyah Wasiati, Ketut Wlingi, dan Patrawisa Melakukan pengembaraan mencari lembah untuk tempat mendirikan padepokan
3 Cerita diawali dari Syekh Gandiwesi (SG) yang berasal dari Ngerum, menghadap Raja Mataram Diiringi oleh 5 senopati dan prajurit 5 bregada
Berawal dari Mataram rombongan SG menuju ke Ardi Lawet, singgah di Rajawana, kemudian melakukan perjalanan menyebarkan agama Islam Mendirikan (membangun) Membangun pemerintahan Padepokan Nimbasari dengan nama Baleraksa, Bandingan, Wanalaya, Beji, Penisihan, Sawangan, dan Padepokan Nimbasari Mendapat rintangan dari Ketika membangun makhluk halus sewaktu Baleraksa mendapat akan menyeberang sungai rintangan dari siluman dan kesulitan dalam yang berujud ular raksasa. menentukan arah Mendapat gangguan dari perjalanan makhluk halus bernama Lawa Ijo ketika dalam perjalanan Setelah menempuh Setelah berhasil perjalanan, rombongan mendirikan pemerintahan KG sampai ke sebuah di Baleraksa, Wanalaya, lembah, di lembah inilah Beji, Sawangan, KG mendirikan padepokan Penisihan, SG mendirikan padepokan untuk menyebarkan agama Islam setelah terlebih dahulu meminta izin ke Mataram
120
1 Perjalanan KG meninggalkan Nimbasari
2 Tidak diceritakan
Perjalanan Wlingi Kusuma dan Patrawisa Rintangan perjalanan Wlingi Kusuma (WK) dan Patrawisa (P) Pertemuan dengan seorang nenek di tengah perjalanan
Proses pembuatan irigasi
3 Setelah menyerahkan kepemimpinan padepokan kepada Ketut Wlingi, SG pergi ke selatan Keduanya ikut dalam Keduanya datang dari Bali rombongan KG yang ke Jawa untuk mencari melakukan pengembaraan ilmu, tidak bersama-sama SG Rintangan yang dihadapi Ketika bersemedi mencari adalah rintangan yang petunjuk, WK diganggu dihadapi oleh rombongan makhluk halus yang KG diperkirakan berasal dari sungai Seorang nenek memberi Seorang nenek mendatangi petunjuk kepada KG WK dalam semedinya, dengan menunjukan arah memberi petunjuk arah menuju lembah untuk menemukan seorang guru besar Ketika sampai di tempat Padepokan Nimbasari yang cocok untuk semakin berkembang, membangun padepokan, semakin banyak kebutuhan KG memerintah WK dan P hidup terutama kebutuhan untuk membuka hutan dan air. Ketut Wlingi membuat irigasi agar mengusulkan untuk tempat tersebut dapat membuat selokan (irigasi) dijadikan tempat tinggal untuk memenuhi kebutuhan air seluruh penghuni Nimbasari
Faktor pembeda ketiga adalah proses penamaan suatu tempat, secara terperenci dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5 Perbandingan Penamaan Tempat Teks Lisan dengan Teks Cetak PAL Penamaan Tempat 1 Penamaan Baleraksa
Teks Lisan 2 Tidak diceritakan
Teks Cetak 3 Desa yang pertama kali dibangun SG setelah membuka hutan di sebalah barat Ardilawet, Senopati Wiratama diangkat menjadi pemimpin di daerah ini
121
1 Penamaan Kedung Ula
2 Tidak diceitakan
Penamaan Kramat
Tidak diceritakan
Penamaan Lawa Ijo
Tidak diceritakan
Penamaan Bandingan
Tidak diceritakan
Penamaan Maribaya
Tidak diceritakan
Penamaan Sabuk
Tidak diceritakan
Penamaan Wanalaya dan Beji
Tidak diceritakan
Penamaan Lutung
Tidak diceritakan
Penamaan Gampingan
Tidak diceritakan
3 Sungai yang menjadi tempat pelarian ular raksasa yang diusir SG Ketika akan membangun Baleraksa Tempat para prajurit yang sakit diistirahatkan dan dirawat akibat terkena benturan antara SG dengan Lawa Ijo Tempat pemberhentian setelah lari dari ganguan Lawa Ijo. Di tempat ini SG menyusun siasat Daerah pertahanan Senopati WiraYuda dari serangan Lawa Ijo yang kemudian menjadi tempat pemerintahannya Tempat berkumpulnya para prajurit dan senopati setelah menjalankan strategi dengan berpencar untuk mengalahkan Lawa Ijo Tempat seorang prajuti menemukan sabuk (ikat pinggang) milik seseorang dari rombongan prajurit Wiratruna Pemukiman dan pemerintahan yang dibangun oleh Wiratruna dan rombongan prajurit yang sakit Hutan yang diremui oleh rombongan SG yang dihuni banyak lutung (sejenis kera berbulu hitam) Tempat yang ditemukan SG berupa bukit kecil yang tanahnya berwarna putih menyerupai batu gamping (tanah kapur)
122
1 2 Penamaan Tidak diceritakan Sungai Tuntunggunung Penamaan Tidak diceritakan Limbangan
Penamaan Buara
Tidak diceritakan
Penamaan penisihan
Tempat menyingkirnya makhluk halus yang diusir KG ketika akan menyeberangi sungai
Penamaan Sawangan
Tidak diceritakan
Penamaan Pamujan
Tempat KG melakukan semedi memohon pertolongan Tuhan untuk mengusir mahkluk halus
Penamaan Kedung Belis
Sungai yang dilewati KG yang dihuni banyak makhluk halus
Penamaan Watutumpang
Petilasan batu bertumpuk yang dibuat KG sebagai landasan untuk melihat arah tujuan perjalanan Tempat KG bertemu dengan seorang nenek yang menunjukan arah yang harus ditempuh Tidak dikatakan sebagai bendungan, tetapi tempat Patrawisa terpeleset dan meninggal
Penamaan Gunung Nini
Penamaan bendungan Patrawisa
3 Sungai yang ditemukan SG yang tidak mempunyai mata air Tempat SG mempertimbangkan ke mana arah perjalanan selanjutnya Tempat yang dibuat para prajurit untuk tempat peristirahatan pada waktu malam Tempat pemerintahan yang dibangun oleh rombongan SG di sebelah timur Sungai Klawing di bawah pimpinan Wira Tenaya. Dinamakan Penisihan untuk memperingati kekuatan SG yang berhasil menyingkirkan makhluk halus Tempat pemerintahan yang dibangun rombongan SG di bawah pimpinan Wira Praja Tempat Ketut Wlingi melakukan semedi untuk mencari petunjuk arah mana yang harus ditempuh untuk menemukan seorang Guru Sungai yang menjadi asal makhluk halus yang mengganggu semedi Wlingi Kusuma Puncak bukit tempat semedi Wlingi Kusuma yang berbentuk dari tiga buah batu besar bertumpuk Bukit yang ditujuk seorang nenek dalam semedi Wlingi Kusuma Bendungan di Sungai Tuntunggunung yang dibangun oleh Patrawisa
123
1 Penamaan lemah Jejekan / Lemah Jangkar Penamaan Candi Si Konthol
2 Tempat bupati Wira Yuda mengubur kaki Wlingi Kusuma dinamakan Lemah Jangkar Tidak diceritakan
3 Tempat bupati Wira Yuda mengubur kaki Wlingi Kusuma, dinamakan Lemah Jejekan Petilasan empat bupati Beji mengubur kemaluan Wlingi Kusuma
Berdasarkan pada perbedaan-perbedaan yang telah dikemukakan tersebut, dapat dikatakan bahwa teks cetak lebih lengkap dari teks lisan. Namun demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa teks cetak lebih benar dari teks lisan. Keberadaan cerita rakyat bersifat anonim dan milik bersama. Berbagai variasi yang ada adalah konsekuensi dari kepemilikan yang komunal, sehingga masingmasing
anggota masyarakat bebas untuk menceritakannya sesuai dengan
keinginannya. Hal yang perlu mendapat tekanan dalam hal ini adalah bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak merubah inti cerita sehingga struktur cerita PAL tetap sama. 6. Suntingan Teks Cerita Putri Ayu Limbasari Suntingan akhir cerita PAL diperlukan untuk menganalisis cerita ini sehingga diketahui makna atau pesan-pesan yang ada dalam cerita. Suntingan ini menggunakan metode gabungan, yaitu menggabungkan teks lisan dengan teks cetak. Langkah
penggabungan teks lisan dan teks cetak dilakukan dengan
pertimbangan, bahwa dalam kenyataannya teks cetak pun mengalami proses penurunan secara lisan (Ratri,2008:67). Hal ini membuktikan bahwa tradisi cetak dan lisan bercampur di masyarakat Desa Limbasari. Untuk kepentingan suntingan teks lisan menjadi data primer, sedangkan teks cetak dijadikan varian pelengkapnya. Suntingan cerita PAL adalah sebagai berikut.
124
Pada zaman dahulu, terdapat serombongan orang yang melakukan perjalanan untuk membangun padepokan. Rombongan tersebut dipimpin oleh Kyai Gandawesi yang berasal dari kerajaan Mataram dengan diikuti Siti Rumbiah, Ketut Wlingi, Patrawisa dan beberapa prajurit. Ketut Wlingi dan Patrawisa adalah murid serta pembantu Kyai Gandawesi yang berasal dari Bali. Kemudian karena Ketut Wlingi bertabiat baik, rajin dan cakap, akhirnya dinikahkan dengan anak Kyai Gandawesi yaitu Siti Rumbiah. Perkawinan Ketut Wlingi dan Siti Rumbiah ini dikaruniai dua orang anak, yaitu Wlingi Kusuma dan Dyah Ayu Wasiati. Wlingi Kusuma tumbuh menjadi pemuda yang cakap, pemberani, dan mempunyai kesaktian yang tinggi, sementara Dyah Ayu Wasiati tumbuh menjadi gadis yansg cantik jelita serta halus budi pekertinya. Dikisahkan, setelah sekian lama mengembara sampailah mereka di tepian sungai. Sungai tersebut sangat angker. Banyak makhluk halus berdiam di sungai tersebut. Agar dapat mencapai seberang mau tidak mau mereka harus menyeberangi sungai tersebut. Kyai Gandawesi melakukan semedi memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa agar dapat menyingkirkan makhluk halus tersebut. Dengan izin Allah, setan-setan tersebut dapat disingkirkan ke sebuah tempat. Kyai Gandawesi menamakan tempat menyingkirnya setan-setan tersebut dengan nama Penisihan, yang artinya tempat untuk menyisih atau menyingkir. Sementara tempat Kyai Gandawesi semedi diberi nama Pamujan yang berarti tempat untuk memuja. Sungai yang mereka lewati diberi nama Kedung Belis, kedung berarti sungai, dan belis berarti setan. Kedung Belis berarti sungai yang banyak setannya. Akhirnya mereka berhasil menyeberang sungai dengan selamat. Setelah berhasil menyeberangi sungai rombongan Kyai Gandawesi sampai di sebuah bukit. Di bukit tersebut, Kyai Gandawesi kebingungan dalam memilih arah mana yang tepat untuk dituju. Berbekal kesaktian dan kekuatan yang dimiliki, ia menaikan batu berukuran raksasa untuk landasan tempat ia melihat arah. Dari atas batu inilah terlihat sebuah lembah yang terletak di arah timur laut dari tempatnya berdiri. Lembah tersebut terlihat cocok untuk membangun sebuah padepokan, karena letaknya yang strategis, yaitu diapit dua buah sungai di timur dan barat dan disebelah utara terdapat perbukitan. Kemudian tempat untuk melihat arah ini diberi nama Watu Tumpang yang berarti batu yang tumpang tindih. Di tengah perjalanan menuju lembah tersebut, mereka bertemu dengan seorang nenek. Kyai Gandawesi kemudian bertanya kepada nenek tersebut, tentang arah mana yang harus ditempuh ke lembah untuk mendirikan sebuah padepokan. Setelah menjawab pertanyaan, nenek tersebut menghilang. Untuk mengenang kejadian tersebut Kyai Gandawesi memberi nama bukit tempat bertemu dengan nenek tersebut dengan nama Gunung Nini yang berarti gunung nenek. Setelah berjalan berhari-hari, sampailah mereka ke lembah yang dituju. Di lembah tersebut mereka mendirikan padepokan untuk menyebarkan ilmu. Pada waktu itu, lembah masih berupa hutan belantara. Kyai Gandawesi memerintahkan kepada dua orang pembantunya untuk membuka hutan sampai dapat digunakan untuk membuat padepokan. Pada saat kedua pembantunya yang bernama Patrawisa dan Ketut Wlingi membuat irigasi dan bendungan untuk memenuhi
125
kebutuhan air di lembah, Patrawisa jatuh terpeleset dan meninggal dunia. Tempat meninggalnya Patrawisa ini sampai sekarang bernama Patrawisa atau Patrawingsa. Hasil saluran irigasi berupa aliran sungai dinamakan Sungai Wlingi untuk menghormati jasa Ketut Wlingi. Akhirnya di lembah tersebut dibangun padepokan yang diberi nama Nimbasari. Nama ini diambil karena di padepokan tersebut orang-orang dapat menuntut ilmu (nimba artinya menuntut, sari artinya ilmu). Nama Nimbasari lama-kelamaan kemudian berubah menjadi Limbasari. Dari tahun ketahun padepokan Nimbasari semakin terkenal sampai jauh keluar wilayah, dengan gurunya Kyai Gandawasi, ada juga yang menyebutnya Kyai Kendilwesi. Kyai Gandawesi menyadari bahwa umurnya telah lanjut. Tibalah saatnya untuk menyesihkan diri menekuni hari tuanya. Akhirnya dia berpamitan dengan penghuni padepokan. Kepemimpinan dan pengelolaan padepokan diserahkan kepada menantunya Ketut Wlingi. Kyai Gandawesi meninggalkan Nimbasari menuju daerah pesisir selatan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kemana Kyai Gandawesi mengembara. Disuatu daerah pantai di Kabupaten Cilacap terdapat sebuah makam yang dikenal sebagai makam Kendilwesi. Petilasan itulah yang kemungkinan merupakan tanda bahwa Kyai Gandawasi atau Kyai Kendilwesi pernah tinggal di kawasan tersebut. Nimbasari tidak hanya padepokan saja yang terkenal, tetapi putri penghuni padepokan pun turut terkenal terutama Dyah Ayu Wasiati juga sangat terkenal dengan kecantikan parasnya dan kehalusan budinya. Tidak sedikit para pemuda yang datang hendak mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Namun demikian lamaran para pemuda selalu ditolak oleh Dyah Ayu Wasiati. Pada suatu waktu, datanglah empat orang bupati bersama-sama dengan maksud mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Empat bupati tersebut adalah; Bupati Wirayuda dari Bandingan, Bupati Wiratenaya dari penisihan, Bupati Wirataruna dari Beji, dan Bupati Wirapraja dari Sawangan. Lamaran keempat bupati ini membuat Dyah Ayu Wasiati menjadi bingung. Ia tidak mungkin memilih kempat-empatnya dan apabila salah satu dipilih maka yang lain akan kecewa dan marah. Apabila bupati yang tidak terpilih marah, maka akan membuat penghuni padepokan akan resah dan takut. Hal ini disebabkan para bupati mempunyai kedudukan dan pengaruh disekitar Nimbasari, apalagi mereka dulu adalah murid Kyai Gandawesi. Melihat keresahan yang dialami Dyah Ayu Wasiati, Wlingi Kusuma sebagai kakak tidak tega melihatnya. Ia menawarkan jalan keluar dengan membuat sayembara. Sayembara tersebut berbunyi barang siapa yang mampu mengalahkannya, ia berhak mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Sayembara tersebut kemudian disetujui oleh Dyah Ayu Wasiati dan keempat bupati tersebut. Pertempuran antara Wlingi Kusuma dan para bupati pun dimulai. Namun karena Wlingi Kusuma sangat sakti, maka tidak satu pun bupati yang sanggup mengalahkannya. Hal ini membuat resah para bupati. Mereka akhirnya sepakat untuk mengalahkan Wlingi Kusuma dengan jalan mengeroyoknya. Meskipun dikeroyok empat bupati Wlingi Kusuma tetap tak terkalahkan. Ia mempunyai kesaktian bahwa apabila ia mati kemudian jasadnya menyentuh tanah maka ia dapat hidup kembali. Melihat kondisi ini, para bupati kemudian memotongmotong tubuh Wlingi Kusuma yang saat itu mati agar tidak dapat bersatu lagi.
