BAB I1 TINJAUAN PUSTAKA
A. Dinamika Kependudukan dan Pembangunan Berkelanjutan Perhatian terhadap keterkaitan antara kependudukan, pemba2
ngunan dan lingkungan mulai meningkat pada dekade tahun 1960an. Sejalan dengan kekhawatiran akan p e r t a b a h a n jumlah penduduk yang cepat, perhatian para perencana pembangunan dipusatkan pada usaha untuk memahami keterkaitan antara variabel kependudukan dan lingkungan, serta dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian usaha awal untuk mengatasi penyusutan sumberdaya dam, pada saat tingkat kelahiran masih tinggi, adalah dengan upaya menurunkan angka kelahiran, sebagai upaya untuk menyelaraskan keseimbangan jumlah penduduk dan lingkungan (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup 1996). Pemasalahan pertarnbahan penduduk telah pula menjadi prioritas kebijakan pembangunan di Indonesia. Diawdi dengan perhatian pada pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan yang dibarengi dengan pengaturan perturnbuhan jumlah penduduk, serta usaha penyebaran penduduk yang lebih serasi di seluruh kepulauan Indonesia pada awal Pola Pembangunan Jangka Panjang I (PJPT I). Kemudian dilanjutkan pada Repelita IV GBHN 1993, yang merupakan awal PJP 11, menyatakan bahwa pembangunan kependudukan dilak-
sanakan dengan mempertimbangkan keterkaitan dengan upaya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup, serta menciptakan keserasian antar generasi (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup 1996). Menurut Myrdal (1968) peningkatan jumlah penduduk meJ
rupakan faktor kunci dalam masalah lingkungan. Sumberdaya alam hams dipertimbangkan dalam kaitannya dengan penduduk yang memanfaatkan sumberdaya d a m tersebut. Persentasi pertumbuhan penduduk Indonesia dalam waktu 20 tahun terakhir ini menurun dari 2,3% per tahun pada priode 197@ 1980 menjadi 1,97% pada periode 1980-1990. Angka ini menurun lagi pada periode 1990 - 1995 menjadi 1,6696 dan akan menjadi 1,23% pada periode 2000-2005, serta 0,68% pada priode 2015-2020. Setelah tahun 2005 Indonesia diramalkan akan mengalami era "pasca transisi vital" yaitu suatu priode yang kini sedang diaiami oleh negara maju, dengan angka kernatian (terutama kematian bayi dan balita) akan mencapai tahap hard rock (IMR periode 2000-2005.
<
30) di seluruh provinsi mulai
Dengan demikian jumlah penduduk usia muda
akan meningkat (Ananta 1995). Pertambahan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah perko-
taan perlu dibarengi dengan perumusan berbagai kebijakan pendukung lainnya. Salah satu ha1 yang perlu dikembangkan adalah alternatif instrumen yang dapat mengarahkan persebaran dan mobilitas
penduduk sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing. Misalnya, kebijakan distribusi penduduk melalui transmigrasi perlu didukung oleh suatu kebijakan perencanaan tata ruang, pembangunan industri dan pembangunan perkotaan. Pertarnbahan penduduk perkotaan bagi Indonesia sebagai negara berkembang akan terus berlanjut, apalagi masih terpusatnya pembangunan dan kemudahan-kemudahan fasilitas yang dirniliki daerah perkotaan dibanding dengan daerah pedesaan. Pada tahun 1980 proporsi penduduk perkotaan di Indonesia baru mencapai 22,3%. Selanjutnya berdasarkan data sensus penduduk tahun 1990 angka ini telah mencapai 30,g0/0, sedangkan data yang diperoleh berdasarkan SUSEHAS 1995 (BPS 1996) menunjukkan bahwa proporsi ini telah mencapai 34,3?40. Sementara itu laju kenaikan penduduk perkotaan selama periode 1970-1980 adalah 4,60°/0 per tahun, sedangkan dalam periode 1980-1990 meningkat menjadi 5,36% per tahun. Akan tetapi kemudian selarna periode 1990-994 rnenurun lagi menjadi 4,05 OO/ per tahun. Menurut Firman (1996) secara kasar laju kenaikan penduduk kota kira-kira dua setengah kali laju kenaikan penduduk total. Suatu
ha1 yang kontras di Indonesia laju kena3m.n di daerah perkotaan meningkat dengan pesat, sementara laju kenaikan penduduk secara total baik d i desa maupun di kota turun dari 2,3O/0 per tahun pada
periode 1970-1980 menjadi 1,97% per tahun dalarn periode 19801990. Pertumbuhan penduduk yang tinggi pada ruang h g k u p kota
yang terbatas apabila tidak dikendalikan akan menimbulkan potensi krisis pada masalah permukiman, sanitasi lingkungan, air minurn, penyaluran limbah dan kotoran, serta berbagai segi yang berkaitan dengan pernusatan pertambahan penduduk. Oleh karena itu perkembangan ini hams dibarengi dengan pengembangan dan penyediaan fasilitas-fasilitas, baik fasilitas sosial maupun fasilitas umum. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut tentunya pertumbuhan ekonomi hams ditingkatkan. Menurut Suyono (1996) gejala penurunan kualitas perkotaan, telah terlihat pada beberapa kota di Pulau Jawa, tenrtarna Jakarta dan kota-kota sekitarnya. Pulau Jawa dan juga pulau Bali semakin menarik bagi para penduduk setempat maupun pendatang karena kelengkapan fasilitas yang dimilikinya. Perbandingan kepadatan yang timpang antara pulau Jawa dan pulau Bali dengan penduduk luar Jawa dan Bali. Pembangunan infrastruktur, khususnya perurnahan, industri dan perdagangan selarna ini terpusat di Jawa dan Bali. Pembangunan Indonesia saat ini mulai menunjukkan perhatian yang semakin besar pada usaha menyebarkan upaya pembangunan keluar pulau Jawa dan Bali untuk mengurangi beban kedua pulau tersebut. Program distribusi penduduk yang mendorong perpin-.
dahan secara sepontan (rnisalnya Transrnigrasi Swakarsa Mandiri)
akan menjadi penting di masa mendatang. Program tersebut, saat ini sudah mulai didukung dengan upaya pembangunan yang memprioritaskan penyediaan infrastruktur dan proyek-proyek yang dapat menyerap tenaga kerja dari berbagai tempat di luar pulau Jawa dan Bali. Kebiiaksanaan pengendalian persebaran dan mobilitas penduduk ditujukan untuk menciptakan keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal ini berarti bahwa jumlah penduduk yang tinggi pada lingkungan yang daya tampung dan daya dukungnya kecil atau menurun hams dikurangi, sedangkan jurnlah penduduk yang rendah pada daerah yang daya tampung dan daya dukungnya masih besar hams ditarnbah, dengan tetap terus mengenddikan pertumbuhan penduduk a l e (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup 1996). Berdasarkan uraian pada Sub Bab A mengenai dinarnika kependudukan dan pembangunan berkelanjutan dapat disarikan bahwa para perencana pembangunan telah memberi perhatian untuk memahami keterkaitan antara variabel kependudukan, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan kependudukan dilaksanakan dengan mempertimbangkan keterkaitannya dengan upaya pepelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, serta menciptakan keserasian antar generasi.
