BAB I PENGANTAR A.
Latar Belakang
“Hati kami tak perlu mengecualikan tempat manapun diatas bumi, atau warna kulit manapun diatas bangsa-bangsa, asalkan ia memiliki keprihatinan istimewa terhadap Insulinde”. -Gerard Brom
Sumatera Timur dalam sejarah Indonesia merupakan wilayah akhir yang dimasuki oleh Belanda. Salah satu wilayah yang mendapatkan perhatian adalah Tanah Batak. Hal ini ditandai dengan dibukanya perkebunan tembakau sejak tahun 1860. Tidak hanya dari segi ekonominya saja, beberapa tahun setelahnya masuk pula pengaruh agama Kristen Protestan ke Sumatera Timur, khususnya di wilayah pedalaman Batak. Bukti masuknya agama Kristen Prostestan ke wilayah Batak ditandai dengan kedatangan misionaris Protestan yang pertama tahun 1861.1 Sumatera Timur mempunyai dua etnis yakni Melayu dan Batak. Etnis Melayu mayoritas beragama Islam dan tinggal di daerah pesisir sedangkan etnis Batak masih memeluk kepercayaan lokal dan tinggal di daerah pedalaman. Letak geografis yang dekat dengan pesisir membuat ekonomi etnis Melayu lebih maju. Masyarakat pesisir lebih banyak beriteraksi dengan pedagang asing yang singgah
Hisarma Saragih, “Zending di Tanah Batak: Studi Tentang Konvensi di Kalangan Masyarakat Simalungun 1903-1942”. Tesis S2. (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada), hlm. 2. 1
2
untuk berdagang. Berbeda dengan daerah Batak yang dikelilingi oleh bukit dan gunung yang terjal. Kondisi geografis dan medan yang sulit membuat pedagang asing enggan untuk datang berdagang. Etnis Melayu juga lebih cakap dalam membangun komunikasi dengan pihak-pihak luar terutama dari Aceh dan Malaya. Kecakapan ini digunakan oleh bangsa Melayu untuk menjalin komunikasi dengan bangsa Batak di pedalaman untuk mendapatkan hasil-hasil alam mereka. Gambaran diatas menunjukkan bahwa bangsa Batak jarang berinteraksi dengan orang luar khususnya sampai tahun 1860-an atau sebelum kedatangan bangsa Belanda.2 Sebelum kedatangan Belanda ke wilayah ini ada suatu kondisi sosial yang sudah lama terbentuk. Istilah Batak mengandung arti budaya, bahasa, dan juga politik yang mencakup Toba, Karo, Simalungun, Dairi, Angkola, dan Mandailing. Bagi orang Karo yang beragama Muslim sangat sedikit yang mau menyebut mereka dengan istilah Batak, mereka mengatakan mereka adalah orang Karo. Begitu juga dengan Angkola dan Mandailing yang umumnya beragama Islam sangat sedikit yang mengakui dirinya Batak. Batak Toba adalah satu- satunya kelompok yang kuat mengakui dirinya sebagai Batak. Bagi orang Batak yang beragama Islam, istilah Batak berarti barbar atau tidak beradab. Batak adalah istilah yang diberikan oleh orang Islam kepada mereka yang memakan babi. Bagi masyarakat di Sumatera Timur, Batak merupakan pembeda antara suku Jawa, Melayu, dan Orang Islam.
2
Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 39-46.
