BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Kota sebagai tempat aktivitas manusia paling ramai belum banyak mendapatkan perhatian sejarawan akademis di Indonesia sampai abad ke-20,1 terutama kota-kota di kawasan sepanjang aliran sungai. Perkembangan
kota-kota di Indonesia
menunjukkan ciri yang berbeda-beda. Perbedaan itu dipengaruhi oleh letak geografis dan pertumbuhan penduduk. Pulau Kalimantan pada masa lalu merupakan salah satu daerah
yang
memiliki
banyak
peradaban
yang
tumbuh
di
sepanjang aliran sungai.2 Sungai-sungai besar yang ada di Kalimantan seperti sungai Barito, sungai Kapuas dan sungai Kuntowijoyo, Kota Sebagai Bidang Kajian Sejarah (Makalah pada Seminar Sejarah Lokal: Dep. P&K. 1992), hlm. 4. 1
Munculnya kerajaan di Kalimantan Selatan berawal di sepanjang aliran sungai Barito dan cabang sungainya yang banyak terdapat kantong-kantong pemukiman. Pemukiman itu dipersatukan menjadi sebuah kerajaan. Kerajaan yang pertama kali muncul adalah Nagara Dipa yang didirikan oleh keluarga Mpu Jatmika sekitar awal abad ke-14, yang terletak di bantaran sungai Tabalong. Pada abad ke-15 kerajaan Nagara Dipa dipindahkan ke bantaran sungai Nagara oleh Raden Sari Kaburangan dengan nama kerajaan Daha. Namun, keberadaan kerajaan Daha tidak berlangsung lama karena terjadi konflik didalamnya. Kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin di bantaran sungai Kween dengan nama Kerajaan Banjar. Johanes Jacobus Ras, Hikajat Banjar a Study in Malay Historiography (Martinus Nijhoff: The Hague, 1968), hlm. 199 dan 368. 2
1
Mahakam. Sungai Barito yang berada di wilayah Kalimantan Selatan sebagai sungai utama yang mempunyai cabang sungai, antara lain: sungai Martapura, sungai Tabalong, sungai Nagara, dan sungai Kween. Secara geografis Banjarmasin3 terletak di bantaran sungai Martapura. Menurut Laporan Residen Meijer tahun 1887, penduduk Banjarmasin tinggal di pinggiran sungai atau di kampung-kampung yang berada di bantaran sepanjang kedua sisi Sungai
Martapura.4
masyarakat
Laporan
Banjarmasin
tersebut
adalah
membuktikan
masyarakat
yang
bahwa sangat
ketergantungan dengan sungai. Realitas tersebut tidak dapat dipungkiri
mengingat
Banjarmasin
khususnya
dan
pulau
Kalimantan pada umumnya memiliki sungai-sungai besar maupun kecil.
Pemandangan
mengunjungi
yang
Banjarmasin
tampak adalah
sejak
terlihat
dahulu jelas
ketika
pemukiman
Penyebutan „Banjarmasin‟ mulai digunakan dalam kegiatan administrasi Belanda. Sebelumnya disebut „Bandjarmasih‟. Menurut Johanes Jacobus Ras penggunaan nama Bandjarmasih karena dilekatkan pada nama seorang pembesar atau orang yang sangat berkuasa di Banjar yang bernama Patih Masih. M. Idwar Saleh, Banjarmasih. Sejarah Singkat Mengenai Bangkit Berkembangnya Kota Banjarmasin Serta Wilayah Sekitarnya sampai Dengan Tahun 1950 (Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru, 1981/1982), hlm. 30-33; Johanes Jacobus Ras, Ibid., hlm. 398-399. Lihat peta pada lampiran 1. 3
Carl Bock, Reis in Oost en Zuid Borneo. Van Kutai Naar Banjermasin Ondernomen Op Last der Indische Regering in 1879 en 1880 („s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1887), hlm. 50. 4
2
penduduk yang berjajar di bantaran-bantaran sungai. Kondisi ini terus berjalan hingga masuknya pemerintah kolonial Belanda yang mengubah
wajah
pemukiman
penduduk
Banjarmasin
yang
monoton mengikuti sungai menjadi pemukiman di daratan. Pemukiman di kota Banjarmasin tidak banyak memiliki prasarana jalan darat, oleh karena itu prasarana jalan yang ada harus selalu dijaga dari genangan air sungai pada waktu pasang dengan cara ditinggikan dengan tanah dan dibangun tanggul untuk menahan tanah supaya tidak tergerus. Pusat kota pada saat itu dialiri dan dipetak oleh anak sungai beserta kanal-kanal sungai dengan lembahnya yang berawa-rawa sehingga daratan yang ada menyerupai sebuah pulau. Banjarmasin sebagai sebuah kota dengan area yang selalu digenangi air, juga disebut oleh orang-orang Eropa sebagai kota “seribu sungai”, yang lebih mirip kota Venesia di negara Italia.5 Sebutan ini juga dikarenakan kota Banjarmasin dialiri banyak anak sungai dan kanal-kanal yang dibuat oleh penduduk. Sungai Martapura yang membelah kota dengan anak sungai dan kanal-kanal sungainya tersebut menjadi urat nadi kehidupan penduduk Banjarmasin.
Donald F. Lach and Edwin J. van Kley, Asia in the Making of Europe, volume III : a Century of Advance (London: Univercity of Chicago Press, 1993), hlm. 138. 5
3
Rumah penduduk berbentuk panggung dari kayu dan rumah-rumah rakit yang ditambatkan di tiang-tiang kayu supaya tidak terbawa oleh air sungai yang menjadi ciri khas dari kota ini.6 Sungai
menjadi
jalur
utama,
semua
kebutuhan
penduduk
diangkut melalui sungai di setiap depan rumah terdapat dermaga kecil dari kayu untuk menambatkan perahu.7 Pada memiliki
pertengahan
abad
infrastruktur yang
ke-17,
memadai
kota
sebagai
Banjarmasin pintu masuk
pelayaran dan perdagangan di Kalimantan Selatan. Infrastruktur itu berupa pelabuhan sungai yang berfungsi sebagai tempat bertemunya para saudagar dari berbagai daerah untuk transaksi dagang.
