BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masa lah Sejak periode awal kem unculan teknologi pem buatan film pertam a di H india-Belan da pada paruh kedua tahun 1920an , pengelolaannya berada di bawah tangan-tangan bisnis orang Tionghoa dan Eropa.1 Kepiawaian m ereka berperan m enciptakan dan m engem bangka n bidang industri film hiburan sam pai periode pendudukan Jepang. Sepanjang periode akhir m asa Kolonial in ilah film m ula i dik aterorikan berdasar kelas dan selera. Pada saat itu persaingan industri belum terlalu rum it, nam un kesulitan datang dari kem am puan m emenuhi selera tiap -tiap kelas m asyarakat secara m erata. Kelom pok yang m ewak ili bisnis film untuk golongan m enengah ke bawah di H india-Belan da m erupakan orang-orang Tionghoa sendiri. Model industri perfilm a n Tionghoa yang p alin g utam a d irintis oleh The Teng Chun sebelum akhirnya dibubarkan Jepang. Keluarga The m erupakan keluarga saudagar yang pertam a kali m em bangun sebuah pabrik (studio) film yang lengkap di Batavia. Sebelum nya, The Teng Chun dikirim
ayah nya,
The
Kim
Ie,
pergi
ke
Shanghai
untuk
m ewakili
perusahaan im por film Cino Motion Picture m em ilih film yang cocok untuk pasar H india-Belanda. Setelah kepulanggan n ya pad a tahun 193 0, Charlotte Setia jadi-D unn, Thom as Barker, “Mem bayangkan ‘Indonesia’: Produser Etnis Tionghoa da n Sinem a Pra -Kem erdekaan”, dalam Khoo G aik Cheng, Thom as Barker (eds.), Mau dibaw a ke Mana Sinem a Kita?: Beberapa Wacan a Seputar Film Indon esia , (Jakarta: Salem ba H um anika, 2011), hlm . 34 1
1
The Teng Chun m endirikan studio, m em beli kam era dan peralatan dari Am erika, bersam a adik-adiknya ia m endirikan JIF (Java Industrial Film ). 2 The
Teng
Chun
sengaja
m em ilih
penonton
Tionghoa
sebagai
penonton utam anya dengan alasan jurang ba hasa. Kendala bahasa yang kerap kali dih adapi penonton T ionghoa saat m enyaksika n film buatan Shanghai m em icu The Teng Chun untuk m enetapka n pangsan ya pada pem buatan film -film berbahasa Melayu yan g dian gkat d ari sastra Chin a Klasik dan Melayu -China. Tiga film produksi JIF, Boenga Roos dari Tjikembang (1931), Melati van Agam (1940) dan Da sim a (1941 ) sem uanya diangka t dari novel klasik, 3 selebihnya JIF juga banyak m em buat film film silum an dari tradisi Chin a klasik. Langkah ini tid ak hanya berhasil m enarik perhatian kalangan Tionghoa tetapi juga m em bentuk selera bum iputra
yang
m ayoritas
belum
berpendidikan
m elalui
laga
da n
nyanyia n. H ubungan baik Teng Chun dengan orang-orang dari panggung sandiwara dan pengusaha bioskop m em bawa kestabilan pada bisn is film JIF
dan
m em buatnya
m am pu
bertahan
m elewati
zam an
m alaise.
Konsistensi juga didapat dari penerbitan JIF Journal sebagai m edia publikasi film -film JIF di tahun 1940an. 4
Lihat Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jaw a, (Jakarta: Komunitas Bam bu, 2009), hlm . 150-151, 208 2
Christopher Allen Woodrich, “Ekranisasi Awal: Bringing Novels to Silver Screen in D utch East Indies ”, Tesis, (Yogyakarta: Jurusan Ilm u Sastra S2, Fakultas Ilm u Budaya, Un iversitas G adjah Mad a, 2014), h lm . 24 3
4 JIF m erupakan satu-satunya perusahaan film di era perintisan pada m asa Kolonial yang tidak pernah bangkrut, lihat Misbach Yusa Biran, op.cit., hlm . 211-212
2
D i sam ping
m em pertinggi publikasi dan
pem ilihan
kisah -kisah
populer, film -film buatan orang Tionghoa juga berusaha m em perkenalkan ikon-ikon berupa wajah-wa jah rupawan
perem puan -perem puan Asia
Tim ur. D i tahun 1929, Nansing Film di H india-Belanda m endatangkan aktris dari Shangha i bernam a O live Young untuk mengisi peranan pada film Resia Boroboedoer. 5 Bagi publik Tionghoa, O live Young sudah dikenal m elalui
film -film
im por
dari
Sh angha i
sebagai
sosok
m odern
dan
sensasional akibat keberaniannya m enunjukkan lekuk tubuh. Meskipun kehadiran O live Young dikabarkan tidak m em ban tu penjualan film di H india-Belanda, ia sendiri m endunia m enjad i bintan g film H ollywood di tahun 1930an. 6 Perihal
keberanian
m em buka
baju
telah
m e nja di
isu
seum ur
industri film dunia. Industri perfilm an Am erika di awal abad 20 m encatat judul film paling m egah da n am bisiu s karya D .W. G riffith berjudul Intolerance. Sejak dikeluarkan pad a tahun 1916, film b isu itu disebutsebut sebagai film seni kom ers ial pertam a di dun ia. Perhatia n lantas tertuju pada adegan perem puan-perem puan Babylonia sem i tela njang dalam sebuah adegan ritual d i kuil cinta. Sejak saat itu, protes banyak dilontarkan pa da sektor perfilm an yang dianggap m ewakili keruntuhan m oral m asyarakat Am erika. Masala h m oral ini kem ba li d iperm asalahkan ketika apresiasi p ada tubuh d an hubungan seksual berm unculan dalam perfilm an Eropa. Pada tahun 1933, sebuah film hitam -putih berjudul
5
Ibid., hlm . 89-90
Ekky Im anjaya, A to Z about Indonesian Film , (Bandung: Mizan, 2006), hlm . 107 6
3
Ecstacy dirilis di negara-negara Eropa Tengah dan m enja di film nonpornografi yang pertam a kalinya m encirikan hubungan seksual dengan m enunjukan wajah berga irah seorang perem puan saat berhubungan intim . 7 D em i Mem bendung perkem bangan nilai estetis-seksual, sejak tahun 1930 sensor Amerika m em buat sebuah kode produksi yang dikenal dengan nam a H ays Code untuk m em berikan batasan pada apa yang
boleh
dan
tidak
boleh
ditam p ilka n
film -film
yang
diputar
di
Am erika. 8 Mem pelajari latar belaka ng di a tas, penggunaan daya tarik seksual telah ada dan m ulai dipertim b angkan sebaga i bagian form at film sejak sebelum Indonesia merebut kem erdekaan. Persepsi um um pada saat itu ialah selera seks dan kekerasan d alam film m erupakan kecenderungan negatif film -film im port Am erika, Eropa dan Mandarin. Citra buruk berupa perkelahian dan tindak asusila pada film lan tas m enim bulkan kecem asan pem erintah Kolonial. Maka serupa dengan gagasan yang m elatabelaka ngi H ays Code di Am erika, dibuatlah sebuah kebijakan untuk m eningkatkan m inat dan kem am puan produksi film di H india Belanda, sekaligus m enyeim bangk an citra negatif orang Barat dengan citra penduduk H india-Belanda dengan m endorong penduduk untuk m engalihka n tontonan ke film dalam negeri. Kebijak an ini m e lahirkan
Patrick Robertson, Film Facts, (New York: Billboard Books, 2001), hlm . 66 7
8 Jon Lewis, H ollyw ood v. H ard Core: H ow the Struggle O ver Censorship Saved the M odern Film Industry, (New York: New York University Press, 2002), hlm . 301 -302
4
O rdonanntie Film da n Film Verordering 1940 pa da bulan O ktober 1940. 9 Peraturan ini kem udian dijadikan dasar Sensor Film Indonesia untuk m engatur kesusilaan, keam anan dan m enja ga stabilitas produksi film Indonesia pasca Revolusi hingga separuh periode Orde Baru .10 Pada perm ulaan abad 20, proyeksi gam bar bergerak telah dikenal m em iliki kekuata n persuas i yang am puh. Sejak m anfaa t dan keunggulan film ini m ulai diperhitungkan secara psikologis, penggunaannya sem akin m eluas. Film m ulai dipakai sebagai bahasa lain untuk m enyam paikan pesan dan pencitraan m elalui sim plifikasi peristiw a. 11 Berakhirnya perang rev olusi telah m enga ntarkan m asyarakat ke sebuah
babak
baru
kehidupan
bernegara
yang
berdam pak
kepada
peningkatan produksi ide dan gagasan. Perubahan ke babak baru kerap kali m enim bulkan m asa lah a daptasi sosial dan ekonom i bagi ind ividu yang m enghabiska n usia peralihannya da lam keadaan berperang . 12 Pada titik ini, am b isi intelek tual dan ideologi dalam m ed ia m assa dilanjutkan ke dalam
bentuk yang lebih m odern berupa proyeksi audio-visual.
