BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Sejarah ekonomi Jawa pada paruh kedua abad ke-19 sampai tahun 1930-an didominasi oleh cerita tentang kesuksesan industri gula. Seperempat dari total pendapatan pemerintah kolonial berasal dari industri ini.1 Di Jawa, pada tahun 1929 terdapat 180 pabrik gula yang beroperasi dan tersebar di berbagai daerah.2 Howard Dick membagi daerah pusat-pusat gula menjadi 3 kelompok besar, yaitu di sepanjang pantai utara Jawa dari Cirebon sampai Jepara, di daerah bentangan bagian atas dan tengah bukit Bengawan Solo yang pusatnya pada daerah kerajaankerajaan, dan yang paling besar berada di Jawa Timur terutama di sepanjang aliran Sungai Brantas dan pantai utara di sepanjang Selat Madura.3 Daerah utama penghasil gula Jawa berdasarkan luas lahan penanamannya serta hasil panennya sejak tahun 1840-an terletak di Jawa Timur, utamanya di Karesidenan Pasuruan, Karesidenan Surabaya, dan Karesidenan Besuki. Namun, sejak 1850-an, Karesidenan Surabaya mulai menjadi penyumbang terbesar 1
Ong Hok Ham, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong, (Jakarta: Kompas, 2002), hlm 63 2
Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V : Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda - Edisi Pemutakhiran, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm 185 3
Howard Dick, “Industrialisasi Abad ke-19”, dalam Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru, (Jakarta: LP3ES, 2000), hlm 194
1
produksi gula kolonial mengalahkan Karesidenan Pasuruan yang sebelumnya menyandang status ini.4 Pusat-pusat perkebunannya terletak di tiga kabupaten atau residen sepanjang aliran Sungai Brantas, yaitu Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang. 3 kabupaten ini merupakan kabupaten yang memiliki kepadatan penduduk tertingi saat itu.5 Industri gula menjadikan Karesidenan Surabaya mengalami perkembangan yang sangat cepat karena banyaknya arus modal yang masuk dalam sektor ini, apalagi sejak periode liberal atau juga sejak diterapkannya Undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula di tahun 1870 serta menyusul Undang-undang Tarif pada tahun 1872. Bahkan, Karesidenan Surabaya pada akhir tahun 1900 menurut Howard Dick setara dengan Kalkuta, Bombay dan Osaka sebagai pusatpusat industri terkemuka di Asia.6 Hal ini dikarenakan status kota Surabaya yang menjadi tempat persilangan maupun tempat berkumpulnya komoditas dari berbagai daerah (terutama gula) di Jawa Timur untuk diekspor melalui pelabuhannya dan juga banyaknya tenaga kerja yang diserap sebanding dengan semakin luasnya areal perkebunan yang ada. Dari industri gula ini juga, modernisasi industri perkebunan dengan menggunakan tenaga uap berkembang
4
Lihat tabel William J. O‟malley, “Gula Pemerintah 1836-1870: Jumlah Pabrik Gula dan Areal Yang Ditanami Tebu (Dalam Hektar)”, dalam Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm 201 5
Jamie Mackie, “Sejarah Demografi Regional sebagai Petunjuk untuk Memahami Perubahan Sosio-Ekonomi: Studi Kasus Karesidenan Surabaya, 18901990”, dalam Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru, (Jakarta: LP3ES, 2000), hlm 317 6
Howard Dick, op. cit, hlm 177
2
