ARTIKEL SKRIPSI
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF METODE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) DALAM MENINGKATKAN SIKAP SOSIAL SISWA PADA PEMBELAJARAN AGAMA BUDDHA KELAS 4 SD (STUDI KASUS DI SD NEGERI NEGLASARI 3 TANGERANG) DISUSUN OLEH JUNI ARDHI Abstract Issues raised in this research is how to model cooperative learning methods Student Teams Achievement Division (STAD), how the application of cooperative learning methods Student Teams Achievement Division (STAD) in Buddhist learning, and how the results of the application of cooperative learning methods Student Teams Achievement Division (STAD) on Buddhist learning in improving students' social attitudes. The purpose of this study was to determine and describe the cooperative learning method Student Teams Achievement Division (STAD) and the application of cooperative learning methods Student Teams Achievement Division (STAD) in learning Buddhism in improving social attitudes of students.Berdasarkan this study are expected to be useful for Buddhist teacher to apply cooperative learning methods Student Teams Achievement Division (STAD) on Buddhist learning in school, and for students through the application of this learning model can have knowledge of Buddhism that is supported by an increase in social attitudes during the learning so that they can interact with well and have a positive attitude. To achieve the research objectives above, the writer used descriptive qualitative research case study. Given the data analyzed in the form of text and are qualitative, the authors use data analysis phenomenology. Research procedures that researchers design studies including the preparation phase, the implementation phase of the study, and data recording stage. Research instruments to collect data including lesson plan (RPP), interview, and observation. Techniques of data collection by interview, observation, and documentation. For the validity of the data in the study include internal validity (credibility), external validity (transferability), reliability (dependentbility), and objectivity (confirmability). Analysis of research data with data reduction, data display and conclusion drawing or verification. These results indicate that the application of cooperative learning methods Student Teams Achievement Division (STAD) in learning Buddhism can improve students' social attitudes. This learning model can provide a stimulus to the social attitudes of students in the learning process and to increase the students' social attitudes students can easily interact with teachers and other students and enable students to understand the subject matter of Buddhism.
1
Based on these results the authors mentioned that it is important to stimulate an increase in the social attitudes held by students during the learning with the use of cooperative learning methods Student Teams Achievement Division (STAD). Students who have positive social attitudes can help themselves to interact well with teachers and other students as well as the materials studied in the learning process much easier can it understand. Finally, the author suggested that case studies can be carried out further research in the field, such as the effectiveness of the cooperative learning method Student Teams Achievement Division (STAD) in learning Buddhism so this study really useful. For teachers to implement cooperative learning methods Student Teams Achievement Division (STAD) in learning Buddhism. For students through the application of cooperative learning methods Student Teams Achievement Division (STAD) in learning Buddhism is expected to be an increase in social attitudes, learning outcomes and good communication with the implementation of positive social attitudes in everyday life. Kata Kunci: Model Kooperatif, Metode Student Teams Achievement Division (STAD), Sikap Sosial, Pendidikan Agama Buddha.
Latar Belakang Pada hakikatnya manusia yang ada di dunia ini adalah makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lainnya. Dengan kehadiran manusia yang lainnya maka individu dengan mudah akan dibantu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia terlahir dengan berbagai macam aspek baik dari aspek keturunan, kepribadian, hingga tingkat kecerdasan manusia. Setiap individu pasti memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai. Namun dalam menggapai tujuan hidup banyak proses kehidupan yang harus dihadapi dan dilalui. Demi menggapai keinginan, individu harus melalukan berbagai cara (usaha). Usaha individu sangat bervariasi ada yang cepat maupun lambat tergantung usaha yang mereka lakukan. Dalam proses pendidikan, guru pun membangun karakter peserta didik yang mana karakter ditanamkan pada proses pembelajaran. Ada pun kemampuan guru yang bermacam-macam mengelola kelas secara baik atau kurang. Hal ini
