BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu yaitu pada tahap penyelidikan sampai dengan tingkat terpidana yaitu pada saat pelaksanaan putusan hakim dijamin hak asasinya. Kenyataannya
masih
banyak
hambatan-hambatan
di
dalam
pelaksanaan pembangunan dibidang hukum yang dapat ditemui baik dalam kehidupan sehari-hari maupun yang dapat kita ketahui dari berbagai pemberitahuan di surat kabar. Salah satu hambatan itu adalah masih adanya perlakuan semena-mena dari oknum-oknum aparat penegak hukum terhadap seseorang yang berkedudukan sebagai tersangka/terdakwa dalam suatu perkara pidana. Tersangka/Terdakwa sering dilanggar hak asasinya. Pada tahap pemeriksaan tersangka dalam proses penyelidikan, misalnya masih banyak ditemukan adanya penyidik yang memaksa tersangka dengan cara mengancam, menakut-nakuti dan sebagainya semata-mata agar bisa mendapatkan pengakuan dari tersangka tentang suatu tindak pidana yang terjadi. Ancaman tersebut bahkan seringkali diwujudkan dalam bentuk kekerasan dan penyiksaan secara fisik yang dilakukan oleh aparat penyidik. Tindakan pemaksaan yang seringkali diteruskan dengan kekerasan yang
1
demikian itu saja sudah jauh melanggar prinsip-prinsip manusiawi mengingat penyidik telah memperlakukan sesamanya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan pihak yang diperiksanya. Idealnya, introgasi penyidik harus dilaksanakan dalam suatu ruangan khusus berdinding kaca satu arah. Percakapan antara petugas pemeriksa dan tersangka secara teori harus disaksikan oleh petugas lain yang bertugas memelihara kesejahteraan tersangka atau saksi selama berada dikantor polisi. Petugas yang memelihara kesejahteraan tersangka atau saksi berhak mengintrupsi interogator telah membahayakan tersangka. Kondisi ideal ini sulit, kalau tidak ingin mengatakan mustahil untuk dipenuhi, karena akan semakin merepotkan polisi sendiri.1 Timbul perlakuan semena-mena ini dikarenakan oleh adanya hubungan emosional antar penyidik dengan pihak yang diperiksa. Sikap emosional ini timbul karena beberapa kemungkinan, antara lain kemungkinan tersangka yang diperiksa bersikap lamban, sulit dimintai keterangan atau informasi yang diperlukan sehubungan dengan tindak pidana yang telah terjadi. Selain pihak kemungkinan penyidik yang bertugas kurang dapat menyelami tingkah laku atau kepribadian tersangka sehingga akan mengalami kesulitan mendapatkan keterangan yang diperlukan. Situasi demikian membuat penyidik seringkali tidak terlibat secara mendalam pada setiap kasus yang ditangani. Hal tersebut membuat tersangka merasa tidak diperlukan lagi sebagai manusia yang mempunyai perasaan dan hati nurani. Sementara, didalam melaksanakan tugas pemeriksaan tersangka,
1
Adrianus Meliala, Mengkritis Polisi, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 135.
2
seorang penyidik semestinya wajib memperhatikan tersangka secara manusiawi sehingga terpenuhi hak-hak tersangka sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP. Penyidik dalam melakukan pemeriksaan tidak dibenarkan memaksa tersangka dengan cara apapun agar mau mengaku salah kalau memang tersangka bersalah. Perlu diingat bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil dari suatu perkara pidana yang menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan telah melakukan suatu pelanggaran hukum melalui pemeriksaan dan proses peradilan. Jika perlu diusahakan keterangan yang sebenarbenarnya dan sejujur-jujurnya dari tersangka tersebut. Sebenarnya
sejak
dini
KUHAP
sudah
berusaha
mencegah
digunakannya kekerasan untuk memperoleh keterangan tersangka karena kekerasan tersebut baru akan digunakan sebagai tindakan terpaksa dilakukan demi kepentingan umum yang luas. Hal tersebut antara lain seperti tercantum dalam pasal 52 dan 117 KUHAP yaitu tersangka berhak memberi keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim tanpa tekanan dari siapapun dan/atau dalam bentuk apapun. Meminimalisir digunakannya kekerasan fisik terhadap tersangka dalam mencari keterangan, ternyata diperlukan bantuan lain yang dapat dipelajari oleh penyidik yang meliputi antara lain psikologis, kriminalogis, antropologis dan sebagainya.
