BAB I Pengantar
A. Latar Belakang
Sampah merupakan salah satu masalah yang ada di dalam kehidupan manusia sejak zaman dahulu. M asalah sampah memang tidak dapat dihindari dan sudah pasti ada di dalam setiap peradaban manusia. Karena sesungguhnya manusia itu fitrahnya menjunjung tinggi akan nilai kebersihan, maka kehadiran sampah sudah tentu tidak dapat ditoleransi dan harus ditangani dengan tepat. Dalam era modern seperti sekarang, permasalahan sampah menjadi begitu pelik mengingat tingkat pertumbuhan populasi manusia semakin meningkat setiap tahun, sehingga pertum buhan produksi sampah pun berbanding lurus dengan bertambahnya populasi manusia. Perubahan pola konsumsi masyarakat sangat memberi andil akan semakin meningkatnya volume sampah. M odernisasi
yang
merambah
berbagai
daerah
di
belahan
dunia
mempengaruhi pola konsumsi masyarakat tersebut. Peralatan produksi industri yang semakin canggih memudahkan manusia dalam menciptakan produk kebutuhan dalam jumlah yang banyak serta dalam waktu yang sangat singkat. M emang proses modernisasi membantu manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhannya, akan tetapi di sisi lain menciptakan masyarakat yang berperilaku konsumtif. Bila tidak dibarengi dengan tindakan yang bersifat preventif, dikhawatirkan hal ini akan
menimbulkan kerugian bagi manusia itu sendiri.
1
Khususnya masalah sampah, penanganan yang tidak tepat tentu akan mengancam derajat kesehatan masyarakat serta kualitas lingkungan. Organisasi Bank Dunia melaporkan bahwa saat ini populasi dunia menghasilkan sekitar 1,3 miliar ton sampah setiap tahunnya. Angka pertumbuhan sampah akan mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat dalam 20 tahun ke 1
depan di negara-negara berpenghasilan rendah. Hal ini akan berdampak pada biaya penanganan sampah yang juga akan semakin tinggi. Peningkatan biaya ini akan terjadi secara signifikan terutama di negara-negara berkembang. Tingkat urbanisasi yang semakin bertambah setiap tahunnya merangsang berkembangnya populasi penduduk perkotaan yang menjalankan gaya hidup modern dimana konsumsi produk instan menjadi suatu kebiasaan. Pada sebuah wilayah urban, produksi sampah amat sangat besar dikarenakan populasi masyarakatnya yang begitu banyak. Kota sebagai pusat kegiatan ekonomi, industri, dan pemukiman sehingga mempengaruhi produksi sampah dalam jumlah yang besar. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan kawasan rural yang menghasilkan jumlah sampah lebih rendah karena jumlah penduduk yang lebih sedikit. Hadirnya produk-produk barang instan dan dalam kemasan
selain
sangat
mempengaruhi
volume
timbunan
sampah,
juga
mempengaruhi kebijakan dalam menangani sampah-sampah yang ada. Perlakuan khusus dalam penanganan sampah diperlukan terutama pada sampah -sampah dari produksi industri yang sulit untuk diurai oleh proses alamiah, misalnya sampah plastik ataupun sampah kaca.
1
Hoornweg, Daniel and Bhada-Tata, Perinaz, W hat a W aste : A Global Review of Solid W aste M anagement, W orld Bank, W ashington, 2012, hal. 8
2
Di
Indonesia
sendiri
pertambahan
volume
sampah
terjadi
secara
signifikan. Data persampahan yang dipublikasikan Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia pada tahun 2008 mencatat, ada 43.213.557 meter kubik yang timbul setiap tahunnya. Penyumbang jumlah sampah terbesar berasal dari pulau Jawa yang menghasilkan 29.413.366 meter kubik sampah per tahun. Estimasi total timbulan sampah Indonesia berada di angka 38,5 juta ton per tahun dan akan meningkat setiap tahunnya.
2
Kawasan rural yang berjumlah penduduk sedikit pun akan merasakan dampak negatif dari limbah apabila tidak ada penanganan yang tepat. Arus modernisasi dan teknologi yang begitu deras saat ini mempengaruhi gaya hidup manusia di daerah manapun. Bergantungnya masyarakat pada produk -produk industri modern yang menyediakan keperluan sehari-hari membuat produksi sampah semakin hari semakin banyak, sehingga mau tidak mau sampah -sampah yang dihasilkan perlu ditangani secara tanggap dan tepat. Penggunaan kemasan produk berbahan plastik yang banyak diguna kan kalangan industri dewasa ini menjadi sesuatu yang dilematis. D i satu sisi plastik menjadi sarana kemasan yang praktis, namun di sisi lain mendatangkan masalah dalam penanganannya karena materialnya yang sulit diurai oleh alam. Saat ini masih banyak penanganan masalah sampah yang belum memperhatikan asas berkelanjutan. Sampah hanya dibuang begitu saja tanpa peduli mengenai akibat yang akan ditimbulkan dari penumpukan sampah tersebut. M asyarakat banyak yang belum menyadari efek domino yang akan ditimbulka n dari penanganan masalah sampah yang tidak dilakukan secara komprehensif.
