BATAVIA SEBAGAI KOTA DAGANG PADA ABAD XVII SAMPAI ABAD XVIII Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana (S1), atau Sarjana Humaniora (S. Hum) pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Disusun Oleh: AGUS RIDWIYANTO NIM : 107022001138 JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432/ 2011 M
LEMBAR PENGESAIIAN BATAVIA SEBAGAI KOTA DAGANG PADA ABAD XVII SAMPAI ABAD
XVIII
Skripsi
Diajukan i(epada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana (Sl), atau Sarjana Humaniora (S. Hum) pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Olph
AGUS RIDWIYANTO
NIMI
107022001138
Dosen Pembimbi
lnaSlEua!!a,14. Hum. NIP : 192302081998032001 JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADEN DAN HUMANIORA UNIVSRSITAS ISLAM NEGET{I SYARIF HIDAYATULLAI.I
JAKARTA
'
t432t 201r M
'4_
\"
;. ,,
1'::
t,.
l
PENGBSAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul "BATAVIA SEBAGAI
KorA
DAGANG PADA a\
ABAD .xvn SAMPAI ABAD xvIII". Telah diujikan dalam
sidang
Munaqosyah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakafia, pada tanggal 2 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Ciputat, 2 Desember
20ll
Sidang Munaqosyah
n Sekretaris Merangkap Ahggota
wiw*^ Drs. H; M. Ma'ruf Misbah. MA NIP. 19s91222 199103 I 003
l7 200501 2007 Anggota
NIP. 19490706 t97109
Drs. H. M. Ma'ruf Misbah, MA NrP. 19s91222 r99t03 I 003
I 001
reffi\ing
r\1,
/W
Imas Emalia. M. Hum
NIP: 1980208
199803 2 001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan Ini Saya Menyatakan Bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli dari saya sendiri. Yang diajukan untuk syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Humaniora dalam jenjang strata satu (S1) di Fakultas Adab dan Humanora UIN Syarif Hodayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam kesatuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, atau merupakan dari jiplakan karya orang lain. Maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tangerang Selatan, 2 Desember 2011
Penulis
ABSRAKSI
Pelayaran dan perdagangan di kawasan Laut Jawa telah membawa angin segar bagi pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Pantai Utara Jawa. Namun dari kegiatan ekonomi-perdagangan yang telah berpengaruh terhadap penyebaran agama Islam di Jawa, semisal Banten, Demak, Tuban dan lain sebagainya. Kondisi ini, yang dialami oleh para pedagang di sekitar Laut Jawa. Mereka berasal dari Arab, Cina, India, Persia, Turki atau dari Asia. Hal ini, disertai penyebaran agama Islam dan adanya penguasa lokal. Hal ini, didorong dari simpati lalu-lintas Muslim dan hingga menjadi persekutuan dalam menghadapi pedagang-pedagang asing maupun dari Jawa di bidang perdagangan dan sarana transportasi. Akan tetapi, wilayah Batavia tetaplah masih eksis sejak beberapa abad yang lalu sebagai wilayah perdagangan. Pada masa awal pimpinan Jan Pierterszoon Coen, ia mencetuskan ide perluasan perdagangan, awal abad XVII. Ternyata perluasan ini membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah menciptakan perluasan perdagangan di Asia Tenggara dengan ibu kota Batavia. Hal ini merupakan detik kemajuan bagi VOC (Belanda), Coen berupaya ingin merencanakan dan membangun imperium yang mempunyai nilai komersil di Asia Tenggara dengan ibu kota Batavia. Bagi Belanda sikap seperti itulah adalah upaya untuk mengontrol perdagangan atas laut. Besar kemungkinan, Batavia dianggap sebagai salah satu yang memiliki potensi besar, dan dibantu dari kekuatan Belanda. Ini merupakan detik positif. Selain dari dampak positif, juga membawa dampak negatif dalam bentuk memonopoli perdagangan, karena adanya pembatasan ruang gerak perdagangan di Asia Tenggara khususnya; di Batavia. Ditambah lagi munculnya krisis ekonomi yang berkelanjutan yang dialami oleh Cina sehingga memunculkan pemberontakan yang dilakukan oleh Cina pada tahun 1740 di sekitar Batavia (Muara Angke-Jakarta Utara). Selain, monopoli yang dilakukan Belanda menimbulkan prilaku buruk diaspek lini kehidupan. Sampai akhirnya pada tanggal 1799 VOC mengalami collapse, karena hutang-hutang Belanda mencapai 134 gulden, sampai akhirnya VOC bangkrut oleh pemerintah Belanda dan akhirnya kongsi dagang ini dibubarkan.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis panjatkan doa dan syukur kepada Allah SWT, karena Dialah satu-satunya pencipta yang berhak untuk mendapat pujian, dan Dia pula yang selalu memberi nikmat atas semua hamba-hamba-Nya dan Dia pula sumber kebahagiaan dan keselamatan, dan Dia pula sumber pemberi rezeki, sehingga kita diberikan kekuatan untuk melakukan segala aktivitas untuk mendapatkan ridho dan berkah dari-Nya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw, keluarganya, sahabatnya, dan seluruh muslimin dan muslimat yang selalu berusaha melanjutkan perjuangan dan cita-citanya. Ketertarikan penulis menampilkan Batavia sebagai kota dagang dan kota maritim ini dilatar belakangi upaya Coen ingin merencanakan dan membangun imperium yang lebih luas dan mempunyai nilai komersial di Asia Tenggara dengan ibu kota Batavia. Dan dipandang Batavia sebagai salah satu dunia perdagangan tidak semata-mata, sebagai salah satu letak Batavia yang strategis dan selalu terbuka untuk umum dalam perdagangan antar-Pulau, antar-Asia dan lain sebagainya. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu selama proses pembuatan skripsi ini, yaitu : 1. Ayahanda Bapak Sukino dan Ibunda Sutartini tercinta, Insya Allah dengan segenap jiwa raga, penulis akan membuatmu bahagia dan bangga walaupun penulis belum bisa membalas jasamu.
ii
2. Ridwan Sudiro, S.IP Adalah sebagai kakak yang telah membatu biaya kuliah, memberikan semangat untuk maju 3. Lismawarni Dewi, S. IP adalah istri dari Ridwan Sudiro yang telah membatu memotivasi, mencari buku dan merupakan salah satu staff Perpustakaan Utama 4. Bapak Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyetujui skripsi ini. 5. Bapak Drs H. M. Ma’ruf Misbah, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang telah membantu dalam proses terlaksananya skripsi ini. 6.
Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. yang telah membantu memproses skripsi ini.
7. Ibu Imas Emalia, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan membimbing kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. 8. Zuhairi Misrawi yang telah meluangkan waktunya di rumah, untuk mengajari penulis dalam segi penulisan. 9. Pimpinan dan seluruh staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Imam Jama Lebak Bulus, Perpustakaan Ilmu Budaya (FIB)
iii
Universitas Indonesia Depok, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Perpustakaan Kementrian Pendidikan Nasional, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Museum Bahari, Arsip Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menggunakan fasilitas kepustakaan sebagai referensi dalam penulisan ini. 10. H. Romli Sian Mair, Lc, Ustadz Rojalih Hasan, S.Pd dan selaku pimpinan Cordova dan sekaligus inspirasi bagi penulis dan memberikan informasi serta nasehat yang bermanfaat. Demikian ucapan terima kasih penulis, semoga kebaikan dan ketulusan mereka di balas oleh Allah SWT dengan pahala berlipat ganda. Terakhir semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi almamater dan bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.
Amin ya rabbal alamin
Tangerang Selatan, 2 Desember 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI
....................................................................................................i
KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii DAFTAR ISI BAB I :
...................................................................................................iii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................................7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................8 D. Tinjauan Pustaka .................................................................................9 E. Kerangka Teori ....................................................................................10 F. Metode Penelitian ................................................................................12 G. Sistematika Penulisan ...........................................................................16
BAB II: PENGARUH PELAYARAN DAN PERDAGANGAN TERHADAP AGAMA ISLAM DI PULAU JAWA ABAD XVII-XVIII A. Hubungan Perdagangan dengan Perkembangan Agama Islam di Pulau Jawa .......................................................................................................18 B. Peranan Politik dalam Pelayaran dan Perdagangan di Pulau Jawa..........................................................................................28 C. Dinamika Ekonomi Perdagangan ...........................................................32
v
BAB III: PROFIL BATAVIA SEBAGAI KOTA DAGANG A. Peralihan Jayakarta ke Batavia ...............................................................41 B. Batavia sebagai Kota Bandar Niaga .......................................................46 C. Batavia sebagai Kota Pelabuhan ...........................................................55 1. Letak dan Fungsi Pelabuhan .............................................................55 1. 1. Letak Pelabuhan Batavia ..........................................................55 1. 2. Fungsi Pelabuhan Batavia ........................................................56 1. 3. Bongkar Muat Barang ..............................................................59 1. 4. Pemungutan Bea Cukai ............................................................62 D. Hubungan Pelayaran dan Perdagangan Masyarakat Batavia dengan Dunia Luar……………………………………………….......................64 BAB IV: KONDISI PERDAGANGAN MARITIM BATAVIA A. Kondisi Perdagangan Maritim Batavia ................................................72 A. 1. Mobilitas Kapal dan Perahu ..........................................................85 A.1.1. Kapal dan Tonase ......................................................................98 A.1.2. Kapal dan Perahu yang Pindah dengan Membawa Isi Muatan Barang Dagangan ................................................. 100 A. 2. Perdagangan Batavia dari Darat hingga Laut ............................. 104 A. 3. Peranan Sungai Ciliwung bagi Pelabuhan Batavia .................... 107 A. 4. Perdagangan Asing ...................................................................... 112
vi
A. 5. Batavia sebagai Pusat Perdagangan Internasional ....................... 114 B. Komoditas Ekspor dan Impor ................................................................. 119 C. Etnis Cina yang Berdagang .................................................................... 126 D. Etnis Arab yang Berdagang.................................................................... 130 E. VOC Collepse ......................................................................................... 143 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................ 146 DAFTAR SUMBER .............................................................................................. 153 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................... 163
vii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pelayaran dan perdagangan di kawasan Laut Jawa diartikan sebagai salah
satu persilangan lalu-lintas pelayaran dan perdagangan dari aktivitas jantung perdagangan Nusantara. Posisi Laut Jawa dikelilingi oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Menurut Houben, Laut Jawa tidak saja sebagai laut utama bagi Indonesia, tetapi juga merupakan laut inti bagi Asia Tenggara.1 Di kawasan Laut Jawa telah ada jalinan hubungan dagang sebelum datangnya bangsa Barat. Laut Jawa ditempatkan sebagai salah satu aktivitas berlayar dan berdagang dengan tujuan menyusuri Pantai Utara Jawa. Hal ini memberi sinyal positif bagi peranan yang amat penting di Pantai Utara Jawa dan aktivitas perdagangan di sekitar Laut Jawa. Seringkali masih dapat dilihat aktivitas berlayar dan berdagang hingga sampai saat ini. Jadi dapat dikatakan, Laut Jawa merupakan Mediterranean Sea bagi Nusantara.2 Di sini terlihat jelas mengenai peranan penting bagi kawasan Laut Jawa dan mempunyai kedudukan tersendiri di Kepulauan Nusantara atau bahkan bagi Asia Tenggara pada umumnya. Tentu saja Laut Jawa merupakan jembatan yang menghubungkan berbagai daerah-daerah, yang berada di sepanjang Pantai Utara Jawa. Baik dalam
1
V.J.H. Houben, H.M.J. Maier and W. van der Molen, (ed), Looking in Odd Mirrors: The Java Sea (Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Asië en Oceanië Leiden Universiteit, 1992), hlm. viii. Kajian Asia Tenggara sebagai suatu entitas dapat dilihat pada Anthony Reid, Asia Tenggara Kurun Niaga 1450-1650, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hal.3-4 2 Anthony Reid, op. cit., hal. 3
1
2
kegiatan berlayar maupun dalam kegiatan berdagang, hingga terjadinya perkembangan penyebaran agama Islam dan adanya penguasa lokal.3 Penyebaran agama Islam yang telah memainkan peranan penting bagi pelayaran dan perdagangan di kawasan Laut Jawa. Situasi ini yang memunculkan perkembangan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Pantai Utara Jawa, seperti : Banten, Sunda Kalapa, Demak dan sebagainya. Selain itu juga para pedagang yang berasal dari Arab, Cina, India, Persia, Turki atau dari Asia lainnya. Selanjutnya, dengan datangnya orang Eropa melalui jalur laut yang diawali oleh Vasco da Gama (Portugis), pada tahun 1497-1498 yang telah berhasil berlayar dari Eropa ke India melalui Tanjung Harapan (Cape Town) di ujung Afrika Selatan.4 Termotivasi bangsa Eropa untuk berdagang ke seberang lautan yang melewati Afrika ke India; yang dilanjutkan ke Asia Tenggara, Cina, dan Jepang. Pelayaran dan perdagangan mempunyai arti sebagai suatu perluasan hubungan antara Timur dengan Barat. Ketika saatnya, orang Eropa datang ke Nusantara seperti Portugis, yang kemudian disusul oleh bangsa Spanyol, dan Belanda. Bangsa Portugis datang ke Nusantara memiliki tiga motivasi yaitu; sebagai petualang, ekonomi, dan agama. Berbeda dengan bangsa Belanda yang mempunyai dua motivasi yaitu, ekonomi dan petualang.
3
Hans-Dieter Evers, “Tradisional trading networks of Southeast Asia”, dalam Archipel 35 (1988) 92. Karya yang sama dapat juga dilihat pada Hans-Dieter Evers, “Traditional trading networks of Southeast Asia” [Working Paper No. 67] (Bieleveld: University of Bielevel, 1985), hlm. 5-6. dalam Singgih Tri Sulistiyono, Konsep Batas Negara Di Nusantara Kajian Historis‟‟ (Yogyakarta; Hasil penelitian yang dibiayai oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, 2009), hal. 225 4 Singgih Tri Sulistiyono, op. cit., hal. 225
3
Pada tahun 1602 VOC datang ke Nusantara, merupakan penggabungan enam (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk Zeeland), Enkhuizen, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Setelah Compagnie van Verre yang berpangkal di Amsterdam menyelenggarakan ekspedisi pertama 5 yang di pimpin oleh Cornelius de Hautman bersaudara tahun 1596 pertama kali tiba di Banten, mereka disambut dengan sangat ramah setelah mendaratkan kapal dagang di Pelabuhan Banten,6 kemudian disambut oleh penguasa-penguasa Banten. Namun dengan adanya persaingan dagang dengan pihak setempat, kemudian Belanda merebut Jayakarta pada tahun (1619).7 Menurut data sejarah, di bawah pimpinan Jan Piterszoon Coen, para pedagang (Arab, Cina, Persia, India, dan lain sebagainya) sudah terbiasa dengan perdagangan bebas.8 Setelah Jayakarta berganti nama menjadi Batavia, kemudian Belanda berkuasa penuh atas wilayah tersebut. Perkumpulan dagang „atau‟ VOC di Batavia membangun pelabuhan dengan menyediakan bandar di Pelabuhan Batavia. Pelabuhan Batavia menyediakan Syahbandar untuk menarik bea dan cukai hingga jumlah barang dagangan dapat diketahui dan dicatat di dalam negeri Batavia. Hal tersebut sebagai tindakan pengawasan barang-barang dagangan yang ke luar-masuk di Pelabuhan Batavia. Selain itu, Batavia dapat menjalin hubungan
5
Onghokham, „‟Kelas Penguasa Menerima Kolonialisme‟‟ dalam Prisma, No. 11, 1984
tahun XIII 6
Prof. Dr. Adrian. B Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hal. 90 7 Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), hal. 37-40 8 Susan Abeyasekere, Jakarta A History, (Oxford Newyork: Oxford University, 1987), hal. 8
4
dagang dengan pihak asing agar dapat menjalin akses perdagangan maritim hingga ke luar negeri. Situasi ini yang memunculkan aktivitas perdagangan yang memiliki corak maritim, dan hal ini bukanlah sekedar perkara baru bagi masyarakat dalam negeri dan masyarakat luar negeri. Kegiatan perdagangan maritim di Batavia menjadi pusat perhatian bagi dunia perdagangan. Kegiatan perdagangan maritim merupakan warisan dan penerus ekonomi orang Pribumi dan Melayu yang telah berjalan berabad-abad silam. Batavia dikenal sebagai penggerak roda ekonomi dan pantai yang berdekatan dengan Selat Sunda yang mempunyai nilai lebih dan istimewa dan didukung dengan Sungai Ciliwung. Semenjak itu, hubungan dagang mulai berkembang dan bertambah dari jumlah barang dagangan yang diangkut oleh kapal dagang dan perahu dagang yang merapat di Pelabuhan Batavia. Hal ini kemudian yang menjadi karakter yang kuat dalam dunia perdagangan. Sebagai salah satu upaya untuk memperkuat simpati dari dunia luar. Selain itu, juga sebagai unsur yang penting dalam menciptakan keramaian dalam hal perdagangan, dan didukung dengan keberadaan kawasan niaga di Pasar Ikan yang menjadi besar di Indonesia. Semenjak itu Belanda semakin memiliki peranan penting dan kekuatan di Batavia yang difungsikan sebagai salah satu tempat transaksi barang-barang dagangan antarbangsa, baik asing ataupun lokal. Belanda menyediakan kapal dagang untuk mengangkut barang dagangan dari Pulau Jawa ataupun yang di tuju ke Pelabuhan Batavia. Hal tersebut sebagai bentuk usaha untuk ingin memajukan perdagangan Batavia. Pemerintah Batavia
5
yang diperkuat oleh Belanda kemudian mendominasi perdagangan dari dalam negeri maupun luar negeri. Perhimpunan dagang Belanda atau VOC telah membangun pos dagang di Batavia untuk memperlancar jalannya distribusi dan kegiatan ekonomi di Asia Tenggara. Dengan demikian, perdagangan membawa dampak yang positif bagi ekonomi Batavia. Perdagangan maritim telah berpengaruh di tubuh VOC. Hal ini telihat jelas bahwa perdagangan maritim akan menambah pesat dengan kedatangan pedagang-pedagang asing yang tiba di Pelabuhan Batavia. Pada abad XVII, Pelabuhan Batavia telah berhasil tumbuh dan berkembang dengan kedatangan bangsa-bangsa asing di Pelabuhan Batavia baik yang didukung dari kalangan pedagang-pedagang dalam negeri ataupun luar negeri.9 Pelabuhan Batavia telah berhasil tumbuh menjadi lebih padat di Indonesia. Bagi para pedagang kota ini memiliki arti khusus, terutama dalam perdagangan maritim. VOC di Batavia, telah mendominasi kekuasaannya pada abad XVII, bahkan mendapatkan julukan Koningin van het Oosten (Ratu dari Timur)10 hal ini disebabkan karena, memiliki letak yang strategis, baik geografis ataupun lalulintas persilangan dunia perdagangan yang bercorak maritim dan memiliki arti pertumbuhan dalam hal komoditas andalan, seperti rempah-rempah, yang memiliki nilai yang cukup tinggi di pasar dagang dunia.
9
Lihat ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 37 10 Lihat Mona Lohanda, The Kapitan of Batavia 1837-1942, (Jakarta: Djambatan, 1996), hal. 7
6
Situasi tersebut menjadi keuntungan besar bagi Belanda di Batavia dan faktor itulah yang menjadi salah satu unsur yang memiliki potensi besar dalam memperkuat aktivitas perdagangan. Sejak masa Jan Piterszoon Coen, ia seorang pegawai Belanda, yang dianggap lebih piawai dalam menjalankan roda ekonomi dan berani tampil menjalankan perdagangan maritim. Hal ini didasari oleh pendapat Coen yang ingin mensejahterakan bangsa Belanda dan orang Belanda yang mempunyai hak legal untuk meneruskan perdagangan ini dan bahkan memonopoli perdagangan di Batavia.11 Pada abad XVIII, kejatuhan harga barang dagangan tidak terkendali lagi,
12
sehingga, persediaan barang dagangan semakin berkurang. Hal ini sebagai kendala yang dihadapi oleh pedagang dalam negeri maupun luar negeri. Tetapi kecenderungan Belanda pada saat itu mengekang pedagang Cina di Batavia, karena dianggap pandai memainkan penjualan barang dagangan, di sisi lain terjadinya monopoli barang dagangan secara besar-besaran di tubuh VOC yang terus meluas, serta korupsi yang melibatkan para pegawainya. Situasi tersebut menjadi awal penyebab kejatuhan VOC di Batavia sehingga tidak berjalan dengan optimal, dan persoalan ini juga yang menjadi collepse dalam dunia perdagangan. faktor lain adalah kurangnya tindakan dari pihak Pemerintah Betavia dalam mengontrol monopoli ekonomi-perdagangan antarPulau, antar-penjual dan pembeli.13
11
Bernard H. M. Vlekke, Nusantara : Sejarah Indonesia, seri terj., (Jakarta: PT Gramedia, 2008), hal. 149 12 Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 231-232 13 Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 231-234
7
Kekacauan dalam dunia perdagangan di tubuh VOC juga akibat dari adanya kejadian pembunuhan orang-orang Cina oleh Belanda sehingga dapat merusak citra Belanda. Saat itulah, dapat dikatakan Cina punya keinginan untuk menaklukan Batavia secara mendadak.14 Karena pada 1740 Cina dibatasi dari ruang gerak aktivitas dalam berdagang. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Tampilnya Batavia sebagai dunia perdagangan tidak semata-mata sebagai salah satu letak Batavia yang strategis dan selalu terbuka untuk umum dalam perdagangan antar-Pulau, antar-Asia dan sebagainya. Hal ini dapat dikatakan Batavia berada pada posisi persilangan yang menjalin hubungan dagang di Asia Tenggara. Sesuai dengan fokus bahasan dalam skripsi ini, yaitu ekonomi dengan menggambarkan Batavia sebagai kota dagang. Maka hal pokok yang harus dijadikan pijakan adalah bahwa Batavia haruslah yang dipandang sebagai tempat menimbun dan tukar-menukar barang dagangan yang dikaitkan dengan kebijakan pemerintah Batavia pada Abad XVII-XVIII yang diperkuat oleh Belanda, terutama dalam hal ekonomi-perdagangan, dan memberikan kesan penekanan pada Pelabuhan Batavia. Selain itu, masyarakat Batavia sangat mengandalkan aktivitas berlayar dan berdagang. Sehingga nampak fungsi Batavia sebagai kota dagang dan kota maritim. Namun demikian, haruslah pula dipahami bahwa kenyataannya hubungan dagang di Batavia, dan juga di kota-kota lainnya di Nusantara, tidaklah
14
Lihat Mona Lohanda, op. cit., hal. 20
8
berdiri sendiri. Hal itu menjadi alasan utama agar dapat di fokuskan, pada hal-hal yang terikat dengan seputar perdagangan yang meliputi: keadaan perdagangan, komoditas barang dagangan, transaksi dan pelaksanaannya. Untuk itu agar pembatasan tidak melebar, maka penulis batasi pada lingkup masalah, mengenai Batavia sebagai kota dagang. Adapun masalah waktu yang dibatasi pada abad XVII sampai XVIII. Dari uraian pembatasan tersebut maka rumusan masalah, sebagai berikut: 1. Apa saja faktor-faktor yang mendukung Batavia sebagai pusat perdagangan ? 2. Bagaimana peranan Batavia sebagai kota dagang ? 3. Komoditas apa saja yang diperjual-belikan di bandar niaga dan di pelabuhan di Batavia ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian 1. Penelitian mengenai Batavia sebagai kota dagang pada awal pertumbuhan dan perkembangan dalam dunia perdagangan dimaksudkan untuk mengetahui profil kota Batavia sebagai center of change dan center of integrasion. 2. Untuk mengetahui perjalanan sejarah VOC atau Belanda, khususnya di Batavia yang pernah dijadikan pusat perdagangan. 3. Untuk mengetahui keadaan etnis Cina di Batavia yang menjadi pesaing dalam ekonomi perdagangan.
9
2. Manfaat Penelitian 1. Untuk memenuhi Syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana (S1), ataupun Sarjana Humaniora (S. Hum) pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. 2. Untuk memberikan Informasi tentang sejarah pelayaran dan perdagangan di Pulau Jawa. 3. Untuk memberikan informasi tentang Sejarah perekonomian di Batavia baik kemajuan hingga collepse atau kejatuhan. D. Tinjauan Pustaka Dalam bukunya D. G. E Hall Sejarah Asia Tenggara, Jan Pieterszoon Coen adalah salah satu pendiri dari Kerajaan Belanda di Hindia Timur. Menurut rencana, dia ingin menjadikan Batavia sebagai salah satu pusat perdagangan besar dunia yang didasarkan pada penguasaan sepenuhnya atas laut. Dia belum menghadapi perluasan kekuasaan teritorial yang luas manapun dan tidak tertarik pada masalah-masalah politik pedalaman Jawa. Teritorial menurut pandangannya, ingin menguasai pulau-pulau di Maluku. Bagian lain yang didominasi terdiri dari daerah-daerah perdagangan yang diduduki dan memperkuat hubungan dan dilindungi oleh kekuatan dilaut yang belum nampak.15 Dalam bukunya Bernard H. M. Vlekke Nusantara : Sejarah Indonesia, Coen mempunyai rencana untuk membangun imperium komersil yang besar di Asia dengan ibukotanya Batavia, dia tidak tertarik sama dengan perkembangan politik di pedalaman Kepulauan Indonesia. Baginya hanyalah mempertahankan beberapa posisi Belanda yang ingin dia bangun dan mengontrol total atas laut. 15
273
D. G. E Hall, Sejarah Asia Tenggara, seri terj., (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hal.
10
Tapi masih banyak yang kurang jelas dalam rancangannya. Dia tidak bisa menjelaskan bagian mana dari perniagaan besar di Asia itu, yang akan diperuntukkan
bagi
perkumpulan
dagangnya
dan
bagian
mana
untuk
pemukiman.16 Dalam bukunya Van Leur Indonesia Trade and Society, dijelaskan bahwa migrasi ke Laut Jawa sangat beragam. Hal ini timbul karena selain karena bertambahnya imigran dari daerah lain yang seringkali menduduki daerah pesisir Batavia. Sehingga, hal inilah yang memiliki orietasi dagang yang telah berperan secara aktif dalam percaturan perdagangan di Indonesia. Akan tetapi karena adanya pengaruh campur tangan Belanda, maka Batavia menjadi lebih dominan.17 E. Kerangka Teori Di Jawa, Islam telah berkembang seiring dengan kehadiran orang berlayar dan berdagang, seperti para pedagang dari Arab, Gujarat dan Cina melalui jalur laut sekitar abad XV, namun H.J De Graaf dan TH. Pigeaud dalam bukunya Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram abad XV & XVI yang disinyalir besar kemungkinan pada abad XV & XVI. Di Jawa sudah ada orang Islam yang menetap memakai jalur pelayaran dan perdagangan yang menyusuri pantai Timur Sumatra hingga bergerak ke Perairan Utara Jawa yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu, sehingga mereka sempat singgah di sepanjang Pantai Utara Jawa, karena di sepanjang Pantai Utara Jawa
16
Lihat Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 152 Lihat J. C. Van Leur, Indonesia Trade and Society Lessay in Asian Social and Economic History, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hal. 403-405 17
11
sangat baik sebagai pusat penyebaran Islam, hubungan politik, dan ekonomiperdagangan.18 Dalam beritanya Tome Pires, ia telah meyakini pesatnya lalu-lintas pelayaran dan perdagangan di pesisir Laut Merah, menuju Ceylon (Sri Langka) yang kemudian menyebar tiga jalur pelayaran :19 Pertama: Jalur pelayaran Laut Merah terus menuju perairan terdekat sampai ujung Sumatra, yaitu; Pulau We dan Sabang. Lalu, melanjutkan pelayaran ke Selat Malaka. Kedua: Jalur pelayaran dari Ceylon (Sri Langka) melalui perairan laut menuju ujung Sumatra, lalu kemudian menyusuri selat Malaka, dan berlabuh ke Batavia. Ketiga: Jalur pelayaran dari Ceylon (Sri Langka) yang melewati Laut Hindia, lalu kemudian menyusuri pesisir Barat Sumatra, dan berlabuh di Pulau Nias, dengan mendapatkan komoditas setempat, kemudian melanjutkan pelayaran di perairan Selat Sunda.20 Dalam pendekatan tersebut, penulis mengupayakan dengan melihat konteks dari tingkat dalam negeri hingga ke luar negeri. Di samping itu, perdagangan maritim antar-Asia dan Eropa masih memiliki hubungan yang sangat erat dalam serangkaian pembukaan jalan perdagangan yaitu jalur sutera melalui jalan laut. Hal ini berarti, telah digunakan pelayaran dan perdagangan di jalan laut,
18
Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram, seri terjemahan . (Jakarta: Grafite Pers, 1986), hal. 13 19 Armando Cortesao (ed), The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the east from the Red Sea to Japan; Written in Malacca and Indiain 1512-1515. 2 jilid, (London: Hakluyt Society, 1967), hal. 229 20 Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 229
12
sebagaimana telah ada jalan menuju ke selat Malaka yang di tuju ke selat Sunda, hingga kemudian Belanda datang ke Batavia.21 F. Metode Penelitian Dalam penulisan sejarah merupakan hasil rekontruksi imajinatif terhadap masa lampau dengan melalui proses intelektual pada metode-metode sejarah. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan multi-dimensional. Dengan menggunakan pendekatan multi-dimensional diharapkan dapat memberikan gambaran sejarah menjadi lebih utuh dan menyeluruh sehingga dihindari kesepihakan atau determinatisme. Karena hubungan antara suatu aspek memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.22 Dalam penelitian tersebut, penulis berusaha mendeskripsikan atau menggambarkan suatu peristiwa yang menyertainya dalam kondisi yang terjadi di Indonesia masa lampau. Pada tahap selanjutnya, penulis berupaya merekontruksi yang terkait „‟ Batavia Sebagai Kota Dagang pada abad XVII Sampai XVIII‟‟. Pada tahap awal: penulis menuangkan ide dan gagasan yang terdapat di dalam karya ilmiah ini. Kemudian penulis melakukan tahapan heuristik, yaitu suatu tahapan atau kegiatan untuk menemukan dan menghimpun sumber-sumber atau data-data informasi. Hal ini yang mendukung dari tahapan awal, kemudian penulis melanjutkan ke arah metode penelitian pustaka „atau‟, „‟Library Research‟‟, untuk mengunjungi berbagai perpustakaan, seperti Perpustakaan Utama UIN Syarif
21
Lihat Fernand Brundel, Cilivilization and Capitalism: 15 – 18 Century, Volume II: The Wheels of Commerce, (Collins/Fontana Press, London, 1998), hal 392 22 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992). Hal 87
13
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Iman Jama Lebak Bulus, Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia Depok, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), dan Perpustakaan Kementrian Pendidikan Nasional. Penulis berusaha mengumpulkan buku, menyeleksi buku-buku atau bahan-bahan sebagai pedoman, dan mereview buku dengan cara membedah isi buku yang terkait dengan karya ilmiah ini. Selain itu, penulis melakukan penelitian dengan cara mencari atau melacak sumber primer, penulis mengupayakan dan mengunjungi Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional RI dan Arsip Nasional RI untuk menemukan sumber primer seperti membaca dokumen-dokumen pemerintah yang berupa Arsip Nasional RI tentang Surat kepada para direktur VOC, 10 Desember 1616, Colenbrander, Coen, 1: 245, membaca koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, juga mendatangi Arsip Nasional RI, dan membaca tentang Batavian Journal, 20 Agustus , Jakarta, 2001. Untuk tahapan yang kedua, penulis menggunakan sumber sekunder, penulis juga mendapati Makalah Mundardjito yang disampaikan dalam Seminar Arkeologi Maritim, Perlunya dalam Pengembangan Kurikulum, Jum'at 15 Februari 2008, dari Departemen Arkeologi dan Program Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Indonesia, Universitas Indonesia dan Mona Lohanda dalam
14
bukunya yang berjudul‟‟ The Kapitan Cina Of Batavia 1837-1942‟‟ (1996). Selain itu penulis mendapati makalah Didik Pradjoko, „‟Pokok-pokok Kajian Peradaban Masyarakat dan Sejarah Kebudayaan Indonesia‟‟, sebagai Bahan Perkuliahan Etnografi Indonesia pada FIB UI Depok, juga membaca Tesis Didik Pradjoko dalam Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, yang berjudul ‟‟Pelayaran, Perdagangan dan Perebutan Kekuataan Politik dan Ekonomi di Nusa Tenggara Timur: Sejarah Kawasan Laut Sawu Pada Abad Ke XIII-XIX‟‟(2007). Juga saya dapati buku Prof. Dr. Adrian. B Lapian, berjudul „‟Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad XVI dan XVII „‟(2009). Terkait dalam buku-buku ilmiah yang ada, selain itu penulis juga membaca artikel ilmiah dalam jurnal, maupun tentang „‟Sejarah Organisasi VOC‟‟ yang terkait dengan bidang perdagangan. Setelah itu data-data terkumpul, melalui verifikasi untuk digunakan sebagai rujukan utama dalam upaya-upaya mendeskripsikan seputar tentang tema-tema yang akan diangkat. Data utama yang kemudian dianalisa kembali oleh penulis sesuai data-data yang berhubungan dengan sejarah Batavia sebagai kota dagang. Perdagangan dianggap lebih dominan dan memiliki potensi besar bagi kemajuan dunia perdagangan dan sisi lain terjadinya collapse.
15
Untuk tahapan kritik, penulis berupaya keras melakukan penyelidikan, pencacatan, menganalisa dan kemudian diuji secara keabsahannya tentang keaslian sumber (otentitas) melalui kritik intern dan ekstren.23 Tahapan selajutnya adalah Interprestasi. Pada tahapan ini merupakan tahapan menafsirkan mencatat fakta-fakta serta menetapkan makna yang saling berhubungan dari mulai fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, sehingga diperoleh data atau keterangan dari permasalahan. Kemudian berlanjut pada tahapan terakhir adalah Historiografi, sebagai upaya penulisan sejarah secara berurutan melalui satu rangkaian heuristik, verifikasi dan interprestasi. Historiografi merupakan tahapan terakhir sebagai salah satu cara untuk mengurutkan secara sistematik yang diatur sesuai buku„‟pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)‟‟.24 Dalam tahapan historiografi ini, penulis berusaha menyusun cerita kembali dalam bentuk sejarah sesuai rangkaian urutan peristiwa, berdasarkan kronologi kejadian yang terkait. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis yaitu,25 suatu cara untuk mencari akar permasalahan dan mencari jalan keluar dari permasalahan itu dengan cara menguraikan, menafsirkan, mencatat, dan melanjutkan proses analisa data-data yang telah diperoleh. Hal ini yang kemudian memudahkan proses untuk pengetikan. 23
Lihat Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Yayasan Universitas Indonesia, 1975), hal. 58-59 24 Lihat Hamid Nasuhi. dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta : CeQDA (Center for Quality Development and Assurance ) Universitas Islam Negreri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007 25 Lihat Louis Gottschalk, op. cit., hal. 30
16
G. Sistematika Penulisan Penulis akan membagi penulisan skripsi ini dalam lima bab, dan masingmasing bab terdiri dari beberapa bab sebagai berikut: Bab pertama dalam skripsi ini adalah bab pendahuluan yang berisikan uraian latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua, berisikan uraian pengaruh pelayaran dan perdagangan terhadap agama Islam di Pulau Jawa, berisikan tentang peranan perdagangan dengan tujuan menyebarkan agama Islam terkait adanya tokoh Islam baik ulama maupun bangsawan, yang berpengaruh terhadap pelayaran dan perdagangan di Jawa. Politik yang dibicarakan disini, terkait dengan ulama dan bangsawan yang menjalin hubungan politik pada masa kekuasan Demak yang telah menjelma menjadi kekuatan besar yang sudah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya, dan keterkaitan ekonomi–perdagangan yang berhubungan dengan kota-kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa, semenjak kekuasaan kerajaan Demak. Bab tiga, mengenai profil Batavia sebagai kota dagang membahas tentang peralihan kekuasaan pada masa Tubagus Angke seorang pemimpin Syahbandar Jayakarta yang dilanjutkan masa pimpinan Jan Piterszoon Coen seorang Gubernur Jenderal VOC, kemudian Batavia menjadi bandar niaga yang strategis bagi Asia Tenggara. Semenjak, Batavia menjadi kota pelabuhan, di Pelabuhan terdapat Aktivitas Bongkar Muat Barang Dagangan yang diupayakan oleh Syahbandar,
17
dan Gubernur Jenderal Belanda yang berperan dari pemungutan Bea dan Cukai di Pelabuhan. Serta adanya dukungan hubungan masyarakat dengan dunia luar. Bab empat, kondisi perdagangan maritim Batavia yaitu Menjelaskan tentang kondisi perdagangan maritim Batavia yang meliputi: perdagangan Batavia dari darat hingga laut, kemudian jejak- jejak sejarah Sungai Ciliwung, perdagangan asing, Batavia sebagai pusat perdagangan internasional, komoditas ekspor, impor di Batavia, dan etnis Cina yang berdagang. Bab lima, membahas penutup yang merangkum semua pembahasan yang telah dijelaskan dan ditampilkan dalam bentuk kesimpulan.
BAB II PENGARUH PELAYARAN DAN PERDAGANGAN TERHADAP AGAMA ISLAM DI PULAU JAWA ABAD XVII-XVIII
A. Hubungan Perdagangan dengan Perkembangan Agama Islam di Pulau Jawa.
Pada tahun 30 Hijriah atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.1
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, 1
http://www.rinduallah.com/dawah/sejarah (Dikunjungi tanggal 17 Desember
18
2011).