3
Batak juga sering dihubungkan dengan praktek kanibalisme (pemakan orang). Laporan-laporan pengembara Barat yang menjelajahi Timur pada abad ke-13 sampai abad ke-16 menyebutkan “Batak makan orang dan Batak Berekor”. Menurut Anderson yang menjelajahi Pantai Timur Sumatera tahun 1823 kanibalisme Batak bukanlah menjadikan manusia sebagai makanannya melainkan lebih untuk menjungjung tinggi rasa marah kepada musuh dalam situasi perang.3 Sejak dibukanya perkebunan tembakau oleh pihak swasta Belanda di Sumatera Timur sering terjadi kenakalan kerja para kuli kontrak. Pemerintah Belanda menganggap kenakalan ini merupakan suatu ancaman bagi kegiatan kerja di perkebunan. Oleh karena itu, pemerintah Belanda sepakat untuk mendatangkan misionaris Protestan untuk memberikan pelajaran agama bagi para kuli kontrak. Pelajaran agama yang diberikan di perkebunan teryata memberikan dampak lain. Para kuli kontrak yang sudah mempelajari Kristen Protestan turut mengajak sanak-saudaranya yang berada di daerah pedalaman Batak untuk mengenal tentang Kristen Prostestan. Melalui informasi yang diperoleh dari Kuli Kontrak, para misionaris Prostestan mulai menjelajahi pedalaman Batak dan berusaha membangun Protestan di tengah-tengah masyarakat Batak yang masih menganut kepercayaan lokal.
Majalah Dalihan Na Tolu nomer 6: “Dari Mana Munculnya Istilah Batak” oleh Budi Sinulingga. (Brastagi, tanpa tahun). 3
4
Sepuluh tahun setelah misionaris Protestan berkarya, misionaris Katolik datang ke Tanah Batak. Namun kedatangan misionaris Katolik kurang mendapat respon yang positif dari kalangan pengusaha yang terlebih dahulu memeluk agama Protestan. Untuk menghindari terjadinya pengajaran agama yang sama antara Protestan dan Katolik dibuatlah peraturan larangan tentang penyebaran agama ganda.4 Para misionaris Katolik mulai melihat daerah-daerah lain di Sumatera yang belum banyak dipengaruhi Protestan. Pada saat itu Padang menjadi pilihan yang aman untuk menumbuhkan benih-benih Katolik kepada masyarakat. Pada tahun 1902 misionaris Katolik memulai kembali misi (sebutan dalam penyebaran agama Katolik) yang sempat terhenti karena meninggalnya Pastor Caspar de Hesselle pada 31 Agustus 1854. Pastor tersebut merupakan misionaris Katolik pertama yang mengunjungi Sumatera dan tertarik untuk mendirikan Katolik disana. Minimnya pengetahuan Pastor Caspar de Hesselle tentang kebudayaan suku-suku di Sumatera, medan alam yang sulit, perbedaan budaya diantara keduanya membuat Katolik sulit
4
Untuk mengatur Misi maka pemerintahan Belanda mengatur kebijakanya dalam Undang- Undang pasal 123 yakni bentuk pelarangan mengadakan zending berganda. Hal ini untuk menghindari bentrokan antar sesama pemeluk agama. Lihat Bank Jan. Katolik di Masa Revolusi Indonesia. (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 35.
5
untuk masuk dalam kehidupan sosial masyarakat Sumatera.5 Oleh sebab itu misi sempat terhenti. Usaha misionaris Katolik membuka kembali misi di Sumatera membuah hasil. Pada tanggal 30 Juni 1911 dibentuklah Prefektur Apostolik Sumatera6 yang berkedudukan di Padang. Terbentuknya Prefektur Apostolik Sumatera ternyata memudahkan misionaris Katolik dalam menyebarkan agama Katolik sehingga karya misi dilanjutkan ke daerah-daerah Batak, termasuk Tanah Karo. Penyebaran agama Katolik di Tanah Batak tidak semudah mendirikan Katolik di Padang. Selain karena kurangnya dukungan dari pemerintah Hindia Belanda, izin untuk mendirikan misi disana belum juga diperoleh dari pimpinan pusat. Oleh karena itu para misionaris Katolik berusaha meminta bantuan kepada pastor- pastor di Padang, Sawah Lunto, dan Bukit Tinggi untuk memperoleh izin menyebarkan misi di wilayah Karo.7
5
Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia 1808-1942. (Leiden: KITLV, 2007), hlm. 325. 6
Prefektur Apostolik Sumatera merupakan suatu lembaga yang ada dalam susunan gereja Katolik yang mengurusi segala sesuatu tentang karya misi Katolik di Sumatera.Wawancara dengan Pastor Leo Joosten seorang pastor, penulis, dan peneliti masyarakat Karo tanggal 12 Oktober 2012 pukul 09.30 WIB di Museum Karo Brastagi. 7
Leo Joosten, Kepentingan Kita Berbeda: Lima Puluh Tahun Misi Kapusin di Sumatera (1911- 1961). (Museum Karo Berastagi, tanpa tahun terbit), hlm. 99.