Persentasi tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia dalam waktu 20 tahun terakhir ini menurun dari 2,3% per tahun periode 1970-1980 menjadi 1,97% pada periode 1980-1990, dan pada periode 1990-1995 menurun menjadi 1,66%. Proporsi penduduk perkotaan di Indonesia tahun 1980 baru mencapai 22,3% meningkat menjadi 30,9% pada tahun1990.
Program distribusi penduduk yang men-
dorong perpindahan secara sepontan akan menjadi penting di masa mendatang. Kebijaksanaan pengarahan persebaran dan mobilitas penduduk ditujukan untuk menciptakan keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung dan daya tampung Lingkungan.
B. Pertamhahan Penduduk dan Mngkungan Permukiman Dalam rangka mempelajari mekanisme pertumbuhan penduduk, terdapat beberapa pertanyaan seperti berapa banyak pertambahan penduduk, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertum-
buhan tersebut, berapa banyak penduduk yang bisa didukung oleh daerah tertentu. Bagi mereka yang menangani masalah pertambahan penduduk ini harus menjawab pertanyaan bagaimana pengaruhnya antara pertambahan penduduk dengan lingkungannya, agar manusia bisa memelihara dirinya sendiri-sendiri atau kelompok dalam
areal yang sudah tertentu.
Hubungan antara penduduk dengan
lingkungannya atau dengan kehidupan sekelilingnya disebut masalah keseimbangan (Sofyan 1997). Menurut Keyfitz (1996) jurnlah pen-
duduk dapat saja diramalkan, tetapi itu tidak memadai. Penduduk dunia tumbuh dengan cepat dan kurang observasi yang memuaskan yang dilakukan oleh semua studi kependudukan. Karena itu kita
akan mengalami kesulitan saat hendak mengkaji mulai dari pertumbuhan masa lampau hingga prospek pertumbuhan masa akan datang, temasuk sebab dan konsekuensinya. Dari segi lingkungan, masalah pemukiman adalah masalah
penduduk. Ketika manusia jumlahnya terbatas dan hidup serba bersahaja, maka cara hidup dan bermukim rnanusia diserasikan dengan lingkungan dam.
Seteiah rnanusia bertambah banyak dan budaya
terus berkembang, sehingga cara hidup dan bermukim tidak lagi diserasikan dengan lingkungan d a m , bahkan Lingkungan yang diubah untuk dicocokkan dengan cara bidup dan bermukim mmusia. Ruang dan lahan dirombak untuk menampung berbagai bentuk peru-
mahan dengan fasilitas pelayanan hidup yang bemacam-macam seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, pasar, hiburan yang harus ditunjang prasarana jalan, angkutan, listrik, air minum, sduran limbah dan sebagainya (Saragih dan Sitorus 1983). Pertambahan penduduk yang besar menyebabkan meningkatnya arus urbanisasi, sehingga kota mernpunyai tekanan besar. Kota
tidak marnpu menampung arus penghuni baru akibat urbanisasi. Karena ketidakmampuan kota menampung tenaga yang datang, akibat-
nya pengangguran kota makin lama makin membengkak. Daerah permukiman semakin bertambah luas, pengelolaan sampah semakin memberatkan, persediaan air yang sehat tidak memenuhi kebutuhan. Akibatnya kesehatan masyarakat semakin memprihatinkan (Sara@, dan Sitorus 1983). Hingga kini proses urbanisasi dipandang sebagai suatu ha1 yang negatif. Hal ini tampak dari berbagai upaya untuk menolak pendatang dengan menutup kota, yaitu mulai dari tindakan administratif sampai dengan menutup akses terhadap lapangan ke j a maupun sarana tempat tinggal. Akan tetapi upaya-upaya tersebut tidak manpu membendung masuknya pendatang ke kota. Hal ini dilihat dari peristiwa mudik yang tejadi setiap tahun.
Fenomena ini mempunyai
dampak pada penyediaan permukiman bagi kaum pendatang (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup 1996). Suatu kenyataan bahwa secara keseluruhan kondisi perrnukiman, terutarna di perkotaan, semakin lama semakin tidak nyaman dan aman bagi penghuninya, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Anak-anak harnpir tidak mempunyai lagi ruang dan tempat bergerak yang aman untuk bermain maupun belajar. Jar& antara sekolah dan kantor dengan rumah semakin jauh, karena lokasi tempat tinggal semakin jauh ke pinggiran kota. Kebisingan dan pence-
maran udara memenuhi berbagai pusat kegiatan permukiman (Sofyan 1997). Kondisi-kondisi yang buruk ini akan lebih parah di masa depan dengan adanya globalisasi ekonomi, dengan kesenjangan di antara berbagai kelompok sosio-ekonomi masyarakat dan di antara berbagai wilayah d l Indonesia akan lebih besar, serta peningkatan berbagai permasalahan lingkungan akibat proses industrialisasi dan urbanisasi yang akan berlangsung secara sangat cepat. Kondisi ini perlu dipahami dan diperhatikan dalam pengembangan dan penanganan permukiman di masa mendatang (Sofyan 1997). Perumahan dan permukiman di masa depan harus menjadi bagian penciptaan iklim kehidupan yang sehat secara lingkungan, ekonomi, sosio-budaya, dan politik, yang dapat menjadi sarana pembinaan generasi muda, dan menjamin berlanjutnya peningkatan kualitas kehidupan bagi semua orang. Permukiman bukan sarana pendorong terciptanya segregasi yang menuju disintegrasi seperti yang terjadi sekarang ini, tetapi sebaliknya, permukiman harus dapat memperkuat kesetaraan manusia dan rasa kesatuan bangsa. Karena itu keterpaduan sosial dan kelestarian sumberdaya alarh akan menjadi landasan pokok bertindak (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
1996).
Berdasarkan uraian pada Sub Bab B mengenai pertambahan penduduk dan lingkungan permukiman dapat Czisarikan bahwa pertatribahan penduduk hams terdapat keserasian dengan lingkungan agar rnanusia bisa hihup aman dan tenteram. Masalah permukiman adalah masalah penduduk, ketika manusia jumlahnya terbaks, maka cara hidup dan bermukim manusia diserasikan dengan lingkungan alarn. Setelah manusia semakin bertarnbah dan budaya terus berkembang, maka lingkungan yang diubah untuk dicocokkm dengan cara hidup dan bermukim manusia. Ruang dan lahan dirombak untuk membangun berbagai bentuk perumahan dengan fasilitas pelayanan sosial dan pelayanarn umum.