cepat sehingga produksi gula juga semakin meningkat. Tidak hanya itu, O‟Malley mengatakan bahwa industri gula memberikan contoh tentang organisasi, kekuatan keuangan, kemajuan teknik, efisiensi, dan laba yang menyebabkan kemajuan mendadak dalam pertanian secara besar-besaran.7 Sebelum tahun 1870, banyak permasalahan-permasalahan yang dihadapi industri gula baik di Karesidenan Surabaya maupun industri gula di Jawa secara umum. Permasalahan tersebut diantaranya adalah sistem irigasi perkebunan yang menunjang perluasan lahan serta jaringan transportasi yang belum memadai. Belum lagi politik ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial saat itu yang belum mendukung berkembangnya industri perkebunan swasta. Industri gula ini pun sebelum 1870 masih di monopsoni-monopoli oleh pemerintah kolonial untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya bagi negara kolonial.8 Akibatnya, sebelum 1870, arus investasi maupun arus tenaga kerja terutama dalam bidang perkebunan yang masuk ke Karesidenan Surabaya rendah. Setelah dibukanya kebebasan penanaman modal asing di Hindia Belanda pada 1870 dan juga perbaikan masalah-masalah di bidang irigasi dan transportasi, Karesidenan Surabaya memulai dominasinya dalam industri gula di Jawa. Tidak tanggung-tanggung, perbedaan produksi gula sebelum dan setelah di terapkannya kebijakan ekonomi liberal pada 1870 mencapai 800 % lebih. Salah satu artikel
7
William J. O‟Malley, “Perkebunan 1830-1940”, dalam Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm 212 8
M. Husein Sawit, dkk. Ekonomi Gula di Indonesia, (Bogor: IPB & Bulog, 1999), hlm 495
3
dalam Soerabaiasch Handelsblad terbitan tahun 1903 dijelaskan bahwa produksi gula Karesidenan Surabaya pada tahun 1856 mencapai 326.646 pikul dan pada tahun 1902 meningkat menjadi 2.720.170 pikul.9 Pesatnya perkembangan industri gula yang terjadi tentunya juga berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Hal ini tidak bisa dipungkiri lagi karena industri gula dari hulu sampai hilir membutuhkan banyak pekerja yang terlibat. Apalagi daerah perkebunan menjadi daerah tujuan migrasi untuk mencari pekerjaan bagi orang-orang yang tidak memiliki tanah. Selain itu, fakta yang menyebutkan bahwa daerah perkebunan selalu memunculkan geliat ekonomi baru berupa pasar lokal bagi pemenuhan kebutuhan pekerja-pekerja perkebunan. Setelah mendominasi selama puluhan tahun, akhirnya puncak dari perkembangan gula ini berakhir pada tahun 1930-an. Pada tahun itu terjadi krisis malaise yang awalnya dimulai di Amerika pada tahun 1928 yang kemudian melanda Hindia Belanda, tak terkecuali Karesidenan Surabaya. Banyak pabrikpabrik gula yang menghentikan produksi bahkan menutup pabriknya karena jatuhnya harga gula di pasaran dunia serta tidak mampu lagi untuk membiayai biaya produksinya. Pemerintah kolonial pun harus menandatangani perjanjian internasional antar negara penghasil gula yang mengatur pembatasan produksi serta ekspor. Akhirnya, pabrik yang beroperasi di Hindia Belanda pasca malaise
9
M. Van Geuns, “Het departement Soerabaja van het Algemeen Syndicaat van Suikerfabrikanten”, dalam Soerabaiasch-Handelsblad Maandag 30 November 1903
4
pada tahun 1935 sebanyak 45 pabrik dan pada tahun 1940 meningkat menjadi 85 buah dari 180 pabrik yang ada pada tahun 1928.10 Adanya perkembangan teknologi penangkap gambar sejak abad ke-19 telah banyak membantu dalam menjelaskan narasi sejarah. Belum lagi dokumendokumen berupa peta serta lukisan ataupun ilustrasi yang juga tidak kalah pentingnya menambah pemahaman kita dalam memahami sejarah. Namun, dokumen-dokumen ini belum banyak digunakan oleh akademisi sejarah dalam menjelaskan penelitian yang dikerjakan. Oleh karena itu, perlu adanya cara baru bagi akademisi sejarah dalam menjelaskan dan memanfaatkan dokumen-dokumen atau sumber-sumber tersebut dalam menjelaskan hasil penelitian yang mereka kerjakan. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah menjadikan hasil penelitian oleh akademisi sejarah berbentuk film. Selain bisa lebih membantu menjelaskan narasi sejarah, film juga lebih menarik bagi orang-orang diluar sejarah yang ingin mengetahui hasil penelitian yang telah kita kerjakan agar Ilmu Sejarah tidak hanya berada di ujung menara gading.
