BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. Kemunculan internet pada akhir 1980-an, konsep Web 2.0 pada awal 2000-an dan euforia sosial media mengubah berbagai wajah dari kehidupan sosial masyarakat di seluruh dunia. Ide-ide baru tentang identitas, ruang, konsep kapital, hingga pola gerakan sosial bermunculan seiring usaha memahami ruang maya yang diciptakan lewat internet1. Berbagai teori digunakan untuk menjelaskan ruang baru yang dibentuk oleh internet bermunculan, seperti bagaimana internet menciptakan sebuah dunia yang tidak terikat konsep ruang dan waktu (timeless time and the space of flows) ala Manuel Castell2, atau penggunaan konsep Global Village Marshall McLuhan3. Penyatuan dunia dalam sebuah ruang baru menggunakan internet tentunya akan memberikan dampak terhadap proses interaksi masyarakat. Dampak ini bisa jadi hingga ke dalam sistem norma ataupun nilai setiap masyarakat yang terhubung dalam jejaring internet, atau paling tidak, ruang baru yang diciptakan internet ini tetap memerlukan nilai dan norma dalam kesehariannya. Hal ini menimbulkan pertanyaan, nilai apakah atau nilai siapa- yang digunakan di ruang baru yang menaungi seluruh dunia ini?
1
Manuel Castells dalam bukunya The Rise of Network Society (2000) tidak secara eksplisit memberikan list ini tetapi beberapa bagian memberikan pengantar untuk hal-hal tersebut seperti “The Self in the Informational Society” (hal. 21-25) tentang identitas, “The space of flow” (hal. 407-459) tentang ruang, dan “The New Economy” (hal. 147-162) tentang informational capital , 2 Manuel Castells (2000), 3 Marshall McLuhan (1962),
1
Berusaha memahami nilai dalam internet secara keseluruhan tentunya akan memakan waktu yang sangat lama. Oleh karena itu penelitian ini mengacu pada sebuah kritik yang muncul sangat awal dalam perkembangan internet itu sendiri. Kritik tersebut adalah hilangnya rangsangan fisik seperti gesture dan intonasi saat berinteraksi lewat internet. Kritik tentang hilangnya "emosi" dalam interaksi internet terus dikikis seiring kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Pada tiga puluh tahun terakhir terjadi perubahan substansial pada infrastruktur internet dan cara berinteraksi di dalam internet. Dari sebuah message board yang hanya dapat menampung sedikit konten dan terfokus pada e-mail4, kemunculan web 2.0 yang memungkinkan interaksi pengguna yang lebih intensif5, hingga booming sosial media6. Kesemuanya menciptakan transformasi konten yang dapat disampaikan lewat interaksi internet, dari yang sebelumnya hanya teks tanpa emosi,
munculnya
gesture
dan
ekspresi
dalam
bentuk
emoticon,
hingga
dimungkinkannya pengunggahan file visual audio yang dapat menyampaikan lebih banyak emosi kepada lawan interaksi. Salah satu hal yang muncul dalam proses evolusi tersebut adalah munculnya meme. Meme yang dapat berupa perilaku, gambar, musik, kalimat, atau sekedar kata menjadi menarik apabila dilihat sebagai sebuah nilai hasil objektivasi ekspresi manusia, sebagai sebuah nilai yang dipergunakan bersama oleh masyarakat dunia maya.
4
Manuel Castells, The Rise of Network Society (2000), “The Creation of Internet” Hal 45-51, Graham Commodore & Balachander Krishnamurthy, “Key Differences Between Web 1.0 and Web 2.0” http://firstmonday.org/ojs/index.php/fm/article/view/2125/1972, 6 Danah m. Boyd & Nicole B. Elliso, “Social Network Sites : Definition, History, and Scholarship”, Journal of Computer-Mediated Communication 13 (2008), 210-230, 5
2
Konsep global village dan space of flow ditandai dengan hilangnya batasan geografis, dimana ruang fisik digantikan oleh aliran informasi yang mencakup seluruh dunia 7 . Meskipun demikian, situs-situs seperti Kaskus dari Indonesia, Baidu dari Tiongkok, atau Futaba Channel (2chan) dari Jepang menunjukkan bahwa tetap ada batasan negara dalam jejaring global village ini. Situs-situs tersebut meskipun berada dalam naungan network internet yang sama tetapi memiliki norma tersendiri dalam interaksi. Begitu pula dengan meme yang muncul dan berkembang, jejaring internet yang seharusnya tidak terikat konsep ruang fisik-geografis tetap menciptakan memememe lokal. Salah satu internet meme yang dapat berkembang dari satu kelompok ke kelompok lain hingga dikenal oleh komunitas global di internet adalah internet meme pedobear. Internet meme pedobear menjadi hal yang menarik diteliti karena konstruksi makna hewan beruang yang awalnya hewan imut dan lucu dapat berubah menjadi salah satu simbol pedofilia. Memetakan perkembangan internet meme pedobear dari Jepang lalu sampai ke masyarakat global hingga ke masyarakat internet di Indonesia diharapkan dapat menjadi sebuah refleksi bagaimana sebuah nilai terbentuk dan menyebar di internet. Pemilihan ranah lokal dan internasional/global bukan mengacu pada konsep-konsep westernisasi, hubungan barat dan timur, orientalisme atau sejenisnya. Pembedaan ini hanya untuk memudahkan kategorisasi beberapa budaya berbeda yang bertemu dalam ruang baru internet.
