6
BAB II 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi Malaria Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia dan tubuh nyamuk. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Spesies plasmodium pada manusia adalah Plasmodium falciparum, Plasmodim vivax, Plasmodim ovale, dan Plasmodium malariae (WHO, 2005).
2.2
Artemisinin Combination Therapy (ACT) Dalam perkembangannya, obat anti malaria yang tersedia di Indonesia saat
ini, tidak hanya terdiri dari obat-obat lama seperti, klorokuin, tetrasiklin, doksisiklin, kina, dan primaquin, tetapi juga sudah ada pengobatan baru dengan tidak menggunakan obat tunggal saja tetapi dengan kombinasi yaitu dengan ACT. Artemisinin merupakan obat antimalaria kelompok seskuiterpen lakton yang bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan P. vivax. Obat ini berkembang dari obat tradisional Cina untuk penderita demam yang dibuat dari ekstrak tumbuhan Artemesia annua L (qinghao) yang
sudah dipakai sejak ribuan tahun lalu dan
ditemukan peneliti Cina tahun 1971 (Harijanto, 2011) WHO
(2006)
memberikan
rekomendasi
untuk
artemisinin sebagai berikut: 1.
Untuk pengobatan malaria berat
2.
Untuk pengobatan malaria ringan/tanpa komplikasi
penggunaan
derivat
7
3.
Untuk meningkatkan efikasi dan menghambat resistensi terhadap derivat artemisinin harus dipakai kombinasi dengan obat malaria lain. Perkecualian bila tidak bisa memakai obat lain/kombinasi, artemisinin diberikan dalam waktu 7 hari. Menurut Harijanto (2011), ACT merupakan kombinasi pengobatan yang
unik, karena artemisinin memiliki kemampuan: 1.
Menurunkan biomass parasite dengan cepat
2.
Menghilangkan gejala dengan cepat
3.
Efektif terhadap parasit yang resisten.
4.
Menurunkan pembawa gamet, menghambat transmisi
5.
Belum ada resistensi terhadap artemisinin Di Indonesia saat ini telah dipergunakan 3 jenis obat ACT (Depkes, 2008)
yaitu :
1. Kombinasi Dihydroartemisinin- Piperaquine Merupakan Fixed Dose Combination (FDC), dimana 1 tablet mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperaquin. Obat ini diberikan per oral selama 3 hari dengan dosis tunggal harian sebagai berikut:
Dihydroartemisinin dosis 2-4 mg/kgBB
Piperaquin dosis 16-32 mg/kgBB Kombinasi Dihydroartemisinin- Piperaquine saat ini khusus digunakan di
daerah Papua.
2. Kombinasi Artemether – Lumefantrine 1 tablet mengandung 20 mg artemether ditambah 120 mg lumefantrin. Merupakan Fixed Dose Combination (FDC). Obat ini diberikan peroral selama 3 hari dengan dosis 2 × 4 tablet per hari.
8
3. Kombinasi Artesunate + Amodiakuin Beberapa
kemasan
artesunate-amodiakuin
yang
ada
pada
program
pengendalian malaria: a.
Kemasan Artesunate + Amodiakuin terbagi atas 2 blister, yaitu blister amodiakuin 200 mg (setara dengan 153 mg amodiakuin basa) terdiri dari 12 tablet dan blister artesunat 50 mg terdiri dari 12 tablet. Dosis yang diberikan adalah dosis tunggal per oral selama 3 hari. Dosis tunggal terdiri dari 10 mg/kgBB amodiakuin basa dan 4 mg/kgBB artesunat. Kemasan Artesunate + Amodiakuin terbagi atas 3 blister. Setiap blister terdiri
dari 4 tablet artesunat 50 mg dan 4 tablet amodiakuin 150 mg. Pada orang dewasa dapat diberikan 1 blister per hari selama 3 hari. 2.3 Kepatuhan Meminum Obat ACT Menurut D’Onofrio (dalam Wurjanto, 2005), kepatuhan meminum obat adalah suatu sikap dan perilaku yang menuruti setiap anjuran serta mengikuti setiap petunjuk pengobatan yang diberikan dengan penuh kesadaran. Notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa perilaku merupakan faktor yang dominan mempengaruhi kesehatan setelah lingkungan. Selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk oleh 3 faktor sehingga dapat mempengaruhi perilaku seseorang: 1.
Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
2.
Faktor Pendukung (Enabling Factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik. tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan, seperti kontrasepsi, dan obat-obatan.
9
3.