3
Khusus dalam pemeriksaan tersangka sangat diperlukan pengetahuan psikologis yang cukup, mengingat ilmu tersebut lebih melihat latar belakang dengan pendekatan kejiwaan, sehingga diharapkan dapat memperlancar tugas pemeriksaan tersangka tanpa adanya suatu paksaan kekerasaan. Dengan demikian apa yang menjadi tujuan dari sisi materi KUHAP yaitu menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia khususnya hak asasi tersangka dapat diwujudkan dengan baik. Asas-asas yang tercantum didalam Hukum Acara Pidana ini dimaksudkan agar tersangka ataupun terdakwa merasa di manusiakan dan merasa memiliki perlindungan hukum dengan demikian hak-hak yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa terjamin. Upaya penegakan hukum pada tahap-tahap pemeriksaan perkara pidana, yang dalam hal ini adalah tingkat penyidikan, di selaraskan dengan hak yang telah ada pada tersangka sejak dilahirkan sesuai dengan jiwa Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981) sepanjang hak tersebut disesuaikan dengan upaya penegakan hukum objektif sebagai reaksi atas perbuatan. Polisi harus dididik untuk mencoba memahami cara berfikir seorang tersangka. Petugas penyidik harus mampu membuat tersangka merasa dihormati hak-haknya sebagai seorang manusia sekalipun penyidik sudah merasa
yakin
bahwa
seseorang
bersalah,
penyidik
tidak
boleh
memperlakukan seseorang sewenang-wenang. Bahwasanya semua warga negara mempunyai hak yang sama dimuka hukum dan pemerintahan, hal tersebut merupakan norma hukum yang
4
melindungi hak tersangka. Penguasa dan penegak hukum haruslah melaksanakan dan merealisasikan asas tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain daripada itu dalam hal tersangka disangka melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana mati atau pidana penjara lima tahun atau lebih wajib didampingi oleh penasehat hukum (pasal 56 ayat(1) KUHAP). Jika asas tersebut tidak dilaksanakan berarti terjadi pengingkaran terhadap prinsip fundamental negara hukum. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang hal tersebut, oleh karena itu penulis mengambil judul skripsi tentang “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TERSANGKA DIKAITKAN DENGAN PASAL 52 DAN 117 KUHAP DALAM PROSES PENYIDIKAN”.
B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang yang di uraikan diatas, penulis akan mengangkat dua permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah : 1.
Bagaimanakah proses pemeriksaan terhadap tersangka pada tahap penyidikan kaitannya dengan pasal 52 dan 117 KUHAP pada Polres Kuningan?
2.
Apakah upaya-upaya yang dilakukan terhadap pelanggaran hak tersangka pada tahap penyidikan oleh Polres Kuningan?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian Adapun maksud dan tujuan dalam penulisan ini, yaitu:
5
1.
Untuk mengetahui proses pemeriksaan terhadap tersangka pada tahap penyidikan kaitannya dengan pasal 52 dan 117 KUHAP pada Polres Kuningan.
2.
Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan terhadap pelanggaran hak tersangka pada tahap penyidikan oleh Polres Kuningan.
D. Kegunaan Penelitian a.
Secara teoritis 1.
Dapat digunakan sebagai bahan untuk mengetahui permasalahan tentang proses pemeriksaan terhadap tersangka pada tahap penyidikan.
2.