7
Marshall McLuhan (1962), Manuel Castells (2000)
3
B. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah penelitian ini adalah : 1. Apa perbedaan makna internet meme pedobear di Jepang, transisi global, dan di Indonesia? 2. Bagaimana perbedaan interpretasi makna internet meme pedobear yang terjadi di Jepang, transisi global, dan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian. 1.
Memahami proses penyebaran internet meme dari Jepang ke lingkup global hingga ke Indonesia.
2.
Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan penyebaran internet meme Pedobear.
3.
Memahami penyebab perbedaan interpretasi internet meme oleh masingmasing komunitas.
D. Tinjauan Pustaka. - Jason Kaufman, "Cross-National Cultural Diffusion: The Global Spread of Cricket", American Sociological Review 2005, vol. 70 82–110 "Cross-National Cultural Diffusion: The Global Spread of Cricket" berangkat dari pertanyaan mengapa ada nilai (digambarkan dengan olah raga Cricket) yang dapat berkembang hingga mengakar ke sebuah negara tetapi gagal di negara yang lain 4
meskipun negara-negara tersebut masih terikat dalam jaringan negara-negara persemakmuran Inggris. Penelitian ini terfokus pada bagaimana satu nilai (olah raga cricket) berkembang ke beberapa masyarakat yang terhubung dalam satu jejaring (negara commonwealth). Penelitian yang akan dilakukan dimulai dari bagaimana beberapa nilai dalam beberapa masyarakat (komunitas lokal di internet) berkembang di ruang baru yang dibentuk oleh jejaring internet hingga masuknya nilai-nilai tersebut ke komunitas lokal lain di internet. Menggunakan metode studi kasus, Jason Kaufman melihat faktor-faktor yang mendukung dan menghambat cricket berkembang di sebuah negara. Faktor-faktor mulai dari pengaruh iklim hingga perilaku agen-agen elit dalam mempromosikan Cricket dipergunakan untuk menjelaskan berhasil atau tidaknya cricket berkembang.
E. Kerangka Konseptual 1. Konstruksi Sosial. Dalam buku The Social Construction of Reality, Peter L. Berger dan Thomas Luckman menyatakan bahwa segala pengetahuan termasuk yang paling mendasar, halhal yang dianggap common sense adalah buah dari interaksi sosial dan dipertahankan oleh interaksi sosial tersebut. Pada penelitian ini internet meme diletakkan sebagai konstruksi pengetahuan yang dibentuk lewat interaksi sosial di internet. Dalam interaksi di internet, ruang yang dibentuk oleh transaksi informasi, jelas bahwa bagaimana informasi ditransaksikan tentunya merupakan hal yang penting untuk dipelajari. Mulai dari bagaimana informasi 5
diubah menjadi simbol, ditransaksikan, dan diinterpretasi oleh penerima merupakan proses yang terus menerus terjadi. Berbeda dengan di dunia nyata, tidak ada manusia yang dilahirkan di internet. Saat seorang manusia masuk ke dalam dunia maya (internet), dia sudah memiliki konstruksi-konstruksi makna yang dibentuk lewat sosialisasi di dunia nyata. Berada dalam global village bernamakan internet, setiap manusia dapat dengan mudah berpindah dari satu komuntas ke komunitas lain yang konstruksi makna yang berbeda. Proses interaksi sosial di internet yang tidak terbatasi faktor geografi memungkinkan sebuah pengetahuan berkembang dan menyebar ke kelompok masyarakat lain, ataupun digantikan oleh pengetahuan dari masyarakat lain. 2.