9 Sebelum nya kebijakan sensor film di H india -Belanda terbatas peraturan tentang perbioskopan. H al ini disebabkan banyaknya film asing yang m enunjukan tindak krim inal m asyara k at Barat, sehingga pem erintah K olonial m erasa perlu m enyaringnya, lihat M. Sarief Arief, Politik Film di H india Belanda , (Jakarta: Kom unitas Bam bu, 2010), h lm . 69-70
Sen, Krishna, Kuasa dalam Sinem a: Negara, Masyarakat dan Sinem a O rde Baru, (Yogyakarta: O m bak, 2009), hlm . 119 10
Andre Bazin, Sinem a, Apakah Itu?, Pendidikan d an Kebudayaan, 1996), hlm . 3 -6. 11
(Jakarta:
D epartem en
Moehkardi, Pelajar Pejuang: Tentara G enie Pelajar 1945 -1950, (Surabaya: Yayasan Ex Batalyon TG P Brigade XVII, 1 983), h lm . 362-364 12
5
Kesadaran gender m ulai diperhatikan sebaga i sebuah proses perbaikan sosial dan m enjadi bagian tem a kesenian, khususnya film . Indonesia pasca berperang m elahirkan situasi m asyarakat yang tengah diliputi sem angat revolusi dan patriotism e yang m endorong upaya penyaluran gagasan tentang perubahan sosial ke dalam film -film bertem a perjuangan dan kehidupan tentara. Film -film sem acam ini b iasanya berlandas pada prem is seputar perm asalahan sosial lak i-laki m eliputi guncangan psikologis, kom petisi, perkelahian sam pai hubungan m utual dengan perem puan. Tentunya kecenderungan tem a-tem a dem ikian hadir di ham pir seluruh negara yan g pernah m em produksi film , sehingga akan sangat m engagetkan apab ila tid ak terjadi di Indonesia . Akan tetapi, ciri khusus yang terjadi d i In donesia ia lah ungka pan n asionalism e dan patriotism e ini turut pula m elahirkan istilah Film Nasional. 13 Film Darah dan Doa yang dibesut Usm ar Ism ail pada tahun 1950, didaulat sebagai p ionir film nasional. 14 D itinjau dar i segi la kon dan
Film Nasional dipertim b angkan sebaga i film yang berupaya m engangkat unsur dan nilai-n ila i luhur nasional. Menurut gagasan Soem ardjono, Film Nasional diarahkan kepada penciptaan daya intelektual, pengem bangan wata k kebangsaan, serta m erobohkan im perialism e film asing. Tid ak m engherankan karena pada periode pra Kem erdekaan m uncul generasi baru pem buat film bum iputra yang berkeinginan keras m enguasai kem ba li produk kebudaya an loka l, sehingga kem udian apa yang erat disebut Film Nasional haruslah nasionalis, idealis, asli b um iputra dan m enola k kolonia lism e, lihat Thom as Barker, “Mem pertanyakan G agasan Film Nasional”, dalam Khoo G aik Cheng, Thom as Barker (eds.), op.cit., hlm . 14 13
D alam m enggarap Darah dan Doa, nam paknya Usm ar dipengaruhi oleh jenis film Noir yang dipopulerkan di Italia pasca Perang D unia II. Aliran ini lebih kepa da teknis visual film nam un juga m em uat im ajinas i dan kritik laki-la ki terhadap pem erintah an serta kehidupan sosial, seperti kebanyakan karya seni. O leh karenanya, perem puan hanya kerap didefinisikan sebagai bagian m otivasi lak i-laki, tentan g perem puan 14
6
representasi individu, lakon perem puan yang populer nam paknya ialah perem puan-perem puan tem pat bersinggah laki-laki m engeluarkan keluh kesahnya. Tidak m engherankan da lam satu film terdapat ba nyak la kon perem puan datang silih berganti. Darah dan D oa sendiri berkisah tentang protagonis laki-laki yang m enurut sang sutradara m erupakan gam baran laki-lak i yang m anusiawi, seorang tentara peragu sekaligus pecinta perem puan. Selain dilanda persoalan akiba t perang, Kapten Sudarto gem ar berpindah dari satu perem puan ke perem puan lain m engakibatkan perubahan persepsinya terhadap perang itu sendiri, sepanjang perjalan D ivisi Siliwan gi long m arch dari Jawa Tengah kem bali Jawa Bara t. 15 G am baran film -film 1950an m enunjukkan dom inasi perm asalahan laki-lak i yang
d ianggap
tengah
m enga lam i guncangan
sosial pasca
perang, sekaligus berkeinginan m enam pilkan m odel-m odel perem puan berm ental revolusi yang layak m endam pingi. Sebaga i gam baran, film Lew at Djam Malam (1954) m enunjukan kegundah an protagonis lak i-laki di antara dua tokoh perem puan, tunangannya dan seorang perem puan penghibur. Tokoh utam a Lew at Djam Malam secara sim bolis m erupakan kritik kebim ban gan sosial pasca perang, bentuk kebim bangan serta pem ecahannya yang ia cari ada p ada dua tokoh perem puan yang ditem uinya. Penokohan perem puan dalam fantasi laki- laki tahun 1950an
dalam Noir lihat E. Ann Kap lan (ed.), W om en in Film N oir, (London: British Film Institute, 1978), h lm . 35 Thom as Barker, “Mem pertanyakan G agasan ‘Film Nasional”, dalam Khoo G aik Cheng, Thom as Barker (e ds.), op.cit., hlm . 11 15
7
turut m endukung wacana model awal ibu
m ilitan yang senantiasa
m enjadi pendorong laki-la ki sebagai pejuang. 16 Darah dan Doa dan beberapa film -film
Nasional Usm ar Ism ail
diangga p sebagai titik awal kebangkita n pe rfilm an Indonesia. Nam un pada perjalanann ya, Darah dan Doa tidak m encapai titik m em uaskan dalam bidan g industri. Film ini justru ditanggapi serius oleh pejabat m iliter di daerah karena dianggap m engancam kharism a tentara. Barulah sukses kom ersial dirasakan Usm ar saat ia m em buat film Tiga Dara pada tahun 1956. Film
dram a m usikal yang m enggam barkan kehidupan
rum ah dan percintaan tiga gadis bersaudara . O leh sebagian senim an film sezam an, Tiga Dara diangga p sebagai bentuk kom prom i Usm ar Ism ail yang terkenal idealis. 17 Butuh waktu beberapa tahun film di sebuah negara m enunjukkan potensinya sebagai kom o ditas yang m ahal. Beberapa poin m em buka kesadaran ini antara lain: para pem buat film m ulai m enyadari betapa berharganya film untuk dijual, penonton m ulai m engem bangkan selera, dan pedagang film m enyadari film bukan kom oditas sederhana. 18 Pada periode awal film beredar di H india-Belanda, belum ada yang secara terbuka m au m elakukan
mem buatnya. Para pengusaha Tionghoa
im por
dan
m enyewakan
film -film
kepa da
lebih banyak penyelenggara
Tentang m odel ibu m ilita n lih at Saskia E. Wieringa, “The Birth of The New O rder State in Indonesia: Sexual Politics and Nationa lism ”, Journal of Wom en’s H istory , Vol.15 No.1, Spring 2003, hlm . 74 16
Salim Said, Profil Dunia Film Ind onesia, (Jakarta: G rafiti Pers, 1982), hlm . 57 17
Michael Chana n, Labour Pow er in th e British Film Industry , (London: British Film Institute, 1976), hlm . 1 18
8