2
Statistik Persampahan Indonesia Tahun 2008, Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KNLH), Jakarta, 2008, hal. 4-5
3
Untuk pemerintah
sendiri, penanganan
sampah
yang
buruk akan
mendatangkan kerugian ekonomi yang sangat besar karena dampak beruntun yang ditimbulkan. Biaya yang harus ditanggung pemerintah akan jauh lebih besar untuk mengatasi dampak global kerusakan lingkungan akibat sampah dibandingkan biaya pengadaan sarana prasarana pengelolaan sampah yang maksimal. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan telah mengeluarkan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah untuk mengatur masalah persampahan di Indonesia. Undang-Undang yang dikeluarkan pada tanggal 7 M ei 2008 tersebut menimbang bahwa pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volum e, jenis, dan karakteristik sampah yang beragam, dan pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik yang berwawasan lingkungan. Sampah merupakan masalah nasional sehingga pembagian kewenangan penanganannya harus terstruktur dengan baik. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah N omor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga. Peraturan ini diharapkan dapat mengurangi produksi sampah sejak dari sumbernya dengan mengedepankan asas 3R ( reduce, reuse, recycle). Dikeluarkannya regulasi ini mengindikasikan bahwa pemerintah sudah menyadari pentingnya penanganan masalah sampah. Namun perhatian dari pemerintah tersebut tidak akan terlaksana secara maksimal apabila tidak ada dukungan dari masyarakat. Permasalahan sam pah sesungguhnya memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi sehingga mengharuskan pemerintah untuk berkolaborasi dengan aktor lainnya yang berada di luar negara.
4
Salah satu bentuk partisipasi dari masyarakat yang mulai muncul belakangan ini adalah adanya pengelolaan sampah mandiri. Contoh dari keberhasilan pengelolaan sampah mandiri bisa dilihat di Dusun Sukunan, sebuah dusun yang terletak di Kecamatan Gamping Y ogyakarta. Usaha yang dirintis sejak tahun 2004 tersebut sekarang sudah mulai terlihat hasilnya. Selain berdampak pada kualitas lingkungan, pengelolaan sampah mandiri ini juga mendatangkan keuntungan secara ekonomi pada warga dusun. Bentuk pengelolaan sampah lainnya ada pula yang berbentuk bank sampah. Sistem bank sampah ini bisa ditemukan di pedukuhan Badegan Kabupaten Bantul. Dengan sistem tersebut warga dipacu untuk meningkatkan kepedulian akan masalah sampah, namun dengan cara yang lebih menarik perhatian mereka. Partisipasi masyarakat dalam penanganan sampah sejak dari sumbernya ini menarik perhatian penulis untuk membahas pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Pada skripsi ini penulis membahas tentang pengelolaan sampah yang dilakukan di dusun Serut, Kabupaten Bantul Yogyakarta. Jum lah penduduk Yogyakarta yang populasinya terus meningkat setiap tahun dan diestimasi akan berjumlah 3.694.700 jiwa pada tahun 2021 tentu akan mempengaruhi tingkat 3
produksi sampah setiap tahunnya. Selain itu gelar Yogyakarta sebagai tujuan pendidikan dan wisata juga mempengaruhi laju pertambahan penduduk yang akan berbanding
lurus
dengan
produksi
sampah.
Dikhawatirkan
akan
terjadi
penumpukan volume sampah di TP A sehingga dapat mengurangi masa pakai dari TPA itu sendiri. Karena itu setiap daerah di Yogyakarta perlu melakukan langkah konkret dalam mengurangi sampah sejak dari sumbernya.