2
juga akan sangat berpengaruh terhadap diri dari peserta didik. Maka hal ini akan sangat berdampak bagi siswa dan akan menimbulkan suatu pertanyaan mengenai sudah tercapai atau belum tujuan dari pembelajaran yang telah dilakukan. Guru monoton dalam memberikan pelajaran, kualitas guru yang masih kurang, kurang disiplin, tidak dapat menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK, kurang terampil baik dalam mengelola bahan belajar hingga pengelolaan proses pembelajaran,
seperti
yang
dikutip
dari
harian
Republika
Online
(http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/beritapendidikan/12/10/12/mbrv1r-penyakitpenyakit-yang-harus-dihindari-guru, diakses pada 29 januari 2013). Hal ini menjelaskan bahwa masih terdapat sebagian guru menggunakan metode lama dan membuat situasi belajar belajar yang monoton. Seperti pada kasus yang terjadi akibat siswa merasa jenuh dan bosan sehingga tertidur pada saat jam pelajaran. Seorang guru menginstruksikan siswa untuk mencatat pelajaran, namun ada beberapa siswa yang tertidur dan guru melakukan tindakan tidak professional, yang dikutip dari harian Kompas Online (http://regional.kompas.com/read/2012/04/12/16331998/Pukul.Siswa.yang.Tidur. Guru.Ini.Kena.Pukul, diakses pada 29 Januari 2013). Hal ini menunjukan masih terdapat guru yang kurang profesional. Gurupun harus meningkatkan kualitas dirinya sebagai seorang guru. Dalam proses pembelajaran guru harus berpartisipasi aktif. Siswa mengikuti proses pembelajaran bukan saja hanya untuk mendapatkan dan mengolah ilmu pengetahuan saja. Namun potensi dalam diri siswa yang harus ditumbuh kembangkan. Sehingga siswa dapat mampu memberikan solusi terbaik apabila menemukan suatu permasalahan yang dihadapinya. Pentingnya guru mendampingi siswa untuk mengembangkan potensi
3
siswa dan potensi tersebut diharapkan harus mampu mencari solusi atas berbagai masalah di masa depan seperti yang dikutip dalam Harian Kompas, Rabu 30 Januari 2013. Kondisi pembelajaran kini sangat memprihatinkan, karena masih terdapatnya keterbatasan dan kekurangan pada pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran tradisional, maka model kooperatif ini sangat penting untuk diupayakan untuk pengembangan dan penerapannya. Model pembelajaran kooperatif mengajarkan siswa untuk dapat berinteraksi dengan siswa lain, karena dalam pelaksanaan kerjasama antar siswa sangat diperlukan untuk mencapai tujuan dalam pembelajaran. Tuntutan dalam bidang pendidikan juga banyak mengalami perubahan. Pendidik harus pandai dalam kemampuan mengaktifkan siswa dan mendorong siswa untuk mampu membangun pengetahuannya sendiri yang melalui strategi dalam menyusun dan melaksanakan proses pembelajaran yang efektif. Hal ini membuat seorang guru harus membuat proses pembelajaran semenarik mungkin dan mencapai hasil tujuan pembelajaran pada seluruh aspek penilaian pembelajaran. Perencanaan pembelajaran harus disusun oleh guru dengan baik. Guru dituntut untuk lebih kreatif dan variatif dalam penyusunannya. Peneliti menemukan permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan metode pembelajaran yang masih konvensional pada pembelajaran agama Buddha di SDN Neglasari 3 Tangerang. Proses pembelajaran pun masih mengacu kepada berpusat pada guru. Peneliti melihat tersebut melalui pra-observasi ke SDN Neglasari 3 Tangerang. (Wawancara dan pra-observasi pada 17 Desember 2012) Perilaku siswa dipengaruhi dari lingkungan pergaulan, baik di sekolah maupun di rumah. Faktor lingkungan akan menyebabkan sikap yang dimiliki
4
oleh siswapun berbeda-beda. Peneliti menemukan masalah bahwa sikap interaksi di dalam kelas pada pembelajaran pendidikan agama Buddha di SDN Neglasari 3 Tangerang masih rendah. Hal ini ditunjukan masih adanya beberapa siswa yang kurang percaya diri dalam bergaul dan bergaul membentuk geng. Ternyata hal tersebut merupakan dampak dari lingkungan pada diri siswa. Peneliti menerima informasi bahwa beberapa siswa berada di lingkungan yang kurang baik seperti perjudian dan perceraian orang tua. (Wawancara dan pra-observasi pada 17 Desember 2012) Melalui pengamatan yang dilakukan dan informasi yang didapatkan, bahwa di kelas 4 SD para siswa mengalami kesulitan belajar Agama Buddha. Kesulitan ini diantaranya rendahnya interaksi pada saat pembelajaran dan hasil belajar yang sesuai dengan standar nilai yang ditetapkan oleh guru. Dari latar belakang yang penulis sampaikan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mendapatkan gambaran dan informasi mengenai “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Metode Student Teams Achievement Division (STAD) Dalam Meningkatkan Sikap Sosial Siswa Pada Pembelajaran Agama Buddha Kelas 4 SD (Studi Kasus di SD Negeri Neglasari 3 Tangerang)”.