19
pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi‟i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.2
Pada masa ini pedagang Nusantara sudah menjadi pelaut sekaligus menjadi pedagang utama di wilayah Timur jauh. Komoditas perdagangan andalan Nusantara adalah rempah-rempah dan kayu damar. Kerajaan-kerajaan di Nusantara yang pada masa ini mengalami masa kejayaan dalam dunia pelayaran dan perdagangan antara lain Kerajaan Hindu Tarumanegara di Jawa Barat pada abad V M yang sudah menjalin hubungan perdagangan sangat baik dengan bangsa India dan Cina dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra pada abad VII M dengan angkatan lautnya yang mendominasi jalur perdagangan laut melalui Asia Tenggara di Selat Malaka.3 Jauh kebelakang sebelum kedatangan bangsa Portugis atas sebelum abad XVI Masehi, pelabuhan Sunda Kalapa. Boleh dikatakan, bahkan Sunda Kalapa banyak didatangi kapal-kapal yang berlayar sangat jauh dari penjuru negeri. 2
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007). hal. 3 dan 4 3 Taufik Ahmad, Jakarta Berawal dari Pelayaran dan Pelabuhan, (Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Museum Bahari, 2008), hal. 6
20
Bandar terpenting dari Kerajaan Pakuan Pajajaran, tidak dipastikan dengan ilmu pelayaran dan perdagangan yang memadai. Bahkan tidak hanya dari berbagai macam daerah yang telah mengekalkan kawasan Asia Tenggara, hal inilah yang menjadi pesat dengan kedatangan orang Palembang, Tanjungpura (Kalimantan Selatan), Maluku, Gowa (Makasar), dan Madura tetapi juga berbagai kapal berdatangan baik negara di Asia maupun kawasan Timur-tengah sekalipun, semisal; Cina, Arab, Persia dan Ryuku (Jepang). Kedatangan kapal-kapal ini tidak hanya untuk kepentingan perdagangan saja, melainkan sebagai salah satu yang memiliki menyebarkan agama Islam. Negara-negara Asia seperti Cina dan India telah banyak mengirimkan pendetanya dari dan ke Nusantara yang ikut serta dalam pelayaran di Nusantara. Negaranegara Timur-tengah seperti; Arab, Persia, dan Turki pada abad XIII M, dalam pelayarannya ke Nusantara selain pedagang-pedagang yang memiliki misi untuk menyebarkan agama Islam.4 Hal ini karena, jalan pelayaran dan perdagangan di jalur laut yang menyusuri Pantai Timur Sumatra melalui Laut Jawa ke Nusantara bagian Timur Jauh sudah ditempuh sejak zaman dahulu. Para pedagang yang telah beragama Islam, dalam perjalanannya telah singgah di banyak tempat, karena pusat-pusat pemukiman di Pantai Utara Jawa ternyata lebih tepat. Salah seorang yang terkenal dan tertua di antara para penyebar agama Islam di Pulau Jawa adalah Raden Rahmat dari Ngampel Delta. Ia diberi nama sesuai kampung halamannya yaitu Sunan Ampel. Sejak dahulu dalam hal pelayaran dan perdagangan di Jawa Timur, Raden Rahmat telah berhubungan
4
Lihat Anwar Ibrahim, dkk, Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 78-79
21
dagang dengan tokoh dari Negeri Campa.5 Setelah Raden Rahmat bersama putera seorang dâ‟î Arab di Campa, pedagang Muslim memperoleh kesempatan baik di istana Majapahit, hingga kemudian tersebar luas. Raden Rahmat memegang peran penting dalam aspek perniagaan besar yang sangat penting dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dan dipandang sebagai pemimpin wali sanga dengan gelar Sunan Ampel. Sejarah Campa disebut di dalam Hikayat Hasanudin versi Banten. Dalam hikayat tersebut, bahwa Kerajaan Campa (Kamboja) sudah ditaklukan oleh „‟Raja Koci‟‟ Campa, akibat adanya serangan Cina terhadap Vietnam pada tahun 1471. Besar kemungkinan pedagang Muslim tersebut, telah datang ekspedisi besar melalui jalan laut sebagai jalan utamanya guna menyusuri selat Sunda dan dilanjutkan
ke
Pantai
Utara
Jawa,
setelah
perjalanan
pelayaran
dan
perdagangannya hingga diluruskan ke daerah yang di tuju yaitu Surabaya. Untuk mencari dukungan dan perlindungan orang-orang Muslim, sehingga jumlah pedagang Muslim dan masyarakat Pribumi, Melayu, Cina mereka akan bertambah dan berkumpul di tempat tinggal Raden Rahmat yang berpusat di daerah Ngampel Delta.6 Raden Rahmat bersama saudaranya, Raja Panjita, berangkat berlayar dan berdagang melewati rute perjalanan dari Negeri Campa ke arah Jawa Timur pada tahun 1471, sambil menyebarkan agama Islam. Karena itu, sekali lagi kita dapatkan bagian Timur Pulau Jawa menjadi persimpangan jalur laut, berhubungan dengan Gujarat maupun indo-cina, sebagai petunjuk telah ada golongan menengah kaum pedagang. 5
Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama: Kajian Sejarah Politik Abad XV dan XVI, seri terjemahan, op. cit., hal. 23 6 Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, op. cit., hal. 23
22
Bahkan Sunan Giri pada masa mudanya adalah anak angkat Nyai Gede Pinatih, seorang isteri pedagang asing yang sudah berusia lanjut yang telah mengadakan pelayaran dan perdagangan ke arah Tanjung Pura (Kalimantan Selatan) dan Lawe (Kalimantan Selatan). Ki Gede Pandan Arang yang bekerja sebagai penjual beras, berdakwah agama Islam. Sunan Kalijaga mengungkapkan pendapatnya mengenai orang yang menyamar sebagai penjual alang-alang adalah benar Ki Gede Pandan Arang. Semenjak itu, telah ada dugaan bahwa di dalam Kerajaan Majapahit di banyak tempat terdapat pasar perniagaan besar yang membentuk pusat hubungan dagang dan ke Islaman ke pelosok-pelosok pedalaman yang hendak menyusuri Sungai Brantas. Ini merupakan bukti yang telah menunjukkan secara tepat bahwa di pedalaman Majapahit telah ada pedagang-pedagang kecil hingga besar di sekitar Sungai Brantas yang di tuju ke daerah pedalaman Majapahit. Dalam buku Pigeaud, Java,7 didapatkan perhatian secara khusus bahwa pada abad XIV dan awal abad XV, yang banyak terlibat bukan hanya orang-orang Jawa yang berpengaruh besar terhadap pedagang Muslim dengan hadirnya jalan lintas menuju pedalaman. Mereka ialah yang berasal dari keluarga pedagang Cina (Indocina), yang sejatinya mempunyai misi berdagang dan mengislamkan penduduk setempat baik perorangan maupun kelompok. Dalam tradisi Jawa, diungkapkan ada seorang adi pati, bawahan raja di Terung (Sungai Brantas) telah memiliki darah keluarga Cina, yang melantik menjadi Imam pertama di Masjid tua di Ngampel Delta. Di sini terlihat jelas, bahwasannya telah ada hubungan
7
Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, op. cit., hal. 23
23
Islam antar golongan menengah, dengan diikuti pedagang-pedagang yang beragama Islam, yang telah memilih jalan laut sebagai jalan utamanya. Seringkali diikutsertakan pedagang Cina guna menyusuri Laut Cina Selatan hingga yang di tuju ke arah Laut Jawa dan singgah secara menetap di Jawa Timur. Lain halnya dengan Tome Pires adalah seorang apoteker Lisabon yang dikirim ke India sebagai agen obat-obatan‟ ketika ia berusia 40 tahun. Sesudah bekerja kurang lebih setahun di Cannanoree dan di Cochin di Pantai Barat India Selatan, ia naik pangkat setelah dikirim ke Malaka oleh Alfonso d‟ Albuqurque. Sewaktu ditempatkan di Malaka, ia melakukan perjalanan ke Pantai Utara Jawa selama beberapa bulan. Dalam perjalanan Tome Pires ke Jawa Tengah, wilayah Demak menjadi wilayah yang strategis, besar kemungkinan telah ada hubungan dagang dengan pedagang Muslim yang berlayar dan berdagang dari Semarang hingga yang di tuju ke arah Rembang, dengan membawa misi berdagang dan mendakwahkan agama Islam. Semenjak, masa pimpinan awal Raden Patah yang hendak mengawali penyebaran agama Islam di Jawa Tengah melalui kegiatan dagang. Bahkan, di sepanjang Pantai Utara Jawa pada abad XVI, telah ada kakek tua di Gresik, yang dimaksudkan adalah Raja Demak yaitu Raden Patah yang berangkat berlayar mengelilingi Pantai Jawa Barat yang di tuju ke arah Cirebon, untuk melawan orang-orang kafir yang ada di sana. Setelah di Cirebon, ia diberi gelar pate yang diterjemahkan sebagai tuannya, sejak berkuasanya secara penuh atas wilayah
24
Cirebon tahun 1470-1475.8 Demikian juga halnya, ia telah mengadakan penyerbuan atas pelawanan-perlawanan dan telah mengalahkan Palembang (Sumatra Selatan), dan Jambi (Provinsi Jambi) di Sumatra. Tome Pires, telah memberi sumber informasi yang lebih, di dalam bukunya „‟The Suma Oriental of Tome Pires‟‟, pada tahun 1513 telah ada bentuk hubungan dagang dengan pedagang Muslim yang berpusat di Pantai Utara Jawa. Menurutnya bahwa yang memegang kekuasaan di Cirebon adalah seorang lebe‟ Uca atau yang bernama Husain jadi patih dari Demak. Nama tersebut dimaksudkan adalah Raden Patah). Selain itu Tome Pires, melukiskan di dalam bukunya tentang Gresik elle veio teer a Dema, Tome Pires sendiri telah menjelaskan secara utuh telah ada bentuk hubungan dagang di Nusantara dan keislaman di Gresik, yang menjadi pusat tertua agama Islam di Jawa Timur.9 Dalam cerita Aria Damang, yaitu cerita yang berasal dari Palembang, disebutkan bahwa yang menjadi raja Demak pertama adalah Raden Patah. Sementara dalam naskah cerita babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, diceritakan tentang raja Demak yang disebut sebagai Sabrang-Lor, yang diterjemahkan sebagai tempat tinggalnya „‟di Seberang Utara‟‟(Demak). Sabrang Lor berlayar menyebrang ke Utara „atau‟ ke arah Malaka, yang mempunyai
8
Lihat Armando Cortesao (ed), The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the east from the Red Sea to Japan; Written in Malacca and Indiain 1512-1515. Jilid 2, (London: Hakluyt Society, 1967), hal. 195-200 9 Tome Pires adalah seorang apoteker Lisabon yang dikirim ke India sebagai agen obatobatan‟ ketika ia berusia 40 tahun. Sesudah bekerja kurang lebih setahun di Cannanoree dan di Cochin di Pantai Barat India Selatan, ia naik pangkat setelah dikirim ke Malaka oleh Alfonso d‟ Albuqurque. Sewaktu ditempatkan di Malaka, ia melakukan perjalanan ke Pantai Utara Jawa selama beberapa bulan. Pada tahun 1515, ia kembali ke Cochin, untuk menyelesaikan bukunya, „‟ The Suma Oriental of Tome Pires‟‟, yang sebagaimana dikatakan pada halaman judul dari terjemahan Inggris: suatu laporan dari negeri-negeri Timur dari Laut Merah hingga ke Jepang. Lihat Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 424
25
armada sebanyak 40 kapal jung yang kesemuanya itu, berasal dari kekuatan orang-orang Muslim sebagai daerah-daerah taklukan Jepara.10 Selain itu dalam babad Jawa Tengah Raden Patah disebut juga Pate Rodim (Demak). Raden Patah dalam pandangan Slamet Muljana adalah sebagian walisongo yang merupakan tokoh penyebaran Islam di Pulau Jawa. Ia merupakan keturunan pedagang Cina Muslim. Kerajaan Demak tidak bisa dilepaskan dari peran pedagang Cina Muslim yang telah membentuk simpul-simpul keislaman. Malah, Raden Patah adalah penguasa pertama Demak yang bergelar „‟Jin Bun‟‟. 11 Dalam The Suma Oriental of Tome Pires dikatakan Trenggana, yang besar kemungkinannya adalah Raden Patah dan ayahnya ikut serta dalam peresmian Masjid Raya di Demak tersebut kemudian menjadi pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah. Menurut beberapa catatan tampaknya lebih dikenal dengan ibukota Demak, yang didirikan pada pertengahan abad XV.12 Yang kemudian menjadi pusat ibadah bagi masyarakat Muslim dan berdakwah agama Islam. Berlanjut pada abad XVI, Tome Pires
menyebut secara berkali-kali
tentang Jepara di dalam bukunya „‟The Suma Oriental of Tome Pires‟‟ yang dimaksudkan adalah Pate Unus sebagai tuannya, yang telah berkuasa penuh atas wilayah Jepara. Pati Unus telah berperan di dalam negeri Jepara serta pemegang kota Pelabuhan Jepara. Ketika Tome Pires meyakini, bahwa Pate Unus sangat
10
Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, op. cit., hal. 23 dan lihat Donald Maacintyre, Sea Pasifis: A History from the Sixteenth Century to the Present Day (London:Arthur Baker Limeted, 1972), hal. 35-38 11 Tulisan Munawir Aziz yang berjudul Jejak Cheng Ho, Antitesis Benturan Peradaban dalam harian Kompas, Minggu, 17-10-2010, hal 22. 12 Lihat Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 195-200
26
berperan dalam berdagang dan menyebarkan agama Islam dan sekaligus membentuk budaya keislaman antara wilayah Jepara dengan Demak. Pate Unus telah mendapatkan kekuasaan yang sangat penting, baik ke Islaman atas wilayah Jepara dan hubungan dakwah sampai ke seberang lautan Jepara yaitu Demak. Pate Unus juga memiliki tempat terbuka untuk umum dan bagi orang-orang Muslim di Jepara, sampai menyusuri ke Pantai Utara Jawa Tengah. Ini merupakan route perjalanan jarak dekatnya.13 Hal tersebut terkait dengan kota-kota pelabuhan di Jawa pada abad XV dan pada awal abad XVI. Yang agaknya telah ada hubungan dagang jarak dekat dan hubungan dagang jarak jauh dalam berlayar untuk membentuk ke Islaman di Demak, Jepara, Cirebon, Banten, Tuban, Surabaya, Aros Baya, Wiraba dan Pasuruan. Pada tahun 1521-1546 Sultan Trenggana telah mendakwahkan agama Islam „atau‟ penyebaran agama Islam yang dilakukan di seluruh wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat meliputi; Cirebon, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Banten.14 Semenjak tahun 1542, atas bantuan kekuasaan Sultan Trenggana, Nurullah atau yang lebih dikenal Sunan Gunung Jati yang merupakan saudara dari Sultan Trenggana yang telah berangkat berlayar ke arah Demak guna menyusuri Pantai Jawa Barat yang di tuju Banten. Hal tersebut mempunyai misi mendirikan komunitas muslim di wilayah raja Pajajaran. Menurut pemberitaan Portugis, penguasa agama Islam Banten yang baru, dalam tahun 1546, telah membidani „atau‟ membantu Kerajaan Demak atas serangan ke Panarukan (di ujung Timur 13 14
Lihat Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 169-170 Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, op.cit., hal. 23-79
27
Pulau Jawa), namun serangan tersebut menimbulkan Sultan Trenggana meninggal dunia. Sementara, dari kisah Sejarah Banten Nurullah menyerahkan Cirebon sudah sejak lama yang telah dikuasai Demak kepada salah satu puteranya.15 Namun ketika puteranya ini meninggal tahun 1552, ia memutuskan meninggalkan Banten dan menetap di Cirebon. Sementara itu di Banten tinggal salah seorang puteranya yang lain, yaitu Hasanuddin yang kemudian menjadi raja. Selama di Cirebon, Nurullah dan Sunan Gunung Jati telah mengabdikan dirinya untuk memimpin wilayah Cirebon dan menyebarkan agama Islam. Namun di wilayah Mataram, besar kemungkinan Mataram mempunyai koneksi langsung lebih jauh lagi, melewati Laut Asia ke arah Timur-tengah, karena Mataram yang merupakan Kerajaan besar Muslim, posisinya berada di Tengah-tengah Pulau Jawa, sudah menjalin hubungan ekonomi dengan Syarif Makkah, dan sekaligus untuk mendapatkan gelar sultan sebagai penguasa. Hal ini, dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan atas penguasa Mataram yaitu Pangeran Rangsang dengan mengirimkan perwakilan untuk berangkat berlayar ke Makkah pada tahun 1641.16 Sebagai dewan perwakilan di Mataram, ia menumpang kapal dagang Inggris untuk berlayar ke India kemudian ke Mekkah menemui Syarif Makkah. Syarif Makkah berkeinginan memberikan gelar sultan
15
lihat Supratikno Raharjo, Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi), (Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1998), hal. 26-27 16 Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia, edisi ke-3( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal 47
28
kepada Pangeran Rangsang sejak Sultan Agung berkuasa penuh atas wilayah Mataram. B. Peranan Politik dalam Pelayaran dan Perdagangan di Pulau Jawa Pada tahun 1416, seorang Muslim Cina, Ma Huan, mengunjungi daerah pesisir Jawa dan memberikan suatu laporan di dalam bukunya yang berjudul YingYai Seng-lan (Peninjauan tentang Pantai-Pantai Samudra). Laporan Ma Huan memberi kesan tersendiri, bahwa agama Islam dianut dilingkungan istana di Jawa.17 Berita Ma Huan tersebut dalam tahun 1416, ia mengungkapkan telah ada hubungan politik kepada pelaut dan pedagang Muslim yang berlayar dan berdagang di sekitar Majapahit dan Gresik. Bahkan berita tersebut memberikan kesan tersendiri dan penjelasan, yang sesungguhnya di wilayah Majapahit telah mempunyai koneksi politik yang lebih erat dengan tumbuhnya aktivitas pelayaran dan perdagangan dikalangan orangorang Muslim. Semenjak tumbuhnya dan berkembangnya perniagaan besar di Samudra Pasai dan Malaka, berdampak terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa dan daerah-daerah di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa. Situasi ini yang memunculkan, adanya perkembangan politik dan tumbuhnya negara-negara baru seperti; berdiri kerajaan-kerajaan Islam, yakni Kerajaan Demak (kurang lebih 1500- 1550), Kerajaan Islam Banten, Kerajaan Pajang (1546- 1580), Kerajaan Cirebon dan lain sebagainya18 Hal tersebut terkait dengan beritanya J. C. Van Leur yang mengungkapkan adanya pertentangan antara keluarga bangsawan dengan adanya kekuasaan pusat 17
http://ekkyij.multiply.com/journal/item/10 (dikunjungi tanggal 16 juli). Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hal. 19 18
29
Majapahit serta aspirasi-aspirasi politik keluarga bangsawan untuk berkuasa sendiri atas negara, maka penyebaran agama Islam, melewati jalan trayek pelayaran dan perdagangan menjadi alat politik. Pada awalnya serentetan pedagang yang berjualan hingga dapat mendakwahkan agama Islam di Pantai Utara Jawa, tetapi kemudian dipengaruhi adanya proses pedagang Muslim hingga mencapai kekuasaan dan kekuatan politik, seperti contoh di Demak.19 Semenjak Tome pires mengungkapkan secara jelas bahwa telah ada kerajaan-kerajaan Islam yang bercorak Islam yang menjalin hubungan politik di daerah-daerah pedalaman Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat di samping adanya kerajaan yang bercorak Islam ke arah nuansa politik di Demak dan daerahdaerah di Pantai Utara Jawa Timur, Jawa Tengah, sampai daerah Jawa Barat. Saat itu Tome Pires meyakini dan memberikan informasi mengenai Raja Daha (Kediri), sebagai Vigiaya dan kapten-utama.20 Mungkin saja yang jadi patihnya adalah Patih Gusti Pate atau Raden Patah, sebagai pemegang kekuasaan pemerintahannya. Sejak berdirinya Demak, dimulailah pemegang dari kalangan elite terhadap perniagaan besar dan kekuasaan kesultanan dari Pate Rodim atau Raden Patah, diikuti oleh Pate Unus, kemudian dilanjutkan oleh Sultan Trenggana yang sudah meluaskan kekuasaan politiknya sampai ke wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat. Pada waktu itu, Demak merupakan kota perniagaan besar di
19
Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 19 dan lihat Makalah Hasan Muarif Ambary, Dinamika Sejarah dan Sosialisasi Islam Asia Tenggara Abaf XI-XVII M, (Jakarta: Kongres Nasional Sejarah, 1996), hal. 6-7 20 Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 19
30
Nusantara dan kiprah Pate Rodim dalam berpolitik di Jawa, hal ini terkait dengan uraian di atas. Maka Panarukan merupakan wilayah yang pernah dijajah dan tunduk kepada kekuasaan Demak yang di pimpin Sultan Trenggana pada tahun 1546. Sultan Trenggana telah melakukan kebijakan politik dengan cara merubah haluan secara besar-besaran ke arah masyarakat Muslim di Jawa Tengah. Untuk mempererat tali persaudaraan dalam mendakwahkan Islam dan menanamkan nuansa politik di Demak, secara bertahap meluaskan kegiatan dagang dan menyebarkan Islam ke arah Jepara dan Tuban. Besar kemungkinan, telah mendapat dukungan dari persaingan politik tersebut. Hal ini terkait dengan kotakota pelabuhan di Pantai Utara Jawa. Semenjak itu, dapat dipastikan kekuasaan Demak telah menjalin hubungan dagang secara langsung maupun tidak langsung terhadap kerajaan-kerajaan Islam yang terdapat di sepanjang Pantai Utara Jawa.21 Semenjak itu pula Sultan Trenggana telah mengubah kehidupan masyarakat dalam hal menggunakan trayek pelayaran dan perdagangan, sehingga berhasil mengubah nuansa perpolitikan secara besar-besaran. Raja ke-III adalah Sultan Trenggana, yang secara khusus telah berperan secara aktif dalam berpolitik, untuk melakukan kegiatan berlayar dan berdagang di Pantai Utara Jawa. Hal tersebut, untuk mendapatkan perhatian dan menarik simpati di dalam negeri hingga ke luar negeri. Dalam menjaga jalannya lalu-lintas
21
Lihat Supraktikno Rahardjo dan Wiwik Djuwita Ramelan, Demak Sebagai Kota Bandar Dagang Di Jalur Sutra ( Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hal. 18 dan 19
31
berlayar disertai politik dan semakin berkembang dengan pesat, dengan adanya kedatangan orang-orang besar dari kalangan pedagang dari Arab, Melayu, Persia, Turki Cina, yang baru saja tiba di Pulau Jawa. Pada abad XVI, Demak menjadi semakin berkuasa di Pulau Jawa, sejak Sultan Trenggana telah menjalankan politik Islam, dengan tujuan untuk mencapai tahta tertinggi diikuti motifnya ekonomi-politik di Pulau Jawa.22 Kerajaan Demak kemudian semakin tumbuh dan berkembang dan bertambah jumlah pedagang Muslim dan mereka di antaranya terdiri dari orang Pribumi, Melayu, dan Cina, mereka menyusuri Pantai Utara Jawa. Maka semenjak itu Demak yang di pimpin oleh Sultan Trenggana (1504-1546) menjadi pusat perniagaan besar, politik dan kekuasaan Islam dan semuanya dalam pengawasan Sultan Trenggana dalam berpolitik di sepanjang Pantai Utara Jawa. Hal tersebut, seperti dalam Denys Lombard,23 maka berita tersebut berkesan dengan adanya orang-orang Muslim meliputi; Pribumi, India, Turki Melayu, dan Cina. Dengan adanya kegiatan berlayar dan berdagang di sepanjang Utara Jawa, semenjak Sultan Trenggana telah berperan secara aktif dan menanamkan aspirasi-aspirasi politiknya di Juwana, Pati, Rembang, dan terutama Kudus dan Jepara.24 Kondisi ini yang dialami dalam nuansa perpolitikkan, sejak masa sultan Trenggana yang mendatangkan jumlah masyarakat Muslim, Melayu yang pesat. Perkembangan agama Islam pada masa Sultan Trenggana di Demak melalui
22
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu Bagian II: Jaringan Asia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 52 23 Denys Lombard, op. cit., hal. 52 24 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia , (Kudus: Menara Kudus, 2000), hal. 20-30 dan lihat Supratikno Raharjo, Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi, op. cit., hal. 26-27
32
aktivitas hubungan politik dengan beberapa kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang Pantai Utara Jawa meliputi; Banten, Cirebon, Demak, dan Jepara. Dengan demikian kota Demak menjadi kota Muslim,25 yang berhasil menjalankan hubungan politik dengan beberapa kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang Pantai Utara Jawa meliputi; Banten, Cirebon, Demak, dan Jepara. Besar kemungkinan, sebagai tempat persekutuan pedagang Muslim pada saat itu. Persaingan antara kota-kota tersebut tentu turut melemahnya posisi vis-a‟-vis politik ekspansi Mataram. Pada tahun 1619 terjadi perubahan mendasar dalam politik berlayar dan berdagang dengan pelabuhan-pelabuhan ini, Tuban menyerah, Gresik diduduki tahun 1623 namun Surabaya tetap bertahan sampai 1625. Meski begitu, dapat dikatakan bahwa pesisir sudah berada di tangan Sultan Agung (Mataram).26 C. Dinamika Ekonomi Perdagangan Sejak zaman Dinasti Ming, peningkatan akan kebutuhan barang–barang mewah terbesar di Nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit, sekitar abad XIV. Barang mewah tersebut yang dipenuhi sutera dan porselin dari Cina. Bahkan dikirim utusan khusus dengan gelar Arya atau Patih untuk melakukan perdagangan diplomatik dengan Cina. Ekonomi perdagangan tersebut meningkat lebih pesat lagi ketika ada misi perjalanan Cina yang dipimpin Zheng He (Cheng Ho) yang diutus oleh Kaisar Yongle dari Dinasti Ming untuk memperluas
25
Supratikno Raharjo dkk, Demak Sebagai Kota Bandar Dagang Di Jalur Sutra, op. cit., 35 dan lihat Tulisan Munawir Aziz, op. cit., hal 22 26 Prof. Dr. Adrian. B Lapian, op. cit., hal. 52
33
pengaruh Ming di luar perbatasan Cina yang berlangsung antara tahun 1405 1433 M.27 Misi tersebut akhirnya memunculkan kota-kota pelabuhan di sepanjang Pantai Utara Jawa yang terbentuk akibat adanya perdagangan, sehingga bertambahnya keramaian arus perdagangan di Pulau Jawa dan sekitarnya pada abad XV. Sejak berdirinya Demak,28 dan merupakan emporium pada abad XV dan abad XVI, yang berhasil mengadakan hubungan ekonomi-perdagangan secara langsung maupun tidak langsung dengan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Pantai Utara Jawa. Demak telah menjalankan fungsinya sebagai jembatan penghubung dari aktivitas berlayar dan berdagang „atau‟ transito antara daerahdaerah yang berpenghasilan rempah-rempah di Nusantara bagian Barat dengan Malaka, dan sebagian besar ke pasar-pasar di Nusantara. Oleh karena itu, timbullah keinginan Demak untuk menggantikan kedudukan Malaka sebagai pusat perdagangan dalam negeri hingga ke luar negeri. Untuk mencapai tujuannya itu terlebih dahulu mengusir bangsa Portugis yang berkuasa penuh di sana sejak tahun 1511. Pada tahun 1513, Demak mengerahkan armada dagangnya untuk menyerang Portugis di Malaka di bawah pimpinan Pati Unus, tetapi penyerangan itu mengalami kegagalan total. Sementara itu, ekonomi-perdagangan Kerajaan Demak dapat berkembang pada masa kekuasaan Sultan Trenggana dan selalu diramaikan dalam kegiatan aktivitas berlayar dan berdagang dalam hal ekonomi-perdagangan dari dalam
27
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), hal. 83-86 dan lihat Tulisan Munawir Aziz, op. cit., hal 22 28 Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 35 dan lihat Makalah Hasan Muarif Ambary, op. cit., hal. 6
34
negeri sampai ke luar negeri. Hal ini didukung dari penghasilan utamanya adalah berbagai macam jenis tumbuhan, seperti; beras, jagung, gula, terutama lada dan rempah-rempah yang kemudian dikirim ke Jawa Barat.29 Beberapa saudagar Palembang ikut berdatangan ke tempat ini, dengan membawa berbagai mata barang dagangan. Barang dagangan tersebut kemudian ditukar kembali dengan kain belacu yang berasal dari India. Pertukaran barang dagangan tersebut juga terjadi dengan Semenanjung Malaya (Melayu), yang memanfaatkan waktunya dan memainkan kegiatan perdagangannya itu di Malaka dengan masyarakat yang datang dari Pulau Jawa. Perdagangan antara Malaka dengan Pulau Jawa yang dibantu melalui pelabuhan Sunda Kalapa semakin erat terlebih dengan munculnya kota-kota pelabuhan di Pulau Jawa seperti Banten, Jepara, Cirebon, Gresik, dan Tuban sebagai penghasil beras.30 Dengan demikian ekonomi perdagangan di Nusantara memperlihatkan situasi persaingan dagang yang semakin hebat dan selalu diramaikan dengan pesatnya pedagang-pedagang asing seperti; dari Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu, (Birma atau Myanmar), Keling, Portugis dan lain sebagainya, yang dipusatkan di Pulau Jawa. Demikian juga para pedagang seperti; Patih Adam, Patih Kadir, Patih Yusoff, Pati Unus dan Utimutiraja ikut berdatangan melalui jalur laut menuju Demak. Selain itu, dalam penerapan unsur Melayu-Jawa dalam berdagang dapat dilihat dalam tradisi sastra budaya di dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Hang
29
Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 35 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; Dari Emporium Sampai Imperium, (Jakarta, Gramedia, 1988), hal. 3-4 30
35
Tuah.31 Dahulu rempah-rempah diangkut dari Maluku Utara ke Hitu dan Banda serta Pelabuhan Gresik yang dijalankan oleh Sultan Giri semenjak menjalin hubungan dagang dengan dua hulu ini agar membentuk suatu persekutuan dagang di Pulau Jawa.32 Semenjak itu, pesatnya kedatangan para pedagang dari luar negeri yang selalu diramaikan setiap harinya mengakibatkan transaksi barang-barang dagangan semakin banyak terdapat di Pulau Jawa. Hal itu, membawa dampak positif dan membawa angin segar bagi pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Utara Jawa. Pelabuhan-pelabuhan tersebut semakin dipadati oleh transaksi-transaksi para pedagang dari dan ke arah Malaka yang kemudian mereka kembali ke Pulau Jawa.33 Dari Jawa mereka terus meluaskan pengaruhnya ke arah kepulauan rempahrempah, yaitu Maluku. Dari Maluku Utara ke Hitu kemudian ke Banda mereka membawa rempah-rempah seperti pala dan cengkeh. Para pedagang harus menempuh jalan secara bertahap dan memakan waktu lama. Dalam perjalanannya tersebut mereka setelah itu dari tempat ini mereka membawa rempah-rempah tersebut ke bagian Barat Indonesia, tepatnya ke arah pelabuhan-pelabuhan yang ada di Pantai Utara Jawa.34 Pada abad XV, Demak dan Malaka merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan antara dua hulu ini, Demak dan Malaka telah berhasil menjadi pusat utama lalu-lintas pelayaran dan perdagangan rempah-
31
Teks klasik Melayu yang dianggap oleh R.O.Winstedt sebagai,‟‟…Malayo-Javanese, Kuala Lumpur,1969, hlm 62 dan Lihat Anthony Reid, op. cit., hal. 218-223 32 Lihat Prof. Dr. Adrian. B Lapian, op. cit., hal. 41 33 Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 184-186 34 Lihat Prof. Dr. Adrian. B Lapian, op. cit., hal. 41
36
rempah sampai para pedagang dapat menukarkan barang dagangan yang dibeli dari Jawa, dan Malaka, dan Maluku.35 Hal ini, diperjelas dalam buku Anthony Reid Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Bahkan di sepanjang Pantai Utara Jawa, di provinsi Jawa Tengah terdapat kota Jepara sebagai pemasok beras untuk ke Malaka Untuk daerah ini mengirimkan beras lima sampai lima jung (sekitar 15.000 merupakan jumlah beras yang dipasok dari Pulau Jawa setiap tahunnya pada awal abad XVI. Jepara juga merupakan pemasok beras utama ke Banjarmasin, Maluku, dan kota-kota pelabuhan besar (Banten dan Jakarta-Batavia). Pada tahun 1615, Belanda memperkirakan bahwa yang sanggup membeli 2.000 ton beras setiap tahunnya di Jepara. Sedangkan, dalam tahun 1680, mereka kenyataannya sanggup mengimpor 8.000 ton ke Maluku dan Sunda Kelapa, dan juga sanggup mengirimkan 2.000-4.000 ton dari Surabaya sekitar abad XVII.36
Kebangkitan ekonomi-perdagangan di Pulau Jawa merupakan sumbangan besar dari Malaka ke arah kebangkitan dan kemajuan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Utara Pulau Jawa pada penghujung abad XVI, termasuk Demak, Cirebon, Jepara37, Rembang,38 Gresik, Surabaya, Tuban, dan daerah-daerah sekitarnya.
35
Wilayah Maluku meliputi; (Ternate, Tidore, Bacan, Hitu, ditambahkan lagi Kepulaun Banda). Saya membacanya di dalam Museum Bahari pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari. 36 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hal. 27 37 Pada tahun 1519, Jepara telah menjalin hubungan langsung dengan Jambi. Saat itu, Jepara sebagai pemasok beras dan garam dengan lada ke Jambi. Ini yang telah membuat pedagang Cina datang ke Jepara, untuk menukarkan lada dengan Sutera, Porselin, Belanga, besi dari Cina. saya mendapatkan informasi ini, dari hasil penelitian di Museum Bahari pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari dan dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, S.S, selaku staff Museum Bahari.
37
Kota-kota pelabuhan tersebut telah memberikan warna tersendiri bagi kemajuan ekonomi-perdagangan di Pulau Jawa. Pada saat itu, Sultan Trenggana, telah menggunakan hak atas perluasan Banten setelah melakukan perjalanan berlayarnya ke arah Banten. Hal ini disebabkan, karena ekonomi-perdagangan pada saat itu telah tumbuh dan berkembang setiap harinya dalam melakukan transaksi beras, rempah-rempah, dan bentuk perdagangan lainnya. Bahkan Sultan Trenggana, telah memperluas wilayah kekuasan Kerajaan Demak sampai ke wilayah Jawa Barat (Banten, Jayakarta, Cirebon), Jawa Tengah, dan Jawa Timur.39 Di Jawa Barat, Demak mendukung pertumbuhan Banten dan Cirebon. Sehingga pada abad XV Cirebon telah berhasil dikuasai Demak dan masyarakatnya menganut agama Islam, tetapi masa kejayaan Cirebon ini dari beberapa catatan selalu dihubungkan dengan Sunan Gunung Jati (wafat 1570). Sunan Gunung Jati pun telah berhasil menguasai Banten sebagai penguasa lokal. Sunan Gunung Jati berhasil merebut pelabuhan utama Pajajaran, yaitu Sunda Kalapa. Setelah menaklukkan wilayah Jawa Barat yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati (yang mereka beri nama Fatahillah atau Tagaril) yang merupakan pemegang kekuasaan dan perdagangan besar Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten, pada abad XVI,40 yang nantinya memegang peranan penting 38
Rembang berperan sebagai pemasok kapal yang telah menggantikan Pelabuhan Lasem, pada awal perkembangan Kerajaan Demak, sekitar abad XV, saat rembang menghasilkan kapalkapal besar, di antaranya yang diutus Pati Unus dari Demak menyerang ke Malaka pada abad XVI. Rembang menghasilkan kayu jati yang melimpah sebagai bahan dasar pembuatan kapal. Saya mendapatkan informasi ini di dalam Museum Bahari pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari. 39 Denys Lombard, op. cit., hal. 52 40 M.C. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, terj., (Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, 1995), hal. 56 dan 57
38
bagi kekuasaan Kerajaan Banten, hingga kemudian Banten menjadi bandar perdagangan terpenting dan makin pesat dari penjualan barang dagangan, seperti; rempah-rempah yang berkualitas tinggi. Yang diperjual-belikan ditempat ini seperti lada, asam, cengkeh, dan kayu manis. Masyarakat daerah Banten telah berhasil diislamkan oleh Sunan Gunung Jati atau Fatahillah. Banten menjadi berkembang sebagai bandar perdagangan dan sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam.41 Faktor-faktor yang mendukung berkembangnya Banten sebagai pusat kerajaan Islam dan pusat perdagangan, adalah sebagai berikut: 1). Banten terletak di Teluk Banten dan pelabuhan terlindungi oleh Pulau Panjang, sehingga baik sekali menjadi pelabuhan. 2). Kedudukan Banten yang strategis di tepi Selat Sunda menyebabkan karena aktivitas yang tinggi untuk berlayar dan berdagang dari kalangan pedagang Islam dan pedagang asing, dan selalu diramaikan sejak Portugis berkuasa di Malaka. 3) Banten telah memiliki bahan ekspor yang begitu penting yakni lada, sehingga dapat menjadi daya tarik yang kuat bagi pedagangpedagang asing seperti dari Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu, (Birma atau Myanmar), Keling, Portugis dan lain-lain. 4). Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis mendorong pedagangpedagang mencari jalan baru melalui Selat Sunda hingga kemudian Banten dijadikan sebagai salah satu pusat perdagangan di Jawa Barat di samping Cirebon.42
Dengan demikian, ketika Fatahillah atau Sunan Gunung Jati turut membangun kota itu, kegiatan berlayar dan berdagangnya mempunyai peranan penting dan menjadi pemilik kapal dagang dan barang dagangan, sekaligus pemegang uang „atau‟ harta yang melimpah. Pedagang Arab, Persia, maupun
41
Lihat Nina H Lubis, Banten dalam Pergemulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: LP3ES, 2003), hal. 26-27 42 Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 183-195 dan M.C. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, op. cit., hal. 56 dan 57
39
India ikut berdatangan yang besar kemugkinan menambah jumlah pedagang yang meramaikan bentuk pertukaran barang dagangan. Hal ini, disebabkan faktor jualbeli kain sutra, pala, rempah-rempah atau hasil agraris, dan hasil lainnya.43 Kegiatan ekonomi-perdagangan di Pantai Utara Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, lebih banyak ditentukan pada masa Sultan Trenggana. Setelah Fatahillah berperan secara aktif di Kerajaan Cirebon dan mendapatkan bantuan dari pihak Kerajaan Demak (Trenggana). Fatahillah telah berhasil mematahkan hegemoni atas ekonomi-perdagangan.44 Atas wilayah taklukannya yang meliputi daratan dan lautan, sehingga sangat erat hubungannya dengan para pedagang di Jawa Barat. Sunda Kalapa pada abad XVI, telah ada pelayaran Eropa yang pertama kali dengan memakai empat kapal Portugis di bawah pimpinan Jorge d‟ Albouerqe „‟de Alvin‟‟ dalam misinya mencari rempah-rempah di wilayah Nusantara dengan menyusuri laut Asia. Hal ini, didukung oleh Portugis semenjak keberadaannya di Sunda Kalapa (Bandar Kalapa).45 Dalam catatan Tome Pires yang menjadi salah satu bentuk berlayar dan berdagang tersebut, adalah karena Banten dan Sunda Kelapa telah memainkan peranan penting yang didukung sebuah bandar Pelabuhan dan dibantu beberapa pelabuhan lainnya. Sekarang Sunda Kelapa merupakan sebuah bandar terpenting 43
Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia , (Jakarta: Penerbit Menara Kudus), hal. 13-19 44 Daerah Jawa Barat telah ditaklukan oleh Demak, terbukti dengan keterangan Urdaneta yang dalam perjalanannya pulang ke tanah Maluku singgah di Panarukan pada tahun 1535, ia melaporkan bahwa raja Demak yang Moor (Islam) adalah raja yang paling berkuasa di Jawa, atas lada dari Sunda., Lihat Hoesein Djajadiningrat, lokal study or Indonesian History‟‟, dalam Soedjamoko (ed), An Introduction to Indonesia Historiografy, (New York: Coenell University Press), hal. 74-86 45 Adolf Heuken SJ, Dokumen-dokemen Sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke16, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1999), 74
40
pada masa Kerajaan Cirebon setelah Fatahillah memegang peranannya. Lalu Sunda Kelapa dijadikan oleh Fatahillah sebagai bandar pelabuhan yang pesat dan diramaikan dengan kedatangan barang–barang dagangan yang diangkut oleh kapal-kapal dagang dan perahu-perahu dagang yang merapat di Sunda Kalapa.46 Nampaknya terlihat kesungguhan Tome Pires melakukan perjalanannya untuk mempelajari secara khusus tentang Pulau Jawa.47 Perdagangan di Pulau Jawa tersebut banyak dilukiskan di dalam bukunya, „‟The Suma Oriental of Tome Pires‟‟‟. Buku ini bercerita tentang gambaran adanya hubungan berlayar dan berdagang yang dilakukan antara Sunda Kelapa dengan Kepulauan Maladewa disebelah Barat Sri Langka atau Ceylon. Selain itu, Sunda Kelapa merupakan sebuah bandar penting terutama dalam negeri, bahkan berhasil menjalin kerjasama hingga ke luar negeri dengan mendatangkan pedagang-pedagang dari Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya.