1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian Dengan diberlakukannya Undang-Undang Agraria, satu alat produksi pokok ialah tanah telah diliberalisasikan, maka terbuka kesempatan seluasluasnya untuk membuka perusahaan perkebunan. Adapun penyediaan faktor produksi yang kedua yang tidak kalah pentingnya, ialah tenaga kerja, pada tahap awal itu tidak diadakan peraturan, tidak lain karena orang beranggapan bahwa di Jawa yang padat penduduknya, dengan sendirinya hal itu tersedia. Kesempatan kerja beserta upah kerja akan menciptakan 10
Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto, loc.cit.
5
pasar tenaga kerja yang memenuhi kebutuhan tenaga kerja perkebunan. Dalam pada itu keadaan di Sumatera Utara akan menuntut pengaturan tenaga kerja berdasarkan kontrak.11 Dari kutipan tersebut, periode liberal merupakan tonggak pesatnya perkembangan perkebunan di negara kolonial secara umum, termasuk gula yang menjadi salah satu komoditas andalan kolonial. Periode antara tahun 1870 – 1930an merupakan periode kesuksesan industri gula Karesidenan Surabaya. Tingginya angka-angka produksi yang dicapai menunjukkan betapa besarnya faktor ekonomi baik modal maupun tenaga kerja yang terlibat dalam roda perekonomian karesidenan selama puluhan tahun. Padahal, jika kita menarik beberapa tahun sebelum periode tersebut, industri gula di Karesidenan Surabaya mengalami banyak hambatan. Oleh karena itu, pesatnya perkembangan industri gula di Karesidenan Surabaya pada periode tersebut merupakan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Dari uraian singkat di atas, pokok permasalahan tersebut akan dijelaskan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Faktor apa saja yang menunjang perkembangan industri gula Karesidan Surabaya pada periode tersebut? 2. Sejauh mana pabrik gula tersebut memberikan pengaruh kepada ekonomi lokal
baik
itu
pada
pemerintah
karesidenan
ataupun
kepada
masyarakatnya?
11
Sartono Kartodirdjo & Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: P3PK & Aditya Media, 1991), hlm 80-81
6
3. Selain dua pertanyaan penelitian tersebut, penelitian ini akan mencoba menyajikan sejauh mana data-data visual dapat memberikan pemahaman terhadap narasi sejarah yang dikerjakan oleh akademisi sejarah? Ruang lingkup penelitian ini terbagi menjadi 2, yaitu ruang lingkup spasial dan ruang lingkup temporal. Ruang lingkup spasial penelitian ini adalah perkebunan tebu di Karesidenan Surabaya yang meliputi wilayah Sidoarjo, Mojokerto, Jombang. Ruang lingkup temporal penelitian ini adalah antara tahun 1870 sampai tahun 1930-an. Tahun 1870 dipilih sebagai batas awal penelitian ini karena pada tahun itu pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi liberal yang menjadi tonggak awal perkembangan industri gula di Karesidenan Surabaya. Sedangkan tahun 1930-an dipilih sebagai batas temporal akhir karena pada tahun ini terjadi malaise yang melanda dunia yang mengakibatkan jatuhnya gula-gula Jawa yang berpengaruh pada kehidupan sosial-ekonomi karesidenan.
1.3 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki faktor-faktor apa saja yang menjadikan karesidenan Surabaya mengalami perkembangan yang cepat dengan industri perkebunannya dalam kurun waktu 60-an tahun sejak 1870 sampai tahun 1930-an dan juga pengaruh yang ditimbulkan dari cepatnya perkembangan industri ini baik pada pemerintah karesidenan maupun kepada masyarakatnya. Penelitian ini juga akan menambah referensi tentang kajian sejarah sosialekonomi industri perkebunan yang terjadi di Karesidenan Surabaya. Selain itu,
7
hasil penelitian yang berupa film ini diharapkan bisa menjadi alternatif dalam menjelaskan hasil penelitian sejarah oleh akademisi sejarah agar lebih menarik dan bisa diakses semua orang dalam era digital ini.