126
Potongan-potongan tubuh Wlingi Kusuma kemudian, dibawa oleh para bupati. Bagian lambung yang dalam bahasa Jawa dinamakan bumbung dibawa bupati Wiratenaya ke kadipatennya di Penisihan. Namun dalam perjalanan bumbung itu akhirnya dikubur, karena Wiratenaya tidak tahan membawa lambung yang terus bergerak-gerak. Tempat untuk menguburkan lambung tersebut diberi nama Palumbungan yang diambil dari nama bumbungan. Bagian anggota tubuh Wlingi Kusuma berupa kepala dibawa Bupati Wirapraja ke daerah Tlahab dan dikuburkan di daerah tersebut. Tempat untuk menguburkan kepala Wlingi Kusuma ini diberi nama Siregol, yang berarti sirah gigal atau kepala jatuh. Kaki Wlingi kusuma dibawa Bupati Wirayuda ke arah utara yaitu daerah Karang Jambu dan dikuburkan di tempat tersebut. Daerah ini kemudian diberi nama Lemah Jangkar. Wirataruna membawa kemaluan Wlingi Kusuma dikuburkan di tepi sungai Laban. Tempat itu kemudian dinamakan Gunduk Sikonthol. Gundukan itu sampai sekarang apabila ditanami berbagai tanaman selalu mati atau tidak berbuah. Dengan cara demikian akhirnya Wlingi Kusuma benar-benar tewas. Meninggalnya Wlingi Kusuma dengan cara licik membuat marah Ketut Wlingi. Ia berniat menuntut balas, tetapi Siti rumbiah dan Dyah Ayu Wasiati segera menyadarkannya. Apabila Ketut Wlingi menuruti hawa nafsu, dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan di Nimbasari. Setelah ditenangkan oleh anak dan istrinya, Ketut Wlingi akhirnya menyadari bahwa kematian Wlingi Kusuma sudah menjadi suratan takdir. Setelah Wlingi Kusuma tewas, kalah dalam pertempuran karena kelicikan para bupati, Dyah Ayu Wasiati semakin bingung. Apalagi ketika para bupati menagih janji atas kekalahan Wlingi Kusuma. Kekalahan kakaknya bukan oleh seorang bupati melainkan oleh keempat bupati tersebut. Sebagai seorang berbudhi mulia Dyah Ayu Wasiati mengakui kekalahan kakaknya dalam sayembara, tetapi ia tidak dapat memilih dari keempat bupati tersebut untuk menjadi suaminya. Untuk mengatasi hal ini, Dyah Ayu Wasiati kemudian mengajukan permohonan. Untuk menentukan siapa yang akan dipililih sebagai suaminya, ia akan memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa dengan jalan tapa pendhem (bertapa di dalam tanah). Ia kemudian meminta dibuatkan sebuah lobang untuk tempat bertapa. Permohonan akhirnya dapat diterima oleh para bupati. Untuk mengetahui apakah Dyah Ayu Wasiati sudah dapat petunjuk atau belum, maka digunakan seutas tali yang dipegang Dyah Ayu Wasiati bagian ujung dan bagian ujung yang lain menjulur keluar lobang bertapa. Tali ini dimasukan ke dalam bambu yang sekaligus sebagai tempat bernafas. Apabila tali tersebut masih bergerak-gerak, maka manandakan Dyah Ayu Wasiati belum mendapat petunjuk. Apabila tali sudah diam tak bergerak menandakan Dyah Ayu Wasiati sudah dapat petunjuk dan lobang tempat bertapa dapat dibongkar. Setelah ditunggu beberapa hari oleh para bupati, akhirnya tali tersebut diam tak bergerak. Melihat hal ini dengan cepat para bupati membongkar lobang tempat Dyah Ayu Wasiati melakukan tapa pendhem. Para bupati semakin berharap bahwa dirinyalah yang akan terpilih untuk menjadi suami Dyah Ayu Wasiati. Namun setelah lobang dibongkar, betapa terkejutnya keempat bupati
127
melihat jazad Dyah Ayu Wasiati yang telah terbujur kaku di dalamnya. Melihat kejadian ini para bupati menyadari kekeliruannya. Mereka sangat menyesal dan merasa bersalah kepada Dyah Ayu Wasiati dan keluarganya. Setelah peristiwa tersebut, Ketut Wlingi membuat larangan atau arahan kepada masyarakat Nimbasari pada saat itu, bahwa apabila nanti padepokan ini tambah maju, jika ada perempuan Nimbasari yang cantik jangan terlalu cantik, dan tidak boleh memanjangkan rambutnya melebihi lutut. Hal ini karena Dyah Ayu Wasiati diceritakan berambut panjang sampai lutut. Apabila terdapat perempuan yang cantiknya menyamai Dyah Wasiati, maka hidupnya tidak akan tentram dan tidak akan berumur panjang. Proses penelitian yang telah penulis paparkan di atas, mulai dari proses pemerolehan cerita PAL yang berada di masyarakat sampai dengan pemerolehan suntingan teks yang lengkap dapat penulis gambarkan pada skema berikut ini.
Masyarakat PAL
wawancara
Teks Lisan
transkripsi translasi
Varian teks lisan
kritik teks lisan gabungan
Suntingan Teks Lengkap
Teks Cetak perbandingan
Suntingan Teks Lisan
Gambar 2 Skema Pemerolehan Suntingan Cerita PAL Skema tersebut menunjukkan bahwa cerita PAL yang masih ada di tengah masyarakat diambil melalui proses wawancara. Proses ini menghasilkan teks lisan, kemudian teks lisan hasil wawancara di lakukan transkripsi dan translasi. Hasil transkripsi dan translasi ini ditemukan varian teks yang diperoleh dari beberapa informan yang telah diwawancarai. Proses selanjutnya adalah membuat kritik teks lisan yaitu suatu langkah untuk memberikan penilaian atau
128
evaluasi terhadap teks, dengan cara meneliti, membandingkan teks satu dengan teks yang lainnya, serta menentukan teks yang paling baik untuk dijadikan bahan suntingan. Suntingan teks hasil kritik teks lisan ini kemudian dibandingkan dengan teks cetak yang di masyarakat. Proses terakhir adalah menggabungkan teks lisan dengan teks cetak, dengan teks lisan sebagai data primer dan teks cetak sebagai pelengkap. Melalui proses penggabungan ini maka diperoleh suntingan teks lengkap. Proses analisis selanjutnya adalah menganalisis struktur, nilai moral, dan pelestarian cerita PAL dengan bersumber dari suntingan teks lengkap. Sebelum proses analisis ini terlebih dahulu penulis sampaikan penyebaran cerita PAL di wilayah Kabupaten Purbalingga. Hal ini diperlukan untuk mengetahui sejauhmana penyebaran cerita PAL di wilayah tersebut. 7. Penyebaran Cerita PAL Berdasarkan hasil wawancara terarah dan tidak terarah terhadap informan, didapat keterangan bahwa cerita PAL masyarakat Purbalingga.
cukup luas dikenal oleh
Informasi mengenai penyebaran cerita dengan
menggunakan teknik terarah menggunakan instrumen pertanyaan sebagai berikut; apakah informan mengetahui cerita PAL, darimanakah mereka mengenal cerita tersebut, apakah mereka mengenal dengan baik atau hanya sebatas tahu, apakah informan asli dari penduduk tempat tersebut. Jawaban-jawaban yang didapat dari informan atas pertanyaanpertanyaan tersebut menunjukan bahwa informan mengetahui cerita PAL. Jika jawaban mereka mengenai cerita PAL hanya sebatas tahu, artinya mereka
129
mengenal bahwa ada sebuah legenda Putri Ayu di Desa Limbasari, namun mereka tidak mengerti secara baik cerita tersebut. Jawaban seperti “ jerene ta iya ana cerita putri ayu ning nyong ora ngerti critane kepriwe” (katanya iya ada cerita putri ayu tapi saya tidak tahu ceritanya bagaimana), mengindikasikan bahwa informan tidak memahami cerita dan dapat disimpulkan bahwa penyebaran cerita PAL tidak sampai ke daerah tersebut. Sementara jika informan mengetahui cerita PAL, namun dalam variasi yang berbeda maka penulis mengganggap bahwa cerita PAL mengalami penyebaran ke daerah tersebut. Variasi sebuah cerita merupakan sebuah keniscayaan karena cerita ini tersebar melalui lisan. Berdasarkan analisis terhadap jawaban-jawaban informan tersebut, maka penyebaran cerita PAL dapat tergambar pada peta penyebaran di bawah ini.
Gambar 3 Peta Penyebaran Cerita PAL di Kab. Purbalingga
130
Berdasarkan peta penyebaran di atas , maka penyebaran cerita PAL cukup luas, yaitu meliputi 8 kecamatan dari 18 kecamatan yang ada di Kabupaten Purbalingga. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Kecamatan Bobotsari, Karangreja, Karangjambu, Karanganyar, Kertanegara, Karangmoncol, Rembang, dan Kecamatan Mrebet. Kecamatan terjauh dari pusat cerita adalah Kecamatan Rembang. 8. Analisis Struktur Cerita PAL Model Strukturalisme Levi Strauss Setelah proses identifikasi dan deskripsi teks lisan, kritik teks lisan, identifikasi dan deskripsi teks cetak, perbandingan teks lisan dengan teks cetak, maka didapat suntingan teks cerita PAL. Selanjutnya suntingan cerita PAL sebagai sebuah karya sastra yang merupakan wahana untuk menyampaikan angan-angan pemiliknya, tentu saja memiliki sejumlah konsep, pedoman, dan pandangan tertentu masyarakat penciptanya. Ekspresi ide-ide, pandangan dan konsep berpikir yang terekam di dalam karya sastra merupakan pesan-pesan kolektif.
Untuk mengetahui makna dari
pesan karya tersebut, perlu analisis dari latar belakang budaya pembentuknya, yaitu budaya Jawa. Namun, seringkali pesan-pesan tersebut berada dalam bentukbentuk simbolik. Agar dapat menginterprestasikannya, diperlukan langkahlangkah dan metode-metode tersendiri. Metode sturkturalisme Levi Strauss diterapkan pada cerita PAL untuk menggali pesan-pesan yang ada. Metode ini berfokus pada struktur yang terbagi menjadi dua macam, yaitu struktur permukaan/luar dan struktur dalam. Melalui struktur dalam inilah, pesan-pesan tersebut dapat diketahui. Pada tataran lebih
131
lanjut, konsep keseluruhan pesan menunjukan bagaimana pandangan dan konstruksi pemikiran kolektifnya dalam memandang, menafsirkan, memaknai, dan
menghadapi
konflik-konflik
yang
terjadi
pada
realitas
kehidupan
(Ratri,2008:71-73). Analisis terhadap struktur luar dan struktur dalam cerita PAL adalah sebagai berikut. 8.1. Struktur Permukaan/luar Cerita PAL Struktur permukaan cerita rakyat PAL pada dasarnya adalah cerita PAL itu sendiri. Selanjutnya cerita tersebut dibagi kedalam beberapa episode. Pembagian ini bertujuan untuk memudahkan penentuan ceriteme yang dapat memperlihatkan struktur permukaan dan sebagai pijakan proses analisis selanjutnya. 8.1.1. Episode-episode dalam cerita PAL Episode I Perjalanan Rombongan Kyai Gandawesi Rombongan Kyai Gandawesi yang terdiri dari Kyai Gandawesi, Ketut Wlingi, Patrawisa, Siti Rumbiah dan beberapa prajurit mengadakan perjalanan. Sampai di sebuah sungai yang angker, Kyai Gandawesi memohon petunjuk pada Tuhan untuk menyingkirkan makhluk halus agar rombongan dapat menyeberang sungai dengan selamat. Episode II Kisah Perjalanan Rombongan meneruskan perjalanan setelah berhasil menyeberangi sungai. Kyai Gandawesi kebingungan ketika harus menentukan arah perjalanan. Dengan kekuatan dan kesaktiannya, ia menumpuk batu berukuran raksasa sebagai tempat landasan untuk melihat arah. Dari atas batu tersebut terlihat lembah yang
132
baik untuk mendirikan sebuah padepokan. Arahnya adalah ke sebelah timur. Ketika dalam perjalanan, rombongan tersebut bertemu dengan seorang nenek yang sebenarnya penjelmaan makhluk halus. Kyai Gandawesi bertanya kepada nenek tersebut kemana arah lembah yang dituju. Setelah memberi petunjuk arah nenek tersebut menghilang. Episode III Mendirikan Padepokan Ketika sampai di lembah yang dituju, kondisi lembah masih berupa hutan belantara. Oleh sebab itu, Kyai Gandawesi memerintahkan Ketut Wlingi dan Patrawisa untuk membuka hutan tersebut. Sewaktu membuat saluran irigasi (sungai) Patrawisa mengalami musibah dan meninggal. Episode IV Padepokan Nimbasari Episode ini menceritakan mulai padepokan Nimbasari berdiri dan perkembangannya. Padepokan semakin maju dan terkenal, disamping itu penghuni padepokan yang bernama Wlingi Kusuma dan Dyah Ayu Wasiati juga turut terkenal sebagai pemuda dan pemudi yang memiliki banyak kelebihan. Wlingi Kusuma terkenal karena kesaktiannya, sementara Dyah Ayu Wasiati terkenal karena kehalusan budi dan kecantikannya. Di sisi lain, karena umur Kyai Gandawesi yang semakin tua, maka ia mengambil keputusan untuk meninggalkan padepokan, melanjutkan pengembaraan. Padepokan dipercayakan
kepada
menantunya Ketut Wlingi. Episode V Empat Bupati Melamar Dyah Ayu Wasiati Suatu hari datang empat bupati (Wiratenaya, Wirapraja, Wirayuda, Wiratruna) datang melamar Dyah Ayu Wasiati secara bersamaan. Kedatangan
133
para bupati ini membuat bingung Dyah Ayu Wasiati. Wlingi Kusuma sebagai kakak Dyah Ayu Wasiati mengusulkan membuat sayembara adu kekuatan. Siapa yang dapat menghalahkan Wlingi Kusuma, dialah yang berhak mempersunting adiknya. Para bupati menyetujui usul tersebut. Ternyata tidak ada salah satu bupatipun yang dapat mengalahkan Wlingi Kusuma. Akhirnya, para bupati sepakat untuk mengeroyok Wlingi Kusuma dan memotong-motong tubuhnya untuk dikubur secara terpisah. Dengan jalan ini akhirnya Wlingi Kusuma kalah. Kekalahan Wlingi Kusuma dengan cara dikeroyok menyebabkan Dyah Ayu Wasiati tidak dapat menentukan pilihan siapa yang berhak menjadi jodohnya. Akhirnya ia mengajukan untuk tapa pendem di dalam tanah untuk memohon petunjuk Tuhan. Setelah waktu yang ditentukan, tempat bertapa dibongkar dan didapati Dayah Ayu Wasiati telah meninggal. 8.1.2. Unit-Unit dalam Episode-Episode Cerita PAL Setelah tahap mendeskripsikan cerita PAL ke dalam episode-episode, langkah selanjutnya adalah menentukan ceriteme. Penentuan ceriteme ini didapat dari rangkaian hubungan sintagmatik dan paradigmatik; sinkronis dan diakronis unit-unit dalam episode-episode cerita PAL. Untuk memudahkan penentuan ceriteme episode-episode dalam cerita PAL dibagi ke dalam unit-unit. Unit-unit dalam episode-episode cerita PAL adalah sebagai berikut. Unit-unit dalam Episode I 1) Kyai Gandawesi berputri Siti Rumbiah 2) Siti Rumbiah menikah dengan Ketut Wlingi
134
3) Siti Rumbiah dan Ketut Wlingi mempunyai anak Wlingi Kusuma dan Dyah Ayu Wasiati 4) Mengadakan perjalanan 5) Bertemu makhluk halus 6) Meminta pertolongan Tuhan 7) Mendapatkan pertolongan 8) Makhluk halus diusir Unit-unit dalam Episode II 1) Kesulitan menentukan arah perjalanan 2) Mencari petunjuk dengan kekuatan dan kesaktian 3) Mendapatkan petunjuk 4) Bertemu makhluk halus 5) Mendapatkan bantuan Unit-unit dalam Episode III 1) Sampai di tempat tujuan 2) Lembah berupa hutan 3) Membuka hutan 4) Patrawisa gugur Unit-unit dalam Episode IV 1) Padepokan didirikan dan terkenal 2) Kyai Gandawesi mewariskan padepokan kepada Ketut Wlingi 3) Kyai Gandawesi mengembara ke selatan
135
Unit-unit dalam Episode V 1) Empat bupati melamar Dyah Ayu Wasiati 2) Dyah Ayu Wasiati mendapat kesulitan 3) Bantuan dari Wlingi Kusuma 4) Sayembara perang tanding 5) Wlingi Kusuma menang 6) Para bupati mengeroyok Wlingi Kusuma 7) Wlingi Kusuma kalah 8) Dyah Ayu Wasiati meminta petunjuk Tuhan 9) Dyah Ayu Wasiati meninggal 8.1.3.Tataran Sinkronik dan Diakronik Unit-unit dalam Episode Cerita PAL Unit-unit yang telah ditemukan kemudian disusun berdasarkan tataran sinkronik dan diakronik. Hal ini dilakukan untuk menentukan struktur permukaan sebuah cerita atau mitos. Unit-unit dalam mitos merupakan serangkaian relasi yang saling berhubungan. Relasi-relasi antarunit pada satu titik waktu tertentu disebut sinkronik. Sedangkan relasi-relasi yang berubah mengikuti perkembangan waktu disebut diakronik. Pada praktiknya relasi sinkronik ditempatkan mendahului relasi diakronik, artinya sebelum perkembangan secara diakronis (historis) diketahui, harus diketahui terlebih dahulu kondisi sinkroniknya. Tabel berikut ini menggambarkan deret sinkronik dan diakronik episode-episode cerita PAL.
136
Tabel 6 Deret Sinkronik dan Diakronik Cerita PAL Deret Sinkronik dan Diakronik Episode I
1 1
2 2
II
3 3
4 4
5 *5
6 *6
*4
7 *7 *5
8 8
9
10
11
*1
2
3
III IV V
*8
12
13
14
15
1
2
3
4
16
17
18
1
2
3
*2
Keterangan ; 1. Nomor angka (1, 2, 3 dst) adalah urutan unit-unit dalam setiap episode 2. Tanda asterisk (*) menjelaskan kedudukan unit-unit tersebut dalam relasi diakronik
19
20
21
22
23
24
25
1
3
4
5
6
7
9
137
Pada tabel tersebut terlihat bahwa hubungan sinkronik terletak pada relasi unit-unit dalam setiap episode. Sementara untuk tataran diakronik dapat dilihat pada unit ke 5 pada episode I dengan unit ke 4 pada episode II, yaitu bertemu makhluk halus, unit ke 6 episode I dengan unit 8 episode V yaitu meminta pertolongan Tuhan, unit ke 7 episode I dengan unit ke 5 episode II yaitu mendapat pertolongan, unit ke 1 episode II dengan unit ke 2 episode V yaitu mendapat kesulitan. Dari relasi sinkronik dan diakronik, dapat diambil ceriteme cerita PAL. Suatu kalimat dianggap sebagai suatu miteme atau cireteme bilamana dia mendeskripsikan atau memperlihatkan adanya suatu relasi, atau kalimat tersebut melukiskan
hubungan-hubungan
tertentu
antarelemen
dalam
(Putra,2006:208). Cireteme-cireteme dalam cerita PAL adalah sebagai berikut; 1) Siti Rumbiah (SR) menikah dengan Ketut Wlingi (KW) 2) Bertemu makhluk halus 3) Meminta pertolongan Tuhan 4) Kesulitan menentukan arah 5) Menggunakan kesaktian 6) Membuka hutan 7) Kyai Gandawesi (KG) mewariskan padepokan kepada Ketut Wlingi 8) Kyai Gandawesi mengembara ke selatan 9) Empat bupati berebut satu putri (Dyah Ayu Wasiati) 10) Wlingi Kusuma menolong Dyah Ayu Wasiati
cerita.