Selain
itu,
kota
Banjarmasin
berkembang
menjadi
Hal ini menyerupai kota Palembang yang dibelah oleh sungai Musi dan sungai itu sebagai urat nadi kehidupan penduduk. Perbedaan terlihat dari penghuninya; di kota Banjarmasin, rumah panggung yang berada di daratan dan rumah rakit yang berada di atas sungai ditempati oleh semua lapisan penduduk sedangkan di kota Palembang penghuni rumah panggung ditempati oleh orang-orang Palembang dan Arab sedangkan rumah di atas sungai berbentuk rakit yang ditopang kayu ditempati orang-orang Cina, Melayu dan orang-orang asing lainnya. Dedi Irwanto M. Santun, Produksi dan Reproduksi Atas Jembatan Ampera; memaknai konstruksi fisik dan Ideologis Kota Palembang dari Kolonial ke Pascakolonial, 1930-1960-an. Tesis. (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2009), hlm. 2. 6
Pedagang dari pantai utara Jawa yang menghindarkan diri dari tekanan Sultan Agung dari Mataram, memindahkan usaha dagangnya ke kota Banjarmasin. Hal ini mendorong perkembangan perdagangan dan pelabuhan. Sulanjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin, Tesis (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991), hlm. 65-67. Carl Bock, Ibid., hlm. 55. 7
4
pelabuhan pembongkaran dan pemuatan barang dari dan ke Banjarmasin.8 Kombinasi antara faktor alamiah yang strategis dan kekayaan alam di daerah hinterland yang melimpah menyebabkan pelabuhan
yang
terletak
di
tengah
kota
Banjarmasin
ini
berkembang pesat. Komoditas perdagangan itu dikumpulkan di pelabuhan Banjarmasin untuk kemudian didistribusikan ke seluruh daerah. Komoditas perdagangan yang banyak terdapat di Banjarmasin antara lain karet, kayu, rotan, sarang burung walet, batu besoar, lilin lebah, minyak kayu gaharu, lada dan darah naga.9 Komoditas perdagangan ini menjadi daya tarik para saudagar dari berbagai daerah datang ke Banjarmasin untuk berdagang. Para saudagar ini berasal dari Sulawesi, Jawa, Sumatera,
Cina
dan
Jazirah
Arab.10
Sumber
daya
alam
Banjarmasin sebagai komoditas perdagangan yang laku di pasar dunia juga menjadi incaran para pedagang Eropa, antara lain: Portugis, Inggris dan Belanda. Untuk fasilitas-fasilitas pelabuhan dan volume perdagangan yang dilakukan di Banjarmasin, khususnya pada abad keduapuluh, lihat R. Broesma, Handel en Bedrijf in Zuid en Oost-Borneo. („s Gravenhage: Naeff, 1927), hlm. 18-22. 8
Goh Yoon Fong, Trade and Politics in Banjarmasin, 1700-1747. Tesis. (London: University of London, 1969), hlm.10. Lihat juga; Tundjung, Karet dari Hulu Sungai, Budidaya, Perdagangan dan pengaruhnya terhadap Perekonomian di Kalimantan Selatan, 1900-1940. Tesis. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994), hlm. 49-58. 9
10
R. Broesma. Ibid., hlm. 17; Goh Y. F., Ibid., hlm.13. 5
Belanda
(VOC)
untuk
pertama
kali
datang
di
Banjarmasin pada tahun 1606 untuk menjalin hubungan dagang dengan kesultanan Banjarmasin.11 Di dalam jalinan perdagangan rempah antara kesultanan Banjarmasin dengan VOC terjadi monopoli yang dilakukan oleh VOC. VOC ingin menguasai secara penuh perdagangan rempah sebagai komoditas yang penting bagi kesultanan. Hal ini menyebabkan perlawanan terhadap VOC.12 Masuknya Belanda di kesultanan Banjarmasin pada abad ke-19 masehi menjadi tonggak sejarah perubahan kehidupan kesultanan dan masyarakat dari berbagai aspek antara lain aspek ekonomi dan
aspek
politik.13
Pasca
perang
Banjar
(1859-1906)14,
cengkeraman kekuasaan kolonial semakin kuat, hal ini diikuti dengan penerapan kebijakan dan konsolidasi dalam perencanaan
L.C.D. van Dijk, Nederland’s Vroegste Betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Cambodja, Siam en Cochin-Cina. (Amsterdam: J.H. Schetema, 1862), hlm. 127-128. 11
Ita Syamtasiyah Ahyat, Politics and Economy of Banjarmasin Sultanate in the Period of Expansion of the Netherlands East Indies Government in Indonesia, 1826-1860 (International Journal for Historical Studies, 2012), hlm. 155-156. 12
Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung, Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti. Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 72-84. 13
Perlawanan yang berkepanjangan antara tahun 18591906 di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah terhadap Kolonial Belanda adalah yang terpanjang dalam sejarah Indonesia. Helius Sjamsuddin. Ibid., hlm. 472. 14
6
pembangunan
kota
Banjarmasin.15
pembangunan
kota
yang
Dalam
dilaksanakan
perencanaan dan
pemerintah
kolonial
Belanda ini menimbulkan perubahan orientasi yang jauh berbeda dari sebelumnya. Pada awalnya, Belanda mendirikan benteng dan pusat pemerintahan di tanah daratan yang menyerupai pulau yang disebut Tatas sebagai pusat kota.16 Di kota itu dibangun rumahrumah Belanda, kanal, rumah sakit, alun-alun dan gudang. Di luar benteng, terdapat kampung-kampung yang dihuni oleh berbagai macam etnis. Kondisi ini menyebabkan migrasi ke daerah sekitar benteng untuk mencari peluang usaha. Namun, dalam perkembangannya muncul persoalan di sekitar benteng yang tidak mampu menampung arus migrasi yang membutuhkan tempat bermukim. Ada satu hal yang menarik dari penjelasan tersebut bahwa
perubahan
kehidupan
masyarakat
dan
kondisi
Banjarmasin pada abad ke-20 tidak terlepas dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda terutama yang berhubungan dengan tata pemerintahan dan kebijakan pada aspek politik. Perubahan-