Suatu kenyataan
bahwa secara keseluruhan kondisi permukiman d i perkotaan, semakin lama semakin bemasalah. Oleh karena itu perumahan dan permukiman di masa depan hams menjadi bagian penciptaan iklim kehidupan yang sehat secara lingkungan, ekonomi, dan sosiobudaya, yang dapat menjadi sarana pembinaan generasi muda, dan menjamin berlanjutnya peningkatan kualitas kehidupan bagi semua orang. C. Fenomena Permukiman dan Lingkungan di Perkotaan
Penurunan kualitas lingkungan perkotaan ditandai oleh tingkat kepadatan penduduk pada beberapa kota yang semakin tinggi, pencemaran udara yang semakin mengkhawatirkan, bermunculannya per-
mukiman kumuh, semuanya ini secara simultan merupakan darnpak dari perkembangan kota yang ditimbulkan oleh pesatnya pertambah-
an penduduk.
Menurut Salim (1986) bahwa walaupun dapat di-
katakan pendapatan orang kota lebih tinggi dibanding orang desa, namun keluarga yang hidup dalam satu rumah di kota akan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah dari keluarga yang hidup dalam satu rumah di desa. Hal ini menunjukkan lingkungan hidup kota dalam proses menuju Lingkungan yang memprihatinkan. Permasalahan lingkungan hidup di kawasan perkotaan menurut Kusumaatmadja (1996)adalah: Pertarna, perkembangan industri menyebabkan pergeseran penggunaan lahan pertanian subur dan produktif menjadi Iahan terbangun untuk bangunan pabrik, gudang instalasi pembangkit listrik, dan sebagainya.
Pergeseran pembangunan lahan yang tidak terkendali
dapat menyebabkan menurunnya daya dukung dan terganggunya keseimbangan fungsi lingkungan. Kedua, perkembangan kawasan perkotaan yang tidak terarah dan terkendali yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kota cenderung menurunkan mutu dan keseimbangan lingkungan. Perkembangan kota secara b i e r mengaldbatkan pemborosan pemakaian energi, pengadaan prasarana pelayanan lain serta pencemaran udara. Penimbunan daerah pantai dan pengerasan muka tanah secara berle-
biian pada daerah resapan air, menyebabkan terganggunya keseimbangan tata air dan fungsi lingkungan. Ketiga, pertumbuhan dan pembangunan industri umumnya tidak diirnbangi dengan upaya pengendalian pencemaran yang memadai. Pertimbangan ekonomi umumnya lebih dominan dan pertimbangan lingkungan dianggap sebagai upaya yang mahal dan tidak menguntungkan. Lemahnya antisipasi terhadap dampak kegiatan industri mempertajam masalah pencemaran fisik dan sosial. Keempat, pertumbuhan dan pembangunan industri umumnya berlangsung d i kawasan perkotaan, sehingga industrialisasi akan menjadi
&ah
satu proses pemicu urbanisasi. Penduduk pedesaan melihat
perkembangan industri di kawasan perkotaan sebagai satu-satunya pilihan kesempatan kerja. Pesatnya pembangunan menyebabkan beberapa kota di Indonesia semakin tidak menarik, terutama dilihat dari segi pengelolaan lingkungan, karena pada umumnya kota-kota itu
tidak dirancang secara menyeluruh dan terpadu. Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup (2000) perkembangan kota di Indonesia dewasa ini metlunjukkan minimal ada empat ciri pokok yang menonjol yaitu:
Pertama, kota di Indonesia memainkan peran yang makin penting.
Oleh karena, pada tahun 2010 diperkirakan paling sedikit setengah
dari penduduk Indonesia akan berdiam di kota dan kecenderungan ini tidak akan berbalik kembali. Kedua, kota makin terlibat di dalam sistem ekonomi global. Hal ini berarti bahwa bentuk perkembangan kota akan banyak dipengaruhi L
oleh dinamika ekonomi global. Pembangunan kota cenderung berskala mega atau super dengan intensitas yang tinggi. Aglomerasi daerah urban menjadi ciri yang makin menonjol. Dalam banyak hal keadaan ini menghabiskan .sawah dan tambak (pantai) yang sudah didukung prasarana dasar.
Sedangkan disamping kebutuhan prasarana dan
sarana penujang, pernbangunan yang terkonsentrasi ini akan menimbulkan masalah lingkungan. Ketiga, perkembangan ekonomi kota terus tinggi, jauh di atas rata-rata nasional maupun provinsi. Ini menimbulkan ancaman yang makin berat terhadap kelanjutan ekosistem (sosial dan alarn) kota yang su-
dah makin rapuh. Di samping itu, peran kota lama makin tampak terancarn oleh pertimbangan kepentingan ekonomi yang sempit. Bangunan lama terlalu mudah dianggap tidak efisien dan oleh karena itu perlu diremajakan yang sekaligus akan menghilangkan nilai sejarah dan kekhasan kota yang bersangkutan.
Keempat, pembangunan kota makin menunjukkan sifatnya sebagai komoditi yang selalu mengejar nilai tarnbah. Pertimbangan pembangunan kota sudah terlalu didominasi oleh pertimbangan manfaat
ekonomi saja dengan mendudukkan pertimbangan-pertimbangan lain hanya menjadi pelengkap. Perkembangan permukiman terpadu di Indonesia dikhawatirkan mengeksploitasi lahan-lahan agraris, dan lahan yang merniliki
fungsi lindung, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan akibat tertata dengan baik (urban). Dengan dasar ciri dan dinamika sistem lingkungan bersifat "site specific", maka jenis dan besaran dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan permukiman terpadu diperkira-
kan akan berbeda dari satu ekosistem ke ekosistem lainfiya. Oleh karena itu, apabila dampak-dampak yang ditimbulkan tersebut tidak diantisipasi d m dikelola secara optimal dikhawatirkan ha1 ini akan menjadi unsur pembangunan sosial ekonomi yang mengabaikan kemampuan sistem alam (ekosistem)(Menteri Negara Lingkungan Hidup
2000). Menurut Budiharjo dan Hardjohubojo (1993) masalah-masalah perkotaan di Indonesia selama ini kelihatannya masih belum ditelaah secara holistik. Khususnya yang menyiasati lingkungan sistem sosial ekonomi yang telah menyebabkan ketimpangan sosial, kemubaziran alokasi sumber daya dan keberantakan lingkungan. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk kota, maka masatah permukirnan, perumahan dan hunian di kota akan semakin kompleks bila dilihat dari sudut sosial, ekonomi d m lingkungan fisik.
Kondisi ini selanjutnya terlihat dengan banyaknya daerah permukiman kumuh, rumah yang tidak layak dan hunian liar yang tidak mengikuti pola-pola tata ruang, prosedur perizinan dan status pemilikan tanah di suatu kawasan permukiman, yang apabila tidak ditanggu1
langi akan dapat merusak dan mengganggu kualitas lingkungan fisik dan sosial, seperti kenyarnanan hidup, kesehatan dan keamanan (Suparlan 1991). Sedangkan Todaro (2000) mengemukakan bahwa karena kekurangmampuan penduduk miskin perkotaan menanggulangi pengaruh negatif lingkungan yang tidak menguntungkan, maka mereka lebih mudah terkena dampak dari penurunan kualitas lingkungan.