1.4 Tinjauan Film Sejauh pencarian penulis atas film dokumenter tentang industri gula di Indonesia ataupun di Karesidenan Surabaya, penulis belum berhasil menemukan karya visual yang membahas tema tersebut. Namun ada beberapa film dokumenter yang layak dijadikan tinjauan dalam memahami tema ini. Film-film dokumenter tersebut antara lain Food, Inc., The Human Cost of Sugar Harvesting, Cuba in the Raw: A Story of Sugar, History of the Australian Sugarcane Industry: They’re All Half Crazy, Big Sugar, dan Biji Kopi Indonesia: Aroma of Heaven. Film dokumenter Food, Inc12 disutradarai oleh Robert Kenner yang menelusuri tentang apa yang terjadi dibalik industri makanan di Amerika. Film asal Amerika dengan durasi 94 menit ini dirilis pada tahun 2008 dan memenangi 7 penghargaan dari 19 nominasi yang diikuti. Film ini menyajikan fakta bahwa industri makanan di Amerika Serikat hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan besar mulai dari benih sampai supermarket. Di balik industri tersebut, banyak yang terlibat di dalamnya mulai dari golongan tingkat bawah seperti peternak, petani maupun buruh pabrik yang selalu dirugikan sampai ke golongan 12
Robert Kenner, Food, Inc., (Amerika Serikat: Participant Media & River Road Entertainment, 2008)
8
pemerintah sebagai penentu kebijakan yang ternyata ikut andil dalam mendukung perusahaan industri makanan tersebut meskipun tidak secara terang-terangan. Dalam kasus ini, sineas menggambarkan mekanisme produksi industri makanan atas izin USDA dan FDA yang selama ini ditutup-tutupi oleh perusahaan. Industri lebih mementingkan pendapatan yang besar dari pada dampak yang dihasilkan dari proses produksi seperti keselamatan pekerja, kesehatan makanan dan dampak bagi lingkungan. Dari film ini, bisa dijadikan tinjauan bahwa industri-industri besar banyak menyembunyikan biaya-biaya „tersembunyi‟ dalam meningkatkan produksi dan labanya. Apakah demikian juga yang terjadi pada industri gula di Karesidenan Surabaya pada 1870 – 1930-an? Film Big Sugar13 diproduksi pada tahun 2005 oleh rumah produksi Galafilm asal Canada. Film yang disutradarai oleh Brian McKenna ini terbagi dalam 2 bagian yang memiliki durasi masing-masing 45 menit yang menceritakan tentang gula dilihat dari sudut pandang politik, sejarah dan kesehatan. Film ini membahas kolonialisasi industri gula yang menjadi „emas putih‟ pada abad ke-18 di wilayah Hindia Barat yang memunculkan perbudakan. Selain itu, film ini juga memberikan gambaran bahwa saat inipun gula masih menjadi sumber perbudakan modern yang dibuktikan dengan ketergantungan konsumen pada industri makanan berbasis gula. Dalam film ini juga digambarkan tentang para pekerja penebang tebu di Republik Dominika pada abad ke-21 yang kehidupannya masih seperti menjadi budak industri gula. Mereka masih kelaparan tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dari hasil bekerja selama 12 jam perhari pada industri gula 13
Brian McKenna, Big Sugar, (Canada: Galafilm, 2005)
9
yang hanya mendapatkan imbalan 2 Dolar perhari. Film ini bisa dijadikan pembanding dengan apa yang terjadi dengan industri gula di Hindia Timur (Hindia Belanda) yang dikuasai oleh Belanda jika demikian yang terjadi di Hindia Barat yang dikuasai oleh Inggris. Seperti halnya film dokumenter Big Sugar, film Cuba in the Raw: A Story of Sugar14 juga menceritakan industri gula di Hindia Barat, namun lebih spesifik ke Kuba yang menjadi eksportir gula terbesar di dunia pada awal abad ke-20. Film ini menjadi tinjauan penting bagi penelitian ini karena Kuba adalah saingan utama