138
11) Bupati mengeroyok Wlingi Kusuma 12) Dyah Ayu Wasiati meninggal Dari ceriteme-ceriteme yang telah ditemukan kemudian disusun secara sintagmatik dan paradigmatik seperti tampak pada tabel berikut ini. Tabel 7 Susunan Sintagmatik dan Paradigmatik Ceriteme PAL Kolom I
Kolom II
Kolom III
Kolom IV
SR menikah dengan KW Bertemu dengan Meminta makhluk halus pertolongan Tuhan Kesulitan menentukan arah
Menggunakan kesaktian
Membuka hutan
KG mewariskan padepokan kepada KW
KG mengembara ke selatan Empat bupati berebut DAW
WK menolong DAW Para bupati mengeroyok WK DAW meninggal
Ceriteme-ceriteme pada tabel di atas dapat dibaca dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah. Dari kiri ke kanan memperlihatkan jalan cerita PAL yang
139
merupakan relasi sintagmatik. Sedangkan relasi paradigmatik diperoleh dari pembacaan atas ke bawah. Kolom I menunjukan suatu “hubungan kekeluargaan” yang terdiri dari ceriteme SR menikah dengan KW dan KG mewariskan padepokan kepada KW. Kolom II menunjukan berbagai macam “konflik” yang terjadi di dalam cerita PAL. Konflik yang diperlihatkan adalah bertemu makhluk halus, kesulitan menentukan arah, membuka hutan, empat bupati berebut DAW. Kolom III menunjukan “penyelesaian konflik” yang terjadi pada kolom II, yaitu dengan meminta pertolongan Tuhan, menggunakan kesaktian, WK menolong DAW, dan para bupati mengeroyok WK. Kolom IV menunjukan “orientasi kehidupan” yang dituju dari tokoh-tokoh dalam cerita, KG mengembara ke selatan dan DAW meninggal. Hasil dari pembacaan secara sintagmatik memperlihatkan bahwa cerita PAL menceritakan kehidupan manusia di dunia, dimulai dari pernikahan, yang dimaknai sebagai proses pembentukan keluarga dan diakhiri dengan orientasi setelah kehidupan berakhir. Di lain pihak, pembacaan secara paradigmatik menunjukan hubungan asosiasi terhadap suatu kategori yang sama. Hubungan semacam ini juga memperlihatkan bahwa berbagai bentuk pilihan peristiwa yang muncul mengalami proses transformasi. Hal ini juga menunjukan bahwa peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam hidupnya sangat beragam. Analisis berkaitan dengan struktur permukaan cerita PAL yang telah penulis paparkan di atas dapat lebih mudah dipahami dengan gambar skema berikut ini.
140
Suntingan Teks Lengkap Cerita PAL
Episode I s.d. Episode V
Unit/unit
Sinkronik dan dia kronik
Ceriteme
Santagmatik dan paradigmatik
1) Siti Rumbiah (SR) menikah dengan Ketut Wlingi (KW) 2) Bertemu makhluk halus 3) Meminta pertolongan Tuhan 4) Kesulitan menentukan arah 5) Menggunakan kesaktian 6) Membuka hutan 7) Kyai Gandawesi (KG) mewariskan padepokan kepada Ketut Wlingi 8) Kyai Gandawesi mengembara ke selatan 9) Empat bupati berebut satu putri (Dyah Ayu Wasiati) 10) Wlingi Kusuma menolong Dyah Ayu Wasiati 11) Bupati mengeroyok Wlingi Kusuma 12) Dyah Ayu Wasiati meninggal
Gambar 4 Proses Pemerolehan Ceriteme
Suntingan teks lengkap cerita PAL yang diperoleh dari hasil penggabungan teks lisan dan teks cetak, kemudian dengan mengadopsi model strukturalisme Levi Strauss yang dikembangkan oleh Heddy Shri Ahimsa Putra dibuat episode-episode. Episode-episode ini selanjutnya dijabarkan menjadi unitunit dalam episode. Hal ini untuk memudahkan dalam pencarian ceriteme. Unitunit tersebut kemudian dimasukan pada tataran sinkronik dan diakronik. Dari hasil ini diperoleh ceriteme. Langkah selanjutnya ceriteme-ceriteme ini dimasukan pada tataran sintagmatik dan paradigmatik. Proses ini merupakan langkah lanjutan yang akan membawa struktur permukaan ke dalam struktur dalam cerita PAL.
141
8.2. Struktur Dalam Cerita PAL Dalam rangka menentukan struktur dalam cerita PAL maka, relasi antar cireteme dihubungkan dengan kebudayaan Jawa sebagai latar belakang pembentuknya. Cerita PAL memberikan gambaran tentang konflik-konflik yang terjadi di dalam kehidupan dan memberikan alternatif penyelesaiannya. Awal mula manusia adalah seorang pengembara yang belum memiliki eksistensi di dunia. Ia harus memperjuangkan eksistensinya di tengah berbagai macam eksistensi dunia. Manusia ini digambarkan tokoh KG yang berjuang mempertahankan eksistensinya dengan mendirikan padepokan. Setelah eksistensi dapat dipertahankan dan lingkungan sosial antarmanusia dapat terwujud, harus ada tatanan, nilai dan norma-norma yang mengatur hubungan tersebut. Bagaimana baiknya manusia berhubungan dengan sesamanya digambarkan oleh tokoh DAW dan WK. 8.2.1. Oposisi Benair Ceriteme-ceriteme dalam Cerita PAL Anilisis struktural pada dasarnya mereduksi sesuatu menjadi bagianbagian kecil elemen penyusunnya. Khususnya strukturalisme yang diperkenalkan oleh Levi Strauss, beranggapan bahwa suatu makna dapat diperoleh tidak pada elemen tersebut, tetapi terletak pada relasi antarelemen. Relasi-relasi ini dapat disederhanakan menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Oposisi berpasangan ini akan memperlihatkan proses berpikir manusia. Untuk mengetahui bagaimanakah proses berpikir pemilik cerita PAL, maka ceriteme-ceriteme yang berhasil didapat dari cerita PAL kemudian dapat
142
dijelaskan melalui oposisi berpasangan. Berikut ini adalah ceriteme-ceriteme dalam PAL yang dijelaskan melalui oposisi berpasangan. 1) Ceriteme Siti Rumbiah Menikah dengan Ketut Wlingi Pada kehidupan bermasyarakat, orang Jawa mengenal stratifikasi sosial antara priyayi
dengan wong alit. Perbedaan status ini tidak seperti
sistem kasta yang berlaku di India dan Bali. Stratifikasi di Jawa sifatnya lebih terbuka. Sistem keanggotaannya tidak hanya diperoleh dari garis keturunan. Ahimsa Putra, ketika menganalisis Para Priyayi menyatakan bahwa priyayi merupakan status sosial yang dicapai melalui proses tertentu. Struktur yang demikian muncul dalam cerita PAL. KG yang berposisi sebagai guru adalah priyayi yang beroposisi dengan muridnya yaitu KW dan P. Ceriteme menikah yang dilakoni KW adalah jalan ia memperoleh status sebagai priyayi. Status priyayi yang diterimanya tidak lantas didapat secara tiba-tiba. Oposisinya dengan P dapat menjelaskan sejarah mobilitas status tersebut. P
tidak - tidak cakap – tidak - wong alit bertirakat dinikahkan Wong - murid alit
KW
bertirakat – cakap – dinikahkan – priyayi
Gambar 5 Skema ceriteme SR menikah dengan KW Dari rangkaian ceriteme di atas, terlihat bahwa pada awalnya P dan KW memiliki status yang sama, yaitu wong alit. Namun, pada akhir rangkaian KW menjadi priyayi, sementara P tetap menjadi wong alit. Perbedaan ini dimulai dari elemen bertirakat dan tidak bertirakat. Tirakat adalah usaha-usaha
143
dalam bentuk menghadapi kesukaran dan kesengsaraan yang berakar pada asumsi usaha semacam itu dapat mengatasi kesukaran-kesukaran, kekecewaan, dan mendatangkan keselamatan (Soesilo,2005:22). Sementara Yana MH (2010:32) mengatakan bahwa tirakat adalah rela dengan sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual dalam budaya ritual keagamaan, yang berakar pada pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukarankesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam hidup. Dari rangkaian ceriteme tersebut memunculkan oposisi binair: Bertirakat
><
Tidak Bertirakat
Gambar 6 Oposisi binair ceriteme SR menikah dengan KW
Orang Jawa senang melakukan tirakat melalui berbagai cara misalnya berpuasa, semedi, dan tapabrata. Kegemaran ini dilatarbelakangi pandangan bahwa realitas terbagi menjai dua, yaitu segi lahir dan segi batin. Kedua segi ini menyatu dalam diri manusia. Dimensi lahir manusia terdiri dari tindakan, perkataan, nafsu, dan sebagainya. Sedangkan dimensi batin menyatakan diri dalam kesadaran subjektif
dimana kebenaran dan
kebijaksanaan sejati ditemukan. Cara Jawa untuk menemukan kebenaran sejati diperoleh melalui “rasa” (Handayani,2004:51-52). Laku tirakat bagi manusia Jawa dipandang mampu meningkatkan kepekaan rasa. Jadi, semakin orang
144
sering melakukan tirakat, maka semakin dekat orang tersebut dengan kebenaran. Melalui laku tirakat inilah yang menyebabkan KW dapat menaikan statusnya dari wong alit menjadi priyayi. Sementara P dijadikan contoh manusia yang “malang” karena tidak menjalankan tirakat. Ajaran untuk berprihatin
yang
salah
satunya
dijalankan
dengan
laku
tirakat,
mengimplikasikan adanya konsep pengetahuan bahwa keberadaan manusia di dunia bergantung pada kekuatan-kekuatan adikodrati. 2) Ceriteme Bertemu dengan Makhluk Halus Terdapat dua peristiwa yang menceritakan pengalaman bertemu makhluk halus. Pertemuan KG dengan makhluk penghuni sungai dan makhluk halus yang mempersonifikasikan diri sebagai seorang nenek. Pertemuan pertama dengan penghuni sungai berakibat perlawanan, sedangkan dengan seorang nenek meminta petunjuk. Bertarung – diusir - jahat
KG - bertemu makhluk halus Dimintai pertolongan – menghilang – baik
Gambar 7 Skema ceriteme bertemu makhluk halus
Rangkaian ceriteme di atas memperlihatkan oposisi berpasangan yakni: Makhluk halus baik
><
Makhluk halus jahat
Gambar 8 Oposisi Benair ceriteme bertemu makhluk halus
145
Seperti manusia, makhluk halus penghuni alam gaib pun ada yang bersifat baik dan jahat. Di dalam cerita PAL pertentangan antara yang baik dan jahat bukan layaknya pertentangan antara hitam dan putih. Lewat cerita PAL oposisi baik dan jahat dapat dilogikakan sebagai berikut. Dalam perjalanannya KG sampai di sebuah sungai. Banyak makhluk halus di sungai tersebut, agar dapat meneruskan perjalanan, makhluk halus tersebut harus diusir. Keharusan mengusir makhluk halus dimaknai sebagai sikap permusuhan yang dipicu karena ketidak pahaman eksistensi masingmasing. Sebenarnya, pada saat pengusiran, tengah terjadi proses tarik ulur antara KG dengan makhluk halus. Keberhasilan KG menyisihkan makhluk-makhluk tersebut bermakna bahwa telah tercapai kesepakatan. Bukti dari kesepakatan adalah KG tidak membunuh atau memusnahkan, tetapi memindahkan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pada pertemuan berikutnya, KG malah bertanya. Karena memang telah terjadi kesepakatan atau dalam penjelasan lebih lanjut, telah terjadi pengakuan eksistensi di antara keduanya. Keputusan KG meminta petunjuk kepada makhluk halus, adalah bentuk penghormatan kepada penghuni alam gaib. Penghormatan tersebut bertujuan mencari selamat dan menjaga keselarasan yang telah dicapai. Dengan bertanya, setidaknya KG telah memohon izin kepada makhluk halus sebelum ia meneruskan tujuannya.