Sebagai tambahan, kekurangan gizi dan kesehatan yang
buruk di antara penduduk yang tinggal di gubuk-gubuk liar perkotaan cenderung menurun daya tahan individu terhadap bahaya lingkungan.
Diperkirakan terdapat sekitar 60% penduduk yang tinggal di
tempat-tempat liar perkotaan di negara-negara berkembang. Jumlah
ini diprediksi akan bertambah di masa datang karena lebih tingginya proporsi rumah-rumah baru di lokasi liar tersebut. Dalam Pelita VI kebijakan sektor perurnahan dan permukiman antara lain meliputi arah pembangunan sektor ini, pemerataan pembangunan permukiman mendorong peran serta aktif masyarakat dalam pemupukan dana, memperluas berusaha dan lapangan kej a , serta mendorong perkembangan industri bahan murah. Peningkatan
penciptaan lingkungan perumahan yang layak, bersih, sehat, dan arnan diharap dapat t e m j u d baik di perkotaan maupun di pedesan. Pembangunan perumahan juga mempunyai keterkaitan dengan pembangunan bidang-bidang lain, baik yang berupa sarana kebutuhan aktivitas penghuninya seperti tempat bekerja, tempat rekreasi maupun kelengkapan perumahan lainnya seperti listrik dan air. Di samping itu, pembangunan perumahan merniliki hubungan yang erat dengan pembangunan prasarana yang menghubungkan kawasan yang satu dengan permukirnan lainnya.
Pembangunan perumahan juga
terkait dengan berbagai masalah seperti masalah pertanahan, perkembangan wilayah serta pengembangan berbagai kebutuhan penghuninya yaitu pendidikan dan kesehatan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI 1995). Kondisi permukiman tampak bahwa baik di perkotaan maupun di pedesaan masih banyak yang belum memenuhi persyaratan teknik maupun kesehatan. Hal ini dikarenakan tingkat pendapatan, pengetahuan dan pendidikan dari sebagian besar masyarakat Indonesia yang relatif masih rendah. Akibatnya daya tangkap serta pengertiannya terhadap fungsi rumah dan lingkungan permukirnan yang sehat masih kurang. Di sarnping itu adanya usaha yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki lingkungan permukiman, letak dan bentuk rumah, tarnpak selalu mendapat hambatan dari masyarakat. Hal ini
terjadi karena belum memahami betul akan arti penting lingkungan permukiman yang sehat. Sehubungan dengan uraian sebelumnya, jelas bahwa masalah perurnahan dan permukiman tidak akan lepas dari masalah lingkungan. Terdapatnya rumah-rumah berkualitas rendah, berkepadatan tinggi, tidak teratur dan berprasarana minim atau yang disebut perkatnpungan rniskin akan mempengaruhi penurunan nilai lingkungan, baik dari segi fisik maupun dari segi sosial penduduknya (Poerbo 1993). Dewasa ini semakin banyak jumlah penduduk miskin di kota yang terserang penyakit, sebagian besar karena lingkungan dan dapat dicegah atau dikurangi secara derastis dengan investasi yang tidak sedikit. Penyakit pernafasan yang &ut, tbc, parasit usus, dan berbagai penyakit yang berhubungan dengan sanitasi yang bumk dan air minum yang terkontaminasi (diare, disentri, hepatitis, dan tifus) biasanya endernik semua itu merupakan salah satu penyebab utama penyakit dan kematian terutama pada anak-anak (Hardoy dan D. Satterthwaite 1984). Sejalan dengan pendapat Hardoy, Todaro
(2000) mengemukakan pula bahwa masalah lingkungan dari penduduk miskin di daerah pedesaan dan perkotaan ad&
meratanya
kondisi tidak sehat yang disebabkan oleh terbatasnya air bersih dan sanitasi. Hal ini akan berakibat pada penyebaran infeksi penyakit. Diduga bahwa patogen yang berasal dari air berperanan daIam ter-
jadinya penyakit tipus, kolera, infeksi amuba, disentri dan diare. Diperkirakan, penyakit ini mencapai 80% dari keseluruhan penyakit di negara berkembang dan 90% dari kematian 13juta anak-anak untuk setiap tahunnya. I
Adanya masalah p e r u m m d m permukiman di kota sangat merugikan pembangunan kota dan munculnya permukiman kumuh
(slum area) dalarn kota yang memungkinkan timbulnya gejala penurunan kualitas lingkungan dan timbulnya masalah-masalah sosial bagi penduduknya. Sulitnya pengaturan penggunaan tanah dan secara visual mengganggu keindahan wajah kota (Silas 1993). Dengan makin mendesaknya masalah perumahan dan permukiman di perkotaan dewasa ini, maka pemerintah sekarang lebih menggalakkan penanganan pembangunan perumahan yang ditujukan bagi rakyat banyak, sehingga terbentuk lingkungan permukiman yang memenuhi aspek-aspek sosial, ekonomi, keamanan dan kesehatan. Berdasarkan uraian pada Sub Bab C tentang fenomena permu-
kiman dan lingkungan di perkotaan dapat disimpulkan bahwa penurunan kualitas lingkungan perkotaan ditandai oleh tingkat kepadatan penduduk pada beberapa kota yang semakin tinggi. Perkembangan kawasan perkotaan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kota cenderung menurunkan mutu dan keseimbangan lingkungan. Pembangunan beberapa kota di Indonesia sernakin tidak menarik, ter-
utama dilihat dari segi pengelolaan lingkungan, karena pada umumnya kota-kota itu tidak dirancang secara menyeluruh dan terpadu. Pesatnya pertumbuhan penduduk kota, menjadikan permukiman dan perumahan di kota semakin kompleks bila dilihat dari sudut sosial, I
ekonomi dan lingkungan fisik. Kondisi ini selanjutnya terlihat dengan munculnya daerah permukiman kumuh, rumah yang tidak layak dan hunian liar yang tidak mengikuti pola tata ruang, prosedur perizinan dan status pemilikan tanah di suatu kawasan permukiman di perkotam. D. Penataan Ruang dan Daya Dukung Lingkungan
Untuk memenuhi keperluan pembangunan yang beraneka ragam perlu dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tata gu-
na tanah, tata guna air dan sumberdaya lainnya dalam suatu kesatuan tatanan lingkungan hidup yang dinamis. Untuk itu tata ruang perlu dikelola berdasarkan suatu pola terpadu melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alarn, liigkungan sosial budaya, dan lingkungan buatan yang sesuai dengan pengembangannya. Suatu rencana tata guna lahan merupakan ekspresi kehendak lingkungan masyarakat mengenai bagaimana seharusnya pola tata guna lahan suatu lingkungan pada masa yang akan datang. Rencana itu ditentukan daerah-daerah yang akan digunakan bagi berbagai
jenis, kepadatan dan intensitas kategori penggunaan, misalnya peng-
gunaan untuk perrnukiman, perdagangan, industri dan berbagai kebutuhan umurn. Ditentukan pula azas dan standar yang h m s diterapkan pada pembangunan atau pelestarian di daerah itu.