46
Armando Cortesao (ed), The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the east from the Red Sea to Japan, hal. 184-185 47 Tome Pires adalah seorang apoteker Lisabon yang dikirim ke India sebagai agen obatobatan‟ ketika ia berusia 40 tahun. Sesudah bekerja kurang lebih setahun di Cannanoree dan di Cochin di Pantai Barat India Selatan, ia naik pangkat setelah dikirim ke Malaka oleh Alfonso d‟ Albuqurque. Sewaktu ditempatkan di Malaka, ia melakukan perjalanan ke Pantai Utara Jawa selama beberapa bulan. Pada tahun 1515, ia kembali ke Cochin, untuk menyelesaikan bukunya, „‟ The Suma Oriental of Tome Pires‟‟, yang sebagaimana dikatakan pada halaman judul dari terjemahan Inggris: suatu laporan dari negeri-negeri Timur dari Laut Merah hingga ke Jepang. Lihat Armando Cortesao (ed), op. cit., Jilid 2, 184
BAB III PROFIL BATAVIA SEBAGAI KOTA DAGANG
A. Peralihan Jayakarta ke Batavia Kota Jayakarta yang didirikan di tepi Sungai Ciliwung ini memiliki pola tata kota seperti pusat kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa. Alun-alun, (dalem), masjid-masjid, pasar-pasar, kampung Angke dan Kampung Cina yang diperkuat pagar kayu sebagai garis pertahanan kota.1 Dari struktur fisik contohnya, dapat dibedakan konstruksi tata ruang dan fungsi-fungsi bangunannya yang berada di dalam dan di luar sektor benteng kota. Secara fisik kebanyakan kota-kota muslim berada pada silangan jalan pengangkutan darat, sungai, selat, teluk atau pantai laut bebas yang sangat potensial bagi kelancaran dan pengembangan lintas orang, barang–barang dagangan dan jasa. Kota Jayakarta juga berfungsi sebagai salah satu pusat pemerintahan dan pusat perdagangan baik dalam negeri hingga ke luar negeri, kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan internasional, perbentengan dan pusat pemerintahan. Ketika VOC pindah dari Maluku ke Jayakarta, Maluku ditinggalkan ketika rempah-rempah bukan lagi komoditas penting dalam perdagangan dunia saat itu, dan Jayakarta dipilih untuk memudahkan pengendalian perdagangan beras dan kayu yang banyak dihasilkan di Pulau Jawa, bahkan menjadi primadona baru dalam perdagangan internasional pada saat itu. 1
Lihat Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: PT Gramedia, 2009), 143 dan Lihat Max Weber, The City, (New York: The Free Press, 1966), hal. 67
41
42
Semenjak Tubagus Angke yaitu menantu Maulana Hasanudin yang menikah dengan Ratu Pembayun, pada saat itu Jayakarta masih tetap berada di bawah naungan Banten dan semenjak Tubagus Angke yang telah memegang peranan penting di bidang perdagangan.2 Daerah ini merupakan kota dagang pada abad XVI, yang dikelola secara penuh oleh Tubagus Angke, namun setelah Jayakarta didatangi oleh orang-orang Belanda, maka orang-orang Belanda kemudian menguasainya dan mendominasi pelayaran dan perdagangan.3 Tubagus Angke, sebagai Syahbandar terkuat pada saat itu. Setelah Cornelis de Hautman melakukan tawar-menawar barang-barang dagangan yang terlalu rendah, tetapi tidak mendapatkan muatan barang secara melimpah, kemudian Cornelis de Hautman, melanjutkan perjalanannya ke Bali, untuk kemudian pulang ke negerinya dengan membawa 240 karung lada, 45 ton pala, serta 30 bal bunga pala, sebagian lagi hasil rampasan.4 Semenjak kedatangan armada dagang Belanda diikuti iring-iringan oleh armada-armada lainnya, kemudian atas perintah Admiral Verhoeven pada tahun 1609, maka tahun 1610, Jacquas l'Hermit, kepala pos dagang Banten,5 berhasil menandatangani perjanjian dengan Pengeran Jayakarta Wijayakrama yang berisikan memberi izin kepada orang-orang Belanda untuk 2
Menurut cerita orang-orang Belanda yang datang ke Teluk Jayakarta di bawah pimpinan Cornelis de Hautman di kapal Hollanda tanggal 13-16 November 1596, Kota ini dikelilingi pagar kayu. Waktu itu mungkin masih berada pemerintahan Tubagus Angke, karena berdasarkan berita pada abad XVII. pada masa pemerintahan Pangeran Jayakarta Wijayakrama, pagar kota tersebut diganti oleh Belanda, pertama-pertama juga telah diceritakan mempunyai pagar tembok terutama di pantai sebagai tirai Laut (zee gordijn)., lihat Uka Tjandrasasmita, Sejarah Perkembangan Kota Jakarta, (Jakarta: Pemda DKI, Dinas Museum Dan Pemugaran, April 2000), hal. 13 dan lihat Armando Cortesao (ed), op. cit., . Jilid 2, hal. 169 3 Sutrisno Kutoyo, dkk, Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung Ke Batavia, (Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hal. 43 4 Lihat Fe de Haan, Oud Batavia, (Bandung: A.C. Nix & Co., 1935), hal 15-30 5 Lihat Fe de Haan, op. cit., hal 15-30
43
berdagang di Jayakarta dan tinggal seperlunya melindungi barang-barang dagangan. Setelah meninggalnya Tubagus Angke, ia digantikan oleh puteranya, yaitu Maulana Hidayatullah dan menurut naskah Purwaka Caruban Nagari6 Maulana Hidayatullah yang mempunyai nama Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Pada saat di bawah kekuasaan Pangeran Jayakarta Wijayakrama, inilah orang-orang Belanda diizinkan membangun pusat perdagangan. Semenjak itu, orang-orang Belanda telah memberi informasi lebih mengenai Jayakarta. Pada saat itu masa pemerintahan Pangeran Jayakarta Wijayakrama telah membuka luas pintu perdagangan maritim, bagi berbagai bangsa seperti; Negeri Keling, Bombay, Cina, Belanda, Inggris, Gujarat, Abesina, Persia, Arab, serta bangsa-bangsa dari Asia Tenggara. Demikian juga kawasan Nusantara sendiri, Bandar Jayakarta telah ramai didatangi pedagang Aceh, Tidore, Ternate, Hitu, Kepulauan Maluku, Tuban, Demak, Cirebon, Banten, dan lain sebagainya. Diberitakan, bahwa beras, ikan, sayur-mayur dan buah-buahan banyak diperdagangkan. Juga tuak yang dijual dalam tempayan-tempayan besar.7Yang selalu diramaikan perdagangan maritimnya dengan perahu-perahu dagang untuk menyusuri Perairan Jayakarta yang melanjutkan ke tempat ke arah bandar Jayakarta. 6
Menurut naskah Purwaraka Caruban Nagari Hidayatullah wafat tahun 1568 Masehi atas penguasaan atas daerah pemerintahan Jayakarta diserahkan kepada putranya yaitu Pangeran Jakarta Wijayakrama inilah yang terkenal sebagai; Regent atau koning ven Jakarta‟‟di kalangan orang-orang asing, Belanda, Inggris, dan Sebagainya. Ia terkenal dalam percaturan politik karena menentang VOC terutama pada masa Jan Pieterszoon., Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram, seri terjemahan , (Jakarta: Grafite Pers), hal. 137 7 Taufik Ahmad, Jakarta Berawal dari Pelayaran dan Pelabuhan, (Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Museum Bahari, 2008), hal. 9
44
Setelah Pangeran Jayakarta Wijayakrama memantau secara langsung orangorang Belanda secara ketat dalam berdagang, dan akhirnya orang-orang Belanda merasa terancam hingga kematian maka lantas bersekutu dengan Inggris pada tahun 1615.8 Hal ini sebagai bentuk dan upaya untuk membangun pos dagang di sebelah Barat Sungai Ciliwung yang terdapat gudang Belanda, Nasau dibangun pada tahun 1610 dan Mauritius dibangun 1617. Sementara pos dagang Inggris di sebelah Barat yang berhadapan dengan gudang Belanda. dibangun pada tahun 1618.
Meskipun
demikian
mereka
selalu
mengharuskannya dengan membayar denda
melanggar
perjanjian
yang
kepada Pangeran Jayakarta
Wijayakrama. Setelah mereka membangun benteng pertahanan dan pos dagang yang saling berdekatan, namun dengan adanya pembayaran denda sebanyak 1.200 real, maka Pangeran Jayakarta menutup mata.9 Seolah Pengeran Jayakarta sebetulnya mengetahui apa yang terjadi dan memprotes, sambil meminta bantuan ke pihak Inggris. Oleh karena itu Coen berencana ingin memindahkan pos dagangnya menjadi pusat kantor perdagangan ke Jayakarta dan menyerang satu kubu pertahanan yang telah didirikan dipemukiman Belanda.10 Maka kubu ditaklukan, dalam peristiwa itu pos dagang Inggris dibakar habis. Sebelah armada dagang Inggris berpatroli di dermaga Jayakarta dan memberikan peringatan akan memotong komunikasi dengan dunia luar.
8
Lihat Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008), hal. 79 9 Uka Tjadrasasmita, Pengeran Jayakarta Wijayakrama, (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI, 1977), hal. 3-4 dan lihat A. Willard Hanna, Hikayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal. 4 10 Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 155
45
Pada tanggal 31 Desember 1618 Jan Pieterszoon Coen mencoba menyerang armada dagang Inggris kembali di Teluk Jayakarta itu, akan tetapi tidak mampu, karena terjepit antara armada dagang Inggris dengan orang-orang Jayakarta. Kemudian ia meninggalkan Jayakarta menuju Maluku untuk meminta bantuan dan menghimpun armada dagangnya yang bercerai-berai di daerah itu. Pemimpin benteng VOC di Jayakarta diserahkan kepada Pieter van den Broeck. Penghuni benteng tersebut berjumlah 250 orang, termasuk di antaranya 25 orang Jepang. Pada tanggal 22 Januari 1619, ketika sedang berkunjung ke keraton Jayakarta, Van den Broeck ditangkap atas perintah Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Pada tanggal 31 Januari 1619 tercapai persetujuan antara orang-orang Inggris dengan Pangeran Jayakarta tentang benteng VOC, dan sesudah itu benteng dikepung dan diambil alih dengan paksa oleh Pangeran Jayakarta dan Inggris, sehingga peti-peti kemas yang berisi dokumen dan barang dagangan milik Jan Piterszoon Coen dan barang-barang lainnya ikut dirusak.11 Sementara, peristiwa pengepungan benteng tersebut diketahui pula oleh pihak Banten dan mengirim kapal-kapal dan tentaranya ke Teluk Jayakarta dan muara sungai Ciliwung dikepung kapal-kapal dari Banten. Pada tanggal 1 Februari 1619 Admiral Th. Dale yang melihat armada dagang Banten yang sudah dikepung sehingga ia merasa tidak mampu menghadapinya. Dalam situasi yang kritis itu, akhirnya Pengeran Jayakarta
11
Uka Tjandrasasmita, Sejarah Jakarta Zaman Pra Sejarah Sampai Batavia Tahun ± 1755, (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI, 1977), hal. 65 dan 67 dan lihat Sutrisno Kutoyo, dkk, op. cit., hal. 56
46
diambil untuk kemudian dibawa ke Banten. Daerahnya menjadi pengawasan Mangkubumi Banten.12 Maka Syahbandar atas nama sunannya mengerahkan armada dagang di sekitar benteng Belanda yang berdekatan langsung dengan Sungai Ciliwung. Dalam situasi tersebut, Pengeran Jayakarta menyerahkan tawanan-tawanan Belanda kepada Banten. Maka pada tanggal 15 Februari 1619 kekuasaan Jayakarta diambil alih oleh Mangkubumi Banten, dan Pengeran Jayakarta Wijayakrama di bawah kekuasaan langsung Kesultanan Banten. Namun Pangeran Jayakarta Wijayakrama dibawa kembali ke Tanara di Banten. Pada pertengahan bulan Mei 1619 Jan Piterszoon Coen masuk ke Pelabuhan Jayakarta dari Maluku dengan 16 buah armada dagangnya. Daerah benteng dan sekitarnya diserbu oleh Jan Pieterszoon Coen dengan kekuatan 1000 orang. Dengan tidak mendapat perlawanan yang berarti, karena Pangeran Jayakarta Wijayakrama telah tersingkir dari Banten dan tentara Banten saat itu sudah pulang.13 Pada tanggal 30 Mei 1619 - Jan Pieterszoon Coen melakukan penyerangan terhadap Banten, memukul mundur tentara Banten. Membangun Batavia sebagai pangkalan militer dan administrasi yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang-barang, sehingga lokasi Batavia menjadi strategis dan memudahkan mencapai jalur-jalur perdagangan ke Nusantara bagian Timur atau Timur jauh dari Eropa.14
12
M.C. Ricklefs, op. cit., hal. 70 dan lihat Taufik Ahmad, op. cit., hal. 10 Uka Tjandrasasmita, op. cit., hal. 65 dan 67 14 Adolf Heuken SJ, Historical Sites in Jakarta, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1989), hal 13
13-16
47
Semenjak itu, Jan Pieterszoon Coen mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Semenjak itu, Batavia dijadikan sebagai pusat perdagangan atas kekuasaan Belanda di Nusantara. Tetapi, adanya campur tangan Jan Piterszoon Coen, seorang pegawai Belanda yang telah mempunyai wewenang atas basis dagang Belanda di Batavia kemudian memutuskan bahwa Batavia menjadi pusat perdagangan VOC yang berlayar dan berdagang di Kepulauan Nusantara.15 B. Batavia sebagai Kota Bandar Niaga. Batavia bermula dari sebuah bandar kecil, bandar kecil ini awalnya terdiri dari endapan lumpur di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Perkembangan pelayaran dan perdagangan mengantarkan kawasan ini menjadi bandar penting di Pantai Utara Pulau Jawa. Selama berabad-abad kemudian kota Batavia merupakan bandar niaga yang berkembang menjadi pusat perdagangan internasional
yang ramai dan
berkembang sangat pesat sebagai pelabuhan transito Internasional, dan menjadikan Batavia menjadi bandar terpenting di Asia.16 Keterangan sejarah pernah menyebutkan Batavia terbujur satu sampai dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang berdekatan dengan sungai Ciliwung yang terletak di Teluk Batavia yang terlindung oleh beberapa pulau.17 Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 buah kapal dagang yang mempunyai kapasitas 10 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orangorang Melayu, Jepang, dan Cina, di samping itu juga kapal-kapal dari pulau sebelah Timur. Sementara itu, kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki 15
Sutrisno Kutoyo, dkk, op. cit., hal. 56 Adolf Heuken SJ, op. cit., hal. 9 17 Adolf Heuken SJ, op. cit., hal. 18 dan 22 16
48
kapasitas 500 ton, harus berlabuh di depan pantai.18 Tome Pires juga menyebutkan adanya hubungan dagang antara Sunda Kelapa dengan Malaka, dikatakan bahwa barang-barang dagangan dari Sunda Kelapa termasuk Batavia, diangkut dengan lanchara, yaitu jenis kapal dagang yang memuat sebanyak 150 ton.19 Di samping itu, dengan kedatangan dan usaha yang dilakukan Jan Pieterszoon Coen untuk mewujudkan cita-citanya, maka mulailah pembangunan Batavia sebagai kota dagang dan melengkapi benteng Jacatra (sebagai tempat pertahanan dan tempat perlindungan dari aktivitas perdagangan maritim). Terlebih lagi nama tersebut, sudah melekat dengan sebutan Kasteel Batavia20 (saat ini merupakan Pasar Ikan, jaraknya saling berdekatan dengan Museum Bahari). Di sini orang-orang Belanda sibuk mengatur dokumen ribuan macam barang dagangan, perhitungan, pelaporan, dan pemeriksaan sebelum diteruskan ke gudang dan pos-pos dagang di sekitar Kasteel Batavia. Menurut Adolf Heuken SJ, bahwa hampir semua aktivitas Kasteel Batavia berhubungan erat dengan aktivitas pelayaran dan perdagangan. Bahkan daerahdaerah perbatasan menjadi daerah pertahanan dan tempat perlindungan dari aktivitas perdagangan maritim. Antara Jl. Pakin (di bagian Utara), di sepanjang Jl. Kali Besar banyak dijumpai bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai pos dagang dan jenis-jenis badan usaha yang terdapat di daerah tersebut yaitu
18
A. Willard Hanna, Hikayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal. 4 Lihat Armando Cortesao (ed), op. cit., Jilid 2, hal. 167 20 Adolf Heuken SJ, op. cit., hal. 13-16 19
49
perusahaan dagang, perbankan, perkapalan, dan asuransi.21 Sementara Jl. Pasar Pagi (di bagian Selatan) dan Jl. Sumut-Penjaringan (di bagian Barat) merupakan salah satu tempat niaga dan sebagai kegiatan pemerintahan Kota Batavia yang dipusatkan di sekitar lapangan yang berdekatan dengan letak perniagaan besar, yang jaraknya sekitar 500 meter dari kawasan niaga. Orang-orang Belanda berhasil membangun balai kota yang anggun, yang menjadi pusat pemerintahan dan menjadi pusat perdagangan Batavia. Sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan kota tua lama atau disebut juga Oud Batavia, yang memiliki jarak 500 meter ke arah Utara-dan ke arah Barat dan kita dapat melihat Museum Jakarta sampai saat ini. Setelah diperluas menjadi tempat aktivitas maritim dan sebagian lagi diperkuatnya bangunan-bangunan untuk melindungi aktivitas perdagangan maritim.22 Semenjak itu dapat dikatakan, secara umum perdagangan maritim merupakan hubungan timbal balik yang dilakukan paling tidak antara dua pihak sebagai usaha untuk memperoleh barang melalui pertukaran yang lebih menekankan pada aspek kebutuhan dari pada aspek ekonomi-perdagangan, karena salah satu ciri dari perdagangan adalah adanya transaksi. Suatu transaksi akan terjadi jika di suatu tempat membutuhkan bahan baku atau barang yang tidak dapat diperoleh atau diproduksi oleh tempat tersebut sementara di tempat lain terjadi surplus akan barang atau bahan baku yang diperoleh. Bandar niaga terpadu adalah suatu kawasan yang meliputi seleruh kegiatan perniagaan yang menjadi basis ekonomi. Idealnya tempat tersebut berada 21
A. B Lapian, (ed.), Four Centuries Trade Relations Between Indonesia and Netherland 1595 – 1995, hal 15 22 Adolf Heuken SJ, op. cit., hal. 16 dan 17
50
di lokasi yang cukup strategis sehingga memudahkan para pendukung kegiatan perekonomian
tersebut
melakukan
aktivitasnya.23Seperti
halnya
Batavia
berkembang dan tumbuh menjadi salah satu tempat niaga yang pesat dalam pertukaran barang dagangan. Pasar Ikan menunjukkan sistem perdagangan maritim yang umum yang dilakukan oleh Bangsa Eropa, yaitu mendirikan bursa besar di suatu tempat yang sepanjang tahun menampung aneka barang dagangan yang diinginkan. Berdasarkan beberapa catatan mengenai Kota Batavia tentang Pasar Ikan yang saling berdekatan dengan gudang penyimpanan rempah-rempah di bagian Barat, dan dijadikan sebagai tempat niaga (Museum Bahari sampai sekarang ini yang beralamatkan Jalan Pasar Ikan Nomor 1, Jakarta Utara ), maka mengindikasikan bahwa sekitar abad XVII dan abad XVIII kota Batavia menjadi kawasan niaga yang telah difungsikan dan Pasar Ikan menjadi bandar niaga yang merupakan gabungan dari fungsi perdagangan besar dengan perdagangan eceran baik asing maupun domestik. Setiap jam 07.00 pagi sampai jam 15.00 sore dan dilajutkan sampai malam, pasar masih tetap dibuka untuk umum dalam melakukan transaksi barang-barang dagangan antara penjual dan pembeli.24 Di Pasar Ikan ini nampaknya telah berkumpul ribuan orang dari penjuru dunia, terutama kaum perempuan yang membawa hasil bumi diperjualbelikan.25 23
R Z Leirissa, (et.al), Sejarah Perekonomian Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996), hal 1 dan 2 dalam http:// Jakartalama.wordpress.com/2010/11/03/situs-pasar-ikan-kawasan-niaga-terpadu-pada-masakolonial/dikunjungi pada tanggal 13 Juli 2011 24 Lihat Fe de Haan, op. cit., hal 30-40 dan Lihat KN. Chaudury, Trade and Civilization in The Indian Ocean : Economic History from The Rise of Islam to 1750, (Cambrige: Cambrige University Press, 1989), hal. 49 25 Hayu Adi Darmarastri “Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928”, dalam Lembaran Sejarah, vol.4, No.2, 2002.
51
Di beberapa tempat di Pasar ikan tersebut dibangun tempat khusus untuk kios yang biasanya terbuat dari bambu yang beratap ilalang dan fungsinya hanya sementara. Terkadang pasar ini hanya digelar di bawah pohon besar yang cukup lapang untuk berkumpul. Biasanya didapati gandum atau biji-bijian, pakaian, kerajinan tangan, ikan, perajin kuningan, besi, dan barang-barang tembaga, kerajinan-kerajinan dari bangsa Cina, India, Eropa dan lain sebagainya. Jenis makanan matang dan berbagai jenis buah-buahan serta sayur-mayur dijual di sini dengan harga yang beragam sesuai kualitas barang. Tampaknya transaksi perdagangan maritim dapat timbul jika terjadi pertemuan antara penawaran dan permintaan terhadap barang yang dikehendaki. Kaum perempuan setempat menjual lada dan bahan makanan kepada pembeli asing, sementara setiap kelompok saudagar asing mempunyai tempat untuk menjual barang-barang mereka. Ini sekaligus merupakan kegiatan perdagangan maritim di Pasar Ikan yang menjadi sibuk setiap harinya untuk bahan makanan seperti beras, sayuran, buah-buahan, gula, ikan dan daging, hewan ternak, tekstil, lada, cengkih, senjata, perkakas dan barang-barang logam. Namun demikian, Pasar Ikan ini nampaknya diatur oleh Syahbandar yang mengadakan pengadilan apabila ada persengketaan dagang.26 Pada abad XVII,
26
Menurut Van Leur, Syahbandar berkewajiban mengatur administrasi dan memantau langsung jalannya aktivitas pelayaran dan perdagangan dan sebagai pemegang jabatan kalangan istana kekaisaran niaga dipegang oleh VOC. Cina dan India ikut berperan dalam posisi yang strategis (Jabatan), selain itu dalam pandangannya Meilink-Roelofz, bahkan mengungkapkan Syahbandar yang dipilih dengan cara persetujuan Pemerintah Agung/Pusat, untuk mewakili saudagar-saudagar antar-bangsa. Selain mengurusi permasalahan baik kecil hingga besar dalam hal, pedagang, pasar, pergudangan termasuk tenaga kerjanya, dan lain sebagainya. Lihat pula J. C. Van Leur, Indonesian Trade And Society ; Essay in Asian and Economic History, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hal. 113 dan lihat juga M. A. P Meilink-Roelofz, Asian Trade And Eroupean Influence: In The Indonesian Archipolego Between 1500 and about 1630, (Universitiet van Amsterdam s‟Gravengade: Martinus Nijhoff,1962), 62
52
Syahbandar bertugas di dalam untuk memantau aktivitas perdagangan lada, cengkeh, kayu manis yang merupakan komoditas ekspor terpenting. Komoditas itu awalnya terbatas diperdagangkan di Pasar Ikan. Pada saat itu, dapat dikatakan menjadi komoditas yang diperdagangkan antar-bangsa. Semenjak itu, Batavia menjadi bandar niaga yang telah menyediakan komoditas rempah-rempah dan bahan makanan, bahan pakaian, emas, serta kayu-kayu lainnya. Barang-barang komoditas itulah, tidak hanya berasal dari tempat niaga, melainkan dari berbagai para pedagang luar negeri yang banyak berdatangan ke Batavia maupun dari negara-negara di Asia lainnya.27 Hal ini yang kemudian Batavia menjadi kawasan niaga sebagai tempat pengekspor hasil barang-barang dagangan dari pedalaman yang juga didukung dari Sungai Ciliwung, yang mengalir dari pedalaman ke kawasan niaga. Dari Sungai Ciliwung dapat menunjang transportasi untuk mengangkut barang-barang dagangan ke arah kawasan niaga sehingga, Batavia sebagai bandar niaga dan berhasil tumbuh menjadi kekuatan yang lebih besar lagi dalam jalur perdagangan antara Malaka dan Maluku.28 Dua jalur tersebut, antara Malaka dan Maluku mampu menyuplai barang dagangan, sebagai tempat penyimpanan barang-barang dagangan yang diperoleh dari hasil agraris dan hasil laut. Kemudian VOC melengkapi Batavia dengan membangun kompleks gudang yang dikenal dengan Gudang perniagaan di sisi Timur
(Oostzijdsche
27 28
Pakhuizen)
atau
Uka Tjandrasasmita, op. cit., hal. 39 Armando Cortesao (ed), op. cit., Jilid 2, 176
disebut
juga
Gudang
Gandum
53
(Graanpakhuizen). Gudang itulah terdiri dari empat bangunan untuk menyediakan barang-barang dagangan.29 Pada zaman Gubernur Jenderal Carel Reyniersz, Batavia sudah dilengkapi dengan kompleks gudang rempah di sebelah Barat yang lebih dikenal dengan nama Gudang Rempah Barat (Westzijdsche Pakhuizen) yang dibangun pada tahun 1652. Sebelas tahun kemudian pada zaman Gubernur Jenderal Johan van Hoorn, tepatnya tahun 1663 dibangunlah Gudang VOC. Gudang Rempah Barat yang kini masih tegak berdiri pada saat itu berfungsi untuk menyimpan barang-barang dagangan dari beberapa aktivitas perdagangan.30 Bandar niaga sangatlah mungkin berada di jalur pelayaran dan perdagangan Internasional dan diperkirakan sejak pertengahan abad XVI M, sudah banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa, seperti India, Cina, dan Eropa. Batavia memiliki lokasi geografis sangat strategis, yaitu terletak di dekat selat Sunda, yang merupakan satu diantara dua jalur penghubung, yang lainnya adalah Selat Malaka utama antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan.31 Dengan posisi tersebut Batavia sangat sesuai untuk dijadikan pusat kegiatan VOC di Asia. Abad XVII M,32 Batavia menjadi salah satu tempat transit yang ramai didatangi oleh para pedagang dari berbagai negeri seiring dengan meningkatnya volume perdagangan
29
Lihat Geofano Dharmanaputra dalam Sunda Kelapa sebagai Bandar Jalan Sutera :kumpulan diskusi ilmiah, (Jakarta: CV Dwi Jaya Karya), hal 2 dan lihat http: // www.forumbudaya.org/index.php?option=com_content&task=view&id=864&Itemid=34 (Dikunjungi tanggal 17 Maret 2011) 30 Adolf Heukeun dan Grace Pamungkas, Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus Tahun , hal. 12 dan 13 31 Batavia dalam jaringan perdagangan Asia Pada Abad 17 dan 18 dalam http://knsix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan %20 Kanumoyoso,%20 M.Hum.pdf (dikunjungi tanggal 13 Juli 2011). 32 Tulisan Hendriyo Widi yang berjudul Bukan Belanda Kalau Tidak Berdagang dalam harian Kompas, Jum‟at, 25-08-1995, hal 17
54
antara Barat dan Timur. Para pedagang Muslim, menyebarkan agama Islam dari negeri Arab, Cina, India, Perlak, pernah pula datang dan singgah di Batavia.33 Semenjak pertengahan abad XVI dan menjelang awal abad XVII seringkali jenis kapal dagang dan perahu dagang berdatangan ke kawasan niaga ini. Para pedagang yang berasal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makassar, Madura dan lain sebagainya. Ikut berdatangan juga ke tempat ini untuk menjual hasil agraris dan hasil lautnya.34 Selain itu di kawasan ini pula banyak ditemui dari para saudagar dari berbagai bangsa seperti Portugis, Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu, Melayu, Benggala, Gujarat, Malabar, Abessinia dan juga dari setiap daerah di Hindia Timur untuk melakukan aktivitas perdagangan maritim.35 Batavia bandar niaga dijadikan sebagai tempat aktivitas perdagangan maritim di sekitar kali besar yang menjadi wilayah Central Bussiness and Industry District Batavia, dan aktivitas perdagangan maritim ini selalu diupayakan hingga pedagang-pedagang terus berdatangan ke tempat ini. Aktivitas berlayar dan berdagang tersebut selalu diramaikan setiap harinya sejak tahun 1631. Bahkan bandar niaga mempunyai kedudukan tersendiri dari pengusaha perkapalan, para pemilik kapal, dan para pembuat kapal. Bandar Batavia menyediakan kapal-kapal dagang ke seberang lautan, untuk dipakai berdagang ke Pantai Utara Jawa. Ini semua memerlukan modal yang cukup besar, sehingga seringkali diperlukan kerjasama antar-pedagang yang bermodalkan kuat tersebut. 33
Jurnal Taufik Ahmad, Jakarta Berawal dari Pelayaran dan Pelabuhan, (Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Museum Bahari, 2008), hal. 6 34 Lihat Uka Tjandrasasmita, op. cit., hal. 143 35 Lihat Uka Tjandrasasmita, op. cit., hal. 143
55
Keikutsertaan kaum bangsawan dan pegawai kerajaan dari kalangan pemerintah Batavia yang berkedudukan melindungi wilayah perdagangan mempunyai peranan yang penting dalam membantu dan kerjasama melakukan transaksi perdagangan. Pemimpin kapal-kapal dagang yang terdiri dari para pedagang dan tidak jarang para nakhoda kapal beserta muatannya selalu disiapkan di bandar Batavia. Oleh karena itu, kadang-kadang yang memimpin adalah para bangsawan. Awak kapal diambil dari pemerintah Batavia yang tidak terikat pada tuan-tuan besar Belanda. Orang luar, para pedagang kecil, dan orang asing, kadang-kadang juga diizinkan ikut berdagang dan melakukan transaksi dengan syarat tertentu. Di antara penumpang kapal dagang, sering terdapat asal dan bahasa yang berbeda-beda yang sebagian hidupnya mengembara ke bandar Batavia. Melalui aktivitas dagang inilah mengalami pertumbuhan dan berkembang yang lebih pesat lagi, dan menjadi salah satu pusat perdagangan bercorak maritim pada masa VOC. Sejumlah etnis berdatangan, seperti etnis Jawa, Bali, Banda, Banjar, dan Bugis. Kesemuanya itu, untuk menjalin kerjasama dalam perdagangan maritim. Sementara bandar Batavia semakin padat dengan kedatangan para saudagarsaudagar yang telah berhubungan dagang hingga ke luar negeri seperti Cina, Jepang, Inggris, Iran, Arab, Abessinia, India, dan lain sebagainya.36
36
Lihat Uka Tjandrasasmita, op. cit., hal. 143
56
C. Batavia sebagai Kota Pelabuhan 1. Letak dan Fungsi Pelabuhan 1. 1 Letak Pelabuhan Batavia Dalam buku Edi Sedyawati, dkk, Sejarah Kota Jakarta 1950-1980, wilayah Batavia terletak di bagian Pantai Utara Jawa Barat. Wilayah Pelabuhan Batavia terletak pada 6º-8º Lintang Selatan dan 106º-118 º Bujur Timur. Dengan luas wilayah pelabuhan seluruhnya mencapai, ± 65 km².37 Keberadaan letak Pelabuhan Batavia (Tanjung Priok/Jakarta Utara) sampai saat ini, berada di wilayah Ibukota Negara Republik Indonesia. Di sebelah Utara Pelabuhan Batavia terdapat Teluk Batavia (Teluk Jakarta). Letak Pelabuhan Batavia juga dikelilingi oleh Pulaupulau kecil di Kepulauan Seribu, yang terdiri dari Pulau Damar Besar, Pulau air, Pulau Nyamuk, dan puluhan pulau-pulau lainnya. Letak pelabuhan yang berfungsi sebagai salah satu tempat pelindung bagi kapal dagang dan perahu dagang yang ingin melakukan transaksi perdagangan di bandar
pelabuhan
Batavia
menjadi
alasan
utama
dari
kegiatan
yang
menguntungkan pemerintah Belanda pada abad XVII. Dilihat dari sudut geografisnya pada saat itu, kapal dagang dan perahu dagang dari penjuru Nusantara dan dunia ingin berlabuh dan berdagang ke arah Batavia (Jakarta).38 Letak
Pelabuhan
Batavia
tersebut,
merupakan
jembatan
yang
menghubungkan antara Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra dan menghubungkan daerah–daerah sekitarnya. Letak Pelabuhan di bagian Selatan, terdapat 37
Edi Sedyawati, dkk, Sejarah Kota Jakarta 1950-1980, (Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986//87), hal. 20 38 Verstaven, Djakarta Bay: A Geomorphological Study on Soreline Deveploment, (Utrech: State University of Hawai Press, 1954), hal. 79
57
pegunungan dengan dataran tinggi yang menjulang, sedangkan di bagian Utara terdapat Pulau Onrust yang merupakan tempat galangan kapal dan bengkel perbaikan kapal pada abad XVII. Letak dan geografisnya Pelabuhan Batavia, berada pada daerah yang strategis yang menjadi padat dari jalannya lalu-lintas orang berlayar dan berdagang antar-pulau, antar-Asia dan lain sebagainya. Sejak itu Pelabuhan Batavia, ditempatkan sebagai transito bagi kapal-kapal dagang dan perahu–perahu dagang yang memuat barang dagangan yang berlabuh ke arah Barat ke Malaka dan ke arah Timur ke Maluku untuk sampai Pelabuhan Batavia.39 Letak Pelabuhan Batavia tersebut sangatlah strategis yang mendukung jalur persilangan antar-pulau, lautan dan memiliki potensi tinggi dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. 1. 2. Fungsi Pelabuhan Batavia Pelabuhan Batavia sampai saat ini masih difungsikan sebagai pelabuhan kapal layar motor disebabkan adanya kebutuhan yang mendasar seperti jasa angkutan yang berkenaan dengan adanya arus perdagangan melalui transportasi maritim yang berangkat dari pelabuhan tersebut. Dengan demikian faktor-faktor pendukung dari fungsi pelabuhan Batavia ini adalah: a. Adanya hubungan dengan pasar-pasar yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. b. Adanya hubungan antara pelabuhan dengan daerah-daerah pedalaman dalam konteks keluar masuknya barang-barang dagangan, terbentuknya jalurjalur transportasi, dan terbentuknya pusat-pusat pengumpulan barang-
39
Verstaven, op. cit., hal. 79
58
barang
dagangan.
