BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Harkat dan martabat setiap anak patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir haruslah mendapatkan hak – haknya tanpa anak tersebut meminta. Anak yang juga merupakan salah satu aset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit dibayangkan. Kesadaran nasional atau justifikasi konstitusional melindungi anak sebagai suatu urusan utama dalam berbangsa dan bernegara, yang tertuang dalam Pasal 28 ayat 2 UUD 1945 secara ekplisit telah menegaskan hak-hak konstitusional anak yang berbunyi: Setiap anak itu berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia secara konstitusional telah eksplisit mengakui, menghormati dan melindungi hak – hak konstitusional anak yakni: hak atas kelangsungan hidup; hak atas tumbuh dan berkembang, dan; hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 1 Hal tersebut juga sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan 1
Triselia Dwitamara, Pengaturan dan Implementasi Mengenai Hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, hlm 101.
Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip – prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak. 2 Bertalian dengan konteks ini. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) melalui ketetapannya No. II/1993, tentang Garis – Garis Besar Haluan Negara, Bab IV PELITA VI, bagi kesejahteraan Rakyat, Pendidikan dan Kebudayaan angka 7 huruf (a), Khusus Masalah Anak dan Remaja ditegaskan “Pembinaan anak dan remaja dilaksanakan melalui peningkatan mutu gizi, pembinaan perilaku kehidupan beragama dan budi pekerti luhur, penumbuhan minat belajar, peningkatan daya cipta dan daya nalar serta kreativitas, penumbuhan kesadaran akan hidup sehat, serta penumbuhan idealisme dan patriotisme dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila dan peningkatan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat.” 3 Hal tersebut berarti bahwa anak atau remaja Indonesia sebagai pemegang amanat Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 diharapkan mampu mengisi kemerdekaan negara ini dengan semangat perjuangan yang tinggi yang mengabdi kepada kepentingan bangsanya, gemar menggali ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi diimbangi dengan sikap dan moralitas yang baik, percaya kepada kemampuan sendiri, kreatif, jujur dan bertindak sesuai dengan norma – norma kemasyarakatan, norma agama dan hukum, serta bertanggung jawab kepada kelangsungan hidup bangsa yang selalu berkembang dinamis ini. 4
2
http://anjarnawanyep.wordpress.com-konsep-restorative-justice, diakses melalui internet pada tanggal 22 oktober 2014. 3 Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1993, tentang GBHN, Karya ilmu, Surabaya, 1993 hlm 115. 4 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak dibawah Umur, Alumni, Bandung, 2010, hlm.2
Akhir – akhir ini, harapan besar terhadap anak tersebut sering dikandaskan oleh berbagai berita surat kabar ataupun televisi yang memuat tentang kenakalan remaja dan tindak kejahatan yang telah dilakukan oleh anak – anak yang secara kuantitatif dan kualitatif semakin meningkat dari tahun ketahun. 5 Pemenuhan akan hak konstitusional anak sesuai Pasal 28B ayat 2 yang disebutkan sebelumnya juga masih sering terganggu dan terlanggar dengan kriminalisasi anak dalam usia terlalu dini, ataupun untuk menempatkan anak pelaku pidana di dalam lembaga pemasyarakatan, ataupun bahkan rumah tahanan. Keadaan ini menjadi relevan dan memiliki kausalitas bahwa kriminalisasi anak mengakibatkan pelanggaran hak konstitusional anak dalam Pasal 28B ayat 2 UUD 1945. Padahal disadari betul adanya kerugian dan dampak buruk penahanan anak bersama orang dewasa, sebagaimana ditegaskan dalam KHA artikel 37c. 6 Keberadaan anak yang ada di lingkungan kita memang perlu mendapat perhatian, terutama mengenai tingkah lakunya. Dalam perkembangan kearah dewasa, kadang-kadang seorang anak melakukan perbuatan yang lepas kontrol, anak melakukan perbuatan tidak baik. Sehingga merugikan diri sendiri bahkan orang lain. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertumbuhan, sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan pergaulannya. Disamping itu keadaan ekonomi pun juga bisa menjadi pendorong bagi anak untuk melakukan perbuatan yang dilarang. 7 Menurut Conger (1973, Hlm 539), yang merangkum banyak penelitian, melihat bahwa, meskipun diskriminasi sosial dapat memainkan peran dalam