Memberikan
sumbangan
pemikiran
dan
masukan
bagi
pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta mengenai pelaksanaan pemeriksaan terhadap tersangka kaitan nya dengan pasal 52 dan 117 KUHAP dalam proses penyidikan pada khususnya. 3.
Dapat menjadi acuan bagi penyidik untuk dapat benar-benar merealisasikan
ilmu
psikologi
dalam
pemeriksaan
terhadap
tersangka agar dapat memperlancar pemeriksaan tersangka tanpa adanya suatu paksaan atau kekerasaan, sehingga apa yang menjadi tujuan dari sisi KUHAP yaitu menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia khususnya hak asasi tersangka dapat diwujudkan dengan baik. 4.
Dapat digunakan sebagai bahan ilmu dalam penerapan hukum pidana.
6
b.
Secara praktis 1.
Memberikan
kesempatan
yang
berharga
untuk
menambah
pengetahuan serta memperluas wawasan bagi penulis melalui penelitian ini. 2.
Untuk memenuhi tugas akhir untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.
E. Kerangka Penelitian Sebagai Negara Hukum, Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia dan perlindungan terhadap warga negara. Hak warga negara dilindungi oleh negara baik warga negara dalam status tersangka, terdakwa, terpidana ataupun sebagai warga negara bebas, dan tidak membedakan jenis kelamin, umur, suku agama dan lain-lain. Negara Indonesia, negara hukum harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Sebagai suatu Negara hukum minimal harus mempunyai ciri-ciri tertentu, seperti: 1.
Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
2.
Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan lain.
3.
Legalitas dari tindakan Negara atau pemerintah dalam arti terhadap aparatur Negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut KUHAP memberikan definisi ‘’tersangka’’ yaitu seseorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (butir 14). Tersangka harus
7
ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat serta harus dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek. Perbuatan tindak pidana tersangka yang menjadi objek pemeriksaan, menurut pasal 8 Undangundang No. 4 tahun 2004, tersangka harus dianggap tidak bersalah sesuai dengan prinsip hukum ‘’praduga tak bersalah’’ sampai diperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Seorang tersangka atau terdakwa wajib didengar keterangannya, dimana tersangka atau terdakwa dijadikan sebagai subjek pemeriksaan, dan tersangka atau terdakwa mempunyai hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seseorang atau beberapa penasehat hukum apabila ia mampu untuk mencari sendiri seorang penasehat hukum, selain itu juga apabila ia diancam dengan pidana lebih dari lima tahun seorang tersangka berhak untuk mendapatkan bantuan hukum. Pembaharuan hukum acara pidana di Indonesia yang di unggulkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah masalah perlindungan hak asasi manusia terutama yang terkait dengan hak-hak tersangka atau terdakwa. Hak-hak tersangka atau terdakwa tersebut diatur dalam Bab VI pasal 50 sampai pasal 68 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Selebihnya pada setiap ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dirumuskan sedemikian rupa sehingga diharapkan tidak melanggar hak-hak tersangka atau terdakwa. Yang dimaksudkan dengan masalah penegakan hak-hak tersangka atau terdakwa antara lain misalnya yang berkaitan dengan:
8
1.
Ketidaktahuan tersangka dan terdakwa akan hak-haknya yang dilindungi oleh hukum dan undang-undang.
2.
Pejabat penegak hukum tidak memberikan informasi mengenai hak-hak yang dimiliki tersangka atau terdakwa, baik secara disengaja atau tidak.
3.
Tidak ada ketentuan yang tegas mengenai konsekuensi hukum apabila hak-hak tersangka atau terdakwa tidak diberitahukan atau dilanggar.
4.
Peran penasihat hukum dalam pemeriksaan pendahuluan yang bersifat fakultatif dan pasif dengan pasal 115 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.2 Pada pemeriksaan tersangka, seorang penyidik harus memperhatikan
keterangan yang berlaku dan tidak boleh bertindak diluar keterangan tersebut, salah satu ketentuan tersebut mengenai hak-hak tersangka didalam pemeriksaan. Maksud dari cara pemeriksaan disini adalah tata cara pemeriksaan secara yuridis. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka ada cara yang berlaku menurut KUHAP, adapun tata cara tersebut adalah: 1.