6
Tantangan lain yang harus dihadapi misionaris Katolik di Tanah Batak adalah Tanah Batak terlebih dahulu di masuki agama Protestan, sehingga masyarakat tidak bisa membedakan antara Katolik dan Protestan. Misionaris Protestan adalah pelopor dalam menanamkan kekristenan di tengah-tengah masyarakat Sumatera. Para misionaris Rheinische Missionsgesellschaft dari Barmen-Wuppertal Injil sudah memulai zending (penyebaran agama Protestan) sejak tahun 1861 di lembah Silindung dan tahun 1901 penyebaran agama Protestan sudah memasuki Simalungun dan Karo.8 Para misionaris Protestan menyebarkan agama Protestan dengan cara damai dan dilakukan dari pedalaman sampai pesisir kota.9 Proses penyebaran penyebaran agama Kristen di Tanah Batak memang termasuk lambat karena wilayah ini dimasuki terakhir oleh para misionaris di Indonesia. Wilayah ini juga dipengaruhi oleh minat pengusaha-pengusaha perkebunan tembakau. Permintaan pengajaran agama Kristen di daerah perkebunan tembakau oleh pemerintahan Belanda bukan untuk mendukung iman Protestan maupun Katolik, melainkan untuk mendukung hubungan perdagangan dan sebagai upaya stabilitas politik.
8
Mawi, Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid 3. (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 21. 9
Ibid., hlm. 21, dan lihat Tridah Bangun, Manusia Batak Karo. (Jakarta: Inti Idayu Press, 1986), hlm. 49.
7
Daerah-daerah yang masih terikat dengan agama kepercayaan local, termasuk Tanah Karo juga sulit di masuki para misionaris. Misionaris dianggap ancaman bagi masyarakat yang terikat dengan warisan budaya dan ritual-ritual adat. Kebiasaan yang dianggap anismisme oleh misionaris seperti melihat hari baik dengan sistem kalender, alunan gendang dalam ritual adat, penghormatan terhadap roh nenek moyang, kebiasaan adat lainnya merupakan ancaman bagi mereka.10 Namun, usaha-usaha baik dan komunikasi yang intens terus dilakukan misionaris untuk menarik minat masyarakat Karo mengenal Kristen Prostestan dan Katolik. Dengan masuknya agama dari luar seperti Katolik ada perubahan pemikiran atau penetrasi kebudayaan dari luar terutama bagi pemeluk agama tersebut.11 Berangsur-angsur, salah satunya berkat usaha agama Kristen menyebarkan ajaranajarannya, animisme perlahan-lahan semakin ditinggalkan. Misionaris berusaha memberantas kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Kristen seperti pemujaan kepada arwah nenek moyang, magis dan lain-lain. Usaha nyata itu salah satunya berhasil menghapuskan benteng animism parbaringin di Tapanuli Utara tahun 1883 oleh Dr. Nomennsen pemimpin R.M.G. di Tanah Batak yang
mempengaruhi
pemerintahan
10
N. Siahaan, op.cit., hlm. 43-48.
11
Tridah Bangun, op.cit., hlm. 49.