3
http://yogyakarta.bps.go.id/index.php?r=site/page&view=sosduk.tabel.3 -1-2, diakses pada tanggal 26 M aret 2014
5
Fenomena yang terjadi di Dusun Serut merupakan contoh dari partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Program pengelolaan sampa h ini merupakan salah satu program yang dilakukan di dusun Serut disamping program program pemberdayaan masyarakat lainnya, dimana semua program tersebut berada di bawah naungan organisasi Posdaya Edelwys. Posdaya yang memiliki kepanjangan Pos Pemberdayaan Keluarga ini adalah sebuah wadah bagi warga dusun Serut untuk memberdayakan diri mereka. Setiap kegiatan dari Posdaya Edelwys melibatkan warga mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan. Program pengelolaan sampah di dusun Serut merupakan program pengelolaan sampah yang berbasis masyarakat, dimana warga diajak untuk aktif berpartisipasi dalam menjaga kebersihan lingkungan dusun. Keberhasilan dari pelaksanaan pengelolaan sampah ini
sudah mendapatkan pengakuan dan
penghargaan. Dusun Serut menjadi contoh keberhasilan tentang sebuah dusun yang berhasil mengelola aspek lingkungannya. Dusun Serut bisa dikatakan sebagai sebuah komunitas di da lam masyarakat yang mengeksploitasi potensinya untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Upaya yang dilakukan dusun Serut mencerminkan bagaimana sebuah komunitas yang mampu menganalisa masalah bersama dan mencoba mengatasinya pula secara bersama. Kultur masyarakat desa yang masih menjunjung tinggi nilai kemasyarakatan menjadi sebuah faktor pendukung keberhasilan. Dengan adanya pengelolaan sampah secara mandiri, pemerintah pun menjadi ikut terbantu dalam mengatasi masalah sampah. Tingkat efektifitas dan efisiensi pemerintah dalam penanganan sampah tentu semakin meningkat. Akan
6
tetapi dengan adanya pengelolaan sampa h mandiri ini bukan berarti pemerintah mengendurkan kerjanya dan menyerahkan sebagian tugas dalam menangani sampah kepada masyarakat. Pemerintah justru perlu melakukan pendampingan secara intensif kepada masyarakat. Dengan kata lain masyarakat dan pemerint ah harus bersinergi agar pengelolaan sampah yang dilakukan dapat dilaksanakan secara maksimal. Penelitian ini ingin melihat sejauh mana partisipasi yang dilakukan komunitas pada urusan pengelolaan sampah dusun Serut. Apa saja cara-cara yang dipakai untuk mendukung realisasi program pengelolaan sampah dan bagaimana pula langkah nyatanya. Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, tentu komunitas
dusun
Serut
menggunakan
nilai-nilai
kemasyarakatan
dalam
mewujudkan tujuannya. N ilai-nilai kemasyarakatan tesebut yang menjadi fokus utama pada peneitian ini. Walau progam pengelolaan sampah merupakan inisiatif dari masyarakat dusun Serut, tetapi pada tahap pelaksanaannya tentu tidak terlepas dari adanya peran dari pihak lain. Untuk itu peran aktor lainnya menjadi penting untuk dilihat karena hal ini erat kaitannya pada partisipasi mewujudkan keberhasilan program pengelolaan sampah yang ada di dusun Serut, khususnya peran negara di dalam membantu kebutuhan komunitas. Aktor-aktor tersebut akan dilihat pada koridor agent yang turut berkontribusi pada isu pengelolaan sampah tersebut.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
7
Bagaimanakah pem anfaatan modal sosial pada progam pengelolaan sampah mandiri dusun Serut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk: 1. M engetahui penggunaan modal sosial oleh masyarakat dusun Serut pada kegiatan pengelolaan sampah 2. M engetahui
partisipasi
aktor
lain
dalam
mendukung
program
pengelolaan sampah dusun Serut
D. Landasan Teori
D.1. Modal Sosial
Sosiolog P ierre Bourdieu berpandangan bahwa modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan
dan
pengakuan
yang
sedikit
banyak
terinstitusionalisasikan.
4
(Bourdieu dan Wacquant, 1992). Berbeda dengan B ourdieu, James Coleman memaknai modal sosial sebagai nilai hubungan bagi semua aktor, individu, dan
4
Field, John, M odal Sosial, Kreasi W acana, Yogyakarta, 2010, hal. 23
8
kolektif, baik yang berkeduduka n istimewa maupun yang kedudukannya tidak menguntungkan. Sedangkan Bourdieu memandang bahwa modal sosial hanya digunakan oleh
individu-individu
istimewa
yang
berkoneksi
dengan
orang
yang
berkedudukan istimewa lainnya untuk mempertahankan posisi mereka atau pun mewujudkan tujuan mereka. M enurut Coleman modal sosial merepresentasikan sumber daya karena hal ini melibatkan harapaan akan resiprositas, dan melampaui individu manapun sehingga melibatkan jaringan yang lebih luas yang hubungan-hubungannya diatur oleh tingginya tingkat kepercayaan dan nilai-nilai bersama.