Suatu I
rencana tata guna lahan biasanya tercantun naskah uraian dan beberapa peta. Uraiannya terkandung kebijakan-kebijakan, sedangkan peta-peta menggambarkan penerapan rencana pada ruang yang tersedia, baik secara urnum maupun secara rinci, dengan menetapkan jenis penggunaan pada daerah tertentu (Catanese dan Snyder 1988). Pada pasal22 ayat 1 Undang-undang RI, Nomor 24 tahun 1992, disebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat I1 merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I ke dalam strategi palaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten atau Kotarnadya Daerah Tingkat 11, yang meliputi: 1. Tujuan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat TI untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat d m pertahanan keamanan. 2. Rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kabupa-
ten/ Kotamadya Daerah Tingkat II.
3. Rencana umum tata ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat 11.
4. Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupatenl
Kotamadya Daerah Tingkat I1 (Bapedal 199915). Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai temI
pat perrnukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Bapedal 1999b). Kebijaksanaan pengelolaan kota atau wilayah perkotaan yang terutama ditujukan untuk menangani masalah kinerja masing-masing kota, adalah kebijaksanaan untuk meningkatkan sumbangan kota dalam perekonomian nasional dam daerah, yaitu peningkatan produktivitas kota atau wilayah perkotaan (urbanproductivity) dan kebijaksanaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui usaha-usaha penanggulangan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan dasar penduduknya (Soegijoko 1991). Dari sudut pandang perencanaan perkotaan sumberdaya utamanya adalah lahan, dan ketersediaan lahan untuk pembangunan merupakan prasyarat utama untuk urbanisasi yang koheren, yang mendorong pelaksanaan tujuan-tujuan sosio-ekonomi dari keinginan masyarakat. Seperti sudah dibuktikan, kontribusi perencanaan kota yang mengarah pada tujuan ini, terutama terletak dalam menentukan bentuk fisik yang paling cocok untuk memenuhi fungsi dan berbagai perubahan yang diperlukan oleh pembangunan permukiman manusia.
Pernilihan areal yang paling cocok untuk pembanguan ini merupakan satu bagian penting dalam proses ini (Kozlowski 1986). Jika standar kebijakan tata ruang untuk menolong penduduk miskin di daerah miskin dan mengorganisir distribusi permukirnan, I
sehingga dapat membantu kelompok berpendapatan rendah, maka sedikit sekali kebijaksanaan tata ruang semacam ini yang efektif. Dalam kebijakan tata ruang darerah metropolitan diperkenankan mengembangkan berbagai cara yang mendukung kelompok berpendapatan tinggi, sehingga menciptakan masalah yang kurang proporsional bagi golongan miskin. Program-program regional telah diterapkan untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga program ini dilaksanakan dengan tidak sepenuh hati (Gilbert dan J. Gugler 1997). Sejak dahulu, berbagai komunitas membutuhkan adanya pelayanan umum yang memungkmkan terbentuknya konsentrasi penduduk pada area yang relatif kecil. Air rninum sedapat mungkin tersedia di tempat tersebut. Makanan dan kebutuhan sehari-hari lainnya yang diiasilkan di tempat lain didatangkan d m didistribusikan. Fasilitas pembuangan limbah dan sanitasi Iingkungan yang memadai perlu diupayakan, sehingga warga masyarakat dapat terhindar dari wabah penyakit pada batas-batas yang dapat ditolerir. Kebijakan dan perlindungan terhadap bahaya kebakaran harus menunjang kegiatan per-
-
kotaan demikian pula komunikasi antar penduduk perlu dikembangkan agar tercipta keserasian hidup di dalam perkotaan (Branch 1985). Pelaksanaan pembangunan yang semakin beragam juga menghasilkan produk sampingan seperti limbah, sampah dan buangan baik daIam bentuk padat, cair, gas, maupun tingkat tekanan dan kebisingan. Perlu dijaga agar hasil-hasil sarnpingan tersebut tidak melampaui ambang batas dan daya tampung lingkungan. Dalam hal ini kemampuan lingkungan menerima dan daya dukung bahan-bahan yang mencemari lingkungan dalam batas yang belum membahayakan ekosistemnya dan makhluk hidup. Jika daya tarnpung lingkungan dilampaui, struktur dan fungsi dasar ekosistem penunjang kehidupan
akan rusak dan berkelanjutan fungsi lingkungan terganggu (Sugandhy 1999). Menurut Undang-Undang RI, Nomor 23 Tahun 1997 pasal 1 bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya (Bapedal 1999a). Menurut Soerianegara (1978) bahwa daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh satu satuan luas sumberdaya
dan lingkungan dalam keadaan sejahtera. Jadi daya dukung mempunyai dua komponen, yaitu besarnya populasi manusia dan luas sumberdaya dan lingkungan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada populasi manusia. Sedangkan menurut Turner et al. (1994) ekonomi lingkungan mengembangkan prinsip bahwa sistem alam adalah aset beragam fungsi dalam beberapa ha1 bahwa lingkungan menyediakan umat manusia dengan jasa dan fungsi-fungsi ekonomi yang berharga secara luas antara lain: 1 . Sumberdaya darn dasar (sumberdaya yang dapat diperbaharui dan
tak dapat diperbaharui).