eksibisi (bioskop), di sam ping sesekali m em buat film bengkel atau film m urah yang lebih m irip pan ggung sandiwara. Pada paruh kedua tahun 1940an hingga aw al 1950a n, industri perfilm an m ulai diban gun kem bali di atas perekonom ian yang m asih rapuh. Para pengusaha film Tionghoa berpacu satu sam a lain m elawan resiko dan arus deras film Am erika dan H ong Kong guna m em berdayakan film sebagai laha n bisnis hiburan . Bagi m ereka film m erupakan produk kesenian yang m endatan gkan keuntungan ba ik secara ekonom i m aupun sosial, sehingga secara tid ak langsung berseberangan dengan gagasan Film Nasional. Meski kualitasnya jauh dibawa h Film Nasiona l, pada hakikatnya film -film buatan orang T ionghoa lebih dulu m em bentuk pengetahuan
dan
selera
penonton
lewat
tem a-tem a
rom antis
khas
H ollywood, adu pedang dari H ong Kong, dan fiksi klasik China- Melayu . Aktris “berani” seperti O live Young tentu m erupakan kom ponen kom ersial film , sehingga pada perkem bangannya saat perfilm an In donesia m ulai berdiri kem bali di a tas konteks in dustrial, cerita film Indonesia terpaksa ikut m encelupkan diri da lam form at dan selera yang telah a da. Selera pasar ini m enunjukkan adan ya rasionalitas khala yak saat m engkonsum si hiburan film , 19 sekaligus m encerm inkan film sebagai kom oditas m ahal, ditunjukan dengan kegiatan industrinya yan g m eningka t . Baik pad a m asa Kolonial m aupun sesudah kem erdekaan , film dalam negeri yang m encoba m em pertontonkan adegan percintaan dalam posisi horizontal m erupakan produk terlarang. Larangan ini lantas d iguncang di
A. Mangunharjana, Film ; Sejarah, Tehnik (Yogyakarta: Puskat B agia n Publikasi, 197 4), h lm . 55 19
dan
Seninya ,
9
penghujung tahun 1940an . Saat itu , H uyung seorang serdadu Jepang keturunan Korea ditugaskan m enguasai bidang kebudayaan pa da periode pendudukan Jepang. Nam un dalam perjalanannya ia m alah berinisiatif m em bantu produksi film di Indonesia . Melalui perusahaan film Stichting H iburan Mataram d i Yogyakarta, film Antara Bum i dan L angit dilahirkan pada tahun 1950 d ari hasil tulisan Arm ijn Pane d an arahan dari H uyung. Kabarnya film ini d itolak sensor karena m encoba m em pertontonkan adegan cium an yang sebelum nya tidak populer di dalam produk seni dan budaya Indonesia. Tahun 1950 tidak hanya awa l kebangkitan kem bali seni dan budaya Indonesia, nam un juga titik awa l m unculnya penggunaa n daya tarik perem puan di dalam bentuk ekspresi seni m odern. Kenyataannya alam politik Indonesia yang m asih diliputi euforia kem erdekaan cukup ketat m enyeleksi ide-ide seksualitas dalam m edia. Pespektif g ender belum banyak
berubah
sejak
periode
kolonial,
hal ini diakib atkan
m asih
terdapat sikap an ti terhadap isu yang berasal dari pem ikiran Barat. Resistensi terhadap pem ikiran B arat m ulai beralih saat Indonesia lebih gia t bergaul di ka ncah internasiona l pada m asa O rde Baru . Budaya asing dap at d iterim a sebaga i konsekuensi keterlibatan negara di b idang kom unikasi internasional, sehingga ap apun bentuknya perlu diapresiasi. Nam un, tidak ada penjelasan lebih lan jut apa yan g dim aksud dengan budaya asing di dalam kriteria yang perlu diapresiasi atau direstriksi.20 Nam paknya O rde Baru berusaha m enenggelam kan diri dalam perilaku
Krishna Sen, D avid T. H ill, Media, Culture and Politics in Indonesia , (Jakarta: Equinox Publishing, 2006 ), hlm . 141 20
10
konsum tif dem i m enolak ideologi-ideologi asin g seperti kolonialism e, im perialism e, fasism e dan kom unism e. Produksi film sejalan dengan high cost econom y, dengan kata lain sebuah industri dengan banyak kom ponen di dalam nya. Seperti apa yang ditulis Johan Tjasm ad i bahw a perfilm an harus m am pu m em pertahankan jaringan dengan m enja ga stabilitas jum lah pasokan film secara berkala. 21 Mem pertahankan film identik denga n m em pertahankan perhatian orang banyak. O leh karena itu , publisitas film sangat penting. Kesadaran inilah yang
m em bawa
upaya
m enyem purnakan
penyelenggaraan Festival Film
Indonesia
industri
kesenian
m elalui
1955. Pa da perjalanannya,
industri film Indonesia m ulai bergejolak ketika film diproduksi dengan am bisi sukses tayang d an m eningkatnya apresiasi penonton. Pa da titik ini, perfilm an m ulai bereksperim en, m erum uskan kem bali apa yang m enjadi selera pasar. Menurut kesepakatan pada tingkat D ewan F ilm Nasional tahun 1980, selera pasar m erupakan istilah lain “apresiasi” yang dibentuk oleh tiga hal, yaitu: jenis film ya ng m engguasai pasar, latar belakang kebudayaa n dan pendid ikan, dan ktitik pers. 22 Kegagalan m em enuhi ketiga kriteria tersebut berakibat pada upaya m enyeragam kan selera yang ditem puh dengan menciptakan tren. D i dalam kondisi ini seksualitas dan selera m elodram a terus diulang dan berlanjut h ingga m eletusnya
apa
yang
disebut
m edia
sebagai
bom
seks
perfilm an
Indonesia di tahun 1980 an.
21
Johan Tjasm adi, op.cit., hlm . 4
D ewan Film Nasional, Pola Dasar Pem binaan dan Pengem bangan Perfilm an Nasional, (Jakarta: D ewan Film Nasional, 1980), hlm . 50 22
11
Apresiasi terhadap tem a-tem a seksualitas dalam bidang kesenian didukung berkat kelebihan dan kelem ahan politik dan ekonom i O rde Baru. Sepanjang a wal periode O rde Baru , kebijakan ekonom i negara berjalan ke arah kapita lisasi dan perbaikan taraf hidup m elalui Repelita sesuai dengan agenda O rde Baru . Pada periode yang sam a, polem ik seks m alang m elintang di surat kabar, for um kesenian, bahkan d i tingkat akadem ik,
seolah
sem ua
orang
sedang
keracunan
seks.
Beberapa
kalanga n m engkhaw atirkan krisis m oral ya ng ak an ditanggu ng generasi m uda, nam un ada pula yang m em ak lum inya sebaga i sikap kom prom i terhadap m odernisasi. Kondisi ini nam pak nya bukan hanya dam pak tidak langsung dari perdebatan ten tang seks yang riuh di negara -negara Barat sekitar tahun 196 0an, nam un juga kond isi yang m enunjukan perm intaan
terhadap
produk -produk
berm uatan
seks
dan
budaya
kapita lis m em ilik i keterkaitan. G agasan di atas d iperkuat dengan m elonja knya jum lah film -film yang m enyinggung tem a-tem a seks sejak akhir 1960an dan 1970an. Selepas tahun-tahun tersebut, Lem baga Sensor Film baru m ulai giat m erinci kencenderungan erotis di dalam industri perfilm an Indonesia, hasilnya deka de 1980an da n 1990an dianggap yan g terburuk.23 Pada periode
ini, film -film
kom edi sengaja
m em adukan
lawak a n
dengan
perem puan-perem puan berpakaian m in im disertai iringan dia log-dialog profan. Bersam aan dengan kebebasan penafsiran tem a -tem a film , kostum
Lem baga Sensor Film , Paradigm a Baru Lem baga Sensor Film Sebagai G arda Budaya Bangsa , (Jakarta: LSF, 2005), hlm . 48 23
12
perem puan pada film -film silat da n legenda pun ikut terpangkas. Terlebih lagi tem a tenta ng pergaulan bebas bukan suatu hal yang aneh la gi.