5
Bagi Coleman, modal sosial merupakan sumber yang bermanfaat yang 6
tersedia bagi aktor melalui hubungan sosialnya. Di tempat lain, ilmuwan politik Robert Putnam mendefinisikan m odal sosial sebagai bag ian dari kehidupan sosial— jaringan, norma dan kepercayaan— yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan -tujuan bersama. (Putnam, 1996) Putnam membedakan modal sosial ke dalam dua bentuk dasar, yakni modal sosial menjembatani (inklusif) dan modal sosial mengikat (eksklusif). M ichael Woolcock memperjelas ini dengan menambah satu lagi bentuk modal sosial, yaitu modal sosial yang menghubungkan. (Woolcock, 2001). M odal sosial yang mengikat cenderung mempertahankan homogen itas karena sifatnya yang eksklusif. D i sini modal sosial menjadi perekat identitas yang spesifik dan juga membentuk kesetiaan yang kuat. Namun dikhawatirkan sifat tersebut dapat menghadirkan sisi gelap dari modal sosial apabila
5 6
Ibid, hal. 32 Ibid, hal. 37
9
dimanfaatkan dengan cara yang tidak etis untuk mempertahankan sesuatu, seperti misalnya budaya korupsi. Bentuk inklusif dari modal sosial cenderung menyatukan orang dari beragam ranah sosial dan dapat menghubungkan aset eksternal.
(Putnam,
2000)
Sifatnya
yang
menjembatani
memunculka n
resiprositas yang lebih luas, sehingga cocok bagi komunitas heterogen. Dan modal sosial yang menghubungkan menjangkau orang -orang yang sepenuhnya berada di luar kom unitas, sehingga mendorong anggotanya memanfaatkan banyak sumber daya daripada yang tersedia di dalam komunitas. Ciri penting dari modal sosial yang membedakan dengan bentuk m odal 7
lainnya yaitu asal usulnya yang bersifat sosial, yaitu relasi sosial. M odal Sosial dapat berupa jaringan sosial yang menghubungkan individu -individu ke dalam perasaan simpati dan kesamaan. Kesamaan ini dapat berbentuk berbagai macam hal, seperti kesamaan suku, agama, maupun ideologi dan pendangan hidup. Dalam pelaksanaannya, modal sosial dapat dibagi ke dalam tiga aspek, yaitu nilai, institusi, dan mekanisme.
8
7
Pratikno dkk., Penyusunan Konsep Perumusan Pengembangan Kebijakan Pelestarian Nilai -Nilai Kemasyarakatan (Social Capital) Untuk Integrasi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM , Yogyakarta, 2001, hal. 8 8 Ibid, hal. 9
10
Nilai, K ultur, Persepsi: Sympathy, sense of obligation, trust, resiprositas, mutual acquaintance and
recognition
Institusi: Civic engagement institutional rites, asosiasi, network
M ekanism e: Tingkah laku kerjasam a, sinergi
Pratikno dkk (2001)
Pada tingkatan nilai, kultur, dan persepsi, modal sosial dilihat melalui perilaku aktor yang menunjukkan perasaan simpati dan kooperatif antar sesama anggota komunitas. Nilai tersebut pada hakikatnya bermuatan energi positif bagi keberlangsungan dan kemajuan sebuah perkumpulan. Nilai-nilai tersebut menjadi alat yang dipakai untuk merealisasikan tujuan bersama. Pada tingkatan institu si, pola modal sosial dilihat dalam bentuk perilaku melembaga, organisasi, maupun jaringan sosial yang dibangun aktor. M enurut Uphoff, ada tiga kategor i institusi dan organisasi, yang ia sebutkan yaitu ― a. Organization that are not institutions b. Insitutions that are not organizations and c. Organizations that are institutions (or vice versa, institutions that are organizations).‖ Di kategori pertama, lembaga yang bukan institusi artinya lembaga sudah mempunyai aturan untuk mencapai tujuan tetapi kelakuan orang dan hubungan
11
sosial di dalamnya tidak terbentuk menurut ketentuan yang ada. Aturan lembaga hanya peraturan tertulis yang tidak memberikan dampak pada tindakan, sedangkan tindakan kelom pok terbentuk oleh sebuah nilai tersendiri. Dalam kategori kedua, institusi yang bukan atau tidak terikat dengan lembaga. Institusi ini berkembang berdasarkan kebiasaan yang berkembang dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Yang ketiga, yaitu lembaga sekaligus institusi, ataupun sebaliknya institusi yang berlembaga, yakni lembaga atau institusi memiliki struktur dan pembagian kerja yang jelas antara para anggotanya serta mempunyai aturan -aturan dan nilainilai yang ditaati anggota-anggotanya.