Belanda
untuk
mengeluarkan
larangan
8
menyelenggarakan “sadjian bius” dan pembatasan memainkan instrument-instrumen musik Batak.12 Pada tahun 1925 beberapa keluarga Batak di Medan memberikan diri menjadi Katolik. Jumlah orang Batak yang menjadi Katolik terus meningkat sehingga pada tahun 1927 diangkat seorang pastor khusus bernama P. Marianus Spanjers untuk mengurusi pemeliharaan rohani orang Batak. Sejak bertambahnya permintaan orangorang Batak kepada misi Katolik maka sekarang tugas misi bertambah bukan hanya mengkristenkan orang Batak yang ada di kota dan daerah pantai saja melainkan juga yang ada di daerah asalnya.13
B.
Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian Dari latar belakang diatas, pokok permasalahan yang akan dikaji adalah
kristenisasi (misi Katolik) dan pengaruhnya dalam kehidupan sosial. Permasalahan tersebut akan dikaji dan dijawab melalui pertanyaan berikut: 1.
Bagaimana proses penyebaran agama Katolik pada masyarakat Karo?
2. Perubahan-perubahan sosial apa saja yang terjadi setelah masuknya Katolik di Tanah Karo.
12
N. Siahaan, op.cit., hlm. 43.
13
Mawi, op.cit., hlm. 24.
9
Sebagian orang Karo sekarang tidak suka apabila dikaitkan dengan Batak. Mereka mengatakan bahwa mereka bukan orang Batak melainkan Kalak Karo atau Orang Karo. Dalam kamus besar Karo-Indonesia kata “batak” memiliki arti pencuri.14 Mungkin hal ini juga yang menyebabkan sebagian orang Karo tidak suka bila mereka dikaitkan dengan Batak.15 Penyebutan Orang Karo menjadi Batak berasal dari masa kolonial Belanda. Mereka menganggap semua suku yang tinggal di bagian pedalaman Sumatera Timur adalah bangsa Batak baik suku Simalungun, Mandailing, dan Pakpak.16 Rita Smith Kipp menulis, julukan Batak dibuat oleh kolonial untuk membedakan mereka yang belum beragama dengan suku Melayu yang telah menjadi Muslim.17 Bagi orang-orang Melayu, julukan Suku Batak memiliki konotasi negatif yakni orang yang masih terbelakang, orang yang makan anjing dan babi. Menurut beberapa sumber, pencitraan buruk yang diberikan suku Melayu terhadap suku Batak menjadi salah satu jalan bagi Belanda untuk memecah belah kedua belah pihak yang memang sudah sejak lama bermusuhan. Beberapa sumber lain mengatakan jalan ini juga digunakan oleh misionaris untuk mempermudah penyebaran agama Kristen di 14
Darwin Prinst, Kamus Karo Indonesia. (Medan: Bina Media, 2002), hlm.
117. 15
Wawancara dengan N. J. Sembiring seorang budayawan Karo dan aktivis Gereja Batak Karo Protestan tanggal 10 Januari 2013 pukul 11.00 WIB di Bekasi. 16
Martil L. Peranginangin, Orang Karo diantara Orang Batak: Catatancatatan penting Tentang Eksitensi Masyarakat Karo (Jakarta: Sora Mido, 2004), hlm. 10. 17
Smith, Rita. Dissociated Identities: Ethnicity, Religion, and Class in an Indonesia Society. (Michigan: 1993), hlm. 189.