Tujuan Penelitian Tujuan kajian ini meliputi mendeskripsikan model pembelajaran kooperatif dan membahas metode Student Teams Achievement Division (STAD). Sehingga penerapan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan sikap sosial siswa dalam pembelajaran agama Buddha di tingkat sekolah dasar.
5
Kegunaan Penelitian Kegunaan dari kajian ini meliputi kegunaan teoretis dan kegunaan praktis. 1) Kegunaan teoretis a. Sebagai bahan acuan untuk pengembangan mata kuliah Psikologi Pendidikan, Metodologi Pembelajaran dan Dasar-dasar Pendidikan. b. Sebagai bahan masukan untuk studi atau kajian pembelajaran pendidikan agama Buddha. 2) Kegunaan praktis a. Bagi Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, penelitian dapat dijadikan sumber informasi dan pengetahuan mengenai cara meningkatkan sikap sosial siswa ini untuk melengkapi koleksi penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. b. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk menguji tingkat kemampuan dan
daya
pikir
penulis
untuk
menganalisa
permasalahan
pada
pembelajaran pendidikan agama Buddha di sekolah. c. Bagi masyarakat diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat agar dapat meningkatkan sikap sosial pada putra putri yang mereka miliki dengan baik. d. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan bahwa meningkatkan sikap sosial siswa dapat diwujudkan melalui pendidikan di sekolah. e. Bagi peneliti lain, diharapkan peneliti lain mendapat wawasan tambahan dan dapat dijadikan sumber informasi dalam melakukan penelitian yang akan datang mengenai “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif
6
Metode
Student
Teams
Achievement
Division
(STAD)
Dalam
Meningkatkan Sikap Sosial Siswa atau penelitian sejenisnya
Pembahasan Pembahasan pembelajaran tidak bisa dipisahkan dari istilah kurikulum dan pengertiannya. Hubungan keduanya dapat dipahami dengan penjelasan bahwa pembelajaran
merupakan wujud pelaksanaan kurikulum. Kata pembelajaran
menyiratkan adanya seseorang yang tugasnya mengajar, di sekolah pada umumnya disebut guru. Pembelajaran sebagai suatu proses, buah atau hasilnya dari terjadinya peristiwa belajar di dalam diri siswa. Peristiwa belajar pada siswa ini menunjukkan adanya sikap, seperti minat, perhatian, perasaan, percaya diri dan sikap lainnya. Menurut Usman (2010: 4) mengungkapkan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini didukung dengan pendapat Munandir (2001: 255) menjelaskan bahwa pembelajaran mengacu ke segala daya upaya bagaimana membuat seseorang belajar, bagaimana menghasilkan terjadinya peristiwa belajar di dalam diri orang tersebut. Dalam Buddhanussati terdapat makna dari kompetensi seorang guru sebagai berikut:
Iti pi so Bhagava Araham Samma-sambuddho, Vijjacarana-sampanno Sugato Lokavidu, Anuttaro purisadammasarathi Sattha devamanussanam Buddho Bhagava’ti (Dhammadipa Arama, 2001: 25)
7
Artinya adalah:
Demikianlah Sang Bhagava; Yang Maha Suci; Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna; Sempurna pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya; Sempurna menempuh Sang Jalan (ke Nibbana); Pengenal Segenap Alam; Pembimbing Manusia Yang Tiada Taranya; Guru para dewa dan manusia; Yang Sadar (Bangun), Yang Patut Dimuliakan. Sang Buddha merupakan seorang guru bagi muridnya, yakni umat awam dan manusia. Dengan Dhamma sebagai ajarannya. Seorang guru yang baik dan professional, guru tersebut harus memiliki kompetensi dan berbagai keahlian lainnya yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Dalam Dhammanussati terdapat makna dari proses pembelajaran sebagai berikut: Svakkhato Bhagavata Dhammo Sanditthiko akaliko ehipassiko Opanayiko paccatam veditabbo vinnuhi’ti (Dhammadipa Arama, 2001: 26)
Artinya adalah:
Dhamma Sang Bhagava telah sempurna dibabarkan; Berada sangat dekat; tak lapuk oleh waktu; mengundang untuk dibuktikan Menuntun ke dalam batin; dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing. Dhamma Sang Buddha merupakan pelajaran yang disampaikan kepada muridnya. Dalam penyampaiannya Sang Buddha menggunakan berbagai teknik. Sama halnya dalam pembelajaran, seorang guru hendaknya mempersiapkan secara baik sebelum, saat dan setelah melakukan pembelajaran demi tercapainya tujuan dalam