Sementara
itu,
dalam
menjalankan
aktivitas
perdagangan banyak pedagang-pedagang yang menyusuri Selat Sunda untuk menuju ke Pelabuhan Batavia melalui jalan laut. Hal tersebut, guna menyusuri jalannya lalu-lintas orang berlayar dan berdagang ke Pelabuhan Batavia dan dilanjutkan ke Pasar Ikan. c. Adanya kemungkinan para pedagang semakin bertambah dengan kedatangan kapal dagang yang membawa muatan barang dagangan melalui jalur selat Malaka ke selat Sunda ke Pelabuhan Batavia. d. Adanya hubungan antara kegiatan pelabuhan dengan pembentukan kota pelabuhan. Dari sudut ekonomi Pelabuhan Batavia sebagai tempat penampung surplus dari pedalaman untuk didistribusikan ke tempat-tempat lain. Tentunya, upayaupaya pelayanan Pelabuhan Batavia disiapkan oleh pegawai Belanda dan pembantunya yang sudah memberikan suatu pelayanan terhadap kapal dagang dan pelayanan terhadap barang atau pelayanan bongkar muat barang dagangan. Pelayanan kapal meliputi sandar atau berlabuhnya kapal, pemanduan, dan penundaan. Wilayah ini dianggap strategis dan menguntungkan pihak Belanda dalam kancah perdagangan dan perpolitikan internasional pada masa itu. Pelabuhan di Batavia menjadi pusat yang paling baik kualitasnya dan ramai pengunjungnya. Selain itu untuk pelayanan bongkar muat barang meliputi; pekerja pelabuhan atau buruh, muatan barang, penerimaan barang, dan pengiriman barang. Pelayanan barang pada dasarnya menggunakan fasilitas ruang atau gudang dan lapangan penumpukan barang-barang dagangan. Maka dalam
59
kaitan ini gudang sangat berperan sebagai tempat penyimpanan dari pemasok barang dagangan ke pelabuhan baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Upaya-upaya tersebut dalam menjalankan kegiatan ekonomi Pelabuhan Batavia disuplai hasil agraris dari daerah pedalaman. Pelabuhan Batavia lebih dikenal dengan wilayah Kasteel Batavia dan menjadi pusat pelabuhan pada masa kekuasan VOC. Semenjak itu, di Pelabuhan Batavia terdiri dari ribuan macam barang dagangan beserta dokumendokumennya, perhitungan dan laporan yang diterima, diperiksa dan kemudian diteruskan ke gudang dan kantor-kantor di sekitar Kasteel Batavia . Ribuan macam barang dagangan disimpan di sebelah Barat Sungai Ciliwung yang dibangun sejak 1652 (Kompleks Westy Dyshe Pakhuizen) yang sekarang ini Museum Bahari sebelum diditribusikan ke dalam kota maupun ke luar negeri.40 Di kawasan Batavia yaitu Pasar Ikan, inilah kapal-kapal dagang besar maupun kecil melakukan aktivitas bongkar muat barang-barang dagangan. Kapalkapal dagang dari antar-Asia maupun yang berlayar ke Eropa tersebut, memerlukan perbaikan kapal (Pulau Onrust), dan perlengkapan. Maka di bangunlah sebuah Compagnies Timmer-en Scheeps werf (bengkel kayu dan galangan kapal Belanda). Pada tahun 1632, di tepi Barat Kali Besar, banyak terdapat Saudagar, Nahkoda, Perwira, Sultan, Raja, Pejabat Belanda dan duta kerajaan dari seluruh Asia mendarat dan berangkat dari tempat ini. Pengawasan aktivitas Pelabuhan Batavia melalui Menara Syahbandar yang dibangun pada tahun 1640, (Uitkijk, Menara Syahbandar, dari sini kapal dapat terlihat jelas dari
40
Taufik Ahmad, op. cit., hal. 11
60
jarak jauh, dan kapal dapat memberikan sinyal, ini pertanda bahwa kapal baru saja tiba di Pelabuhan Batavia) guna melengkapi sarana dan prasana pelabuhan, sebagai tanda kapal-kapal yang ingin berlabuh pada malam hari. 41 1. 3. Bongkar Muat Barang Ketika Jan Piterszoon Coen menanamkan kakuasaan dagangnya, maka Coen menyadari dengan kebutuhannya yang melampaui batas kemampuannya kemudian mengambil kekayaan sumber penghasilan dan memantapkan dominasi bagi kelangsungan hidupnya. Di antara langkah dan usaha yang dilakukan orangorang Belanda termasuk Coen, adalah dengan adanya Bongkar muat barangbarang dagangan di Pelabuhan Batavia. Aktivitas bongkar muat barang ini dipengaruhi banyaknya atau sedikitnya perahu dan kapal dagang yang datang dan menetap dari kalangan pedagang yang berbeda suku bangsa baik Asia maupun Eropa. Jumlah perahu dan kapal dagang tersebut semakin bertambah dengan kedatangan para pedagang Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu, Birma atau Myanmar, dari Keling. Selain itu, berdatangan juga para pedagang dari Demak, Jepara, Cirebon, Banten, Tuban, Surabaya, Aros Baya, Wiraba dan Pasuruan datang ke Pelabuhan Batavia dengan membawa hasil agraris, seperti rempahrempah, beras, ikan dan lain sebagainya. Walaupun jumlah para pedagang yang demikian banyak, tetapi dalam pelaksanaannya tugas bongkar muat barang-barang dagangan tersebut ditangani
41
Taufik Ahmad, op. cit., hal. 11
61
dengan cepat. Hal ini diupayakan oleh pemerintah Batavia (Pemerintah Agung/Pusat).42 Pelabuhan Batavia menyiapkan Syahbandar yang bertugas untuk memantau bagian logistik barang-barang dagangan di pelabuhan, transportasi, serta jalannya transaksi perdagangan di dalam kapal dagang di sekitar pelabuhan Batavia. Dalam penyusunan barang dagangan yang baru saja tiba di Batavia, haruslah melalui daftar barang dagangan dan dana keuangan Belanda di Batavia serta harus ada pembekalan yang cukup, setelah barang-barang dagangan masuk ke dermaga atas persetujuan badan yang menangani barang dagangan.43 Bongkar muat barang dagangan memegang peranan penting dan juga strategis bagi pertumbuhan dan perkembangan Pelabuhan Batavia demi kemajuan Belanda. Demikian pula sebaliknya, karena Belanda saat melakukan bongkar muat barang dagangan harus memeriksa kembali apakah daftar barang dagangan sudah memenuhi syarat atau belum sesuai pesanan kiriman dan keputusan atas persetujuan Heren Zeventien (Dewan Tujuh Belas).44 Setelah melakukan inspeksi secara mendadak pemeriksaan tersebut kemudian dicatat atas muatan yang kurang maupun kelebihan barang dagangan. Pemeriksaan ini sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan Pelabuhan Batavia pada saat itu. Hal ini membawa konsekuensi 42
Menurut Nia seorang pegawai Arsip Nasioanal membantu menerjemahkan Arsip Beviendingen op de eisen, ini dalam arsip Kamer Zeeland Archief, VOC 13472-13508 43 Menurut Nia seorang pegawai Arsip Nasioanal membantu menerjemahkan Arsip Beviendingen op de eisen, ini dalam arsip Kamer Zeeland Archief, VOC 13472-13508 44 Menurut Nia seorang pegawai Arsip Nasioanal membantu menerjemahkan Arsip Beviendingen op de eisen, ini dalam arsip Kamer Zeeland Archief, VOC 13472-13508
Republik Indonesia, yang telah di simpan (serinya tidak lengkap) Republik Indonesia, yang telah di simpan (serinya tidak lengkap) Republik Indonesia, yang telah di simpan (serinya tidak lengkap)
62
terhadap
pengelolaan
tiap
barang-barang
dagangan
dalam
usaha-usaha
Syahbandar pelabuhan dari sejumlah aktivitas perdagangan maritim agar bisa pengoperasiannya dapat dilakukan secara efektif, efisien dan profesional sehingga pelayanan pelabuhan menjadi lancar, aman, dan cepat dengan biaya yang lebih murah dan terjangkau. Pada dasarnya, upaya-upaya pelayanan Pelabuhan Batavia oleh Belanda dan pembantunya yang diberikan mandat untuk mengurusi Pelabuhan Batavia untuk melayani kapal, muatan barang dagangan, dan penumpangnya secara tepat dan maksimal, terlebih atas kapal-kapal asing dunia luar yang pernah singgah. Hal ini, sebagai aktivitas perdagangan maritim yang memakai sarana transportasi laut seperti perahu dagang dan kapal dagang, dan selain itu memfungsikan pelabuhan sebagai lalu-lintas angkutan perahu dan kapal. Dengan demikian barang dagangan yang diangkut dengan kapal dagang dan perahu dagang dapat dimasukkan ke atas kapal yang kemudian dipindahkan ke tempat lain dengan cara diangkut dengan perahu dagang. Barang yang diangkut tersebut atas perintah Pemerintah Batavia.45 Oleh karena itu, Pelabuhan Batavia pada saat itu menunjuk pegawai Belanda bekerjasama dengan Plakaat untuk membuat jadwal, untuk mengurusi berbagai kepentingan, untuk saling bertemu di Pelabuhan Batavia di bawah kendali Belanda, bea dan cukai (ekspor dan impor), penempatan barang-barang di dermaga Pelabuhan Batavia, aktivitas syahbandar dan kegiatan-kegiatan lainnya.
45
Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 150-152 dan Menurut Nia seorang pegawai Arsip Nasioanal Republik Indonesia, yang telah membantu menerjemahkan Arsip Beviendingen op de eisen, ini di simpan (serinya tidak lengkap) dalam arsip Kamer Zeeland Archief, VOC 1347213508
63
Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa aktivitas pelabuhan adalah sebagai salah satu bentuk aktivitas yang membangkitkan aktivitas perdagangan suatu wilayah karena merupakan bagian dari mata rantai transportasi perahu dagang dan kapal dalam membawa barang logistik (barang dagangan). 1. 4. Pemungutan Bea Cukai Bea dan Cukai adalah sebagai bentuk pemungutan perjalanan kapal yang cukup jauh bagi perahu dan kapal dagang yang masuk ke pelabuhan Batavia. Dengan adanya pemungutan bea dan cukai di Pelabuhan Batavia yang ditetapkan pada tanggal 1 Oktober 1620 oleh Pemerintah Batavia dengan mengundang Plakaat untuk mengurusi bea dan cukai atas barang-barang yang keluar-masuk di Pelabuhan Batavia, maka mengenakan tarif cukai untuk pertama kalinya yang diatur oleh Pemerintah Batavia diperkuat orang-orang Belanda. Aturan ini berlaku sampai tahun 1671 dengan besaran bea dan cukai 5% dari nilai mata dagangan, yang terdiri dari makanan sehari-hari, bahan makanan, minuman, barang-barang dagangan, dan lainnya, yang didatangkan dari dalam negeri maupun luar negeri.46 Pelabuhan Batavia yang pada saat itu masih dikendalikan oleh Belanda, dan Plakaat, mengungkapkan terdapat 84 jenis mata dagangan yang dikategorikan secara umum seperti benang, bermacam-macam barang dagangan Cina, kapuk, kapas, nila, kesumba, katut, arang, pinang, sagu, segala macam buah-buahan segar, tembakau, gula, barang-barang keperluan rumah tangga, pakaian, laken, gajah, arak, merak, unggas, itik dan lain sebagainya. Selain itu, terdapat 22 jenis barang dagangan yang terdiri dari beras, kemenyan, lada, pala, cengkeh, bahan 46
Dagh-Register 1674, hal. 30-31 dalam Tawalinuddin Haris, Kota dan masyarakat Jakarta dari kota Tradisional ke kota Kolonial Abad XVI-XVIII, cet pertama (Jakarta: Wedatama, 2007), hal. 192
64
kapur, lilin, kapur barus, kayu sandel, air, perak, intan, dan merah delima. Barangbarang dagangan yang diimpor cukainya besarnya 5% tetapi untuk yang sebesar diekspor sebesar 10 %. Semenjak itu, Plakaat juga mengungkapkan pengangkatan pejabat harus dengan memungut pajak (ontvanger) dan seorang Syahbandar Pelabuhan Batavia hanya diberikan surat jalan untuk menyusuri jalan laut dan memungut cukai impor dan ekspor. Tetapi pada tahun 1620, Syahbandar mengangkat sebagai ontvanger yang memegang penerimaan kas bea dan cukai yang di dapatkan dari Kapten Cina.47 Di Pelabuhan Batavia, pada tanggal 1 Januari 1621 VOC menaikkan tarif bea cukai dari 5 % atau 10 % berubah menjadi 20% dari jenis buah-buahan dan makanan. Pada zaman Janderal Van Diemen, tarif cukai menurut Coen dinaikkan kembali menjadi 10 % dan diturunkan kembali menjadi 5% seperti awalnya. Coen mengenakan biaya tarif cukai sebesar 5% untuk impor dan 10% untuk ekspor. Pada masa Gubernur Jenderal Matsuker diadakan perubahan kembali. Pemungutan cukai didasarkan pada berat barang dagangan dan dihitung sesuai dengan nilai barang dan dinaikkan menjadi 5% dan berubah seketika menjadi 10 %, 15 % dan 20 %, sesuai aturan yang berlaku pada masa Coen. 48 Ada sejenis barang dagangan yang dilarang saat itu seperti candu dan arak. Ini disebabkan adanya monopoli barang dagangan tersebut. Pemerintah Batavia menerapkan tarif Cukai di Pelabuhan Batavia untuk ekspor dikenakan biaya tarif sebesar 10 %
47
Tawalinuddin Haris, op. cit.., hal. 192 Plakaatboek van Naderlandsch Indie, II, (1642-1670), hal. 77-78. Jenis ukuran yang dimaksud dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, ukuran berat, seperti las, kati, koyan, dan ton. Kedua, ukuran jumlah, seprti pikul, bahar, keranjang, tong, peti, botol, bilah, potong, karung, tempayan, dan leger, Ketiga, ukuran panjang seperti elo dan roede, periksa Mr. S. Keijzer, Ibid, hal. 562-563 dalam Tawalinuddin Haris, op. cit., hal. 194 48
65
sedangkan arak 5 %. Impor lada dikenakan biaya cukai ¼ ringgit per-pikul, pala masuk daftar pesanan, tetapi tidak terdaftar dalam tarif. Kain dikenakan 10 % untuk impor dan 5 % untuk produk-produk sutera dan sejenis sutera lainnya. Sutera kasar Persia dan Benggala dikenakan tarif cukai 10 ringgit (impor ataupun ekspor), dan sutera Cina dan Tonkin 10 ringgit (impor ataupun untuk ekspor).49 Dari uraian di atas bahwa Pelabuhan Batavia telah mengenakan pajak bagi pedagang-pedagang asing berkisar 5 % hingga mencapai 20 % untuk yang berasal dari pedagang Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu, (Birma atau Myanmar), dan Keling.50 Sementara para pedagang dari Pulau Jawa akan dikenakan biaya pajak sebesar 6%, ini merupakan kewajiban yang harus dibayar dari setiap pedagang yang masuk ke Pelabuhan Batavia.51 Penerapan peraturan menimbulkan transaksi barang dagangan mengalami kesulitan. Namun demikian para pedagang tetap berdatangan dengan membawa muatan barang dagangan dalam skala besar dan proses bongkar muat barang dagangan diupayakan tetap kondisi sehat sehingga tetap bermutu dan terjamin dari kualitasnya. D. Hubungan Pelayaran dan Perdagangan Masyarakat Batavia dengan Dunia Luar. Bukan tanpa alasan Belanda memilih tempat ini sebagai ibukota mereka. Seperti menurut Adam Smith, bahwa Tanjung Harapan yang menjembatani Eropa
49
Tawalinuddin Haris, op. cit., hal. 195 Menurut Nia seorang pegawai Arsip Nasioanal Republik Indonesia, yang telah membantu menerjemahkan Arsip Beviendingen op de eisen, ini di simpan (serinya tidak lengkap) dalam arsip Kamer Zeeland Archief, VOC 13472-13508 51 Lihat J.C. van Leur, op. cit., hal. 67 dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 144 50
66
dan Hindia Timur,52 maka masyarakat Batavia menjembatani salah satu usahausaha penghubung lalu-lintas di jalan laut antara negara Hindia Timur. Letaknya yang sangat strategis di jalur keramaian antara India, Cina, Jepang, dan sebagainya. Setiap harinya aktivitas selalu dilakukan melalui perdagangan yang memiliki corak maritim dari Pantai Batavia dalam menggunakan transportasi laut yang masih mengandalkan perahu dagang dan kapal dagang sebagai alat transportasi yang dibutuhkan masyarakat Batavia untuk membawa isi muatan barang dagangan yang berlayar ke Eropa dan Cina, dan berlabuh di Perairan Batavia terlebih dahulu. Terlebih dahulu orang-orang Cina banyak berdatangan ke Batavia menyusuri Perairan Batavia yang selalu diramaikan para pedagang dari dunia luar. Batavia telah menjadi kota dagang yang besar di dunia perdagangan dan membawa peruntungan yang lebih baik. Mereka berdatangan ke Batavia baik secara legal maupun ilegal. Jika mereka datang secara ilegal, biasanya mereka diturunkan di tengah jalan, bukan di Pelabuhan Batavia. Etnis Cina dengan cepat membaur ke dalam kehidupan ekonomi perdagangan masyarakat pribumi dan juga dengan orang Eropa. Masyarakat di Batavia memperdagangkan barang-barang dari luar daerah di Pasar Ikan dan tiap daerah yang lingkupnya masih di wilayah Batavia yang mempunyai hari pasar tertentu. Barang jualannya dibawa dengan keranjang yang diberi tali, para pedagang lokal ini biasanya dilakukan kaum wanita. Sementara itu, jika diadakan kontak tentang jual beli atau transaksi dibatalkan dan ada yang
52
Lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., , hal 120
67
diiyakan, sesuai mutu barang dagangan yang ingin dibeli sesuai kualitas dan kuantitas barang dagangan, sehingga anggota masyarakat Batavia baik dari golongan Pribumi, Melayu, Cina, dan keluarga Belanda ikut serta dalam berdagang dan berlayar untuk memperoleh pendapatan dari segi keutungan yang cukup memuaskan dari segi penjualan rempah-rempah dan perdagangan lainnya. Terutama masyarakat Batavia memiliki arti khusus untuk menjalin kerjasama dalam berlayar dan berdagang di kawasan Hindia Timur, yang mencakup bangsa Eropa dan juga masyarakat Pribumi dan Melayu. Demikian halnya dengan para pedagang Cina, Jepang, Tonquin, Malaka, Cochin Cina dan Pulau Celebes (Pulau Sulawesi), dan Maluku. Hal ini dijadikan pinjakan dari aktivitas berlayar dan berdagang yang menuju Perairan Batavia.53 Hal ini didasari agar setiap hubungan dagang itu memiliki jembatan yang menghubungkan dengan daerah-daerah sekitarnya dan masyarakat Batavia membentuk hubungan dagang dengan dunia luar. Masyarakat Batavia tidak hanya menjadi pusat perhatian aktivitas ekonomi dan politik tetapi memegang peranan yang penting dalam bidang ekonomi, yaitu berperan sebagai mitra dagang. Dalam sebuah lintas perdagangan maritim akan didapati berbagai kelompok bangsa yang berperan penting dalam kehidupan ekonomi kota perdagangan. Karena mereka itu merupakan pemain yang aktif dalam perdagangan dalam negeri hingga ke luar negeri. Hal ini yang menjadikan sebuah
53
Lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal. 120-121
68
kota perdagangan yang sifatnya pluralistik yang mempertemukan bangsa-bangsa dari seluruh wilayah.54 Abad
XVII sampai
pertengahan
abad
XVIII merupakan
puncak
kegemilangan masyarakat Batavia. Batavia banyak didatangi oleh berbagai bangsa yang ikut meramaikan perdagangan maritim. Seringnya mereka melakukan perdagangan, lambat laun mereka berdomisili di Batavia. Valentijn mengungkapkan bahwa jumlah masyarakat Batavia pada tahun 1772 berkisar 100.000 orang karena kedatangan orang-orang yang berlayar dan berdagang ke Batavia dan kerjasama dengan masyarakat Batavia. Mereka yang berasal dari berbagai bangsa dan negara seperti Belanda, Inggris, Portugis, Mestizo, Mardiker (orang-orang Koromandel, Arakan, Malabar, Sri Langka, dan Melayu), Cina, Markiner, Armenia, Parsi, Moor, Benggala, Tonkin, Timor, Jawa, Makasar, Ambon, Ternate, Melayu, Bugis, Mandar, Bugis, Buton, Sumbawa, Bima dan lain sebagainya.55 Milone juga menambahkan dengan adanya orang-orang asing maka bertambah pula orang-orang asing juga berlayar dan berdagang ke
Batavia,
seperti; Prancis, Cina, Arab, Jepang, Papanger dan orang-orang berkulit hitam (Afrika) ikut berdatangan ke tempat ini, untuk memperdagangkan hasil agraris, hasil laut dan lain sebagainya.56
54
Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Jilid II terj, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal. 88 55 Franciscos Valentijn, Beschriving van Grot Djawa of the Java Major, (Amsterdam: Johanes van Bram, Grard on der de linden, 1726). Hal. 244 56 Lihat Uka Tjandrasasmita, op. cit., 143 dan lihat Tawalinuddin Haris, op. cit., hal. 70
69
Para pedagang Cina, Arab, dan Nusantara pada umumnya datang ke Batavia hanya untuk berdagang. Namun, tidak dipungkiri lagi bahwa para pedagang dari Arab dan Indonesia membawa misi mengislamkan masyarakat sekitar. Berdasarkan sumber-sumber sejarah bahwa dalam abad ke-XVII dan pertengahan abad XVIII Cina, Melayu, Nusantara, dan Belanda-lah yang memiliki peranan yang amat berarti bagi perdagangan di Batavia. Peran penting ini dapat dilihat dari sejauh mana mereka dapat memainkan pengaruhnya dalam faktor ekonomi dan politik. Faktor hubungan ekonomi dan politik itulah-yang biasanya melibatkan orang-orang berlainan budaya, suku, dan loyalitas disatukan tidak hanya dengan aliansi formal,57 yang dibuat dalam menjalankan aktivitas berlayar dan berdagang di perairan Batavia tetapi dengan berbagai barang-barang rampasan dari perdagangan dari dunia luar. Hal tersebut agar tidak rapuh karena keseimbangan tersebut terganggu jika perdagangan menurun dan keuntungan juga menurun sehingga produsen akan menahan produknya, atau bahkan mencari pasar yang lain, atau kemungkinan pergi berlayar mencari peruntungan yang lebih baik lagi, atau kembali ke kehidupan yang lama. Hal ini menunjukkan bahwa ketika berlayar untuk mencari peruntungan yang lebih baik maka selalu memadati lalu litas orang berlayar dan berdagang hanya dari kalangan masyarakat Batavia. Sementara melibatkan masyarakat Pribumi dan Melayu adalah sebagai hasil yang diupayakan untuk berhubungan langsung dengan masyarakat Batavia atau bahkan untuk menjalin hubungan 57
Lihat Prof. Dr. Adrian. B Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hal. 57
70
dagang ke luar negeri melalui Negara Cina, Jepang, Inggris, Iran, Arab, Abessinia, India, dan lain sebagainya.58 Hubungan ini membawa angin segar dan mempunyai dampak yang menguntungkan secara ekonomis dari segi pendapatan masyarakat Batavia. Karena masyarakat Batavia dapat melakukan transaksi tukar-menukar barang dagangan, sejenis rempah-rempah/agraris atau bahkan hasil laut sekalipun. Selain itu masyarakat Batavia telah menjalani kontak dagang baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan tujuan mencari keuntungan sebanyak mungkin tetapi tetap dengan kegiatan ekonomi perdagangan di bawah pengawasan pemerintah Belanda.59 Masyarakat Batavia memiliki loyalitas yang tinggi terhadap penguasa pribumi dan Belanda. Masyarakat Batavia hidup berprofesi sebagai nelayan, pedagang serta penjaga keamanan sungai Ciliwung dan pantai Batavia. Mereka berdomisili di Pantai Batavia, sebagian besar hidup mereka di tepi sungai Ciliwung dan pantai Batavia untuk menangkap ikan dengan jaring, yang sudah mereka siapkan dari rumah tempat tinggalnya, sehingga masyarakat Batavia membawa jaring dan mencari peruntungan demi menutupi kebutuhan sehari-hari dengan harapan mendapatkan uang untuk menghidupi keluarganya di rumah. Sementara itu, masyarakat Batavia dapat dikatakan masyarakat yang nomaden, sebagian besar maupun kecil kehidupannya masih tergantung pada perahu dan kapal dagang sebagai alat transportasi yang dilakukan untuk berlayar 58
Lihat Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: PT Gramedia, 2009),
143 59
Lihat Singgih Tri Sulistioyono, „‟The Java Sea Network: Pattern in the development of Integrrgional Shipping and Trade in the Process of economic Integration in Indonesia, 1870-2 1970s (Disertasi pada Leiden University, 2003), hal. 225
71
dan sebagai tempat tinggal mereka. Kesemuanya itu, atas dasar suka maupun tidak suka dalam melakukan pekerjaan sebagai nelayan dan penjaga pantai, kehidupannya dan transaksi perdagangan secara barter ataupun membeli secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan hasil rempah-rempah dan sejenis barang-barang dagangan lainnya yang mereka butuhkan. Kondisi ini yang dialami, dapat menunjang ekonomi masyarakat Batavia yang telah membuka kontak dagang sampai ke pelosok pedalaman dan daerahdaerah lainnya. Hal ini untuk menggerakkan ekonomi nelayan, ekonomi pertanian, dan ekonomi kelautan di sekitar perairan Batavia. Oleh sebab itu, masyarakat Batavia juga dapat menjalin dengan Malaka, sehingga Batavia dapat digolongkan sebagai jalinan perdagangan yang penting bagi Belanda. Besar kemungkinan banyak transaksi barang-barang dagangan yang dilakukan di sekitar Pelabuhan Batavia dengan Malaka. Malaka dan Batavia mempunyai nilai ekonomi perdagangan terhadap masyarakat yang dinilai cukup tinggi dan telah berhasil menjual dari hasil lada/rempah-rempah, beras, hasil ikan dan lain sebagainya.60 Dalam menjalankan aktivitas berlayar dan berdagang dalam transaksi barang dagangan di sekitar Pantai Batavia, kapal dagang maupun perahu dagang ikut melakukan transaksi barang dagangan secara barter hingga mendapatkan hasil yang lebih baik dari pedagang-pedagang lainnya dan tidak berat sebelah, serta saling percaya di antara keduanya. Transaksi barang dagangan tersebut didorong adanya upaya-upaya untuk saling kerjasama dalam bentuk persekutuan atau
60
Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 150
72
persahabatan sehingga hubungan antar suku bangsa terutama dalam hal lalu-lintas berlayar dan berdagang dapat berjalan dengan baik. Hubungan dagang ini pada awalnya berbentuk tukar-menukar barang berdasarkan didorong oleh kebutuhan masing-masing akan kebutuhan pokok.
BAB IV KONDISI PERDAGANGAN MARITIM BATAVIA
A.
Kondisi Perdagangan Maritim Batavia Di bawah kekuasaan VOC, situasi perdagangan maritim diupayakan masuk
Pelabuhan Batavia dan berkembang lebih pesat lagi menjadi sebuah pelabuhan transito Internasional dan Batavia menjadi bandar pelabuhan terpenting di Asia. Saat itu Batavia menjadi urat nadi jaringan perniagaan yang terbentang dari Jepang sampai Afrika dan dari Ternate hingga bandar Surat di Teluk Arab. Sistem perdagangan Nusantara melalui selat Malaka dihubungkan jalurjalur yang membentang ke Barat sampai India, Persia, Arabia, Syria, Afrika Timur dan Laut Tengah, ke Utara sampai Siam, Pegu serta ke Timur sampai Cina dan Jepang. Ini merupakan sistem perdagangan terbesar di dunia perdagangan pada saat itu. Tidak seperti kota-kota pelabuhan lain di Asia, Batavia adalah pelabuhan yang dapat dicapai dalam semua musim di sepanjang tahun. Angin musim timur bertiup antara bulan Mei hingga Oktober, sedangkan angin musim barat bertiup antara bulan Desember hingga Maret. Keteraturan angin musim menyebabkan waktu kedatangan dan keberangkatan kapal-kapal ke dan dari Batavia dapat direncanakan dengan baik.1
1
http://kns-ix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20 Kanumoyoso, % 20 M.Hum. Pdf (Dikunjungi Tanggal 16 Desember 2011)
72
73
Melalui selat Malaka para pedagang datang, kemudian menyusuri selat Sunda dan para pedagang terlibat dalam dunia perdagangan di Batavia. Dengan modal utama seperti rempah-rempah menjadi komoditas unggulan, yaitu lada dan merica dari Sumatera,2 cengkeh dan pala dari Maluku dan sejenis kayu gelodongan dari Rembang yang diangkut ke Pelabuhan Batavia. Posisi Batavia pada saat itu sangatlah strategis dari letak geografis dan hasil sumber daya alam, serta ditambah dengan sumber daya manusia dari kalangan pedagang Pribumi, Melayu, Cina, dan Belanda yang memadai dan melimpah. Hal ini menyebabkan Batavia mampu dan berhasil menjadi salah satu pusat perdagangan yang diperhitungkan di dunia perdagangan. Sebagai sebuah kota pelabuhan transito Internasional, Batavia dapat menyuplai berbagai jenis barang dagangan ke negara-negara Eropa dari berbagai daerah Indonesia maupun negara di Asia lainnya seperti Cina dan India) dengan komoditas perdagangan seperti kain, sutra, teh, kopi, tembakau, rempah-rempah, arak (tuak), dan berbagai jenis keramik. Kejayaan bandar Pelabuhan Batavia inilah yang secara langsung menjadi faktor utama pesatnya Batavia di masa kekuasaaan VOC. Tidak hanya itu, dengan adanya Batavia ini, Batavia juga membantu kemajuan perekonomian Belanda. Keuntungan dari perdagangan yang berpusat di pelabuhan Batavia akan cukup untuk menyediakan rempah dan lada jumlah yang diperlukan untuk diekspor ke Eropa. Bahwa pelayaran dan perdagangan antara Eropa dan Asia akan
2
Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 138, 139 dan 152
74
terbatas pada sedikit kapal per tahun,3 tetapi ini adalah kapal dagang yang memuat barang dagangan yang berharga jutaan gulden, sementara perlayaran dan perdagangan Belanda selalu hidup dan terus berlangsung dengan koloninya di sepanjang pantai Asia dari Persia sampai Jepang. Lokasi yang sedemikian baik menjadikannya sangat ideal untuk dijadikan tempat berlabuh bagi kapal-kapal kecil yang melayari rute antar-pulau maupun kapal-kapal besar yang melayarai jalur antar samudra. Jung-jung Cina dan kapalkapal kecil dari pulau-pulau lain di Nusantara berlabuh di lepas pantai, sementara kapal-kapal besar milik VOC maupun maskapai dagang lainnya membuang sauh dan jangkar kapal agak jauh dari garis pantai. Secara prosedural, semua kapal besar yang akan membuang jangkar di pelabuhan Batavia akan didatangi oleh seorang fiscal (Jaksa Penuntut). Petugas VOC ini akan memeriksa keadaan kapal dan barang-barang yang dibawanya. Jika fiscaal tidak menemukan barang-barang selundupan ataupun yang terlarang untuk diperdagangkan, maka kapal dapat membuang sauh.4 Setelah itu kapal akan didatangi oleh para pedagang Cina yang ingin melihat-lihat dan membeli barangbarang yang dapat dijual kembali ke pihak ketiga dengan keuntungan yang tinggi. Berikutnya yang datang mendekat ke kapal adalah para pedagang kecil menggunakan perahu yang menawarkan berbagai barang dagangan mereka seperti sayuran, buah-buahan, arak, dan lain sebagainya.
3
Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 152 http://kns-ix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20 Kanumoyoso, % 20 M.Hum. Pdf (Dikunjungi Tanggal 16 Desember 2011) 4
75
Setiap tahunnya Batavia mengirimkan pemasukan dalam jumlah yang besar yaitu 4 juta gulden ke Belanda. Berkat pelabuhan ini pula, Batavia berkembang sangat maju, banyak pengusaha yang menjadi kaya di kota ini. Dengan adanya kanal-kanalnya yang di aliri air yang jernih dan bangunan-bangunan yang megah dan indah yang mengisi kota, membuat Batavia mendapatkan julukan „‟Ratu Dari Timur‟‟ (Koningen van Het Oosten) dan menjadi daya tarik tersendiri bagi negara-negara lainnya khususnya negara-negara di Eropa untuk datang dan berkunjung ke Batavia seperti; Inggris, Prancis, dan negara-negara Skandanavia seperti Swedia, pada tahun 1732-1733 dengan kapal Gotheborg dalam pelayaran pertamanya menuju Canton (Cina) tertarik untuk datang dan singgah di Batavia.5 Dari sudut ekonomi Internasional, bandar Batavia sangat strategis di jalur perdagangan rempah-rempah yang melalui selat Malaka, selat Sunda, Laut Jawa, Flores, sampai ke Maluku. Semua kapal yang berlayar dan berdagang antara Cina dan Eropa harus melewati Batavia sehingga menjadi pusat pasar dan perdagangan yang memilik corak maritim di Hindia Timur. Semua barang dagangan dari Eropa ditimbun di Batavia sebelum didistribusikan untuk pasar-pasar di Asia, begitu pula barang-barang yang dikirim ke Eropa. Dengan demikian Batavia berfungsi sebagai interpots wilayah yang sangat luas.6 Seperti yang dikemukakan dalam Bab sebelumnya, bahwa Jan Piterszoon Coen lebih memilih Pelabuhan Batavia sebagai pusat perdagangan Belanda di Asia. Situasi pedagangan maritim ini yang muncul sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan cita-citanya untuk memajukan perdagangan maritim Batavia. 5
Taufik Ahmad, op. cit., hal. 11 R Kenneth Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia, (Honolulu: University of Hawai Press, 1985), hal. 97 6
76
Dengan demikian dalam kenyataannya para pedagang telah menggerakkan roda ekonomi, khususnya perdagangan yang memiliki corak maritim, sehingga Pelabuhan Batavia menjadi pusat yang paling baik, tempat berkumpulnya pedagang-pedagang dalam negeri dan luar negeri dan selalu diramaikan dengan kedatangan para pedagang lainnya. Penghasilan pokok masyarakat Batavia pada saat itu masih mengandalkan dari hasil agraris dan hasil laut. Sedangkan perdagangan maritim dianggap sebagai salah satu upaya untuk memperlancar jalannya distribusi barang dagangan, yang akan menambah penghasilan dari sektor perdagangan corak maritim. Namun pada tahun 1619, kondisi perdagangan maritim saat itu sedang tidak stabil. Hal ini disebabkan masyarakat Maluku memprotes dengan adanya monopoli perdagangan yang dimainkan oleh Belanda di Maluku dan di Batavia.7 Sementara kehadiran Belanda adalah faktor penting bagi masyarakat Batavia dan kerajaan di Nusantara dalam menekan kekuasaan Portugis di Malaka dan di Maluku. Faktor utama orang Belanda yang berani tampil mempropagandakan taktik dan misi melalui penawaran yang diikuti bantuan hibah untuk menangani konflik internal dan eksternal masyarakat Batavia dalam bidang ekonomi, serta adanya imbalan berupa wilayah kekuasaan. Belanda memperoleh hak-hak istimewa di Batavia yang sangat menggiurkan dalam aspek perdagangan seperti hak beli barang dagangan, monopoli hasil bumi, penyerahan atas barang-barang dagangan
7
Arsip Nasional RI, dalam koleksi Colenbrander, Coen, 1: 245.