J. Thomas Lindblad, Between Dayak and Dutch, The Economic History of Southeast Kalimantan 1880-1942. (Dordrecht: Foris Publication, 1988), hlm. 5-6. Lihat juga M. Idwar Saleh, Op.cit., hlm. 30. 15
16
M. Idwar Saleh, Ibid., hlm. 35. 7
perubahan
inilah
yang
menjadi
daya
tarik
penulis
untuk
mengungkap secara terstruktur dan menyeluruh yang terjadi pada masyarakat kota Banjarmasin pasca perang Banjar. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian Banjarmasin sebagai daerah yang terletak di bantaran sungai besar di Kalimantan cenderung memperlihatkan aktivitas kehidupan masyarakat yang berorientasi ke sungai. Kondisi ini berjalan cukup lama hingga hadirnya pemerintah kolonial Belanda yang merubah tatanan tersebut berdasarkan kehendak kolonial. Oleh sebab itu, perlu kajian yang mendalam untuk mengungkap perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat dan daerah Banjarmasin pada umumnya. Untuk memudahkan pemahaman dan fokus kajian dalam penelitian ini, maka perlu diungkapkan permasalahan pokok antara lain: 1. Perubahan apakah yang terjadi pada tata kota Banjarmasin dan kehidupan masyarakat ketika orientasi berubah dari sungai ke darat? 2. Akibat apa yang muncul pada masyarakat kota Banjarmasin ketika pembangunan yang dilaksanakan pemerintah kolonial Belanda lebih menitikberatkan daratan dari pada sungai?
8
Penelitian ini memiliki batasan temporal tahun 1906 sampai
tahun
1942.
Pada
tahun
1906
dimulai
rencana
pembangunan kota oleh Ir. Sebinga Mulder untuk memudahkan penataan
kota
berkelanjutan
dan
mendapatkan
legitimasi
keberadaan kota Banjarmasin yang bersifat otonom. Rencana umumnya menyangkut soal pelabuhan yang erat hubungannya dengan
perkembangan
ekonomi,
disamping
pertanian
dan
angkutan air sekitar kota serta pembangunan jalan darat yang yang berbeda dari orientasi sebelumnya. Proses ini ditandai dengan konsolidasi pemerintah kolonial dalam rangka penetapan kota Banjarmasin menjadi daerah otonom.17 Sementara tahun 1942 dijadikan batas akhir penelitian karena alasan berakhirnya kekuasaan kolonial yang sebelumnya menjadi pengendali kota Banjarmasin. Pembangunan infrastruktur baru kota berhenti, sejalan dengan berakhirnya pendanaan bagi infrastruktur kota. Batasan spasial atau geografi mencakup wilayah kota Banjarmasin yang didukung oleh aliran sungai-sungai yang menghubungkan Kalimantan
kota
Selatan.
sungai-sungai
Banjarmasin Dasar
tersebut
dengan
daerah
pertimbangannya
merupakan
urat
nadi
lain
adalah utama
di
bahwa yang
memberikan dinamika kehidupan dan aktivitas kota Banjarmasin. Di samping itu letak kota Banjarmasin sangat menguntungkan 17
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1919, no. 22. 9
untuk perdagangan karena Sungai Barito dan Sungai Martapura yang luas bisa dilayari dan disandari kapal-kapal besar. Kota Banjarmasin
menjadi
tempat
transit
para
pedagang
untuk
melakukan kegiatan ekspor dan impor. Pada perkembangannya, keberadaan jalan darat mulai merubah peran sungai yakni masyarakat mulai menggunakan mobil dan sepeda untuk berbagai aktivitas di kota Banjarmasin. Selain itu, batasan penelitian ini mengambil tema kajian sejarah
sosial
kota
khususnya
perkembangan
kota
yang
dipengaruhi oleh faktor ekologi dan kebijakan pemerintah yang menambah akses jalan darat di kota Banjarmasin. Dampak perubahan tersebut dapat menjelaskan mengapa pembangunan pemukiman
masyarakat
perkotaan
yang
mulai
teratur
dan
mengelompok dalam suatu wilayah yang berdampingan. C. Tujuan Penelitian Penelitian
ini bertujuan untuk menjelaskan proses
perubahan orientasi masyarakat kota Banjarmasin dari sungai ke darat setelah berakhirnya perang Banjar (1859-1906). Dengan memfokuskan kajian pada kehidupan masyarakat ketika orientasi berubah dari sungai ke darat yang terjadi pada kurun waktu 1906-1942,
interpretasinya
menjadi
sumbangsih
untuk
memecahkan persoalan kebuntuan sejarah kota Banjarmasin
10
pada periode setelah perang. Kajian Ita Syamtasiyah Ahyat sebagai sejarawan akademik mengenai Banjarmasin hanya menjelaskan ekonomi dan politik di dalam kesultanan Banjarmasin sampai tahun 1860 dengan dihapuskan kesultanan Banjarmasin oleh Kolonial Belanda. Sedangkan Helius Syamsudin menjelaskan tentang Perang Banjar sampai tahun 1906. Sehingga ruang kajian kota Banjarmasin pada era kekuasaan kolonial tidak tersentuh sama sekali. Oleh karena itu, suatu kajian dibutuhkan untuk menjelaskan situasi kota Banjarmasin setelah perang berakhir dan memasuki era kekuasaan kolonial. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sumbangan pemikiran untuk mengetahui pengaruh dan sepak terjang pemerintah kolonial dalam membangun kota Banjarmasin pada awal abad ke-20. Hal ini, sekaligus menjadi titik awal bagi penelitian selanjutnya untuk mengkaji pengaruh kolonial Belanda baik di kota Banjarmasin maupun di Kalimantan Selatan. Dari sisi akademis, penelitian ini diharapkan mampu mengungkap berbagai fakta dan analisis baru yang juga bisa membuka bagi penelitianpenelitian berikutnya. D. Tinjauan Pustaka Beberapa
kajian
tentang
kota
Banjarmasin
telah
dilakukan oleh beberapa peneliti, namun pembahasannya masih
11
terpaku pada masalah ekonomi dan perdagangan yang didukung oleh kondisi geografis yang melingkupi. Inspirasi tulisan ini berasal
dari
buku
“Banjarmasih”.
