1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Sejarah perang kolonial Belanda di Aceh telah banyak ditulis orang, baik oleh sejarawan asing maupun sejarawan Indonesia. Memperbincangkan sejarah Aceh seperti tidak ada habisnya, apa lagi dalam sejarah perang Belanda di Aceh. Akan tetapi sejarah tentang marsose yang merupakan pasukan khusus di dalam perang Aceh itu belum banyak digali dan diteliti oleh para sejarawan. Begitu pula sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap pasukan khusus itu juga belum banyak diteliti dan dibahas, terutama dalam kehidupan keseharian mereka selama perang. Padahal pasukan marsose ini mempunyai andil yang besar dalam melemahkan perlawanan rakyat Aceh. Pembukaan terusan Suez memegang peranan penting dalam jalur perniagaan, karena memperpendek jarak komunikasi antara Eropa dengan Asia, bukan hanya jarak tetapi terutama dalam waktu. Biaya transportasi menjadi murah dan pasar untuk produk tropis meluas dengan sendirinya, karena harga dapat turun. Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran dan perniagaan semakin ramai. Kerajaan Aceh yang berada di ujung pulau Sumatra semakin memiliki posisi penting karena letaknya yang strategis.
2
Pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir, suatu kekuatan asing mungkin akan mendahului Belanda merebut kekuasan atas kerajaan Aceh. Pemerintah Belanda menganggap penting untuk memfokuskan pada pencegahan terjadinya segala kemungkinan darurat1. Kemudian pemerintah Belanda membuat perjanjian baru dengan Inggris yaitu Perjanjian Sumatra atau Traktat Sumatra, Hindia Belanda diperbolehkan menginvasi Kerajaan Aceh. Bermodalkan Traktat Sumatra ini, Hindia Belanda mulai menekan kerajaan Aceh supaya tunduk. Tindakan Hindia Belanda ini tentu saja ditentang keras oleh Kerajaan Aceh. Menghadapi keadaan ini kerajaan Aceh mulai mencari bantuan keluar negeri. Melihat hal ini yang bisa merugikan, Hindia Belanda segera mengambil tindakan dengan mempercepat maklumat perang pada tahun 1 April 1873. Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan armada perang ke Aceh di bawah pimpinan Jendral Kholer. Pasukan Hindia Belanda mendarat di pantai Cermin2. Usaha Hindia Belanda dalam rangka pasifikasi untuk menaklukkan wilayah Aceh mendapat perlawanan yang sengit dari kerajaan Aceh. Keraton dapat dikuasai Belanda pada 31 Januari 1874, yang ditandai dengan diambil alihnya kedudukan Sultan
Bernard H.M. Vlekke, Nusantara: A History of Indonesia, (Leiden: The Hague, 1959), hlm. 310-18. 1
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1, (Medan: Harian Waspada, 1981), hlm.758. 2
3
Aceh oleh
van Swieten3. Akan tetapi, dengan jatuhnya istana
kerajaan ke tangan Belanda, tidaklah mengakibatkan kerajaan Aceh mau menyerah. Meskipun kerajaan Aceh tidak punya tentara yang kuat dan persenjataan yang lengkap dan modern. Hal ini menjadi pengalaman baru bagi Belanda yang berbeda dengan yang terjadi di daerah-daerah lain. Pasukan Hindia Belanda terus menggempur dan mengejar pasukan kerjaan Aceh. Sultan dan para pimpinan mengungsi ke daerah Lueng Bata, dan mendirikan kubu pertahan baru sambil terus
melakukan
perlawan.