77
yang harus diberikan kepada Belanda, sehingga jumlah barang-barang dagangan dapat berubah-ubah sesuai ukuran barang dagangan dan harga beli dengan diikuti harga jual barang dagangan yang sudah ditetapkan oleh Belanda, dan adanya upeti tanpa ganti rugi dari pihak VOC.8 Dengan berhasilnya Belanda memperkuat kedudukan di Batavia berarti makin besar pula pengaruhnya terhadap monopoli perdagangan maritim di seluruh Nusantara. Hal ini pula menimbulkan harga-harga sejenis rempah-rempah seperti lada, cengkeh dan lainnya di Batavia naik sangat tinggi sehingga dijadikan aspek penjualan hingga ke pasar Eropa, walaupun adanya di antara pesaing-pesaing para pedagang seperti Belanda, Inggris, dan Cina. Markas gudang penyimpanan barang dagangan dan benteng-benteng pertahanan sebagai pangkalan (loji) dan tempat penyimpanan barang dagangan Belanda mulai di serang, korban pun mulai banyak berjatuhan dari pihak Belanda.9 Setelah beberapa lama kemudian orang-orang Belanda masih memperkuat pemerintah Batavia dan pada saat itu berhasil selamat dari kepungan para musuhnya di kalangan pedagang di Perairan Batavia. Di antara para pedagang di Nusantara, yang dapat bernapas dengan lega di markas gudang tempat penyimpanan barang-barang dagangan adalah Jan Piterszoon Coen yang ingin menyusun rencana dagangnya ke Pulau Jawa.10 Sementara masa pemerintahan Sultan Agung terjadi perselisihan antara para pedagang Belanda di Jepara. Hal ini mengakibatkan Sultan Agung melakukan serangan ke pusat perdagangan maritim Belanda di Batavia dan ingin 8 9 10
D. G. E Hall, op. cit., hal. 257-258 Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 146 M.C. Ricklefs, op. cit., hal. 66-67
78
mengusir Belanda dari Batavia (tetapi gagal).11 Untuk menghadapi Belanda, Mataram dalam hal ini dipimpin oleh Sultan Agung menjalin hubungan dengan Portugis (musuh Belanda dari Eropa). Agar terpenuhi segala kebutuhan berasnya dari Mataram, Portugis berjanji akan menyerang Belanda dari laut, namun janji itu tidak pernah dipenuhi. Perlawanan demi perlawanan dari serangan armada dagang terhadap Belanda di Batavia. Akhirnya dilakukan melalui ekonomi perdagangan dengan cara memblokir seluruh keperluan logistik yang terdapat di Batavia dan melarang pengiriman beras sebagai jalan distribusi barang dagangan ke kota tersebut. Saatnya pemerintah Batavia berupaya untuk memperkuat armada dagang Garnisiun yang di dalamnya terdapat orang Cina, Jepang, dan Belanda, dan berhasil menahan serangan serta dapat melumpuhkan kekuatan armada dagang dari Kerajaan Mataram dan Banten.12 Situasi ini yang muncul dalam aspek perdagangan maritim di Batavia tetap berjalan dengan para pedagang dan koloninya beserta orang-orang Eropa. Sultan Agung Mataram yang mengalami kekalahan atas Belanda masih bisa bertahan dan terus ingin memperluas wilayahnya dan mengincar pos dagang Belanda di Batavia, di bawah pimpinan Sultan Agung.13 Diberitakan pula bahwa 50 kapal Cirebon dengan membawa muatan beras, memasuki perairan sebelah Timur Karawang. Pada tanggal 7 Mei 1632 datang
11
Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, peneliti, pada tanggal 24 Mei 2011 digedung Arsip Nasional Republik Indonesia. 12 Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 166-167 13 M.C. Ricklefs, op. cit., hal. 70-71
79
juga perahu-perahu dari Cirebon dan kapal yang membawa gula, minyak, dan lain-lain, yang oleh pihak Belanda diduga menuju Batavia. Kemudian tanggal 12 Mei 1632, datang kapal-kapal Melayu dengan membawa gula, minyak, dan lain-lain.14 Kesibukan pelabuhan Batavia telah dicatat dalam Dagh-Register dalam tahun 1633 dan 1634, yang menjelaskan datang komoditas perdagangan beras, minyak kelapa, gula, sayuran, daging, dan lain sebagainya.15 Sebagaimana dicatat dalam Dagh-Rigister dalam tahun 1675 bahwa pada tanggal 30 April 1675 semakin melengkapi bukti-bukti adanya kontak dagang Batavia dengan Cirebon. Tanggal 30 April 1675 terdapat 25 kapal dari Cirebon membawa penumpang sebanyak 1067 sampai yang di tuju Batavia, dengan membawa 38.000 potong arax pullenkens, 10 pot ibung asinan, 287 karung gula hitam, 10 karung gula putih, 1717 karung beras, 155 pot minyak, 24 sak kapuk, 10.000 butir telur asin, 1300 ikat padi, 2 pikul tembakau dari Jawa, dan 200 lembar kulit kerbau. Sedangkan kapal yang menuju Cirebon berjumlah 14 buah dengan membawa pakaian seharga 135 rds, porselin seharga 16 rds, amphium seharga 700 rds. Slaafkooper seharga 760 rds, dan uang kontan senilai 50 rds. Selanjutnya Dagh-Register tahun 1676, 1677, dan 1678 mencatat bahwa kapalkapal yang berasal dari Cirebon yang tiba di Batavia untuk memperdagangkan 14
H.T. Colenbrander (ed), Dagh-Register genouden te Casteel Batavia vant paserende daer ter plaetse als overgeheel Naderlandts India Anno 1631-1634 (Batavia Landsdrukkery: Gravenbage Martinus Nijhoff, 1898), Dagh-Register 1632 hal. 291, 374, 408, 409, 410, 418 15 H.T. Colenbrander (ed), Dagh-Register genouden te Casteel Batavia vant paserende daer ter plaetse als overgeheel Naderlandts India Anno 1631-1634, (Batavia Landsdrukkery: Gravenbage Martinus Nijhoff 1898), Dagh-Register 1632 hal. 291, 374, 408, 409, 410, 418
80
komoditas barang-barang dagangan yang hampir sama dengan barang-barang yang diperdagangkan di Batavia.16 Sampai tahun 1780 VOC telah berhasil menguasai jalinan pelayaran dan perdagangan di Pulau Jawa dan Pemerintah Batavia pada saat itu, dikendalikan oleh orang-orang Belanda. Situasi tersebut, berdampak dengan adanya larangan dari sektor swasta di Pulau Jawa untuk menjalankan pengakutan komoditas rempah-rempah dari Maluku, bahkan Batavia berupaya memainkan monopoli impor dan ekspor bagi komoditas barang dagangan. Untuk memaksimalkan keuntungan sebanyak mungkin Pemerintah Batavia memberlakukan peraturan pembatasan bagi 15 pelabuhan yang terdapat di Pulau Jawa. Di antara peraturannya tersebut adalah seperti Surabaya, Gresik, Semarang, dan Cirebon. Sebuah kapal bisa mendapatkan dokumennya untuk berlayar dengan tujuan pasar luar negeri, yang di tempatkan di sekitar Selat Malaka dan Pulau Sulawesi, Jika nahkoda kapal memberi izin untuk berlayar dan berdagang yang lebih lama dengan tujuan yang lebih jauh.17 Dari kebijakan VOC di Batavia, Gerrit J. Knaap mengungkapkan tentang volume perdagangan maritim yang rata-rata per-tahun dari kedatangan dan keberangkatan di pelabuhan-pelabuhan dihitung dalam ukuran ton, seperti dalam tabel di bawah ini:
16
Fe de Haan (ed), Dagh-Register genouden te Casteel Batavia vant paserende daer ter plaetse als overgeheel Naderlandts India Anno 1680 (Batavia Landsdrukkery: Gravenbage Martinus Nijhoff, 1919), Dagh-Register , 1675: hal. 111, 113; Dagh-Register, 1676: hal. 111, 118 dan lihat Departemen Dor Buregelike Openbaare: Havewezen No. 5. Nederlandsh-Indishe, Batavia Februari, 1920 17 Lihat misalnya Gerrit J. Knaap, Shallow Water, Rising Tide: Shipping and Trade in Java around 1775, ( Leiden: KITLV, 1996), hal. 9
81
Tabel 1.18 Volume Rata-rata muatan barang Pertahun dari Kedatangan dan Keberangkatan kapal hingga ke Pelabuhan-pelabuhan Kota
Dalam ukuran ton
Kota
DalamUkuran ton
Banyuwangi Sumenep Gresik Juwana Semarang Tegal Batavia
2.000 7.200 35.800 30.400 108.800 14.000 240. 320
Pasuruan Surabaya Rembang Jepara Pekalongan Cirebon Banten
2.400 35.800 38.800 19.000 19.200 19.200 19.400
Seperti Gerrit J. Knaap, ia mengungkapkan dalam perhitungannya, jumlah total secara keseluruhan volume tahunan. Setidaknya, seluruh pelabuhan yang terdapat di Pulau Jawa mencapai 600.800 ton. Di mana Batavia menjadi basis utama aktivitas perdagangan maritim di Pulau Jawa dan sekitarnya,
Batavia
masih memperoleh pendapatannya sebesar 40% × 600.800 = 240. 320. Batavia menjadi pusat perdagangan maritim di Pulau Jawa. Sedangkan mengenai komoditas ekspor per-tahun yang diangkut dengan kapal-kapal dagang adalah seperti dalam Tabel 2 di bawah ini.19 Komoditas
Volume
Diekspor oleh VOC
Lada Hitam
23.000
pikul
100% oleh VOC
Kopi
43.000
pikul
100% oleh VOC
Gula Tepung
57.000
pikul
80% oleh VOC
Beras
427.000 pikul
41% oleh VOC
Papan Kayu
126.000 pikul
40% oleh VOC
Arak
15.000
20% oleh VOC
18 19
pikul
Lihat misalnya Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 12 Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 12
82
Kayu Gelondongan
56.000
pikul
10% oleh VOC
Garam
142.000 pikul
0% oleh VOC
Tembakau Jawa
17.000
pikul
0% oleh VOC
Pakaian Jawa
146.000 pikul
0% oleh VOC
Gula Jawa
22.000 pikul
0% oleh VOC
Menurut Gerrit J. Knaap, tampilnya Batavia sebagai pusat dunia perdagangan karena disokong oleh pelabuhan-pelabuhan yang ada di Pulau Jawa dan beserta barang muatannya.20 Batavia menjadi ibukota VOC di Asia, dan sebagai pusat perdagangan maritim khususnya untuk daerah di Pantai Utara Jawa. Arus perdagangan maritim dikonsolidasikan dari Batavia baik melalui jalur dalam negeri sampai ke luar negeri. Pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa itu hanya berperan sebagai penyuplai kebutuhan barang dagangan, dan akan persediaan barang dagangan yang dibutuhkan di Batavia. Sementara itu, orang-orang Eropa terus monopoli perdagangan maritim tersebut dan menguasai wilayah Indonesia. Batavia dikuasai VOC dan perang di laut antara koloni dagang pun tak terelakan lagi antara Portugis yang menguasai Malaka, Spanyol dan menguasai Ternate. Di bawah kepemimpinan Jenderal Jaques Specx, VOC di Batavia mencapai perluasan terbesar. Perang antara koloni dagang dengan Portugis terus berlangsung tanpa henti sampai tahun 1640.21 Pada tahun 1645 Batavia berdamai dengan Sultan Banten dengan alasan agar dapat mendistribusikan barang-barang dagangan,
20
Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 12 D. G. E Hall, op. cit., hal. 280 22 Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 166-167 21
22
Semenjak itu, Batavia
83
memakai jalan diplomatik yang dimiliki untuk berdamai selain dengan Banten juga dengan Mataram. Diplomasi tersebut dengan tujuan untuk meluaskan kekuasaan dagangnya sehingga dapat memonopoli seluruh barang dagangannya disebagian besar Pantai Selatan Asia dan memperluas hubungan dengan pedagang-pedagang Asia lainnya. Semenjak itu, keadaan perdagangan maritim Batavia makin memburuk bagi para pedagang Pribumi dan etnis lainnya. Selama Gubernur Jendral Speelman, ia tidak menghiraukan nasihat Dewan Hindia Timur yang ada di Batavia sehingga selama kekuasaannya (1681-1684) jumlah penjualan kain tekstil turun 90%, dan monopoli candu tidak efektif, serta para pedagang swasta dibiarkan melanggar monopoli VOC. Dia menggelapkan sejumlah dana besar perekonomian. Dalam tahun 1682 membuat hutang-hutang tidak dapat dilunasi kepada para raja Belanda. Hutang tersebut sudah mencapai jumlah 1.540.000 real.23 VOC di Batavia ketika itu juga sedang memasuki masa sulit terlebih ketika Gubernur Jenderal Speelman meninggal pada tahun 1684. Melemahnya VOC di Batavia sangat terasa pada akhir abad ini, dan hal ini pasti menguntungkan kesultanan-kesultanan pribumi terutama Kesultanan Riau dan Sulu, yang keduanya terletak di dekat selat Malaka yang pasti dan menguntungkan bagi dunia perdagangan. Pada waktu itu Batavia dicemaskan oleh Sultan Riau yang membawahi orang-orang Bugis sebagai petualang dan pedagang, mereka selamat tanpa raguragu mengepung Malaka pada tahun 1784. Bahkan Ceylon, di mana VOC
23
M.C. Ricklefs, op. cit., hal. 70-71
84
berkedudukan lebih mantap dan menjalankan perdagangan kayu manis yang sangat menguntungkan. Belanda harus menghadapi pemberontakan dahsyat yang beberapa lama membuat mereka terpojok di dalam Kota Kolombo (1716-1766).24 Namun dengan adanya kondisi perdagangan maritim yang tidak stabil di wilayah otonom Belanda di Kolombo, maka harga pejualan hasil bumi dan hasil laut ikut melambung tinggi karena adanya monopoli dagang secara besar-besaran sehingga akhirnya alat-alat produksi diambil oleh Belanda dan keadaan tersebut sangat menguntungkan bagi Belanda di Batavia. Kiriman dagang pun terus mengalir dari pos-pos dagang di Batavia dan pos-pos dagang di luar Batavia sampai ke luar negeri. Pada masa VOC kota Batavia menjadi pusat perdagangan yang memiliki jaringan perdagangan yang sangat luas, kapal-kapal dagang dari VOC mendatangi bandar-bandar penting di Indonesia dan Asia seperti; Jepang, Taiwan, Malaka, Taiwan, Siam, Patani, Arakan, Kamboja, Benggala, Koromandel dan Sri Langka. Pada saat itu Jan Piterszoon Coen berusaha agar VOC yang berpusat di Batavia mengikuti pola-pola perdagangan Asia yang bertumpu pada perdagangan antar-Asia, yaitu, Jawa, Jepang, Thailand, dan Cina. Keuntungan di dunia perdagangan untuk membiayai pos-pos dagang di Pulau rempah-rempah dan amat penting bagi Belanda di pasar Eropa. Dengan demikian perdagangan Asia dapat mendukung perdagangan rempah-rempah Belanda ke pasar Eropa.25 Pada saat itu keinginan Belanda tercapai di Batavia, mereka berhasil menguasai perdagangan dunia internasional dan menjadikan Batavia sebagai 24
Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu, Bagian I: BatasBatas Pembaratan , (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 63 25 Tawalinudin Haris, op. cit., hal. 188 dan lihat F. De Haan, op. cit., hal. 30-35
85
ibukota. Rencana raksasa Jan Piterszoon Coen untuk membuat Batavia menjadi pusat perdagangan Asia yang lebih besar melalui perdagangan maritim ini, mendapatkan cara untuk memperoleh produk berharga yang bisa di ekspor ke Eropa tampaknya telah tercapai. Beberapa hal yang menarik yang perlu diperhatikan bahwa keterikatan Batavia dipengaruhi unsur-unsur sebagai berikut : A. 1. Mobilitas Kapal dan Perahu Bukan tanpa alasan perjalanan kapal memperlihatkan sektor utama perjalanan kapal menuju pelabuhan Batavia, Cirebon, Semarang, Gresik dan Surabaya di sebutkan perjalanan kapal di Jawa. Antara 60%-90% yang pindah di pelabuhan di kota-kota besar di Jawa. Maluku menghasilkan pelayaran utama sesudah Batavia. Sama seperti capaiannya di Jawa Barat dengan Sumatra Barat. Pelabuhan Batavia sendiri membuktikan kapal-kapal yang menuju di Pulau Jawa sampai ke Sulawesi, melewati perairan di Nusa Tenggara dan Kalimantan.26 Bagaimanapun karena Kalimantan dan Nusa Tenggara relatif memiliki hubungan dagang keluar pulau, hal ini juga dibangun baik dari hubungan dagangan antara Gresik dan Surabaya. Cirebon, Semarang, Gresik dan Surabaya dilihat baik dengan hubungannya dengan jalur Malaka. Dilain pihak ini seharusnya pelabuhan utama di Batavia juga mempunyai hubungan lain dengan Asia Tenggara, sebagai contoh dengan Siam dan hubungan dagang dengan Cina dan India.
26
lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 48
86
Kebijakan VOC kurang lebih menjamin orang asing yang berasal dari Eropa dari bagian Timur kepulauan dari luar Jawa Batavia. Meskipun Cina bermain tidak mempunyai hubungan dengan India, pelayaran negara Inggris mempunyai hubungan dengan orang-orang Eropa. Mereka mempunyai harapan pelayaran negara sampai di Batavia umumnya tidak melintasi jalur dari India ke Cina, ini memperlihatkan perdagangan khususnya di India sampai Asia Tenggara. Mereka yang berjualan dan membeli souvenir ditempat seperti Riau, Aceh atau Burma. Hubungan individual sangat penting dilakukan untuk berdagang dalam aktivitas perdagangan Eropa, Madras, dan Bombay. Hal ini masuk dalam hitungannya 1 kapal sampai setengah isi muatan barang dagangan di atas kapal; 1 kapal sampai 6 kapal yang terus bergerak untuk pindah. Bagaimanapun mempunyai hubungan secara individual dengan VOC. Meninggalkan garis hidup yang amat penting sebagai hubungan kerjasama. Dilain pihak VOC sangat aktif di Jawa, keduanya menghasilkan untuk pasar Eropa yang sama baiknya kapal, beras, dan kayu untuk disimpan di Asia. Jalur penting lainnya, melalui ekspedisi ke Maluku dan India termasuk Ceylon.27 Total VOC yang memiliki hubungan langsung dengan Jawa; 1 sampai 3 kali memiliki hubungan dagang langsung dengan Jawa Barat, 1 sampai 3 kali memiliki hubungan dagang langsung dengan Pulau Jawa, termasuk Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perjalanan di propinsi tersebut dan di Batavia pergi ke lepas pantai menuju tengah lautan hingga diluruskan ke Semarang, sebagai sebuah kota
27
lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 50
87
lokal. Perjalanan ekspedisi VOC di pelabuhan lain, dari provinsi di Jawa Tengah seperti di Semarang, ada hubungan sebagai mitra dagang dengan Batavia dan yang lainnya. Yang disebut di atas adalah pelabuhan kecil seperti Bangkalan, Sumenep, Pasuruan dan Banyuwangi, tidak disebutkan hubungan kerjasama pelayananpelayanan VOC. Di sini di Surabaya dan Gresik menyuplai barang dagangan berukuran kecil. Di Jawa Timur telah memiliki akses yang lebih mantap dengan beberapa kota pelabuhan di Cirebon, Semarang, Gresik dan Surabaya, hal ini juga melibatkan performa pedagang Pribumi, Cina, Melayu yang berasal dari Malaka. Tidak jauh dari ini, bahwa Batavia juga memiliki akses berlayar dan berdagang dengan Malaka, kecenderungan ini juga melibatkan pedagang yang berasal dari Asia Tenggara pada umumnya. Contohnya seperti Siam, yang memiliki koneksi dagang dengan Cina dan India, pada umumnya dalam tahun 1744-1777.28 Tabel 3: Menunjukkan Kedatangan dan Keberangkatan Kapal Per Zone Eksklusif Ekonomi di 15 Pelabuhan, Pada Tahun 1744- 1744 (%).29
Batavia Membagi 3 Kategori, yaitu : 1. VOC. 28
Yang Tidak Diketahui
Jawa
Maluku
Sulawesi
Nusa Tenggara
Kalimantan
Selat Malaka
Sumatra Barat
-
38.1
8.4
1.8
1.4
3.0
6.6
1.8
lihat Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 49 Dalam tabel ini jumlah untuk transportasi pribadi di Batavia diambil dari Dagh-register telah dikoreksi sebagai berikut. Sebagai kapal koneksi Jawa hanya terdaftar di sisi masuk, jumlah mereka telah dua kali lipat untuk mengambil di account bergerak keluar mereka. Sebagai kapal timah dan kertas elit Palembang tidak terdaftar dalam Dagh-register, jumlah rata-rata bergerak per tahun, yang tiba di dengan menggunakan sumber lain, harus ditambahkan ke jumlah total untuk selat Malaka, lihat Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 49 29
88
2. Pihak Bangsa Eropa. 3. Pihak Swasta.
3.0 0.4
60.9
4.4
8.0
4.5 6.6
6.1 6.6
2.3 5.4
4.5 3.3
- Cirebon, Pihak Swasta.
1.0
88.9
-
-
0.1
0.4
9.7
-
- Semarang, Pihak Swasta. - Gresik, Pihak Swasta.
0.1
75.4
-
2.2
0.5
9.2
12.6
-
-
70.7
-
0.2
7.8
11.3
10.0
-
- Surabaya, Pihak Swasta.
0.2
59.7
0.2
1.2
10.0
11.3
17.4
-
Tabel 4: Menunjukkan Kedatangan dan Keberangkatan Kapal Per Zone Eksklusif Ekonomi di Luar Negeri Pada Tahun 1744- 1744 (%).30
Orang Lain Di Luar Kawasan Asia Tenggara
Cina
India
Orang Lain Di Luar Kawasan Asia
Cape Town
Orang Eropa
6.9 1.9
2.2 12.2 1.5
12.6 58.4 0.9
2.2 0.1
0.7 -
21.2 2.3 -
Batavia (Yang Meneruskan Perjalanan ) Membagi 3 Kategori, yaitu : 1. VOC. 2. Orang Asing Berasal Dari Eropa. 3. Pihak Swasta.
Kebijakan VOC lebih atau kurang memastikan bahwa Eropa secara efektif memainkan perniagaan besar di bagian timur Nusantara, serta dari Jawa di luar Batavia. Meskipun Cina memainkan peran yang tidak sedikit dalam kegiatan perniagaan besar, dengan India, melainkan dijadikan rumah pangkalan dari
30
Dalam tabel ini jumlah untuk transportasi pribadi di Batavia diambil dari Dagh-register telah dikoreksi sebagai berikut. Sebagai kapal koneksi Jawa hanya terdaftar di sisi masuk, jumlah mereka telah dua kali lipat untuk mengambil di account bergerak keluar mereka. Sebagai kapal timah dan kertas elit Palembang tidak terdaftar dalam Dagh-register, jumlah rata-rata bergerak per tahun, yang tiba di dengan menggunakan sumber lain, harus ditambahkan ke jumlah total untuk selat Malaka, lihat Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 49
89
pedagang negara Inggris, yang memiliki koneksi lebih dominan bagi orang Eropa. Berbeda dengan apa yang mungkin diharapkan, pedagang tiba di Batavia umumnya sebelum transit melakukan perjalanan dari India ke Cina atau sebaliknya. Tampaknya para pedagang ini sebenarnya khusus berhubungan dagang antara India dengan Asia Tenggara.31 Mereka terlibat langsung menjual dan membeli sebagian besar persediaan barang dagangan mereka di tempat seperti Riau, Aceh, atau Burma. Hubungan individu yang penting bagi pedagang Eropa, Madres dan Bombay. Hal ini diketahui, bahwa dicatat dalam buku harian Belanda (Daghregister),32 selama lebih dari seperempat dan seperenam dari pencatatan pembukuan Belanda. Namun, pencatatan produk perdagangan dicatat yang memiliki keterkaitan dengan VOC melalui kontak pengiriman secara langsung dengan VOC. Tak usah dikatakan bahwa sumber kehidupan dengan Belanda sangatlah makmur dan aktif di sepanjang Pantura, baik untuk mendapatkan produk-produk yang dipasarkan ke Eropa. Serta kapal yang membawa beras dan kayu yang dibutuhkan penduduk Eropa, harus dijaga dengan ketat atas penjagaan aparat ASEAN. Rute pelayaran yang amat penting lainnya adalah mereka ke Maluku dan ke India, termasuk Ceylon.33 Namun hanya 40% dari total VOC hubungan langsung dengan Jawa. Dari hubungan langsung yang bersangkutan berkisar satu-ketiga dengan Jawa Barat dan berkisar dua pertiga dengan provinsi Jawa Timur merupakan jalur perdagangan digaris Pantai Utara Jawa, yang mencakup baik Jawa Tengah dan 31
lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 49 Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 49 33 Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 46 32
90
Jawa Timur. Di provinsi yang terakhir, lalu lintas yang paling menonjol ke daerah Jawa Tengah dan dari Batavia pergi berlayar dengan cara ke Semarang, sebagai ibukota setempat. Lalu lintas VOC di pelabuhan di Semarang menjadi pusat penyuplai produk, meskipun kadang-kadang ada hubungan langsung dengan Batavia atau dengan satu sama lain. Seperti disebutkan sebelumnya, di Jawa Timur sebagian besar pelabuhan yang lebih kecil, seperti Bangkalan, Sumenep, Pasuruan, dan Banyuwangi, tidak masuk dalam jaringan dagang yang dilayani oleh kapal-kapal VOC seperti, Spiegelschepen. Di sini, Surabaya dan tingkat lebih rendah, Gresik berfungsi sebagai pusat pasokan untuk pelabuhan VOC menjadi lebih kecil dan morrisons. Para penguasa pemerintah di Jawa Timur harus memberikan upeti mereka untuk pelabuhan Batavia. Lalu lintas VOC di Jawa Barat, khususnya Banten dan Cirebon, hampir secara eksklusif berorientasi di Batavia.34 Dalam tabel di atas, bahwa 6 sektor swasta dari kapal yang bergerak dari masing-masing 15 pelabuhan juga terlibat langsung dengan VOC. Yang Pindah dari Timur, data memberikan bukti bahwa Banten telah menjadi satelit Batavia. Dalam administrasi Batavia sendiri sebagai mitra dagang dengan Banten dihilangkan, namun Banten memberikan petunjuk sendiri, bahwa administrasi betapa pentingnya sebagai mitra dagang jarak pendek bisa dalam kasus sebuah emporium besar di Batavia. Koneksi lain Batavia yang amat penting adalah Rembang, sebagai pemasok kayu, dengan sekitar 12% dari perjalanan kapal yang membawa kayu ke
34
lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 50
91
pelabuhan Batavia, serta Semarang dengan 12% dan Pekalongan dengan 8%, yang menyediakan padi sebagai suplai ke Batavia dan menjadi produk daerahnya. Kontak utama Cirebon adalah Pekalongan dan Tegal, bertanggung jawab untuk dari 40% lalu lintas Cirebon. 45% dari Kontak untuk berorientasi pada Cirebon. Di Pekalongan bagaimanapun, berbagi kontak dagang dengan Cirebon dikalahkan oleh Semarang, mengambil sekitar sepertiga dari perjalanan kapal yang ingin berangkat berlayar ke Pekalongan. Di Semarang sendiri memberikan gambaran yang jauh lebih bervariasi Berikut ini Sumenep, Rembang, dan Batavia, dengan 12%, 11%, dan 9% yang masing-masing, mempunyai koneksi. Di Jepara, baik Semarang dan Batavia kirakira sama pentingnya dengan sekitar seperenam dari lalu lintas masing-masing. Dalam Juwana koneksi dengan Sumenep dan dengan Rembang absen sepertiga dan satu-keenam, yang sifatnya cepat merespon dalam perjalanan pelayaran ke Rembang. Di Rembang sendiri, Semarang dan Batavia bertanggung jawab atas saham sepertiga dan seperenam. Koneksi Sumenep berada di atas Gresik dan Surabaya dengan 15% dari kapal yang bergerak untuk berlayar.35 Melihat koneksi keluar negeri yang paling menonjol adalah Asia Tenggara, kemungkinan besar di pelabuhan Batavia, secara resmi diizinkan menjadi emporium utama. Batavia adalah kota yang memiliki posisi amat kuat dengan menjalin perniagaan besar dengan beberapa tujuan rute paling jauh, seperti Ambon dan Siam.
35
lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 50
92
Semarang sebagai mitra dagang yang tertarik oleh garam dan beras di Jawa Tengah, produk tersebut tidak mudah melakukan pengiriman ke Batavia. Semua pelabuhan juga memiliki hubungan yang kuat dengan Palembang. Pelabuhan di Sumatera merupakan pasarnya semua pedagang dan menjadi kaya dengan adanya prospek di pelabuhan yang merupakan hasil dari kedua budidaya lada dengan Lampung dan pertambangan timah di Bangka dan Belitung. Bagaimanapun, bahwa tidak semua lalu lintas swasta berjalan mulus dan terikat tempat tertentu sebenarnya mencapai tujuan; dengan kata lain mungkin ada banyak rintangan atau fleksibel dari niat si kapten dalam perjalanan lalu lintas kapal yang diberangkatkan di lepas pantai. Kemungkinan penurunan di rute pelabuhan yang lebih kecil, dan akhirnya memutuskan untuk tidak pergi lebih jauh. Di pelabuhan yang dipertimbangkan, Batavia dikecualikan, bahwa nahkoda benar-benar tiba di tempat yang dirancang, tampaknya telah dilakukan persentase mencapai 66,5% dari rata-rata rute pelayaran menuju pelabuhan. Persentase di Batavia dari kedatangan VOC di Jawa di bawah administrasi, termasuk Banten, yang masih aktif dalam bentuk pengiriman ke luar negeri. Hal ini sebagai bukti tetap lebih benar untuk menyatakan niat mereka. Pada rute perjalanan selanjutnya ke Batavia dan dari Makasar dan Palembang telah dilakukan persentase 90-100% di kedua ujung perjalanan pelayaran dan pengiriman barang dagangan. Jawa-terikat dengan Malaka dalam pelayaran yang memiliki persentase yang sama. Namun, Malaka memiliki hasil lebih buruk sebagai pendatang jauh dari Jawa yang bersangkutan: hanya 68% mencapai dermaga pelabuhan Batavia
93
atau sebaliknya. Ini mungkin konsekuensi dari fakta, bahwa ada beberapa pasar yang cukup kaya di sekitar Malaka, seperti Johor / Riau dan Trengganu. Kapalkapal dari VOC sendiri mencapai tujuan yang direncanakan mereka dalam hampir 100% dari kasus perniagaan.36 Rupanya, nakhoda di atas kapal-kapal besar, yang masih aktif di rute Asia Tenggara, mereka kurang fleksibel tentang perubahan tujuan dari nakhoda kapalkapal kecil di setiap rute perjalanan jarak pendek dan mengangkut lebih pendek. Ini memiliki segalanya aktivitas yang dilakukan dalam skala kegiatan atau investasi perlayaran dan perdagangan. Seorang kapten dari sebuah kapal kecil relatif bebas melakukan perjalanan, sedangkan nakhoda kapal yang lebih besar telah mempertimbangkan kepentingan investor dan / atau kehilangan harapan 'dari VOC.37 Ini nakhoda hanya membutuhkan pelabuhan besarnya tertentu untuk mengubah usaha mereka menjadi perusahaan yang sukses. Oleh karena itu, mereka membuang kargo di pelabuhan kecil di antara adalah alternatif yang kurang menarik. Seperti yang akan kita lihat nanti, elemen lain para nakhoda yang melakukan perjalanan mengikuti angin musim Timur bertiup antara bulan Mei hingga Oktober, sedangkan angin musim Barat bertiup antara bulan Desember hingga Maret. Keteraturan angin musim menyebabkan waktu kedatangan dan keberangkatan kapal-kapal ke dan dari Batavia dapat direncanakan dengan baik. Hampir 60% dari perjalanan lalu lintas lokal, diukur dari aktivitas kapal yang bergerak di pelabuhan Pulau Jawa dengan menggunakan perahu mayang. 36 37
lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 53 lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 53
94
Dari 30% dari total perahu gonting yang telah memainkan peran penting dan juga mengambil rute impor ke Bali, sementara perahu paduwakang juga mencetak gol dengan baik, dengan lebih dari 75% perjalanannya, pada pelayaran ke dan dari Makasar.
Dalam
koneksi
Kalimantan
baik
perahu
gonting
dari
40%
perjalanannya, dan pencalang, lebih dari 25% yang menonjol. Lalu lintas ke dan selat Malaka berhubungan langsung dengan Belanda dan mengontrol saham yang dimiliki dari 43 % dan 28%, masing-masing. Peran brigantijn itu juga agak signifikan dalam rute selat Sunda dan selat Malaka.38 Selain itu berbagai jenis kapal dan perahu yang pernah datang dan singgah di pelabuhan Batavia didapatkan dari berita Belanda dan pahatan-pahatan bangunan-bangunan Belanda dari Abad XVII Masehi. Kapal dagang yang pernah singgah dan tiba di pelabuhan Batavia seperti, kapal dari Eropa seperti kapal layar dari Belanda dan kapal Galleon Inggris. Sedangkan dari berbagai daerah Nusantara banyak yang menggunakan perahu layar karena dapat berlayar dengan cepat dan banyak yang mengangkut barang dagangan. Perahu layar tersebut diantaranya adalah perahu majung, perahu kitir, lanchara (lanchara-perahu dengan satu tiang mempermudah dalam berlayar dan bisa didayung) jung-jung Cina. Selain itu, perahu tersebut juga terdapat kapal perang yang panjang dan dangkal atau pengajava untuk membawa barang dagangan dari selat Sunda ke Malaka. Pada abad XVII Gerrit J. Knaap memberikan informasi yang dapat dipercaya, mengenai nama-nama perahu yang berlayar ke selat Sunda dan
38
lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 53
95
menyusuri perairan Pantai Utara Pulau Jawa. Nama-nama telah memberikan informasi ilmu pengetahuan yang lebih menggenai berbagai jenis perahu yang terdapat di Pulau Jawa contohnya seperti, Conting Java (perahu Conting Java memiliki ukuran bertiang satu dan berukuran kecil), tiang (sejenis perahu besar), gorap (bertiang dua), galjoot (perahu layar berukuran lebih besar dan lebar dan mendatar dengan satu tiang atau dua tiang), perahu gallion merupakan perahu layar dengan tiga atau empat tiang dan geladak tinggi menjulang dan terlihat tiangnya lebih kecil. Gerrit J. Knaap mengungkapkan bahwa jenis kapal yang melewati perairan Pantai Utara Jawa yang dikuasai VOC, hal ini dapat mengindikasikan mengenai beberapa jenis kapal yang melewati rute, sesuai klasifikasinya sebagai berikut: 1. Untuk wilayah Internasional seperti Spigelship (kapal berjenis buritan besar). 2. Untuk wilayah Asia seperti Schepen (kapal kecil), Wangkang. 3. Untuk wilayah antar-Pulau seperti Brigantijn (Brigantine, Chialoup (Shallop), gonting. 4. Untuk wilayah Lokal seperti Pancalang, Cunea dan Mayang.39 Sejalan dengan pendapatnya Gerrit J. Knaap dalam bukunya Shallow waters and tide: Shipping and Trade in Java around 1775, Cina memberikan informasi mengenai kapal-kapal Cina yang datang ke Batavia. kapal-kapal Cina (jung) yang singgah di Batavia umumnya memiliki tiga layar dengan berbagai
39
lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 66 dan 67
96
jenis ukuran, dari 200 ton sampai 800 ton. Terbuat dari kayu dan dipersenjatai dengan lengkap, untuk mengantisipasi jika ada perlawanan dari pihak asing. Van Leur menceritakan mengenai pasokan komoditas dari Cina, bahwa armada dagang Cina di Batavia pada tahun 1625 mempunyai tonase seluruhnya lebih besar dari tonase seluruh armada Belanda.40 Sementara itu, berdasarkan cerita dari Inggris dapat diketahui nama-nama kapal yang berlabuh di Batavia pada saat melakukan penyerangan terhadap Jayakarta adalah kapal-kapal Inggris di antaranya kapal Globe, Samson, Thomas, Unicorne, Rose, Black Lio, James Royall, de Hont Britten dan kapal Peppercorne. Sedangkan kapal-kapal Belanda antara lain „t van Amsterdam, Golden Lion, Devil of Delft, Moone, Clove, Sunne, dan Bergeboat.41 Untuk dua abad ini menjadi perhatian di sini, lebih tepatnya antara pada tahun 1602 dan 1795, jumlah kapal yang meninggalkan Negeri Belanda menuju ke Asia Tenggara diperkirakan mencapai 4.694 buah kapal, dan kapal yang kembali ke Tanah air mereka mencapai 3.289 buah kapal. Untuk setiap kali perjalanan terdapat petunjuk fluktuasi perdagangan dan intensitas hubungan antara Eropa dengan Asia. dari perbedaan yang mendasar di antara kedua angka yang di sebut di atas untuk sebagaian besar disebabkan sejumlah kapal yang datang dari Eropa menetap di perairan Asia dalam rangka perdagangan antarHindia. Jumlah kapal yang berangkat dan pulang ke Belanda, dapat diperoleh dari ilustrasi di atas. Di sepanjang abad XVII, jumlah keberangkatan terus meningkat 40
Lihat J. C. Van Leur, Indonesian Trade And Society ; Essay in Asian and Economic History, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hal. 113 41 Taufik Ahmad, op. cit., hal. 8
97
dari 76 (antara 1602 dan 1610) menjadi 205 (antara 1650 dan 1660); angka ini terus bertahan di atas 200 dasawarsa sampai akhir abad XVII, lalu kemudian naik pada paruh pertama abad XVIII, dengan maximum mencapai 382 kebarangkatan pada tahun1720-1730. Hal ini cukup menunjukkan kesulitan yang dialami VOC dalam bidang ekonomi maupun politik dari jumlah perjalanan; pada tahun 17801790 yang merupakan masa perang laut, angka masih menunjukkan 276 keberangkatan dan 195 kepulangan. Yang lebih menarik lagi adalah penumpang yang berangkat ke Belanda atau yang naik kembali ke kapal di Batavia. Dengan cara demikianlah kita tahu bahwa dalam anggaran 1669/1670 (dari Juni sampai Mei), dari 31 buah kapal yang tiba di Asia (29 di Batavia), 19 di antaranya berangkat pulang (17 dari Batavia), bahwa seluruhnya ada 4.324 orang yang berangkat ke Tanjung Harapan atau lebih jauh, dan bahwa 1.700 orang berangkat kembali ke Batavia (dan Ceylon). 24 buah kapal yang berangkat, Bruijn dan Schoffer berhasil memberi angka yang lebih lagi:42 kapal-kapal itu membawa 2.356 orang pelaut, 1.497 orang tentara, dan 53 orang penumpang; 386 orang yang meninggal dalam perjalanan, 205 turun di Tanjung Harapan, tetapi mereka digantikan oleh 143 orang yang naik di tempat itu dan akhirnya ke-24 kapal itu mencapai Asia Tenggara dengan 3.463 orang penumpang. Selain itu, dalam catatan Daghregister mengenai penduduk Batavia mencapai 27.068 orang pada tahun 1674, terdapat orang Eropa sejumlah 2.024
42
Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu, Bagian I: BatasBatas Pembaratan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 66 dan 67
98
orang atau kurang dari sepersepuluhnya. Pada akhir 1681 penduduk Batavia berubah menjadi 30.598 orang, hanya 2.188 orang Eropa.43 A. 1. 1 Kapal dan Tonase Tonase kapal-kapal Cina selatan telah ditunjukkan. Secara eksklusif dari perdagangan di Manila, ada lima belas jung rata-rata 600 ton, atau total 9000 ton. Pengiriman dari Siam dapat diatur di sekitar 3 sampai 4000 ton, yang sisanya dari Bapa India sejumlah 4.000 ton. Jika ukuran jung Cina diperkirakan rata-rata 600 ton, kapal yang berasal dari Siam dapat memasok 500 ton, kapal-kapal dari Tonkin, Annam, Kamboja, kapal-kapal India di dua ratus, dan jung Indonesia di 101 ton, itu berarti bahwa ada 15 kapal yang terlibat dalam perdagangan laut yang terjadi di Nusantara dari Cina, 8 dari Siam, 10 dari sisa Bapa India, masing-masing 50 dari India Coromandel dan Barat laut, lima belas di Achin, 20 kapal dari Pegu dan Arakan, sedangkan perdagangan antar-Asia di kepulauan Nusantara dilakukan pada dengan lima ratus kapal berukuran sedang. Selain bahwa ada 25 jung besar untuk dihitung untuk perdagangan jepang, dan untuk perdagangan dari Jepang sekitar 30.44 Mari kita mempertimbangkan pergerakan kapal di Batavia. Daghmendaftar untuk 1636, misalnya, memberikan angka-angka berikut pada kapal tiba. (Ini harus diingat bahwa setiap kapal tiba di Batavia, sebagai kantor pelabuhan-pajak, tercatat, sampai ke perahu bercadik berukuran kecil dan lima
43
Lihat Denys Lombard, op. cit, hal. 66 dan 67 Lihat J. C. Van Leur, Indonesian Trade And Society ; Essay in Asian and Economic History, Cet ke-2, (Bandung: Sumur Bandung, 1955), hal. 213 44
99
perahu, kapal-kapal kecil yang tidak memiliki muatan lebih banyak dari lima atau enam telah dihilangkan di sini.45 I. Dari tempat lain di Jakarta Charingin..........................1 Batang...............................3 Bantam.............................61 Kaliwungu........................1 Kerawang.........................1 Demak..............................5 Indramayu........................3 Jepara...............................36 Cirebon............................9 Lasem...............................2 Losari...............................6 Jaratan..............................19 Tegal...............................19 Surabaya...........................15 Pekalongan.....................14 . Gresik...............................15 II Dari Sumatera dan sekitarnya Lampung.........................6 Bangka .............................2 Palembang......................5 Bengkalis........................2 Indragiri..........................5 Pesisir Barat.....................10 III Dari Kalimantan Sukadana........................2 Martapura.......................3 Kota Waringin ................2 di tempat lain.....................2 IV Dari Kepulauan Sunda Kecil Bima...............................3 Bali.................................1 Lombok..........................1 V Dari luar Indonesia (junks, wangkangs, dan balangs) Patani.............................1 Annam..............................1 Kamboja........................2 Formosa............................1 Cina...............................6 Hal ini dapat diasumsikan bahwa kapal-kapal dagang di Batavia dan Jawa, atau setidaknya mereka dari Jepara dan pelabuhan yang saling berdekatan,. Mungkin telah membuat dua perjalanan per tahun, dan kapal dari Banten, dengan pertimbangan dengan faktanya melakukan 3 perjalanan pelayaran. Selanjutnya, dalam pertimbangan fakta yang jumlahnya amat besar dengan poros kecil, perahu ini juga sebagai pemasok ke pasar Batavia dengan sayuran, rotan, arang, dan 45
Lihat J. C. Van Leur, op. cit, hal. 213
100
sebagainya, data ini dapat diasumsikan bahwa hanya setengah dari kapal laut yang diluruskan sesuai rute pelayaran. Jika tunjangan ini telah dibuat, maka hal ini dapat ditemukan ada 72 kapal ke Jawa dan juga terlibat langsung dalam pengiriman ke Batavia, serta 44 kapal besar dan kecil dari seluruh Nusantara dan 11 kapal besar dan kecil dari yang berasal dari negara Asia lainnya. Dalam bentuk susunan yang dibuat seperti memeriksa baik dengan perkiraan yang diberikan di atas, dan pada saat yang sama dari ilustrasi dari fakta bahwa Belanda, Batavia tidak berkembang ke titik alami untuk Nusantara dan Asia sebagai tempat pengiriman dari Portugis di Malaka. A. 1. 2. Kapal dan Perahu yang Pindah dengan Membawa Isi Muatan Barang Dagangan Sumber tidak menyediakan informasi yang lebih, tentang nomer kapal dan perahu yang pindah dengan membawa isi muatan barang dagangan dari sebuah kapal lainnya. Sebagai konsekuensi kami melayani dan membuat Tabel dan melakukan dengan data di dalam tabel, sesuai data tahun 1744 sampai 1777 dan hasil ringkasannya di bawah ini. Tabel 5: Menunjukkan Nomer Kapal Yang Pindah dari 15 pelabuhan dalam kurun waktu 1744 sampai 1777.46 Orang Eropa
VOC
Total
Banyuwangi
Di Bawah Pengawasan VOC 163
-
?