146
3) Ceriteme Meminta Pertolongan Tuhan Bagi orang Jawa, Tuhan menempati posisi sentral. Eksistensi-Nya dihayati sebagai kekuatan yang tidak terjangakau oleh manusia. Hal ini dapat dilihat dari sebutan yang disandang-Nya, seperti Sang Maha Agung, Hyang Manon, Hyang Jagad wasesa, Hyang Sukma, dan sebagainya. Ceriteme meminta pertolongan Tuhan ini dilakukan KG dan DAW. KG memohon petunjuk Tuhan, ketika harus berhadapan dengan makhluk halus penghuni sungai. Sementara DAW, memohon pertolongan Tuhan sebagai upaya untuk mengatasi kesulitannya. Ceriteme meminta pertolongan Tuhan ini dapat digambarkan dalam rangkaian dibawah ini: DAW
mati menghadapi – meminta petunjuk masalah
KG
menyelesaikan masalah hidup
Gambar 9 Skema ceriteme meminta pertolongan Tuhan
Berdasarkan rangkaian ceriteme
di atas, dapat dilihat bahwa
keduanya dapat menyelesaikan masalah. Namun, bantuan yang diterima KG dan DAW menimbulkan oposisi berpasangan, yaitu: hidup
><
mati
Gambar 10 Oposisi binair ceriteme meminta pertolongan Tuhan
147
Kematian yang diterima DAW bukanlah suatu kekalahan atau kemalangan, melainkan suatu keberhasilan dalam menyelesaikan masalah. Karena DW meninggal, maka para bupati menyadari kekeliruannya. Orang Jawa menyadari bahwa dunia ini sifatnya fana. Kehidupan yang sejati terletak manakala kematian tiba. Pepatah Jawa, urip mung mampir ngombe yang berarti bahwa hidup hanya sebentar, menjadi contoh yang jelas untuk memahami konsep tersebut (Subagya, 2004:79). Kematian sebagai oposisi dari kehidupan tidak dimaknai sebagi sesuatu yang negatif. 4) Ceriteme Kesulitan Menentukan Arah dan Menggunakan Kesaktian Cerieme kesulitan menentukan arah dan menggunakan kesaktian menceritakan kebingungan KG dalam menentukan arah perjalanan. Sikap bingung yang dihadapi KG sebagai gambaran bahwa sesungguhnya manusia belum sepenuhnya mampu berhadapan dengan alam. Diceritakan, dengan menggunakan kesaktiannya KG menumpuk batu sebagai alas pijakan yang tinggi. Dari ketinggian itu ia dapat melihat lembah yang dituju berada di sebelah timur laut. Melalui usaha dengan menggunakan kesaktian itulah KG menjadi tahu arah yang dituju.Hal tersebut, memunculkan oposisi berpasangan: ketidaktahuan
><
tahu
Gambar 11 Oposisi binair ceriteme kesulitan menentukan arah dan menggunakan kesaktian
Ketidaktahuan dioposisikan dengan tahu. Keadaan KG yang belum sepenuhnya mampu menghadapi alam adalah cerminan dari ketidaktahuan
148
manusia tentang keadaan alam sesungguhnya. Meskipun demikian, dalam diri KG terdapat usaha untuk menaklukan alam. Cara yang ditempuh adalah menggunakan kesaktiannya. Manusia pada hakikatnya berpotensi untuk menguasai alam, namun potensi ini harus digali dan dipelajari terlebih dahulu sehingga ia mampu untuk menggunakan alam agar bermanfaat untuk dirinya. 5) Ceriteme Membuka Hutan Agar dapat dihuni manusia, alam terlebih dahulu harus dibuka dibabad (dibuka). Setelah menemukan lembah yang cocok untuk mendirikan padepokan, KG memerintahkan untuk membuka hutan karena keadaan lembah saat itu masih berupa hutan. Proses pembukaan hutan menjadi padepokan ini memakan korban yaitu meninggalnya P. Pembukaan hutan sebagai alam yang masih asli menjadi tempat tinggal ini memunculkan oposisi berpasangan yaitu: Alam asli
><
Alam budaya
Gambar 12 Oposisi binair ceriteme Membuka Hutan Tujuan dari membuka hutan adalah menjadikan alam asli yang tadinya angker menjadi tempat yang baik untuk lingkungan hidup manusia. Alam yang belum dibabad adalah tempat roh-roh dan binatang buas, bukan tempat bagi manusia. Baru setelah dibudidayakan, alam menjadi lingkungan yang tepat untuk kehidupan manusia (Suseno,1998:129). Di lain pihak, kematian P dan hidupnya KW menandakan suatu konsep bagaimana manusia membuka hutan yaitu dengan olah rasa. Dalam hal ini P diceritakan sebagai
149
orang yang
belum bisa mengholah rasa sehingga menjadi korban ketika
membuka alam. Sementara KW dan KG diceritakan sebgai orang yang dapat mengolah rasa sehingga mampu mengubah lingkungan dari yang angker menjadi bermanfaat bagi manusia. 6) Ceriteme KG Mewariskan Padepokan Kepada Ketut Wlingi Padepokan yang berhasil didirikan oleh KG maju pesat. Suatu ketika, tibalah saatnya bagi KG untuk mewariskan padepokannya. Orang yang dipilih adalah KW, menantunya. Dipilihnya KW untuk mewarisi padepokan ini muncul pertanyaan mengapa KW menantu KG bukan SR sebagai anak dari KG? Pertanyaan ini memunculkan oposisi berpasangan yaitu : Laki-laki
Perempuan
><
Gambar 13 Oposisi binair ceriteme KG mewariskan padepokan kepada KW Budaya Jawa sebenarnya tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
Meskipun
apabila
melihat
arti
dari
kata
perempuan
mengimplementasikan adanya konsep inferioritas dibanding laki-laki. Kata perempuan disinonimkan dengan kata wadon, yang diartikan wadu (bahasa kawi). Kata wadu ini maksudnya kawulo atau abdi (Supraptiningsih, 2002) . Selain itu, istilah konco wingking (teman belakang) juga memberikan konotasi rendah pada perempuan. Pada cerita PAL tokoh perempuan diwakili oleh SR dan DAW. Kedua tokoh ini diceritakan mengalami peristiwa berkaitan dengan perkawinan. Jika SR dijodohkan oleh KG, hal ini menunjukan bahwa SR
150
sebagai perempuan tidak berhak memilih ataupun tidak punya kekuatan dan kemampuan untuk memilih, sementara DAW harus menjadi korban karena dirinya juga tidak bisa memilih atau menolak atas lamaran empat bupati. Namun demikian, dalam cerita PAL diskriminasi pada perempuan tidak terlihat dalam ceritanya. Hal ini terlihat dari bantuan yang diberikan oleh WK kepada DAW, maupun diberikannya kebebasan pada DAW untuk memilih sampai pada disetujuinya permintaan DAW untuk melakukan tapa pendem. Pilihan KG pada KW dalam hal mewariskan padepokan lebih mengacu pada kepemimpinan paternalistik. Seorang laki-laki dipandang lebih pantas diserahi tanggung jawab daripada perempuan. Pandangan ini dicontohkan oleh Suseno (1998:171) bahwa dalam keluarga Jawa, mempunyai anak laki-laki lebih diharapkan. Karena laki-laki diharapkan mampu bertanggung
jawab
dan
melindungi
adik-adiknya
dalam
keluarga
(Suseno,1998:171). 7) Ceriteme Kyai Gandawesi Mengembara ke Selatan Pada awal cerita dikisahkan bahwa KG mengembara mencari tempat untuk mendirikan padepokan. Setelah berhasil mendirikannya, akhirnya padepokan diwariskan kepada menantunya. Ia memilih untuk melanjutkan pengembaraannya ke selatan. Ceriteme ini memunculkan sistem oposisi berpasangan yaitu : mengembara
><
menetap
Gambar 14 Oposisi binair ceriteme Kyai Gandawesi Mengembara ke Selatan
151
Sistem oposisi mengembara dan menetap, menerangkan bagaimana tujuan manusia Jawa di dunia. Bahwa hakikat hidup tidak ditemukan di dunia ini melainkan di alam sana. Hidup hanya sebentar mampir ngombe, sebagaimana KG menetap mendirikan padepokan, kemudian kembali mengembara. Konsep ini mengajarkan bagi manusia Jawa, bahwa menjalani hidup tidak perlu ngoyo (bernafsu atau berambisi yang berlebihan), toh dunia yang ditinggali sekarang juga akan ditinggalkan. 8) Ceriteme Empat Bupati Berebut Satu Putri (DAW) Ceriteme empat bupati berebut satu putri ini menceritakan konflik yang terjadi dalam cerita PAL. DAW suatu ketika dibuat bingung karena kedatangan empat bupati yang bertujuan sama, yaitu mempersunting dirinya. Keempat bupati tersebut tidak ada satu pun yang mau mengalah. Dari sini kemudian muncul oposisi berpasangan yaitu : Kontrol diri
><
Nafsu
Gambar 15 Oposisi binair ceriteme empat bupati berebut satu putri
Tujuan orang Jawa adalah menjaga keselarasan, keseimbangan, dan menghindari diri dari hal-hal yang dapat mendatangkan konflik. Oleh sebab itu, tindakan manusia Jawa diarahkan pada pemeliharaan kerukunan. Untuk menjaga kerukunan, setiap individu dituntut mengontrol setiap tindakan yang dilakukannya. Menghadapi orang-orang yang melamarnya, DAW berusaha mengontrol dirinya. Sebab, apabila ia gegabah dalam mengambil keputusan,
152
bukan tidak mungkin terjadi konflik yang membahayakan baik bagi dirinya maupun bagi seluruh penghuni padepokan. Tindakan para bupati mencerminkan manusia-manusia yang dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka bersikeras ingin mempersunting DAW. Tindakan ini akhirnya mendatangkan konflik, yaitu meninggalnya DAW dan WK. 9) Ceriteme Wlingi Kusuma menolong Dyah Ayu Wasiati Ceriteme WK menolong DAW ini menunjukan hubungan kakak beradik yang memunculkan oposisi berpasangan yaitu: Kakak
><
adik
Gambar 16 Oposisi binair ceriteme WK menolong DAW
Konsep Jawa, keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Peran orang tua tidak tergantikan, mereka memberikan cinta kasih dan segala yang dibutuhkan anaknya tanpa syarat dan imbalan apapun. Hubungan kakak beradik umumnya terdapat suasana keakraban, khususnya kakak laki-laki bagi adik perempuan merupakan pahlawan, tanpa tanding, dikagumi, dihormati, dan diakui tanpa batas (Suseno,1988:167-171). Kerelaan perang tanding yang dilakoni oleh WK, merupakan representasi konsep kepahlawanan kakak laki-laki bagi adik perempuan. WK muncul disaat yang tepat, ketika DAW mengalami kebingungan. Sikap rela
153
berkorban untuk melindungi adiknya diperjuangkan WK sampai titik penghabisan. 10) Ceriteme Bupati Mengeroyok Wlingi Kusuma Ketika tidak ada satu pun yang mampu mengalahkan WK, timbul niat jahat para bupati untuk mengeroyoknya. Hal ini dapat dilihat pada skema berikut.
WK Satu bertarung - lawan satu
PB
menang - bertarung – kalah - mati sendiri
kalah – bertarung – menang – hidup Bersama
Gambar 17 Skema ceriteme bupati mengeroyok WK
Awal pertarungan dimenangkan oleh WK, namun ketika para bupati melakukan pengeroyokan akhirnya WK kalah dan meninggal. Peristiwa ini memunculkan oposisi berpasangan : sendiri
><
bersama
Gambar 18 Oposisi binair ceriteme bupati mengeroyok WK
Sistem oposisi ini bagi orang Jawa termanifestasi pada ajaran gotong royong. Keberhasilan para bupati mengalahkan WK menunjukan bahwa kekuatan sedikit pun mampu mengalahkan kekuatan yang perkasa, apabila dikerjakan bersama-sama.
154
11) Ceriteme Dyah Ayu Wasiati Meninggal Setelah WK meninggal, DAW tetap tidak mampu membuat keputusan. Akhirnya DAW bermaksud memohon pertolongan Tuhan dengan jalan tapa pendem. Untuk lebih jelasnya ceriteme DAW meninggal ini, dapat diterangkan dalam rangkaian berikut; DAW : perempuan
sangat cantik meninggal
WK
sangat sakti
Laki-laki
PB
biasa/sedang
hidup
Gambar 19 Skema ceriteme DAW meninggal
Dalam rangkaian ceriteme di atas WK disejajarkan dengan DAW yaitu, sama-sama memiliki sifat yang berlebihan, para bupati ditempatkan pada posisi sedang. Penempatan posisi ini berdasarkan analogi bahwa seorang penguasa tidak mungkin tidak mempunyai kesaktian. Kekurangan dari para bupati juga terlihat pada ketidak mampuan mereka menandingi WK. Sistem oposisi berpasangan yang muncul dari ceriteme ini yaitu; berlebihan
><
sedang
Gambar 20 Oposisi binair ceriteme DAW meninggal
155
DAW dan WK ditempatkan pada posisi berlebihan. Pada posisi berlebihan ini akhirnya DAW dan WK meninggal, sedangkan para bupati yang berada pada posisi sedang dapat terus hidup. Oposisi antara berlebihan dan sedang ini bagi manusia Jawa memunculkan konsep “sak madya”. Nilai sak madya bagi orang Jawa adalah menjalani kehidupan tidak perlu berlebihan, sak cukupe (secukupnya). Apabila cantik jangan berlebihan dan sakti pun tidak berlebihan.
Sebab
berlebihan
mengakibatkan
ketidakseimbangan
atau
menimbulkan ketidakharmonisan. Hal ini tercermin pada kisah DAW dan WK, yang mengundang malapetaka. 8.2.2. Struktur Sejarah kehidupan dalam PAL Berdasarkan pada episode-episode yang terbentuk pada cerita PAL , dapat dibentuk sebuah deret diakronik yang menunjukan adanya sejarah kehidupan bagi manusia. Deret diakronik yang didapat dari episode-episode di dalam PAL adalah sebagai berikut: menghadapi alam- membentuk kekuasaankehidupan bermasyarakat – penentuan kehidupan (takdir). Deret diakronik ini merupakan struktur pertama yang diperlihatkan dalam cerita PAL, yang dapat digambarkan berikut ini:
Menghadapi Alam
Penentuan kehidupan
Membentuk Kekuasaan
kehidupan bermasyarakat
Gambar 21 Struktur Sejarah Kehidupan
156
Urutan struktur sejarah kehidupan manusia yang dapat diambil dari cerita PAL, memperlihatkan bagaimana tokoh-tokoh dalam PAL menggambarkan manusia Jawa dalam menjalani kehidupan mereka. Episode pertama bercerita tentang KG bertarung menaklukan alam, episode kedua, ketiga, dan keempat mengisahkan usaha-usaha KG, KW, dan P mendirikan padepokan sebagai aktualisasi dari kekuasaan. Episode kelima, ketika DAW dilamar merupakan gambaran dari perwujudan kehidupan bermasyarakat. Di episode akhir cerita DAW meninggal adalah representasi dari bekerjanya sistem takdir atau penentuan kehidupan. Struktur sejarah kehidupan, menggambarkan empat pandangan manusia Jawa tentang alam kodrati dan adikodrati, yaitu pandangan tentang sikap manusia terhadap dunia luar (alam asli), kekuasaan, kehidupan bermasyarakat, dan konsep takdir. Uraian masing-masing pandangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Pandangan Manusia Jawa tentang Konsep Dunia Luar (alam asli) Konsep pertama pandangan dunia Jawa, adalah penghayatan terhadap alam. Orang Jawa menganggap alam asli adalah angker, mengerikan, membahayakan, penuh dengan roh-roh yang tidak dikenal. Berhadapan dengan alam,
manusia
sedapat-dapatnya
berusaha
untuk
menaklukannya
(Suseno,1988:129). Kata menaklukan dalam hal ini tidak berorientasi pada pengeksploitasian tetapi lebih tepatnya penyesuaian. Suatu proses adaptasi, yaitu mewujudkan suatu kondisi yang selaras, serasi antara manusia dan makhluk bukan
157
manusia agar dapat hidup berdampingan, saling menghormati, dan terutama tidak mengganggu. Keangkeran alam asli tercermin pada kewingitan sungai yang ditemui rombongan KG. Ia harus bersusah payah menaklukan alam asli dengan jalan mengusir setan-setan yang mendiami sungai. Keberhasilan KG menyingkirkan makhluk halus tersebut digunakan sebagai simbol keberhasilan KG menaklukan alam asli. 2) Pandangan Manusia Jawa tentang Konsep Kekuasaan Setelah berhasil menaklukan alam, tujuan manusia adalah membentuk kekuasaan. Suseno (1988:98-107) mengatakan bahwa konsep kekuasaan bagi manusia Jawa berbeda dengan pandangan dunia barat. Kata kekuasaan bukan terjemahan dari kata power. Apabila dunia barat menganggap bahwa kekuasaan sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak pada orang lain, membuat mereka berkehendak sesuai dengan keinginan penguasa. Kekuasaan dalam pandangan Jawa adalah pengungkapan kekuatan kosmis, artinya seorang penguasa tidak hanya memiliki kekuatan yang bersifat empiris seperti kekayaan, relasi, kekuatan fisik, tetapi juga bekemampuan menghimpun kekuatan metempiris. Raja yang berkuasa adalah orang yang mampu mempersatukan seluruh kekuatan kosmis. Perwujudan dari kekuasaan adalah keadaan sejahtera, adil, dan tentram, serta keselarasan dalam masyarakat dan alam tanpa gangguan, mendapat pengabdian dari masyarakat tanpa paksaan. KG dalam cerita PAL merupakan contoh
manusia Jawa yang
mempunyai kekuasaan. Ia memiliki kesaktian yang lebih dibanding dengan
158
manusia biasa. Perjalanannya mencari lembah adalah usahanya untuk mendirikan kekuasaan. Pada proses ini, KG banyak menemui hambatan. Sungai yang dihuni banyak makhluk halus, pertemuan dengan seorang nenek yang merupakan jelmaan dari makhluk halus, adalah penggambaran alam asli yang angker dan penuh teka-teki. Untuk mewujudkan cita-cita mendirikan padepokan, KG harus berdamai dengan penghuni alam metempiris tersebut. 3) Pandangan Manusia Jawa tentang Hubungan Bermasyarakat Pengembaraan KG dilakukan bersama keluarganya yaitu anak, menantu, cucu, dan pembantunya. Rombongan tersebut adalah implikasi dari pandangan Jawa tentang sistem kemasyarakatan, bahwa bagi orang Jawa masyarakat pertama yang terwujud adalah keluarganya sendiri, baru kemudian tetangga hingga akhirnya seluruh desa, Suseno (1988:85). Ketika padepokan Nimbasari berhasil didirikan menandakan bahwa suatu proses tatanan masyarakat berhasil dibentuk. Interaksi antar sesama manusia terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia menempatkan diri sebagai makhluk pribadi dan sosial. Manusia sebagai makhluk sosial harus mengakui eksistensi manusia lainnya. Dalam epistemologi Jawa hubungan sosial yang mengatur keheterogenan individu tertuang dalam filsafat memayu hayuning bawana. Semangat memayu hayuning bawana adalah hakikat utama manusia Jawa, bahwa seorang manusia berkewajiban menjaga ketentraman dunia, menegakan kebenaran dan keadilan, serta mencegah segala sesuatu yang dapat mendatangkan konflik.
159
Cerita PAL menceritakan terjadinya sebuah konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Konflik tersebut disebabkan empat bupati yang berebut satu putri. Konflik perebutan terjadi karena pelanggaran etika Jawa. Etika adalah keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia berbuat. Etika Jawa berarti norma-norma atau nilai-nilai yang dianut manusia Jawa dalam menjalani hidup agar sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran.(Suseno,1988:6). Beberapa paham etika Jawa yang tersimpan dalam cerita PAL dapat dirumuskan sebagai berikut. a) Kontrol dan Mawas Diri Pada dasarnya kehidupan manusia selalu dihadapkan pada pilihan. Pilihan tersebut harus diputuskan sejauh menyangkut apa yang dianggap baik menurut dirinya dan menghindari apa yang dianggap buruk. Namun, sebuah pilihan terkadang tidak mudah untuk diputuskan. Setiap pilihan, selalu disertai pertanggungjawaban dan resiko. Cerita PAL mengisahkan DAW yang berada pada situasi sulit. Ia harus memilih salah satu dari keempat bupati untuk menjadi suaminya. Sementara resiko yang membayangi pilihannya adalah, apabila salah satu dipilih, dikhawatirkan yang lain marah. Kemarahan para bupati tidak hanya berdampak bagi DAW dan keluarganya, tetapi seluruh isi padepokan bisa terancam keselamatannya. Manusia Jawa sangat berhati-hati dalam menghadapi pilihan, harus mawas diri sebelum mengambil keputusan. Istilah mawas diri berarti sebelum mengambil keputusan harus bertindak hati-hati, dipikir masak-masak, tidak hanya
160
mengandalkan akal, tetapi juga memohon petunjuk kepada Tuhan. Kesadaran bahwa manusia bergantung kepada Gusti Allah merupakan latar belakang kesadaran manusia Jawa. Ajaran mawas diri menonjol dalam cerita PAL. Sikap DAW ketika dihadapkan pada pilihan, penuh kontrol (pengendalian) dan mawas diri. Prinsip kontrol diri adalah sikap yang berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Kebimbangannya muncul karena ia berusaha menahan diri untuk tidak memilih. Sikap pasif ini bukan karena ketidakberanian DAW, namun karena usahanya untuk mencegah konflik. Ketika WK gagal menyelesaikan permasalahan, yang dilakukan DAW adalah melakukan tapa pendem, memohon petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa. b) Nafsu dan Pamrih Tindakan para bupati berebut DAW merupakan perwujudan dari perbuatan yang mementingkan nafsu dan pamrih (egoisme). Orang Jawa memandang bahwa nafsu sangat berbahaya. Manusia yang dikuasai nafsu tidak menuruti akal budinya. Bahaya yang lain adalah bertindak karena pamrih, artinya hanya mengusahakan kepentingan sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Pamrih terlihat dalam tiga nafsu, yaitu selalu mau menjadi orang pertama, menganggap diri selalu benar, dan hanya mementingkan kebutuhan sendiri, Suseno (1988:140). Konflik yang ada dalam cerita PAL ditimbulkan karena empat bupati yang melamar satu putri
(DAW). Peran yang dilakoni para bupati adalah
gambaran manusia yang belum njawani, dianggap belum mampu bertindak yang
161
pantas dalam berhubungan sosial masih dikuasai emosi dan nafsu, tidak mampu mengatur hidupnya dan membutuhkan pelajaran bagaimana mengendalikan diri dan mengerti kaidah-kaidah manusia di alam, Mulder (1983:123). Para bupati belum dapat mengontrol hawa nafsu dan bertindak dengan pamrih, sehingga apa yang
mereka
lakukan
menimbulkan
konflik
dan
tegangan,
sehingga
membahayakan ketentraman. 4) Pandangan Manusia Jawa tentang Konsep Takdir Elemen keempat pada struktur sejarah kehidupan adalah penentuan kehidupan (takdir). Masyarakat Jawa memandang bahwa manusia yang masih mengikuti hawa nafsu dan pamrih dipandang belum dapat mengendalikan perasaan dan belum berhasil menghaluskannya. Ia dianggap belum memahami untuk apa dia hidup, belum mengerti kepentingan-kepentingan manusia di dunia sehingga belum dapat memahami bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh takdir. Para bupati membunuh WK karena mengikuti hawa nafsu. Pada akhir cerita mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa DAW meninggal. Kematian DAW sebagai gambaran bagaimana konsep takdir bekerja. Bagaimanapun kerasnya usaha manusia, penentuan hasil tetap berada di tangan Tuhan. Ungkapan Jawa yang menggambarkan hal ini yaitu, kridaning ati ora bisa mbedah kutaning pasti, budidayaning manungsa ora bisa ngungkuli garising kuasa. Terjemahan bebasnya adalah kehendak hati yang sangat kuat sekalipun tidak dapat mengubah suatu keadaan, kekuatan apapun tidak bisa melebihi garis yang telah ditentukan Tuhan.