5
Ibid, Hlm 2 Triselia Dwitamara, Op cit, hlm 101 7 http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=kriminalitas(anak&&nomorurut_artikel= 390) diakses melalui internet tanggal 22 oktober 2014 6
bertambahnya kriminalitas, namun “tidak semua remaja yang hidup dalam kemiskinan, berumah dalam rumah – rumah yang reot, atau mempunyai orang tua yang tidak bertanggungjawab akan menjadi delikuen”. Sebaliknya dalam waktu akhir akhir ini kriminalitas bertambah pada remaja dari kelas menengah dalam kota – kota. Sebagaimana yang dikutip oleh F.J. Monks, A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditono. 8 Dalam penelitian mengenai deliquency yang dilakukan oleh Haditono (1972), sebagaimana yang dikutip oleh oleh F.J. Monks, A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditono. Diketemukan bahwa para remaja yang delikuen tadi berasal dari lapisan masyarakat yang bermacam – macam dan dari status ekonomi yang bermacam macam pula. 9 Penelitian Haditono (1973) menemukan bahwa motif melakukan tingkah laku nakal adalah paling banyak mengikuti ajakan teman, kedua, usaha mencapai keinginan (emosi yang tidak terkontrol), dan yang ketiga adalah mencari pelarian keadaan rumah yang tidak menyenangkan atau kurang kasih sayang. 10 Penjabaran diatas, dapat disimpulkan anak dengan latarbelakang ketidak harmonisan keluarga, serta diskriminasi sosial akan lebih berpotensi untuk melakukan perbuatan delikuen. Selain itu pengaru lingkungan dan pertemanan sianak juga memberi pengaruh, Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan menyelesaikan masalah anak dan membawanya kearah yang positif juga. Sebaliknya, jika lingkungan negatif yang didapat, inilah yang justru akan menjerumuskan si anak pada hal-hal yang negatif, termasuk mulai melakukan
8
F.J. Monks, A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 2006, Hlm 382 9 Ibid, Hlm 383 10 Ibid, Hlm 385
pelanggaran hukum seperti mencuri, mencopet, bahkan membunuh apalagi anak memiliki taraf emosi yang masih kurang terkontrol. UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat). Hal ini diartikan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin kedudukan yang sama dimuka hukum. Dalam hal sebagai upaya untuk menanggulangi pelanggaran norma – norma telah dirumuskan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP merupakan hukum yang mengatur perbuatan – perbuatan yang dilarang oleh Unadang – undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan bagi sipelanggar. 11 Hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan antara satu dengan yang lain tidak saja berlainan, tetapi terkadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan ini, manusia bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan orang lain, hukum memberikan rambu – rambu berupa batasan tertentu sehingga manusia tidak sebebas – bebasnya berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai dan memenuhi kepentingannya itu. 12 Pelanggaran terhadap hukum pidana disebut dengan pidana. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang paling banyak digunakan dalam menjatuhkan
11 12
Hlm 25.
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan,Sinar Grafika, Jakarta, 2000, Hlm 6. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,
hukum terhadap seseorang yang dinyatakan salah melakukan perbuatan. 13 Jenis – jenis Pidana menurut Pasal 10 KUHP dibedakan Lima Pidana Pokok dan tiga pidana tambahan yaitu 14: a. Pidana Pokok, yang terdiri dari : 1. Pidana Mati 2. Pidana Penjara 3. Pidana Kurungan 4. Pidana Denda 5. Pidana Tutupan (berdasarkan Undang – Undang RI No. 46 Tahun 1946) b. Pidana Tambahan, yang terdiri dari : 1. Pencabutan Hak – hak tertentu 2. Perampasan Barang – barang tertentu 3. Pengumuman Putusan Hakim Selain sanksi Pidana yang terdapat pada Pasal 10 KUHP, terdapat juga sistem penjatuhan hukuman lain yaitu, Pidana Bersayarat. Pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana melainkan suatu sistem penjatuhan pidana tertentu (penjara, kurungan, denda) dimana ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan itu tidak perlu dijalankan dengan pembebanan syarat – syarat tertentu, maka sebaiknya digunakan istilah pidana dengan bersyarat. 15 Bertalian dengan Tindak Pidana yang dilakukan oleh anak, KUHP juga mengatur mengenai penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa yang