9
Pada tataran ruang lingkupnya, institusi dapat berupa local institutions apabila berbicara dalam konteks masyarakat pedesaan. Pemberdayaan masyarakat dalam komunitas pedesaan bergantung pada peran institusi lokal yang mana mempunyai kapasitas untuk mendefinisikan kebutuhan anggotanya. Secara historis sejak dahulu institusi-institusi lokal telah ada dan berfungsi secara efektif di masyarakat pedesan, contohnya seperti semangat gotong royong dan forum rembug desa.
10
Bagi Uphoff, pada isu pembangunan di tingkat lokal pun terdapat
hubungan yang sinergis dan sejajar antara pemerintah , masyarakat sipil, dan pasar. Terkait hal tersebut, terdapat 3 alternatif pendekatan pada pembangunan tingkat lokal,
yaitu
bureaucratic
structures, voluntary
associations, dan
m arket
interactions.
9
Kriscahyaningsih, M .M ., Skripsi Pertanian Organik: Pemberdayaan M asyarakat Petani di Kecamatan Sawangan Kabupaten M agelang , Fisipol UGM Jurusan Ilmu Sosiatri, Yogyakarta, 2004, hal. 15 10 Sunartiningsih, Agnes, Pemberdayaan M asyarakat Desa M elalui Institusi Lokal, Aditya M edia, Yogyakarta, 2004, hal. 57
12
Voluntary associations sebagai bentuk institusi lokal peranannya dalam pembangunan begitu terasa karena muncul dari keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom-up), sehingga keputusan-keputusan yang mereka ambil selalu disesuaikan dengan kebutuhan riil dan didasarkan aturan main yang telah dibuat dan disepakati bersama. Sedangkan cara kerja beraucratic structures cenderung struktural, selalu mengacu pada aturan yang telah dibuat di tingkat atas ( top down). Lain lagi dengan m arket interactions yang dilakukan pelaku pasar, dimana mereka cenderung bersifat individualistik untuk selalu melakukan efisiensi b agi peningkatan keuntungan yang sebesar-besarnya.
11
Lebih lanjut, U phoff menyatakan bahwa ada tiga kategori organisasi lokal. Yang pertama, organisasi lokal dengan campur tangan pemerintah. Hal ini terjadi pada asosiasi pembangunan lokal yang keberadaannya atas inisiatif pemerintah sehingga menjadi kepanjangan tangan pemerintah di tingkat lokal. Dengan kewenangan dari pemerintah maka organisasi ini memperoleh anggaran dari pemerintah pula. Yang kedua adalah koperasi, yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan anggotanya di bidang perekonomian. M eski koperasi memperoleh sumber daya dari anggotanya, tetapi pada kenyataannya ada pula yang memperoleh subsidi dari pemerintah. Ketiga yaitu kelompok kepentingan, dimana kelompok ini dibentuk atas inisiatif lokal berdasarkan kepentingan, kebutuhan, dan kesepakatan masyarakat di tingkat lokal.
12
Pada tingkatan mekanisme, modal sosial berw ujud kerjasama yang dilakukan aktor untuk mencapai tujuan. Dalam penyelesaian konflik, tingkatan
11 12
Ibid, hal. 63 Ibid, hal. 60
13
mekanisme digunakan sebagai langkah koordinasi tingkah laku pada pihak yang berkonflik. M ekanisme juga bisa merupakan cara kerja pada sebuah organisasi. Konsep tiga tingkatan modal sosial dari Pratikno dkk ini akan dipakai penulis untuk melihat bentuk-bentuk partisipasi masyarakat pada pengelolaan sampah di dusun Serut. Konsep tersebut membantu melacak nilai informal yang dipakai warga seperti nilai, budaya, kebiasaan melemb aga, jaringan sosial, kerjasama, dan lain-lain yang berkaitan dengan kontribusi mewujudkan program pengelolaan sampah yang baik dan berkelanjutan.
D.2. Konsep Agent Pada Teori Strukturasi
Teori strukturasi merupakan gagasan Anthony Giddens sebagai respon untuk menengahi perbedaan pandangan atas paham strukturalisme dan sosiologi interpretatif. M enurut teori strukturasi, domain dasar kajian ilm u -ilmu sosial bukanlah pengalaman masing-masing aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas kemasyarakatan, melainkan praktik-praktik sosial yang terjadi di sepanjang ruang dan waktu. A ktivitas sosial manusia saling terkait satu sama lain. M aksudnya, aktivitas sosial tersebut tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan
terus
menerus
diciptakan
oleh
mereka
melalui
sarana -sarana
pengungkapan diri mereka sebagai aktor. Di dalam dan melalui aktivitas -aktivitas mereka, para agen mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas itu.