162
Pandangan orang Jawa berkenaan dengan takdir, bahwa takdir (pesti) tidak bisa dicegah dengan jalan apapun, hal tersebut merupakan urusan Tuhan. Kewajiban manusia hanya berusaha. Sebab, dalam kacamata manusia, hasil yang dicapai sepadan dengan usaha yang dilakukan. Segala sesuatu terjadi menurut hukum kausalitas. Sehingga dalam pandangan Jawa manusia dalam menghadapi takdir harus tetap melakukan usaha dan usaha tersebut tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku, sedangkan hasil diserahkan sepenuhnya atas kehendak Yang Maha Kuasa. Para bupati telah berusaha keras untuk mendapatkan DAW, namun usaha yang mereka lakukan bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku, sehingga tindakan mereka menimbulkan konflik. Hasil dari kerja keras mereka adalah meninggalnya DAW, yang berarti tidak tercapai tujuan yang diharapkan. Cerita ini menggambarkan pepatah Jawa yang mengatakan, sapa sing temen bakal tinemu, orang yang menanam kebaikan akan menghasilkan kebaikan, dan orang yang menanam keburukan akan mendapatkan keburukan. Tindakan para bupati adalah menanam keburukan sehingga hasil yang didapat mereka adalah sebuah kerugian. 8.2.3.Struktur Tokoh dalam cerita PAL Melalui analisis struktur dalam cerita PAL dapat dilihat tokoh-tokoh yang ada dalam cerita dengan sejarah kehidupan mereka masing-masing. Melalui sejarah kehidupan para tokoh dalam cerita PAL ini menggambarkan bagaimana proses manusia dalam memperoleh dan melalui jalan kehidupannya. Peran dan proses kehidupan yang dialami para tokoh adalah sebagai berikut;
163
KG
= priyayi – menghadapi alam – mendirikan padepokan –
mengembara
KW
= wong alit – menjalankan tirakat – menjadi priyayi – menghadapi alam – mewarisi padepokan
P
= wong alit – menghadapi alam – mati
WK
= priyayi – sangat sakti – berkelahi – mati
DAW
= priyayi – sangat cantik – mati Dilihat dari sejarah tokoh, terlihat dua status bawaan yang berbeda, yaitu
status priyayi dan wong alit. Tokoh yang menyandang sebagai priyayi adalah KG, WK, dan DAW, sedangkan yang menyandang sebagai wong alit adalah KW dan P. Tokoh KW mengalami mobilisasi dari wong alit menjadi priyayi. KW dikisahkan sebagai pemuda yang cakap, pemberani dan mau bertirakat. KW dan P merupakan murid KG, namun KW lebih menonjol dibandingkan P. Kedua pemuda tersebut berasal dari Bali, pergi ke tanah Jawa untuk mencari seorang guru. Sepanjang perjalanan, KW kerap melakukan tirakat dengan bersemedi untuk mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Usaha tersebut dalam cerita tidak dilakukan oleh P. Perbedaan inilah yang mengangkat KW pada cerita dapat menjadi priyayi, sedangkan P tetap sebagai wong alit. Status yang diperoleh KW ini memberikan sebuah konsepsi tentang priyayi. Status priyayi jika dilihat dari cerita PAL dapat dipaparkan sebagai berikut; pertama, status priyayi tidak hanya diperoleh dari keturunan. KW yang dilahirkan sebagai wong alit akhirnya dapat menaikan statusnya menjadi priyayi. Kedua, status priyayi bukan hanya dalam kategori sosial. Konsep priyayi yang
164
dirujuk dalam cerita PAL adalah status yang mencerminkan kepribadian yang menjadi tujuan dan acuan manusia Jawa. Falsafah hidup orang Jawa menganggap bahwa terdapat dua bagian dalam diri manusia, yaitu segi lahir dan segi batin. Segi lahir terdiri dari tindakantindakan, gerakan, omongan, nafsu, dan sebagainya. Sedangkan, dimensi batin menyatakan diri lewat kesadaran subjektif. Melalui kesadaran subjektif ini, bagi manusia Jawa kebenaran sejati dapat ditemukan. Dalam hubungan sosial, manusia mendambakan keadaan yang serasi, teratur dan harmonis. Setiap individu diwajibkan menyesuaikan diri dengan keadaan. Arah yang dituju adalah sikap nrima. Nrima berarti menerima segala yang terjadi entah baik ataupun buruk, Handayani (2004:51-52). Apabila seorang
telah nrima, maka ia ikhlas melepaskan sisi
individualitas demi sebuah tatanan yang teratur. Untuk ikhlas, manusia harus mengontrol nafsu-nafsu pribadi, menguasai diri dan emosinya. Cara yang dapat ditempuh salah satunya adalah dengan tirakat. Laku tirakat ini bertujuan menundukan kompleksitas lahir yang bersifat nafsu dan keinginan-keinginan lahiriah dengan cara menekan sampai batas sekecil-kecilnya, Handayani (2004:51). Ketika seseorang dianggap mampu menguasai segi lahir dan mengembangkan segi batinnya, ia dipandang telah mampu menggunakan “rasa”nya untuk mendepatkan kebenaran sejati. Rasa adalah perasaan intuitif yang berada dalam tataran subjektifitas. Nalar orang Jawa mengatakan kebenaran dan pengetahuan yang sempurna didapat melalui rasa. Kebenaran sejati didapat melalui pemahaman personal, yang tidak mengandalkan segi indrawi.
165
KW merupakan tokoh yang digambarkan sebagai orang yang telah menguasai segi batinnya. Dalam bertindak ia dapat mengontrol dirinya, seperti ketika anaknya dibunuh oleh para bupati dengan cara curang, ia menerima dengan ikhlas meskipun ia juga merasa sedih. Demikian halnya ketika kematian DAW, KW tidak berniat menuntut balas. Hal ini juga menunjukan bahwa KW sebagai seorang priyayi. Menjadi priyayi saja tidak cukup bagi manusia Jawa. WK dan DAW yang dilahirkan sebagai priyayi tidak dapat menemukan kehidupan yang semulus KW. WK dan DAW sama-sama mengalami nasib yang tragis. Meskipun dalam pandangan Jawa, kematian bukanlah sebagai konsep maut. Dibalik kematian DAW dan WK terdapat pesan, yakni sak madya. Sak madya artinya yang sedangsedang saja, secukupnya, yang menengah. Kedudukan ditengah diantara dua hal yang saling bertentangan merupakan perwujudan sebuah nilai yang dipandang penting oleh orang Jawa, Putra (2006:291). Kedudukan di tengah berarti kedudukan yang tidak berat sebelah atau dapat dikatakan sebagai kedudukan yang seimbang. Pada kedudukan ini orang Jawa memandang bahwa konflik-konflik yang ada diantara dua hal dapat diatasi. Sebaliknya jika kedudukan tidak seimbang, maka akan terjadi ketimpangan atau berat sebelah yang akan mengakibatkan adanya ketimpangan sehingga memunculkan berbgai konflik. Konsep sak madya ini memperlihatkan struktur kedua dari cerita PAL. Struktur tersebut dapat tergambarkan dalam skema berikut ini.
166
Hidup
KW/ KG
Kekuasaan
Berlebihan
PB Biasa/ tidak berlebihan
KW dan DAW
P
Tidak mempunyai kekuasaan
Mati Gambar 22 Posisi Tengah atau Sak Madya
Tolok ukur pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya, untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu ketenangan, ketentraman, dan kesimbangan batin, Suseno (1988:83). Untuk mencapai keadaan tertentu itu maka tindakan-tindakan orang Jawa diarahkan pada penciptaan kondisi yang mengarah pada keadaan-keadaan tersebut. Agar dapat tercipta keharmonisan , masing-masing pihak harus saling memahami tempatnya masingmasing. Oleh sebab itu, orang jawa tidak menyenangi sesuatu yang sifatnya melebihi takaran, karena dapat mengganggu keselarasan, maka sifat sak madya atau pada posisi tengah lebih diutamakan. Putra (2006) menyatakan bahwa sifat sak madya disenangi manusia Jawa karena pada kedudukan inilah semuanya dapat disatukan, tidak ada oposisi-oposisi yang dapat menciptakan konflik.
167
Posisi WK dan
DAW
yang berada pada posisi
berlebihan
mengakibatkan kematian. Sementara, para bupati yang berada pada kondisi sedang dapat terus hidup. Pada struktur yang tergambar pada struktur sak madya, posisi berlebihan terdapat dua kelompok, yaitu kelompok yang terdiri dari KG dan KW, kelompok yang kedua WK dan DAW. Kelompok pertama tetap hidup, sedangkan kelompok kedua meninggal. Hal yang menyebabkan KG dan WK tetap bertahan hidup adalah kekuasaan. KG dan KW sama-sama memiliki kekuasaan memimpin padepokan. Konsepsi kekuasaan telah dijelaskan di depan, yang eksistensinya kekuasaan
adalah
kemampuan
manusia
manyatukan
kekuatan
kosmis.
Hubungannya dengan struktur sak madya , kekuasaan memegang peranan penting bagi manusia Jawa. Kondisi yang baik menurut pandangan Jawa adalah pada posisi di tengah, secukupnya, tetapi adakalanya akan terjadi suatu kondisi yang berlebihan, baik terlalu cantik, terlalu sakti atau lainnya. Kondisi seperti ini sebenarnya dapat bertahan dan diakui dengan syarat kekuasaan. Kekuasaan disini juga dapat diartikan kekuasaan dalam menguasai diri. Struktur dalam cerita PAL menggambarkan struktur sejarah kehidupan dan struktur tokoh. Struktur-struktur tersebut setelah di hubungkan dengan pandangan hidup orang Jawa menunjukkan bagaimana sebaiknya manusia dalam menghadapi permasalahan yang ada dalam kehidupannya.
Analisis struktur
dalam yang telah diuraikan di atas dapat dilihat dalam skema berikut ini.
168
Ceriteme
Oposisi benair
Struktur Sejarah Kehidupan 1.Menghadapi alam 2.Membentuk kekuasaan 3.Kehidupan bermasyarakat 4.Penentuan kehidupan
Budaya Jawa
Struktur Tokoh KG= priyayi – menghadapi alam – mendirikan padepokan mengembara KW= wong alit – menjalankan tirakat – menjadi priyayi – menghadapi alam – mewarisi padepokan P= wong alit – menghadapi alam – mati WK= priyayi – sangat sakti – berkelahi – mati DAW= priyayi – sangat cantik – mati
Konsep Sak Madya
Gambar 23 Struktur Dalam PAL Ceriteme-ceriteme yang telah ditemukan pada struktur permukaan selanjutnya dihubungkan dengan oposisi benair (oposisi berpasangan). Oposisi berpasangan ini menggambarkan bagaimana manusia memandang dunia abstrak ke dalam dunia konkrit di dalam kehidupan. Untuk melihat hubungan dunia abstrak yang diceritakan dalam PAL dengan dunia nyata masyarakat pemilik cerita, maka cerita PAL dihubungkan dengan budaya Jawa sebagai budaya pemilik cerita PAL. Dari proses ini ditemukan struktur dalam cerita PAL yaitu bahwa cerita PAL menggambarkan sejarah kehidupan manusia di dunia dan struktur tokoh yang menghasilkan tentang konsep sak madya pada pandangan orang Jawa. 9. Analisis Nilai Moral Cerita PAL Analisis mengunakan pisau strukturalisme Levi Strauss terhadap cerita PAL menghasilkan struktur luar dan struktur dalam. Kemudian strutur-struktur
169
tersebut dihubungkan dengan pandangan masyarakat Jawa sebagai pemilik cerita, sehingga dapat diketahui makna dari cerita tersebut. Berdasarkan hal itu, maka analisis nilai moral cerita PAL dapat diambil. Analisis nilai moral tersebut dapat dijelaskan berdasarkan kriteria sebagai berikut. 9.1. Nilai moral yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan. Hubungan antara manusia dengan Tuhan adalah hubungan antara hamba dan Kholiknya, antara makhluk dengan penciptanya, oleh karena itu manusia akan selalu tunduk dan patuh terhadap aturan yang dibuat oleh Tuhan. Kepatuhan ini tergambar dalam cerita PAL dalam konsep takdir yang dialami para tokohnya. Meninggalnya P dan DAW adalah sebuah kepastian yang telah ditentukan oleh Tuhan. Suka atau tidak suka manusia pasti harus menerima hal tersebut. Manusia diberi kemampuan untuk berusaha, namun hasil dan keputusan sepenuhnya merupakan wewenang Tuhan. Oleh karena itu dalam setiap usaha manusia harus meminta petunjuk dan pertolongan Tuhan. Hal ini digambarkan melalui tokoh KG dan DAW yang memohon petunjuk Tuhan sebelum melakukan tindakan. KG melakukan semedi atau memuja adalah sarana untuk memohon pertolongan dari Tuhan, ketika ia mengalami gangguan dari makhluk penghuni sungai. Sementara DAW melakukan tapa pendem dengan jalan mengubur dirinya di tanah untuk mendapat petunjuk Tuhan. Usaha ini dilakukan untuk memohon petunjuk Tuhan, sementara hasil yang didapat sepenuhnya di serahkan kepada Tuhan.
170
Kematian DAW ketika melakukan proses tapa pendem, merupakan takdir yang harus diterima oleh manusia. Episode ini merupakan klimaks dari cerita PAL. Dalam episode ini dapat diambil kesimpulan bahwa DAW tidak dapat dikatakan mendapat petunjuk dari Tuhan karena ia tidak dapat menentukan siapa yang menjadi jodohnya, namun demikian DAW juga tidak dapat dikatakan tidak mendapat petunjuk karena kalau dia tidak dapat petunjuk maka dia akan menyampaikan hasil dari tapanya yang tidak dapat menentukan pilihannya. Namun dalam episode ini DAW meninggal. Meninggalnya DAW adalah jawaban Tuhan terhadap semua kejadian yang ada dalam cerita PAL. Melalui
meninggalnya
DAW
para
bupati
menyadari
akan
kekeliruannya. Tuhan yang maha Kuasa melakukan kehendaknya tanpa dapat diprediksi oleh manusia. Dalam konsep inilah manusia harus bertawakal, berserah diri sepenuhnya kepada Zat Yang Maha segala-galanya. Nilai moral yang berhubungan manusia dengan Tuhan juga dapat dilihat dari bagaimana manusia memanfaatkan alam. Segala yang ada di alam ini diciptakan oleh Tuhan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Pemanfaatan ini harus memperhatikan aturan sehingga alam dapat serasi, seimbang dan dapat digunakan untuk kesejahteraan manusia. Pemanfaatan alam yang semaunya akan berakibat pada kerusakan dan ketidakseimbangan alam yang telah mempunyai aturan tersendiri. Penaklukan alam untuk kepentingan manusia dicontohkan oleh KG dan rombongannya yang membuka hutan untuk mendirikan padepokan. Padepokan dapat diartikan sebuah lingkungan yang digunakan untuk mencari ilmu. Ilmu yang diajarkan dalam padepokan adalah ilmu bagaimana manusia berusaha untuk
171
mengenal Tuhannya. Dengan kata lain melalui cerita PAL, ini ada sebuah pesan bahwa manusia memanfaatkan alam harus bertujuan untuk mengetahui siapa pencipta alam itu sendiri. Jika manusia sudah mengetahuinya maka akan timbul rasa syukur dan pengabdian sepenuhnya kepada pemberi alam tersebut. 9.2. Nilai moral yang berhubungan antara manusia dengan manusia. Untuk menjaga eksistensi manusia, manusia harus saling menjaga eksistensi manusia lainnya. Manusia sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial, sehingga ia tidak dapat hidup tanpa adanya manusia yang lain. Hal ini tergambar ketika KG akan membuka hutan untuk mendirikan padepokan, maka ia membutuhkan KW dan P untuk membuka hutan. Hubungan antara manusia ini membutuhkan aturan dan norma yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini merupakan sebuah keharusan, sebab tanpa aturan manusia akan bertindak semaunya dan akan kehilangan eksistensinya sebagai manusia. Ia tidak lagi memanusiakan manusia lainnya. Aturan atau norma yang ada ini tergambar dalam tindakan KG yang menikahkan KW dengan SR. Hal ini menunjukan bahwa manusia untuk dapat berhubungan dengan lawan jenisnya ada aturannya. Ketika KG merasa dirinya sudah tua dan tidak mampu lagi untuk melaksanakan kepemimpinan di padepokan, maka padepokan diwariskan kepada KW menantunya. Hal ini juga menunjukan aturan tentang pergantian kepemimpinan. Aturan atau norma yang ada pada manusia harus ditaati oleh semua manusia yang ada. Jika ada manusia yang melanggar aturan atau norma, maka yang muncul adalah adanya konflik. Hal ini digambarkan oleh tokoh para bupati
172
yang berebut untuk mendapatkan DAW, dan kecurangan para bupati ketika mengalahkan WK, sehingga menimbulkan konflik yaitu meninggalnya DAW dan WK. Tindakan para bupati ini menggambarkan manusia yang tidak menghormati manusia lain. Hubungan manusia yang satu dengan manusia lain harus saling tolong menolong. Pertolongan yang diberikan WK terhadap DAW yang menghadapi kesulitan adalah gambaran kasih sayang yang diberikan manusia kepada manusia lainnya. 9.3. Nilai moral yang berhubungan antara manusia dengan alam semesta. Tuhan memberikan kemampuan kepada manusia untuk memanfaatkan alam yang telah disediakan untuk manusia. Alam yang tersedia ini digambarkan masih dalam keadaan asli, sehingga untuk bisa dimanfaatkan manusia harus membukanya. Pembukaan hutan yang digambarkan dalam cerita PAL bukan berarti pengeksploitasian alam sekehendak manusia, akan tetapi pembukaan hutan ini ditujukan agar manusia dapat beradaptasi dengan alam dan menggunakan sesuai dengan pemanfaatannya. Pemanfaatan alam ini harus memperhatikan keseimbangan, sehingga alam dapat memberikan manfaatnya kepada manusia tanpa alam itu sendiri menjadi rusak. Pembuatan irigasi yang diperintahkan KG terhadap KW dan P adalah wujud pemanfaatan alam untuk kehidupan manusia. Pemberian nama-nama terhadap sebuah wilayah dalam cerita PAL juga menunjukan penghormatan manusia terhadap alam yang telah membantunya. 9.4. Nilai moral yang berhubungan antara manusia dengan makhluk lain.