10
wilayah-wilayah pedalaman khususnya Tanah Batak termasuk Tanah Karo. Sebagian besar wilayah Karo pada saat itu masih memeluk agama si pemena. Penelitian ini dimulai dari tahun 1942. Masa ini merupakan masa yang sulit bagi para misionaris untuk menyebarkan misi Katolik. Para Misionaris tetap berusaha menghidupkan misi Katolik yang sudah dibangun dari kamp penahanan. Dalam hal ini peran serta umat sangat besar pengaruhnya. Tahun 1970 merupakan akhir penelitian ini karena pada tahun ini agama Katolik di Tanah Karo sudah berkembang pesat dan sudah menjadi gereja yang mandiri. Wilayah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah Kabanjahe, ibukota Tanah Karo. Pemilihan spasial Kabanjahe sebagai fokus penelitian didasarkan pada posisinya sebagai pusat penyebaran agama Katolik untuk wilayah Karo.18 Selain itu dalam waktu 68 tahun (1938- 2006) melalui catatan Keuskupan Agung Medan untuk wilayah Kabupaten Karo menempatkan Kabanjahe sebagai paroki dengan wilayah yang paling banyak jumlah umat dan stasinya. Tercatat sebanyak 35.905 orang dengan 67 jumlah stasi.19
18
Payung Bangun, Pelapisan Sosial di Kabanjahe. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1981), hlm. 50. 19
20.
Togar Naingolan, Evangelisasi di Tanah Karo. (Medan: Bina Media), hlm.
11
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan yakni: 1. Ingin menggambarkan proses masuk dan berkembangnya Katolik di Tanah Karo. 2.
Ingin menggambarkan dan menjelaskan kehidupan masyarakat Karo setelah proses penyebaran agama Katolik.
3.
Ingin menjelaskan bagaimana Katolik dapat bertahan di Tanah Karo dalam periode 1942-1970. Selain tiga tujuan diatas, penelitian ini ingin juga ingin memberikan
tambahan bagi sejarah lokal bagi perkembangan historiografi nasional. 20 Diharapkan pula penelitian ini bisa menarik minat para peneliti lain untuk mengkaji lebih dalam mengenai Katolik pada masyarakat Karo yang belum banyak dituliskan orang terutama para anak-anak Karo.
20
Salah satu cara untuk memperoleh informasi mengenai keragaman bangsa adalah melalui sejarah lokal, yang dikategorikan dalam dua bagian yaitu, 1) Sejarah Lokal Khusus, berupa dinamika intern yang terjadi di masing-masing daerah, berupa dinamika intern yang terjadi di daerah masing-masing, dan sejarah tingkat lokal (local level history), yakni bagaimana suatu aspek yang bersifat nasional terwujud didalam atau interaksi antara pusat dan daerah. Lihat T. Ibrahim Alfian, “Sejarah Lokal dalam Kurikulum Universitas: Sebuah Catatan Ringkas” dalam Konseptual Seminar Sejarah Lokal, (Jakarta: Dep. P dan K Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1983), hlm. 29.
12
D.
Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perkembangan gereja sudah banyak ditulis oleh kalangan
akademisi maupun non akademisi. Akan tetapi tulisan mengenai Katolik di Karo masih sangat jarang. Untuk memahami pergerakan misi Katolik di Tanah Karo maka harus dipahami dari sejarah lokal masyarakat Karo sampai perkembangan Katolik secara nasional karena gereja Katolik bersifat struktur dan memusat. Buku yang membahas tentang perkembangan Katolik di Tanah Karo sejak awal mula kedatangan misi hingga tahun 2008 adalah buku Mbuah Page Nisuan21 karya Pastor Leo Joosten. Buku ini berisikan data-data faktual mengenai pendirian gereja Katolik khususnya di Brastagi dan Kabanjahe. Buku ini juga menjelaskan tentang misionaris Katolik dan pendirian sekolah-sekolah Katolik. Buku ini juga menyajikan potret kerja kaum awam yang berperan penting dalam penyebaran agama Katolik sampai pendirian stasi-stasi di beberapa wilayah di Tanah Karo. Kendatipun demikian buku ini bukan kajian akademik sehingga kurang analisis. Selain itu dipublikasikan dalam jumlah yang terbatas dan untuk kalangan sendiri.
21
2006).