13
Mahrus Ali, Dasar – Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011), Hlm 193. Aruan Sakidjo, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 71. 15 Ibid, Hlm 54. 14
dalam hal ini adalah anak dibawah umur yang telah melakukan tindak pidana. Pasal 45 KUHP menjelaskan bahwa: “Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan : memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal – pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 – 505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah”. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana mengatur mengenai pemidanaan terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana dan dikategorikan sebagai hal yang menghapuskan atau mengurangi pidana. Selain KUHP, pemerintah juga melaksanakan kewajibannya dalam melindungi anak dengan membuat beberapa perundang – undangan yang mengatur mengenai proses peradilan anak yang telah melakukan tindak pidana, salah satunya Undang – undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti; “Bahwa anak adalah bagian dari Generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita –cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang”. Penjatuhan Pidana Bersayarat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dikatakan membawa manfaat, dimana pidana dengan bersyarat ini adalah memperbaiki penjahat tanpa harus memasukkannya ke penjara, artinya tanpa membuat derita bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan dalam penjara terbukti sering membawa pengaruh buruk bagi seorang terpidana, terutama bagi
orang – orang yang melakukan tindak pidana dengan dorongan faktor tertentu yang ia tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai dirinya. 16 Seperti Seperti Kasus yang penulis angkat dalam tulisan ini, dengan Nomor Putusan : 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi, dimana anak sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan. Kronologi kasus sebagai berikut, Anak bernama ..... BINTI TEGUH HARYANTO (selanjutnya dalam tulisan ini disebut Melati), merupakan seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan sengaja merampas nyawa anaknya, yang mana anak bernama Melati yang berumur 16 tahun dan berstatus masih seorang pelajar, mengandung seorang bayi dari hasil hubungan badan (hubungan suami istri) antara dirinya dengan kekasihnya yang juga masih seorang pelajar dan masih berusia 16 tahun. Alasan takut ketahuan telah mengandung, melati hendak menggugurkan kandungannya, namun segala upaya untuk menggugurkan janin tersebut tidaklah berhasil, dan akhirnya melati melahirkan bayinya tersebut pada saat malam hari dirumahnya, seorang diri tanpa bantuan dari siapapun, dan dikarenakan rasa takutnya maka bayi yang telah dilahirkannya tadi, dengan segera dibungkusnya dengan kain gendong dan dimasukkan ke tas ransel sekolahnya. Esok harinya melati menyerahkan bayi tersebut kepada kekasihnya untuk dikuburkan. Kekasih terdakwa tadi kemudian, membawa mayat bayi tersebut untuk dikuburkan kehutan Juwangi Kab. Boyolali, dan beberapa hari setelah bayi tersebut dikuburkan, ditemukan oleh petugas jaga hutan tersebut ketika sedang mengadakan patroli keliling hutan. Mereka pun segera melaporkan peneman
16
Ibid, hlm 55.