13
13
Giddens, Anthony, Teori Strukturasi: Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial M asyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 3
14
Struktur dipahami sebagai suatu ‗penciptaan pola‘ relasi-relasi sosial atau fenomena-fenomena sosial. Bagi kaum fungsionalis, struktur tampil sebagai ‗sesuatu yan berada di luar‘ tindakan manusia, sebagai sumber pengekang inisiatif bebas subjek yang mandiri. Dalam analisis sosial, struktur merujuk pada kelengkapan-kelengkapan yang memungkinkan ‗pengikatan‘ waktu-ruang dalam sistem -sistem sosial. Struktur mengacu tidak hanya pada aturan-aturan (rules) yang dilibatkan dalam produksi dan reproduksi sistem -sistem sosial, namun juga pada sumber daya-sumber daya (resources). Jadi struktur merupakan perangkat aturan dan sumber daya yang teroganisasikan secara rutin, berada di luar ruang dan waktu, tersimpan dalam koordinasi dan instansiasinya dalam bentuk jejakjejak ingatan, dan ditandai dengan ‗ketidakhadiran si subjek‘. Pada suatu sistem sosial, peran agent sama pentingnya dengan struktur. Agen adalah aktor konkrit yang terlibat pada penciptaan struktur. M anusia sebagai agen memiliki refleksivitas. Bentuk refleksif daya pengetahuan para agen manusialah yang terutama paling banyak terlibat dalam penataan rekursif praktik praktik sosial. Refleksivitas tidak dipahami semata -mata sebagai ‗kesadaran diri‘, melainkan sebagai sifat terkendali arus kehidupan sosial yang tiada pernah berhenti. M enjadi seorang manusia berarti menjadi seorang agen dengan tindakan disengaja,
memiliki
alasan-alasan
atas
aktivitas-aktivitasnya
dan
mampu
mengelaborasi secara diskursif alasan-alasan itu. Agen memiliki tiga tingkatan kesadaran, yaitu: 1. Kesadaran diskursif (discursive consciousness), yaitu kemampuan aktor secara verbal menjelaskan maksud-maksud dan alasan mereka saat sedang melakukan suatu tindakan.
15
2. Kesadaran praktis (practical consciousness), yaitu segala sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh para aktor tentang bagaimana ‗terus bertindak‘ dalam konteks kehidupan sosial tanpa mereka mampu memberikan ungkapan diskursif terhadap segala sesuatu itu. Perbedaannya pada keadaan ketidaksadaran (unconscious) adalah tidak ada penghalang berupa represi pada kesadaran praktis. 3. M otif atau kognisi tidak sadar (unconscious motives/cognition). M otif mengacu pada potensi tindakan agen, dan bukan pada cara tindakan. M otif cenderung memiliki hubungan langsung dengan tin dakan hanya dalam keadaan-keadaan yang relatif tidak lazim, situasi-situasi yang terputus dari rutinitas. Sebagian besar tindakan agen sehari-hari tidak didasarkan pada suatu motivasi.
Terdapat hubungan yang mendasar antara agensi dengan kekuasaan. M enjadi seorang agen berarti harus mampu menggunakan sederet kekuasaan kausal, termasuk memengaruhi kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain. Seorang agen tidak lagi mampu berperan jika dia kehilangan kemampuan untuk ‗memengaruhi‘, yaitu menggunakan suatu jenis kekuasaan. Kekuasaan sendiri bukanlah merupakan suatu sumber daya. Sumber daya merupakan kelengkapan kelengkapan
terstruktur
dari
sistem -sistem
sosial,
yang
diproduksi
dan
direproduksi oleh para agen pintar selama terjadinya interaksi. Selain itu sumber daya merupakan sarana penggunaan kekuasaan. Kekuasaan dalam sistem sosial yang memiliki suatu kontinuitas di sepanjang ruang dan waktu mengandaikan rutinisasi relasi-relasi kemandirian dan ketergantungan di antara para aktor dalam
16
konteks-konteks interaksi sosial. Semua bentuk ketergantungan menawarkan sejumlah sum ber daya yang memberikan kemampuan bagi para bawahan untuk bisa memengaruhi aktivitas para atasan mereka.