173
Hubungan antara manusia dengan makhluk yang lain tergambar dalam cerita PAL adalah hubungan yang serasi, saling menghormati dan saling tidak mengganggu. Antara manusia dengan makhluk lainnya sebenarnya sudah mempunyai wilayah tersendiri, namun kadangkala wilayah tersebut saling bersinggungan sehingga memunculkan konflik antara manusia dengan makhluk lainnya. Kisah perseteruan antara makhluk penunggu sungai dengan KG adalah contoh singgungan yang terjadi antara manusia dengan makhluk lainnya. Konflik ini diceritakan berakhir dengan kesepakatan antara KG dengan makhluk lain tersebut, yaitu dengan menyingkirnya para penghuni sungai ke tempat lain. KG tidak memusnahkan mereka tetapi menyingkirkan mereka untuk tidak lagi mengganggu. Kesepakatan ini membuahkan kemudahan bagi manusia yaitu dengan bertemunya KG dengan seorang nenek yang memberi petunjuk arah perjalanan. Dikisahkan bahwa nenek tersebut merupakan jelmaan dari makhluk lain yang menemui KG. 9.5. Nilai moral yang berhubungan antara manusia dengan dirinya sendiri. Manusia mempunyai dua bagian dalam diri manusia, yaitu segi lahir dan segi batin. Segi lahir terdiri dari tindakan-tindakan, gerakan, omongan, nafsu, dan sebagainya. Sedangkan, dimensi batin menyatakan diri lewat kesadaran subjektif. Melalui kesadaran subjektif ini, bagi manusia Jawa kebenaran sejati dapat ditemukan. Dalam hubungan sosial, manusia mendambakan keadaan yang serasi, teratur dan harmonis. Setiap individu diwajibkan menyesuaikan diri dengan keadaan.
174
Nafsu yang dimiliki manusia menuntut untuk selalu dipenuhi kemauannya. Seperti yang dicontohkan pada tindakan para bupati yang menuruti hawa nafsunya. Agar pemenuhan nafsu ini tidak melanggar norma maka manusia perlu melakukan kontrol dan mawas diri. Ajaran menerima yang ditemukan lewat cerita PAL menunjukan bahwa manusia sedapat mungkin menerima dan mensyukuri apa yang telah ada dan diberikan Tuhan pada dirinya. Dengan rasa syukur ini manusia akan bertindak hati-hati dan penuh dengan pertimbangan, akan berjalan maju tetapi tidak ngoyo (frontal). Kondisi yang diharapkan adalah kondisi yang secukupnya, tidak berlebihan. Sehingga timbul ketentraman dan kedamaian dalam diri manusia itu sendiri. Analisis nilai moral yang tergambar di atas tidak terlepas dari analisis struktur cerita PAL. Hubungan nilai moral yang diperoleh berdasarkan cerita PAL memperlihatkan bahwa elemen-elemen yang ada pada sebuah cerita tidak berdiri sendiri melainkan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Pada hubungan inilah makna dari sebuah cerita dapat ditemukan. Hubungan struktur cerita PAL dengan budaya Jawa sebagai latar budaya pemiliknya, menunjukan adanya pesan nilai-nilai moral yang ingin disampaikan melalui cerita PAL. Hubungan nilai moral dengan struktur cerita PAL dan dikaitkan dengan budaya Jawa sebagai latar belakang budaya pemiliknya dapat digambarkan pada skema berikut ini.
175
Struktur Permukaan
Struktur PAL
Budaya Jawa Struktur Dalam
Nilai Moral
Manusia
Tuhan
Manusia
Alam
Makhluk Lain
Diri Sendiri
Memohon petunjuk, bersyukur, menerima ketentuan Tuhan.
Saling menjaga, saling menghormati dan menaati norma
Memanfaat kan alam dengan menjaga keseimbang an
Saling menghormati dan saling tidak mengganggu
Kontrol dan mawasdiri
Gambar 24 Hubungan Struktur PAL dengan Nilai Moral
Struktur cerita PAL yang telah ditemukan dari proses analisis struktur yaitu struktur permukaan dan struktur dalam selanjutnya dihubungkan dengan budaya Jawa sebagai budaya masyarakat pemilik cerita PAL. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra merupakan gambaran kehidupan masyarakat pemiliknya. Dari hubungan ini diambil nilai-nilai moral menurut pandangan Jawa yaitu bagaimana cerita PAL menggambarkan bagaimana sebaiknya manusia dalam kehidupannya. Analisis nilai moral ini menggunakan model analisis konten yang disampaikan
176
Endraswara yaitu bahwa dalam kaitannya dengan nilai moral atau budi pekerti, peneliti dapat membuat kategori budi pekerti sebagai berikut: 1) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan, 2) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan manusia, 3) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan alam semesta, 4) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan makhluk lain, 5) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan dirinya sendiri. 10. Model Pelestarian Cerita PAL 10.1. Dasar Pemikiran Cerita PAL setelah dianalisis menggunakan strukturalisme model Levi Strauss telah membuka pemahaman kita bahwa cerita rakyat ada, berkembang dan memiliki fungsi bagi pemiliknya yang komunal. Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa cerita PAL mengandung banyak pesan kehidupan yang perlu dipahami khususnya bagi orang Jawa sebagai latar belakang budaya pemilik cerita tersebut.
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah berkaitan dengan
pelestarian cerita
PAL yang dilakukan oleh masyarakat pemiliknya, yaitu
masyarakat Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, pelestarian cerita PAL yang dilakukan oleh masyarakat Desa Limbasari hanya sebatas penampilan semacam kesenian ketoprak atau drama di atas panggung ketika acara peringatan Hari Kemerdekaan RI, itu pun tidak setiap tahun ditampilkan. Pelestarian yang lain untuk menjaga agar cerita PAL tetap ada, dikenang oleh masyarakatnya hampir tidak ada.
177
Menurut Kaliyem (70 th), beberapa kali ada anak sekolah yang mendapat tugas untuk mendapatkan cerita rakyat, menanyakan tentang cerita PAL. Demikian juga ada mahasiswa yang tertarik dengan folklor khususnya cerita rakyat menanyakan cerita PAL. Biasanya siswa atau mahasiswa tersebut datang menanyakan cerita PAL, kemudian menanyakan apakah cerita PAL telah ditulis dan dibukukan. Melihat kenyataan yang ada, maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah upaya untuk melestarikan cerita PAL , dengan langkah memberikan alternatif model pelestarian yang dapat dilakukan untuk melestarikan cerita PAL. Selanjutnya model pelestarian ini ditawarkan kepada masyarakat Desa Limbasari untuk memilih model pelestarian yang dianggap sesuai untuk cerita PAL. 10.2. Alternatif Model Pelestarian Alternatif model pelestarian yang ditawarkan antara lain adalah sebagai berikut; a) melalui pementasan rutin digedung pertunjukan, b) panulisan dalam bentuk buku, c) melalui pembelajaran di sekolah, dan d) alternatif lain yang sesuai. Keempat alternatif ini penulis ambil dengan beberapa pertimbangan. Pertama, pementasan rutin di gedung dijadikan alternatif karena menurut penutur cerita, bahwa cerita PAL pernah dipentaskan, tetapi sifatnya tidak rutin, sehingga tidak ada jaminan bahwa cerita tersebut akan terus dipentaskan pada acara-acara tertentu. Kedua, penulisan cerita PAL dalam bentuk buku dijadikan alternatif pelestarian juga didasarkan hasil wawancara dengan penutur cerita, bahwa satusatunya buku yang menceritakan PAL adalah buku yang diterbitkan oleh dinas P
178
dan K pada tahun 1978, yang anonim dan merupakan hasil penelitian, sehingga perlu adanya buku lain yang lebih menyegarkan baik dari bahasa maupun fisik buku, tanpa mengubah inti cerita. Ketiga, melalui pembelajaran sekolah dipilih sebagai alternatif pelestarian karena cerita rakyat ada dalam kurikulum sekolah. Selain itu, didasarkan juga dari hasil wawancara dengan penutur yang mengatakan bahwa ada beberapa siswa maupun mahasiswa yang tertarik untuk mengetahui cerita PAL. Keempat, alternatif lain yang sesuai dijadikan pilihan pelestarian agar masyarakat bebas menentukan kreatifitasnya dalam melestarikan cerita PAL. Alternatif
cerita
PAL melalui pembelajaran di sekolah yang
ditawarkan peneliti juga merupakan upaya memberikan alternatif pada guru khususnya guru bahasa Indonesia yang kesulitan mencari bahan ajar pada materi cerita rakyat. Selain itu penggunaan cerita PAL
sebagai bahan ajar dapat
dijadikan pilihan model pembelajaran kontekstual. Pembelajaran ini mengaitkan pembelajaran dengan dunia empiris yang dihadapi siswa. Selama ini, biasanya cerita rakyat yang disampaikan ke siswa adalah cerita rakyat yang sudah terkenal, seperti Malin Kundang, Sang Kuriang,
dan cerita rakyat lainnya yang tidak
berhubungan dengan lingkungan atau daerah siswa berada, sehingga cerita-cerita tersebut kurang mengena pada dunia empiris siswa. Keberadaan cerita PAL yang mengaitkan nama-nama daerah di sekitar tempat tinggal siswa akan memudahkan siswa memahami cerita dan mengaitkan cerita dengan dunia empiris siswa. 10.3. Hasil Survai Hasil wawancara dengan responden yaitu masyarakat Desa Limbasari berkaitan dengan alternatif model pelestarian cerita PAL, didapat hasil yang tergambar dalam tabel berikut ini.
179
Tabel 8 Rekapitulasi Pilihan Responden terhadap Alternatif Model Pelestarian PAL No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Responden Responden 1 Responden 2 Responden 3 Responden 4 Responden 5 Responden 6 Responden 7 Responden 8 Responden 9 Responden 10 Responden 11 Responden 12 Responden 13 Responden 14 Responden 15 Responden 16 Responden 17 Responden 18 Responden 19 Responden 20 Jumlah % Keterangan: Model 1 Model 2 Model 3 Model 4
: : : :
Model 1
Model 2
Model 3 √
Model 4
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 2 10
√ 10 50
7 35
1 5
melalui pementasan rutin digedung pertunjukan, panulisan dalam bentuk buku melalui pembelajaran di sekolah alternatif lain yang sesuai.
Data pada tabel tersebut menunjukan bahwa dari 20 responden, 2 responden atau 10% memilih alternatif yang pertama yaitu pementasan rutin di gedung pertunjukan, 10 atau 50% responden memilih penulisan dalam bentuk buku, 7 atau 35 % memilih melalui pembelajaran di sekolah, dan 3 responden atau 15 % memilih alternatif yang lain. Satu responden memberikan alternatif untuk melestarikan cerita PAL yaitu dengan model napak tilas. Menurut informan model
180
ini diperlukan agar masyarakat melihat lebih langsung tempat-tempat yang ada dalam cerita. Berdasarkan hasil pilihan para responden maka dapat diambil simpulan bahwa masyarakat Desa Limbasari menginginkan cerita tersebut dapat dijadikan buku yang sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah. Simpulan ini didasarkan juga bahwa untuk bahan pembelajaran, buku merupakan sarana yang tepat, karena dengan buku siswa dapat membaca dan memahami cerita PAL. Atas dasar inilah penulis menawarkan sebuah alternatif pembelajaran cerita PAL di madrasah untuk melestarikan cerita PAL. Pemilihan
Madrasah
Tsanawiyah
sebagai
tempat
alternatif
pembelajaran, lebih dikarenakan pada kurikulum Madrasah Tsanawiyah terdapat materi cerita rakyat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kurnianto, S.Pd., guru Bahasa Indonesia MTs Negeri Bobotsari mengatakan bahwa biasanya materi cerita rakyat diambil dari cerita yang ada dalam buku cetak. Guru belum memperkenalkan cerita rakyat yang ada di daerah, sehingga cerita rakyat lokal yang ada belum mendapat kesempatan untuk disampaikan kepada siswa. Hasil penelitian pelestarian cerita PAL ini tidak hanya dapat digunakan di Madrasah Tsanawiyah, namun juga di SMP karena kurikulum baik di SMP maupun di Madrasah Tsanawiyah tidak berbeda. Terlebih lagi di Kabupaten Purbalingga, menurut Kurnianto,S.Pd. kegiatan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Bahasa Indonesia melibatkan SMP dan MTs di wilayah tersebut.
181
10.4. Model Pelestarian Cerita PAL di Madrasah Tsanawiyah a) Latar Belakang Filosofis Cerita PAL merupakan karya sastra sebagai hasil kreatifitas para pendahulu dan diakui sebagai milik bersama. Levi Strauss memandang bahwa karya sastra cerita rakyat merupakan sebuah mitos. Mitos dalam pandangan Levi Strauss tidaklah sama dengan pengertian mitos yang biasa digunakan dalam kajian mitologi. Mitos menurut Levi Strauss tidak harus dipertentangkan dengan sejarah atau kenyataan, karena perbedaan makna dari dua konsep ini terasa semakin sulit dipertahankan. Apa yang dianggap oleh suatu masyarakat atau kelompok sebagai sejarah atau kisah tentang hal yang benar-benar terjadi, ternyata hanya dianggap sebuah dongeng yang tidak harus diyakini kebenarannya oleh masyarakat atau kelompok lainnya. Cerita
PAL sebagi sebuah mitos memiliki struktur tertentu.
Struktur ini setelah dianalasis menggunakan strukturalisme Levi Strauss memperlihatkan bahwa cerita PAL merupakan keinginan-keinginan pemiliknya yang tidak disadari dan diekspresikan melalui sebuah cerita. Cerita PAL dalam filosofi orang Jawa sebagai latar belakang pemiliknya menggambarkan perjalanan
manusia
dalam
kehidupannya.
Perjalanan
hidup
manusia
berdasarkan cerita PAL dimulai dari menghadapi alam, membentuk kekuasaan, kehidupan bermasyarakat dan penentuan kehidupan. Melalui cerita
PAL pandangan-pandangan filosofis orang Jawa
berkaitan dengan kehidupan disampaikan secara simbolik. Penyampaian secara simbolik ini juga erat kaitannya dengan anggapan masyarakat Jawa bahwa
182
ketika kita memberikan nasihat jangan bersifat menggurui. Jika menyampaikan nasihat secara langsung seolah-olah kita sedang menggurui, hal itu tidak baik saru lan ora ilok. Sehingga masyarakat Jawa sering menggunakan simbolsimbol dalam memberikan arahan maupun nasihat. Menghadapi kebiasaan orang Jawa menggunakan simbol-simbol bahasa ini maka perlu sifat kritis dan pemahaman terlebih dahulu terhadap perkataan orang Jawa. Sebab jika perkataan orang Jawa ditelan mentah-mentah, tanpa adanya pemahaman yang baik, maka sering terjadi kesalahan pemahaman atau salah interpretasi. Falsafah orang Jawa terhadap kehidupan disimbolkan melalui tokoh dan perilaku tokoh dalam cerita
PAL. Bagaimana manusia sebaiknya
memperlakukan alam, hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan manusia dengan makhluk lain, hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, disampaikan melalui interaksi tokoh-tokoh dalam cerita PAL. Cerita rakyat yang ternyata sarat dengan petuah dan nasihat-nasihat ini lah yang perlu dikaji dan diberikan kepada siswa agar siswa memahami dan dapat mengambil pelajaran dari cerita yang disampaikan. b) Dasar Estetika Estetika dimaknai sebagi keindahan. Cerita PAL sebagai sebuah karya sastra tentu saja mengandung keindahan. Setiap karya seni mengandung keindahan yang berwujud penjelamaan pengalaman kejiwaan ke dalam bentuk alamiah yang tepat dan menarik sesuai dengan yang diungkapkannya.