B. Rum usan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian Kem eriahan Festival Film Indonesia di tahun 1977 m enghasilkan sebuah catatan statistik film yan g disusun Taufik Ism ail di tahun yang sam a. Menurut catatan yang m endata 27 buah film peserta lom ba , berkenaan dengan penggunaan sim bol seksual, lebih dari 50 persen m enam pilkan tokoh perem puan tuna susila di sebuah kelab m alam di kota dan sekitar 40 persen m enunjukan hubungan kelam in dengan pelacur atau bukan-pelacur, disertai ungkapan seksual yang kuat. 24 Kisah dan ekspresi tokoh perem puan tuna susila pertam a kali coba diterapkan pada film Sedap Malam (1950) dan Lew at Djam Malam (1954 ). G agasan tentang seksualitas sem acam ini, m eski tidak eksplisit, telah dicoba diutarakan sejak publikasi perfilm an Indonesia m ulai berkem bang di m asa pem erintahan Soekarno, sebagai dam pak kestabilan sosialekonom i serta m odernisasi gaya hidup di tingkat kota. Selepas periode Revolusi, m elalui gagasan ini industri film yang berbasis di Jakarta m ulai m enunjukan keinginan m enyeja jarkan dir i dengan industri film asin g. Melihat daftar film sejak tahun 1950an nam pak sebagian film dibuat dengan tujuan sederhana dari para senim an untuk m engkam panyekan sem angat berbangsa, ta npa turut cam pur khusus dari pem erintahan. Sejak tahun 1967, transisi pem erintah an diikuti oleh peralihan ke tem atem a film yang lebih bersifat hiburan dan terikat kepentingan b isnis. 24
Taufiq Ism ail, “Cerita Angka, FFI 1977”, Tem po, 12 Maret 1977
13
Kepentingan in i la ntas sengaja dia tur untuk m em percepat stabilitas industri film yang luluh pasca boikot film sejak tahun 1964 . Selepas tahun-tahun tersebut, bahasa visual film jauh lebih terbuka serta leluasa m enguraikan lekuk tubuh perem puan sam pai m engutara kan secara eksplisit aktivitas seksual anak-anak m uda. H al ini bertepatan dengan serangkaian upaya negara m em berlakukan a turan pada tingk atan sosial dari m enertibkan generasi m uda pasca Malapetaka Lim abelas Januari di tahun 1974 sam pa i ke pengaturan ten tang perkawinan. Tradisi ini terus berlanjut, bahka n seolah m enjadi sikap m elestarikan politik seksual O rde Baru m em asuki periode tahun 1980an. Melihat p ada beberapa kondisi di atas m em unculkan pertanyaan besar, apa yang m enyebabkan m unculnya toleransi/intoleransi kebertubuhan
perem puan
dalam
kaitannya
dengan
politik
atas
seksual
sepanjang industri perfilm an Indonesia? Menim bang perm asalahan yang telah dia jukan, m aka m uncul beberapa pertanyaan lain yang penting untuk diajukan dan dijawab: A. Kapan gagasan kebebasan ekspresi atas tubuh m ulai berkem bang pada ranah perfilm an In donesia? B. Mengapa gagasan seksual dengan m engedepankan ekspresi tubuh perem puan yang sebelum nya m endapat penolakan pada m asa pem erintahan Soekarno, dapa t diutarak an sekaligus diproduksi secara terbuka saat transisi ke O rde Baru hingga m enciptakan tradisi erotis pada sebagian besar produksi film tahun 196 7 ke atas?
14
C. Bagaim ana cara pem erintah m engenda likan d an m em anfaatkan ekspresi tersebut? D . Apakah kondisi ini m em pengaruhi perspektif hubungan seks serta representasi perem puan film -film Indonesia? H ipotesis yang dapat d itarik di awa l ia lah seksualitas khususnya yang dia lam atkan untuk m em b atasi perem puan tid ak sem ata-m ata buah produk patriarki, m eskipun m em ang laki- laki m em ainkan peran besar sebagai sosial agennya. Pada dasarnya kondisi sosial-ekonom i sebuah negara pun m enjadi pertim ba ngan, dalam m asalah ini ialah tim bulnya dom inasi kapita l di perkotaan dan bertam bahnya kalangan m enengah sebagai konsum en. Laki-laki m ulai m elem bagakan diri m ereka m elalui perusahaan-perusahaan yang dipenuhi persain gan ekonom i, sedangkan perem puan m em andang ekspresi seksual ialah hak asasi . Perusahaan film yang kem udian m asuk ke babak persaingan bisnis m enim bulkan am bisi untuk m encari dan m em enuhi perm intaan terhadap kom oditas film m elalui ekspresi seksualitas. Kondisi ekonom i dan politik ya ng turut m em pengaruhi perfilm an ditunjukan dengan arah perfilm an Indonesia yang turut berubah seiring rekapitalisasi
industri.
Sebaga i
negara
yan g
telah
m elem b agakan
m askulinitas dalam rana h seni sejak berakhirnya perang kem erdekaan, pencarian terhadap
perem puan ideal berupa bagaim ana perem puan
harus bertindak dan berperilaku, selayaknya yan g direfleksikan oleh film m erupakan kelanjutan d ari proses ini. D apat dip aham i kem udia n alam politik dan ekonom i O rde Baru yang bertanggungjawab m enem patkan perem puan berdasarkan kapasitas
tubuh dan seksualitasnya untuk
15
m elahirkan keturunan dan m em bentuk karakteristik perem puan dalam m edia film sebagai figur yang m engga irahkan da n pasif. Tahun 1950 dipilih sebagai batas awal penelitian ini berdasarkan alasan karak teristik Indonesia baru m ulai d itam pa kkan p ada periode in i. Menurut antropolog K arl G. Heider, kebudayaan nasional Indonesia dalam sinem a dibentuk sejak 1950a n, kem udian sem akin m enguat pada 1970an. 25 Karakteristik ini tidak lepas dari keterlibatan langsung orang orang asli Indonesia dalam produksi film dalam negeri. D i sam ping itu pula, perbaikan ekonom i p asca Revolusi telah m eningkatk an stand ar hidup sam pai pa da pem uasan hasrat ya ng sifatn ya em osional seperti yang ditawarkan film . D i saa t ya ng bersam aan, apresiasi senim a n beserta pem batasan produk kesenian yang diberlakukan aparat penegak m oral saling bertum pang tin dih, ak ibatn ya kom plek tisitas industri perfilm an pun m eningkat. Tahun 1992 d itetapk an sebagai batas akh ir dari penelitia n. H al ini dilatarbelakangi sem akin m em buruknya kondisi perfilm an di Indonesia. Pada periode ini in dustri perfilm an m engalam i kegaga lan, e ksplisitas dalam
m enyam paikan
im ajinasi
seksual
telah
sam pai
pada
tahap
pornografi. Film Indonesia telah m encapai ba tas yan g paling a khir dari sebuah gejolak industri kesenian, ditandai dengan m eluncur turunnya
Karl m encatat kebudayaan nasiona l da lam sin em a in i m eliputi m araknya film -film legenda, folk lore dan sejarah nusantara, d isam ping kesadaran untuk menyorot aspek modernisasi dan pem bangunan dalam negeri. D i atas itu semua, secara tam pak m uka form at film Indonesia sejak 1950an kem asukan ide -ide sinem a Am erika dan berjalan ke arah westernisasi atau kalau boleh dibilang Internasionalisasi, lihat Karl G . H eider, Indonesian Cinem a: National Culture on Screen , (H onolulu: University of H awaii Press, 1991), hlm . 140 25
16
jum lah produksi film dan penyelenggaraan apresiasi kesenian Festival Film Indonesia yang terakhir pad a awa l tahun 1993. T idak hanya penurunan kuantitas dan kualitas produksi, tahun 19 92 juga m enandai perubahan total kebijakan perfilm an m elalui penetapan Unda ng-Undang No.8 Tahun 1992 tentang Perfilm an. D i tahun-tahun selanjutnya hingga Reform asi pecah di ibu kota, bidang film dan bioskop tanah air bagai kehilanga n arah tujuan dikarenakan p ara penggeraknya pindah haluan bekerja di balik layar televisi. D alam kaitann ya kem am puan proyeksi audio -visual m ereproduksi representasi seksualitas, m aka d iperlukan pula kajian ten tang a presiasi im aji seksual yang m enjadi ilham untuk m enggam barkan konsep cinta, interaksi sosial dan perbedaan jenis kelam in di dalam film . Agar tidak terjadi
percam puran
istilah
dengan
pornografi,
perm asalahan
akan
dibatasi pa da ide dan gagasan pad a pem buatan film -film yang bertutur tentang cinta dan berlan jut kepada dorongan seksual serta ciri -ciri hubungan/pem aksaan
seksual
sepanjang
sejarah
perfilm an
m odern
Indonesia. Untuk m enghindari kesalahpaham an, m aka penulis tidak akan terla lu jauh m em bahas m uatan pornografis yang m eninggalkan nilai estetis dem i kepentin gan kom ersial. Penelitian ini tidak akan m em bedak an antara film seni d an film kom ersial atau po puler. Seperti apa yang diam ati oleh Krishna Sen, bahkan film -film bernila i artistik tin ggi besutan Asrul Sani m aupun film kom ersial buatan sutradara populer generasi m etropolitan seperti Turino D junaidy sam a-sam a m engem ban ide dan gagasan yang ham p ir seru pa tentang perem puan. Apa yang hendak dicari dari penelitian in i ialah
17
perkem bangan gagasan dan toleransi tentang penggunaan tubuh dan seksualitas
perem puan,
yang
selanjutnya
disebut
sebagai
apresiasi
estetis-seksual dalam film -film cerita di Indonesia.