E. Definisi Konseptual
E.1. Modal Sosial M odal sosial merupakan nilai yang bereksistensi pada relasi antar individu maupun kelompok dalam suatu hubungan sosial, mengandung resiprositas, serta menjadi sumber daya bagi aktor untuk mencapai tujuan. E.2. Agen Agen merupakan aktor baik individu maupun kelompok yang ada pada suatu sistem sosial.
F. Definisi Operasional
F.1. Modal Sosial Penggunaan modal sosial akan terlihat melalui kegiatan pengelolaan sampah dusun Serut di lapangan. Pelacakan modal sosial tesebut akan dilihat melalui indikator 3 tingkatan modal sosial, yaitu: 1) Tingkatan nilai, kultur, dan persepsi Nilai yakni norma maupun budaya positif dari masyarakat yang bermanfaat
untuk
komunitas,
contohnya
seperti
trust,
rasa
berkewajiban, resiprositas
17
2) Tingkatan institusi Yang dimaksud
institusi di sini adalah berupa
bentuk -bentuk
organisasi yang digunakan masyarakat dusun Serut untuk mendukung program pengelolaan sampah, baik yang bersifat formal maupun non formal. 3) Tingkatan mekanisme M ekanisme adalah cara-cara yang digunakan masyarakat dusun Serut dalam melakukan koordinasi, seperti tindakan sinergi dan mengandung tingkah laku kerjasama. F.2. Agen Selain peran masyarakat, kesuksesan program pengelolaan sampah juga ternyata melibatkan aktor lain. Aktor-aktor tersebut adalah agen yang berfungsi sebagai perantara dalam menguatkan pendayagunaan modal sosial di dusun Serut. Agen yang dimaksud di sini adalah aktor pendukung struktur modal sosial. Agen yang ditelusuri perannya di sini yaitu: 1. Kepala dusun Serut 2. Badan Lingkungan Hidup (BLH)
G. Metode Penelitian
G.1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kuali tatif dengan model studi kasus. Teknik ini membantu penulis dalam menganalisa
18
pemanfaatan modal sosial pada program pengelolaan sampah mandiri dusun Serut. Selain itu pula penulis ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan pengelolaan sampah partisipatif tersebut. Studi kasus mengarahkan penulis dalam mencari jawaban atas pertanyaan yang ada dengan seksama dan mendalam. Dalam proses pencarian data, informasi yang diperoleh berasal dari banyak responden. Ini men gakibatkan data yang diperoleh
tersaji
secara
komprehensif.
Banyaknya
jum lah
data
tersebut
membutuhkan kemampuan penulis menginterpretasikan atas fakta -fakta yang telah ditemukan. Pada situasi tersebut penulis dituntut untuk menentukan kecenderungan pada data yang telah diperoleh. Dengan keberpihakan atas data yang diperoleh, penulis mengutamakan data-data yang mendukung untuk membentuk argumen yang jelas pada penelitian ini. Karena itu di sini dipilih bukti-bukti yang paling penting saja dalam rangka mendukung argumen utama dari penulis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan modal sosial pada program pengelolaan sampah partisipatif dusun Serut serta keterlibatan aktor lain dalam menguatkan modal sosial. Bagaimana peran masyarakat serta campur tangan agen menciptakan pengelolan sampah dusun Serut yang berhasil. Proses analisa dilakukan dengan menggali secara mendalam kegiatan yang melibatkan warga dusun dan juga aktor yang terkait. Dari berbagai data yang ditemukan dilakukan proses cross check untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang peristiwa yang diteliti. G.2. Fokus Analisa
19
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana peran modal sosial dan dukungan aktor-aktor lain terhadap keberhasilan pengelolaan sampah di dusun Serut. Penjabaran diawali dengan mengungkap perbedaan yang terjadi sebelum dan sesudah program pengelolaan sampah di dusun Serut berjalan. Selanjutnya akan disajikan data tentang keterlibatan warga dusun d an pemerintah mendukung program tersebut. Data-data tesebut menuntun penulis memahami hubungan yang terjadi di dalam masyarakat dusun Serut serta peran aktor lain yang turut mendukung pelaksanaan program pengelolaan sampah . Selanjutnya data sekunder mengenai masalah persampahan membantu penulis dalam menarik kesimpulan.