Di
karya dalam
M.
Idwar
buku
Saleh
tersebut
yang
berjudul
cerita
sejarah
Banjarmasin sebagai sebuah kota dijabarkan secara singkat mulai dari jaman kerajaan sampai era orde lama. Buku tersebut masih dideskripsikan
secara
umum
dan
belum
menggambarkan
pemaknaan yang menyangkut penduduknya atau dengan kata lain penulis belum memberikan porsi cerita yang lebih luas pada masyarakat
Bumiputera.18
Perkembangan
dan
eksistensi
kelompok marginal perkotaan sebagai bagian dari berlangsungnya modernisasi belum banyak disinggung. Makalah Bambang Subiyakto19 mengenai infrastruktur pelayaran
sungai
kota
Banjarmasin
tahun
1900-1970,
memberikan gambaran bagaimana kota ini berkembang didukung oleh
adanya
sungai-sungai
sebagai
jalur
transportasi.
Bagi
Bambang, kota saat itu berkembang karena adanya akses untuk keluar masuk Banjarmasin sangat tersedia oleh karena kondisi alamnya. Budaya penduduk Banjarmasin yang suka membuat
18
M. Idwar Saleh, Op.cit.
Bambang Subiyakto, Infrastruktur Pelayaran Sungai: Kota Banjarmasin Tahun 1900-1970. Dalam buku Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-kota di Indonesia. Editor Freek Colombijn dkk. (Jogjakarta: Ombak, 2005), hlm. 336-357. 19
12
kanal-kanal untuk jalur transportasi dan irigasi juga ikut mendukung perkembangan kota ini. Penulis dan petualang Belanda bernama Carl Bock menulis sebuah buku yang berjudul Reis in Oost en Zuid Borneo. Van Kutai naar Banjermasin ondernomen op Last der Indische Regering in 1879 en 1880. Buku ini merupakan kisah perjalanan Carl Bock yang terinspirasi oleh berita-berita dari Hollander.20 Carl Bock dalam perjalanan menyusuri sungai-sungai di Kalimantan banyak
menulis
Banjarmasin
apa
secara
yang
khusus
dilihatnya
dan
dicantumkan
mengenai
dalam
satu
kota bab.
Walaupun hanya satu bab, cerita tentang kota ini sangat mendalam dan memberi gambaran menarik tentang perdagangan, kehidupan
sehari-hari
penduduk
kota
Banjarmasin
dalam
hubungannya dengan Cina, Bugis dan Jawa. Tulisan Dedi Irwanto M.S., yang berjudul “Produksi dan Reproduksi Atas Jembatan Ampera; memaknai konstruksi fisik dan Ideologis Kota Palembang dari Kolonial ke Pascakolonial, 1930-1960-an”.
Tesis
ini
mengungkap
pembentukan
dan
penciptaan simbol sebagai sebuah realitas. Penafsiran atas perubahan kota Palembang dapat dijadikan pembanding dengan
Hollander adalah ilmuwan dari Belanda yang menulis kisah perjalanannya pada waktu masa VOC, yang dituangkan ke dalam sebuah buku berjudul “Land-en Volkenkunde van Ned.Indie”. 20
13
penelitian tentang kota sungai lainnya dan digambarkan secara berbeda dari tulisan lainnya. Peneliti Lindblad21
tentang
menjelaskan
Kalimantan
kegiatan
Selatan
perekonomian
J.
Thomas
tahun
1880
dengan pola berlapis perdagangan yang telah terbentuk di Kalimantan Selatan di mana sebagian besar demarkasi berada pada sepanjang garis etnis. Melayu atau Banjar terlibat khusus dalam perdagangan di sepanjang sungai dengan etnis Dayak. Etnis Cina masuk ke pedalaman untuk melakukan aktivitas perdagangan sungai perdagangan.
namun hanya dalam pengiriman
Mereka
menguasai
pasar
pokok
hasil
regional
di
Banjarmasin dan jalur perdagangan ke Singapura. Tumpang tindih kepentingan lingkungan memunculkan persaingan dalam dua konteks yang berbeda: antara Melayu dan Cina di sungai dan antara Cina dan Eropa dalam perdagangan luar negeri. Seringkali, konfrontasi akhirnya berakhir dalam ko-eksistensi damai atau bahkan dalam bentuk kerja sama, misalnya ketika pedagang Cina bekerja secara simultan untuk dirinya sendiri dan sebagai agen dari Borsumij. Dinamika itu memberikan gambaran, bagaimana persaingan
dagang
memberikan
warna
di
kota
Banjarmasin
perubahan
pada
berlangsung
kota
yang
yang
sedang
berkembang itu. 21
J. Thomas Lindblad, loc.cit. 14
Tesis dari Sulanjari22 dan Goh Yoon Fong mengisi kekosongan tulisan awal abad ke-18.23 Banyak menjelaskan tentang ekonomi kesultanan Banjar yang mengalami pasang surut berdagang lada dengan VOC, antara Kerajaan Banjar dengan pedagang-pedagang dari Cina, India, Inggris dan Portugis. Ada faktor penyebab Belanda (VOC) dan Inggris tidak suka berdagang dengan bangsawan Banjar. Sultan sebagai penguasa menjalankan sistem
monopoli
dan
sering
berbuat
curang.
