BAB II Pada bagian ini akan menjelaskan mengenai landasan teori yang sesuai dengan judul penelitian yang meliputi budaya, teori dari Richard Niebuhr, upacara adat dan simbol 1. Pengertian kebudayaan Manusia dalam setiap kehidupannya selalu menghasilkan kebudayaan. “Kata kebudayaan, berasal dari kata sansekerta “buddhayah” yang adalah bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti budi atau akal.”1 . Budaya adalah akal dari budi yang juga berupa cipta, karsa dan rasa.2 Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. 3 Ada ahli yang membedakan antara pengertian kebudayaan dan budaya. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa dan kebudayaan itu segala hasil dari cipta, karsa dan rasa. 4 Lebih jauh lagi ditegaskah oleh Bekker bahwa kebudayaan adalah penciptaan, penertiban dan pengelolaan nilai-nilai insan yang mencakup pengolahan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.5 Dari dalam kebudayaan orang menggali motif dan perangsang untuk menjunjung perkembangan masyarakat. Kebudayaan meliputi segala segi dan aspek dari hidup kita sebagai mahluk sosial.6 Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan mengatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar.7 Pandangan ini sangat luas karena meliputi semua aspek kehidupan manusia. 2. Wujud kebudayaan Dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Koentjaraningrat mengatakan bahwa keberadaan kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud. Wujud pertama adalah wujud ide dari kebudayaan. Pandangan ini menyatakan bahwa kebudayaan bersifat abstrak. Kebudayaan ide ini dapat disebut sebagai adat tata kelakuan. Tata adat kelakuan ini berfungsi untuk memberikan arah pada tingkah laku manusia. Wujud yang kedua adalah sistim sosial, ini berkaitan erat dengan pola kelakuan manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan dan bergaul dari waktu kewaktu. Sistem sosial biasanya bersifat nyata dan dapat dilihat secara langsung. Wujud yang ketiga adalah kebudayaan yang bersifat fisik. Kebudayaan yang bersifat fisik ini adalah kebudayaan yang paling nyata di mana kebudayaan ini bisa untuk lihat bahkan disentuh.8 Tri Widiarto mengatakan kebudayaan yang bersifat fisik dapat dilihat dari hal yang sederhana 1
Prof. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Universitas indonesia, 1966), 77.
2
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi , 77
3
Soerjono Sukanto, sosiologi suatu pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 172. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Aksara, 1962), 76. 5 JWM. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan, sebuah pengatar (Yogyakarta: Kanisius, 1984),11. 6 JWM. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan, sebuah pengantar , 22. 7 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia,1982), 1. 8 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, 5-7. 4
sampai hal yang canggih seperti: kue, selendang, kapak, handphone dan sebagainya. Sedangkan benda-benda canggih seperti:rumah, pesawat, kapal laut dan sebagainya. 9 Dalam kehidupan sehari-hari, ketiga wujud kebudayaan ini tidak bisa berdiri sendiri dan masing-masing akan mempengaruhi satu sama lainnya. Artinya gagasan atau ide mempengaruhi manusia untuk bertindak yang pada akhirnya akan menghasilkan karya-karya. 3. Agama Agama merupakan bagian atau segi masyarakat yakni komunitas manusia yang mempunyai keterikatan bersama berdasarkan keyakinan iman tertentu. 10Agama adalah bagian dari kebudayaan manusia, hal ini karena agama adalah ciptaan dari manusia di mana agama tersebut dipakai untuk menjadi perantara atau sarana dari manusia untuk menuju kepada kekuatan yang transenden. Semua agama sudah barang tentu memiliki cara-caranya tersendiri untuk melakukan sistem upacaranya. Upacara keagamaan memiliki minimal 4 komponen yaitu: tempat upacara, saat upacara, benda-benda dan alat-alat upacara serta orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.11 Ini menunjukan bahwa setiap agama tidak akan terlepas dari pada unsur-unsur tersebut. Tempat upacara adalah tempat yang dikhususkan dan