G.3. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi M elalui observasi penulis dapat melihat bagaimana realitas yang terjadi di lapangan terkait pengelolaan sampah yang dilakukan dusun Serut. Dengan begitu penulis bisa mengamati kondisi lingkungan yang riil para narasumber serta kegiatan yang biasa mereka lakukan dalam mengelola sampah. Teknik ini pada akhirnya membantu penulis mengukur perkembangan program pengelolaan sampah yang terjadi semenjak awal hingga kondisi terkini. b. Teknik W awancara Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara yang open-ended, dimana penulis bertanya kepada responden kunci tentang peristiwa di samping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Wawancara dilakukan dengan car a indepth interview , yakni wawancara yang mendalam kepada narasum ber terkait dengan topik penelitian. Wawancara dilakukan dengan teknik snow ball sam pling
20
dimana narasumber pertama akan menginformasikan kepada penulis tentang narasumber lainnya yang memiliki hubungan dan kompetensi terhadap fenomena yang diteliti. Narasumber yang diwawancara yakni: a. Rahmat Tobadiyana sebagai kepala dusun Serut sekaligus pembina Posdaya Bidang Lingkungan H idup b. Suyoto, ketua program pengelolaan sampah dusun Serut c. Suradi, anggota pengelola sampah organik d. Ibu Handoko, ketua pengelola sampah anorganik UPPKS Azola e. Sambudi, petugas pengum pul sampah dusun Serut f.
Sri Rahayu, Kasubid Pengembangan Kapasitas BLH Bantul
g. Drs. Jito, Kasubid Pengembangan SDM dan Kelembagaan BLH DI Yogyakarta h.
Eko Purwanto, staf BLH DI Yogyakarta
i.
Siswanto, staf BLH DI Yogyakarta
Pengumpulan data wawancara ini dilakukan dengan menggunakan media perekam suara untuk lebih memudahkan penulis dalam mendapatkan setiap detail data yang diutarakan narasumber. Selain itu penulis melakukan pencatatan secara tertulis terhadap setiap poin penting yang diberikan narasumber. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber berupa dokumentasi, baik dari yang berbentuk buku dan literatur maupun yang berbentuk media baik media elektronik ataupun media cetak. Dokumentasi berupa buku merupakan
21
tulisan-tulisan yang memuat berbagai hal tentang pemberdayaan masyarakat dusun Serut terutama sektor pengelolaan lingkungan. Data media elektronik diambil dari internet yang terdiri dari data -data statistik tentang dusun Serut serta laporan yang membahas kegiatan di sana. Data media cetak berasal dari beberapa surat kabar yang meliput prestasi dus un Serut. Data-data ini adalah sebagai pelengkap bagi data primer dan juga pendukung argumen penulis. G.4. Teknis Analisis D ata Langkah awal yang dilakukan pen ulis dalam menganalisis data adalah membuat transkrip wawancara yang berasal dari berbagai narasu m ber. Kemudian dikum pulkan juga intisari data wawancara yang sudah ditulis dan berbentuk catatan. Pada kedua bentuk data tersebut lalu dilakukan proses cross check untuk menguji tingkat validitasnya. Selanjutnya data primer tersebut dibaca berulang-ulang secara seksama agar data yang diperoleh tersebut dapat dipahami oleh penulis dengan baik. Setelah proses pemahaman, data sekunder yang sudah ada lalu dipelajari dan kemudian dikaitkan dengan data primer. Data sekunder menjadi pelengkap data primer dan pend ukung argumen penulis. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut akan dianalisis dan diinterpretasikan sesuai dengan teori yang digunakan sebagai pisau analisis. Di tahap ini penulis menganalisa fenomena yang terjadi dengan merujuk pada definisi operasional yang merupakan rincian spesifik dari landasan teori yang digunakan. Analisa data dilakukan secara konsisten dengan mengikuti poin -
22
poin dari definisi operasional yang diuraikan dalam bab I. Proses analisa data ini dilakukan penulis dengan mengedepankan aspek validitas dan reliabilitas.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini dibagi menjadi lima bab. Bab pertama sebagai pengantar yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan landasan teori yang digunakan untuk menganalisis data. Bab kedua berisi tentang penjabaran mengenai program pengelolaan sampah dusun Serut. Fakta tentang dinamika yang terjadi pada pro ses pengelolaan sampah akan ditemukan pada bagian ini. Bab ketiga mendiskusikan penerapan modal sosial oleh warga dusun Serut dalam mengendalikan produksi sampah. Pembaca bisa melihat kontribusi yang muncul dari masyarakat menyukseskan pengelolaan sampah. Bab keempat memaparkan bagaimana kontribusi aktor-aktor lain sebagai agen yang turut menguatkan modal sosial di dusun Serut. Pada bab ketiga dan keempat fenomena di lapangan yang terjadi akan dibahas dengan dibantu oleh landasan teori yang sudah dipaparkan pada bab pertama. Sedangkan bab terakhir yakni bab kelima berisi kesimpulan yang akan dikerangkai berdasarkan data -data yang telah dikum pulkan dan analisis yang telah dilakukan.
23