mayat bayi tersebut kepada polisi, dan oleh polisi penemuan mayat bayi tersebut ditindak lanjuti. Hasil Visum et repertum nomor VER/077/IKF-ML/IX/2013 tanggal 12 September 2013 yang ditandatangan oleh dr. Adji Suwandono, S.H. dokter jaga dari Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Dr.Muwardi Surakarta pada pemeriksaan Korban diperoleh kesimpulan, bahwa korban (jenazah bayi terdakwa) mengalami asikfia (mati lemas) karena kekurangan oksigen dalam pernapasannya. Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 341 KUHP. Atas tindak pidan yang dilakukan oleh terdakwa, hakim menjatuhkan vonis Pidana penjara, yang diganti dengan pidana bersyarat dimana pidana tersebut tidak perlu dijalani, melainkan terdakwa dikembalikan kepada orangtuanya dan dikenai masa percobaan. Pengaturan Mengenai Hukum materil sampai Formil sudah jelas diatur dalam undang – undang khusus tentang anak itu sendiri. Pemerintah menunjukkan keseriusannya lewat undang – undang yang ada untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap anak bahkan anak yang melakukan tindak pidana sekalipun. Kenyataan bahwa anak sudah dilindungi secara hukum lewat undang – undang, namun selain melindungi hak konstitusinal anak tersebut seperti yang termuat dalam Pasal 28 ayat 2 UUD 1945, seakan perlindungan yang diberikan undang – undang yang ada tersebut merupakan legalitas bagi anak untuk melakukan tindak kejahatan yang sama seperti yang dilakukan orang dewasa. Undang – undang yang ada juga seolah – olah melindungi anak tersebut ketika anak telah melakukan tindak kejahatan dengan alasan anak belum cukup umur dan belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak dan
secara eksplisit menyalahkan orang – orang dewasa di sekitar si anak dan menempatkan anak sebagai korban atas tidak stabilnya lingkungan tempat anak berkembang. Perlindungan undang – undang terhadap anak yang melakukan pidana, jika dinilai dari segi kelayakan umum di masyarakat pantas apabila melihat jenis pidana yang dilakukannya tergolong ringan. Kita teliti lebih jauh lagi mengenai perbuatan nakal seorang anak, maka akan kita temui hal – hal atau perbuatan dari anak yang bertentangan dengan undang – undang dan tergolong sebagai tindak pidana berat, seperti pembunuhan. Pada sisi lain yang mana perbuatan anak ternyata dapat merugikan orang lain. Perbuatan itu bahkan dengan menggunakan cara yang kejam dan keji, yang tidak masuk akal dapat dilakukan seorang anak ternyata pelakunya justru anak. Banyak tindak pidana yang terjadi sampai mengakibatkan korban jiwa dan tindak pidana itu dilakukan oleh anak dibawah umur 17, seperti kasus yang di uraikan sebelumnya diatas. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang – undang perlindungan anak dan Undang – undang tentang pengadilan anak serta beberapa undang – undang lainnya dengan jelas dan secara tegas memberikan perlindungan hukum bagi anak bahkan meringankan hukuman terhadap anak yang melakukan tindak pidana dengan separuh hukuman dari orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Perkembangangan Hukum pidana di Indonesia, merupakan gambaran kecenderungan umum perkembangan rasa kemanusiaan masyarakat dunia untuk semakin memperhatikan kepentingan terpidana. Terpidana yang dalam kurun perkembangan sebelumnya cenderung diperlakukan sebagai objek dan dilihat
17
Rijal Maulan Firdaus, Lex Crimen/ Vol II/ No 3, ( Surakarta, 2013), hlm 159.
melulu dari “kacamata” negatif, mulai diperlakukan dengan cara lebih manusiawi dan lebih positif. Orang – orang terpidana tidak lagi dilihat semata mata sebagai penjahat, tetapi mulai dilihat sebagai manusia yang perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dan memiliki serta mengusahakan masa depan yang lebih baik. 18 Hal itu dapat dilihat dari vonis hakim yang menjatuhkan pidana bersyarat, Meskipun tindak pidana yang dilakukan oleh anak tadi sudah tergolong tindak pidana berat. Lalu bagaiman dengan kepentingan korban, yang notabene adalah bayi terdakwa sendiri, bukankah seharusnya kepentingan dari Korban (bayi terdakwa) juga harus diperhatikan serta masih berhakkah terdakwa yang meskipun masih bestatus anak mendapat perlindungan berupa keringanan hukuman dari Undang – Undang yang berlaku, setelah tindak pidana yang tergolong berat yang dilakukan terdakwa. Berkaitan dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk menguraikan lebih jauh mengenai sanksi pidana bersyarat yang ditetapkan di pengadilan boyolali dan apakah penerapannya sesuai dengan tujuan pemidanaan, dengan mengambil judul : “Analisis Sanksi Pidana Bersayarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sebagai Suatu Putusan Tindak Pidana (Studi Kasus Putusan Nomor : 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi)” B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 18
Hlm 180.
Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, 1995,
1. Bagaimana Pengaturan mengenai Sanksi Pidana Bersyarat terhadap anak yang melakukan Tindak Pidana Pembunuhan terhadap bayi? 2. Bagaimana Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan terkait Sanksi pidana bersyarat terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor : 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi)? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penulisan ini, yaitu : 1. Tujuan Umum a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sanksi Pidana Bersayarat terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak. b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi Pidana Bersayarat terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan dalam Putusan Perkara Nomor: 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi. 2. Tujuan Khusus a. Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penerapan teori hukum dengan kehidupan yang nyata di masyarakat. b. Meningkatkan kemampuan penulis dalam melakukan penelitian khususnya yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum. c. Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 (satu) jurusan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sedangkan manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan praktis 19. 19
Nawawi Hadari & H.M. Martini, 1995, Instrumen Pendekatan Sosial , Suatu Pendekatan Proposal, Yogyakarta, UGM Press, hal. 25
1. Manfaat Teoritis Penelitian yang dilakukan penulis dapat memberikan tambahan wacana kepustakaan dan dapat sebagai referensi bagi penelitian yang akan datang yang berkaitan dengan pidana bersyarat. 2. Manfaat Praktis Dengan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak yang berkepentingan mengenai pelaksanaan hukum yang berlaku dimasyarakat. D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dari literatur bahwa dalam pustaka yang ada, belum pernah ada Mahasiswa/Mahasiswi yang sudah menulis tentang bahasan skripsi ini, jadi penelitian ini disebut asli sesuai dengan asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian 20 Metode
pendekatan
mengembangkan
yang digunakan
permasalahan
dalam
dalam skripsi
menganalisa dan adalah
metode
pendekatan yuridis normatif, yaitu metode yang dapat digunakan dalam suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat, 21 dengan cara menguji dan mengkaji secara
20
Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra aditya bakti. Bandung. Hlm:112 21 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghlm.ia Indonesia, Jakarta, 1990, Hlm. 160,
yuridis mengenai permasalahan yang diteliti dengan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang lalu dan saat ini diberlakukan, agar mendapatkan gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti dalam skripsi ini. Dalam melakukan penelitian normatif ada beberapa metode pendekatan yang dapat digunakan yakni: a. Pendekatan konseptual (conceptual approach) b. Pendekatan perundang-undangan (normative approach) c. Pendekatan sejarah (historical approach) d. Pendekatan perbandingan (comparative approach) e. Pendekatan kasus hukum (law case approach) 2. Sumber Data Adapun teknik yang digunakan dalam menggali data yang dibutuhkan, yaitu melalui studi kepustakaan (Libraryresearch, yang dimaksud penelitian kepustakaan menururt Ronny Hanitijo Soemintro yaitu: 22 “Penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder dalam bidang hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier”. Jenis data yang diperoleh, antaralain berupa data sekunder yang meliputi : 1. Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, 23 terdiri dari beberapa peraturan perundang – undangan
22
Ibid, hlm. 11. Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, hlm. 11. 23
sebagai berikut : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 24, UU No. 3 Tahun 1997, UU No. 11 Tahun 2011. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan skunder, 25 seperti kamus hukum. 3. Pengumpulan Data Dalam rangka pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan cara Studi Kepustakaan Penulis menggunakan studi kepustakaan dengan menelaah PerundangUndangan serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan. 4. Analisa Data Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis kualitatif yang dipergunakan untuk aspek-aspek normatif (yuridis) melalui metode yang bersifat deskriptif analisis, yaitu menguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan menghubungakan satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan umum. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan induktif, yaitu cara berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus. 26
24
Ibid, hlm 14 Ronny Hanitijo Soemantiro, Op.Cit, hlm. 116. 26 Soerjono Soekanto.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta Hlm: 112 25
F. Sistematika Penulisan Di dalam penulisan hukum ini terdiri dari empat bab. Masing-masing perinciannya sebagai berikut. Bab I Pendahuluan, Didalamnya berisi uraian latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi yang bertujuan untuk mengantarkan pikiran pembaca ke pokok permasalahan yang akan dibahas. Bab II Didalamnya berisi pemaparan mengenai pengaturan pidana, pemidanaan dan
pidana bersyarat berikut pengaturan yang terdapat
didalam KUHP, Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997, Undang – Undang Nomor 11 tahun 2012 dan didalam RUU KUH Pidana, serta pemaparan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat. Bab III Merupakan bab yang memaparkan permasalahan berikutnya mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat (Studi Kasus Putusan), berturut-turut di dalamya terdapat sub bab mengenai posisi kasus, analisa kasus dan peranan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana. Bab IV Adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Hal mengenai kesimpulan dan saran terhadap sejumlah penulisan dalam skripsi ini. Merupakan cakupan yang dibahas secara sederhana dan terperinci guna menjelaskan rangkuman dari seluruh intisari yang penulis lakukan dalam skripsi ini.