183
Thomas Aquino (Suroso,2008:72) menyatakan bahwa ada tiga syarat untuk keindahan, yaitu; 1) keutuhan atau kesempurnaan, karena segala kekurangan mengakibatkan keburukan atau kejelekan; 2)
keselarasan atau
kesimbangan bentuk, sesatu yang harmonis; 3) sinar kejelasan, yakni segala sesatu yang memancarkan nilai-nilai terang atau cemerlang. Tiga syarat keindahan yang disampaikan Thomas Aquino telah terpenuhi dalam cerita PAL. Pertama, sebagai sebuah karya sastra bentuk dan isi cerita
PAL dapat dianggap telah utuh sebagai sebuah mitos maupun
legenda, karena baik cerita maupun isinya mengisahkan kejadian tentang manusia dan kemanusiaannya. Kedua, keselarasan atau kesimbangan bentuk dalam
PAL dapat dilihat dari struktur cerita maupun alur cerita yang
dikisahkan. Cerita PAL menggambarkan alur kehidupan manusia yang diawali dari menghadapi alam, membentuk kekuasaan, kehidupan bermasyarakat dan diakhiri dengan penentuan kehidupan. Ketiga, sinar kejelasan yang dapat dilihat dari cerita PAL adalah tentang nilai-nilai yang diungkapkan melalui jalinan cerita, bahwa seseorang yang melakukan tindakan baik akan menemukan kebaikan dan orang yang melakukan tindak kejahatan atau keburukan akan menerima apa yang telah mereka perbuat. c) Dasar Budaya Cerita PAL sebagai sebuah legenda yang merupakan sastra lisan sekaligus masuk salah satu bidang kajian folklor. Salah satu fungsi dari sastra lisan dan folklor adalah sistem proyeksi. Cerita
PAL
merupakan sebuah
184
proyeksi yang mengungkapkan secara terselubung atau secara gamblang bagaimana budaya orang Jawa memandang dunianya. Budaya inilah yang perlu digali dan dikaji melalui pendidikan, sehingga siswa dapat memahami bahwa bangsa kita memiliki budaya yang tinggi. Hal ini sangat penting untuk dijadikan landasan berpikir bagi para pendidik khususnya untuk mencari jatidiri bangsa yang hampir hilang sekarang ini. Gencarnya arus informasi dan budaya luar yang mempengaruhi gaya hidup masyarakat sangat besar pengaruhnya dalam mengikis budaya luhur bangsa. Oleh sebab itu perlu adanya pengenalan terhadap budaya sendiri melalui pemahaman terhadap hasil karya para pendahulu yang sarat dengan pesan dan ajaran-ajaran kehidupan. d) Orientasi Model Model pembelajaran ini dirancang untuk pembelajaran cerita rakyat PAL sebagai bahan ajar dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Model ini berorientasi pada pembelajaran kontekstual atau CTL ( Contextual Teaching and Learning). CTL dipengaruhi oleh filsafat konstruktifisme yang digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Dasar teori belajarnya termasuk ke dalam rumpun belajar information-Processing Models dan teori belajar Vigotsky yang termasuk ke dalam Social Interaction Models yang menekankan keaktifan seseorang dalam belajar. Pembelajaran
kontekstual merupakan strategi belajar
yang
diarahkan pada upaya membantu dan menginspirasi peserta didik melalui proses pengaitan pembelajaran dengan dunia empiris atau dunia nyata
185
pembelajar. Proses yang dikembangkan adalah melalui dorongan kearah berkembangnya pengalaman baru dengan cara memadukan antara pengetahuan dengan penerapannya di dalam kehidupan peserta didik. Proses ini akan mengakrabkan peserta didik dengan lingkungannya, baik lingkungan keluarga, masyarakat,
maupun
dunia
kerja.
Harapannya
dengan
pembelajaran
kontekstual peserta didik menjadi lebih termotifasi untuk belajar. e) Model Pembelajaran 1) Sintax (urutan kegiatan) Langkah-langkah dalam model kontekstual ini terdiri dari tujuh langkah. Langkah-langkah dalam model ini adalah sebagai berikut. (1) Siswa dikelompokan menjadi kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 siswa. (2) Setiap kelompok menyimak cerita yang disampaikan oleh guru, dengan berusaha menemukan hal yang berhubungan dengan cerita tersebut, misalnya struktur cerita, tokoh dan nilai yang ada dalam cerita. (3) Siswa mendiskusikan hasil temuannya dalam kelompok, dan melaporkan hasil diskusinya. (4) Siswa melakukan observasi dan wawancara kepada masyarakat berkaitan dengan cerita rakyat yang ada di daerahnya. (5) Siswa melakukan diskusi kelas dengan dipimpin oleh guru tentang hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan. Dalam kegiatan ini, siswa membandingkan cerita rakyat yang diperoleh dari daerah masing-masing.
186
(6) Siswa melakukan refleksi tentang apa yang telah diperolehnya dalam proses pembelajaran. (7) Siswa melaporkan hasil kerja kelompoknya untuk dinilai oleh guru. Penilaian didasarkan pada proses belajar dan hasil kerja siswa. 2) Sistem Sosial Model ini bercirikan proses aktif siswa dalam menemukan, menambah, serta memahami lebih dalam mengenai materi cerita rakyat sebagai kearifan lokal yang ada ditengah masyarakat. Komunikasi dengan orang lain sangat penting dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga menumbuhkan kemampuan mengontruksi sesuatu hal secara bekerja sama. Pembelajaran mengintegrasikan kehidupan sosial di kelas maupun di lingkungan masyarakat. 3) Prinsip-prinsip Reaksi Prinsip-prinsip reaksi ini diperlukan pada tahap awal pembelajaran ketika guru mengenalkan cerita rakyat PAL yang ada di Desa Limbasari sebagai salah satu hasil kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Prinsip reaksi ini juga dilakukan ketika mendiskusikan dan menyimpulkan keberadaan cerita rakyat dalam masyarakat. 4) Sistem Penunjang Sistem penunjang yang diperlukan dalam model pembelajaran ini adalah ketersediaan sarana yang ada pada dunia empiris siswa, masyarakat yang kondusif untuk proses pembelajaran dan bahan pembelajaran yang menarik dan bermanfaat bagi siswa maupun komunitas masyarakat berkenaan dengan pelestarian cerita rakyat.
187
5) Dampak Instruksional/Penyerta Dampak yang diharapkan dari model pelestarian cerita rakyat PAL melalui pembelajaran di Madrasah Tsanawiyah adalah sebagai berikut. (1) Siswa mengenal dan memahami cerita PAL sebagai sebuah hasil karya sastra yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma bermasyarakat yang perlu untuk dilestarikan. (2) Siswa dapat lebih bijak dalam melakukan penafsiran-penafsiran terhadap karya sastra khususnya untuk cerita rakyat yang berupa dongeng, mitos maupun legenda. (3) Cerita PAL dapat bertahan keberadaannya sebagai sebuah karya sastra yang mengandung banyak pesan-pesan kehidupan. (4) Masyarakat Desa Limbasari mempunyai harapan yang baik terhadap pelestarian cerita rakyat yang dimilikinya, sebab melalui pembelajaran di sekolah cerita tersebut akan lebih dikenal oleh masyarakat khususnya generasi penerus. (5) Model pelestarian yang disusun dapat memberikan kontribusi pada pelestarian cerita rakyat lainnya yang masih hidup dan berkembang di masyarakat. (6) Model yang telah disusun dapat dimanfaatkan oleh guru untuk pembelajaran Bahasa Indonesia, dan selanjutnya dapat dikembangkan agar lebih sempurna. Selanjutnya model pembelajaran cerita PAL dapat digambarkan melalui bagan berikut ini.
188
Proses belajar mengajar
Sintaksis Guru
Prinsip belajar Mengajar
Siswa
Pretes
1. 2. 3. 4. 5.
Pembagian kelompok Analisis simakan Mengontruksi materi Merefleksikan Mencari dan menemukan data pelengkap melalui observasi dan wawancara di lapangan 6. Mendiskusikan dan mengontruksi data yang diperoleh 7. Melaporkan hasil temuan 8. Memberikan penghargaan kelompok
Sistem
Prinsip
Sosial
Raksi
Sistem Penunjang
Keterangan: = Dampak Instruksional = Dampak Penyerta
Gambar 25 Model Pembelajaran Cerita Rakyat PAL
1. Meningkatkan apresiasi sastra, cerita rakyat 2. Pembelajaran bermakna 3. Pembelajaran efektif
Hasil belajar
1. 1.Siswa mengenal dan memahami cerita PAL 2. 2. Siswa dapat melestarikan cerita rakyat
189
6) Penyusunan Silabus SILABUS Nama Sekolah
:
MTs Negeri Bobotsari
Mata Pelajaran
:
Bahasa Indonesia
Kelas/Semester
:
VII/1
Standar Kompetensi
: Mendengarkan (mengapresiasi dongeng yang diperdengarkan)
Kompetensi Dasar Menemukan hal-hal menarik dari dongeng yang diperdengarkan Materi pembelajaran 1) Ciri-ciri dongeng dan jenisnya 2) Struktur dongeng / cerita Putri Ayu Limbasari 3) Nilai-nilai moral dalam cerita Putri Ayu Limbasari 4) Fungsi dongeng bagi masyarakat Kegiatan Pembelajaran 1) Siswa mendengarkan cerita rakyat Putri Ayu Limbasari yang disampaikan guru. 2) Siswa mengidentifikasikan karakteristik cerita rakyat. 3) Siswa menghubungkan latar tempat yang ada dalam cerita Putri Ayu Limbasari dengan tempat kejadian yang ada di daerah siswa. 4) Siswa menemukan struktur cerita Putri Ayu Limbasari (unsur intrinsik) 5) Siswa menemukan nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita Putri Ayu Limbasari.
190
6) Siswa mengumpulkan informasi cerita rakyat lainnya di daerah siswa dan dibandingkan dengan cerita Putri Ayu Limbasari. 7) Siswa menyusun laporan hasil diskusi tentang perbandingan cerita Putri Ayu Limbasari dengan cerita rakyat lainnya yang ditenukan siswa. Indikator 1) Siswa dapat menjelaskan isi cerita Putri Ayu Limbasari, dan keberadaan cerita tersebut. 2) Siswa dapat menyebutkan karakteristik cerita rakyat. 3) Siswa dapat menemukan hubungan cerita Putri Ayu Limbasari dengan keberadaan tempat-tempat di daerah siswa. 4) Siswa dapat menemukan unsur intrinsik cerita
Putri Ayu Limbasari,
(tokoh, latar, watak, amanat). 5) Siswa dapat menemukan nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita Putri Ayu Limbasari. 6) Siswa dapat membandingkan cerita Putri Ayu Limbasari dengan cerita rakyat lainnya. Penilaian Jenis tagihan
:
Bentuk Instrumen :
tugas kelompok uraian bebas
Alokasi Waktu 4 jam (2 x pertemuan) / 180 menit Sumber/ Bahan Cerita rakyat Putri Ayu Limbasari
191
l. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Satuan Pendidikan
: MTs Negeri Bobotsari
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas/Semester
: VII/1
Alokasi Waktu
: 4 x 45 menit (2 pertemuan)
Standar Kompetensi Mengapresiasi dongeng yang diperdengarkan Kompetensi Dasar Menemukan hal-hal yang menarik dari dongeng yang diperdengarkan Indikator 1) Siswa dapat menjelaskan isi cerita Putri Ayu Limbasari, dan keberadaan cerita tersebut. 2) Siswa dapat menyebutkan karakteristik cerita rakyat. 3) Siswa dapat menemukan hubungan cerita Putri Ayu Limbasari dengan keberadaan tempat-tempat di daerah siswa. 4) Siswa dapat menemukan unsur intrinsik cerita
Putri Ayu Limbasari,
(tokoh, latar, watak, amanat). 5) Siswa dapat menemukan nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita Putri Ayu Limbasari. 6) Siswa dapat membandingkan cerita Putri Ayu Limbasari dengan cerita rakyat lainnya.
192
Materi Pembelajaran Putri Ayu Limbasari Pada zaman dahulu, terdapat serombongan orang yang melakukan perjalanan untuk menyebarkan agama Islam (membangun padepokan),. Rombongan tersebut dipimpin oleh Kyai Gandawesi yang berasal dari kerajaan Mataram dengan diikuti Siti Rumbiah, Ketut Wlingi, Patrawisa dan beberapa prajurit. Ketut Wlingi dan Patrawisa adalah murid serta pembantu Kyai Gandawesi yang berasal dari Bali. Kemudian karena Ketut Wlingi bertabiat baik, rajin dan cakap, akhirnya dinikahkan dengan anak Kyai Gandawesi yaitu Siti Rumbiah. Perkawinan Ketut Wlingi dan Siti Rumbiah ini dikaruniai dua orang anak, yaitu Wlingi Kusuma dan Dyah Ayu Wasiati. Wlingi Kusuma tumbuh menjadi pemuda yang cakap, pemberani, dan mempunyai kesaktian yang tinggi, sementara Dyah Ayu Wasiati tumbuh menjadi gadis yansg cantik jelita serta halus budi pekertinya. Dikisahkan, setelah sekian lama mengembara sampailah mereka di tepian sungai. Sungai tersebut sangat angker. Banyak makhluk halus berdiam di sungai tersebut. Supaya dapat mencapai seberang mau tidak mau mereka harus menyeberangi sungai tersebut. Kyai Gandawesi melakukan semedi memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa agar dapat menyingkirkan makhluk halus tersebut. Dengan izin Allah, setan-setan tersebut dapat disingkirkan ke sebuah tempat. Kyai Gandawesi menamakan tempat menyingkirnya setan-setan tersebut dengan nama Penisihan, yang artinya tempat untuk menyisih atau menyingkir. Sementara tempat Kyai Gandawesi semedi diberi nama Pamujan yang berarti tempat untuk memuja. Sungai yang mereka lewati diberi nama Kedung Belis, kedung berarti sungai, dan belis berarti setan. Kedung Belis berarti sungai yang banyak setannya. Akhirnya mereka berhasil menyeberang sungai dengan selamat dan sampailah mereka pada sebuah bukit. Setelah berhasil menyeberangi sungai rombongan Kyai Gandawesi sampai di sebuah bukit. Di bukit tersebut, Kyai Gandawesi kebingungan dalam memilih arah mana yang tepat untuk dituju. Berbekal kesaktian dan kekuatan yang dimiliki, ia menaikan batu berukuran raksasa untuk landasan tempat ia melihat arah. Dari atas batu inilah terlihat sebuah lembah yang terletak di arah timur laut dari tempatnya berdiri. Lembah tersebut terlihat cocok untuk membangun sebuah padepokan, karena letaknya yang strategis, yaitu diapit dua buah sungai di timur dan barat dan disebelah utara terdapat perbukitan. Kemudian tempat ini diberi nama Watu Tumpang yang berarti batu yang tumpang tindih. Di tengah perjalanan menuju lembah tersebut, mereka bertemu dengan seorang nenek. Kyai Gandawesi kemudian bertanya kepada nenek tersebut, tentang arah mana yang harus ditempuh ke lembah untuk mendirikan sebuah padepokan. Setelah menjawab pertanyaan, nenek tersebut menghilang. Untuk mengenang kejadian tersebut Kyai Gandawesi memberi
193
nama bukit tempat bertemu dengan nenek tersebut dengan nama Gunung Nini yang berarti gunung nenek. Setelah berjalan berhari-hari, sampailah mereka ke lembah yang dituju. Di lembah tersebut mereka mendirikan padepokan untuk menyebarkan ilmu. Pada waktu itu, lembah masih berupa hutan belantara. Kyai Gandawesi memerintahkan kepada dua orang pembantunya untuk membuka hutan sampai dapat digunakan untuk membuat padepokan. Pada saat kedua pembantunya yang bernama Patrawisa dan Ketut Wlingi membuat irigasi dan bendungan untuk memenuhi kebutuhan air di lembah, Patrawisa jatuh terpeleset dan meninggal dunia. Tempat meninggalnya Patrawisa ini sampai sekarang bernama Patrawisa atau Patrawingsa. Hasil saluran irigasi berupa aliran sungai dinamakan Sungai Wlingi untuk menghormati jasa Ketut Wlingi. Akhirnya di lembah tersebut dibanngun padepokan yang diberi nama Nimbasari. Nama ini diambil karena di padepokan tersebut orang-orang dapat menuntut ilmu (nimba artinya menuntut, sari artinya ilmu). Nama Nimbasari kemudian berubah menjadi Limbasari. Dari tahun ketahun padepokan Nimbasari semakin terkenal sampai jauh keluar wilayah, dengan gurunya Kyai Gandawasi, yang ada juga menyebutnya Kyai Kendilwesi. Kyai Gandawesi menyadari bahwa umurnya telah lanjut. Tibalah saatnya untuk menyesihkan diri menekuni hari tuanya. Akhirnya dia berpamitan dengan penghuni padepokan. Kepemimpinan dan pengelolaan padepokan diserahkan kepada menantunya Ketut Wlingi. Kyai Gandawesi meninggalkan Nimbasari menuju daerah pesisir selatan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kemana Kyai Gandawesi mengembara. Disuatu daerah pantai di Kabupaten Cilacap terdapat sebuah makam yang dikenal sebagai makam Kendilwesi. Petilasan itulah yang kemungkinan merupakan tanda bahwa Kyai Gandawasi atau Kyai Kendilwesi pernah tinggal di kawasan tersebut. Nimbasari tidak hanya padepokan saja yang terkenal, tetapi putri penghuni padepokan pun turut terkenal terutama Dyah Ayu Wasiati juga sangat terkenal dengan kecantikan parasnya dan kehalusan budinya. Tidak sedikit para pemuda yang datang hendak mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Namun demikian lamaran para pemuda selalu ditolak oleh Dyah Ayu Wasiati. Pada suatu waktu, datanglah empat orang bupati bersama-sama dengan maksud mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Empat bupati tersebut adalah; Bupati Wirayuda dari Bandingan, Bupati Wiratenaya dari penisihan, Bupati Wirataruna dari Beji, dan Bupati Wirapraja dari Sawangan. Lamaran keempat bupati ini membuat Dyah Ayu Wasiati menjadi bingung. Ia tidak mungkin memilih kempat-empatnya dan apabila salah satu dipilih maka yang lain akan kecewa dan marah. Apabila bupati yang tidak terpilih marah, maka akan membuat penghuni padepokan akan resah dan takut. Hal ini disebabkan para bupati mempunyai kedudukan dan pengaruh disekitar Nimbasari, apalagi mereka dulu adalah murid Kyai Gandawesi. Melihat keresahan yang dialami Dyah Ayu Wasiati, Wlingi Kusuma sebagai kakak tidak tega melihatnya. Ia menawarkan jalan keluar dengan membuat sayembara. Sayembara tersebut berbunyi barang siapa yang