8
pembelajaran. Dalam interaksi pembelajaran harus sangat menarik dan tidak ada jarak pemisah antara guru maupun siswa. Pendidikan yang dilakukan harus dilakukan dan bermanfaat bagi siswa seumur hidup. Hasil dari pembelajaran sangatlah penting dalam menunjang kelangsungan hidup siswa di masa depan. Pengelolaan pembelajaran harus dilaksanakan secara baik agar ilmu pengetahuan dan budi pekerti luhur dapat diserap oleh siswa. Sehingga siswapun akan menjadi cerdas dan berbudi pekerti luhur setelah mengalami pembelajaran yang terjadi di sekolah. Dalam Sanghanussati terdapat makna dari proses pembelajaran sebagai berikut: Supatipanno Bhagavato savakasangho Ujupatipanno Bhagavato savakasangho Nayapatipanno Bhagavato savakasangho Samicipatipanno Bhagavato savakasangho Yadidam cattari purisayugani atthapurisa puggala, Esa Bhagavato savakasangho, Ahuneyyo pahuneyyo dakkhineyyo anjalikaraniyo Anuttaram punnakkhettam lokassa’ti (Dhammadipa Arama, 2001: 26)
Artinya adalah:
Sangha siswa Sang Bhagava telah bertindak baik; Sangha siswa Sang Bhagava telah bertindak lurus; Sangha siswa Sang Bhagava telah bertindak benar; Sangha siswa Sang Bhagava telah bertindak patut; Mereka, merupakan empat pasang makhluk, terdiri dari delapan jenis makhluk suci. (*) Itulah Sangha siswa Sang Bhagava; Patut menerima pemberian, tempat bernaung, persembahan serta penghormatan: Lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta.
9
(*) Mereka disebut Ariya Sangha: makhluk-makhluk yang telah mencapai Sotapatti Magga dan Phala, Sakadagami Magga dan Phala, Anagami Magga dan Phala dan Arahatta Magga dan Phala. Sangha merupakan perkumpulan siswa Sang Buddha. Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada siswanya untuk mencapai tingkat kesucian. Para siswa mempraktekkan Dhamma dalam kehidupan kesehariannya. Siswa Sang Buddha yang mempraktekkan Dhamma dengan baik dan memperoleh hasil yakni mencapai tingkat kesucian disebut Ariya Sangha. Hal ini sama dengan seorang guru memberikan materi pelajaran pada saat proses pembelajaran. Siswa harus mampu menguasai materi pelajaran dan memiliki serta mempraktekan nilai-nilai yang telah disampaikan. Sehingga para siswa memiliki kemampuan pengetahuan, keterampilan dan keahlian dalam memecahkan masalah dalam kehidupan kesehariannya. Manusia adalah makhluk sosial, yakni makhluk yang berinteraksi dengan sesamanya, selain itu manusia memiliki potensi, karakter, latar belakang historis, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Karena hal tersebut menjadi konsekuensi logis dari definisi manusia secara harfiah dengan pengertian sebagai makhluk pribadi atau individual, berbeda satu sama lain, karena sifatnya yang individual maka manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya. Dari adanya perbedaan tersebut, maka manusia dapat saling mencerdaskan, membutuhkan, saling melengkapi dan saling menyayangi atau saling mencintai dalam berinteraksi. Interaksi sesama manusia dengan berbagai perbedaan didalam diri manusia tersebut apabila tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan ketersinggungan dan kesalahpahaman antar sesama manusia. Diperlukannya interaksi dengan tenggang rasa agar tidak menimbulkan konflik diantara manusia tersebut. Dalam dunia pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan formal banyak dijumpai perbedaan-perbedaan mulai dari perbedaan gender, suku, agama, budaya dan lain-lain. Dari hal tersebut maka banyak para ahli mulai mempelajari mengenai model-model pembelajaran dan teknik untuk penerapannya di dalam kelas serta hasil yang akan diperoleh setelah mengikuti suatu pembelajaran di kelas. 10
Model pembelajaran
kooperatif
ini dapat melatih siswa untuk
menemukan dan memahami konsep-konsep yang dianggap sulit dengan cara bertukar pikiran atau diskusi dengan teman-temannya melalui kegiatan saling membantu dan mendorong untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Model pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang menekankan adanya kerja sama antar siswa dengan kelompoknya untuk mencapai tujuan belajar bersama yang diungkapkan Johnson (dalam Supriadi, 1995: 56). Salah satu model yang dapat mengarahkan kepada siswa untuk memberikan pengalaman belajar secara langsung adalah model pembelajaran kooperatif. Menurut Slavin menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah: Pendekatan