tidak bisa didatangi dengan sembaranggan kecuali waktu tertentu. Setiap upacara biasanya memilikki tempat dan waktu yang berbeda hal itu tergantung pada waktu dan tujuan dari sebuah upacara keagamaan. Tempat melakukan upacara keaagamaan biasanyaa dilakukan di suatu tempat pusat desa seperti ladang, sawah laut dan sebaagainya. Kuburan juga bisa dijadikan tempat melakukan upacara keagamaan. Kubur biasanya juga merupakan suatu tempat keramat yang dipakai sebagai tempat upacara-upacara kegamaaan. Hal ini mudah dimengerti, karena kubur itu dibayangkan sebagai tempat di mana orang dapat paling mudah berhubungan dengan roh-roh nenek moyang yang meninggal. Penghormatan kubur nenek moyang memang suatu adat yang kita kenal tidak hanya di Indonesia saja, tetapi hampir di seluruh dunia.12 Bila dilihat bahwa sangat menarik hasil dari kebudayaan manusia dalam menentukan tempat mereka untuk tempat di mana mereka melaksanakan upacara. Setiap tempat upacara harus disesuaikan dengan kepentingan dari upacara tersebut. Keunikan dari setiap agama memang tidak hanya terlihat pada tempat upacaraanya tetapi juga pada hal apa yang dilakukan dalam melakukan upacara terseebut. Ini dikarenakan, setiap upacara memiliki maksud dan tujuan tertentu maka dari itu harus diperhatikan juga hal yang tepat untuk dilakukan dalam melakukan upacara tersebut. Koentjaraningrat mengatakan bahwa suatau upacara keagaman yang kompleks seringkali dapat dikupas ke dalam beberapa unsur perbuatan yang khusus, yang terpenting di antaranya adalah bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama, menari dan menyanyi, berpawai, memainkan seni drama, berpuasa, intoxikasi, bertapa dan bersemedi.13 9
Drs. Tri Widiarto, M.Pd, Pengantar Antropologi Budaya, (Salatiga: Wiidya Sari Press,2007), 14. J.B Banawiratma, SJ & J Muller, SJ, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Kemiskinan sebagai tantangan hidup beriman, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 90. 11 Prof. Dr. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial ( Dian Rahmat), 230. 12 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 232. 13 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 240. 10
4. Agama sebagai unsur dari kebudayaan Agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyaji aspek kebudayaan tertinggi dan suci, menunjukkan model kesadaran manusia yang menyangkut bentuk – bentuk simbolik. Seperti halnya kompleks ide dan semua prespektif duniawi, seperti semua sistem simbol yang dianut oleh manusia dengan berbagai cara dijalankan dengan beberapa bentuk pola berpikir dan dengan kompleksitas hubungan manusia dalam masyarakat, termasuk lembaga- lambaga. Namun demikian, sifat agama yang luhur dan suci ini memunculkan suatu unsur yang lain pada agama. Akibat sifat yang tinggi dan yang suci ini, maka agama melahirkan dilema dari segi arti penting fungsionalnya.14 Agama adalah hasil dari kebudayaan manusia yang berarti agama adalah ciptaan manusia. Agama adalah sebuah sarana bagi manusia dalam berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Dalam sebuah interaksi sistem keagamaan akan mengalami sebuah perubahan yang disesuaikan dengan tempat dimana agama tersebut dilakukan, dalam artian bahwa ada sebuah proses pengkontektualisasian yang dilakukan terhadap agama agar sesusai dengan apa yang menjadi kesepakatan bersama dalam masyarakat. Jika tidak maka akan ada konflik dalam sebuah kepercayaan terhadap kebudayaan lokal. Tetapi jika mampu untuk menyesuaikan dengan budaya lokal, maka sebuah sistem religi akan menjadi kuat dan memiliki keunikan. Lebih jauh lagi Bekker memiliki pendapat bahwa agama adalah unsur yang sangat penting dalam pembentukan kebudayaan. Agama sebagai keyakinan hidup rohani pemeluknya, baik seorang maupun sebagai jemaat, adalah jawaban manusia kepada panggilan ilahi di dalam alam dan rahmat. Keyakinan itu memuat iman, sikap sembah, rasa hormat, rasa tobat dan syukur yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Semua itu bukan hasil usaha manusia, tetapi mengatasi kemampuaanya. Keyakinan hidup yang bersifat eksistensial itu menyatakan diri