2. Satu aset dari benda-benda darn. 3. Kemampuan untuk mengasimilasi limbah. 4. Sistem penunjang kehidupan.
Menurut Naeem et al. (1998) proses-proses kritis pada tingkat ekosistem mempengaruhi produktivitas tumbuhan, kesuburan tanah, kualitas air, udara dan kondisi-kondisi lingkungan lokal dan
global lainnya, yang akhirnya mempengaruhi kesejahteraan manusia. Proses-proses ekosistem ini dikendalikan oleh keragaman dan identitas jenis-jenis tumbuhan, hewan, mikroba yang hidup dalam suatu komunitas. Modifikasi-modifikasi yang dilakukan oleh manusia terhadap komunitas dalam suatu ekosistem tadi, clapat
mengubah fungsi-fungsi ekologis dan sistem pendukung kehidupan yang penting bagi kesejahteraan umat manusia. Berdasarkan uraian pada Sub Bab D tentang penataan ruang dan daya dukung Lingkungan dapat disimpu1kan bahwa untuk memenuhi keperluan pembangunan yang beraneka ragam perlu dike&bangkan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna tanah, tata guna air dan sumberdaya lainnya dalam suatu kesatuan tatanan lingkungan hidup yang dinamis. Pelaksanaan pembangunan yang semakin beragam menimbulkan produk sampingan seperti limbah, sampah, gas buang, dan kebisingan. Hal tersebut per1u dijaga agar tidak melampaui ambang batas dan daya tampung lingkungan. Jika daya tampung lingkungan dilampaui, struktur dan fungsi dasar ekosistem penunjang kehidupan akan rusak dan fungsi lingkungan terganggu. Daya dukung lingkungan yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Sedangkan daya tampung lingkungan yaitu kemarnpuan k g kungan unhik menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
E. Analisis Sistem dan Permodelan Pendekatan sistem melalui analisis sistem akhir-akhir ini sema-
kin banyak digunakan, baik sebagai alat bantu untuk pemecahan masalah, maupun sebagai alat bantu untuk pengambilan keputusan,
-
terutama pada masalah-masalah yang kompleks. Sistem merupakan hubungan struktural atau fungsional, mempunyai dua komponen yang terpisah dan berinteraksi antara komponennya. Analisis sistem adalah pengorganisasian data dan informasi secara teratur dan logis untuk menyusun suatu model kemudian diikuti eksplorasi dan pengujian secara seksama terhadap model tersebut guna mensahkan dan memperbaikinya. Pendekatan holistik merupakan filosofi dari upaya mempelajari perilaku setiap sistem atau dari sistem kompleks (Hall dan John 977). Sejalan dengan pengeltian tersebut oleh JeEers (1984) rnengemukakan analisis sistem merupakan suatu cara mengorganisasikan data dan informasi secara teratur dan logika menjadi model-model, kemudian diikuti dengan berbagai uji dan eksplorasi untuk meningkatkan validasi model tersebut. Analisis sistem dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, misalnya oleh Odum (1971)mengemukaan analisis sistem untuk menganalisis berbagai permadahan ekologi, Jeffers (1978) dan Bowder (1985) menggunakan analisis sistem untuk menerangkan hubungan air, lahan basah dan populasi burung wood stock d l Florida, kemudian Jorgensen (1976) menggunakan analisis sistem untuk membuat model eutrofikasi danau serta model produksi ikan. Bila ditinjau pengertian atau definisi dari sistem, ada banyak pengertian yang dikemukakan, namun pada dasarnya mempunyai
-
makna yang sama. Menurut Winardi (1999) sistem addah sekumpulan komponen-komponen yang saling berhubungan, komponenkomponen tersebut ditujukan ke arah pencapaiaan sasaran-sasaran umum tertentu. Pengertian lain sistem adalah hubungan yang ber>
langsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur (hwad 1979). Model adalah gambaran abstrak tentang suatu sistem, hubungan antara komponen-komponen dalam sistem digambarkan sebagai hubungan sebab akibat. Suatu model yang baik mempunyai ciri
fungsional yang penting dari sistem nyata, sehingga dapat memprediksi perilaku sistem yang kompleks dan dapat menggambarkan dunia nyata dalam masalah tersebut (Soerianegara 1978). Model sangat bermanfaat, dan salah satu yang terpenting adalah model membantu ilmuan dalam menyusun konsep, pengorganisasian dan komunikasi suatu fenomena yang kompleks. Lebih lanjut model membantu dalam pemahaman, pengkajian dan opini. Dalam pembuatan model pertama disusun model konseptual, kemudian model diagram, model matematik dan komputer. Pernodelan dibutuhkan untuk memahami alarn akibat kompleksitas dari sistem dam, masih banyak sistem alam yang belum dipahami. Model hams dicek dengan kondisi sebenarnya (dunia nyata) untuk meyakinkan bahwa penggarn-
baran dari dunia nyata dalam pemodelan akurat atau tidak (Hall, dan John 1977). Metode sistem dinamik merupakan salah satu pendekatan pemodelan kebijaksanaan. Metode ini telah dan sedang dikembangkan sejak diperkenalkan oleh Forrester (1973) pada dekade 50-an di MIT Arnerika Serikat. Metode ini erat hubungannya dengan pertanyaanpertanyaan tentang tendensi dinamik sistem kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan sistem itu dengan bertambahnya waktu.
Penggunaan metode ini lebih ditekankan kepada
tujuan-
tujuan peningkatan pemahaman tentang bagaimana tingkah laku muncul dari struktur kebijaksanaan dalam sistem itu. Pemahaman ini sangat penting dalam merancang kebijaksanaan yang efektif (Bapedal dan LP-IT3 1998). Metode sistem dinamik merupakan salah satu pendekatan permodelan kebijaksanaan terutama dalam hal peningkatan pemahaman tentang bagaimana dan mengapa gejala dinamik suatu sistem tejadi. Metode ini biasanya dimaksudkan untuk digunakan pada tingkat disain kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan. Untuk rnengetahui perilaku dinamisnya, model yang telah dibangun harus disimulasikan. Seiring dengan makin kompleks dan luasnya sistem yang diamati, maka diperlukan penggunaan komputer untuk mengadakan simulasi (PPE LP-ITB 1996). Menurut Grant et aZ. (1997) Stella di-
-
kembangkan untuk komputer pribadi dengan sistem daya guna yang tinggi, dan ditekankan bahwa tujuan memberikan contoh-cotoh di dalam buku teks adalah untuk mendeskripsikan kegunaan sirnulasi model dalarn menjawab atau menjelaskan pertanyaan-pertanyaan realistis dalam bidang ekologi dan pengelolaan sumberdaya alam.
>
Sesuai dengan narnanya, metode sistem dinamik erat hubungannya dengan kecenderungan-kecenderungan dinamis sistem yang kompleks.
Pemodelan dengan rnetode ini, berbeda dengan metode
ekonometrik, tidak didominasi oleh penggunaan data historis (time
series data), melainkan melalui pengembangan asumsi-asumsi tentang struktur sistem. Berdasarkan uraian pada Sub Bab E tentang analisis sistem dan pernodelan dapat disarikan bahwa sistem adalah sekumpulan komponen yang saling berhubungan dan komponen-komponen tersebut ditujukan kearah pencapaiaan sasaran tertentu. Analisis sistem adalah pengorgenisasian data dan informasi secara teratur dan logis untuk menyusun suatu model kemudia diikuti eksplorasi dan pengujian secara seksarna. Pendekatan holistik merupakan filosofi dari upaya mempelajari perilaku setiap sistem. Sedangkan model adalah gambaran abstrak tentang suatu sistem. Hubungan antara komponen-komponen dalam sistem digambarkan sebagai hubungan sebab akibat. Suatu model yang baik mempunyai ciri fungsional yang pen-
ting dari sistem nyata, sehingga dapat memprediksi perilaku sistem yang kompleks dan dapat menggambarkan dunia nyata dalarn ma-
salah tersebut. Dalarn pembuatan model pertama disusun model konseptual, kemudian model diagram, model maternatik, dan komputer. Untuk mengetahui perilaku dinamisnya, model yang telah dibangun harus disimulasikan.