produksi gula dari Jawa. Film History of Australian Sugar Cane Industry: They’re All Half Crazy 100 Years of Mechanical Cane Harvesting15 dibuat oleh Queensland Cane Growers Organisation Ltd atau yang dikenal dengan Canegrowers asal Australia pada tahun 1995. Film berdurasi 21 menit ini menjelaskan tentang perkembangan teknologi pemanenan tebu di Australia dengan menggunakan mesin. Sejak digunakannya mesin dalam pemanenan tebu pada tahun 1890-an, Australia terus mengembangkan salah satu alat produksi penting dalam industri gula sehingga Australia bisa menjadi salah satu eksportir terbesar gula di dunia sampai sekarang. Tinjauan penting dari film ini adalah penggunaan teknologi alat produksi pemanenan tebu yang menjadi faktor penting dalam peningkatan produksi gula Australia. 14
Ric Morris, Cuba in the Raw: A Story of Sugar, (Amerika Serikat, 2012)
15
History of Australian Sugar Cane Industry: They’re All Half Crazy 100 Years of Mechanical Cane Harvesting, (Australia: Canegrowers, 1995)
10
Film selanjutnya adalah The Human Cost of Sugar Harvesting: Under Cane16 yang disutradarai oleh Ed Kashi. Film dokumenter pendek berdurasi 14 menit ini diproduksi pada tahun 2015. Film ini menceritakan wabah penyakit sejak tahun 1980-an yang sering dialami oleh pekerja penebang tebu pabrik gula Ingenio San Antonio di Chichigalpa, Nicaragua. Para penebang tebu tersebut kebanyakan terkena penyakit ginjal kronis yang sering berakhir dengan kematian disebabkan dehidrasi serta tekena terik sinar matahari secara terus-menerus ketika melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini dikarenakan tuntutan dari pabrik yang kurang memberikan waktu istirahat serta air yang cukup bagi pekerjanya. Selain itu, pemilik pabrik akan memberhentikan atau memecat pekerjanya yang terkena penyakit tersebut meskipun baru satu tahun bekerja. Tinjauan yang bisa diambil dari film dokumenter pendek ini adalah mengenai kesejahteraan bagi para pekerja perkebunannya. Karena setiap perusahaan pasti menekan biaya pengeluaran produksi dan menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya meskipun dengan mengorbankan para pekerjanya, apalagi pada masa kolonial. Ada juga film dokumenter asal Indonesia, kolaborasi antara Perum Produksi Film Negara (PFN), Budfilm, Traffic Production, dan GoodNews Film yang dijadikan tinjauan dalam penelitian ini, yaitu Biji Kopi Indonesia atau Aroma of Heaven17. Film ini disutradarai oleh Budi Kurniawan dengan durasi film 66 menit. Film ini dirilis pada tahun 2014 setelah melakukan riset selama 3 tahun 16
Ed Kashi, The Human Cost of Sugar Harvesting: Under Cane, (Amerika Serikat: National Geographic, 2015) 17
Budi Kurniawan, Biji Kopi Indonesia: Aroma of Heaven, (Indonesia: PFN, Budfilm, Traffic Production, GoodNews Film, 2014)
11
sejak 2011. Film ini tidak hanya menceritakan sejarah kopi di Indonesia yang dimulai dari Batavia yang bibitnya di bawa oleh VOC kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Film ini menelusuri sejarah kopi di Indonesia dengan mengambil beberapa contoh kasus perkembangan kopi di Jawa, Sumatra dan Flores. Selain itu, Biji Kopi Indonesia ini juga menyajikan cerita tentang kopi dari sisi tradisi, budaya, seni, iman, serta keyakinan adat. Dari film ini, tinjauan yang bisa diambil dalam memahami tema penelitian adalah gambaran keadaan pekerja di perkebunan kopi serta politik ekonomi pada masa pemerintah kolonial yang diterapkan pada saat itu. Karena kopi dan gula merupakan dua tanaman yang tidak bisa dipisahkan dari narasi sejarah kolonial Hindia Belanda.