Pastor Leo Joosten, Mbuah Page Nisuan. (Brastagi: Museum Karo Brastagi,
13
Buku berjudul Tali Pengukur Jatuh ke Tanah Permai: Saudara-Saudara Kapusin Belanda, Swiss, dan India di Sumatera 1911-200522 merupakan buku yang menceritakan tentang perjalanan misionaris Katolik selama berkarya di Sumatera Utara khususnya para misionaris Belanda, Swiss, dan India. Buku ini merupakan karangan dari Pastor Leo Joosten, beliau adalah seorang misionaris Belanda yang berkarya di Tanah Karo hampir selama 44 tahun. Beliau banyak menghabiskan hidupnya untuk mempelajari tentang masyarakat Karo sampai masuknya agama Katolik di Karo. Sumber-sumber dalam buku ini diperoleh dari dokumenter pribadi yang didapatkan dari pastor-pastor Belanda yang pernah berkarya di Tanah Karo. Buku Evangelisasi di Tanah Karo23 merupakan buku yang menjelaskan pewartaan injil melalui kesaksian hidup para misionaris dan umat Katolik. Buku ini merangkum kisah-kisah para misionaris dan kaum awam selama menyebarkan agama Katolik ke tengah-tengah masyarakat Karo. Buku ini berisi curahan hati dan cara-cara yang harus di lakukan agar semua umat dapat merasakan dan menerapkan nilai-nilai Kekatolikan di Tanah Karo. Buku ini juga menjelaskan dengan singkat penyebab dan perubahan kepercayaan masyarakat Karo melalui sudut pandang Katolik.
22
Leo Joosten. Tali Pengukur Jatuh ke Tanah Permai: Saudara-saudara Kapusin Belanda, Swiss, dan India di Sumatera 1911-2005. (Medan: Bina Media: 2008). 23
2010).
Togar Nainggolanan, Evangelisasi di Tanah Karo. (Medan: Bina Media,
14
Buku Mekar di Buluh Awar: Kisah Masuknya Agama Kristen di Tengah Suku Karo dusun Deli di Buluh Awar24 adalah gambaran tentang karya Kristen sejak tahun 1890-1895. Kendatipun tentang perkembangan Protestan tapi melalui buku ini dapat diketahu tentang pergerakan karya para misionaris di Tanah Karo untuk pertama kalinya. Cara masuk dan peran serta para misionaris dalam membangun kepercayaan Kristen di tengah-tengah masyarakat Karo juga disajikan dalam buku ini. Ada pula sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti asing, Simon Rae. Penelitian ini dilakukan langsung di Tanah Karo dan menjadi bagian dari masyarakat Karo. Buku Roh Menjadi Angin Yang Lama dan yang Baru dalam Agama Karo25 adalah sebuah buku mengenai Perubahan sosial dan agama masyarakat Karo dalam konteks sejarah. Buku ini membantu memahami bagaimana dan mengapa masyarakat Karo menerima kedatangan para misionaris dan memilih untuk beragama Kristen. Buku ini menjelaskan perubahan-perubahan sosial masyarakat Karo baik dari segi sosial, politik, dan budaya khususnya pada GBKP (Gereja Batak Karo Protestan).
24
Mekar di Buluh Awar: Kisah Masuknya Agama Kristen di Tengah Suku Karo, Dusun Deli di Buluh Awar 1890- 1895. (Jakarta: Gunung Mulia, 2000). 25
Simon Rae, Roh Menjadi Angin Yang Lama dan yang Baru dalam Agama Karo. (University of Ottago, diterbitkan untuk kalangan sendiri).