konstruktivis
dalam
pengajaran
secara
khusus
membuat belajar kooperatif ekstensif, secara teoritis siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikannya dengan temannya (dalam Krismanto, 2003: 14). Abdurrahman dan Bintoro (2000: 78) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam kehidupan nyata masyarakat. Model pembelajaran kooperatif dapat memotivasi seluruh siswa, memanfaatkan seluruh energi sosial siswa, saling mengambil tanggung jawab. Model pembelajaran kooperatif membantu siswa belajar setiap mata pelajaran, mulai dari keterampilan dasar sampai pemecahan masalah yang kompleks yang dikatakan Muhammad Nur (2005: 1). Sedangkan menurut pendapat lainnya menjelaskan model kooperatif adalah: Pembelajaran kooperatif berbeda dengan sekedar belajar dalam kelompok. Perbedaan ini terletak pada adanya unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif yang tidak ditemui dalam pembelajaran kelompok yang dilakukan asal-asalan. Prosedur model pembelajaran kooperatif yang dilakukan dengan benar akan 11
memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif (Anita, 2002: 28). Setiap model pembelajaran memiliki ciri-ciri yang berbeda. Dengan memahami ciri-ciri tersebut, maka kita akan mengetahui model pembelajaran yang digunakan oleh guru pada proses pembelajaran. Ciri-ciri pembelajaran kooperatif yaitu: Siswa
yang
dibentuk
secara
berkelompok
dari
berbagai
kemampuan dalam diri siswa dari yang tinggi hingga terendah dengan latar belakang yang sangat beragam sehingga orientasi pembelajaran terjadi bukan secara individu melainkan berkelompok (Ibrahim, 2000: 6). Dalam pandangan agama Buddha, Sang Buddha mengelompokan siswa menjadi dua, yaitu kelompok Sangha dan umat awam. Dalam Buku Riwayat Hidup Buddha Gotama (Sumedha, 1999: 47-52) dijelaskan bahwa kelompok Sangha pertama kali dibentuk dari datangnya lima pertapa yang merupakan teman pertapaannya waktu sebelum menjadi Buddha. Tepat dua bulan setelah mencapai Penerangan Sempurna, Sang Buddha membabarkan Dhamma untuk pertama kalinya kepada lima orang pertapa di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela dan mereka adalah orang-orang yang pertama kalinya mendengarkan Dhamma. Mereka yang kemudian disebut Panca Vaggiya Bhikkhu ini adalah Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji. Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Sang Buddha membentuk Sangha Bhikkhu yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Sang Buddha). Sedangkan terbentuknya kelompok umat awam dijelaskan dalam Dalam Buku Riwayat Hidup Buddha Gotama (Sumedha, 1999: 43) dijelaskan bahwa kelompok umat awam pertama kali dibentuk dari ketika Tapussa dan Bhallika memberikan makanan dan memohon agar menjadi siswa kepada Sang Buddha dan Sang Buddha menerimanya sebagai upasaka-upasika pertama yang
12
berlindung pada Buddha dan Dhamma. Kejadian ini berlangsung pada hari ke 50 setelah bermeditasi selama tujuh minggu dari Penerangan Agung. Dalam Buku Riwayat Hidup Buddha Gotama (Sumedha, 1999: 57) Fenomena ini terulang kembali setelah Buddha, Dhamma dan Sangha (Tiratana) terbentuk yakni saat ayah Yasa mencari anaknya dan menemukan Sang Buddha di Isipatana. Sang Buddha menguraikan Dhamma kepada ayah Yasa dan setelah memperoleh Mata Dhamma, ayah Yasa memohon agar diterima sebagai siswa dan Sang Buddha menerimanya. Dalam Maha Parinibbana Sutta dalam Digha Nikaya (Norman, 2009: 1213), Sang Buddha menjelaskan enam syarat dalam meningkatkan kehidupan bersama para bhikkhu. So long as the brethren shall preserve in kindness of action, speech, and thougt toward their fellowdisciples, both in public and in private; So long as they shall divide without partiality, and share in common with their upright companions, all such things as they receive in accordance with the just provisions of the Order, down