>
F. Studi yang Telah Dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (1995) dalam Todaro (2000) memperkirakan populasi penduduk perkotaan dunia telah mencapai 2,6 rnilyar untuk tahun 1995 dengan 66% (1,7milyar) hidup di daerah metropolitan di negara-negara berkembang. Proyeksi PBB untuk tahun 2025 adalah sekitar 4 , l milyar atau 80% di antaranya tinggal di negara-negara kurang berkembang. Suatu laporan studi lingkungan tentang "Karakteristik Lingkungan Desa dan Kota" di Kabupaten Daerah Tingkat I1 Mojokerto yang dilakukan oleh Amsyari (1986) menjelaskan bahwa di daerah perkotaan kepadatan penduduk rata-rata memang amat padat, yakni sekitar 20.000 penduduk/ km?. Kepadatan seperti ini sudah memperhitungkan luas daerah seluruhnya, yang seperti disebutkan dalam analisis sebelumnya harnpir seluruh luas daerah hanya untuk tempat permukiman penduduk. Dari gambaran tersebut mudah dimengerti bahwa pola pekejaan penduduk kota sebagian besarnya yakni 98%
merupakan non petani, sebagai pedagang 33%, sebagai buruh 20%, sebagai pegawai negeri 18% yang lainnya lebih dari 25% merupakan pekerja tidak tetap termasuk penganggur. Penelitian tentang hubungan antara penduduk, pertumbuhan ekonomi dan lingkungan, menggunakan salah satu dari beberaba pendekatan yang berbeda. Suatu pendekatan menekankan efek langsung dan tidak langsung kepadatan penduduk pada lingkungan, daiam pandangan ini, ukuran penduduk merupakan suatu perkalian efek faktor lain yang mempengaruhi lingkungan. Persamaan dari dampak lingkungan total (I),pencemaran udara merupakan produk ukuran penduduk (P), tingkat konsumsi per kapita (A) dan tingkat teknologi (T) menerangkan pendekatan ini bahwa I = PAT. IPAT berarti bahwa, meskipun penduduk, konsumsi dan
teknologi masing-masing memiliki pengaruh tidak bebas pada lingkungan (I), pengaruhnya bersama-sama itulah yang lebih penting, IPAT telah dikritisi karena terlalu menyederhanakan hubungan diantara variabel itu (Alene Gelbard et al. 1999). Dalam Laporan Lingkungan Tahun 1990, diidentifikasi 3 jenis
masalah lingkungan yang kritis di kawasan Asia dan Fasifik: 1. Degradasi lahan dan kemsakan sumberdaya alarn. Masalah ini ter-
masuk deforestasi, erosi tanah, kurangnya kesuburan tanah, penggenangan air, salinitasi dan toksifikasi tanah, hilangnya biodiversiti,
-
kerusakan dan destruksi karang, bakau, perikanan dan sumberdaya laut dan pantai lainnya. Ekstraksi berlebihan dan rnasalah-masalah lain dalam hubungannya dengan penyimpanan air bawah tanah. 2. Tidak lestrarinya lingkungan desa atau permukiman. Tidak Lestarinya
lingkungan tersebut disebabkan oleh perlindungan yang tidak memadai dan tidak tepat, kurangnya persediaan air bersih, kurangnya sanitasi, kekurangan bahan bakar, miskinnya nutrisi, penggunaan bahan agrokimia yang berlebihan, habitasi area yang berbahaya dan lingktlngannya rapuh. 3 . Pencamaran, termasuk pencamaran udara di kota, permukiman di
desa, pencamaran danau, sungai, air laut, dan sumber air bawah tanah, dengan efek merugikan pada bakau, karang, dan tempat pembuangan sampah dan bahaya lingkungan yang bersumber dari aktivitas manusia (UNDP 1992). Pradono (1991) dalarn tulisannya yang bejudul "Kreativitits Masyarakat dan Tantangan Pembangunan Kota" mengemukakan bahwa pertumbuhan kota dan proses urbanisasi di Indonesia (dalam pengertian luas tidak hanya berarti perpindahan penduduk dari desa ke kota, tetapi meliputi proses pengkotaan secara menyeluruh) tejadi sangat cepat dan di luar perkiraan para ahli. Dilihat dari jumlah penduduk pada tahun 1971, 17% penduduk Indonesia tinggal di perko-
taan,pada tahun 1980 mencapai 22%, tahun 1990 sudah di atas 30%
-
dan pada tahun 2000 sudah mencapai lebih dari 40%. Tidak semua orang memperoleh keuntungan atau mernperoleh bagian yang besar daxi manfaat pembangunan kota dan urbanisasi. Jumlah penduduk perkotaan di Indonesia yang tergolong berpenghasilan rendah dan -t
kelompok pinggiran relatif semakin besar jumlahnya. Diprediksi bahwa golongan tersebut akan menjadi mayoritas baru di antara penghuni perkotaan di Indonesia. Sejalan dengan pendapat Pradono oleh Todaro (1977) menjelaskan bahwa dampak urbanisasi terhadap proses pembangunan lebih banyak menimbulkan pengangguran dan pengangguran semu di daerah perkotaan. Sebenarnya, pentingnya arti fenomena urbanisasi dalam proses itu sendiri atau dalam dampalolya terhadap alokasi sektoral sumber-sumber daya manusia. Hasil proyeksi penduduk Indonesia 1995-2025 yang dilakukan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1998 tampak bahwa secara keseluruhan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 212 juta. Jumlah ini akan terus meningkat menjadi 255,6 juta pada tahun 2010, lalu menjadi 313,4juta pada tahun 2025. Melihat pertambahan penduduk Indonesia selama 20 tahun mendatang, tampak bahwa pertambahan penduduk dari tahun 2000 sampai tahun 2025 besarnya lebih dari 100 juta. Hal ini perlu diwaspadai (Siregar 1999).
Prediksi hasil simulai jumlah penduduk Indonesia oleh Bapedal dan LP-ITB (1998), bahwa jumlah penduduk Indonesia tahun 1990 adaiah 170 juta jiwa d m meningkat menjadi 290 juta jiwa pada tahun 2040. Penduduk yang bertambah berimplikasi pada pennintaan prot
duk barang dan jasa yang terus meningkat. Untuk memenuhinya, maka sektor produksi akan berusaha memenuhi dengan meningkatkan out-put. Adanya pengurangan sumberdaya darn akan berdampak pada peningkatan pencemaran, dan sebagai konsekuaensi secara tidak langsung adalah menurunnya tingkat harapan hidup. Dari garnbar hasil simulasi skenario I, terlihat bahwa graiik populasi berdasarkan usia terus mengalami kenaikan, kecuali usia balita dan usia 60 tahun pada periode 2010-2040 cenderung menurun. Departeman Kehutanan tahun 1991 memakai asumsi 5 orang per rumah, sehingga rumah yang dibutuhkan akan bejumlah 46,6
juta, dengan angka pertubuhan minimal 1% per tahun untuk pulau Jawa, sampai maksimal 2,6% per tahun untuk pulau Sumatera. Dalam skenario ini diasumsikan rata-rata rumah tangga (RT) per rumah
sama dengan keadaan tahun 1990, sehingga pada tahun 2020 akan membutuhkan 6 1,l juta rumah dengan penghuni rata-rata 4,6 orang per rumah. Sesuai dengan prediksi Departemen Transmigrasi, penduduk perkotaan pada tahun 2020 akan menjadi 179,2 juta atau 66%, dengan pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 4% per ta-
hun, dan penduduk pedesaan mengalami penurunan sebesar 0,7%. Pulau Jawa d w Bali diperkirakan akan mempunyai penduduk perkotaan yang terbesar yaitu 75,6O/0, dan yang terendah 29,3% untuk Nusa Tenggara. Dengan tingkat urbanisasi yang tinggi mengakibatkan penduduk yang tinggal di perkotaan sebesar 66%, maka kota-kota besar di Indonesia hams menyediakan tambahan fasilitas air bersih, pengelolaan lirnbah dan sarnpah, transportasi, lapangan pekerjaan, lahan dan perumahan dengan cepat (Djajadiningrat 1992). Telah disadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang tin& disertai dengan peningkatan industri yang tinggi pula akan meningkatkan berbagai bentuk pencemaran lingkungan hidup. Dalam skenario moderat ini diasumsikan pengendalian pencemaran sebesar 40% sarnpah dan endapan kota sebesar 50°/0. Walaupun demikian diperkirakan pencemaran B3 dan bahan organik terhadap air diperkirakan akan meningkat empat kali lipat di Sumatera, dua kali lipat di Jawa, dan tiga kdi lipat di Kalimantan. Pencemaran CO2 dan NO, terhadap udara secara keseluruhan akan menjadi dua kali lipat. Pencemaran SO2 diperkirakan akan menjadi tiga kali lipat terutarna di Sumatera dan Kalimantan. Volume limbah dan sarnpah domestik yang Liper-
kirakan dalam skenario ini didasarkan atas asumsi: 1. Penduduk perkotaan yang mempunyai saluran sebesar 78%. 2. Penduduk perdesaan yang mempunyai saluran 26%.