15
Buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid 3 abad ke-2026 adalah buku yang diterbitkan oleh konferensi wali gereja Katolik dalam tiga jilid untuk menjelaskan secara singkat mengenai pergerakan misionaris Katolik di Indonesia. Jilid ke tiga dari buku ini membahas tentang daerah-daerah di luar Jawa seperti Sumatera, Nias, dan pulau-pulau kecil yang berada di Sumatera sejak abad ke-19. Buku ini memberikan gambaran perkembangan Katolik di wilayah-wilayah di Indonesia khususnya di Sumatera secara umum dan singkat khususnya di awal pergerakan misi Katolik disana. Buku Katolik di Masa Revolusi Indonesia27 membahas tentang kehidupan Katolik di Jepang sampai pemeritahan orde baru di Indonesia. Buku ini juga memberikan kontribusi pengaruh dari perang dunia kedua bagi pergerakan kaum misionaris Katolik Indonesia. Selain itu juga dijelaskan sedikit tentang kehidupan partai politik Katolik khusunya setelah kemerdekaan Indonesia. Skripsi yang menarik adalah karya Romulo Sinuraya.28 Skripsi ini berusaha memberikan gambaran tentang masuknya misi ke wilayah Karo serta perubahannya
26
Y. Weitjens, Sejarah Gereja Katolik Indonesia jilid 3a dan 3b: Wilayahwilayah Keuskupan dan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) Abad ke-20, (Jakarta: Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia, 1974). 27
Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia. (Jakarta: Grasindo, 1999).
Romulo Sinuraya, “Sejarah Perkembangan Agama Katolik dan Pengaruh terhadap Masyarakat di Tanah Karo 1890-1942”, Skripsi S1, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, 1986. 28
16
sejak tahun 1990-1942. Penelitian ini menyoroti proses penyebaran agama di setiap wilayah tanah Karo dan menjelaskan juga perubahan masyarakat Karo. Sayang sekali penelitian ini harus berhenti di tahun 1942 karena kesulitan mencari informasi yang lengkap tentang penahanan para misionaris. Tulisan mengenai perkembangan agama Katolik maupun perkembangan gereja Katolik di suatu wilayah memang sudah banyak disajikan, namun tulisan mengenai Katolik di Tanah Karo khususnya di Kabanjahe secara kajian akademik dan sesuai dengan prosedur penelitian sejarah belum ada yang menuliskannya khusunya sejak tahun 1942 sampai 1970an. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi sangat menarik dan penting untuk dikaji karena belum pernah dilakukan.
E.
Metode dan Sumber Penelitian Dalam melakukan penelitian dibutuhkan sumber yang diolah menjadi data
penelitian. Untuk memperoleh sumber tersebut maka diperlukan suatu langkah atau metode penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah terbagi menjadi lima tahapan yaitu tahap pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi/kritik, interpretasi, dan penulisan.29
29
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang, 2005), hlm. 90. Lihat juga Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 166.
17
Penelitian ini membahas tentang Katolik di Tanah Karo maka sumber-sumber tertulis seperti arsip, dokumen, buku, foto, majalah, data statistik gereja sangat dibutuhkan sebagai data penelitian. Selain sumber tertulis diperlukan juga sumber lisan untuk mendukung penelitian ini. Sumber lisan tersebut bisa diperoleh melalui wawancara. Untuk memahami tentang Katolik dan Kabanjahe maka dibutuhkan bacaanbacaan yang sesuai dengan tema. Bacaan tersebut menjadi acuan untuk mendapatkan fakta dan menjadi petunjuk untuk menemukan sumber-sumber lainnya. Sumbersumber lainnya yang dimaksud adalah arsip. Arsip yang dimaksud disini berasal dari arsip gereja Katolik Kabanjahe dan arsip Museum Karo di Brastagi. Selain arsip ada juga dokumen berupa catatan perjalanan, surat-surat resmi gereja, data statistik dan sebagainya. Tidak hanya dokumen, ada juga foto-foto untuk mendukung penelitian. Untuk mendapatkan semua sumber-sumber diatas maka penulis melakukan observasi, studi lapangan, dan wawancara. Langkah observasi dilakukan untuk merekonstruksi peristiwa dan suasana di masa lampau. Observasi tersebut berguna untuk melihat secara nyata dimana saja lokasi penelitian ini dilakukan dan tempattempat mana saja yang dapat diteliti lebih lanjut yang berkaitan dengan tema penelitian. Studi pustaka dilakukan perpusatakan FIB UGM, perpustakaan Jurusan