>163
Pasuruan Sumenep Bangkalan Surabaya
144 790 529 941
-
? ? ? >10
>144 >790 >529 >951
46
Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., hal. 45
101
Gresik Rembang Juwana Jepara Semarang Pekalongan Tegal Cirebon Batavia Banten
959 985 859 139 1.681 595 343 671 >1,487 825
44 -
>11 18 15 13 63 9 10 9 186 13
>970 1.003 874 152 1,744 604 353 680 >1,717 839
Melihat total nomer kapal yang pindah disetiap pelabuhan akan terlihat bahwa Semarang lebih sibuk dari Batavia. Bagaimanapun dari hitungan bahwa kami tidak mempunyai jumlah untuk hubungan Batavia dengan Kerawang dan untuk sedikit lokasi lain di sekitarnya, kami boleh menggambarkan kesimpulan bahwa Batavia sama sedikit sibuknya dengan Semarang, mungkin sama sibuknya. Rembang terlihat menjadi pelabuhan tersibuk ketiga meninggalkan dibelakang tempat lain seperti Gresik dan Surabaya. Umumnya, kolom di atas memperlihatkan kapal dagang sedang berlabuh atau kurangnya sejajar dengan keberangkatan kapal dari total nomer kapal yang pindah dari pelabuhan. Karena mengalami ketakutan atas penjagaan yang dilakukan dari VOC, maka VOC membolehkan monopoli perdagangan. Batavia hanya sebagai pelabuhan utama, yang membolehkan kapal Eropa masuk di dermaga pelabuhan Batavia. Jika kapal ini menginginkan untuk masuk ke kota pelabuhan lain di Pulau Jawa, maka mereka berprinsip untuk menolak akses jalan ke kota pelabuhan. Hal ini sama bahayanya, dengan kesulitan untuk mengambil air minum di luar Batavia. 80% kapal Eropa asing berlayar di bawah bendera Inggris, 15 % di
102
bawah bendera Portugis dan 5 % di bawah Spanyol. 1 sampai 50 kapal dari kapal Inggris pindah tempat. Terkait dengan perusahaan dagang Inggris (EIC), sisa pedagang lainnya berasal dari India.47 Nomer keberangkatan kapal, dari kapal yang pindah di bawah perlindungan VOC yang juga memperlihatkan dengan tegas, bahwa Batavia dengan sungguh-sungguh bekerjasama dalam hal perniagaan besar di Pulau Jawa. Semarang ketinggalan jarak jauh di bawah tempat kedua, sedangkan pelabuhan lain tercatat hanya pindah sedikit setiap tahunnya. Tabel 6: Perkiraan Isi Tonase Dari Total Jumlah Kapal yang Kedatangan dan Keberangkatan Di 15 Pelabuhan.48
Banyuwangi Pasuruan Sumenep Bangkalan Surabaya Gresik Rembang Juwana Jepara Semarang Pekalongan Tegal Cirebon Batavia Banten
Bukan VOC 800 900 6.500 3.300 11.700 11.600 10.600 8.000 3.000 25.000 5.200 2.300 7.300 > 48.400 5.400
VOC 300 300 300 300 6,200 6.300 8.600 7.200 6.500 28.900 4.400 4.900 3.100 79.000 4.300
Total 1.100 1.200 6.800 3.600 17.900 17.900 19.400 15.200 9.500 54.400 9.600 7.200 10.400 >127.400 9.700
% VOC 27 25 4 9 35 35 44 47 68 53 46 68 30 62 44
Jika kami lihat total isi kapal di Tabel 6, sedikit berbeda dari Tabel 5 yang dihasilkan oleh kapal yang pindah, dengan Batavia melebihi Semarang di bawah Surabaya, Gresik, dan Rembang. Di Batavia sangat jarang dimasuki kapal dari
47 48
lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 46
103
jumlah 1 kapal sampai 50 kapal yang isinya bukan kapal milik dari VOC adalah ditempati oleh kapal asing dari Eropa. Keadaan Batavia dan Semarang, sampai kelihatan kategori bukan VOC, hal ini mendorong dasar kepemilikan kapal VOC. Di sektor kapal bukan pengawasan VOC, Batavia bertanggung jawab antara 1 kapal sampai 3 perjalanan pelayaran menyusuri Pantai Utara Pulau Jawa di 15 pelabuhan, sedangkan di sektor VOC, antara 1 kapal sampai ½ perjalanan yang membawa isi barang dagangan. Di dalam tabel 3 menjadi terlihat yang kian berbeda antara pelabuhan dari rata-rata isi kapalnya pindah disektor utama antara 5 kapal sampai 25 kapal. Nilai tertinggi tersebut merupakan perjalanan pelayaran mencapai 21 kapal sampai 27 kapal, untuk masuk ke Batavia, lalu hingga kapal keluar membawa tonase barang dagangan sebagai mitra dagang dengan Asia dan Jepara. Penjelasan ini memiliki nilai rata-rata tinggi dari Jepara, ini merupakan rute pelayaran Batavia yang amat penting. Di pelabuhan Batavia rata-rata dari kapal yang bergerak ke Eropa kurang lebih 175 kapal dan membawa barang muatan. Ketika kapal untuk pindah dari VOC, maka hal ini mengalami kesulitan untuk berhubungan melalui informasi yang kurang dari pihak VOC. Bagian informasi ini juga masih aktif yang disebutkan sebagai hubungan wilayah lokal antar-pulau. Hal ini memungkinkan, 300 kapal tiap rata-ratanya sampai dengan 400 kapal yang sudah memiliki akses dengan 15 pelabuhan terbesar di Pulau Jawa. Dalam kurun waktu 1774 sampai tahun 1777, yang disebut VOC „eropa‟, dari 600 kapal yang minggu lalu melakukan perjalanan pelayaran di
104
Batavia. Hanya beberapa minggu di Batavia, Belanda melakukan ekspedisi menuju Canton di Cina. Isi kapal VOC di 15 pelabuhan diperkirakan mencapai sejumlah 160.100 kapal dengan total isi tonase 311.300 ton lebih, atau 52%. Ada variasi dari pelabuhan ke pelabuhan lain, tetapi antara 25% dan 60% kecuali jalan pelayaran ke Sumenep dan Bangkalan, dimana VOC diperkirakan menjadi yang tak berarti, alasannya jalan lokal mengharuskan untuk membawa rombongan ke Gresik di bawah suplai untuk VOC di atas pulau. Dilain pihak ada 3 pelabuhan yang mana mempunyai 60 % ditingkat Batavia, yaitu Tegal, dan Jepara. Untuk Batavia ditemukan fungsi setengah pelabuhan dari Belanda ini terlihat sangat alami. Jepara dan Tegal melanjutkan perjalanan perlayaran sebagai mitra dagang dengan pelabuhan ke pihak VOC. Selama 17 tahun lamanya VOC tinggal di 15 pelabuhan, sesudah tahun 1680 meninggalkan posisi Semarang. VOC bagaimanapun meninggalkan ketertarikkan perjalanan pelayaran untuk wilayah lokal seperti di Jepara. Pihak VOC, menginginkan pasokan kayu jati dari Jepara sebagai mitra dagang dengan Batavia. A. 2. Perdagangan Batavia dari Darat hingga Laut Perdagangan maritim Batavia dari darat hingga laut diupayakan oleh Belanda. Seringkali dapat dijadikan pijakan oleh para pedagang pribumi seperti Banten, Demak, Tuban dan lain sebagainya.49 Mereka bertemu di daratan Batavia dengan menggunakan kereta kecil yang terbuat dari kayu yang didorong oleh pihak yang menolongnya. Selain itu, dapat juga dengan berjalan kaki dengan
49
Adolf Heuken SJ, op. cit., hal 18 dan hal 22
105
menempuh jarak yang begitu jauh sambil meminggul beban berat dipundaknya disebelah kiri dan kanan hingga terasa lelah karena membawa hasil agraris untuk diperdagangkan di perairan Batavia. Hal ini diupayakan oleh pedagang-pedagang kecil guna menyusuri Sungai Ciliwung dan kanal kecil ataupun kanal besar (kali besar) yang dibuat oleh Belanda untuk memudahkan transaksi perdagangan yang bercorak maritim dari daratan hingga ke seberang lautan. Keberadaan kanal kecil dan kanal besar tersebut dimanfaatkan sebagai awal pedagang melakukan transaksi barter sebagai bentuk penyaluran barang dagangan ke arah pasar, ataupun sebagai bentuk transaksi dengan pedagang-pedagang ke daerah pedalaman. Bahkan kadangkadang langsung dengan nelayan. Di antara barang-barang yang dibawa dari Muara Angke (Jakarta Utara) dan diteruskan ke Perairan Batavia, adalah barangbarang porselin dan teh milik orang Cina yang akan diperjual-belikan di tempat tersebut.50 Sebaliknya barang-barang dagangan yang baru saja tiba di Perairan Batavia dan sekitarnya terutama karena mengandalkan kinerja masyarakat pribumi dan melayu yang hidup di sekitar perairan Batavia. Semenjak tampilnya Batavia di dunia perdagangan maritim, besar kemungkinan Batavia tidak berdiri sendiri dan berkomunikasi baik akan tetapi dibantu oleh VOC dan didukung oleh 13 Pelabuhan utama seperti Cirebon, Semarang, Demak, Rembang, Tuban, Pasuruan, Gresik, Surabaya, Probolinggo, Panarukan, Pamekasan dan Buleleng yang akan menuju ke arah pintu gerbang perairan Batavia. VOC telah memainkan peranan penting di Batavia dalam
50
Adolf Heuken SJ, op. cit., hal 8 dan hal 10
106
transaksi perdagangan yang bercorak maritim baik yang meliputi hasil agraris maupun hasil laut yang akan dipasarkan ke Batavia.51 Di samping itu terdapat beberapa jumlah pelabuhan lain yang hanya sebagai pendukung dan memasok kebutuhan hasil bumi, beras, emas, dan lain sebagainya. Dalam transportasinya masih menggunakan perahu-perahu dagang ataupun kapal dagang yang berlayar dan berdagang ke arah Banten, Rembang, Gresik dan Surabaya untuk menyuplai barang dagangan ke tempat yang di tuju yaitu Batavia.52 Nelayan juga mendukung kelancaran dan memakai sarana penunjang semisal sarana transportasi ke arah pedalaman, melewati tepian sungai yang dilayari kapal dagang dan perahu dagang guna menyusuri Sungai Ciliwung, terkadang terdengar bahwa orang dari Sumatra dan Bugis ikut memperlancar sarana perdagangan maritim. Sebagian lagi bersandar di tepi Pantai Batavia atau untuk melakukan transaksi perdagangan maritim dengan Pribumi, Melayu, Malaka, India, dan berbagai pedagang asing hingga banyak berdatangan ke Batavia.53 Mereka membawa barang-barang dagangan yang dapat ditukarkan dengan para pedagang di sekitar Pantai Batavia yang diikuti oleh kapal-kapal dagang milik Belanda untuk menukar muatan dengan barang dagangan lainnya. Ini menjadi keuntungan tersendiri bagi arus tukar-menukar barang dagangan dengan pegawai Belanda dan armada dagang Belanda dan kegiatan perdagangan maritim
51
Lihat D. Maclntyre, Sea Power in the Pacific: A History from the Sixteenth Century to the Present Day ( London: Baker, 1972), 1-48 52 Angka-angka ini diambil dari J. R Bruijn, F. S Gaatra, dan I Schoffer (ed), Dutch Asiatic Shipping in the 17 th en 18 th Centuries, Rijks Geschiedkundige Publicatien, Groote Serie 165-167 (3 Jilid; Den Haag, 1979 en 1987) (tentang perdagangan maritim) 53 Lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 120-121
107
Batavia dapat dilanjutkan ke wilayah pedalaman. dengan adanya kanal-kanal kecil melewati Sungai Ciliwung, yang dilakukan pada musim panas dan musim gugur. Transaksi perdagangan libur pada akhir Desember dan dilanjutkan pada bulan Januari dan Februari untuk melewati Perairan Batavia.54 A. 3. Peranan Sungai Ciliwung bagi Pelabuhan Batavia Begitu pentingnya arti hubungan perdagangan maritim melewati sungai, sehingga para penguasa wilayah selalu berusaha untuk mengontrol seluruh hubungan sungai yang ada di dalam wilayah kekuasaan mereka untuk mengimplementasikan hegemoninya atas politik pantai. Meskipun demikian, tidak mudah untuk melakukan kontrol ekonomi secara langsung terhadap masyarakat yang bermukim di hulu sungai dan para pendatang di pantai. Oleh karena itu, penguasa wilayah mengandalkan kekuatan fisik maupun pembentukan transaksi perdagangan maritim yang beraliansi untuk menguasai daerah pedalaman. Sejalan dengan pendapat Adolf SJ Heuken, masyarakat pribumi dan Melayu Batavia pada abad XVII pada umumnya memang terkonsentrasi di muara Sungai Ciliwung atau di wilayah pertemuan sungai dengan perairan Batavia. Sungai merupakan bagian tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat di wilayah ini. Sebagian besar sungai di Batavia dapat dilayari dan salah satu sungai terpanjang dan terbesar adalah Sungai Ciliwung yang menjadi tempat bermuaranya beberapa sungai utama di Batavia. Sungai tersebut beserta seluruh
54
Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 121 dan Lihat ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 35
108
anak sungainya menjadi faktor utama dalam hubungan dagang yang bercorak maritim.55 Ditambahkan lagi fungsi dan peranan sungai sebagai salah satu hubungan yang memiliki urat nadi ekonomi masyarakat karena sebagian besar aktivitas ekonomi kemaritiman mereka dilakukan di atas sungai. Hubungan daerah di wilayah pedalaman Batavia dilakukan lewat Sungai Ciliwung sehingga sungai menjadi andalan bagi kelancaran distribusi barang-barang dagangan dari wilayah hulu ke wilayah hilir dan sebaliknya. Berbagai jenis hasil bumi yang melimpah di daerah pedalaman Batavia seperti kayu, karet, getah perca, rotan, damar, lada, sarang burung, bahan anyaman, ikan kering/asin, dendeng rusa, buah-buahan, dan lain-lain diangkut ke tempat pengumpulan yang melalui Sungai Ciliwung. Sebaliknya, berbagai kepentingan barang-barang kebutuhan sehari-hari masyarakat Batavia seperti beras, gula, garam, tepung, jagung, minyak kelapa, tembakau, gambir, gerabah dan alat-alat rumah tangga, serta bahan pakaian. Juga diangkut dari perairan Batavia ke berbagai daerah di wilayah pedalaman melalui hubungan sungai ini.56 Peranan penting Sungai Ciliwung sebagai urat nadi ekonomi, khususnya perdagangan maritim, di wilayah Batavia menjadi bagian dari aktivitas berlayar di sungai yang tidak dapat dipisahkan dari peran sungai sebagai jalan perdagangan. Berbagai jenis sarana transportasi sungai digunakan untuk mengangkut barang dagangan pada abad XVII, yang telah menunjukkan kemampuannya dalam melayari jalur-jalur sungai yang ada, untuk menjangkau pusat-pusat produksi 55 56
Adolf Heuken SJ, op. cit., hal 18 dan hal 22 Anthony Reid, op. cit., hal. 33-35
109
ekspor yang berada jauh di pedalaman dan mendistribusikan barang-barang impor ke wilayah tersebut. Jaringan sungai dan aktivitas berlayar dan berdagang di atasnya telah menjadi satu kesatuan dan merupakan pendukung utama bagi lalu lintas perdagangan maritim di tingkat masyarakat dalam negeri dan luar negeri.57 Mengingat pada waktu itu belum banyak dibuat jalan darat maka hubungan antar-sungai merupakan sarana transportasi dan komunikasi utama bagi kantongkantong yang bermukim di tepian Sungai Ciliwung sampai ke arah Pantai Batavia untuk melakukan aktivitas perdagangan dengan pihak masyarakat.58 Berlayar dan berdagang menyusuri Sungai Ciliwung mempunyai peran penting dalam pengangkutan barang dagangan bagi masyarakat sekitarnya. Hasil agraris dan hasil hutan merupakan salah satu komoditas utama yang diangkut melalui pelayaran sungai. Sebagai contoh, komoditas lada diangkut dari daerah negara lain, sebagai penyuplai produsen lada ke daerah hilir atau ke Pelabuhan Batavia. Di tempat itu para pedagang dari berbagai daerah dan negara seperti pedagang Cina, Inggris, Belanda, dan pedagang Melayu sudah menunggu untuk membeli komoditas tersebut. Namun adakalanya para pedagang tersebut, terutama pedagang Cina dan Melayu sudah terlebih dahulu membawa perahu dagang mereka masuk ke pedalaman untuk membeli langsung komoditas dagang yang mereka butuhkan.59 Di sepanjang aliran Sungai Ciliwung banyak dijumpai hutan lebat dengan berbagai jenis pohon. Oleh karena itu, sepanjang daerah itu kaya akan hasil kayu.
57
F. De Haan, op. cit., hal. 10-37 F. De Haan, op. cit., hal. 10 59 Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, peneliti, pada tanggal 24 Mei 2011 digedung Arsip Nasional Republik Indonesia. 58
110
Kayu-kayu yang telah ditebang biasanya dihanyutkan ke arah hilir melalui sungai, dengan cara dirangkai seperti sebuah rakit. Kayu-kayu itu selanjutnya, dimuat ke kapal-kapal yang akan membawanya ke Jawa atau daerah lain yang membutuhkannya. Selain kayu, hutan-hutan di sepanjang aliran Sungai Ciliwung juga kaya akan pohon karet yang getahnya laku di pasar Nusantara. Pohon karet boleh disadap secara bebas dan hasilnya yang berupa getah biasanya diangkut ke tepian Sungai Ciliwung oleh para pencari getah karet. Pengangkutan getah dari hutan ke tepi sungai dilakukan dengan berjalan kaki. Selanjutnya, hasil hutan tersebut diangkut ke Pelabuhan Batavia untuk dimasukkan ke atas kapal untuk diberangkatkan ke berbagai daerah yang membutuhkannya. Komoditas lada, banyak diangkut dari wilayah hulu Sungai dan daerah pedalaman di sekitar Sungai Ciliwung yang akan menuju ke Batavia. Namun pada saat terjadi kenaikan harga lada di pasaran, biasanya para pedagang (Melayu, Cina dan Eropa) berlomba-lomba untuk mendatangi daerah produsen agar bisa langsung membeli lada. Oleh karena itu, kondisi sungai di daerah yang dekat dengan hulu mulai sulit untuk dilayari sehingga dibuatlah terusan-terusan (handil) untuk membawa lada ke tepi sungai yang dapat dilayari perahu atau kapal kecil. Dari sungai-sungai itu kemudian hasil karet diangkut ke Pelabuhan Batavia.60 Berlayar dan berdagang merupakan unsur kehidupan sehari-hari, seringkali pedagang menyusuri Sungai Ciliwung ke Batavia untuk berdagang. Pada pertengahan abad XVII memegang peranan yang penting, karena pengangkutan darat masih terbatas. Lalu lintas di Sungai Ciliwung Batavia diramaikan dengan 60
Adolf Heuken SJ, op. cit., hal 18 dan hal 22 dan lihat Makalah Didik Pradjoko, „‟Pokok-pokok Kajian Peradaban Masyarakat dan Sejarah Kebudayaan Indonesia‟‟, sebagai Bahan Perkuliahan Etnografi Indonesia, hal 6
111
pelayaran penduduk Batavia dan pribumi yang mengangkut komoditas perdagangan dari daerah pedalaman dengan perahu dan kapal. Para pedagang Pribumi dan Melayu juga senantiasa ikut berlayar ke arah Sungai Ciliwung menuju ke pedalaman dengan menggunakan kapal-kapal dagang berukuran kecil, sedang, hingga besar guna membeli komoditas perdagangan langsung dari daerah produsen. Pada waktu itu, para pedagang Pribumi dan Melayu yang memegang peranan penting dalam perdagangan Sungai Ciliwung dapat dikatakan memonopoli perdagangan dari sarana angkutan Sungai Ciliwung. Sejak abad XVII, lalu lintas orang berlayar dan berdagang untuk menyusuri Sungai Ciliwung selalu diramaikan dengan kehadiran kapal dagang
yang
menyusuri ruote Batavia sampai Kepulauan Seribu setiap dua minggu sekali. Sejak saat itu kapal-kapal asing mulai melakukan kontrol secara langsung terhadap daerah-daerah penghasil komoditas dagang yang selama ini berada di bawah kekuasaan para saudagar/pedagang besar yang kebanyakan berasal dari keluarga Belanda.61 Menurut Adolf Heuken SJ, bagi daerah-daerah yang termasuk dalam kategori dunia perdagangan dengan sejumlah kapal besar dan perahu dagang yang menyusuri Sungai Ciliwung yang mengalir dari pedalaman hingga ke arah pesisir, adalah sangat penting pula untuk menegakkan hegemoni secara parsial melalui pemerintah Batavia atas pesisir Pantai dan muara sungai karena tidak mungkin untuk mengontrol arus kesibukan transaksi perdagangan melalu Sungai
61
Lihat Fe de Haan, op. cit., hal 10-15
112
Ciliwung.62 Dengan pengontrolan terhadap muara sungai, sangat dimungkinkan untuk dapat mempengaruhi pergerakan naik turunnya sebuah sistem sungai. Seorang penguasa muara sungai dapat menggunakan kontrolnya terhadap hubungan komunikasi sungai untuk membentuk berbagai aliansi dengan kelompok-kelompok yang berada di hulu sungai. Seorang penguasa yang efektif tentu juga menaruh perhatian kepada aktivitas ekonomi wilayah kekuasaannya. Sumber ekonomi negara sangatlah penting untuk mengelola kekuasaan. Sebuah hubungan aliansi dengan kelompokkelompok penduduk dan anggota masyarkat Batavia di daerah pedalaman akan menghasilkan aliran barang-barang dari pedalaman ke Pelabuhan Batavia. Perdagangan maritim seperti itulah yang terjadi pada VOC, sehingga Batavia dapat tumbuh menjadi lebih besar lagi dan menjadi yang lebih kuat dengan baik secara ekonomi ke penjuru dunia. A. 4. Perdagangan Asing Perdagangan Asing yang berada di Batavia dapat dikategorikan meliputi; Barang produksi asing yang diperjualbelikan oleh pedagang dalam negeri yang berlayar dan berdagang secara lebih khusus melewati laut, ke arah negeri tetangganya misalnya: di Semenanjung Malaka sampai diluruskan ke arah yang di tuju yaitu Selat Sunda.63 Para pedagang sedikit banyaknya mengalami beberapa kesulitan atau mengalami ketersendatan dalam perdagangan maritim, akibat prilaku Belanda yang tidak memihak pedagang kecil di Batavia. Selain itu, berbagai pajak terlalu 62 63
Adolf Heuken SJ, op. cit., , hal 18 dan hal 22 Lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal. 12
113
tinggi zaman Belanda dan adanya pinalti ataupun hukuman yang setimpal bagi yang melanggar dalam perdagangan yang sifatnya maritim. Hal tersebut bisa dikatakan bagi mereka yang melanggar aturan dari pihak Belanda atas hendak memonopoli barang dagangan, agar mereka tidak terganggu, sampai melakukan transaksi barang dagangan baik secara barter ataupun dilakukan transaksi secara langsung dengan menemui pedagang-pedagang di Perairan Batavia. Hal ini akan menjadi lebih aman dan terkendali atas penjagaan yang sangat ketat dari armada dagang Belanda di Batavia. Berpengaruhnya terhadap beberapa komoditas barang dagangan, Penjualan kayu, yang banyak dihasilkan di dalam Pulau Onrust yang memiliki bahan baku untuk pembuatan kapal masa lalu. Jika larangan pengadaan kayu belum ada, banyak pembuatan kapal-kapal yang mereka buat untuk merakit kapal dan sedikit banyaknya untuk memperbaiki kapal. Di sepanjang Pelabuhan Batavia atas perdagangan maritim yang harganya cukup murah atau lebih mahal. Akan tetapi, yang menarik perhatian para pedagang lokal, juga serta para pedagang-pedagang asing untuk dagang dan bertemu. Ketika pedagang-pedagang itu menjual barang dagangannya, saat itulah lalu-lintas menjadi ramai dan sejumlah para pedagang Melayu dan para pedagang Bugis serta para pedagang asing menempati daerah ini.64 Para Pedagang Melayu dan para pedagang Bugis mempunyai kapal dagang yang memuat barang dagangan yang cukup besar disarankan untuk bersandar pada dermaga pelabuhan Batavia. Mereka jarang juga melakukan bongkar muat 64
Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 125 dan Lihat Makalah Mundardjito di sampaikan dalam Seminar Arkeologi Maritim, Perlunya dalam Pengembangan Kurikulum, Jum'at 15 Februari 2008, hal. 3
114
barang-barang dagangan dari kargo-kargo yang baru tiba dan masuk ke Pelabuhan Batavia. Selain itu sedikit-banyaknya pelaut-pelaut yang pintar dalam memainkan peran yang ada. Peranan pedagang, nahkoda kapal, nelayan seringkali membayar sejumlah uang atau dengan emas sebagai alat barternya untuk memperbaiki kapal dagang yang bermuatan barang dagangan dari sejumlah pedagang pada umumnya. A. 5. Batavia sebagai Pusat Perdagangan Internasional Batavia menjadi pelabuhan yang penting; di sana sebagian besar selama sebagian abad XVII bahkan semua kapal-kapal yang memuat barang-barang dagangan untuk menyuplai barang-barang dagangan yang ingin diangkut oleh kapal-kapal dagang yang baru saja tiba di Pelabuhan Batavia. Kapal-kapal dagang ini berlayar dengan membuang sauhnya untuk melakukan aktivitas maritim ke Eropa. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang Belanda mempunyai koneksi dagang di jalan laut dan perdagangan dengan jarak jauh, hingga tersebar di pospos dagang di Asia dan di Eropa maupun di Afrika Selatan.65 Hingga pertengahan abad XVII hampir seluruh keuntungan VOC berasal dari perdagangan rempah-rempah yang berasal dari Maluku (Cengkeh dan Pala) dan Indonesia bagian barat (lada). Perdagangan rempah-rempah berhasil dikendalikan dengan baik oleh VOC melalui Batavia dengan menyingkirkan secara bertahap kota-kota dagang lain di Nusantara yang menjadi pesaingnya, seperti Malaka (ditaklukkan tahun 1641), Makassar (1666), dan Banten (1684). Sistem perdagangan yang tumbuh dan berkembang dan semakin maju di Batavia pada dasarnya adalah sistem perdagangan distribusi, dalam arti komoditi65
ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 41
115
komoditi dari berbagai penjuru Asia dikumpulkan di kota pelabuhan ini sebelum disebarkan ke wilayah-wilayah yang memiliki potensi pasar sehingga dapat mendatangkan keuntungan besar. Secara garis besar, dimata VOC ada tiga kategori wilayah dimana mereka memiliki kepentingan ekonomi. Pertama: daerah koloni dimana mereka memiliki kekuasaan teritorial seperti di Sri Langka, Malaka, Batavia, dan Maluku. Kedua: daerah dimana mereka mengikat kontrak khusus dengan penguasa setempat sehingga diperbolehkan untuk membuka kantor dagang seperti di Ayuthaya (Siam). Ketiga: daerah dimana mereka harus berdagang dengan pengawasan dan peraturan yang diterapkan oleh penguasa lokal seperti di Nagasaki (Jepang), dan Kanton (Cina).66 Pos dagang Belanda di Gamron (Persia/Iran), sekali-kali berhubungan dagang dengan India, dengan melakukan pengiriman barang-barang dagang melewati jalan darat artinya melalui Timur-Tengah, di samping setelah mendirikan pemukiman di Tanjung Harapan. Sebagai pendukung dua hulu itu untuk menyuplai barang dagangan dari Timur-Tengah harus melewati Tanjung Harapan hingga ke Sri Langka yang terus sambung-menyambung hingga ke tempat yang dituju yaitu Batavia. Batavia telah memainkan peranan penting dalam jalannya pelayaran dan perdagangan dalam jalur Eropa-Asia, maka pos-pos
66
Batavia dalam Jaringan Perdagangan Asia Pada Abad 17 dan 18dalam http://knsix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20Kanumoyoso,%20M.Hu m.pdf (dikunjungi pada tanggal 11 Oktober 2011)
116
dagang yang bersangkutan dan pegawai dari negeri Belanda mengirim laporanlaporan secara langsung di bawah pengawasan Pemerintah Batavia.67 Menurut Hoge Regering dalam penciptaan hubungan langsung itu menyebabkan Batavia tidak dapat lagi memainkan pelayaran dan Perdagangan dengan semestinya. Oleh sebab itu, Batavia sesungguhnya telah memuaskan kepada Hoge Regering pada tahun 1636, namun dengan adanya penghentian pelayaran langsung ke Koromandel, Surat, Gamron, yang telah dimulai sebelum Kota Batavia didirikan.68 Akan tetapi, 30 tahun kemudian Gubernur Jenderal dan Raad van Indie terpaksa meningkatkan status Sri Langka menjadi basis perdagangan maritim yang kedua, di samping Batavia, bagi kapal-kapal yang masuk dari Eropa atau berangkat lagi ke sana. Menurut Boxer, kelompok ini dipimpin oleh dewan pengelola yang terdiri dari 17 utusan kamar-kamar dagang di Belanda. Kedudukan raja sebagai penguasa negeri hanya sebagai pelindung saja,69 Sementara itu Heren Zeventien mengizinkan berhubungan dagang dengan Sri Langka hingga diluruskan ke Belanda agar VOC memenuhi kebutuhan akan merica di pasar Eropa, yang tumbuh lebih pesat. Kini merica Malabar, yang bagaimanpun dibawa lebih dulu ke Sri Langka, dapat dingkut ke negeri Belanda dengan lebih pesat dan segera mungkin. Di
67
ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 41 68 ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 41 dan 42 69 C R Boxer, Jan Kompeni Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602– 1799, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hal. 9-11
117
samping itu, kayu manis tidak usah dipindahkan dari Sri Langka sendiri, tidak usah lagi dipindahkan di Batavia ke kapal yang akan membawanya ke Eropa, sehingga lebih cepat sampai dan mutunya lebih terjamin.70 Tidak lama setelah Sri Langka berhubungan langsung dengan negeri Belanda timbullah persaingan sengit antara gubernur Rijklof van Goens, dengan Hage Regering. Menurut Van Goens, sebaiknya Sri Langka, tegasnya kota Galle, yang menjadi tempat kapal-kapal VOC berangkat berlayar ke tanah air, dijadikan titik temu kapal-kapal yang hendak berlayar bersama-sama ke Eropa. Berkat upayanya, sekali-kali armada berangkat berlayar dari Sri Langka membawa muatan lebih kaya dibandingkan kapal-kapal dari Batavia. lalu direksi VOC membuka jalur pelayaran langsung dari Koramandel dan dari Benggala. Tetapi jalur ini tidak sukses, karena Batavia tidak mendukung kebijakan ini. Hoge Regering menduduki tempat semula. Pada abad XVII, selain Batavia hanya Galle yang mempunyai perhubungan langsung dengan Belanda. Perubahan ekonomi-perdagangan maritim Batavia pada abad XVIII, menyebabkan perubahan lain dalam lalu-lintas pelayaran dan perdagangan maritim. Dalam tahun 1700-1730 secara beriringan kapal-kapal (dijuluki „kapalkapal kopi) dari Moka Pantai Laut Merah menuju negeri Belanda, lewat Galle. Ada perkembangan lain, yang lebih penting lagi pada tahun 1728, setelah bentrokan sengit Heren Zeventien dengan Hoge Regering, tercipta hubungan dagang antara negeri Belanda dengan Kanton (Guangzhou). Sampai tahun 1733
70
Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, Selaku dosen Universitas Indonesia, pada tanggal 24 Mei 2011 didalam Arsip Nasional Republik Indonesia dan ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 41 dan 42
118
Kamer Amsterdam dan Kamer Zeeland mengirimkan 13 kapal ke Kanton, tetapi tidak satupun yang sampai di pelabuhan Cina bagian Selatan. Maka pengiriman kapal dipercayakan kepada Batavia, dengan pengertian bahwa di antara dua atau tiga kapal yang setiap tahunnya berlayar dari Batavia ke Cina, hanya satu yang kembali membawa barang-barang dagangan semisal, teh dan porselin guna menyusuri Selat Sunda. Dan Akhirnya, pada tahun 1756, bersamaan dengan pembentukan Chinase commissie (Komisi Cina), lalu-lintas perdagangan maritim beserta barang-barang muatannya
semisal teh dan porselin, diurus di negeri
Belanda sendiri; pelayaran langsung ke sana tetap dipertahankan.71 Sesudah Galle dan Kanton (Guangzhau), dalam abad XVIII pos dagang VOC di Benggala, Hoogly, menjadi pelabuhan yang ketiga yang mempunyai hubungan dagang dengan Belanda. Mulai 1734 setiap tahun, kapal berlayar dari Benggala ke negeri Belanda. Selain itu, sejak tahun 1750 setiap tahun Kamer Amsterdam mengirim kapal langsung ke Hooghly. Mulai tahun 1770 Koramandel juga termasuk dalam jaringan pelayaran dan perdagangan ini. Meski demikian, adanya hubungan dagang secara langsung dengan pos-pos dagang di Asia pada hakikatnya tidak mengganggu posisi Batavia sebagai pos dagang yang menjadi pusat VOC di Asia. Batavia menjadi pusat administrasi dan pembukuan. Lagi pula, aktivitas dagang kesemuanya ini dalam aktivitas perdagangan yang bercorak maritim dengan (Sri Langka, Kanton, Benggala),
71
lihat ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 42
119
kesemuanya itu haruslah tunduk kepada Hoge Regering yang berpusat di Batavia.72 Pusat-pusat niaga VOC tersebut menjalin kaitan yang erat dan begitu jauh dengan
jaringan
bandar
niaga
sebelumnya.