dalam iman serta amal, menyempurnakan seluruh kelakuan manusia dan sebenarnya menghasilkan nilai-nilai. Dalam agama sebagai sistem objektif yang terdiri dari badan ajaran, peraturan dan upacara-upacara yang menjawab kepada tuntutan zaman itu, banyak terdapat unsur-unsur kebudayaan.15 5. Pengertian upacara tradisional Upacara adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama, perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting. Upacara tradisional meruapakan suatu kegiatan sosial yang melibatkan warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan, yang mengandung aturan-aturan yang wajib dipenuhi dan dilaksanakan oleh warga masyarakat.16 Berdasarkan pengertian tentang upacara tradisional tersebut, maka dapat disimpulkan beberapa hal: a. Upacara tradisional dalam pelaksanaannya mengandung aturan-aturan yang harus dipenuhi oleh warga pendukungnya. 14
Thomas f. O’Dea, Sosiologi Agama (Jakarta: Rajawali, 1987), 217 . JWM. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan, sebuah pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 1984), 47-48. 16 Hambali Hasan, Upacara Tradisional yang berkaitan dengan pariwisata Alam kepercayaan daerah Sumatra Selatan (Depdikbu: 1985),1. 15
b. Upacara tradisional sebagai kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh sekelompok warga masyarakat yang bertujuan untuk mencapai keselamatan. c. Upacara tradisonal tumbuh dan menyebar melalui berbagai sikap manusia terhadap peristiwa tertentu. Sudah tentu bahwa setiap kegiatan uapaca tradisional memiliki maksud dan tujuan tertentu. Adapun maksud dan tujuan yakni untuk mewujudkan pengertian dan pemahaman atas nilai-nilai serta gagasan vital yang terkandung di dalamnya. 17 Tujuan upacara tradisional yang dilakukan oleh anggota masyarakat baik secara bersama atau individu adalah mendapatkan keselamatan agar terhindar dari segala hal-hal yang buruk yang membawa musibah. Upacara tradisional dilakukan secara berkala dan juga mengingatkan semua warga masyarakat yang ada dalam komunitas, jika terjadi penyimpangan akibat yang muncul akan menimpa seluruh masyrakat desa.18 6. Hubungan kristus dan budaya menurut tipologi Niebuhr Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika Serikat telah membuat bagan tentang sikap gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture. Kristus disini yakni penyataan Allah dalam diri Yesus Kristus yang bukan sekedar guru dan pengungkapan kebenaran serta hukum dalam dirinya sendiri, dalam penjelmaan, kematian, kebangkitan, dan kelahirannya yang hidup, ia adalah penyataan Allah. 19 kristus adalah kualitas kehidupan yang dihadirkan, kasih, ketaatan, pengabdian, kerendahan hati, dan lain-lain. Niebuhr menjelajahi sikap-sikap gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam lima sikap atau lima tipologi yakni: a. Kristus Lawan Kebudayaan Tipologi Kristus lawan Kebudayaan adalah tipologi yang tidak mengenal kompromi dalam memegang teguh otoritas Kristus diatas orang Kristen dan dengan tegas menolak tuntutan kebudayaan untuk kesetiaan. Niebuhr mengambil pendapat dua orang tokoh yang mendukung Tipologi Kristus lawan Kebudayaan, yaitu Tertullian dan Tolstoi. Tertullian berpendapat bahwa sebagai seorang Kristen haruslah berperilaku seperti yang Yesus Kristus ajarkan yaitu mengasihi sesama manusia dan menghindari dosa (yang terdapat dalam kebudayaan). Bahkan ketika Tertullian beralih ke filsafat dan seni, ia bahkan tidak membutuhkan (menolak) apapun selain Kristus dengan kata lain Tertullian juga menolak kebudayaan. Sedangkan Tolstoi berpendapat bahwa Kristus telah mendirikan sebuah Kerajaan Allah yang akan terus menerus melawan kebudayaan manusia yang hanya berisi kejahatan manusia. Jadi kedua tokoh ini, menurut Niebuhr, telah berpendapat bahwa tidak ada keselamatan diluar Kristus.
17
Hambali Hasan, Upacara Tradisional yang berkaitan dengan pariwisata Alam kepercayaan daerah Sumatra Selatan. 2 18 Ds. Slamet, Upacara Tradisional dalam kaitanya dengan Pariwisata Alam dan Kepercayaan ( Jakarta: Depdikbud 1984), 54. 19 H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1946), 15.