Sesuai dengan pasal 52 dan 117 KUHAP bahwa jawaban atau keterangan tersangka diberikan tersangka kepada penyidik, diberikan tanpa tekanan dari siapapun juga dalam bentuk apapun juga. Tersangka
dalam
memberikan
keterangan
harus
‘’bebas’’
dan
‘’kesadaran’’ nurani. Tidak boleh dipaksa dengan cara apapun juga baik penekanan fisik dengan tindakan kekerasan dan penganiyaan, maupun dengan tekanan dari penyidik maupun dari pihak luar. Mengenai jaminan 2
Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 51.
9
pelaksanaan pasal 52 dan 117 KUHAP tersebut, tidak ada sanksinya. Satu-satunya jaminan untuk tegaknya ketentuan pasal 52 dan 117 KUHAP ialah melalui praperadilan, berupa pengajuan gugatan ganti rugi atas alasan pemeriksaan-pemeriksaan telah dilakukan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Akan tetapi, hal ini kurang efektif karena sangat sulit bagi seseorang tersangka membuktikan keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan adalah hasil paksaan dan tekanan. Kontrol yang tepat untuk menghindari terjadinya penekanan atau ancaman dalam penyidikan ialah kehadiran penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan. 2.
Penyidik mencatat dengan teliti semua keterangan tersangka. Semua yang diterangkan tersangka tentang apa yang sebenarnya telah dilakukannya sehubungan dengan tindakan pidana yang disangkakan kepadanya dicatat oleh penyidik dengan seteliti-telitinya, sesuai dengan rangkaian kata-kata yang dipergunakan tersangka. Keterangan tersangka tersebut harus di catat dan di tanyakan atau dimintakan persetujuan dan tersangka tentang kebenaran dan isi berita acara tersebut. Apabila tersangka telah menyetujuinya, maka tersangka dan penyidik masingmasing memberikan tanda tangannya di atas berita acara tersebut sedangkan apabila tersangka tidak mau menandatanganinya maka penyidik membuat catatan berupa penjelasan atau keterangan tentang hal itu serta menyebutkan alasan yang menjelaskan kenapa tersangka tidak mau menandatanganinya.
10
3.
Dalam pasal 119 KUHAP menyebutkan, jika tersangka yang akan diperiksa berlokasi di luar daerah hukum penyidik, maka penyidik yang bersangkutan dapat membebankan pemeriksaan kepada penyidik yang berwenamg di daerah tempat tinggal tersangka.
4.
Jika tersangka tidak hadir menghadap penyidik maka sesuai ketentuan pasal 113 KUHAP pemeriksaan dapat dilakukan ditempat kediaman tersangka dengan cara: Penyidik sendiri yang datang melakukan pemeriksaan ketempat kediaman tersangka tersebut. Hal ini dilakukan apabila tersangka tidak dapat hadir ke tempat pemeriksaan yang telah ditentukan oleh penyidik dengan ‘’alasan yang patut wajar’’. Alasan yang patut dan wajar disini maksudnya harus ada pernyataan dan tersangka bahwa bersedia diperiksa ditempat kediamannya, sebab tanpa pernyataan kesediaan timbul anggapan pemeriksaan “seolah-olah dengan paksaan”. Untuk menghindari dengan baiknya ada pernyataan kesediaan, baik hal itu dinyatakan secara tertulis maupun secara lisan yang disampaikan tersangka kepada penyidik sewaktu penyidik mendatangi tersangka ditempat kediamannya.3 Sebagaimana telah disinggung pada uraian sebelumnya, penyidikan
ini merupakan tindak lanjut dari penyelidikan. Undang-undang memberikan pengertian tentang ‘’penyidikan’’ itu sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
3
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 136-138.