1.5 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam film ini adalah metode Sejarah Kritis yang diperkenalkan oleh Kuntowijoyo yang akan dijelaskan dengan metode naratif deskriptif. Metode Sejarah Kritis ini meliputi 5 tahap, yaitu pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi, intepretasi, dan penulisan.18 Langkah-langkah tersebut harus dilakukan untuk merekonstruksi peristiwa sejarah sehingga menghasilkan suatu fakta sejarah yang mendekati objektif yang dapat dipertanggungjawabkan.
18
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 1995), hlm 90
12
Tahap yang pertama adalah pemilihan topik. Kuntowijoyo mengatakan bahwa sebaiknya topik dipilih atas kedekatan emosional dan kedekatan intelektual.19 Hal ini perlu dilakukan karena orang akan bekerja dengan baik jika perkerjaan itu mereka senangi. Tahap kedua yang dilakukan adalah pencarian sumber sejarah baik kualitatif maupun kuantitatif sebanyak-banyaknya yang berhubungan dengan industri gula di Karesidenan Surabaya tahun 1870 sampai tahun 1930-an. Bentuk sumber sendiri terdiri dari berbagai macam, baik itu teks (tulisan), lisan, gambar, maupun video. Selain itu, sumber juga terdiri dari sumber primer (hasil dari peristiwa sejarah atau saksi sejarah), sekunder, dan tersier. Sumber-sumber primer berupa arsip tertulis, didapat dari Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, Perpustakaan P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) Pasuruan, serta sumber-sumber online. Adapun sumber foto, audio dan video, semuanya didapat secara online, terutama dari website id film center untuk video dan kitlv leiden untuk foto dan audio. Sumber pustaka diperoleh di berbagai perpustakaan serta buku maupun jurnal online. Tahap yang ketiga adalah verifikasi atau kritik sumber. Dalam melakukan kritik sumber, ada dua tahap yang harus dilakukan, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern adalah pengujian pertama yang harus dilakukan pada sumber yang telah didapat untuk 19
membuktikan keotentikan sumber dengan melihat
Ibid., hlm 91
13
bentuk fisiknya seperti bentuk kertas yang digunakan, tinta tulisan, tahun pembuatan, dan lain sebagainya untuk sumber yang berupa benda. Kritik intern adalah pengujian sumber sejarah yang digunakan untuk menguji kredebilitas isi sumber
serta
dapat
tidaknya
sumber
tersebut
dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Tahap yang keempat adalah intepretasi atau penafsiran. Penafsiran ini merupakan tahap pengimajinasian penulis atas sumber-sumber yang telah melalui tahap verifikasi atau kritik sumber. Dengan kata lain, tahap ini merupakan tahap perangkaian dan penyusunan berbagai sumber untuk dijadikan suatu karya sejarah. Tahap yang terakhir adalah tahap penulisan sejarah. Pada tahap ini penulis dituntut untuk dapat menyampaikan ide-ide yang muncul dari hasil intrepretasi dalam bentuk tulisan maupun visual yang dapat dipahami oleh khalayak umum. Pada tahap ini, ide yang bagus saja tidak cukup untuk menjadikan sebuah karya menarik. Namun, diperlukan pemaparan yang menarik dan mudah dipahami sehingga keutuhan ide penulisan maupun visualisasi dapat tersampaikan kepada pembaca secara utuh.