C. Tujuan Penelitian Penelitian
in i
bertujuan
m em aham i
kedudukan
gagasan
seks
sepanjang perintisan industri m edia populer di Indonesia sejak 1950a n. Tidak lupa m enyinggung baw ah sadar kolektif m engenai seksualitas yang dibentuk dan d iterapkan m ela lui gaya bahasa visual senim an film , sehingga di dalam karya ini m em uat pula respon m asyarakat perfilm an . Sejauh pengetahuan penulis, seksualitas dalam film kerapkali diarahkan ke studi kepada representasi perem puan dalam ilm u kom unikasi atau ilm u sosiologi. Masih cuku p sedikit penelitian tenta ng kajian film dan seks dalam ranah sejarah. D i Indonesia, sejarah perfilm an yang secara spesifik m engkaji pola produksi dalam skala industri m asih cukup sedikit jum lahn ya. Studi tentang industri film a gaknya m asih tersudut pada b idang budaya m edia dan
ilm u
kom unikasi, serta lebih
kerap
dilontari kritik
ketim bang
m asukan. Berangkat dari kekurangan tersebut, penelitian ini berusaha m em berikan sum bangan perspektif baru kajian sejarah seksualitas di bidang in dustri m edia. Melalui sudu t pandan g politik dan industri, penelitian in i m encoba m elihat seks sebagai bentuk estetika rom antis yang diindustrikan dan diatur. Lebih jauh lagi, peningkatan taraf industri m em bawa citra gam b ar bergerak m engarah ke produksi penggam baran seks yang lebih vulgar
18
dan berani untuk m engim ba ngi persaingan pad a industri perfilm an selepas tahun 1992.
D . Tinjauan Pustaka Buku yang cukup kom prehensif menem patkan studi tentang citra seksual dalam m edia ialah Pornografi di Media Ma ssa yan g ditulis seorang pengam at m edia da n jurnalis, Tjipta Lesm ana. 26 Buku ini secara um um m em berikan argum en intervensi industrialisasi terhadap kem unculan apresiasi seksualitas, yang kem udian berkem bang ke pornografi. Tjipta Lesm ana
cukup
m oderat
dalam
m enengahi
porno
dengan
kondisi
ekonom i-bisnis dan politik di Indonesia sejak tahun 1970an h ingga 1990an. Sebagai pem buka, ia m enjabarkan keberadaan m ajalah-m a jalah film yang dengan terang m enjual pose erotis aktris-aktris dengan caption vulgar untuk m em pertinggi tiras d an publikasi budaya sine m atik. H al ini berkaitan dengan sem akin tinggin ya apresiasi pers ke wilayah perfilm an, ditam bah m elem baga nya gagasan bahwa film tidak akan terjual tanpa bantuan pers. Tjipta Lesm ana m enuliskan keberadaan b adan bernam a Lem baga Pers dan Pendapat Um um di Jaka rta yang m encata t m araknya peredaran
buku -buku
telanjan g
perem puan
Surabaya
pada
tahun
dan
bahan
bacaan
barat di pasar 1953.
dan
berisikan
gam bar -gam bar
term inal di Jakarta
Majalah-m aja lah
ini
beredar
dan
luas
di
kalanga n m asyarakat m enenga h bawah dengan konsum en utam a kaum m uda. Meski yang ia lakukan bukan m erupakan penelitian sejarah,
Tjipta Lesm ana, Pornografi dalam Media M assa, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 1995) 26
19
penelusuran m elalui berita-berita koran cukup m em bantu pengga lian fakta. Kelem ahan dari karya ini terdapat p ada subjektifitas yan g nam pak saat m endiskusikan dam pak m oralitas m asyarakat. Berbicara dalam konteks film bisnis tidak dapat dilepaskan dari penelusuran terhadap seluk beluk perfilm an sebagai sebuah indusrtri. Tesis Magister Novi Kurnia di Universitas Indonesia, Industri perfilm an Indonesia: Analisis Ekonom i Politik terhadap Industri P erfilm an Indonesia dalam Perspektif World -System Theory, 27 m erupakan penelitian m end alam m engenai industri film In donesia serta posisi dan resistensinya terhadap hegem oni
kerajaan
industri
film
H ollywood.
H ollywood
m em iliki
karakteristik w orld film system , hal ini ditunjukan dengan kepem ilikan MPEAA sebagai gabungan produser pengeksport, serta AMPAI sebagai perwakilan k husus Indonesia sepanjang m asa pem erinta han Soekarno . Menurut Novi, sistem
ini m enjadikan Indonesia sebagai
batas luar
kekuasaan dari H ollywood sebagai intinya. Relasi industri antara industri film Indonesia dan H ollywood m engalam i perubahan seiring peralihan kekuasaan dan kepentin gan industri berkenaan denga n ketergantungan pasokan film Am erika. D alam kasus Indonesia, in tervensi ekonom i dan politik dalam negeri ternyata lebih m engancam . Penelitian Novi Kurnia bersifat kontem porer tetapi ia juga m em pertim ban gkan aspek historis untuk m em pertahankan argum ennya m engenai pem bentukan industri perfilm an Indonesia.
Novi Kurnia, “Industri perfilm an Indonesia: Analisis Ekonomi Politik terhadap In dustri Perfilm an Indonesia dalam Perspektif World System Theory”, Tesis, (Jakarta: Fakultas Ilm u Sosial dan Ilm u Politik, Universitas Indonesia, 2005) 27
20
Salah satu studi sejarah yang secara khusus m em bahas penokohan perem puan dalam film In donesia telah d ilakukan o leh Prim i Rohm ini. 28 Tesis ini secara utuh m enekankan pada pem bentukan m itos perem puan sebagai akib at trad isi patriarki Islam dim ula tahun 1980. Lebih jauh tulisan ini m em bahas representasi tokoh dari pakaian sam pai perilaku. Kekurangan yang pokok dalam karya ilm iah ini leb ih kepada hilangnya analisa
wacana
tentang
perem puan
dalam
film -film
Islam ,
serta
kolerasinya dengan realitas. Penelitian Krishna Sen yan g dim uat pada m aja lah Prism a yang berjudul “Wajah Wanita dalam Filem Indonesia: Beberapa Catatan” , m em berikan gam baran m engenai penokohan perem puan dalam
film
tahun 1950an h ingga 19 60an. Saa t m em buka tulisannya, Sen m ulai dari gagasan urgensi daya tarik seksual perem puan sebagai alat publikasi budaya sinem atik. Perem puan difungsikan untuk menjual film dalam kapasitas yan g sensual dan erotis, dem ikian fungsi in i m engakar kuat sehingga tradisi perfilm an tidak enggan lagi m em buat cerita-cerita yang m elibatkan fungsi ini. Meskipun Sen lebih m enerapkan studi pada penokohan perem puan dan pesan -pesan film tentang perem puan , kajian ini m em berikan gam baran bagaim ana pola representasi serta peno kohan perem puan diolah pad a film Indonesia, a da ka lanya m enjauhi kesan erotis nam un sering kali tetap m em perm asalahk an seksualitas.