Daerah-daerah
yang
tidak
menghasilkan rempah-rempah tidak masuk dalam jangkauan VOC, sedangkan daerah-daerah yang menghasilkan rempah-rempah seperti Ambon, Ternate, dan Bandaneira berkaitan langsung dengan pusat VOC di Batavia. B. Komoditas Ekspor dan Impor Batavia Lokasi yang stategis sangatlah menguntungkan bagi Batavia karena terletak pada jalur persilangan lalu lintas perdagangan dunia. Maka semakin membuat padat jalur perdagangan maritim di kawasan Asia Tenggara. Adanya Pelabuhan Batavia dapat mendorong arus distribusi barang-barang dagangan yang berlangsung sangat cepat. Sehingga posisi Belanda sampai saat itu, keberadaannya masih tetap di Batavia. Dan memberlakukan kebijakan-kebijakan sebagai daya upaya untuk mengendalikan perdagangan beras di Pantai Utara Pulau Jawa yang pada saat itu di kuasai oleh para pedagang Cina dengan melakukan pembatasan perdagangan beras serta memberlakukan penarikan pajak. Dalam pembatasan perdagangan beras, Batavia menangani 40% dari perdagangan beras yang terdiri dari volume perdagangan sekitar 500,000 pikul, sisa 60%-nya ditangani oleh pedagang Cina dan pedagang pribumi. Dari penarikan pajak, pemerintah Batavia pada saat itu
72
Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, Selaku dosen Universitas Indonesia, pada tanggal 24 Mei 2011 didalam Arsip Nasional Republik Indonesia. dan lihat ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 43
120
masih diperkuat dari orang-orang Belanda memperoleh tiap tahun pajak dari Cirebon sebesar 1,900 pikul beras pada satu ukuran dari 0.57 rds, dari propinsi Jawa Timur sebesar 28,000 pikul satuan beras dengan satuan ukuran dari 0.54 rds serta hasil dari harga pokok rata-rata 0.5 rds (rijksdaalder).73 Batavia pada saat itu masih dikendalikan Belanda, juga memberlakukan kebijakan-kebijakan dari pembelian semua keperluan dari pedagang beras pada pasar perdagangan besar di Batavia sehingga VOC membuat sebuah laba bruto imajiner dari perdagangan beras sebesar kira-kira 150%.74 Batavia sebagai pasar yang amat penting bagi dunia perdagangan beras selain dijaga ketat oleh pegawai Belanda karena posisi istimewa di Batavia dalam dunia perdagangan beras. Selain itu, Pemerintah Batavia juga memberlakukan larangan ekspor beras ke luar negeri karena pada saat itu, di Batavia sedang dilanda krisis pangan sehingga kebijakan tersebut dilakukan untuk menghindari kelaparan di Batavia. Pemerintah Batavia yang di dalamnya orang-orang Belanda juga memerintahkan administrasi lokal untuk menutup sungai-sungai di Pulau Jawa untuk perdagangan beras, karena adanya kegagalan agraris-maritim. Sehingga kebutuhan barang ekspor dan impor meningkat dengan pesatnya. Barang-barang dagangan yang merupakan komoditi ekspor antara lain: garam, merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar, kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain sutra, payung sutra, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, emas, 73 74
Lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., hal. 9-25 Lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., hal. 9-25
121
perak, tembaga dan lain sebagainya. Barang tersebut diperjualbelikan antar-Pulau, antar-pedagang di Nusantara dan juga pedagang asing yang memasuki Batavia sampai ke luar-masuk Pelabuhan Batavia.75 Ketika Batavia mendatangkan produk dari India, maka Cina berdagang dengan membawa misi berdagang, menjual barang untuk impor dan sebagian komoditasnya andalan dalam bentuk barang dagangan yang dimiliki oleh Cina. Banyak indikasi yang menggambarkan distribusi barang dagangan melalui jalan laut. Banyak yang dilakukan China di Batavia, semisal; melakukan aktivitas perdagangan maritim disertai dengan transito bagi barang-barang dagangan ke tempat di tuju Batavia. China selalu meramaikan barang impor, yakni porselin dan teh dalam abad XVII. Ada beberapa kategori yang mengasumsikan tentang adanya barang dagangan yang diimpor oleh Belanda di wilayah Batavia semisal; ikan, gambir, beras, dan untuk Pulau Jawa mengekspor tembakau. Dalam kategori konsumsi manusia, itu muncul bahwa Batavia adalah importir besar ikan, gambir, padi, dan tembakau Jawa. Jumlah beras, yang paling 'dasar' komoditas, mencapai lebih dari 122,000 pikul.76 Beras serta lebih dari 4.000 pikul tembakau terutama berasal dari Jawa Tengah. Gambir, sebesar lebih dari 3,500 pikul, datang selat Malaka, khususnya dari Malaka. Ikan, sebesar 1000 pikul yang diimpor dari berbagai tempat, antara yang paling menonjol adalah Siam. Apakah hubungan ini adalah bagian dari pola yang teratur atau yang bersifat sekali-kali berhubungan dalam jalur perdagangan 75
Armando Cortesao (ed), op. cit., jilid 2, hal. 270 dan lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 125 76 Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 49
122
adalah hubungan hal yang tak diketahui. Satu item dengan karakter yang cukup sesekali adalah hubungan dagang dengan tingkat tinggi dari impor barang dagang sejenis opium pribadi. VOC secara resmi hanya diizinkan untuk mengimpor opium, sementara sektor swasta yang seharusnya untuk menangani ekspor. Surat itu membelinya dari Societeit Amphioen, perusahaan swasta di Batavia, dibiayai terutama oleh pejabat VOC, yang diberi monopoli atas penjualan opium di 1745. Namun, dalam tahun kita berhadapan dengan, ada pengecualian untuk aturan ini. Satu kapal pribadi yang besar dari Bengal memasuki Batavia membawa sejumlah besar opium, yang di belakang sana dan mungkin dimasukkan ke dalam perdagangan Swasta dan VOC.77 Gula merupakan produk yang penting di Batavia. Hal ini menunjukkan ekspor penjualan dalam skala besar. India selalu mengirimkan gula yang berkualitas baik untuk diperjualbelikan ke Batavia, India mengimpor beras untuk diperdagangkan ke Batavia dan Pulau Jawa. Perjalanan akan memakan waktu istirahat yang cukup panjang dari setiap ada penjualan.78 Menurut pemberitaan sejarahwan Belanda, J.C. Van Leur, barang-barang yang diperdagangkan di dalam negeri dan di luar negeri mencakup Asia Tenggara, termasuk juga yang terdapat di dalam negeri Batavia. Hingga pada saat itu, barang-barang yang diperdagangkan, sejenis; barang-barang bernilai tinggi, seperti: sejenis logam mulia (emas dan perak), perhiasan, barang tenunan, barang
77 78
cit., 49
Lihat Gerrit J. Knaap, Shallow water, op. cit., 49 F. De Haan, op. cit., hal. 195 dan Lihat misalnya Gerrit J. Knaap, Shallow water, op.
123
pecah belah dan berbagai barang kerajinan, rempah-rempah, wangi-wangian, serta obat-obatan dan lain sebagainya.79 Besar kemungkinan dapat dikatakan pedagang-pedagang dari kalangan orang-orang Eropa meliputi; Negara Swedia, Negara Turki, tiba di Batavia, dengan membawa barang muatan bahan ekspor sejenis lada, dan hasil bumi lainnya yang diangkut dengan armada dagang yang memilikinya dengan muatan yang lebih besar maupung ukuran tidak besar. Di tahun 1724 Valentijn menerbitkan karyanya yang memuat catatan tentang kegiatan perdagangan intra-Asia yang dilakukan oleh VOC melalui pelabuhan Batavia.
80
Dalam catatatan Valentijn negara dan daerah yang terlibat
perdagangan dengan Batavia antara lain adalah: Tanjung Harapan (Afrika Selatan), Koromandel, Srilangka, Persia, Benggala, Burma, Malaka, Siam, Tonkin, Cina, dan Jepang. Barang-barang yang diimpor Batavia dari daerahdaerah tersebut antara lain adalah: koin emas dan tembaga (Jepang), tekstil (Koromandel dan Benggala), teh (Cina), porselin (Cina), kain sutra (Cina), gading gajah (Siam), kayu eboni (Tanjung Harapan), dan budak (Koromandel, Benggala, dan Burma). Sedangkan komoditi yang diekspor oleh Batavia antara lain adalah: rempah-rempah (Eropa) tekstil (Jepang, Siam, dan Tanjung Harapan), gula (Persia, Benggala, dan Jepang), dan beras (Tanjung Harapan), dan budak (Tanjung Harapan dan Malaka).81
79
Lihat J. C. Van Leur, Indonesia Trade and Society, (Bandung: Sumur Bandung, 1960),
hal. 198 80
http://kns-ix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20 Kanumoyoso, % 20 M.Hum. Pdf (Dikunjungi Tanggal 16 Desember 2011) 81 http://kns-ix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20 Kanumoyoso, % 20 M.Hum. Pdf (Dikunjungi Tanggal 16 Desember 2011)
124
Pada saat itu juga, tidak dapat dipungkiri juga sejumlah pedagang-pedagang dari Pasai (Nangroe Aceh Darussalam), Pidie (Nangroe Aceh Darussalam), Jambi (Provinsi Jambi), Palembang (Sumatra Selatan), Tulang Bawang (Lampung) dan kota Pariaman (Sumatra Barat), Tiku, Barus, dan di Jawa Barat, Banten, ikut berjualan di Batavia.82 Menurut pemberitaan Thomas Stamford Raffles, pada abad XVIII di Pelabuhan Batavia sebanyak 239 kapal yang berlabuh ke Pelabuhan Batavia dengan membawa jumlah barang dagangan dengan kapasitas yang bertambah dari sejumlah 48.290 ton (di dalamnya terdapat barang dagangan yang berisikan muatan beras, rempah-rempah, bahan pokok sehari-hari dan sebagainya.83 Dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, transaksi perdagangan maritim, di Batavia bukanlah sebagai tempat penghasil komoditas yang dicari oleh pedagang di sepanjang Jalur Sutera melalui jalan laut, tetapi peranannya sangatlah amat penting. Namun sebagai tempat transito, baik untuk pembekalan pelayaran dan perdagangan, maupun komoditas lainnya yang telah dikumpulan dari daerah-daerah di Indonesia, atau bagi para para pedagang pribumi untuk membeli komoditas-komoditas yang dibawa oleh para pedagang yang datang dari Asia Tenggara.84 Barang-barang dagangan yang diperjual-belikan di Batavia baik ekspor maupun Impor yang berasal dari; Bugis (Makasar), Melayu, Arab, semisal: kamper kayu, sarang burung walet, lilin lebah, kain yang bernilai tinggi.
82
Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 125-140 Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 144 dan Lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 121 84 Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 125 83
125
Transaksi barang dagangan berlangsung sangat cepat di Batavia. Usaha pedagang besar dan menengah diupayakan oleh VOC (Belanda) mungkin sekali dilakukan oleh pemerintah Batavia dan para pembesar Belanda dan kelas saudagar, di samping itu tentu saja saudagar-saudagar asing berdatangan di Batavia. Para bangsawan tinggi besar dan pembesar kerajaan mungkin sekali menjadi pembeli tunggal atas barang dagangan hasil produk rakyat daerah yang dikuasainya, yang menjualnya kembali dengan harga yang cukup tinggi. Kepada kelas saudagar „atau‟ Hoge Regering (Pemerintah Agung/Pusat) yang akan mengekspor ke luar negeri dan menjual dengan pedagang Asing. Kelompok kelas saudagar terutama melakukan usaha perdagangan luar negeri, baik mengekspor barang dagangan hasil produk maritim maupun mengimpor barang dagangan kebutuhan masyarakat banyak, yang mereka lakukan dengan perahu sampan, milik sendiri. Usaha ekspor dan impor ini juga dilakukan oleh pedagang-pedagang dari pendatang, semisal; pedagang-pedagang Eropa, Cina, Jawa, Arab, dan lain sebagainya, akan tetapi pernah berhubungan langsung dengan produsen. Barang dagangan yang diekspor ketika itu adalah lada, cengkeh (yang terpenting) damar, lilin, kayu manis, kayu jati dan lain sebagainya, sedangkan barang-barang yang diimpor pada saat itu terdiri dari, berjeniskan beras, gula, garam, barang-barang pecah belah, dan sejenis kayu gelondongan. Barang tersebut diperjual-belikan antar-pedagang di Batavia dan juga di Pantai Utara Jawa dan juga pedagang asing untuk melakukan transaksi perdagangan maritim yang terdapat di Batavia.
126
C. Etnis Cina berdagang di Batavia Dalam pandangan Mona Lohanda, Sejarahwan dari Arsip Nasional Republik Indonesia, yang terlihat dari aktivitas perdagangan di pesisir Utara Jawa ada hubungan perdagangan maritim menjadi lebih erat pada awal abad XVII sampai abad XVIII antara Batavia dan Tainan,” kata Mona Lohanda. Hubungan perdagangan maritim itu, semakin kokoh semasa Kapiten Tjina pertama Batavia, Souw Beng Kong, seorang pemimpin komunitas Cina di Batavia (1580-1644).85 Sejarawan dari Arsip Nasional Republik Indonesia, Mona Lohanda, telah menjelaskan Cina berdagang memakai jalan maritim yang terbentang dari Amoy di Provinsi Fujian yang letaknya di Laut China Selatan menuju ke arah Batavia sejak 1620 hingga awal abad XIX. Provinsi Fujian atau Hokkian adalah tempat Souw Beng Kong. Pada saat itu, ia membutuhkan waktu berlayar 28 hingga 30 hari untuk menempuh perjalanan jarak jauh dalam berdagang dari Cina ke Batavia. Cina memiliki armada dagang yang memuat barang dagangan yang cukup besar pada abad XVII dan abad XVIII. Besar kemungkinan Batavia menjadi pusat ekonomi. Hal ini diperkuat oleh fakta China, bahwa China berdagang dari Amoy dengan memakai perahu dagang dan selalu diramaikan dari Macoa (Taiwan). Kemungkinan pasti banyak perahu dagang melewati Kepulauan Nusantara, dan yang di tuju yaitu Batavia.86 Menurut pemberitaan Blusse sendiri pada tahun 1620, Coen telah mengajak Souw Beng Kong dan pedagang-pedagang Cina untuk datang ke Batavia dengan 85
Wawancara Pribadi, Mona Lohanda, Sejarawan dari Arsip Nasional Republik Indonesia, 9 Maret 2011 86 Lihat Pierre Labrousse, Denys Lombard, Christian Pelras, Etudes Interdisiplineres sur le monde insulindien: archipel 18, (Paris: Cedex, 1979) dalam artikel Leonard Blusse Chinese, Trade To Batavia During The Days Of The VOC, hal. 195-197
127
tujuan membangun Batavia. Selain itu, untuk menyuplai barang dagangan dari berbagai keperluan ke pihak Belanda dimaksudkan adalah dengan cara menarik Cina untuk berdagang ke Batavia. Pengaruh Cina dalam berdagang di Batavia hampir semua produk-produk perdagangan maritim yang akan diperjual-belikan di Asia dan Eropa dan antar-Pulau (Sumatra dengan Jawa).87 Pada saat itu Cina dianggap oleh Belanda punya andil besar, selain pemegang modal besar dan juga cukup pintar dalam hal berdagang, bisa dikatakan seringkali Cina telah melakukan tindakan kurang baik dalam berdagang, Souw Beng Kong pun ingin menguasai produk yang sangat strategis. Barang-barang pokok sehari-hari digunakan untuk ekspor dan impor dari pesisir Batavia dan menukarkan barang dagangan, Batavia juga mengimpor untuk dijual ke pelosokpelosok pedalaman. Kemudian masyarakat Batavia juga senantiasa memunculkan mengolah produksi hasil tani dan hasil nelayan yang menjadi produksinya untuk di bawa ke Batavia.88 Pada Abad XVIII, padatnya perdagangan maritim yang disuplai dari negeri Cina, dengan adanya jalinan dagang dengan Belanda, dan semakin hari akan tumbuh dan berkembang dari komoditas yang diangkut dari Cina semisal teh, kopi, perak, tekstil barang-barang porselin dan beling. Sedangkan dari Batavia diangkut sebagian lagi jumlahnya akan melimpah dengan pesatnya ditandai dengan adanya barang-barang dagangan meliputi; rempah-rempah lada rotan kayu, cendana, sarang burung walet, dan komoditi lainnya.89
87
Lihat Pierre Labrousse, Denys Lombard, Christian Pelras, op. cit., hal. 197-198 Lihat Pierre Labrousse, Denys Lombard, Christian Pelras, op. cit., hal. 195-197 89 Lihat Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008), hal. 109 88
128
Selain itu, untuk melakukan monopoli pembelian produk-produk dari penduduk pribumi sehingga perahu dagang Cina VOC (Belanda) menghadapi kesulitan untuk memperoleh isi muatan barang dagangan. kapal dagang yang melambangkan pedagang asing, dilarang oleh Cina untuk singgah di pelabuhan Batavia yang dikuasai oleh Belanda kecuali di beberapa pelabuhan yang telah ditetapkan secara khusus untuk perdagangan maritim maupun yang lainnya. Di pelabuhan-pelabuhan, ini biasanya Belanda sudah memiliki kontrol yang sangat ketat bagi Cina. Hal tersebut ditandai oleh Belanda yang sudah mulai berhasil merebut berbagai kepentingan di areal Pelabuhan Batavia dan menguasai perdagangan maritim, menunjukkan prilaku keangkuhan Belanda pada abad XVII dan XVIII. Akan tetapi, dalam menegakkan monopoli dagang dan melarang bangsa tertentu untuk melakukan perdagangan maritim ke Batavia. Persoalan ini dapat dilihat dari kasus hubungan yang penuh ketegangan semakin sulit dan mempersulit antara Cina dalam tahun 1740.90 Hal ini memungkinkan adanya monopoli perdagangan terhadap laju komunitas Cina yang tidak tertahan lagi dan bertambah pesat lagi dengan jumlah penduduk mencapai 10.000 jiwa. Pada umumnya bekerja di perkebunan atau pabrik gula dan perusahaan kayuan, mereka hidup bersebelahan dekat Pelabuhan Batavia, dan sebagian diantara mereka hidup dari menyewa tanah pemerintah Batavia. Tahun 1740, terdapat 2500 rumah Cina yang sudah berbentuk tembok,
`
90
Lihat Pierre Labrousse, Denys Lombard, Christian Pelras, op. cit., hal. 195-199
129
dan 15.000 belum menyerupai tembok yang tinggal hanya di luar Pelabuhan.91 Hal ini memungkinkan orang Cina diizinkan untuk bermukim disebelah dalam tembok kota, dan meliputi 39 % dari sejumlah penduduk abad XVII dan 58 % dalam tahun 1739. Hal ini untuk mewujudkan agar Cina tetap bertahan disitu dan disertai bentuk perampasan barang dagangan Cina.92 Belanda mendatangkan orang-orang Cina ke Batavia, banyak dari mereka yang berhasil menjadi pedagang dengan kedudukan sebagai lapisan menengah yang berfungsi sebagai perantara antara orang-orang Eropa dan Pribumi. Sekitar tahun 1690, penguasa VOC mencoba mulai membatasi masuknya orang-orang Cina ke Batavia, namun tidak berhasil.93 Namun lama setelah itu, jumlah mereka akan meningkat dan mencapai puluhan ribu orang maupun puluhan orang, dan menjelang tahun 1740, separuh penduduk di Batavia dan sekitarnya adalah orang-orang Cina. Selain itu, Cina juga telah menguasai berbagai bidang ekonomi dan usaha, yang menjadi ancaman serius bagi orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, karena dengan adanya pesaing dari Cina. Alhasil keuntungan mereka menjadi sangat berkurang. Salah satu bidang usaha yang dikuasai oleh etnis Cina adalah perkebunan tebu di sekitar Batavia dan Ommeladen (Tangerang). Dalam tahun 1740, pasar penjualan gula mengalami collapse, karena adanya persaingan dagang yang di pasarkan ke Eropa.94
91
Benny G. Setiono, op. cit., hal. 109 Lihat Anthony Reid, op. cit., , hal. 108 93 Lihat Mona Lohanda, op. cit., hal. 11-12 94 Lihat Denys Lombard, op. cit., hal. 61-62 dan Lihat Mona Lohanda, op. cit., hal. 13 92
130
Banyak di antara puluhan pedagang mengalami Collepse sehingga mengalami kebangkrutan dan harus memberhentikan pekerja dari Cina. Sedikit Banyaknya pengangguran besar-besaran akan mendadak, ini memunculkan kelompok-kelompok yang menjurus terhadap pelaku kriminal. pelaku kriminal tersebut juga memperlakukan tindakan kekerasan, sehingga menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Penguasa Belanda kemudian mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal ini, dengan memulangkan orang-orang dari Cina ke Ceylon (Afrika Selatan), yang juga dikuasai oleh VOC pada waktu itu.95 Hal ini sebagai langkah baru bagi pemerintah Batavia saat itu masih dikendalikan Belanda dengan menggunakan kesempatan untuk memeras orangorang Cina yang kaya pada saat itu dan serta dimintai sejumlah uang agar medapatkan izin berdagang, sebagai bentuk dilandasi kepentingan Belanda.96 Setelah itu, Cina menerima penyerahan dari VOC pada Abad XVIII, pemerintah Batavia rupanya tetap mempertahankan kebijakan sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda, adalah ikut menekan Cina dan monopoli barang-barang dagang yang ketat terhadap kekuatan pribumi maupun Cina serta melakukan pembatasan-pembatasan bongkar muat barang dagangan terhadap kapal-kapal asing untuk berlabuh hanya di beberapa pelabuhan di bawah administrasi yang ketat dari pihak Belanda.97 D. Etnis Arab berdagang di Batavia
95
Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya kajian terpadu, Bagian I: BatasBatas Pembaratan , (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 63 dan hal 65 96 Lihat Benny G. Setiono, op. cit., hal. 114 dan hal 117 97 Lihat Mona Lohanda, op. cit., 20-21
131
Faktor-faktor yang menimbulkan orang-orang Arab Hadramaut bermigrasi ke Nusantara mempunyai dua faktor yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern sendiri mempunyai 5 penyebab mereka melakukan ekspedisi ke Nusantara. Pertama, geografis, keadaan geografis Hadramaut yang sebagian besar terdiri dari Rabb al-Khali ( padang pasir yang luas dan tandus) serta di kelilingi oleh pegunungan-pegunungan yang bebatuan di tambah lagi iklim di Hadramaut yang hanya turun hujan.98 Kedua, pelayaran dan perdagangan99, ramainya jalur perdagangan di Hadramaut yang berada di sekitar pesisir Laut Merah yang menjadi motivasi migrasi orang Arab Hadramaut ke Nusantara. Ketiga, Dakwah100, merupakan suatu hal yang di anjurkan kepada orang muslim untuk mengajak saudara muslim memeluk Islam,karena dalam istilah Islam mengenal Hijriah.berhijriah ke Madinah ke Mekah. Hijriah dalam Islam untuk tujuan memperbaikki nasib yang lebih di jalan Allah. Keempat, kekeluargaan,101 banyak diantara mereka bermigrasi ke Nusantara dengan maksud menjumpai sanak saudaranya baik keluarga, maupun oarng tuanya yang berada di Nusantara. Selain untuk mencari pekerjaan yang layak di dalam perusahaan keluarga mereka yang berada di Nusantara, dengan kedatangan orang Arab dari Hadramaut disambut hangat oleh keluarga mereka
98
Van Den Berg, Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara, judul asli,Le hadramaut et Les Colonis Arabes dans L‟Acchipel Indien, Jilid III, terj., (Jakarta: INIS, 1989), hal. 90 99 Joko Pramono, Budaya Bahari, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 102103. 100 Alwi Shahab, Islam Inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Jakarta: Mizan, Desember 1998), hal. 324. 101 Van Den Berg, op. cit, hal. 90
132
yang sudah berdomisili di Pekojan dengan membawa kabar baik tentang keluarga mereka yang tinggal di Hadramaut. Kelima, adanya penjajah Inggris, orang Arab Hadramaut pada masa kolonialisme di jajah oleh pihak Inggris, pada saat itu Inggris sudah menguasai India. Faktor inilah Inggris lebih mudah masuk ke daerah Hadramaut pada saat itu, dianggap oleh pihak Inggris merupakan daerah perniagaan besar dan mempunyai nilai potensial, dengan masuknya Inggris ke Hadramaut, hal ini membuat malapetaka dan terjadinya perang melawan tentara Inggris di tambah lagi adanya konflik antara kedua kerajaan di Hadramaut yaitu Queti dan Katiri yang tak kunjung selesai, dan mendorong Hadramaut bermigrasi demi kebutuhan pokok sehari-hari. Faktor Kedua (Ekstern) adalah faktor haji. Para jamaah haji yang berada di Mekkah demi menunaikan rukun Islam yang kelima membawa dampak kepada orang Arab Hadramaut melalui cerita-cerita para jamaah haji tentang Nusantara yang memiliki wilayah yang subur kaya akan sumber daya alam, banyaknya beriklim tropis, biaya hidupnya lebih murah dibandingkan di wilayah lain, banyaknya pengusaha Hadramaut yang sukses di Nusantara, mayoritas beragama Islam, sikap tolerasinya sangat kuat, keanekaragaman budaya yang kental dan penduduknya amat ramah. Faktor inilah yang mendorong bermigrasi ke Nusantara dengan Harapan membawa kehidupan yang layak dan lebih baik dari negeri asalnya. Jalur selat Malaka merupakan sebagai jalur perdagangan international menjadi tempat bersandar para pedagang dari berbagai Negara, baik dari Arab,
133
Persia, India ataupun China Perdagangan International memunculkan kontak antara Peradaban dunia dengan wilayah Nusantara, tak terkecuali Persia yang Mayoritas berpahaman Syi‟ah. Sejak sebelum masehi, Hadramaut sudah menjadi pintu masuk perdagangan ke Jazirah Arab bagi kapal-kapal asing Eropa, Cina, dan India atau tempat persinggahan bagi pedagang dan pelaut yang kehabisan air minum dan makanan di pelayaran. Pelabuhan yang amat penting di Hadramaut adalah Mukolla Shihr, dua pelabuhan ini merupaka jalur perniagaan besar yang banyak didatangi kapal-kapal asing yang hendak berdagang. Hadramaut dikenal sebagai pengekspor Tembakau Hamuni dan di samping Kopi dan sejenis Kayuwangi seperti dupa (myrrh), dan orang Arab Hadramaut dikenal amat makmur dari wilayahnya sebagai perantara barang-barang yang dihasilkan di kerajaan bekas Romawi, mereka juga memperjual-belikan rempah-rempah pada saat itu di gunakan sebagai pengawet makanan dan penyedap makanan. Serta juga sebagai obat-obatan. Hal ini menjadi pedagang Romawi geram dengan orang Hadramaut, yang pada waktu itu menaikkan harga cukai seperti Sutera dan kayuwangi dan menaikkan barang dagangan dari luar daerah sesuka hatinya. Orang Romawi saat itu sangat marah dan mengalami puncaknya terhadap perlakukan dirinya yang di rugikan oleh bangsa Hadramaut. Pada abad pertama sebelum masehi, setelah tentara Romawi,102 berhasil menaklukkan Mesir, mereka segera memasuki Laut Merah, serta berhasil
102
Husein Haikal, Indonesia –Arab dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia (19001942) dalam Disertasi, Universitas Indonesia, 1986, hlm, 45.
134
menghancurkan armada pedagang Arab Hadramaut. Sejak itu orang Arab Hadramaut bermigrasi ke Nusantara. Dalam surat al-Fiil ayat ke 2 Allah telah berfirman:
Artinya : yaitu kebiasaan mereka berpergian pada musim dingin dan musim panas. Melalui teks Al-Fill kebiasaan orang Arab berpergian musim dingin dan musim panas mereka melakukan perdagangan dan tempat yang mereka tuju tentunya daerah Arabia Selatan, yakni Hadramaut. Peneliti orientalis seperti : Mr Wendel Philips dalam kitabnya Qutban dan Saba‟, dan Gustave Le Bon dalam Bukunya Khadrah al-Arab yang diterjemahkan oleh adil Zuiter103 mereka dengan sepakat bahwa Yaman dan Hadramaut merupakan pintu gerbang perdagangan Timur-Tengah dan Eropa. Sehingga padatnya lalu-lintas perdagangan dan pelayaran di pesisir Laut Merah, orang Hadramaut untuk berlayar ke Nusantara. Jalur pelayaran melalui Laut Merah menuju Sri Langka kemudian menyebar tiga jalur pelayaran: Pertama, jalur pelayaran Laut Merah terus menuju perairan terdekat sampai ke ujung Sumatra,yaitu pulau We dan Sabang.Kemudian melanjutkan pelayaran selat Malaka.
103
Gustave, Le Bon, Khadrah al-Arab,di terjemahkan oleh Adil Zuiter, penerbit: Isa albab halbi wa sirkah,cetakan ke 4, hal,95
135
Kedua, jalur pelayaran dari Sri Langka (Ceylon) melalui perairan laut menuju ujung Sumatra, Kemudian menyusuri selat Malaka, berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa. Ketiga, jalur pelayaran dari Sri langka melewati lautan Hindia, kemudian menusuri menyusuri pesisir barat Sumatra,dan berlabuh di pulau Nias, dengan tujuan mendapatkan komoditas daerah setempat. Selanjutnya melanjutkan pelayaran sampai pelabuhan di perairan selat Sunda.104 Melalui selat Malaka pelabuhan sabang yang digunakan untuk melintasi pelayaran dan perdagangan. setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511 M) banyak dari pedagang Arab, Cina, dan India ikut berdatangan ke Sunda Kelapa. Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang di tuju pedagang Muslim dari Arab, sehingga orang Arab diberikan tempat pemukiman orang Arab di daerah Pekojan. Menurut Van Den Berg, migrasi orang Arab Hadramaut dalam skala besar di mulai akhir Abad ke XVIII. Perjalanan dari Hadramaut ke Nusantara berlangsung.pertama berangkat dari pelabuhan di Hadramaut yakni Mokalla dan as-Shihr menuju Bombay (India)105. Dari pulau Ceylon (Sri Langka ) dan akhirnya ke Aceh atau Singapura. Seluruhnya pelayaran dilakukan degan kapal berlayar. Namun setelah di bukanya terusan Suez oleh Prancis di Mesir berdampak pada perjalanan pelayaran menuju ke Nusantara.
104
Joko Pramono, Budaya Bahari, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal.
102 105
Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, (ed), Marwati djoened Poesponegoro dan Nogroho Notosusanto, (Jakarta: Penerbit balai Pustaka, Depdikbud, 1993 ), hal. 30
136
Setelah Islam masuk ke Nusantara pada awal abad pertama Hijriah tepatnya pada abad ke 7 M, sebagian dari orang Arab yang menyebarkan Islam ke Nusantara mereka berasal dari Hadramaut, karena Hadramaut semenjak sebelum masehi atau sebelum kelahiran Islam sudah menjadi pelabuhan di Jazirah Arab letak di Hadramaut yang berada di pesisir Laut Merah.106 Kedatangan orang Arab Hadramaut ke Nusantara telah memainkan peran penting dalam perniagaan besar dan penyebaran Islam, tetapi seorang Muslim mereka mempunyai kewajiban untuk menyebarkan Islam, walaupun pada waktu itu penduduk Pribumi berada di bawah kekuasaan kerajaan Pakuwan Pajajaran yang bercorak Hindu. Namun, peristiwa adhesi ini di manfaatkan oleh kerajaan Pakuwan Pajajaran untuk menarik minat orang Arab untuk berdagang agar terjalin hubungan erat dengan diantara keduanya. Pada tahun 1527 M, setelah jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam di bawah pimpinan Fatahillah atas perintah Kerajaan Demak. Maka, Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta, dengan beralihnya ke Jayakarta. Bahkan sebaliknya, di Jayakarta dengan bertambah ke Jayakarta. Bahkan adanya agama Islam banyak orang Hadramaut ke Jayakarta. Pada tahun 1619 M, Jayakarta ke tangan Belanda di bawah pimpinan JP. Coen. Di masa Belanda ini Jayakarta berganti nama menjadi Batavia, yang mana perdagangan para pedagang Arab, Persia, Cina, dan India yang sudah terbiasa dengan perdagangan bebas. Migrasi orang Arab ke Nusantara mempunyai Misi agama di samping mereka melakukan aktivitas perdagangan di perkuat oleh T.W. Arnold dalam 106
Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Jakarta: Penerbit Mizan, Oktober 2002), hal. 67
137
Preacing of Islam, G.E Marrison dalam tulisannya Islam and Churh in Malay, SQ. Fatimi dalam buku Islam Comes To Malasia, ke semuanya sepakat bahwa orang arab Hadramaut yang memperkenalkan Islam ke Asia Tenggara adalah para pedagang yang memiliki misi agama dengan bukti nyata adalah kesamaan Mazhab Syafei yang di anut oleh masyarakat Pribumi.107 Migrasi orang Arab Hadramaut di Nusantara, Azyumardi Azra mengatakan bahwa awal masehi hubungan Nusantara dengan Dunia Arab telah terjalin yaitu antara kerajaan Sriwijaya dan dinasti Umayyah. Orang Hadramaut sudah berada di Nusantara abad pertama Hijriah dan sebagian yang sudah ada di Pekojan, perkampungan Arab. Proses Islamisasi di Nusantara ke Batavia biasa terlihat dengan berdiri sebuah masjid luar batang yang didirikan oleh Sayyid Husein bin Abu Bakar alIdruys (wafat 1789) Migrasi orang Hadramaut secara massal terjadi akhir abad XVIII dan mencapai puncaknya pada abad ke XIX tepatnya tahun 1870 M. Migrasi orang Arab Hadramaut Ke Nusantara yakni salah satu Sunda Kelapa. Sunda Kelapa merupakan salah satu yang terpenting dan ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing Cina, Eropa, India, dan Arab. Menurut Prof. Dr. Dien Madjid, MA, jauh sebelum Belanda datang ke Sunda Kelapa Komunitas Arab Hadramaut sudah berada di Sunda Kelapa.108
107
Susan Abeyasekere, Jakarta A History, ( New York: Oxford University Press, Oxford New York,1987), hal. 8 108 Dien, Madjid, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga abad ke XVIII, dalam buku Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai Bandar Jalur Perdagangan Sutra, (Jakarta: DEPDIKBUD, hal. 78
138
Sayyid Ali Ibn Husein al-Attas dalam kitab Ta‟jul A‟ras mengatakan bahwa tujuan awal orang Arab Hadramaut bermigrasi dengan motivasi berdagang. Seperti yang dilakukan oleh Sayyid Husein ibn Abu Bakar al-Idrus yang sekarang makamnya berada di Luar batang, Pasar Ikan Jakarta Utara. Motivasi migrasi orang Arab hadramaut dengan tujuan berdakwah juga di benarkan oleh Prof Badri Yatim, yang mengatakan bahwa keislaman di Jakarta (dahulu Sunda Kelapa), di zaman Belanda menjadi Batavia. Di Jakarta masih terdapat orang Arab Hadramaut seperti : al-jufri, as-Seggaf,al-Atas, al-Habsyi, dan lain-lain,109 dan ditambahnya dengan banyaknya orang Hadramaut ke Batavia membawa dampak positif bagi masyarakat Pribumi yakni bagian dari mereka mengirim anak-anak mereka ke Timur-Tengah terutama ke Mekkah dan Madinah terbukti dengan lahirnya seorang ulama dari Betawi yang Bernama Abdul Rahman al-Misri al-Batawi. Unsur lain yang menyebabkan orang Arab Hadramaut bisa di terima dengan baik oleh penduduk Pribumi di Batavia. Menurut Van Den Berg bahwa kebanyakan orang Arab Hadramaut telah berasimilasi secara keseluruhan dengan masyarakat Pribumi dalam tiga generasi atau empat generasi. Beberapa unsur yang ikut mendorong proses ini, pertama mayoritas imigran adalah laki-laki. Sesuatu yang tabu bagi kaum perempuan berjualan dari masyarakat Hadramaut untuk meninggalakan wilayah Hadramaut. Konsekuensi yang terjadi adalah perkawinan silang antar-pedagang pribumi dan Arab, yang terdapat menjembatan interaksi dengan penduduk lokal. Kedua, islam merupakan unsur 109
Badri Yatim,Peran Ulama Dalam masyarakat Betawi, dalam buku, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, juni 1996), hal. 21
139
penting dalam perkawinan mereka ini. Karena mereka menganggap agama yang sama dengan masyarakat pribumi telah membuat integrasi lebih menjalin. Pada umumnya, komunitas pedagang Muslim yang besar maka Islam merupakan unsur pemersatu yang kuat. Baik anggota keluarga atau sedaerah, atau kenalan saja dari orang arab hadramaut yang sudah menetap lebih ke Batavia,orang Hadramaut mendapat keterangan-keterangan yang di perlukan karena umunya mereka saling mengenal baik ada ikatan darah.110 Sebagi faktor intern yang telah di jelaskan di atas tadi motivasi orang Arab Hadramaut juga dipengaruhi oleh Inggris atas Hadramaut.111 Pedagang-pedagang dari Arab, Cina, dan Eropa juga banyak yang memiliki tinggal di Batavia dengan alasan agar mereka berdagang jenis komoditas sejak abad XVII dan XVIII. Mereka termasuk dalam stratifikasi sosial-ekonomi di Batavia dan dengan cara masing-masing dalam berusaha menjalin kerja sama dengan pihak Pribumi (Betawi), Cina, dan Belanda. Orang Cina masuk dalam mitra dagang di Batavia dan menjadi salah satu koloni tertua di Batavia dengan Belanda. Sebagai bagian dari pusat pemerintahan Belanda, Penguasa dari pusat seperti gubernur jenderal dan bangsawan, dan para pembesar istana masuk dalam kelompok pengurus pusat VOC dan lembaga-lembaga pemerintahan Batavia. Maka
Batavia
sekaligus
menjadi
bandar
pelabuhan,
Batavia
berperan
menghubungkan berbagai kawasan dan menjadi tempat tinggal aneka macam 110
Van Den Bergt, Le Hadramaut et Les Colonis Arabes Dans L‟Acchipel indien, judul terjemahan,hadramaut dan koloni arab di Nusantara, pent rahayu Hidayat,penerbit: INIS,jilid III,Jakarta 1989,hlm 80. 111 Husein Hailkal, Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (19001942) (Depok: Disertasi,Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.