Sedangkan
diluar
Aceh
Besar,
kenegerian keulebalang banyak yang masih masih berperang dengan Hindia Belanda. Ketika banyak tokoh pimpinan Aceh yang gugur dan menyerah, komando pimpinan perlawanan diambil alih oleh para ulama dengan mengobarkan semangat perang sabil. Disini bisa dilihat sebenarnya pimpinan perlawanan ada dua golongan, yaitu Teuku kaum bangsawan dan Teungku kaum ulama. Maka rakyat Aceh mulai melancarkan perang gerilya menyerang kubu-kubu pertahan tentara Hindia Belanda. Menurut
Snouck
Hurgeronje,
rakyat
Aceh
yang
taat
beragama Islam tidak mungkin mau menyerah kepada Belanda sebelum ditundukkan dengan kekerasan. Snouck Hurgronje berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 18731912, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hlm 68 3
4
yang muslim itu4. Sejalan dengan nasehat Snouck Hurgroje, taktik perang frontal dilancarkan oleh van Heutsz yang telah menguasai sebagian uleebalang, namun rakyat tidak patah semangat untuk melakukan perlawanan. Bagi rakyat Aceh, perang gerilya menjadi suatu keharusan. Menurut Nasution perang gerilya adalah induk tenaga perang, suatu gerilya yang semesta dengan politik non-koperasi: suatu politik bumi hangus, yang mampu membuntukan perang kolonial. Perang gerilya harus mampu berdefensif untuk mempertahankan front yang tetap. Perang gerilya juga merupakan perang ideologi, semangat kemerdekan menjadi sumber kekuatan dan daya tahan untuk memulai peperangan melawan musuh yang kuat dan teratur dengan segala tentaranya. Maka hanya ideologi dan semangat kemedekan yang dapat melangsungkan perang gerilaya dalam tempo yang lama, kesadara yang suci dapat mengikat para gerilyawan yang bergabung mengangkat senjata, semata-mata atas panggilan jiwa5. Dengan demikian gerilyawan Aceh kemudian mengobarkan semangat ideologi perang sabil atau perang suci. Hal
ini
tentu
saja
menjadi
problem
tersendiri
yang
nampaknya tidak terpecahkan oleh Belanda. Ketika mereka H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm 11. 4
A.H. Nasution, Pokok-Pokok Perang Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di masa yang Lalu dan yang Akan Datang, (Bandung: Angkasa, 1980), Hlm 4-16. 5
5
mendapat beberapa kemenangan dan berusaha untuk berunding, perang segera pecah lagi. Basis-basis kekuatan perlawanan diambil alih oleh para ulama dengan melakukan perang gerilya. Perang
gerilya
juga
merupakan
perang
ideologi,
semangat
kemerdekaan, menjadi sumber kekuatan dan kesanggupan untuk memulai peperangan melawan musuh yang kuat dan teratur dengan segala tentaranya. Perang gerilya adalah perang rakyat, perang gerilya lahir dan tumbuh di atas haribaan rakyat yang berjuang, gerilya berjuang dengan bantuan, pemeliharaan dan perlindungan rakyat pula. Walaupun tidak semua rakyat ikut terlibat di dalamnya6. Sedangkan menurut K. van der Maaten, perang gerilya atau perang rakyat, seluruh rakyat mendapat mendapat bagian yang aktif dan pasif dalam peperangan itu. Setiap laki-laki, wanita bahkan anak-anak dipandang sebagai lawan. Mereka bukan menaruh hormat kepada pemimpin mereka, melainkan karena kenyakinan agama mereka yang mendalam dan kebencian kepada kafir. Singkatnya perang gerilya atau perang rakyat merupakan ungkapan kebencian rakyat yang paling meluap-luap7. Dalam perang gerilya ini partisipasi rakyat sangat berperan
6
A.H. Nasution, ibid, hlm 15-21.
PDIA, Watak Peperengan Bangsa Indonesia Berbagai-bagai Daerah (Suatu Perbandingan), Seri Informasi Aceh Tahun II, No. 9. Alih Bahasa: Aboe Bakar, (Banda Aceh: PDIA, 1978), hlm. 3-13. 7
6
penting untuk mencapai kemenangan. Dalam perang rakyat, kesatuan-kesatuan partisan, baik yang terdiri dari pasukanpasukan yang teratur maupun rakyat melakukan perlawanan atas inisiatif
sendiri,
disamping
kelompok-kelompok
rakyat
yang
bersenjata. Perang partisan sering dilakukan tanpa turut sertanya rakyat dalam peperangan. Namun mereka tak dapat melepaskan diri dari bantuan rakyat, misalnya rakyat menyetujui tempat kedudukan dan pertahanan mereka, dan rakyat memberi tahu kedudukan
musuh
kepada
mereka,
dan
sebagainya.
Para
pemimpin kesatuan partisan adalah pemimpin-pemimpin pasukan yang mandiri yang bertindak dan melakukan perang kecil seluruhnya dengan kekuatan kecil. Gerilyawan Aceh mendapatkan sekutu-sekutu yang baik dan mereka sangat menguasai medan. Letak kampung dan rumah, mereka kenal dengan baik. Tidak adanya jalan-jalan raya sangat menyulitkan Belanda untuk menggerakkan pasukan dengan cepat8. Meskipun satuan-satuan gerilya tidak tahan bertempur lama melawan pasukan-pasukan yang teratur, mereka dapat juga merugikan musuhnya. Gerilyawan dan pada umumnya rakyat yang
bersenjata
menghindari
petempuran
tanpa
kesukaran.