11
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 ke-2 KUHAP). Dari perspektif hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP, tindakan polisi dalam penyidikan sesungguhnya adalah siasat yang dilandasi keinginan memudahkan penyidik untuk mengumpulkan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP, namun tindakan tersebut disertai dengan prosedur dan mekanisme yang dibenarkan dalam KUHAP, bahkan menyimpang dari ketentuan yang digariskan KUHAP. Penyimpangan tersebut diantaranya dilihat dari: 1.
Pasal 52 KUHAP. Dalam pasal ini digariskan secara tegas kebebasan atau kemerdekaan tersangka atau terdakwa dalam memberikan keterangan pada tingkat penyidikan dalam pemeriksaan, yang berbunyi: Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik. Artinya supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka.
2.
Pasal 117 ayat (1) KUHAP. Pasal ini juga menegaskan kembali kebebasan atau kemerdekaan tersangka atau terdakwa dalam memberikan keterangan pada tingkat penyidikan, yang berbunyi: Keterangan tersangka kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun.
12
3.
Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/1205/IX/2000 tentang Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, huruf e) poin (6) ditegaskan,
pada
pemeriksaan
tersangka
dilarang
menggunakan
kekerasan atau penekanan dalam bentuk apapun, baik sebelum pemeriksaan maupun saat pemeriksaan dilaksanakan. Ketentuan ini seharusnya menjadi pedoman bagi penyidik dan institusinya dalam proses penyidikan, namun dalam pemeriksaan, justru terdakwa disiksa/dipaksa/ditekan dan diintimidasi untuk mengakui perbuatannya. Tindakan tersebut seharusnya tidak dilakukan, karena polisi terikat pada ketentuan pasal 52 KUHAP dan pasal 117 ayat (1) KUHAP dan menerapkannya sebagaimana mestinya, sebagai penghormatan terhadap prinsip atau asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), sebagai prinsip universal yang dipakai dalam penegakkan hukum (law enforcement), sebagaimana diatur dalam pasal 8 UU No.4 tahun 2004, yang berbunyi: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan
yang
menyatakan
kesalahannya
dan
telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Kehadiran ketentuan KUHAP khusunya pasal 52 adalah agar pemeriksaan tidak mencapai hasil yang menyimpang dari yang sebenarnya dan keinginan institusi negara dan peradilan (polisi, jaksa dan hakim) akan adanya cara penyelesaian proses pidana secara adil atau yang dikenal dengan due process of law, dimana hak tersangka
13
dilindungi termasuk memberikan keterangan secara bebas dalam penyidikan dan dianggap sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai lawan dari arbitrary process (proses yang sewenangwenang) yaitu bentuk penyelesaian hukum pidana yang semata-mata berdasarkan
kekuasaan
yang
dimiliki
oleh
aparat
hukum
(polisi/penyidik). Begitupun dengan ketentuan pasal 117 ayat (1) KUHAP dan pasal 8 UU No. 4 tahun 2004, keduanya ingin menegakkan prinsip akusatur yang menempatkan tersangka sebagai subyek dalam tingkat penyidikan/pemeriksaan, sehingga tersangka/terdakwa harus diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Dalam hukum pidana bila seseorang melakukan suatu kejahatan agar dapat dituntut menurut peraturan yang berlaku haruslah memenuhi unsurunsur daripada perbuatan itu yakni unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif yakni pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia atau badan yang menurut hukum berkuasa menjadi pendukung hak. Unsur objektif ialah: segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi pokok suatu perhubungan hukum karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum. Maka dalam hal ini faktor subjektif sangat diperhatikan guna meletakkan suatu keadilan yang material yaitu apakah seseorang itu mampu bertanggung
jawab
atas
perbuatannya
atau
si
pelaku
mampu
bertanggungjawab atas perbuatannya. Pakar hukum pidana seperti Oemar Seno Aji mengatakan juga hakhak tersangka dalam proses peradilan yang fair ada pada hak yang dimiliki
14
oleh tersangka pelaku tindak pidana sebelum dilakukan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum kepolisian saat dimintai keterangan. Hak tersebut menurut M. Yahya Harahap diantaranya adalah memberikan keterangan secara bebas kepada polisi. Pengekangan kebebasan berakibat (paksaan dan intimidasi) tersangka saat akan memberikan keterangan kepada penyidik berakibat sesatnya/unfairnya penyidikan (proses peradilan).