Prim i Rohm ini, “Tokoh Perem puan dalam Film : Studi Tentang Representasi Tokoh Perem puan dalam Film Indonesia Bertem a Islam tahun 1980-2010”, Tesis, (Sem arang: Program Pas casarjana IAIN Walisongo, 2012) 28
21
Sebuah karya yang m engum pulkan studi-studi budaya kom oditas dan
m edia
ialah
buku
Lifestyle
Ecstasy:
Kebudayaan
Pop
dalam
Masyarakat Kom oditas Indonesia . 29 Kum pulan tulisan ini d ikum pulkan dan diedit oleh Idi Su band y Ibrahim yang juga berbicara pad a bagian pengantar m engenai kecenderungan m asyarakat dalam m em elihara pola pikir
industri, serta
bagaim an a
relevansinya
dengan
perkem bangan
industri kebudayaan yang m enciptakan penyeragam an produk budaya untuk m enetralkan selera atau cita rasa agar m em uaskan semua lapisan m asyarakat m odern.
E. Kerangka Teoritis Teori Frankfurt m enggagas bahwa ledakan industri berperan besar m em berikan dam pak penguasaan m ental sebuah kelom pok m asyarakat oleh para pem egang kekuasaan ekonom i. 30 Um um nya kajian M arxis tentang film tidak berfokus pada bentuk dan isi tetapi p ada operasi ekonom is-ideologis
yang
bertugas
m erekonstruksi
bentuk-bentuk
representasi yang tam pak sebagai pertanyaan politis bagi m asyarakat kapita lis. 31
Ada
tiga
ciri hasil kebudaya an
kapitalis
yan g
dida lam i
m enurut perspektif ini, antara lain: cara berpikir rasional, dam pak kebudayaan m assa yang m em buat m asyarakat m en jadi kurang kritis ,
Idi Subandy Ibrahim (ed.), Ecstasy G aya H idup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Kom oditas Indonesia , (M izan: Yogyakarta, 1997) 29
Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsional hingga Post-Modernism e, (Jakarta: Yayasan O bor, 2010), hlm . 102 30
Budi Irawanto, Film , Ideologi d an Militer: H egem oni Militer dalam Sinem a Indonesia,(Yogyakarta: Media Pressindo , 1999), hlm . 15 31
22
serta m enonjolkan tipe kepribadia n yan g pasrah m enerim a dom in asi dan justru sem akin m enginginkannya. 32 Poin terakhir dititikberatkan pada gagasan Sigm und Freud yang m enunjuk fungsi represi penguasa terhadap individu dalam kehidupan m asyarakat industri sebagai alat untuk m enjaga ketertiban sosial.33 Represi pada tingkatan in i diperuntukkan m enjaga konsentrasi kerja, nam un berpotensi menim bulkan tekanan ps ikologis hingga tib a di titik ketidakpuasan. Lebih jauh pada penelitian ini hendak m em pertegas bahwa citra seks m erupakan strategi m enga lihk an ketid akpuasan dan m em enuhinya sesuai kebutuhan sistem yang berlaku di sebuah negara. Pada akh irnya terjadi politisasi berupa kam panye seksual m ela lui hukum dan Undang-Unda ng. 34 Reproduksi seksualitas atas tubuh perem puan diarahkan da n direkonstruksi dem i tujuan ini. Idi Subandy Ibrahim dalam pengantar nya pada buku Life Ecstasy m enegaskan
kem bali
keberadaan
intervensi
logika
ekonom i
dalam
kehidupan m asyaraka t m utakhir ya ng kem udian d isalurkan m elalui industri kebudayaan yang bergantung p ada artefak populer yang dapat diinterpretasi. 35
Melaluinya,
tubuh,
seks
dan
k ekerasan
dim aknai
m enjadi bagian kom oditas publik dem i tujuan m em enuhi hasrat-hasrat tersem bunyi. D alam penjelasan Anthony G iddens, hasrat ini m engarah
32
Pip Jones, op.cit., hlm . 103
33
Ibid., hlm . 104-105
34 Michel Foucault, Ingin Yayasan O bor, 2008), hlm . 111 35
Tahu: Sejarah
Seksualitas,
(Jakarta:
Idi Subandy Ibrah im (ed.), op.cit., hlm . 20-22
23
kepada kesenangan yang kem udian m em pengaruhi pem asaran barang dan jasa. Seks m erupakan salah satu h asrat berbaha ya apab ila tidak disalurkan nam un sangat efektif untuk m em bentuk perilaku , m aka darinya seksualitas diatur, dikom odifikasi, dan m enjadi gerakan seni dalam orde kapitalis. 36 D alam konteks ini, seksualitas diserap dan dim akna i dalam kegiatan kesenian dan sastra sebagai erotika, sedangkan erotis atau erotisism e m engacu pada bentuk estetika yang m enjadikan ekpresi tubuh sebagai bahan kajiannya, dem i m enciptakan penga lam an-penga lam an seksual. Erotisism e dan pornografi adalah dua term inologi ya ng m irip n am un berlainan. Pornografi m engacu pada produksi konten -konten visual yang ditujukan m enga lihkan panda ngan seksual dengan tujuan m em enuhi kebutuhan birahi. 37 Persam aannya, baik erotisism e m aupun pornografi m enawarkan hubungan subjek -objek dan kerap m enjadik an perem puan sebagai objeknya, sebab
tradisi
lam a
han ya
m engenal objek tifikasi
seksual atas tubuh perem puan. Batas yang tipis a ntara erotisism e 36 Anthony G iddens, The Transform ation of Intim acy: Sexual, Love & Eroticism in Modern Societies, (California: Stanford Universuty Press, 1992), hlm . 176
Irwan Abdullah m erangkum beberapa pengertian pornografi dari berbagai sum ber dan m eluruskannya. Pornografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu pornegraphos, porne yang artinya pelacur dan graphos yang artinya ungk apan, ja di pornografi m erupakan ungka pan tentang pelacur. Ketika pengertian in i dikaitan dengan aspek kesusilaa n, m a ka sejalan dengan pengertian dalam kam us besar bahasa Indonesia, bahwa Pornografi adalah penggam baran tingka h laku secara erotis dengan m enggunakan lukisan atau tulisan untuk m em bangkitk an nafsu birah i, m aka pornografi dilihat sebagai produk kotor dan am oral, liha t Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm 229; D epartem en Pendidikan Nasional, Kam us Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keem pat, (Jakarta: PT G ram edia Pustaka Utam a, 2008), hlm . 1094 37
24
dengan pornografi kadangkala m enjadi perdebatan dan m enim bulkan m acam -m acam definisi ketika bertautan dengan hukum dan m oral. 38 Batas in i sem akin k abur ketika kesenian berubah m enjad i industri kebudayaan. Kesenangan akan seks orang banyak berusaha dipenuhi pada tingkat publik lewat m edia m assa, sastra dan film . Film saat diterapk an m enjadi bagia n reproduksi dari sistem nilai dan norm a dapat m enciptakan im aji seks m elalui representasi yang berkenaan dengan praktik seksualitas berupa keintim a n sam pai pada pem aksaan hubungan seks. 39 Industri film di Indonesia sejak tahun 1950an tidak terlepas dari percobaan bidang kesenian yang m encoba m engangkat representasi-representasi seksualitas yang dem ikian. Seperti halnya yang terjadi p ada in dustri film dunia, representasi ini berusaha diapresiasi sebagai nila i jual kesenian , di sam ping pelestarian sistem sosial kapitalis. Kondisi sem acam ini dapat m uncul di Indonesia akibat penyeragam an selera hiburan m asyarakat urban sejak industri film m ulai m enawarkan m odernisasi kebudayaan. Selepas pergantian periode, puncak industri perfilm an Indonesia terjadi pada tahun 1977, sebuah tahun yan g m encatat an gka produksi film dalam negeri m eroket tajam . Periode ini juga m erekam variasi film yang bertam bah ragam nya. Film -film bertem a keras dan gelap dibuat untuk m enam pilkan kekejam an dalam kehidupan m asyarak at pinggiran di kota Jakarta. Salah satu figur yang kerap dikisahkan ialah perem puan