Mereka menyerang dengan tiba-tiba dan segera mengundurkan diri bila mereka menghendaki, tanpa terikat pada tempat-tempat
8
T. Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 20
7
tertentu
untuk
berkumpul.
Mereka
mengundurkan
diri
ke
pegunungan dan menyediakan logistik dengan menanamnya di dekat tempat persembunyiannya. Mereka menuruti inisiatifnya sendiri dengan memulai petempuran bila mereka menganggap ada kesempatan yang baik. Gerilyawan Aceh menjalankan pelbagai tipe siasat, seperti siasat tipu. Banyak sekali tipu-muslihat yang dapat didasarkan kepada kepentingan hidup serdadu musuh. Berkecamuknya perang gerilya dalam tempo cukup lama dengan memakan korban dan biaya yang mahal, memaksa pemerintah Hindia Belanda mengubah stretegi militer mereka. Pihak militer Hindia Belanda harus mengunakan strategi anti gerilya. Menurut Nasution perang anti gerilya adalah usaha pasifikasi, dan pasifikasi adalah terutama usaha membangun, sedangkan perang biasa adalah terutama untuk menghacur. Dalam menghadapi perang gerilya, harus menyadari sumber kekuatan gerilya, menyadari akar-akar perkembangan gerilya. Menghadapinya dengan susunan dan cara-cara yang juga bersifat totaliter di segala lapangan perlawanan gerilya itu. Tujuan pokok dalam anti gerilya adalah memisahkan rakyat dari gerilya. Hanya atas dasar ini dapat berhasil tindakan anti gerilya secara militer9. Untuk mengatasi perang gerilya, atas usulan Muhamad Arif, seorang jaksa kepala di Kutaraja kepada gubenur militer Aceh saat
9
A.H. Nasution, op. cit., hlm. 51
8
itu, Jenderal Van Teijn, dan kepala stafnya Kapten J.B. van Heutsz untuk membentuk pasukan khusus. Maka Belanda kemudian membentuk sebuah pasukan khusus yaitu marsose. Anggota pasukan ini direkrut dari tentara yang betul-betul memiliki keberanian tinggi
dan rasa percaya
diri dan tidak
hanya
mempercayai senapan mereka, tetapi berani menghadapi lawan dengan senjata tajam10. Perwira militer mereka ini memerlukan pemahaman latar belakang yang luas mengenai kebudayaan secara
umum
yang
benar-benar
harus
dikuasai.
Metode
mengorganisasi dan menerapkan kekerasan di tahapan sejarah manapun berkaitan erat dengan keseluruhan pola kebudayaan masyarakat11. Pasukan ini direkrut dari orang-orang bumiputra atau inlander, terutama dari Ambon dan Menado. Mereka mempunyai keberanian individual yang sama seperti orang Eropa dan disamping itu menguasai ketrampilan yang mutlak diperlukan dalam perang kontra gerilya. Mereka mampu melacak jejak, sanggup hidup sementara waktu di rimba Sumatra dengan makan
10
H.C. Zentgraaff, Aceh (Jakarta: Buana, 1983), hlm. 469.
Samuel P. Huntington, Prajurit dan Negara:Teori dan Politik Hubungan Sipil-Militer, (Jakarta:Grasindo, 2003), hlm 11. 11
9
hasil hutan dan memiliki bakat mahir menentukan arah mata angin12. Pasukan ini dibentuk pada tahun 1890, diluar formasi militer, dengan tugas-tugas kepolisian dan apabila diperlukan ikut serta dalam tugas perang. Sama halnya dengan negara-negara kolonial lain, polisi sering bertindak sebagai kolabolator tentara dan mereka melaksanakan fungsi polisional maupun militer13. Dalam prakteknya korps marsose ini adalah kesatuan militer pilihan yang umumnya beroperasi dalam unit-unit kecil yang sangat mobil, dan bersifat ofensif. Senjata utama korps marsose adalah kelewang atau malah rencong sejata tajam khas Aceh, dalam keadaan terpaksa barulah digunakan senjata api. Mereka melawan gerilya dengan gerilya. Pasukan khusus ini resmi dibentuk pada 2 April 1890 dengan surat keputusan pemerintah Hindia-Belanda. Namun demikian, korps tersebut baru betul-betul terwujud beberapa bulan kemudian, dan baru pada Desember 1895 betul-betul menjadi pasukan para-komando. Komandan pertamanya ialah Kapten G.W.J. Graafland. Sistem defensit yang ditempuh militer Belanda saat itu, dalam menghadapi pejuang-pejuang Aceh mulai
Paul van ’t Veer, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hlm. 143. 12
Amos Perlmutter, Militer dan Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hlm 40. 13
10
ditinggalkan. Sistem defensif ini dikenal dengan sistem lini konsentrasi. Pihak Belanda mulai menambah pos-pos sementara diluar garis pertahanan kosentrasi dengan alasan untuk menjaga keamanan dan melindungi kampung-kampung yang bersahabat dengan Belanda. Sistem pos-pos ini sama dengan sitem Stelsel Benteng pada saat perang Jawa (1825-1830). Konsepsi stelsel Benteng adalah penguasaan teritorial atau penaklukan total. Jika keamanan bisa ditegakkan, diharapkan perekonomian rakyat akan pulih dan pajak-pajak bisa dipungut kembali. Aspek kultural diasosiasikan kepada tentara adalah menghormati kepercayaan dan
budaya
setempat.