even to the mere contents of a begging bowl; So long as the brethren shall live among the saints in the practice, both in public and in private, of those virtues which (unbroken, intact, unspotted, unblemished) are productive of freedom, praised by the wise, and which are untarnished (by the desire of future life, or by the belief in the efficacy of outward acts), and which are conducive to concentration of heart; So long as the brethren shall live among the saints, cherishing, both in public and in private, that noble and saving insight which leads to the complete destruction of the sorrow of him who acts according to it; So long may the brethren be expected not to decline, but prosper. (Norman, 2002: 82-83) Dijelaskan bahwa dalam pergaulan para bhikkhu saling mengasihi dan menyayangi dengan perbuatan, ucapan, pikiran dalam hal pribadi maupun umum, membagi dengan adil segala sesuatu yang mereka terima, tidak melanggar vinaya hidup diantara para orang suci (ariya), mempertahankan kelangsungan sangha
13
dengan baik, secara pribadi atau umum mengembangkan pandangan benar untuk melenyapkan penderitaan (dukkha). Seorang bhikkhu dalam Sangha memiliki pengertian yang sama seperti seorang siswa berada pada suatu kelompok di kelas. Kerjasama didalam kelompok tersebut harus dibangun dengan baik dan memberikan perhatian satu dengan yang lainnya. Dengan kerjasama dalam sebuah kelompok ini akan memberikan manfaat bagi diri siswa tersebut maupun kemajuan bagi kelompoknya. Begitu pula halnya dengan sikap yang dimiliki oleh setiap individu pun berbeda-beda. Dalam melihat pandangan-pandangan objek yang terjadi di lingkungan sekitar pun akan menentukan sikap yang akan dilakukan oleh diri individu pun akan berbeda. Maka penilaian terhadap individu pun pasti akan berbeda pula. Seperti yang dikemukakan oleh Baron dan Byrne (2004) sikap sebagai penilaian subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Menurut Eagly & Chaiken (dalam Myers, 2010: 164) mendefinisi sikap adalah suatu reaksi evaluative yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang. Maka respon yang akan diberikan oleh individu pun akan sangat beragam. Ada yang menolak maupun menerima dalam memberikan respon. Menurut Dhammapada terdapat sabda Sang Buddha yang menyatakan bahwa: Mental phenomena are preceded by mind, have a mind as their leader, are meade by mind. If one acts or speaks with an evil mind, from that sorrow follows him, as the wheel follows the foot of the ox. Mental phenomena are preceded by mind, have a mind as their leader, are meade by mind. If one acts or speaks with a pure mind, from that happiness follows him, like a shadow not going away. (dalam Norman, 2004: 1) Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat, maka semua bersumber 14
dari pikiran. Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa semua yang ada dalam kehidupan manusia adalah hasil dari apa yang manusia pikirkan. Maka keragaman untuk merespon objek yang ada didalam hidup manusia dapat terjadi. Sikap yang diekspresikan oleh seseorang tidak terlalu memprediksikan keragaman perilaku yang mereka munculkan yang dikemukakan oleh Wicker (dalam Myers, 2010: 164). Hal ini berhubungan antara keragaman orang, sikap dan perilaku yang dilakukan. Karena setiap orang memiliki ciri khas dan pola pikir yang beragam. Sehingga akan menghasilkan suatu respon yang beragam terhadap suatu hal. Pernyataan di atas diperjelas dalam Manggala Sutta (Khuddakapatha, 2006: 298), yang merupakan nasihat Sang Buddha mengenai cara bergaul dan berinteraksi dengan memilih seseorang yang baik sebagai berikut: Asevana ca balanam Panditanan ca sevana Puja ca pujaneyyanam Etam manggalam uttamam (dalam Nanamoli , 2005: 135) Artinya adalah: Tak bergaul dengan orang yang tak bijaksana Bergaul dengan mereka yang bijaksana Menghormati mereka yang patut dihormati Itulah berkah utama Dalam memiliki sikap, sebaiknya pikiran harus cerdas dan mampu membedakan yang baik dan buruk. Karena dikatakan bahwa tidak bergaul dengan orang dungu adalah sebagai berkah utama. Sikap yang akan dimiliki oleh seseorang akan memiliki sikap yang positif melainkan bukan yang negatif. Hendaknya seseorang bergaul dengan orang yang bijaksana dan patut dihormati. Cara ini ditempuh agar