38
Irwan Abdullah, op.cit., hlm . 231-232
Irwan Abdullah, Seks, G ender (Yogyakarta: Tarawang, 200 1), hlm . 51 39
&
Reproduksi
Kekuasaan ,
25
pelacur dengan segala perm asalaha n seksualitasnya serta perem puanperem puan yang ham il d i luar nik ah akibat pergaulan bebas . Latar belakang k isah yang dem ikian m engindikasikan apresiasi seksualitas berdasar sistem nilai dalam ranah perfilm an. Sejak periode Kolonial, produksi film di Indonesia telah didom inasi kisah-kisah m elodram a, kem udian m enyem p it ke percintaa n anak m uda pada m edio 1970an. Seksualitas m enjadi bagian tida k terpisahkan dalam produk perfilm an Indonesia m engingat genre yang ditawarkan ialah rom antika m anusia. Menurut Krishna Sen, film -film buatan produser kapita lis dan sineas idea lis pad a periode O rde Baru tidak lah jauh berbeda dari sisi pesan.40 Kem ungkinan Sen m enunjuk pada ide-ide kekerasan dan seksualitas anak m uda yang populer era itu. Popularitas ini tid ak serta m erta kesepakatan bersam a antara sineas idealis dengan para pem ilik m odal, nam un lebih kepad a pola dom inasi industri. Pada periode pem bangunan O rde Baru dom inasi ini dita ndai kem bali dalam wujud politik kebudayaan, saat-saat aktivitas seni dan budaya diawasi dari tingk at pem erintaha n tertinggi untuk m enyaring ideologi asing. Pada tingka tan ini pem erintah seolah m em biarkan dan m endorong keberadaan seks pada film . Seksualitas estetis dalam m edia visual m em ang telah berlangsung sejak kam era pertam a k ali ditem ukan. Film dan fotografi pad a dasarnya lahir dari benih yang sam a. Mengenai teori film dan fotografi, sudut pandang yang disepaka ti sejak awa l ia lah sudut pandang laki -laki. Laura
Krishna Sen, “Wajah Wanita dalam Filem Indonesia: Beberapa Catatan”, Prism a, No.7 Th. X, Juli 1981, hlm . 40 40
26
Mulvey yang pertam a kali m enyusun tesis tentang pa dangan sinem atik terhadap perem puan dalam essainya “Visual P leasure and Narrative Cinem a”. Jauh sebelum itu, fem inis telah m enggelar banyak debat tentang tubuh perem puan yan g di konstruksi dan dim anipulasi untuk konsum si selera pria. Nam un, Laura m enunjukan bahwa kesepakatan pada akh inya m enjadi m ilik bersam a antara m a ta kam era, tokoh dan penonton. 41 Secara visual tubuh perem puan dianggap dapa t m engalihk an serta m enarik perhatian. G agasan serupa dipakai dalam periklana n, paras dan tubuh perem puan dinilai dapat m enarik perhatian kha laya k sehingga hal itu terus direproduksi.42 Perhitungan kom ersial dalam m enarik perhatian pasar kem udian m enjadi kecenderungan m asyarakat industri sehingga para produsen dituntut m em aham i kon disi pasar dan kem auan publik. Industri kesenian pun dem ikian, produser dan sutradara (senim an) yang baik diukur dari kem am puan m enarik perhatian apresiator kesenian. D apat dipaham i kem udian industri film H ollywood yang m egah tidak dapat m em bebaskan d iri dari penggunaan figur perem puan beserta seksualitasnya, m eski terkadang m enunjukan ketidaksepakatan antara industri dengan para perem puan, seperti halnya fenom ena seks sim bol Marilyn Monroe. 43
Naom i Schem an, “Missing Mothers/D esiring D aughthers: Fram ing the Sight of Wom en”, dalam Freeland, Cyn thia A. & Thom as E. Watenberg (eds.), Philosophy and Film , (New York: Routledge, 1995), hlm . 100 41
H airun Fahrudin, “Periklanan dari Zam an Batu sam pai Era Internet”, Ekspresi, (Yogyakarta: Maja lah Ma hasiswa UNY, 2001), hlm . 19 42
D alam m em oir Marilyn Monroe yang dikutip Irwan Abdullah m elalui MacCorm ack, ia m enga takan, “…bekerja sebagai artis b agi wa nita 43
27
Negara-negara
Barat sekitar
tahun
1960an
tengah
m engalam i
revolusi seksual. Pengalam an seks beralih dari tem pat tidur yang sifatnya privat ke area publik. D alam sekejap seksualitas dan perilaku -perilaku yang m ebebaskan ekspresi tubuh m ulai dipan dang sebaga i hak asasi dan identitas. Aktris d ipand ang sebaga i sim bol perem p uan m odern yang m enekuni aktivitas pada ranah publik sebagaim ana ia m enjad i sim bol kebebasan ekspresi, kesadaran ini telah m uncul di Indonesia segera setelah Revolusi Fisik berakhir . Tetapi, produk intelektual dalam budaya kapita lis sejatinya m endefinisika n perem puan yang ideal ba gi kehidupan sosial-ekonom i saja. Perem puan dalam fiksi Indonesia kala itu turut dibatasi geraknya agar tida k m eningga lkan peran-perannya da lam ruang dom estik. H asilnya ialah m edia h iburan selayaknya film m em produksi stigm a-stigm a yang berusaha m enam pilkan perem puan dari segi-segi seksualitasnya sebagai ibu, perawan atau pelacur. 44
F. Sum ber Penulisan dan Metode Penelitian Untuk
dapat
m erekonstruksi
sebuah
kajian
peristiw a
m enjadi
tulisan sejarah diperlukan pem aham an m engen ai m etode da n m etodologi Sejarah. Karya historiografi ini pun menem puh disiplin ilm u sejarah yang sudah terpaparkan agar m enghasilkan tulisan sejarah yang kritis dan sistem atis. D iawali dengan pem ilihan topik, pengum pulan dan kritik ibarat barang dagangan ya ng m urah. Ia tidak m em punyai nilai yang luhur. Meski ia m endapa t kejayaan d an kem asyuran yan g gem ila ng”, lihat Irwan Abdullah, Seks, G ender & Reproduksi Kekuasaan , op.cit., hlm . 28 Elizabeth Cowie, Representing the Wom an: Cinem a Psycoanalysis, (London: Macm illan Press, 1997), hlm . 15-16 44
and
28
sum ber, kemudian interpretasi, dan yang terakhir penulisan. 45 D ibantu m etode penelitian yan g sistem atis, penelusuran kedudukan seksualitas dalam in dustri perfilm an ak an m enggunaka n sum ber sejarah prim er dan sekunder. Adapun sum ber arsip yang m endukung penelitian in i dihim pun berurutan sebagai berikut. Pertam a, arsip peraturan yang m engatur asusila, diketem ukan bahwa posisi dari peraturan ini belum sem purna hingga jelang O rde Baru . Kedua, Film O rdonanntie dan Film Verordering 1940
yang
m endukung
Pedom an
Sensor
F ilm
periode
D emokrasi
Terpim pin ternyata m asih dipakai d i tahun-tahun awal O rde Baru. Ketiga, Pedom an Sensor yang m enjadi awal sensor film O rde Baru baru disusun oleh Badan Sensor Film dan d isahkan Menteri Penerangan pada tahun 1977. Keem pat, O rde Baru kem bali m enyusun Pedom an Sensor Film dan Kode Etik Produksi Film Nasiona l tahun 1981, penetapan ini ternyata diirin gi peningkatan kuantitas film erotis sam pai ke pornografi. Kelim a,
surat-surat
perfilm an
dan
Penetapan
Keputusan
Presiden
Menteri
tentang
Penerangan
pem binaan terhadap
bidang
kebijakan
produksi, distribusi, rehabilitasi dan eksib isi film -film kom ersial. Keenam atau yang terakhir, Keputusan Menteri Perdagangan berkaitan dengan pem bebasan
im por
film , posisi kebijakan
ini berakibat keleluasaan
investasi asing diikuti apresiasi kese nian m odern. D ata-data tersebut dihim pun d ari koleksi Arsip N asional Republik Indonesia, Perpustakaan Sinem atek dan Perpustakaan Nasiona l.