18
Sejarah UGM, perpustakaan Masri Singarimbun, perpustakaan Ignatius Kolosani, Sora Mido, dan Perpusnas. Studi pustaka juga dilakukan di daerah penelitian yaitu di perpustakaan Museum Karo Brastagi dan bagian arsip Gereja Katolik Santa Perawan Maria Kabanjahe. Untuk sumber lisan dilakukan wawancara dengan orang-orang gereja Katolik Kabanjahe yang ada di tahun 1948. Kebanyakan dari mereka adalah petugas gereja dan guru. Untuk mendapatkan orang-orang ini dilakukanlah deangan metode snow bowling yaitu melalui keterangan-keterangan dari para informan yang sudah diwawancarai. Wawancara yang dilakukan menggunakan bahasa Karo dan Indonesia. Kritik dalam penelitian ini sangat penulis butuhkan. Kritik yang dilakukan bersifat ektern dan intern. Kritik ektern adalah kritik yang dilakukan untuk membuktikan keaslian sumber dari bentuk fisik sumber tersebut sedangkan kritik intern adalah kritik yang dilakukan utuk membuktikan bahwa informasi dalam sumber tersebut dapat dipercaya atau credible. Sebelum melakukan penulisan sejarah maka dilakukan juga penganalisaan untuk mendukungnya menjadi fakta sejarah yang akurat.
F.
Sistematika Penulisan Penelitian akan dibagi kedalam lima bab. Bab pertama berisikan latar
belakang diadakan penelitian, sumber-sumber penulisan, tujuan penelitian, dan
19
metode yang akan di tempuh selama penelitian. Bab ini merupakan pengantar untuk memberikan gambaran umum Katolik di Tanah Karo dan alasan-alasan penting dilakukan penelitian ini. Sumber-sumber penulisan dan langkah-langkah yang akan di tempuh selama penelitian juga digambarkan supaya mudah untuk dipahami. Untuk memahami penyebaran agama Katolik di Tanah Karo di bab dua akan dijelaskan terlebih dahulu kondisi geografis dan kehidupan sosial masyarakat di Karo. Pada bab ini masyarakat Karo ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta agama si pemena. Untuk lebih mudah memahami bab selanjutnya maka pada bab ini akan dibahas juga mengenai awal masuk Katolik ke Tanah Karo. Setelah awal masuk Katolik di Tanah Karo dibahas, tulisan ini akan dilanjutkan ke bab tiga yang berisi mengenai perkembangan dan usaha-usaha yang dilakukan untuk mendirikan Katolik di Tanah Karo tahun 1942 sampai 1970. Selain itu akan dijelaskan juga mengenai pendirian sekolah-sekolah berbasis Katolik yang dipelopori oleh para misionaris dan kaum awam (umat Katolik yang aktif dalam kehidupan gereja). Pada bab ini tahun 1942-1970 akan dibagi menjadi tiga masa yang terjadi di gereja, yaitu masa krisis, masa membangun kembali dan masa mandiri gereja. Pembagian ini bertujuan mempermudah pembaca memahami proses penyebaran agama Katolik di Tanah Karo. Setelah mengkaji mengenai proses penyebaran agama Katolik sampai tahun 1970, akan ditampilkan pionir-pionir yang membangun Katolik di Tanah Karo pada
20
bab keempat. Bab ini akan menceritakan misionaris Katolik yang pernah berkarya di Tanah Karo dan peranan kaum awam dalam membangun Katolik. Selain itu akan dijelaskan pula mengenai kendala dan tantangan yang dihadapi misionaris dan katekis (kaum awam) dalam menyebarkan agama Katolik. Bab kelima dari penelitian ini kesimpulan yang merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian dan gambaran umum mengenai isi tulisan ini.