Monopoli
perdagangan yang dikuasai oleh sultan dapat dilihat dari proses pembongkaran
dan
pengapalan
barang
yang
tidak
dapat
dilakukan tanpa adanya pemeriksaan terlebih dahulu dari pegawai kepercayaan sultan. Hal ini berbanding terbalik pada abad ke-19. Paper Ita Syamtasiyah Ahyat menjelaskan masuknya pengaruh kolonial
Belanda
perubahan
di
dalam
bidang
mengatur
politik
dan
kesultanan ekonomi.
memberikan
Perubahan
ini
disebabkan terutama oleh intervensi dari kolonial Belanda dan perselisihan tahta kesultanan di antara keluarga sultan. Pada akhirnya
kolonial
Belanda
sukses
menguasai
kesultanan
Banjarmasin pada tahun 1960.24
22
Sulanjari, loc.cit.
23
Goh Yoon Fong, loc. cit.
24
Ita Syamtasiyah Ahyat, op.cit. 15
Disertasi Tunjung25 (1994) tentang karet memberikan gambaran
bahwa
Kota
Banjarmasin
menjadi
sentral
bagi
perdagangan dan penimbunan karet sebelum dijual ke pasar internasional. Transaksi yang dilakukan pedagang di Banjarmasin memberi andil yang besar dalam perkembangan kota terutama prasarana pelabuhan dan pergudangan yang ada di kota. Broesma, Handel on Bedrijf in Zuid on Oost-Borneo, (The Hague, 1927), buku ini banyak menggambarkan sejak awal tentang kekuatan ekonomi yang dimiliki Pulau Kalimantan untuk diambil
keuntungannya
bagi
negeri
Belanda.
Buku
ini
menjelaskan secara umum tentang pemerintahan kolonial Belanda dan aktivitas ekonomi masyarakat di Kalimantan Selatan yang saling
memberikan
pengaruh
mempengaruhi
di
dalam
perkembangan kota Banjarmasin pada abad ke-20. Sementara seorang pelaku sejarah Banjar yang bernama Amir Hasan Bondan menulis buku yang berjudul Suluh Sejarah Kalimantan,26
menjadi sebuah sumber tertulis yang sangat
bermanfaat untuk membandingkan data yang ditulis Belanda sebagai laporan dengan peristiwa yang ada kaitannya tentang Tundjung, Karet dari Hulu Sungai, Budidaya, Perdagangan dan pengaruhnya terhadap Perekonomian di Kalimantan Selatan, 1900-1940. Disertasi. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994). 25
Amir Hasan Bondan, (Bandjarmasin: Fadjar, 1953). 26
Suluh
Sejarah
Banjar. 16
kondisi sosial-ekonomi rakyat Banjarmasin yang sebenarnya. Walaupun hanya digambarkan secara ringkas dengan mengambil riwayat-riwayat atau keterangan dari peristiwa di Kalimantan, buku ini merupakan cerita para pelaku kegiatan pembangunan ekonomi dan perdagangan dari kota ke wilayah pedalaman. Tentang pelayaran dan transportasi sungai dibahas oleh Bambang Subiyakto. Kegiatan perdagangan dan perekonomian di Banjarmasin digerakkan lewat sungai utama yaitu sungai Barito. Sungai ini sebagai penghubung antara daerah pedalaman dengan pelabuhan kota Banjarmasin sehingga sungai tersebut menjadi ramai karena menjadi tempat bertemunya para pedagang untuk bertransaksi. Sungai-sungai yang ada di Kalimantan berfungsi sebagai prasarana lalu lintas orang dan barang. Bambang Subiyakto melihat pelayaran sungai tetap bertahan karena faktor manusia di Kalimantan Selatan masih sangat tergantung pada faktor alam. Pertanyaannya apakah betul sungai masih dijadikan jalur transportasi sampai pertengahan abad ke-20? Hal ini belum tentu benar, ada bukti yang menjelaskan mengapa transportasi sungai tidak lagi menjadi jalur transportasi di pertengahan abad ke-20. Bukti itu sampai sekarang masih dimiliki penduduk Banjarmasin, seperti kepemilikan sepeda dan mobil. Kajian paling kontemporer
dihadirkan
oleh
Endang
Susilowati
mengenai
17
pelayaran perahu rakyat di Banjarmasin.27 Kajiannya mengenai respon pelayaran perahu dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan
zaman
terutama
berkaitan
dengan
perubahan
teknologi dalam sarana pengangkutan laut. Disertasi ini juga membahas mengenai perkembangan jaringan pelayaran perahu rakyat di kawasan sekitarnya. Dari beberapa buku dan penelitian yang sejauh penulis ketahui, beberapa kajian tersebut sangat membantu penulis dalam memahami secara utuh kaitan antara satu peristiwa dan perubahan-perubahan yang muncul di Banjarmasin. Dengan realitas itu, penulis akan dapat memahami dan menganalisis berbagai temuan-temuan yang muncul baik yang sudah masuk dalam kajian peneliti lain maupun apa yang penulis temukan dalam penelitian ini.