1.6 Konsep dan Metode Sinematografi Film The task now before historians willing to work with film and sound media as follows; to learn to assess the media records as sources of information; to identify and catalogue these records; to learn the forms of expression, or language, of film and sound; to master the techniques of film and sound production, and begin film reportage. In addition, it is imperative that
14
historians carry their newly won skills into the classroom as soon as possible, and that at least some institutions which train historians provide the opportunity for doing this.20 Kutipan paragraf di atas adalah anjuran Raack untuk sejarawan yang ingin menggunakan medium baru (film) dalam memaparkan hasil penelitian sejarah. Sejak tahun 1980-an, banyak ahli sejarah yang mendiskusikan penggunaan film sebagai representasi sejarah seiring dengan berkembanganya teknologi penangkap gambar.21 Selain itu, menurut sebagian besar orang, sejarah adalah apa yang mereka lihat dalam film dan program televisi.22 Hayden White menyebutnya dengan „historiophoty‟ atau representasi sejarah melalui gambar visual dan film.23 Film ini disajikan dalam bentuk film dokumenter sejarah berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan. Visualisasinya mengkombinasikan antara sumbersumber visual yang didapat baik itu video dan foto, sebagai penggambaran rekonstruksi hasil penelitian. Selain itu, dikombinasikan juga dengan video
20
R.C. Raack, “Historiography as Cinematography: A Progelomenon to Film Work for Historians”, dalam Journal of Contemporary History, Vol. 18, No. 3, Historians and Movies: The State of the Art Part 1 (July), (New York: Sage Publication, 1983), hlm. 419 21
Bacaan lebih lanjut, bisa dilihat R.C. Raack (Historiography as Cinematography: A Progelomenon to Film Work for Historians), Daniel J. Walkowitz (Visual History: The Craft of the Historian-Filmmaker), Robert A. Rosenstone (History in Images/History in Words: Reflection on the Possibility of Really Putting History onto Film), Hayden White (Historiography and Historiophoty), Wolfgang Ernst (Distory: Cinema and Historical Discourse), Marnie Hughes (History Goes to the Movies: Studying History on Film). 22
Marnie Hughes, History Goes to the Movies: Studying History on Film, (Abingdon: Routledge, 2007), hlm. 1 23
Hayden White, “Historiography and Historiophoty”, dalam The American Historical Review, Vol. 93, No. 5 (December), (Oxford University Press on behalf of the American Historical Association, 1988), hlm. 1193
15
animasi untuk memberikan penjelasan tentang peta serta data-data statistik yang diperoleh. Adapun audionya, mengkombinasikan antara naskah film yang dinarasikan dan direkam (dubbing), efek suara, musik, serta instrumen yang mendukung. Konsep sinematografi visual film ini menggunakan tone monochrome hitam putih untuk memberikan kesan keotentikan sumber-sumber yang digunakan agar sesuai dengan jiwa zamannya. Adapun audionya, diberi background noise yang tidak mengganggu, serta instrumen atau lagu yang mendukung suasana adegan
untuk
menyesuaikan
konsep
sinematografi/
klasik.
Selain
itu,
penggambaran yang digunakan pada film ini secara keseluruhan merupakan proses yang dilakukan oleh industri perkebunan beserta dinamikanya, mulai dari aktivitas di kebun tebu pada sepertiga awal film, pemrosesan tebu di pabrik pada sepertiga kedua film, serta proses pemasaran gulanya pada akhir sepertiga film. Metode yang digunakan dalam visualisasi film ini sebagai berikut: Langkah pertama yang dilakukan setelah menyelesaikan metode penelitian adalah menyusun hasil penelitian menjadi naskah film. Naskah film ini dijadikan sebagai acuan penggambaran audiovisual hasil penelitian sejarah. Langkah selanjutnya adalah memilih dan memilah sumber-sumber visual yang didapat serta menyusunnya dalam editor video24 sesuai naskah film. Dalam film ini, video utama yang digunakan sebagai berikut: Pertama, De Rietsuiker
24
Film ini diedit dengan software Adobe Premiere Pro
16
Cultuur op Java.25 Film ini merupakan film dokumenter intruksional penggambaran industri gula yang dibuat pada tahun 1928 mulai dari proses penyiapan lahan, infrastruktur, pengolahan, sampai pemasaran. Dalam film ini juga ditunjukkan proses pengolahan tebu menjadi gula secara tradisional. Kedua, Renovatie Lengkong Stuw in Brantasrivier.26 Ini adalah video laporan pemerintah tentang renovasi bendungan Lengkong di Sungai Brantas pada 1923. Video ini digunakan sebagai penggambaran pembangunan Lengkong pada tahun 1852 – 1857 serta menggambarkan proyek-proyek irigasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kolonial. Dalam tahap ini, kombinasi video animasi27 digunakan sebagai pendukung penjelasan, terutama penjelasan tentang peta serta grafik sesuai naskah film. Pada tahap ini juga, editing visualnya disesuaikan dengan konsep sinematorgrafi yang telah dipilih. Setelah visualisasi sesuai dengan naskah film, langkah selanjutnya adalah memberikan efek suara. Hal ini digunakan karena sumber-sumber video yang didapat adalah film bisu atau film tanpa suara. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan instrumen suara28 atau lagu yang mendukung penggambaran suasana adegan.