Aspek
psikologi
terutama
untuk
melunakkan sikap fanatik lawan14. Intruksi yang diberikan Grafland kepada anak buahnya sangat tegas. Pasukan itu harus maju terus pantang mundur dalam front yang selebar mungkin, dan baru mendekat betul, serangan dilancarkan tanpa menunggu perintah. Hindari tempat terbuka, lebih baik bertempur di dalam kampung daripada di sawah15. Dalam memperebutkan benteng Aneuk Galong, Aceh Besar pada 28 Juni 1896, Marsose melancarkan serangan mendadak. Serangan tiba-tiba terhadap benteng ini dianggap oleh Saleh A. Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponogoro: Stelsel Benteng 1825-830, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2004), hlm 86. 14
P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm 316. 15
11
Hindia Belanda sebagai salah satu lembaran terindah dalam sejarah korps marsose. Sedangkan bagi pihak Aceh, pertempuran ini sangat merugikan mereka. Hindia pasukan
Belanda
untuk
Pemerintah
menghendaki
cepat
mengatasi
Hindia-Belanda
sambil
penambahan pelawanan menantikan
kekuatan
rakyat
Aceh.
persetujuan
Pemerintah Pusat di negeri Belanda, pada tahun 1897 menambah korps marsose hingga menjadi lima opsir dan 365 bintara16. Ditetapkan
pula
bahwa
korps
ini
disamping
untuk
dinas
kepolisian diberi tugas pula melakukan perang kecil. van Heutsz dengan aktif mengejar pasukan Aceh kemana-mana, seranganserangan pasukan Aceh makin berkurang. Sebagian besar wilayah Aceh Besar dan pesisir Utara Aceh mulai dapat diatasi dari perlawanan rakyat Aceh dalam skala besar. Untuk menguasai wilayah Aceh secara keseluruha secara dan cepat, pasukan marsose melakukan ekspedisi-ekspedisi ke pedalaman dan bagian Selatan Aceh. Tugas untuk menguasai wilayah Barat-Selatan, van Heutsz menugaskan Letnan Colijn untuk memimpin pasukan marsose dalam melakukan ekspedisi. Pasukan marsose mengadakan patroli-patroli secara intensif supaya pejuang-pejuang segera berdamai, Belanda menbuntuti dan menangkap keluarga mereka. Pihak Belanda tidak henti-
16
T. Ibrahim Alfian, op, cit. hlm 191.
12
hentinya melakukan aksi patroli; pada kedua belah pihak terlihat keberanian, siasat dibalas dengan siasat17. Kini tinggal perlawanan perorangan yang berada di hutan dan di gunung-gunung. Tugas pengejaran terhadap beberapa pejuang dalam wilayah Tapak Tuan, tempat timbulnya perlawanan yang tersembunyi daripada terang-terangan, terus dilakukan pihak Belanda. Berkat usaha Belanda yang teguh berangsur-ansur perlawanan rakyat Aceh mulai mereda. Penaklukan ke wilayah pedalaman Aceh dipimpin langsung oleh Letkol G.C.E. van Daalen untuk menguasai daerah Gayo dan Alas. Serangan ke daerah Gayo dan Alas dilakukan pada tahun 1904. Pasukan marsose ini bergerak dari jurusan Utara menuju tanah Gayo. Dalam menghadapi perlawanan rakyat Gayo, van Daalen memerintahkan membakar lobang-lobang perlindungan, membakar rumah-rumah di dalam benteng, sehingga banyak pejuang-pejuang
Gayo
mati
terpanggang
di
dalam
tempat
persembunyiannya18. Setelah dapat menundukkan daerah Gayo, marsose menuju ke daerah Alas. Jatuhnya benteng Lengat Baru maka secara PDIA, Sejarah Pendudukan Belanda di Tapak Tuan dan Daerah-Daerah Kenegerian di bahagian Selatan Daerah Aceh, Seri Informasi Aceh Tahun IV, No. 2. Alih Bahasa: Aboe Bakar, (Banda Aceh: PDIA, 1980), hlm 28. 17
H. M. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hlm, 180. 18
13
militer seluruh tanah Alas telah jatuh ke tangan Belanda. Dalam melakukan ekspedisi ke Gayo dan Alas ini, marsose telah melakukan kekejaman dan teror, yang menyebabkan ratusan orang
laki-laki
dan
perempuan
serta
anak-anak
terbunuh.