Kuntowijoyo, Pengantar Budaya, 1995), hlm . 90 45
Ilm u
Sejarah,
(Yogyakarta:
Bentang
29
Sum ber-sum ber pendukung lain berupa artikel baik dari surat kabar m aupun m ajala h yang berharga kedudukannya seba ga i penin jau opini dan wacana sezam an diusahakan m elalui Perpustakaan Sinem atek, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan D aerah , Yogya Library Center di Yogyakarta dan Monum en Pers Nasional di Surakarta, serta perpustakaan-perpustakaan lain yang m em ungkinkan. Adapun artikel-artikel sezam an yang berhasil dikum pulkan an tara lain m a jalah film dan hiburan bertajuk Varia, Aneka, Pan oram a, Pedom an, Indonesian Movies, Pos Film , Dunia Film , Berita Film , serta m ajalah yan g konsisten m elakukan penelusuran m engenai industri film beberapa diantaranya Tem po dan Ekspress. D item ukan pula berita-berita seputar perfilm an dalam
beberapa surat kabar, di antaranya: Sinar H arapan, Pikiran
Rakyat, Kompas, Bintang Tim ur, Berita Buana, Kam i, Berita Yudha, Angkatan Bersenja ta. Sum ber-sum ber
tersebut tersedia
baik
dalam
bentuk klipin g m aupun utuh . Agar
tercapai pem aham an
yang
lebih
baik, argum entasi perlu
didukung dengan m elengkap i sum ber -sum ber sekunder berupa karya ilm iah tercetak. Buku-buku yang utam a m endukung penulisan in i antara lain: Krishna Sen, Kuasa dalam Sinem a, Negara, Masyarakat dan Sinem a O rde Baru. Salim
Said, Profil Dunia Film Indonesia. Usm ar Ism ail,
Mengupas Film . Johan Tjasm adi, 100 Tahun Sejarah Bioskop di Indonesia. S.M. Ardan, 90 Tahun Bioskop di Indonesia, G arin Nugroho, Krisis dan Paradoks Film Indonesia. Budi Irawanto (ed.), Menguak Peta Perfilm an Indonesia: Pem etaan Perfilm an Indonesia Tahap Kedua .
30
D i atas sum ber dan literatur yang telah diapaparkan sebelum nya, pengam atan terhadap jenis dan tem a f ilm sepanjang periode penelitian juga dilakuka n. Pengam ata n pada film -film produksi dalam negeri di tahun 1950an sam pa i 1960an d ilakuka n m elalui m engum pulkan pam flet dan beberapa naskah film koleksi perpustakaan S inem atek. Untuk film tahun 1970an ke atas, penulis belum m enemukan data statistik yang pasti m em uat berapa jum lah film -film Indonesia yang m enabur adega n adegan seks, juga sepanjang apa durasinya. Nam un, dapat dicerm ati bahwa ham pir sebagian besar film pada periode tersebut dan seterusnya bertutur tentang konflik asm ara, aktivitas reproduksi di luar ikatan pernikahan d an m em iliki tokoh hostes, m eski tidak seluruhnya secara eksplisit m enerjem ahkan aktiv itas seks m elalui bahasa visual. Setelah tahap pengum pulan sum ber dirasa mencukupi, penulis m elakukan verifikasi sum ber dengan m elakukan perbandingan dokum en dan arsip hingga m enghasilka n kecocokan antar fakta. Pada tahap kritik sum ber, seleksi fakta akan dilakukan dengan m em ilih sum ber -sum ber yang palin g representatif. Selanjutnya dilakukan penyusunan hubu ngan kausal dengan m erangkai fak ta dan m enghasilkan a lur pem ikiran yang sistem atis. Tahap terakhir m erupakan penulisan dengan berpedom an pada penulisan sejarah yang kronologis.
G . Sistem atika Penulisan Penulisan Tesis ini akan dibagi ke dalam lim a bab. Keseluruhan m erupakan hasil berpikir logis dan kronologis . Bab pertam a m erupakan pengantar. Pada latarbelak ang sedikit dibah as perihal dom inasi laki-lak i.
31
Film sejatinya dicipta kan dibawa h lem baga m askulin sehingga cenderung hanya m enceritakan perm asalahan laki-laki, hal ini dilatarbelak angi pula oleh kondisi yan g m enem patkan m ereka pada posisi sebagai pem buat sekaligus penikm at film . Selanjutnya, rum usan m asalah
m enggagas
m asa-m asa kem unculan apresiasi nilai-nilai seksualitas dalam perfilm an serta kapasitasnya m engatur representasi seks di dalam kapasitas sistem kapita lis-industrialis. Bab
dua
akan
m enjabarkan
kondisi um um
industri perfilm an
Indonesia sejak pertam a kali digagas ulang pasca Revolusi Fisik hingga era kegagalan perfilm an bersaing dengan te levisi jelang tutup periode 1980an serta kem unculan perusahaan besar m ulti-m edia. G agasan awal film kom ersial di Indonesia tidak h anya d ibentuk oleh orang -orang Tionghoa, akan tetap i lebih kepada warisan cara berpikir d an perlakuan terhadap
kom oditas
hiburan.
Pada
periode
pemerintahan
Soekarno
terjadi gejolak industri yang diak ibatk an oleh intervensi politik. Perbaikan industri perfilm an yang d icanangk an di m asa-m asa akh ir pem erintahan Seokarno lantas m enjad i latarbelak ang rekapitalisasi industri film O rde Baru. Pertum buhan ekonom i O rde Baru berperan m enciptakan generasi baru
pem buat film ,
m eliputi k alangan
pem odal,
produser
m aupun
m ereka yang m enguasai teknis lapangan. Sam pa i akhirnya m onopoli badan-badan non-pem erintah turut m enguasai perfilm an sebagai ak ibat pertum buhan di sektor swasta. Bab tiga m enekankan pad a ram bu-ram bu pem bentukan wacana seksualitas dalam perfilm an. Melalui film ekspresi tubuh perem puan m ulai digagas, salah satunya bertujuan meningkatkan publisitas film . D i
32
sam ping itu, m uncul represi dan restriksi oleh aparat negara sebagai pelindung norm a-norm a um um . H al dem ikian m engindikasikan adanya perketatan
terhadap
perlindungan
m oral
dari
tindak-tandu k
yang
diangga p cabul (kotor, tidak senonoh). Represi sekaligus persaingan dengan film im por lantas berujung pad a pengem banga n apresiasi dan eksperim en perfilm an, hingga pencarian terhadap titik wajar seks dalam film . Pada bab ini a kan d ibahas pula para senim an film serta film -film nya yang pertam a m enggagas nilai-n ilai estetis-seksual untuk m elawan krisis industri film . Bab em pat m engan alisa relasi antara ide politis yang m endukung peningkatan jum lah produksi film dengan penggam baran seks. Terdapat kesepakatan senim an d an ka langan pem erintahan m elebur gagasan seks norm atif m elalui film kam panye pendidikan se ks dan kesehatan. Upaya ini juga m enja di cara m engalihkan perhatian generasi m uda m enjauhi isu politis dengan jala n m em berikan pem belajaran tentang pergaulan bebas. Ternyata langk ah-langkah ini berperan m em perparah gejala erotis hingga m unculnya aliran film eksp loitasi. Rangka ian a turan yang politis dan ekonom is ini m enciptakan “industri perem puan” , dalam penelitian ini m engacu pada penyerapan berlebihan tenaga perem puan sebagai aktris , akibat kebutuhan m endesak publikasi budaya sinem atik yan g dibarengi pem unculan seks sim bol. Bab terakhir m erupakan kesim pulan. Tem uan -tem uan penting yang sebelum nya dikaji akan dikum pulkan secara ringk as, singkat dan kritis. Berisikan jawaban atas perm asalahan, pertanya an yang sebelum nya telah dirum uskan.
33