Terhadap tipologi ini, Niebuhr jelas menolak karena tipologi ini menimbulkan suatu pandangan bahwa orang-orang penganut tipologi ini seperti berada terpisah dari dunia. Namun pada satu contoh konkrit yaitu ketika Kristen ingin menjelaskan kata Kristus dalam budaya Yunani, maka kata yang tepat agar pemahaman Kristus dapat diterima adalah kata Logos. Contoh ini memperlihatkan kerancuan dan kemunafikan dari sikap anti kebudayaan beberapa orang penganut tipologi Kristus Lawan Kebudayaan. b. Kristus Dari Kebudayaan Tipologi Kristus dari Kebudayaan adalah tipologi yang menyatakan bahwa didalam setiap kebudayaan yang didatangi Injil selalu ada orang-orang meninggikan Yesus sebagai Mesias dari masyarakat mereka, penggenapan harapan-harapan dan cita-citanya. Tipologi ini bisa menafsirkan kebudayaan melalui Kristus dan juga memahami Kristus melalui kebudayaan (mengkombinasikan Kristus dan Kebudayaan). Dua tokoh yang diangkat Niebuhr untuk mengangkat tipologi ini adalah Abelard dan Ritschl. Abelard mengatakan ketegangan antara gereja dan dunia adalah akibat salah pengertian gereja tentang Kristus. Abelard berpendapat tentang teori penebusan sebagai suatu konsep tindakan penebusan sekali dan untuk semuanya (semua orang termasuk non-Kristen). Sedangkan Ritschl mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah perhimpunan umat manusia yang luas dan dalam melampaui semua pertimbangan alamiah dan khusus. Menurut Niebuhr, tipologi ingin mengatakan bahwa kedekatan Kristus dan para rabi Ibrani, para filsuf moral Yunani memperlihatkan bahwa Kristus hadir bukan hanya hadir sebagai Juruselamat sekelompok kecil saja tetapi untuk seluruh dunia. Terhadap tipologi, Niebuhr berpendapat bahwa tipologi ini belum cukup memadai untuk menjawab hubungan antara Kristus dan Kebudayaan. Walaupun tipologi ini seperti berusaha berkompromi dengan segala hal diluar Kristen (kebudayaan), namun kecurigaan orang-orang non-Kristen terhadap Kristen dan Salib-Nya tentu tetap membatasi ruang gerak tipologi untuk melangkah lebih jauh. Karena Kristen dicurigai akan memasukkan suatu unsur yang akan melemahkan gerakan budaya. c. Kristus Di atas Kebudayaan Tipologi Kristus diatas Kebudayaan menyatakan bahwa Kristus bukan berada “sama” dengan budaya ataupun melawan budaya tetapi mengatakan bahwa Kristus (Yesus) adalah Anak Allah (Bapa) yang menciptakan langit dan bumi, termasuk didalamnya Kebudayaan. Brownlee menjelaskan bahwa Kristus relevan dengan kebudayaan, tetapi Ia juga Tuhan atas kebudayaan. Kebudayaan berasal dari Allah dan dari manusia, karena itu kebudayaan perlu dilihat dalam terangbilmu pengetahuan dan penyataan Tuhan.20 Pendapat dua tokoh yang paling ditekankan oleh Niebuhr dalam tipologi ini adalah Clements dan Thomas Aquinas. Clements mengatakan bahwa Kristus tidak menentang kebudayaan melainkan menggunakan hasil terbaik dari kebudayaan sebagai karya Kristus untuk menganugerahkan manusia sesuatu yang tidak bisa 20
Malcolm Brownlee, Tugas manusia dalam Dunia Milik Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia: cet:6, 2011), 191.