15
seseorang senantiasa memiliki positif dalam hidupnya. Kebiasaan berinteraksi positif maka akan membuat sikap seseorang kearah yang positif. Dalam memiliki sikap hendaknya seseorang juga harus berhati-hati dalam melakukan interaksi, Sang Buddha menjelaskan dalam Karaniyametta Sutta sebagai berikut: Na ca khuddam Yena vinnu Sukhino va Sabbe satta bhavantu sukhitatta He would no slight thing do at all That other wise men might deplore Then he would think “joyful and safe” Let every creature’s heart rejoice (dalam Nanamoli, 2005: 281-283)
samacare pare khemino
kinci upavadeyyum hontu
Artinya adalah: Tak berbuat kesalahan walaupun kecil Yang dapat dicela oleh para bijaksana Hendaklah ia berpikir "semoga semua makhluk berbahagia dan tenteram" Semoga semua makhluk berbahagia(Khuddakapatha 3, 2006: 574-576) Tak berbuat kesalahan walaupun kecil merupakan sikap positif yang harus selalu seseorang lakukan. Sikap positif ini akan membuat diri seseorang merasa pada keadaan yang baik. Jika seseorang memiliki bersikap negatif dan menjadi kebiasaan, maka orang tersebut akan dapat dicela dan tidak memiliki teman. Jika setiap orang berusaha membangun sikap yang positif, maka kebahagiaan meliputi pada orang-orang tersebut. Pernyataan di atas diperjelas dalam Manggala Sutta, yang merupakan nasihat Sang Buddha mengenai seorang guru yang profesional sebagai berikut: Bahusaccan ca sippan ca Vinayo ca susikkhito Subhasita ca ya vaca Etam manggalam uttamam (dalam Nanamoli, 2005: 145-148)
16
Artinya adalah: Memiliki kemampuan dan keterampilan Terlatih baik dalam tata susila Ramah tamah dalam ucapan Itulah berkah utama (Khuddakapatha 2, 2006: 315) Sikap sosial yang positif ini akan membuat manusia menjadi manusia yang Pubbakari dan Katannukatavedi pada Anguttara Nikaya (Wowor, 1993: 3) yang dijelaskan bahawa pengertian Pubbakari adalah seseorang yang memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Orang ini melakukan perbuatan baik tanpa pamrih. Sedangkan Katannukatavedi adalah sikap yang dimiliki oleh seseorang karena ia menyadari adanya bantuan orang lain untuk dirinya dan merasa berterima kasih. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut di atas, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif studi kasus. Mengingat data yang dianalisis berupa teks dan bersifat kualitatif, maka penulis menggunakan analisis data secara fenomenologi. Prosedur penelitian yang peneliti rancang diantaranya tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pencatatan data. Instrumen penelitian untuk mengambil data diantaranya rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), pedoman wawancara, dan pedoman observasi. Teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan
wawancara, observasi
atau
pengamatan, dan dokumentasi. Untuk keabsahan data dalam penelitian meliputi uji validitas internal (credibility), validitas eksternal (transferability), reliabilitas (dependentbility), dan objektivitas (confirmability). Analisis data penelitian dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam penerapan model pembelajaran kooperatif metode Student Teams Achievement Division (STAD)
17
pada pembelajaran agama Buddha dapat meningkatkan sikap sosial siswa. Model pembelajaran ini dapat memberikan stimulus terhadap sikap sosial siswa pada proses pembelajaran dan dengan peningkatan sikap sosial siswa ini siswa dapat dengan mudah berinteraksi dengan guru dan siswa lainnya serta memudahkan siswa untuk memahami materi pelajaran agama Buddha.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis menyebutkan bahwa sangatlah penting memberikan stimulus peningkatan terhadap sikap sosial yang dimiliki oleh siswa pada saat pembelajaran dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif metode Student Teams Achievement Division (STAD). Siswa yang memiliki sikap sosial yang positif dapat membantu dirinya sendiri dalam berinteraksi baik dengan guru maupun siswa lainnya serta materi yang dipelajari pada proses pembelajaran lebih mudah dapat ia pahami.