140
etnis seperti Cina, Arab, Eropa dan lain sebagainya. Itulah yang membedakan dengan kawasan lain. Pedagang dari dunia Muslim merupakan sosok „‟misionaris‟‟ paling umum di wilayah Pekojan. Inilah mengapa dalam hal ini keimanan mengikuti jalur perdagangan. Sementara kelompok „‟priyayi‟‟, berusaha memenuhi kebutahan seharihari dengan melakukan kerja tukang pengrajin emas, perak, dan perak, tikar, atau berdagang.
Mereka menjadi mitra dagang dengan ulama dan sebagian lagi
mengambil peran sebagai „‟makelar‟‟ atau saudagar perantara memenuhi permintahan akan berbagai kebutuhan barang impor. Pedagang Muslim yang datang ke pusat perniagaan besar di wilayahwilayah yang asing, kemungkinan besar kembali dengan segera. Mereka menunggu barang dagangan mereka untuk dijual agar mereka membeli barang dagangan setempat dan membawa kembali ke negeri mereka. Selain itu, pelayaran kembali mereka tergantung pada musim. Oleh karena itu, dalam banayk hal proses berbulan-bulan sebelum keberangkatan. Biasanya mereka tinggal berkelompok di perkampungan di dekat pelabuhan kota. Perkampungan jenis ini biasanya disebut dengan „‟Pekojan‟‟ yang berarti sebuah kampung pedagang Muslim yang datang dari Arab, Persia, India, Tamil, dan lain sebagainya. Kampung Pekojan masih banyak di tempat-tempat nyata di kota-kota sejarah seperti Banten, Batavia (Jakarta), dan lainnya. Hubungan antara pedagang Muslim dengan pedagang Muslim lainnya memiliki ketergantungan satu sama lain dan saling membutuhkan antar-pedagang Muslim. Komunitas Muslim lokal biasa diwujudkan secara bertahap. Lewat
141
komunikasi melalui transaksi perdagangan di daerah Pekojan dengan pembelinya, dari komunikasi inilah lama-kelamaan pedagang Muslim cepat berinteraksi dengan masyarakat Eropa, Cina, Persia, India, dan lain sebagainya. Ketika perdagangan maritim makin berkembang pada pertengahan abad XVII, maka hal ini perdagangan semakin pesat antar-pedagang Pribumi (Betawi) maupun pedagang Hadramaut. Lewat proses komunikasi inilah terbangun dunia Islam di Batavia, saat itu Islam dianggap jadi duri penghalang bagi VOC. Sejak itu pedagang diberikan tempat untuk tinggal dan berdagang di daerah Pekojan. Secara bertahap hubungan kelompok pedagang Muslim ini dan komunitas lokal mewujudkan keluarga Muslim. Kelompok-kelompok ini sebenarnya memiliki asal yang berbeda, mereka ditempatkan di sini hanya karena mereka adalah Muslim. Bangsa Moor yang Muslim awalnya India dari Kalinga, wilayah Selatan Utara Paliacate, terletak di lepas pantai Coromandel. Mereka menetap di Batavia di daerah Pekojan (Koja atau coja berarti Muslim yang hitam) yang kemudian dihuni oleh orang Arab. Moor memiliki identitas Islam yang sangat kuat, mengenakan jubah panjang dan memiliki masjid mereka, yang dikenal sebagai Mesjid Pekojan di Pekojan di pusat kota yang hadir di Jakarta. Mereka terlibat dalam perdagangan pesisir bersamasama dengan orang Arab. Berbeda dengan non-Kristen penduduk Batavia, VOC memungkinkan Moor untuk membentuk mereka menjadi kewarganegaraan dari kebebasan yang mulai berkembang pada 1751, permintaan mereka telah teroraganisir dengan baik pada tahun 1704. Kapten Moor pertama diangkat pada 1753. Hal ini dikatakan keuntungan ekonomi yang besar untuk bangsa Moor.
142
Meskipun pada awal abad XX, orang Arab membentuk kelompok besar yang kedua dari Asia dan di Indonesia, sumber mengenai asal mereka dan kehidupan agak langka, dibandingkan dengan mereka di Cina. Untuk alasan apapun, Masyarakat Arab tumbuh dan berkembang menjadi pedagang dan berbaur dengan Cina, Eropa, dan Pribumi. Pertumbuhan komunitas Arab di Indonesia sebagian besar akibat kenaikan alami daripada imigrasi. Dikatakan bahwa 90% dari Penduduk Arab saat ini bahasa Indonesia-Arab atau Indo-Arab atau Paranakan, telah dikenal dengan baik / atau dibesarkan di Nusantara. Orang-orang Arab muncul sebagai kelompok yang hidup Batavia terutama di pertengahan abad XIX, namun pengaruh mereka sangat besar dalam ekonomi-budaya Betawi. Mereka tersebar luar di wilayah di Krukut, Pekojan, Tanah Abang, Kwitang, Cawang dan Meester Cornelis atau Jatinegara. Kebanyakan dari mereka yang datang ke Indonesia berasal dari Hadramaut bagian Selatan Saudi, mayoritas dari mereka dari kelas kedua di Hadramaut, rakyat kelompok umum yang mencakup pedagang keliling. Dapat dicatat bahwa kata masikin, berarti miskin, kecil, atau signifikansi. Namun, beberapa orang mengklaim bahwa Sayyid (merupakan keturunan Nabi) dan lain-lain Syech (ulama dari kaum bangsawan religius Hadramaut), dan sangat dihormati oleh orang Arab sendiri serta Indonesia.112 Perbedaan ini mungkin berasal dari pola dagang bertahap, dengan cara mengembangkan diskriminasi ekonomi-sosial, yang dibedakan antara orang-orang Arab yang berasal dari Selatan Saudi dengan metode dan aktivitas perdagangan 112
hal. 18
Lihat Mona Lohanda, The Kapitan of Batavia 1837-1942, (Jakarta: Djambatan, 1996),
143
uang pinjaman yang telah menyebabkan lebih populernya mereka di banyak desa di wilayah Batavia, dan mereka yang tidak terlibat dalam praktek-praktek tajam seperti tetapi dihormati sebagai guru Muslim dan sarjana, dan dengan demikian lebih benar-benar representatif dari tradisional dihormati 'Orang Arab'. Selain dari pinjaman uang, banyak orang Arab yang terlibat dalam perdagangan batik dan sewa rumah.113 Meskipun ada dua hambatan untuk kegiatan meminjamkan uang mereka, larangan 'riba' (bunga) didefinisikan dalam Al-Qur‟an, dan pemerintah Belanda sebagai pengkhianatan atas tanah air mereka, orang Arab biasanya menghidari larangan riba dalam berdagang di tanah Batavia , agar menghindari cara yang dilakuakan pemerintah Belanda dan entis Cina. E. VOC Collepse Collepse atau kejatuhan itu bukan akibat kalah perang dari Portugis, tetapi bukan kalah persaingan dagang dengan Cina (RRC), Portugis (Portugal), Malaka (Malaysia Barat), Arab (Saudi Arabia), melainkan hanya VOC mengalami perilaku buruk yang terdapat dijajarannya sendiri.114 Selain itu, hak-hak monopoli barang dagangan lantas telah membentuk struktur Gubernur Jenderal untuk melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itu, semenjak VOC menguasai arus berlayar dan berdagang di Nusantara dan Asia Tenggara yakni termasuk di Batavia, secara khusus lewat Perairan Batavia.115 Kesemuanya ini ialah perdagangan yang memiliki corak maritim yang terdapat di Batavia dalam kendali kuasa di tangan Belanda. Oleh kerena itu, tidak 113
Lihat Mona Lohanda, The Kapitan of Batavia 1837-1942, (Jakarta: Djambatan, 1996),
114
Lihat Zaenuddin HM, Nostalgia Di Jakarta, (Jakarta: CV Java Media Network, 2008),
115
Zaenuddin HM, op. cit., hal. 9
hal. 19 hal. 9
144
mengherankan bilamana VOC telah berhasil mencapai kekuasaan dan kejayaannya untuk mencapai kemakmurannya yang melimpah harta-harta hasil permainannya yang dimainkan dari penjualan rempah-rempah dari pemungutan pajak. Pada saat itu Belanda memamerkan kekayaannya berlangsung dimanamana termasuk di Batavia dan wilayah teritorial yang di kuasai oleh VOC.116 Mereka seringkali bertemu dan melakukan usaha perdagangan dengan cara yang kurang baik. Rupanya, mental Coen ditiru oleh para pejabat bawahannya. Ekonomi antara Belanda dan koloninya, ini dikarenakan sistem berlayar dan berdagang VOC dianggap ketinggalan zaman yang tidak menghasilkan keuntungan yang cukup. Perdagangan terbuka yang di lakukan Batavia membuat Belanda harus memproduksi lebih banyak, akan tetapi pemberontakan Haiti menghancurkan produksi. Semua rempah-rempah di produksi dan di ekspor ke Amerika, hingga tidak ada satupun rempah-rempah yang tersisa satupun di gudang. Ini berarti ledakan ekonomi yang terjadi di Batavia karena kehabisan barang dagangan. Dan peperangan antara Denmark dan Britania pada 1807 memaksa parlemen Belanda mengeluarkan Undang-undang Embargo, akhirnya selama 10 tahun Amerika dan bangsa Eropa lainnya berhenti melakukan perdagangan di Hindia. Baru setelah itu Gubernur Jenderal Wiese menyerahkan kekuasaannya kepada penerusnya.117 Pada akhirnya, tanggal 31 Mei 1799, akibat hutang-hutang yang melimpahmeninggalkan hutang-hutang 134 gulden, VOC (Belanda) dinyatakan bangkrut
116 117
Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 154 Lihat Bernard, Vlekke, op. cit., hal. 274-275
145
oleh pihak pemerintahan Belanda, kongsi dagang ini dibubarkan. Tamat VOC (Belanda) di ranah Batavia. 118 Secara garis besar isi perjanjian tersebut sebagai berikut; 1.
2.
3.
Sistem monopoli VOC dengan akibat-akibat yang merugikan. Tujuan monopoli dagang ini adalah untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari perdagangan. Karena VOC merupakan sebuah persekutuan dagang yang terdiri dari para pedagang dan pemegang saham, maka mereka sama sekali tidak memperhatikan kehidupan atau membuat kebaikan terhadap orang-orang pribumi. Kehidupan perdagangan maritim seperti itu melemahkan perdagangan dan kekuasaan Belanda di Indonesia. Akibat pemerintah Belanda tidak memperhatikan nasib masyarakat, maka masyarakat pribumi menjadi sangat miskin. Mereka tidak mampu membeli barang-barang produksi yang dijual oleh Belanda. Bahkan tidak jarang penduduk pribumi tidak mampu membeli beras dan bahan-bahan makanan lainnya yang akan dijual oleh Belanda. Beberapa kebijakanan Belanda yang menyebabkan orang-orang Nusantara terus miskin.119
118
Lihat Zaenuddin HM, op. cit., hal. 9-11 Gilbert Khoo, Sejarah Asia Tenggara Sejak tahun 1500, (Kuala lumpur: Penerbit Fajar Bakti SDN.BHD, 1976), hal. 19. 119
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, pelayaran dan perdagangan di kawasan Laut Jawa telah membawa angin segar bagi pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Pantai Utara Jawa. Kegiatan ekonomiperdagangan telah berpengaruh terhadap penyebaran Islam di Jawa semisal; Banten, Demak, Tuban dan sebagainya. Kondisi ini, yang dialami oleh para pelaut dan pedagang di sekitar Laut Jawa. Mereka berasal dari Arab, Cina, India, Persia, Turki atau dari Asia lainnya. Hal ini, disertai oleh hubungan dagang dengan Islam atau bahkan penguasa lokal sekalipun. Hal ini, yang mendorong lalu-lintas dari dunia luar terutama kalangan pelaut dan pedagang Muslim dan hingga menjadi persekutuan dalam menghadapi pedagang asing maupun dari Jawa di bidang perdagangan dan sarana transportasi. Akan tetapi, wilayah Batavia tetaplah masih eksis sejak beberapa abad yang lalu, sebagai wilayah perdagangan. Dapat diketahui bahwa bandar niaga Kota Batavia telah memainkan peranan pentingnya sejak lama. Menurut data sejarah, paling tidak Batavia telah diketahui dalam tahun 1619 M, setelah Jayakarta jatuh ke tangan Belanda di bawah pimpinan Jan Piterszoon Coen. Di masa Belanda ini Jayakarta berganti nama yang mana para pedagang Arab, Cina, Persia, India, dan lain sebagainya sudah terbiasa dengan perdagangan bebas. Di samping dengan kedatangan dan
146
147
usaha Jan Pieterszoon Coen untuk mewujudkan cita-citanya semakin terbuka. Sejak itu mulailah pembangunan Kota Batavia, dan melengkapi benteng Jaccatra (sebagai tempat pertahanan dan tempat perlindungan dari aktivitas perdagangan maritim). Di sini orang-orang Belanda sibuk mengatur dokumen ribuan macam barang dagangan, perhitungan, pelaporan, dan pemeriksaan sebelum diteruskan ke gudang dan pos-pos dagang di sekitar Kasteel Batavia (kini Pasar Ikan). Tepatnya di daerah Kecamatan Penjaringan, Kelurahan Penjaringan yang terbentang antara Pasar Ikan dan Glodok. Namun letaknya yang sangatlah strategis di jalur keramaian antara India ke Cina dengan Jepang, dan disegala tempat. Setiap kapal dagang dan perahu dagang membawa isi muatan barang dagangan yang berlayar antar-Eropa dan Cina, dan berlabuh di Pantai Batavia. Terutama masyarakat Batavia memiliki arti khusus bagi orang berlayar dan berdagang di kawasan Hindia Timur, yang mencakup bangsa Eropa dan juga masyarakat Pribumi, pedagang Melayu dan pedagang Arab Hadramaut. Demikian halnya dengan para pedagang Cina, Jepang, Tonquin, Malaka, Cochin Cina dan Pulau Celebes (Pulau Sulawesi), dan Maluku. Hal ini dijadikan pinjakan dari aktivitas berlayar dan berdagang dan di arahkan ke tempat yang di tuju yaitu perairan Batavia. Selain, dari para pelaut dan pedagang sangat tertarik dengan bandar Batavia karena alasan-alasan sebagai berikut: kemudahan melempar sauh, terdapat air minum yang banyak dan melimpah, menghasilkan kayu bakar berlimpah dan dapat diperoleh tidak jauh dari pelabuhan, bahan makanan dapat diperoleh dari
148
selat Sunda, dan letaknya antara kepulauan rempah-rempah yang terletak di sebelah Timur. Hal ini diupayakan oleh pedagang-pedagang kecil hingga besar untuk memperoleh pekerjaan dan barang-barang dagangan. Hal tersebut guna menyusuri Sungai Ciliwung dan kanal kecil ataupun kanal besar (kali besar) yang dibuat oleh Belanda untuk memudahkan transaksi perdagangan yang bercorak maritim dari daratan hingga ke sebrang lautan. Keberadaan kanal kecil dan kanal besar dimanfaatkan sebagai awal pedagang melakukan transaksi barter sebagai bentuk penyaluran barang dagangan ke arah pasar, ataupun sebagai bentuk transaksi dengan pedagang-pedagang ke daerah pedalaman. Berlayar dan berdagang guna menyusuri Sungai Ciliwung mempunyai peranan penting dalam pengangkutan barang dagangan. Hasil agraris dan hasil hutan merupakan salah satu komoditas utama yang diangkut melalui pelayaran sungai. Selain itu juga hasil laut dan hasil kerajinan masyarakat. Sebagai contoh saja, komoditas lada diangkut dari daerah negara lain, sebagai penyuplai produsen lada ke daerah hilir atau ke Pelabuhan Batavia. Di tempat itu para pedagang dari berbagai daerah dan negara seperti pedagang Cina, Inggris, Belanda, dan pedagang Melayu sudah menunggu untuk membeli komoditas tersebut. Namun adakalanya para pedagang tersebut, terutama pedagang Cina, pedagang Arab, dan Melayu sudah terlebih dahulu membawa perahu dagang mereka masuk ke pedalaman untuk membeli langsung komoditas dagang yang mereka butuhkan.
149
Di antara mereka barang-barang yang dibawa dari dari Muara Angke (Jakarta Utara) dan diluruskan ke Perairan Batavia, meliputi; barang-barang porselin dan teh milik orang Cina yang akan diperjual-belikan di tempat tersebut. Komoditas lada, banyak diangkut dari wilayah hulu Sungai dan daerah pedalaman disekitar Sungai Ciliwung akan menuju ke Batavia. Namun pada saat terjadi kenaikan harga lada di pasaran, biasanya para pedagang (Melayu, Cina dan Eropa) berlomba-lomba untuk mendatangi daerah produsen agar bisa langsung membeli lada. Menurut pemberitaan Thomas Stamford Raffles di Pelabuhan Batavia sebanyak 239 kapal yang berlabuh ke Pelabuhan Batavia dengan membawa jumlah barang dagangan dengan kapasitas yang makin bertambah dari sejumlah 48.290 ton (di dalamnya terdapat barang muatan beras, rempah-rempah, bahan pokok sehari-hari dan sebagainya. Meski demikian, adanya hubungan dagang secara langsung dengan pospos dagang di Asia pada hakikatnya tidak mengganggu posisi Batavia sebagai pos dagang yang menjadi pusat VOC di Asia. Batavia menjadi pusat administrasi dan pembukuan. Lagi pula, aktivitas dagang kesemuanya ini dalam aktivitas perdagangan yang bercorak maritim dengan (Sri Langka, Kanton, Benggala), kesemuanya itu haruslah tunduk dan tata kepada Hoge Regering yang berpusat di Batavia. Seperti perkataan Sejarawan dari Arsip Nasional Republik Indonesia, Mona Lohanda, telah menjelaskan Cina berdagang memakai jalan maritim yang terbentang dari Amoy di Provinsi Fujian yang letaknya di Laut China Selatan
150
menuju ke arah Batavia sejak 1620 hingga awal abad XIX. Cina memiliki jung Cina yang memuat barang dagangan yang cukup besar pada abad XVII dan abad XVIII. Seperti pemberitaan Blusse sendiri pada tahun 1620, Coen telah mengajak Souw Beng Kong dan pedagang-pedagang Cina untuk datang ke Batavia dengan tujuan membangun Batavia. Selain itu, untuk menyuplai barang dagangan dari berbagai keperluan ke pihak Belanda dimaksudkan adalah dengan cara menarik Cina berdagang ke Batavia. Souw Beng Kong pun ingin menguasai produk yang sangat strategis. Barang-barang pokok sehari-hari digunakan untuk ekspor dan impor dari pesisir Batavia guna tukar-munakar barang dagangan, selain Batavia juga mengimpor untuk dijual ke pelosok-pelosok pedalaman. Setelah itu, Cina menerima penyerahan dari VOC (Belanda) pada Abad XVIII, pemerintah Batavia tetap mempertahankan kebijakan sebagaimana yang dilakukan oleh VOC (Belanda), adalah ikut menekan pedagang Pribumi, pedagang Cina, dan pedagang Arab serta monopoli barang-barang dagang yang ketat terhadap kekuatan Pribumi maupun Cina serta melakukan pembatasanpembatasan bongkar muat barang dagangan terhadap kapal-kapal asing untuk berlabuh hanya di beberapa pelabuhan di bawah administrasi yang ketat dari pihak Belanda. Selain dari dampak positif, juga membawa dampak negatif dalam bentuk memainkan monopoli komoditi perdagangan. Karena adanya pembatasan ruang gerak perdagangan di Asia Tenggara khususnya; di Batavia. Ditambah lagi, munculnya krisis ekonomi yang berkelanjutan yang dialami oleh Cina.
151
Selain, adanya monopoli yang dilakukan oleh Belanda menimbulkan prilaku buruk diaspek lini kehidupan. Sampai akhirnya pada tanggal 31 Mei 1799 VOC mengalami collapse, karena hutang-hutang Belanda mencapai sejumlah 134 gulden, sampai akhirnya VOC dinyatakan bangkrut oleh pemerintah Belanda dan akhirnya kongsi dagang ini dibubarkan.
DAFTAR SUMBER I. Sumber Tertulis A. Arsip ANRI, dalam koleksi Colenbrander, Coen, 1: 245. ANRI, dalam koleksi tentang Surat Coen kepada para direkturnya VOC, 10 Desember 1616. ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002 ANRI, Beviendingen op de eisen, ini di simpan (serinya tidak lengkap) dalam arsip Kamer Zeeland Archief, VOC 13472-13508 ANRI, Angka-angka ini diambil dari J. R Bruijn, F. S Gaatra, dan I Schoffer (ed), Dutch Asiatic Shipping in the 17 th en 18 th Centuries, Rijks Geschiedkundige Publicatien, Grote Serie 165-167 (3 Jilid; Den Haag, 1979 en 1987) (tentang perdagangan) Surat Kabar dan Majalah B. 1. Surat Kabar Aziz, Munawir, Jejak Cheng Ho, Antitesis Benturan Peradaban dalam harian Kompas, Minggu, 17-10-2010 Widi, Hendriyo, Bukan Belanda Kalau Tidak Berdagang dalam harian Kompas, Jum’at, 25-08-1995. B. 2. Majalah Prisma, No. 11, Th. XIII, 1984
153
154
Darmarastri, Hayu Adi, “Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928”, dalam Lembaran Sejarah, vol.4, No.2, 2002. C. Buku, Disertasi dan Jurnal Abeyasekere, Susan, Jakarta A History, ( New York: Oxford University Press, ,1987) Ahmad, Taufik, Jakarta Berawal dari Pelayaran dan Pelabuhan, (Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Museum Bahari, 2008). Anwar Ibrahim, dkk, Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989). Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah wacana dan kekuasaan,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999). .............................., Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Jakarta: Mizan, 2002) ............................, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007). Den, Van, Berg, Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara, judul asli, Le hadramaut et Les Colonis Arabes dans L’Acchipel Indien, Jilid III, terj., (Jakarta: INIS, 1989). B, Adrian, Lapian, (ed), Four Centuries Trade Relations Between Indonesia and Netherland 1595 – 1995 ............................, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, (Jakarta: Disertasi-Komunitas Bambu, 2009).
155
............................, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad XVI dan XVII, (Depok: Komunitas Bambu, 2009). Brundel, Fernand, Cilivilization and Capitalism: 15 – 18 Century, Volume II: The Wheels of Commerce, (Collins/Fontana Press, London, 1998). Chaudury, KN, Trade and Civilization in The Indian Ocean : Economic History from The Rise of Islam to 1750, (Cambrige: Cambrige University Press, 1989). Colenbrander, H.T. (ed), Dagh-Register genouden te Casteel Batavia vant paserende daer ter plaetse als overgeheel Naderlandts India Anno 16311634 (Batavia Landsdrukkery: s’-Gravenhage Martinus Nijhoff, 1898). Cortesao (ed), Armando, The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the east from the Red Sea to Japan; Written in Malacca and Indiain 15121515. 2 jilid, (London: Hakluyt Society, 1967). Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah, seri terjemahan, (Jakarta: Yayasan Universitas Indonesia, 1975). Graaf H. J de Graaf & Pigueaud Th. G. Th. , Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram, terj., (Jakarta: Grafite Pers, 1986), Haan, F. de, Oud Batavia, tweede herziende druk, (Bandung: A.C. Nix & Co., 1935). Haan, F. de (ed), Dagh-Register genouden te Casteel Batavia vant paserende daer ter plaetse als overgeheel Naderlandts India Anno 1680, (Batavia Landsdrukkery: S’Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919). Hall, D.G.E, Sejarah Asia Tenggara, terj., (Surabaya: Usaha Nasional, 1988).
156
Hall, R Kenneth, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia, (Honolulu: University of Hawai Press, 1985). Hanna, A. Willard, Hikayat Jakarta, terj., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988). Hans-Dieter Evers, “Tradisional trading networks of Southeast Asia”, dalam Archipel 35 (1988) 92. Hassan Shadily, John M. Echols, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2000). Haris, Tawalinuddin, Kota dan masyarakat Jakarta dari kota Tradisional ke kota Kolonial Abad XVI-XVIII, cet pertama (Jakarta: Wedatama, 2007) Heuken, A.SJ, Historical Sites in Jakarta, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1982) ....................., Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka, 1997). ....................., Dokumen-dokemen Sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1999) Houben V.J.H, dkk, Looking in Odd Mirrors: The Java Sea (Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Asië en Oceanië Leiden Universiteit, 1992). HM, Zaenuddin, Nostalgia Di Jakarta, (Jakarta: CV Java Media Network, 2008). J, Gerrit, Knaap, Shallow waters rising tide: Shipping and Trade in Java around 1775, ( Leiden: KITLV, 1996). Kartodirjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; Dari Emporium Sampai Imperium, seri terj., (Jakarta: Gramedia, 1988).
157
................................, Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992). Kim, Khoo Kay, Negeri-negeri Melayu Pantai Barat 1850-1873; (Kuala Lumpur, Kumpulan
Kesan Perkembangan Dagang Terhadap Politik
Melayu, 1984). Kutoyo, Sutrisno, dkk, Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung Ke Batavia, (Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986) Leirissa, R Z (ed), Sejarah Perekonomian Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996) Lohanda, Mona, The Kapitan of Batavia 1837-1942, (Jakarta: Djambatan, 1996). Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu Bagian I: BatasBatas Pembaratan, terj., (Jakarta: PT Gramedia Putaka Utama, 1996). Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu Bagian II: Jaringan Asia, terj., (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008). Lubis, Nina H, Banten dalam Pergemulan sejarah: sultan, ulama, Jawara, (Jakarta: LP3ES, 2003). Maacintyre, Donald, Sea Pasifis: A History from the Sixteenth Century to the Present Day, (London: Arthur Baker Limeted, 1972). Marhijanto, Bambang, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Terbit Terang, 2000).
158
Meilink-Roelofz, M. A. P, Asian Trade And Eroupean Influence: In The Indonesian Archipolego Between 1500 and about 1630, (Universitiet van Amsterdam s’-Gravenhade: Martinus Nijhoff, 1962 ). Nasuhi, Hamid dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi, (Jakarta: CeQDA (Center for Quality Development and Assurance ) Universitas Islam Negreri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007). Pierre, Labrousse, dkk., Etudes Interdisiplineres sur le monde insulindien: archipel 18, (Paris: Cedex, 1979) dalam artikel Leonard Blusse Chinese, Trade To Batavia During The Days Of The VOC Pradjoko, Didik, Pelayaran, Perdagangan dan Perebutan Kekuataan Politik dan Ekonomi di Nusa Tenggara Timur: Sejarah Kawasan Laut Sawu Pada Abad Ke XIII-XI, (Depok: Tesis- FIB UI Depok, 2009). ........................, Pokok-pokok Kajian Peradaban Masyarakat dan Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Depok: FIB UI Depok, 2009). Pramono, Joko, Budaya Bahari, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005) Raffles, Thomas Stamford, History of Java, (Yogyakarta: Narasi, 2008) Rahardjo, Supratikno, dkk., Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalur Sutera, (Jakarta: Depdikbud RI, 1996). Raharjo, Supratikno, dkk., Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah
Diskusi,
(Jakarta:
Proyek
Penelitian
Inventarisasi
dan
Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998).
159
Rahardjo, Supraktikno dkk, Demak Sebagai Kota Bandar Dagang Di Jalur Sutra ( Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998). Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I : Tanah di Bawah Angin, terj., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992). ........................, Dari Ekspansi Hingga Krisis, Jilid II: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, terj., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998) ......................., Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, terj., (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004) Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern, terj., (Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, 1995). ..........................., Sejarah Modern Indonesia 1200-2004 M, terj., (Jakarta: Serambi, 2005). Shahab, Alwi, Islam Inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Jakarta: Mizan, 1998) Soedjatmoko (ed), An Introduction to Indonesia Historiografy, (New York: Coenell University Press). Sulistiyono, Singgih Tri, Konsep Batas Negara Di Nusantara Kajian Historis’’ (Yogyakarta; Hasil penelitian yang dibiayai oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, 2009).
160
............................, ‘’The Java Sea Network: Pattern in the development of Integration Shipping and Trade in the Process of economic Integration in Indonesia, 1870-2 1970s (Leiden: Disertasi-Leiden University, 2003). Tjadrasasmita, Uka, Sejarah Perkembangan Kota Jakarta, (Jakarta : Pemda DKI, Dinas Museum Dan Pemugaran, April 2000) ..............................., Sejarah Jakarta Zaman Pra Sejarah Sampai Batavia Tahun ± 1755, (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI, 1977) Tjadrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2000). ------------------------, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: PT Gramedia, 2009). Valentijn, Franciscos Beschriving van Groot Djawa of the Java Major, (Amsterdam: Johanes van Bram, Grard on der de linden, 1726). Van Leur, J. C., Indonesian Trade and Society:Essay in Asian Social Economic History, (Bandung: van Hoeve The Hague, 1995). Vlekke, Bernard H. M, Nusantara: Sejarah Indonesia, terj., (Jakarta: PT Gramedia, Terjemahan, 2008). Weber, Max, The City, (New York: The Free Press, 1966). Yatim, Badri, Peran Ulama Dalam masyarakat Betawi, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, juni 1996) D. Website
http:// sejarah. kompasiana.com /2010/11/14/ perkembangan-perkapalan di-nusantara / (Dikunjungi tanggal 14 Maret 2011).
161
Novita, Aryandini, Situs Pasar Ikan: Kawasan Niaga Terpadu Pada Masa Kolonial
http://Jakartalama.wordpress.com/2010/11/03/situs-pasar-ikan-
kawasan-niaga-terpadu-pada-masa-kolonial/dikunjungi pada tanggal 13 Juli 2011).
Batavia dalam jaringan perdagangan Asia Pada Abad 17 dan 18 dalam http://kns-ix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20 Kanumoyoso, %20 M. Hum. pdf (dikunjungi tanggal 13 Juli 2011).
http://www.forumbudaya.org/index.php?option=com_content&task=view &id=864&Itemid=34 (Dikunjungi tanggal 17 Maret 2011).
http://www.scribd.com/doc/13353992/Sejarah-VOC-di-Indonesia (Dikunjungi tanggal 17 Maret 2011). http://www.rinduallah.com/dakwah/sejarah, (Dikunjungi tanggal 17 Desember 2011).
II. Sumber Lisan
Wawancara Pribadi Mona Lohanda Selaku Sejarawan dari Arsip Nasional Republik Indonesia, 9 Maret 2011. Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, peneliti dosen Universitas Indonesia, pada tanggal 24 Mei 2011 digedung Arsip Nasional Republik Indonesia.
162
Wawancara Pribadi M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari, pada tanggal 8-9 Juni 2011.
163
Lampiran 1: Peta Perkembangan Agama Islam Abad VII-XVII.1
1
Mc. Suprapti, dkk., Peta Sejarah Indonesia, (Jakarta: Depdikbud Dirjend Kebudayaan Djitaranitra PIDSN, 1991-1992), h. 268.
164
Lampiran 2: Peta Pusat dan Jalur Pelayaran Abad XVI-XVII2
2
Mc. Suprapti, dkk., Peta Sejarah Indonesia, (Jakarta: Depdikbud Dirjend Kebudayaan Djitaranitra PIDSN, 1991-1992), h. 267.
165
Lampiran 3: Jan Pieterszoon Coen 1619.3
3
http://www.scribd.com/doc/13353992/Sejarah-VOC-di-Indonesia (Dikunjungi tanggal 14 Maret 2011)
166
Lampiran 4: Lambang Kota Batavia.4
4
‘’http://id.wikipedia.org/wiki/Batavia"(Dikunjungi tanggal 15 Maret 2011)
167
Lampiran 5: Logo Batavia5
5
http://www.belajarsejarah.com/?pilih=materinya&detail=materimu&id=12 (Dikunjungi tanggal 14 Maret 2011)
168
Lampiran 6: Out Jacatra.6
6
Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
169
Lampiran 7: Stasiun Beos pada Abad XVIII (atas), Peta Rekonstruksi letaknya kota Jayakarta dan kastael Belanda tahun 1619 menurut J.W. Ijzerman.7
7
http://www.scribd.com/doc/13353992/Sejarah-VOC-di-Indonesia (Dikunjungi tanggal 14 Maret 2011)
170
Lampiran 8: Sejarah Masa Keemasan Belanda.8
8
Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
171
Lampiran 9: Rempah-rempah.9
9
Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
172
Lampiran 10: Gudang perniagaan disisi Timur (Oostzijdsche Pakhuizen) atau disebut juga Gudang Gandum (Graanpakhuizen).10
10
Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
173
Lampiran 11: Memperlihatkan Suasana Pelabuhan Batavia Abad XVII. 11
11
Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
174
Lampiran 12: Museum Bahari.12
12
Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
175
Lampiran 13: Menara SyahBandar dan Museum Bahari.13
13
Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
176
Lampiran 14:
Armada dagang yang digunakan Belanda Pada abad XVII-XVIII.14
14
Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
177
Lampiran 15: Museum Bahari.15
15
Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
178
Lampiran 16: Museum Bahari.16
16
Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
179
Lampiran 17: Penghubung pelabuhan jalur laut.17
17
Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
180
Lampiran 18: Foto dua bersaudara Gubernur Cornelis de’ Houtman sebagai adik (Atas) Foto Frederik sebagai kakak (Bawah).18
18
http://www.scribd.com/doc/13353992/Sejarah-VOC-di-Indonesia (Dikunjungi tanggal 14 Maret 2011)
181
182
183 Pada tanggal 10-13 November 1611, akhirnya tercapai juga perjanjian antara Belanda yang diwakilkan oleh L’ Hermito dengan pangeran Jayakarta: isi perjajian tersebut kemudian disahkan oleh pada era Gubernur Jenderal Pieter Both pada bulan Januari 1612. Garis besar isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bahwa orang-orang Belanda yang datang ke negerinya ke Jaccatra akan diterima baik oleh Pengeran Jayakarta dan mereka diperbolehkan berdagang di kota ini. 2. Di samping itu mereka diperbolehkan mendirikan sebuah loji untuk menyimpan barang–barang dagangannya. 3. Untuk menggunakan tanah dan mendirikan loji itu VOC Belanda diwajibkan membayar kepeda Pangeran Jayakarta sebesar 1.200 real. 4. Semua barang dagangan yang dibeli ke pihak Jaccarta baik cukainya harus diberikan kepada pihak Pangeran Jayakarta dan pejabat-pejabat cukai tersebut. Barang-barang dari Cina dan bahan makanan tidak dikenakan cukai. 5. Kedua belak pihak saling membantu, jika ada serangan dari musuh koloninya. Tetapi jika Pangeran Jayakarta mulai mengadakan perang terhadap pihak lain maka orang-orang Belanda tidak berkewajiban untuk membantunya. 6. Orang-orang Portugis dan Spanyol tidak diizinkan untuk masuk dan berdagang di kota Jaccarta. 7. Orang-orang Belanda diperbolehkan mengambil kayu-kayu dari pulau-pulau untuk membuat kapal. 8. Orang-orang yang melarikan diri dari satu pihak ke pihak lain akan dikembalikan oleh kedua belah pihak.
184 9. Pangeran Jaccarta berjanji akan campur tangan dalam masalah pengajuan hutanghutang dan tidak setidak-tidaknya akan memberitahukan kepada Syahbandar. 10. Pangeran Jaccarta dan orang-orang Belanda kedua belah pihaknya akan menghukum orang-orangnya masing-masing jika berbuat salah.1
1
Menurut Nia seorang pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia, yang telah membantu menerjemahkan di gedung Arsip. Lihat ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering)/HR 3597, 1612, hal. 59 dan 60
185
186
187
188
189
190
191