E. Kerangka Konseptual Dalam penelitian sejarah, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, adalah data sebagai sumber informasi dan analisis terhadap informasi yang terkandung dalam data tersebut, hasil analisis selalu disebut sebagai fakta. Dalam melakukan analisis atau interpretasi terhadap data, sejarawan memerlukan Endang Susilowati, “Pasang Surut Pelayaran Perahu Rakyat di Pelabuhan Banjarmasin, 1880-1990. Disertasi (Jakarta; Universitas Indonesia, 2004). 27
18
suatu wawasan yang luas dan tajam terhadap persoalan yang ditelitinya. Ini diperlukan agar pokok persoalan penelitian tetap berada dalam konteks kajian historis meskipun ada beberapa batasan yang diberikan. Untuk bisa mempertajam analisis baik dalam proses interpretasi maupun melakukan penulisan laporan akhir, sejarawan memerlukan suatu pendekatan teori yang sesuai dengan bidang disiplin yang ditelitinya.28 Penerapan teori dalam menganalisis masalah akan diatur dalam metodologi penulisan sejarah tersebut. Fokus utama dari penelitian sejarah ini yaitu perubahan tata kota Banjarmasin dan kehidupan masyarakat ketika orientasi
Arti penting penggunaan teori mulai muncul di kalangan para sejarawan sebagai reaksi terhadap metodologi rekonstruksi yang dirintis oleh Leopold von Ranke pada pertengahan abad XIX di Jerman. Ranke menekankan arti penting penggunaan arsip dalam menulis sejarah dan menyebutnya sebagai metodologi rekonstruksi. Pada awal abad XX bersamaan dengan tumbuhnya aliran strukturalisme di Prancis, para sejarawan Annales kemudian menerapkan metodologi baru yang disebut metodologi konstruksi. Dalam metodologi ini disebutkan bahwa arsip saja tidak cukup untuk menjelaskan suatu peristiwa sejarah, karena arsip hanya merupakan susunan dan permainan kata. Untuk bisa mengetahui apa yang terjadi sebenarnya dalam konteks ruang dan waktu saat peristiwa terjadi, sejarawan konstruksi menuntut adanya analisis dengan menggunakan bantuan disiplin ilmu lain yang sesuai. Untuk itu teori-teori dari disiplin ilmu tersebut mulai diterapkan sebagai alat bantu analisis persoalan penelitian. Sejak itu metodologi struktural yang menganut model konstruksi dalam penulisan sejarah mengutamakan penggunaan teori bagi penajaman analisisnya. Lihat Alun Munslow, Deconstructing History. (London: Routledge, 1997), hlm. 23. 28
19
berubah dari sungai ke darat. Untuk itu, Banjarmasin harus diletakkan dalam konteks periodisasi yang digunakan dalam penelitian
ini
Banjarmasin
secara pada
mikro, masa
tidak
itu
berarti
bisa
perkembangan
dilepaskan
dengan
perkembangan wilayah yang lebih luas di zaman yang sama. Studi terhadap konsep dan teori dari beberapa ahli sangat berguna untuk memperoleh bahan dasar bagi penelitian selanjutnya. Sejumlah ahli tata ruang kota memiliki kerangka teori sebagai dasar pemikiran bagi pertumbuhan kota. Djoko Suryo menyebutkan bahwa perkembangan kota-kota kolonial atau kotakota indis pada tahun 1900-1940-an meningkat seiring dengan perkembangan misalnya
perekonomian
pertambangan,
pada
sektor-sektor
perdagangan,
tertentu,
perindustrian,
dan
perkebunan.29 Ahli perkotaan seperti Peter J.M. Nas, mengatakan bahwa pertumbuhan kota berlangsung melalui tiga tahap yang berlaku untuk mengkaji tentang perluasan kota. Pada tahap pertama adalah adanya lingkungan alami dan material buatan manusia. Lingkungan ini menjadi modal dasar dalam meletakkan kearah mana fondasi pertumbuhan kota ini akan dibawa. Tahap kedua adalah komunitas budaya kota, yang terbentuk sebagai Freek Colombijn, et.al., (eds), Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia. (Yogyakarta: Ombak, 2005), hlm. 30. 29
20
akibat
adanya
membentuk
interaksi
kehidupan
antara kota,
komponen-komponen
Tahap
ketiga
adalah
yang
adanya
masyarakat yang terkontrol. Dalam tahap ini unsur kekuasaan mulai
diterapkan
untuk
mengatur
dan
mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan morfologi kota.30 Dari tiga tahap ini, sudut pandang Nas jelas bertolak dari jumlah penghuni yang ada di kota itu sebagai faktor yang menentukan perubahan kota baik secara administratif maupun geografis. Kota tumbuh dan meluas bukan hanya karena kepadatan penduduknya tetapi juga penyebarannya. Proses ini harus diatur oleh institusi pengontrol yang akan mengarahkan perkembangan kota dan mencegah terjadinya persoalan sosial-geografis seperti pemukiman kumuh, kesalahan penggunaan tata ruang kota dan sebagainya. Analisis Nas ada kesesuaian untuk melihat sejarah perkembangan Banjarmasin sebagai kota pelabuhan dan tempat bermukimnya sebagian besar penduduk dan orang-orang Eropa. Tiga tahap tersebut menunjukkan arah yang diambil oleh pemerintah kolonial dan masyarakat Banjarmasin. Banjarmasin tumbuh terlebih dahulu sebagai kota tempat bermukim sejak zaman kerajaan dan pemerintah kolonial baru mengkonsolidasi kemudian
setelah
penaklukan
tahun
1860
sampai
dengan
Peter J.M. Nas, The Indonesian City. (Leiden: KITLV Verhandelingen, 1986), hlm. 14. 30
21
ditetapkan
sebagai
ibukota
Kalimantan
Selatan.