25
Ochse, I.A., De Rietsuiker Cultuur op Java, (Belanda: NIFM – Haarlem Buitenzorg, 1928) 26
Anonymous, Renovatie Lengkong Stuw In Brantasrivier, (Belanda: Beeld en Geluid, 1923) 27
Pembuatan video animasi menggunakan kombinasi software Adobe Illustrator, Adobe Photoshop, dan Adobe Premiere Pro 28
Sebagian instrumen suara dibuat dengan software LMMS
17
Langkah selanjutnya adalah pengisian suara.29 Narator dituntut untuk melafalkan naskah yang telah dibuat secara jelas, agar tidak terjadi kesalah pahaman oleh pendengar.
1.7 Sistematika Sinematografi Film Film ini disusun berdasarkan naskah film yang telah dibuat, yang terdiri dari berbagai sequence, mulai dari prolog sampai epilog. Sequence atau rangkaian ini digunakan untuk mempermudah dalam proses editing film. Bagian awal film ini, prolog, diawali dengan visualisasi sebuah keluarga di negeri Belanda yang sedang meminum kopi dengan campuran gula, berlatar musik dari Hindia Belanda. Penggambaran ini dimaksudkan bahwa gula dan kopi yang ada di negeri Belanda berasal dari Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan kutipan tentang kemajuan industri gula di Jawa berlatar visual kapal yang sedang melakukan kegiatan ekspor gula. Sequence pertama film ini menggambarkan latar belakang penelitian ini. Sequence keduanya menggambarkan awal mula industri gula di Jawa sampai industri gula masuk ke Karesidenan Surabaya. Sequence ketiga dan keempat menggambarkan proyek irigasi dan transportasi untuk mendukung industri gula di Karesidenan Surabaya. Sequence kelima menggambarkan krisis yang terjadi pada
29
Dubbing direkam tanpa mixer audio dengan menggunakan software Adobe Audition
18
masa periode liberal serta pemecahan masalahnya bagi industri gula di Jawa secara umum. Sequence keenam menggambarkan keadaan industri gula di Karesidenan Surabaya beserta inovasi-inovasi yang dilakukan sampai munculnya wabah penyakit yang mengganggu industri gula. Sequence ketujuh menggambarkan resistensi petani di Karesidenan Surabaya berupa pembakaran tebu serta data statistiknya. Sequence kedelapan menggambarkan awal mula kehancuran industri gula di Jawa secara umum akibat krisis ekonomi dunia yang terjadi pada 1930-an. Bagian akhir film ini, epilog, ditutup dengan kesimpulan tentang garis besar industri gula di Jawa, termasuk industri gula di Karesidenan Surabaya dengan latar produksi gula serta aktivitas buruh angkut gula di pelabuhan Surabaya. Kemudian dilanjutkan dengan kutipan tentang inti dari kolonialisme. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa dibalik industri gula, ada suatu ide besar tentang kolonialisme yang menguras kekayaan sumber daya alam Hindia Belanda untuk kemakmuran negeri Belanda. Film ini ditutup dengan lagu Afscheid van Indie (Selamat Tinggal Hindia Belanda) karya Wieteke van Dort atau Tante Lien, dengan latar visual kapal yang meninggalkan Hindia Belanda, serta pemandangan perkebunan tebu dan keceriaan anak-anak yang bekerja di perkebunan. Ini menunjukkan rasa kehilangan negeri Belanda atas hancurnya industri gula di Jawa akibat krisis, yang telah memberikan pemasukan yang sangat besar bagi kas Kolonial selama beberapa dekade. Dilain
19
sisi, keceriaan anak-anak menunjukkan kegembiraan kehancuran industri gula bagi para pekerja perkebunan yang telah memerasnya selama puluhan tahun.
20