F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini metode yang digunakan ialah sebagai berikut: a.
Metode Pendekatan Dalam penelitian ini metode pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Yuridis Normatif yaitu, suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dengan kenyataan atau fenomena yang terjadi dilapangan serta dalam prakteknya sesuai dengan yang terjadi sebenarnya.
b.
Spesifikasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Metode Deskriptif, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian ini adalah memberikan gambaran secara sistematis hal-hal faktual yang terjadi secara akurat mengenai pemeriksaan terhadap tersangka dikaitkan dengan pasal 52 dan 117 KUHAP dalam proses penyidikan.
15
c.
Jenis Data a.
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dilapangan berdasarkan informasi dan data dari Badan (observasi).
b.
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung. Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, perundang-undangan dan hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan.
d.
Metode Pengumpulan Data Dalam metode pengumpulan data ini, langkah-langkah yang diambil penulis dalam melakukan penelitian, sebagai berikut: 1.
Penelitian kepustakaan Penelitian kepustakaan yaitu dengan cara mencari dan mempelajari serta menelaah beberapa literatur yang ada hubungan dan kaitannya dengan penelitian ini, baik berupa buku-buku, perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan.
2.
Observasi Observasi merupakan pengamatan secara langsung penulis kepada objek
yang
di
permasalahkan
dengan
memperhatikan
dan
mempelajari objek penelitian. 3.
Wawancara Wawancara merupakan cara penulis dalam mengumpulkan data dengan melakukan dialog, tanya jawab kepada pihak-pihak yang
16
terkait (para pihak yang memiliki jabatan penting) dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis. e.
Metode Analisis Data Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu apa yang diperoleh dari penelitian dilapangan dipelajari secara utuh dan menyeluruh untuk memperoleh jawaban permasalahan dalam skripsi ini.
G. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Polres Kuningan yang beralamat di Jalan RE Martadinata No. 526 Kabupaten Kuningan.
H. Sistematika Penulisan Kerangka penulisan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut Bab I, Berisi mengenai latar belakang penulisan skripsi yang diikuti dengan identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, serta kerangka pemikiran dalam skripsi ini, selanjutnya metode penelitian untuk menentukan langkah-langkah untuk menyusun skripsi. Bab II, Tinjauan Pustaka yang menguraikan tentang: Pengertian Penyelidik dan Penyidikan, Tugas dan Wewenang penyelidik dan Penyidik, Hak Dan Kewajiban Tersangka di dalam Penyidikan, Hak Asasi Tersangka Dalam Pasal 52 dan 117 KUHAP, dan Hak Dan Kedudukan Tersangka Pada Tingkat Penyidikan Menurut KUHAP.
17
Bab III, Tinjauan Lapangan yang didalamnya menguraikan tentang Deskripsi Polres Kuningan, Struktur Organisasi Polres Kuningan, dan Pembagian Tugas Penyidikan di POLRES Kuningan. Bab IV, Hasil Penelitian dan Pembahasan yang menguraikan tentang: proses pemeriksaan terhadap tersangka pada tahap penyidikan kaitannya dengan pasal 52 dan 117 KUHAP pada Polres Kuningan dan upaya-upaya yang dilakukan terhadap pelanggaran hak tersangka pada tahap penyidikan oleh Polres Kuningan. Bab V, Kesimpulan dan Saran dan Daftar Pustaka
18