Di
antara
penduduk yang membentuk kota Banjarmasin juga terjadi suatu interaksi sosial yang integratif. Akibatnya budaya perkotaan di Banjarmasin
dibentuk
dari
berbagai
unsur
latar
belakang
penduduk yang menempatinya. Sementara itu pertumbuhan sebuah kota dimotivasi oleh berbagai faktor, yang kemudian juga mempengaruhi perilaku dan pandangan budaya warganya. Salah satu dari motivasi ini adalah fungsi kota sebagai titik pertemuan transaksi ekonomi yang melibatkan warga dari berbagai wilayah sekitarnya. Untuk itu, Logemann memandang perkembangan kota dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi. Bagi Logemann, kota memiliki daya tarik bagi daerah sekitarnya karena menjadi satu-satunya saluran keluar bagi produk pedesaan. Dengan demikian karena fungsinya sebagai tempat pemasaran dan lapangan kerja, kota menjadi sumber
penghasilan
Sebaliknya
bagi
pedalaman
daerah menjadi
pedalaman daerah
di
sekitarnya.
penyangga
bagi
perkembangan, pertumbuhan, dan perluasan kota.31 Aspek yang tidak bisa dihindari sebagai dampak dari proses
ini
adalah
terjadinya
migrasi
dan
urbanisasi.
Para
pendatang ini kemudian tinggal secara permanen di kota. Hal ini J.H.A. Logemann, The Characteristic of urban Centres in the East, dalam S. Hofstra, Eastern and Western World. (The Hague: van Hoeve Ltd, 1956), hlm. 88. 31
22
mengakibatkan kepadatan penduduk kota yang memerlukan lahan
bagi
tempat
tinggal
mereka.
Ini
mengakibatkan
pertumbuhan kota Banjarmasin yang ramai sebagai salah satu lokasi transaksi niaga di Kalimantan Selatan. Ini menjadi dasar utama bagi perkembangan kota pelabuhan sebagai pusat aktivitas ekonomi dan permukiman permanen. Bertolak dari analisis Logemann, Banjarmasin memenuhi persyaratan bagi proses pertumbuhannya. Dengan dibukanya pelabuhan dan jalan darat yang menghubungkan antar wilayah yang satu dengan yang lain di Kalimantan Selatan dengan mengandalkan pelabuhan Banjarmasin. Hal ini menambah daya tarik bagi penduduk Kalimantan Selatan untuk memanfaatkan transportasi jalur darat selain jalur sungai sebagai sarana pengangkutan
produk
dari
pedalaman.
Ini
mengakibatkan
pertumbuhan kota Banjarmasin yang ramai sebagai salah satu lokasi transaksi di Kalimantan Selatan. Dalam perkembangannya, Banjarmasin menjadi pintu gerbang pertama bagi pengangkutan produk impor yang tiba di pelabuhan Banjarmasin untuk dikirim ke Jawa maupun luar negeri. Adapun
Burgess
menunjukkan
bahwa
persebaran
kelompok heterogen dalam kota tidak berlangsung secara liar. Kalau dilihat fakta dari zaman kolonial, ruang kota Banjarmasin ada pengelompokan-pengelompokan berdasarkan ras, keagamaan 23
ataupun pekerjaan. Dua yang pertama dapat saja berdampingan sehingga merupakan suatu natural area.32 Natural area dibentuk oleh
keadaan
alami
berdasarkan
penggunaan
tanah
dan
berdasarkan tipe penduduknya. Pusat-pusat urban yang muncul melalui proses praktekpraktek
irigasi33
yang
diciptakan
oleh
kelompok-kelompok
masyarakat disebut sebagai urban „primer‟ karena mengikuti suatu proses ekologis. Sedangkan pusat urban „skunder‟ dibangun melalui perencanaan oleh karena pertumbuhan dalam bidang perdagangan dan perniagaan. Perdagangan dan perniagaan itu memerlukan infrastruktur penunjang yang baik.
F. Metode Penelitian dan Kajian Sumber Penelitian sejarah bertumpu pada sumber data. Sumber data yang digunakan sebagai informasi utama adalah data-data yang
merupakan
penjelasan penelitian.
peninggalan
masa
aktivitas
manusia
tentang Sumber
menjadi
lalu
sangat
karena
sesuai
memuat
dengan
penting
tema
sehingga
penelusurannya (heuristik) dijadikan sebagai tahap pertama dari metode penelitian sejarah. Tanpa sumber data ini, tidak mungkin
S. Menno dan Mustamin Alwi, “Antropologi Perkotaan”, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 7. 32
33
Ibid.,hlm.14-15. 24
suatu penelitian sejarah dilakukan. Secara ringkas rencana penelitian ini terwujud melalui tiga tahapan penelitian yaitu pengumpulan sumber, interpretasi dan penulisan. Pengumpulan sumber ini akan dilakukan di beberapa tempat. Khusus arsip dilakukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta maupun di Banjarmasin yaitu di Museum Lambung Mangkurat, yang banyak menyimpan koleksi foto-foto, dokumen, buku-buku tentang sejarah Banjar dan laporan para Residen dan lain-lain. Ada tiga sumber yang menjadi bahan utama isi dari penelitian ini, arsip, laporan, dan surat kabar. Keseluruhan sumber ini terbit pada masa pemerintahan kolonial. Sumber arsip diperlukan untuk mengungkap kegiatan pemerintahan di Banjarmasin khusus berkenaan dengan surat menyurat dan keputusan-keputusan. Banyak hal yang tidak memberikan kesan yang baik ditemui penulis dalam proses penelitian, sebagai salah satu contoh ketika baru memulai pencarian buku-buku yang relevan untuk penulisan tesis di perpustakaan nasional yang hanya tinggal sampulnya saja dan satu hal yang dari dulu menjadi kendala adalah proses administrasi ketika di ANRI, belum lagi bahasa sumber menjadi hambatan dalam penelitian. Dalam penelitian ini, sumber primer yang ditelusuri adalah arsip
yang
ada
di
ANRI,
untuk
penelitian
sejarah
kota
Banjarmasin, menggunakan data leksikografi. Leksikografi adalah 25