194
mampu mengalahkannya, ia berhak mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Sayembara tersebut kemudian disetujui oleh dyah Ayu Wasiati dan keempat bupati tersebut. Pertempuran antara Wlingi Kusuma dan para bupati pun dimulai. Namun karena Wlingi Kusuma sangat sakti, maka tidak satu pun bupati yang sanggup mengalahkannya. Hal ini membuat resah para bupati. Mereka akhirnya sepakat untuk mengalahkan Wlingi Kusuma dengan jalan mengeroyoknya. Meskipun dikeroyok empat bupati Wlingi Kusuma tetap tak terkalahkan. Ia mempunyai kesaktian bahwa apabila ia mati kemudian jasadnya menyentuh tanah maka ia dapat hidup kembali. Melihat kondisi ini, para bupati kemudian memotong-motong tubuh Wlingi Kusuma yang saat itu mati agar tidak dapat bersatu lagi. Potongan-potongan tubuh Wlingi Kusuma kemudian, dibawa oleh para bupati. Bagian lambung yang dalam bahasa Jawa dinamakan bumbung dibawa bupati Wiratenaya ke kadipatennya di Penisihan. Namun dalam perjalanan bumbung itu akhirnya dikubur, karena Wiratenaya tidak tahan membawa lambung yang terus bergerak-gerak. Tempat untuk menguburkan lambung tersebut diberi nama Palumbungan yang diambil dari nama bumbungan. Bagian anggota tubuh Wlingi Kusuma berupa kepala dibawa Bupati Wirapraja ke daerah Tlahab dan dikuburkan di daerah tersebut. Tempat untuk menguburkan kepala Wlingi Kusuma ini diberi nama Siregol, yang berarti sirah gigal atau kepala jatuh. Kaki Wlingi kusuma dibawa Bupati Wirayuda ke arah utara yaitu daerah Karang Jambu dan dikuburkan di tempat tersebut. Daerah ini kemudian diberi nama Lemah Jangkar. Wirataruna membawa kemaluan Wlingi Kusuma dikuburkan di tepi sungai Laban. Tempat itu kemudian dinamakan Gunduk Sikonthol. Gundukan itu sampai sekarang apabila ditanami berbagai tanaman selalu mati atau tidak berbuah. Dengan cara demikian akhirnya Wlingi Kusuma benar-benar tewas. Meninggalnya Wlingi Kusuma dengan cara licik membuat marah Ketut Wlingi. Ia berniat menuntut balas, tetapi Siti rumbiah dan Dyah Ayu Wasiati segera menyadarkannya. Apabila Ketut Wlingi menuruti hawa nafsu, dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan di Nimbasari. Stelah ditenangkan oleh anak dan istrinya, Ketut Wlingi akhirnya menyadari bahwa kematian Wlingi Kusuma sudah menjadi suratan takdir. Setelah Wlingi Kusuma tewas, kalah dalam pertempuran karena kelicikan para bupati, Dyah Ayu Wasiati semakin bingung. Apalagi ketika para bupati menagih janji atas kekalahan Wlingi Kusuma. Kekalahan kakaknya bukan oleh seorang bupati melainkan oleh keempat bupati tersebut. Sebagai seorang berbudhi mulia Dyah Ayu Wasiati mengakui kekalahan kakaknya dalam sayembara, tetapi ia tidak dapat memilih dari keempat bupati tersebut untuk menjadi suaminya. Untuk mengatasi hal ini, Dyah Ayu Wasiati kemudian mengajukan permohonan. Untuk menentukan siapa yang akan dipililih sebagai suaminya, ia akan memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa dengan jalan tapa pendhem (bertapa di dalam tanah). Ia kemudian meminta dibuatkan sebuah lobang untuk tempat bertapa. Permohonan akhirnya dapat diterima oleh para
195
bupati. Untuk mengetahui apakah Dyah Ayu Wasiati sudah dapat petunjuk atau belum, maka digunakan seutas tali yang dipegang Dyah Ayu Wasiati bagian ujung dan bagian ujung yang lain menjulur keluar lobang bertapa. Tali ini dimasukan ke dalam bambu yang sekaligus sebagai tempat bernafas. Apabila tali tersebut masih bergerak-gerak, maka manandakan Dyah Ayu Wasiati belum mendapat petunjuk. Apabila tali sudah diam tak bergerak menandakan Dyah Ayu Wasiati sudah dapat petunjuk dan lobang tempat bertapa dapat dibongkar. Setelah ditunggu oleh para bupati, akhirnya tali tersebut diam tak bergerak. Melihat hal ini dengan cepat para bupati membongkar lobang tempat Dyah Ayu Wasiati melakukan tapa pendhem. Para bupati semakin berharap bahwa dirinyalah yang akan terpilih untuk menjadi suami Dyah Ayu Wasiati. Namun setelah lobang dibongkar, betapa terkejutnya keempat bupati melihat jazad Dyah Ayu Wasiati yang telah terbujur kaku di dalamnya. Melihat kejadian ini para bupati menyadari kekeliruannya. Mereka sangat menyesal dan merasa bersalah kepada Dyah Ayu Wasiati dan keluarganya. Setelah peristiwa tersebut, Ketut Wlingi membuat larangan atau arahan kepada masyarakat Nimbasari pada saat itu, bahwa apabila nanti padepokan ini tambah maju, jika ada perempuan Nimbasari yang cantik jangan terlalu cantik, dan tidak boleh memanjangkan rambutnya melebihi lutut. Hal ini karena Dyah Ayu Wasiati diceritakan berambut panjang sampai lutut. Apabila terdapat perempuan yang cantiknya menyamai Dyah Wasiati, maka hidupnya tidak akan tentram dan tidak akan berumur panjang. Model Pembelajaran Pada pembelajaran ini, model yang digunakan berdasarkan pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning), dengan bebrapa strateginya yaitu menemukan, konstruktisme, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, dan refleksi, serta penilaian yang sebenarnya. Kegiatan Pembelajaran 1) Pertemuan ke -1 Kegiatan Awal a) Guru mengadakan apresepsi tentang materi pembelajaran dengan materi yang pernah diberikan kepada siswa.
196
b) Guru menyampaikan informasi tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar pembelajaran. c) Guru menyampaikan secara garis besar keberadaan cerita rakyat khususnya di daerah Purbalingga. Kegiatan Inti a) Siswa mendengarkan dongeng berupa cerita yang berjudul Putri Ayu Limbasari yang disampaikan oleh guru. b) Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 siswa. c) Bersama kelompoknya siswa mendiskusikan karakteristik cerita rakyat, unsur intrinsik cerita Putri Ayu Limbasari dan nilai-nilai moral yang ada dalam cerita. d) Perwakilan siswa melaporkan hasil diskusi kelompok. e) Kelompok lain menanggapi hasil laporan diskusi. Kegiatan Penutup a) Guru bersama melakukan refleksi tentang pembelajaran yang telah dilakukan. b) Guru memberi tugas kelompok yaitu a. Setiap kelompok mencari satu buah cerita rakyat yang ada di daerahnya. b. Setiap kelompok membandingkan cerita rakyat yang diperoleh dengan cerita Putri Ayu Limbasari.
197
2) Pertemuan ke-2 Kegiatan Awal a) Guru melakukan apresepsi b) Guru
menyampaikan
SK
dan
KD
pembelajaran
yang
akan
dilaksanakan. c) Guru mengaitkan pembelajaran dengan tugas yang telah diberikan kepada siswa secara kelompok. Kegiatan Inti a) Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kerjanya berupa penemuan cerita rakyat yang diperbandingkan dengan cerita Putri Ayu Limbasari. b) Kelompok lain menanggapi laporan kelompok temannya dengan berdiskusi. c) Siswa dan guru mendiskusikan tentang persamaan dan perbedaan dari cerita-cerita yang telah diperoleh masing-masing kelompok. d) Siswa menemukan fungsi cerita rakyat bagi pemiliknya. Kegiatan Akhir a) Guru dan siswa menyimpulkan pembelajaran yang telah dilaksanakan. b) Guru dan siswa merefleksi pembelajaran yang telah dilaksanakan Sumber belajar a) Cerita Rakyat b) Buku cerita rekaan c) Narasumber/masyarakat
198
Penilaian Pertemuan ke-1 Teknik
: Tes
Bentuk Instrumen : Soal tertulis Soal kelompok
:
1) Termasuk dalam genre apakah cerita Putri Ayu Limbasari? 2) Sebutkan 3 karakteristik cerita rakyat ? 3) Sebutkan tokoh dan karakter yang ada dalam cerita Putri Ayu Limbasari! 4) Sebutkan latar tempat yang ada dalam cerita Putri Ayu Limbasari ! 5) Nilai-nilai moral apa sajakah yang dapat diambil dari cerita Putri Ayu Limbasari ? Pedoman Penskoran Skor masing-masing soal 2, skor maksimal 10 Penghitungan nilai akhir dalam skala 0—100 adalah sebagai berikut: Perolehan Skor Nilai =
x Skor ideal (100) Skor Maksimum (10)
Pertemuan ke-2 Teknik
: Tes
Bentuk
: Uraian laporan hasil kelompok
Soal
: Carilah sebuah cerita rakyat yang ada di daerah kalian, kemudian bandingkan cerita tersebut dengan cerita Putri Ayu Limbasari !
199
Pedoman Penskoran Penemuan cerita rakyat Isi Cerita No 1. Cerita lengkap dari awal sampai akhir 2. Cerita kurang lengkap 3. Tidak menemukan cerita rakyat Skor maksimal Perbandingan cerita dengan Putri Ayu Limbasari Perbandingan No 1. Menemukan perbandingan dengan tepat 2. Menemukan perbandingan tetapi kurang tepat 3. Tidak dapat membandingkan Skor maksimal
Skor 40 20 0 40
Skor 21 - 40 10 - 20 0 40
Kerja kelompok No Kerja sama Skor 1. Semua anggota bekerja sama 20 2. Hanya sebagian anggota yang bekerja 10 sama 3. Tidak ada kerja sama 0 Skor maksimal 20 Skor total maksimal 100 Nilai = perolehan skor cerita + skor perbandingan + skor kerja sama 7) Analisis Model Pelestarian Cerita PAL Sebagai Bahan Ajar di Madrasah Tsanawiyah 8.1. Analisis Model Pembelajaran Model pelastarian cerita PAL yang dijadikan sebagai bahan ajar di Madrasah Tsanawiyah menggunakan model pembelajaran kontekstual. Model ini menggunakan strategi-strategi seperti konstruktivisme, penemuan (inkuiri), bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian nyata. Selanjutnya model kontekstual yang diterapkan pada cerita PAL akan dianalisis
200
berdasarkan strategi-strategi tersebut. Hasil analisis dapat disampaikan sebagai berikut. (1) Analisis Konstruktivisme Pada model pembelajaran ini, strategi konstruktivisme diterapkan ketika siswa menyusun unsur-unsur intrinsik cerita Putri Ayu Limbasari dari hasil simakan, menghubungkan tempat dalam cerita dengan tempat empiris di daerahnya, informasi yang diperoleh ketika mencari cerita rakyat. Siswa membangun pemahaman pada dirinya tentang karakteristik cerita rakyat. (2) Analisis Penemuan atau inkuiri Salah satu tugas yang diberikan guru kepada siswa adalah mencari hal-hal yang berkaitan dengan cerita rakyat seperti karakteristik, unsur-unsur yang membangun, fungsi cerita rakyat, dan nilai-nilai yang terkandung dalam PAL. Dalam proses inipun siswa melakukan penemuan atau pencarian terhadap cerita rakyat yang ada pada masyarakat. (3) Bertanya Bertanya merupakan kata kerja yang maksudnya untuk mengetahui sesuatu. Perolehan informasi dilakukan melalui proses bertanya. Untuk mengetahui hal-hal tentang cerita rakyat siswa melakukan tanya jawab dengan anggota kelompoknya. Proses bertanya ini juga dilakukan dengan guru, dan kepada masyarakat pemilik cerita. (4) Masyarakat Belajar Pengetahuan dan pengalaman siswa diperoleh melalui orang lain baik secara perorangan atau kelompok. Proses diskusi di kelas bersama
201
kelompok atau seluruh kelas termasuk guru adalah salah satu ciri masyarakat belajar. Perolehan ilmu atau pengalaman dari masyarakat yang tahu tentang cerita rakyat juga merupakan bagaian dari masyarakat belajar. Siswa selalu berada dalam lingkungan masyarakat belajar manakala dalam dirinya masih membutuhkan informasi yang berguna bagi tugas belajarnya. (5) Pemodelan Pemodelan yang ada dalam pembelajaran kontekstual ini dilakukan oleh guru ketika menyampaikan cerita Putri Ayu Limbasari . Guru sebagai model yaitu guru sebagai penutur cerita. (6) Refleksi Refleksi merupakan pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian pembelajaran yang telah dilaluinya. Refleksi berfungsi mengupayakan siswa untuk mencoba mengingat kembali apa yang dialaminya sehingga dapat menyimpulkan pengalaman belajarnya sendiri. Pengalaman-pengalaman belajar tentang cerita rakyat akan membentuk pondasi minat siswa terhadap pemeliharaan budaya daerah sebagai suatu kearifan lokal. (7) Penilaian Nyata Evaluasi yang disusun guru dalam model ini menggunakan penilaian proses dan hasil. Keaktifan siswa dalam diskusi, mengemukakan ide-idenya, serta pencarian yang serius merupakan penilaian tersendiri sebagai proses belajar siswa. Pada bagian akhir pembelajaran guru melakukan evaluasi sebagai proses penilaian untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap
202
cerita rakyat. Pengumpulan tugas kelompok juga merupakan proses penilaian yang dapat dilakukan oleh guru. Berdasarkan analisis model pembelajaran dengan menggunakan strategi-strategi seperti konstruktivisme, penemuan (inkuiri), bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian nyata, maka cerita PAL dapat diterapkan dengan model pembelajaran kontekstual. 8.2. Analisis Bahan Pembelajaran Berdasarkan pendapat Rahmanto (1993: 27-31) yang menyampaikan bahwa dalam pemilihan bahan ajar sastra di sekolah harus mempertimbangkan tiga aspek penting yaitu: 1) bahasa; 2) kematangan jiwa (psikologi); 3) latar belakang kebudayaan siswa, maka cerita PAL sebagai bahan ajar akan dianalisis dengan ketiga aspek tersebut. (1) Aspek Bahasa Cerita PAL merupakan cerita rakyat lokal yang dituturkan menggunakan bahasa daerah. Melalui proses translasi cerita PAL yang masih dalam bahasa daerah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Cerita PAL hasil dari proses translasi ini dapat dipahami dengan mudah oleh siswa karena tidak mengunakan kosa kata yang tidak diketahui oleh siswa. Kosa kata bahasa daerah yang tidak ada padanan dalam Bahasa Indonesia tidak menjadi hambatan bagi para siswa karena kosa kata tersebut merupakan kosa kata dari bahasa ibu mereka. Contoh pada istilah semedi, bertapa, tirakat dan ngluwat. Kosa kata-kosa kata ini tidak asing di telinga siswa, sehingga siswa dapat memahaminya dengan baik.
203
(2) Aspek Psikologi Usia siswa Madrasah Tsanawiyah berkisar antara 12-15 tahun. Usia ini berdasarkan psikologi perkembangan anak dari anak-anak hingga dewasa, berada pada tahap ketiga yaitu tahap realistik (13 – 16 th). Pada tahap ini anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitas atau hal yang benar-benar nyata. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalahmasalah dalam kehidupan nyata. Berdasarkan tahap perkembangan anak tersebut maka kekhawatiran bahwa anak akan terpengaruh dengan hal-hal di luar nalar akan terhindarkan. Anak dalam tahap ini sudah dapat membedakan antara dunia fantasi dengan dunia nyata. Cerita PAL sebagai sebuah mitos yang mengandung hal-hal di luar nalar akan disikapi dengan baik oleh siswa. Peran guru sangat diperlukan dalam hal ini, untuk membantu pemahaman siswa. (3) Aspek Latar Belakang Kebudayaan Cerita PAL merupakan cerita rakyat lokal
yang sangat erat
kaitannya dengan budaya masyarakat pemiliknya. Keterkaitan antara karya sastra dengan budaya di lingkungan siswa akan memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran. Secara alami siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra berlatar budaya yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka. Mungkin mereka tertarik dengan peristiwa yang dikisahkan, tempat, atau kelompok masyarakat tertentu. Sangat boleh jadi tokoh-tokoh
cerita
lebih
menarik
perhatian
mereka
karena
ada
204
kencenderungan pada mereka untuk mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh tersebut. Terlebih lagi jika tokoh tersebut berasal dari lingkungan yang memiliki kesamaan dengan mereka atau orang-orang disekitar mereka. Sebagai sebuah legenda maka cerita PAL terkait dengan tempattempat yang ada di daerah siswa. Hal ini mendukung prinsip kontekstualitas dalam pembelajaran. Baik latar tempat maupun budaya yang ada dalam cerita PAL adalah latar tempat dan budaya yang dimiliki oleh siswa. Kriteria pemilihan bahan ajar yang disampaikan oleh Suyitno, bahwa bahan pelajaran harus mampu menunjang dan membantu siswa pada mengenal dan memahami manusia secara lebih baik, mampu membuat siswa memahami serta menghayati kehidupan secara lebih baik, memungkinkan pekerjaan jiwa dan perasaan siswa berkembang dengan baik dan menunjang pemahaman yang lebih baik terhadap kebudayaan pada umumnya dan kebudayaan nasional pada khususnya dapat dipenuhi dalam cerita PAL. Berdasarkan analisis model pelestarian cerita PAL sebagai bahan ajar di Madrasah Tsanawiyah, baik analisis model pembelajaran maupun analisis bahan pembelajaran, maka dapat disimpulkan bahwa cerita PAL dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran sastra di Madrasah Tsanawiyah.