dicapai manusia melalui usaha manusia sendiri. Senada dengan itu Thomas Aquinas berpendapat bahwa manusia tidak dapat hidup dalam kebebasan kecuali didalam hukun, yang berarti didalam kebudayaan. Tentu hukumnya harus yang benar, dan hukum yang benar dan keakl adalah dalam hukum yang sesuai dengan pikiran Allah, Pencipta dan Penguasa segala sesuatu. Terhadap tipologi ini, Niebuhr mengatakan (terutama kepada Thomas Aquinas), tipologi ini akan menciptakan tingkatan-tingkatan didalam kehidupan Kristen, namun tidak ada tingkatan dalam usaha manusia untuk mendekat kepada sesuatu yang kekal. d. Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks Tipologi ini sangat jelas dan jujur dalam mengungkapkan tindakan dan pergumulan nyata yang dihadapi manusia. Tipologi ini mengungkapkan bagaimana manusia itu hidup dalam konflik (dualis) yaitu antara kebenaran Allah dan kebenaran manusia. Di sisi yang satu dikatakan bahwa kenyataan bahwa manusia itu pada hakekatnya berdosa maka dosa itu terlihat dalam semua pekerjaan manusia, disisi yang lain ada anugrah pengampunan dari Allah terhadap dosa manusia. Namun karena pada hakekatnya manusia itu berdosa (lemah) maka manusia cenderung untuk mengingkari Tuhan dan lari meninggalkanNya. Ada beberapa tokoh yang menjadi “pendukung” kelompok ini, salah satunya adalah Paulus dan Marthin Luther. Kedua tokoh ini mengungkapkan bahwa bangunan kehidupan manusia / kebudayaan dibangun oleh pandangan yang bertentangan namun memiliki tujuan untuk menegakkan bangunan itu. Marthin Luther membedakan secara tajam kehidupan duniawi dan kehidupan rohani. Ada dua kerajaan : kerajaan Allah dan kerajaan manusia. Kerajaan Allah bersifat kasih karunia dan rahmat sedangkan kerajaan manusia bersifat kermukaan dan kekerasan.21 e. Kristus Pengubah Kebudayaan Tipologi Kristus Pengubah Kebudayaan adalah tipologi yang menyatakan bahwa di dalam setiap kebudayaan, Kristus datang sebagai pengubah dan pembaharu dari kebudayaan itu. Para pendukung tipologi ini memakai Injil Yohanes sebagai penguat “teori” mereka (Yohanes 3:16). Tokoh yang paling menonjol dari tipologi ini adalah Agustinus. Agustinus berpendapat bahwa Kristus adalah pengubah kebudayaan dalam arti bahwa Kristus memberi arah baru, memberi tenaga baru dan meregenerasikan hidup manusia yang dinyatakan dalam semua karya manusia. Begitu juga Wesley, beliau berpendapat bahwa Kristus adalah pengubah kehidupan, Ia membenarkan manusia dengan memberikan mereka iman. Dan bahkan F.D.Maurice menegaskan bahwa Kristus adalah Raja dan manusia harus memperhitungkan dia saja, sehingga Maurice berpendapat bahwa tidak ada satupun kebudayaan yang tidak diubah (dikuasai) oleh Kristus. 7. Simbol
21
Malcolm Brownlee, Tugas manusia dalam Dunia Milik Tuhan, 196
Manusia hidup tidak terlepas dari simbol. Pendapat seorang sosiolog mengatakan bahwa kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai symbol. Budiono Herusatoto mengatakan bahwa simbol adalah sesuatu hal yang atau keadaan yang merupakan pengantara pemahaman terhadap objek.22 Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama. Setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin tanpa simbol-simbol.23 Beberapa pandangan ahli mengenai simbol: Pandangan pertama dari Raymond Firth, yang dalam bukunya Symbols: Public and Private memuat menyatakan bahwa ia melihat sebuah simbol memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol dan bahkan merekonstruksikan realitasnya itu dengan simbol.24 Menurut Firth, sebuah symbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau penggugah kepatuhan-kepatuhan sosial, selain itu sebuah simbol kadang-kadang dapat memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman sosial yang lebih luas.25 Pandangan Victor Turner yang dalam bukunya yang berjudul “The Forest of Symbols and The Ritual Process”, membicarakan fungsi simbol dalam mengatur kehidupan sosial. Turner sungguh-sungguh menyadari bahwa ada dua segi yang harus dipertimbangkan untuk memahami fungsi simbol dalam kehidupan sosial, yakni: penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi sosial sehari-hari, munculnya kelompok-kelompok komunal yang mempunyai kemungkinan-kemungkinan yang mempunyai keyakinan-keyakinan dan hasrat-hasrat bersama serta yang menata dirinya dengan cara-cara yang berbeda dari cara-cara masyarakat luas. Pemahaman menarik dari Turner tentang simbolisme adalah bahwa simbolsimbol yang dominan dilihatnya menduduki tempat yang signifikan dalam sistem sosial manapun. Sebab, makna simbol pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman dan merupakan kristalisasi pola aliran tata cara yang dipimpinnya. Walaupun demikian, simbolsimbol lainnya pun membentuk satuan perilaku ritual yang lebih kecil, tetapi bukan mebelembel: simbol-simbol itu mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya harus diturunkan dari konteks khusus berlangsungnya simbol-simbol itu. Paul Tillich memberikan cirri khas dari simbol yaitu:
22
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Kebudayaan Jawa ( Yogyakarta: PT Hanindita, 1984),11. F. W. Dillistone. Daya Kekuatan Simbol, The Power of Symbol ( Yogyakarta: Kanisius, 2002), 15. 24 F. W. Dillistone. Daya Kekuatan Simbol, The Power of Symbol, 132 25 F. W. Dillistone. Daya Kekuatan Simbol, The Power of Symbol, 428 23
1. Simbol bersifat fuguratif. Dalam hal ini dipahami bahwa simbol selalu menunjuk kepada sesuatu diluar dirinya sendiri, sesuatu yang tingkatannya lebih tinggi. 2. Simbol bersifat dapat diserap, baik sebagai bentuk objektif maupun sebagai konsepsi imajinatif. 3. Simbol memiliki daya kekuatan yang melekat. Ciri ini memberi kapada simbol realitas yang hampir hilang daripadanya dalam pemakaian sehari-hari. 4. Simbol mempunyai akar dalam masyarakat dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Tillich menyatakan bahwa “jika sesuatu menjadi simbol baginya yakni bagi individu itu, maka juga menjadi simbol dalam hubungan dengan masyarakat yang pada gilirannya dapat mengenali dirinya dari simbol itu.” 8. Simbol dan religi Koentjaraningrat dalam bukunya tentang Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan megatakan bahwa setiap religi memiliki setidaknya empat komponen yaitu: 1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religious. Emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang menggerakan jiwa manusia, hal ini terjadi apabila cahaya Tuhan memasuki jiwa manusia. Getaran ini bisa dicapai seseorang dalam keadaan sunyi senyap. Seseorang bisa berdoa dengan penuh khidmat dan dalam keadaan terhinggap oleh emosi keagamaan membayangkan Tuhan, dewa dan roh yang lainnya. Wujud dari bayangan tersebut ditentukan oleh kepercayaan yang ada di masyarakat dan selanjutnya dijalankan menurut adat yang berlaku. 2. Sistim kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib, supranatural, yaitu tentang hakekat hidup dan maut, dan wujud dewa-dewa dan mahluk-mahluk halus lainnya yang mendiami alam gaib. Keyakinan-keyakinan itu biasanya diajarkan kepada manusia dari buku-buku suci dari agama yang bersangkutan, atau dari mitologi dan dongeng-dongeng suci yang hidup dalam masyarakat. Sistim kepercayaan erat hubungann dengan sistim upacara religius, dan menentukan tata urut dari unsur-unsur, acara serta rangkaianalat yang dipakai dalam upacara. 3. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewadewa atau mahluk halus yang mendiami alam gaib. Sistim upacara religious ini melaksanakan dan melambangkan, konsep yang terkandung dalam sistim kepercayaan.sistem kepercayaan merupakan manisfestasi dari religi. Seluruh sistim upacara terdiri dari aneka macam upacara yang bersifat harian, musiman atau kadangkala. Masing-masing uapacara terdiri dari berbagai unsur seperti misalnya: berdoa, bersujud, bersaji dan sebagainya. Tentu bahwa semua unsur tersebut adalah buatan manusia.
4. Kelompok-kelompok religious atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistim kepercayaan tersebut seperti: keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan kecil lainnya. Kelompok-kelompok kekerabatan yang lebih besar seperti keluarga luas, keluarga unilineal seperti klen, suku, marga dadia dan lain-lain. Kesatuan komuniti seperti desa, gabungan desa-desa dan lain-lain. Organisasi-organisasi religious seperti oragnisasi penyiaran agama, organisasi gereja dan sebagainya. Dari uraian ini, jelas bahwa kedudukan simbol atau lambang dalam religi sebagai alat atau perbuatan dalam uapacara religious. Kedudukan simbol atau tindakan simbolis dalam religi adalah merupakan relasi (penghubung) antara komunikasi human-kosmis dan komunikasi religius lahir batin. Tindakan simbolis dalam upacara religious merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dibuang begitu saja, karena ternyata bahwa manusia harus bertindak dan berbuat sesuatu yang melambangkan komunikasinya dengan Tuhan.