sumber arsip yang diterbitkan secara resmi yang berisi peraturan terutama terdiri atas kumpulan peraturan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang atau pemerintah pusat. Di antaranya adalah Regeeringsalmanak (Almanak pemerintah, yang terdiri atas dua jilid: jilid pertama berisi katalog bagi petunjuk peraturan dan jilid kedua berisi daftar nama para pejabat di seluruh Hindia Belanda), Staatsblad van Nederlandsch Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) dan lain-lain. Arsip terbitan resmi pemerintah kolonial Belanda yang berisi laporan dari lembaga pemerintah. Di antaranya adalah Kolonial Verslag atau Laporan Kolonial, yang merupakan pidato pertanggungjawaban Menteri Koloni atas semua jajahan Belanda di dunia di depan sidang umum tahunan parlemen Belanda. Arsip ini berisi informasi tentang peristiwa yang terjadi selama setahun di tanah jajahan Belanda dalam berbagai bidang termasuk transportasi, agraria, politik, perdagangan, perekonomian, militer, pembangunan infrastruktur dan tenaga kerja. Kolonial Verslag terbit dari tahun 1849-1930. Pada tahun 1931, Kolonial Verslag diganti menjadi Indische Verslag terbit hingga tahun 1942. Apa yang ada di arsip memang tidak banyak memuat informasi yang berhubungan dengan kegiatan di luar sektor formal atau lebih khususnya pada sektor pemerintahan dan birokrasi. Majalah dan koran yang banyak memuat respon masyarakat 26
terhadap kebijakan dan tindakan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda juga bisa ditelusuri. Data-data diperoleh dari laporan yang sudah dibukukan dan diterbitkan diperoleh dari perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, Perpustakaan Museum Sonobudoyo, Pusat Studi Kependudukan dan Kawasan maupun perpustakaan lain yang masih menyimpan koleksi sezaman. Setelah melakukan penelusuran data arsip, penelitian ini juga akan menggunakan data-data terbitan sezaman. Yang dimaksud di sini adalah sumber-sumber informasi yang dimuat dalam koran-koran yang terbit pada masa tema penelitian. Seperti halnya sumber leksikografi, sumber koran ini menjadi koleksi perpustakaan Nasional di Jakarta. Koran-koran yang digunakan adalah koran terbitan sekitar Kalimantan Selatan khususnya Banjarmasin. Koran-koran itu seperti Suara Borneo, Pewarta Borneo, Sinar Borneo, Pengharapan, Bataviaasch nieuwsblad dan lain-lain yang sezaman. Untuk informasi pelengkap maupun pembanding lainnya, penelitian ini menggunakan buku-buku pendukung sebagai sumber sekunder. Buku-buku ini dipilih dengan prioritas pada kajian teori tentang perkotaan atau kehidupan sosial-ekonomi kota. Sumber lisan dalam sejarah kota untuk periode yang masih tidak terlalu kuno sebenarnya masih memungkinkan. 27
Setidaknya sumber lisan dapat membantu mengisi kekosongan data tertulis yang mungkin akan ditemui dalam penelitian lapangan. Sekalipun antara peneliti sejarah kota dengan obyek kajian terpisah oleh waktu yang cukup lama, perlu dilakukan studi lapangan untuk membangun sebuah historical mindedness. Langkah ini merupakan keharusan bagi penelitian sosiologi, namun belum menjadi sebuah keharusan bagi sejarawan.
G. Sistematika Penulisan Berawal dari pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dalam permasalahan penelitian, penulisan penelitian ini akan menjadi lima bagian. Bab I dijelaskan mengenai latar belakang masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Dalam bab ini memuat permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori dan pendekatan konseptual, metode penelitian dan kajian sumber, serta sistematika penulisan. Bab
II
Banjarmasin,
sebagai
kota
seribu
sungai
membahas tentang bentang alam yang menunjang Banjarmasin menjadi pusat kota pemerintahan dan ekonomi. Dijelaskan pula soal
penduduk
dan
stratifikasi
sosial,
orientasi
kehidupan
masyarakat kota. Dalam uraian, seluruh aspek digeneralisasi secara terstruktur sehingga penjelasan yang berkaitan dengan kota Banjarmasin dijelaskan secara mendalam. 28
Bab III menjelaskan tentang penguatan kekuasaan kolonial dan perubahan orientasi ruang, penataan administrasi pemerintahan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pengaruh kekuasaan dan kebudayaan Belanda ada melalui proses yang panjang akan dijelaskan pada bab ini. Perubahan sosial ekonomi masyarakat kota Banjarmasin oleh hadirnya sistem administrasi yang
modern
memberikan
orientasi
yang
berbeda
dari
sebelumnya. Perubahan itu mempengaruhi masyarakat yang berada
di
kampung-kampung
dekat
bantaran
sungai
ikut
mendorong terjadinya proses pengkotaan yang modern dan terkontrol. Bab IV membahas mengenai pembangunan infrastruktur kota Banjarmasin yang menunjukkan suatu tatanan peradaban barat berdampak pada perubahan kehidupan masyarakat kota. Bagaimana
reaksi
masyarakat
terhadap
pembangunan
infrastruktur kota yang dilakukan pemerintah kolonial versus keinginan masyarakat kota membangkitkan kejayaan masa lalu sebagai
daerah
yang
maju
dalam
perdagangannya,
akan
dijabarkan di bab berikut ini. Bab V adalah kesimpulan, merupakan hasil yang bisa penulis simpulkan dari berbagai ulasan dan analisis serta temuantemuan di lapangan. Kesimpulan bukan hanya sekedar jawaban dari
pertanyaan,
tapi
juga
kemampuan
penulis
dalam 29
menyimpulkan dari hasil penelitian sebagai pengalaman dan temuan yang ada, sehingga bisa jadi kesimpulan adalah jawaban dari temuan tapi juga bisa bagian dari analisis di atas fakta-fakta yang hadir dalam kajian penelitian.
30