-
3. Penduduk perkotaan yang merpunyai sarana pengolahan sarnpah sebesar 50%. Walaupun dikendalikan sebesar 50%, sampah perkotaan akan meningkat tiga sampai empat kali lipat dibandingkan dengan tahun 1990. Pencemaran bahan organik diperkirakan
akan meningkat 20% di Jawa
dan
Sumatera
(~jajadiningrat
1992). Jumlah penduduk di Kota Makassar pada tahun 1996 adalah 1.107.267jiwa dengan pertumbuhan penduduk 3,5% per tahun. Pada tahun 2007 penduduk Kota Makassar akan meningkat menjadi 1.616.576 jiwa. Luas Kota Makassar adalah 17.717 ha yang terbagi atas 17.577 ha luas daratan dan 140 ha luas pulau. Dengan luas ini kapasitas Iahan masih bisa mencukupi sebagai lahan pemukiman. Persoalan kependudukan di Kota Makassar terletak pada aspek persebarannya. Pada tahun 1971 Kota Makassar mengalami perluasan di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Biringkanaya, Tamalate dan Panakkukang. Persebaran penduduk menjadi tidak merata dengan beban yang berat terdapat di pusat kota (Proyek Penataan dan Pengendalian Tata Ruang Dinas Pekejaan Umum Cipta Karya Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan 1997). Untuk mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan dalarn menghadapi pertumbuhan penduduk di rnasa datang sangat penting Indonesia untuk mecapai kemajuan teknoIogi yang lebih menekankan
-
pendayagunaan tiap unit sumberdaya. Sumberdaya yang dapat diperbaharui hams dieksploitasi atas dasar memperoleh keuntungan dengan memaksirnalkan kemampuan. Sedangkan sumberdaya yang tidak bisa diperbaharui dimanfaatkan sejauh tidak melampaui penciptaan yang dapat diperbaharui (Jones 1993).
Kajian Penelitian Gizi yang dilaksanakan oleh Roedjito (1989) menyimpulkan bahwa penilaian gizi masyarakat adalah usaha untuk evaluasi kumpulan data tentang rnasalah gizi yang ada di suatu daerah atau negara. Keadaan gizi masyarakat dapat ditentukan oleh beberapa indikator antara lain demografi, sosial ekonomi, pendidikan, ekologi dan konsumsi. Melalui perumahan penduduk juga dapat dijadikan indikator dalam menilai status gizi masyarakat, karena rumah dapat digunakan sebagai indikator sosid ekonomi seseorang, rumah dapat digunakan juga untuk mengetahui keadaan keluarga itu. Subindikator yang dipakai antara lain sanitasi rumah, perlengkapan rurnah tangga , fasilitas air bersih, sumber penerangan dan lain-lain. Penelitian mengenai pengaruh pengelolaan sarnpah terhadap kualitas air sumur gali di sekitar tempat pembuangan akhir sarnpah Suwung Denpasar, Bali yang dilaksanakan oleh Sundra (1997) menyimpullcan bahwa kualitas air sumur gali wilayah Suwung, telah melampaui ambang batas maksimun yang biperbolehkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990, ten-
tang persyaratan kualitas air minum, dan berdasarkan Keputusan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.02 /MENKLH/ 1988, tentang baku mutu air golongan B. Parameter kualitas air tersebut adalah bau, rasa, kekeruhan, zat padat terLarut, arnonia, sulfida, besi, >
timbal, bakkeri coliform dan bakteri fecal coli. Menurut Manahan (1994) bahwa sepanjang sejarah menunjukkan air rninum merupakan suatu faktor yang sangat menentukan kesejahteraan umat manusia. Pencemaran fecal (koli tinja) pada air minum sering kali menyebabkan water born diseasis yang mematikan di sejumlah kota. Pencemaran pada air (air tak sehat) dari sumber
alam dapat menyebabkan penderitaan yang besar pada setiap orang yang meminumnya. Berdasarkan uraian pada Sub Bab F tentang studi yang telah dilakukan maka dapat disarikan sebagai berikut: 1. PBB memproyeksi penduduk perkotaan dunia pada tahun 2025
sekitar 4,1 milyar atau 8% d l ataranya tinggal di negara-negara berkembang. 2. Masalah lingkungan yang kritis di kawasan Asia dan Fasifik yaitu
degradasi lahan dan kerusakan sumberdaya alam, tidak lestrarinya lingkungan desa atau permukiman dan pencemaran.
3. Perturnbuhan kota dan proses urbanisasi di Indonesia terjadi sangat cepat. Jumlah penduduk perkotaan di Indonesia yang targo-
long berpenghasilan rendah dan kelompok pinggiran relatif semakin besar jumlahnya. 4. Untuk mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan dalarn
menghadapi pertumbuhan penduduk di masa datang sangat penting untuk mecapai kemajuan telolologi yang lebih menekankan pendayagunaan tiap unit sumberdaya. Sumberdaya yang dapat diperbaharui harus dieksploitasi atas dasar memperoleh keuntungan dengan memaksimalkan kemampuan. Sedangkan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dimanfaatkan sejauh tidak melampaui penciptaan yang dapat diperbaharui.
5. Kualitas air sumur gali wilayah Suwung Ball telah melampaui a m bang batas maksimun yang biperbolehkan. Parameter kualitas air tersebut adalah bau, rasa, kekeruhan, zat padat terlarut, amonia, sulfida, besi, timbal, bakteri colifonn dan bakteri fecal coli.
-