Faktor Pendorong (Reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan ataupun petugas lainnya, merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Selain itu, ada teori lain yang berhubungan dengan perilaku, yaitu Health
Belief Model (HBM), yakni suatu model kepercayaan penjabaran dari model sosiopsikologis. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa masalah-masalah kesehatan ditandai oleh kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usahausaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider. Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit menjadi model kepercayaan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Tingkat kepatuhan dapat diukur dengan cara memeriksa apakah ada sisa obat ACT yang tidak diminum oleh pasien sesuai dengan dosis yang dianjurkan puskesmas. 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Meminum Obat ACT Skinner (dalam Notoatmodjo, 2007), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan). Dari penjelasan di atas dapat disebutkan bahwa perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu: 2.4.1 Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah stimulus yang berasal dari luar diri seseorang, antara lain: peran keluarga, peran petugas kesehatan, lama minum obat, dan efek samping obat. Pada penelitian ini, faktor ekternal yang ingin ditelusuri oleh peneliti adalah efek samping obat ACT, khususnya muntah.
10
Efek samping obat adalah efek yang tidak diharapkan setelah pasien meminum obatnya. Efek samping yang sering dialami adalah muntah. Muntah yang dimaksudkan adalah muntah baik segera setelah pasien meminum obat ataupun muntah setelah obat tersebut terakumulasi dalam tubuh pasien kurang lebih selama 8 jam (Depkes, 2008). Pengukuran efek samping muntah dapat dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan kepada pasien apakah mengalami muntah dan frekuensi muntah yang dialami, lalu membandingkan dengan kepatuhan pasien meminum obat tersebut. Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Wuryanto (2005), dimana ia meneliti faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penderita malaria vivax. Pada penelitiannya ia tidak menemukan adanya hubungan antara efek samping dengan kepatuhan penderita (p = 0,131). Penelitian lainnya, yaitu penelitian Souares (2009) di Senegal mengenai faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap kombinasi antimalaria, dimana ia tidak menemukan adanya hubungan antara efek samping obat terhadap kepatuhan pasien (p = 0,53). 2.4.2 Faktor Internal Faktor internal, yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri seseorang, antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan. Pada penelitian ini, penleti ingin menelusuri faktor internal yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap pasien terhadap obat ACT.
2.4.2.1 Pengetahuan Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan merupakan hasil “Tahu“ dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
11
melalui pancaindra manusia yakni: penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Pada penelitian ini, pengetahuan yang akan ditelusuri adalah pengetahuan pasien tentang obat ACT yang meliputi dosis obat ACT yang harus dihabiskan, manfaat obat ACT, serta konsekuensi apabila tidak meminum obat ACT sesuai dosis. Untuk mengukur aspek-aspek tersebut, maka akan digunakan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan domain diatas (Notoatmodjo, 2003). Penelitian lain yang dapat dijadikan sebagai pembanding diantaranya, penelitian yang dilakukan Kurniawan (2008), di Kabupaten Asmat, Papua mengenai faktor risiko lingkungan dan perilaku penduduk terhadap kejadian malaria, menjelaskan bahwa ada hubungan signifikan antara pengetahuan dengan perilaku masyarakat terhadap pencegahan malaria (OR = 6, 026). Penelitian lainnya, yakni penelitian Wuryanto (2005) tentang faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penderita malaria vivax pada penderita malaria vivax (p = 0,002, PR = 4,8). Sedangkan penelitian Parsetijo (2005) tentang beberapa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita malaria tidak menemukan hubungan antara keduanya (p = 0,079). 2.4.2.2 Sikap Menurut Allport (dalam Notoadmodjo, 2003), sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu proses yang berlangsung dalam diri seseorang, bersama dengan
12
pengalaman individual masing-masing mengarahkan dan menentukan respons terhadap berbagai objek dan situasi. Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2003). Sikap yang ditelusuri dalam penelitian ini adalah pandangan pasien terhadap adanya obat ACT sebagai obat malaria baru. Aspek-aspek yang akan diteliti, yakni pandangan tentang risiko jika tidak meminum obat ACT sesuai dosis, pandangan tentang manfaat apabila meminum obat ACT sesuai dosis, dan pandangan tentang hal yang menghambat pasien dalam meminum obat ACT sesuai dosis. Aspek-aspek tersebut dapat diukur dengan mengamati pasien dan mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan penggunaan obat, kemudaian membandingkannya dengan tingkat kepatuhan dalam meminum obatnya. Penelitian lain yang dapat dijadikan pembanding penelitian ini adalah penelitian Parsetijo (2005) tentang beberapa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita malaria menemukan hubungan antara sikap dengan kepatuhan pasien dalam berobat (p = 0,001).