Institusionalisasi, Legitimasi. Institusionalisasi secara singkat dapat didefinisikan sebagai proses menanamkan
keseragaman kebiasaan oleh sekelompok masyarakat. Proses ini tidak hanya proses menyeragamkan perilaku, makna, atau norma tetapi juga aktor yang ada adalam masyarakat tersebut. Proses institusionalisasi ini didasari atas kebersamaan anggota masyarakat tersebut dalam menjalani sejarah kehidupan mereka. Institusionalisasi sendiri adalah produk dari sejarah8. Pada prosesnya, insitusionalisasi ini membutuhkan legitimasi untuk mengokohkan kebenarannya dalam sebuah masyarakat. Hal ini terutama terjadi saat aktor bertambah, tidak hanya aktor yang secara langsung berinteraksi dalam proses pembentukan kebiasaan tersebut. Institusionalisasi sebuah
8
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sociology of Knowledge" 1967, hal 72
6
kebiasaan kedalam aktor lain membutuhkan legitimasi supaya kebiasaan tersebut dapat diterima aktor lain. Legitimasi pada dasarnya adalah proses memberikan penjelasan rasional akan sebuah konstruksi sosial 9 . Konstruksi makna dari sebuah simbol daalm konteks ini harus dapat diterima baik secara objektif (konstruksi makna secara sosial) dan secara subjektif (konstruksi makna dalam kemampuan kognitif individu). Legitimasi memberi alasan mengapa seorang individu harus berperilaku atau memaknai sesuatu seperti perilaku atau makna yang ada pada masyarakat10. 3. Sosialisasi dan Re-Sosialisasi Pengetahuan, siklus hidup dan penyebaran meme. Internalisasi Meme Pedobear kepada individu dapat dijelaskan lewat proses socialization dan re-socialization yang ditawarkan Peter L. Berger dan Thomas Luckman 11 . Selain proses sosialisasi dan re-sosialisasi, untuk melihat bagaimana pedobear berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain akan digunakan ide tentang replikasi dan siklus hidup meme oleh Francis Heylighen. Proses siklus hidup meme terbagi menjadi empat fase, yaitu asimilasi, retensi, ekspresi, dan transmisi12. Proses ini hampir mirip dengan proses internalisasi, objektivikasi, dan eksternalisasi.
9
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sociology of Knowledge" 1967, Hal 111, 10 Ibid, 11 Ibid, Hal 157-166, 12 Francis Heylighen, Meme replication: the memetic life-cycle : http://pespmc1.vub.ac.be/MEMEREP.html
7
F. 1.
Metode Penelitian. Studi Kasus. Metode studi kasus diharapkan bisa menunjukkan secara jelas proses diterima
berkembangnya sebuah meme. Metode studi kasus dapat menampung dan menarasikan semua proses dari kemunculan meme di Jepang, penyebarannya ke lingkup global dan adopsi oleh masyarakat internet Indonesia. 2. Sumber data. Robert K. Yin memberikan enam jenis sumber data untuk metode penelitian studi kasus. Enam sumber data tersebut adalah documentation, archival records, interviews, direct observation, participant observation, dan physical artifacts 13 . Pengumpulan data penelitian ini akan difokuskan pada dokumentasi dan observasi langsung yang dapat diambil atau dilakukan di situ-situs internet seperti 1cak, 2ch, 9gag, dan grup-grup facebook. Contoh-contoh dari meme pedobear yang didapat dari situs-situs diatas kemudian dikategorikan berdasarkan lokasi penemuannya, dari lokal Jepang, global dan lokal Indonesia. Setiap kategori kemudian dijabarkan interpretasi makna dari meme tersebut dan proses sosialisasinya pada masyarakat.
13
K. Yin, Robert. 2009, “Case Study Research : Design and Method”, Hal. 102,
8
3. Sistematika Penyajian Untuk mempermudah pemahaman tentang konsep meme dan situs-situs tempat Pedobear berkembang serta perkembangan interpretasi makna Pedobear, penelitian ini akan disajikan dalam 5 bab. Bab II berisikan pengantar tentang definisi meme dan sejarah internet meme, dilanjutkan dengan deskripsi tentang situs-situs dimana meme sering berkembang. Pada bab III dikhususkan pada narasi keberadaan dan makna internet meme pedobear dalam beberapa komunitas. Bab IV menyajikan pembahasan tentang proses perubahan interpretasi makna Pedobear dari komunitas ke komunitas lain. Bab IV juga memuat faktor pendorong dan penghambat penyebaran makna dan perubahan interpretasi internet meme Pedobear. Bab V berisikan kesimpulan dan saran.
9