Saran Akhirnya penulis menyarankan agar dapat dilakukan penelitian studi kasus lebih lanjut di lapangan, misal tingkat efektifitas model pembelajaran kooperatif metode Student Teams Achievement Division (STAD) pada pembelajaran agama Buddha sehingga penelitian ini benar-benar bermanfaat. Bagi guru agar dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif metode Student Teams Achievement Division (STAD) pada pembelajaran agama Buddha. Bagi siswa melalui penerapan model pembelajaran kooperatif metode Student Teams Achievement Division (STAD) pada pembelajaran agama Buddha diharapkan dapat terjadinya
18
peningkatan sikap sosial, hasil belajar dan komunikasi yang baik dengan implemantasi sikap sosial yang positif dalam kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, M & Totok Bintoro. 2000. Memahami dan Menangani Siswa dengan Problem dalam Belajar : Pedoman Guru. Jakarta: Depdiknas. Baron, R. A, & Byrne, D. E. 2004. Social Psychology (10th ed). USA: Pearson. Djibril Muhammad. 2012. 'Penyakit-penyakit' yang Harus Dihindari Guru ,(http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/beritapendidikan/12/10/12/mbrv1r-penyakitpenyakit-yang-harus-dihindari-guru, diakses pada 29 januari 2013). Hari, W Laksono. 2012. Pukul Siswa yang Tidur, Guru Ini Kena Pukul, (http://regional.kompas.com/read/2012/04/12/16331998/Pukul.Siswa.yang .Tidur.Guru.Ini.Kena.Pukul, diakses pada 29 Januari 2013). Hinuber, O. Ovun & Norman, K. R. 2003. Dhammapada. Oxford: The Pali Text Society. Ibrahim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Kompas. 30 Januari, 2013. Pola Pendampingan Guru Dinilai Lebih Efektif. Hlm 12. Miles, M.B. dan Huberman, A.M. (2007). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Moleong, J. Lexy. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Myers, David G. 2012. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Nanamoli. 2005. The Minor Readings And Illustrator. Oxford: The Pali Text Society. ________. 2006. Khuddakapatha Kitab Suci Agama Buddha, Vol II. Terjemahan oleh Wena Cintiawati & Lanny Anggawati. Klaten: Vihara Bodhivamsa Visma Dharmaguna.
19
________. 2006. Khuddakapatha Kitab Suci Agama Buddha, Vol III. Terjemahan oleh Wena Cintiawati & Lanny Anggawati. Klaten: Vihara Bodhivamsa Visma Dharmaguna. Norman, K. R. 2002. Scared Books Of Buddhists. Oxford: The Pali Text Society. ___________. 2004. The Word Of The Doctrine (Dhammapada). Oxford: The Pali Text Society. Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media. _____________. 2009. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media. Supriadi, Edi. 1995. Pengembangan Pembelajaran Pemrograman Komputer dengan Metode Kooperatif. Cakrawala Pendidikan. XIV (1): 53-63. Tim Penyusun. 2005. Tipitaka Kitab Suci Agama Buddh Dhammapada SabdaSabda Buddha Gotama. Jakarta: Dewi Kayana Abadi. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstrutivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. ______. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif. Jakarta: Kencana. Usman, Moh. User. 2010. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Wowor, Cornelis. 1993. Dhamma Vibhanga. Penerbit: CV. Arya Surya Chandra. _____________. 2004. Pandangan Sosial Agama Buddha. Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana.
20