Menurut perhitungan diperkirakan kurang-lebih, 17.000 orang Aceh atau 15% dari penduduk Aceh terbunuh oleh korps Marsose19. Seperti halnya kehidupan rimba, kehidupan marsose dan opsir-opsirnya hidup dalam emosi, ketegangan, kebahagian dan kekecewaan datang silih berganti karena sukses dan kegagalan, antara pujian dan dukacita. Akan tetapi pada seorang marsose, baik opsir, bawahan opsir, ataupun prajurit akan mengingat kembali kepahitan hidup berpetualang dalam rimba raya ketika mereka mendapat tugas yang dibebankan pada mereka. Aksi pertempuran terhadap lawan memberi sedikit ikatan antara opsir dan bawahan untuk tetap bertahan hidup. Semua ini membawa rasa persaudaraan yang kuat untuk saling membantu dalam menghadapi bahaya dan medan yang sulit.20
Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas: dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm 6 19
M.H du Croo, Marechaussee in Atjeh. Hereinneringen en Ervaringen van den Luitnant en Kapitein van het Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden H.J. Smhmidt, van 1902-1918, (Maastricht: Leiter Nypels, 1943), hlm 44. 20
14
Perang dalam skala besar memang tidak lagi terjadi di Aceh, tetapi perlawanan dalam kelompok kecil dan perseorangan masih berlanjut. Rasa benci terhadap Belanda masih tertanam kuat dalam hati. Dari segi sosial-psikologis, kecenderungan ini tampak pada gejala Atjeh moorden, usaha pembunuhan yang dilakukan secara individual terhadap pejabat pemerintah kolonial yang kafir. Aceh telah dikalahkan, tetapi jiwanya terus melawan21. Tindakan pembunuhan ini seperti yang dialami oleh Kapten marsose E.C.H. Schmid yang ditikam sampai mati, oleh orang Aceh22. Mengingat keadaan mentalitas orang Aceh saat itu, Gubenur A.H. Philips menyarankan, bahwa “tunjuk kekuasaan” oleh tentara perlu dipertahankan sampai beberapa tahun lagi23. Hanya dengan jalan itulah yang dapat mempertahankan ketentraman dan ketertiban.
Taufik Abdullah. 1987. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, hlm 173. 21
Aboe Bakar (alihbahasa), Terbunuhnya Kapten Marsose E. CH. Schmid dan Masalah Latar Belakang Terjadinya “Pembunuhan Aceh”, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1978), hlm 7. 22
Aboe Bakar (alihbahasa), Memori Umum Daerah Aceh oleh Gubenur H.N.A. Swart dan Memori Serah Terima Jabatan Gubenur A.H. Philp, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan InformasiAceh, 1979), hlm 18 23
15
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian Permasalahan pokok yang dibahas dalam tulisan ini ialah aspek militer dan kehidupan sosial marsose sebagai pasukan anti gerilya dalam menghadapi para gerilyawan Aceh pada tahun 1890 sampai 1942. Untuk menjelaskan permasalahan tersebut, akan dijawab melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah yang disebut pasukan marsose itu dan mengapa korps marsose mesti dibentuk di Aceh dan siapa saja yang menjadi anggota pasukan itu? 2. Strategi apa yang di gunakan dan bagaimana cara pasukan marsose menghadapi perang gerilya? 3. Perubahan fungsi apa pada marsose setelah perang besar Aceh atau perang gerilya berakhir? 4. Bagaiman interaksi sosial anggota korps marsose selama melakukan operasi militer? Penelitian ini akan merekonstruksi pergerakan pasukan marsose, sebagai sejarah politik militer di Aceh. Untuk itu haruslah dipahami terlebih dahulu kondisi kedaerahan tempat pasukan marsose dibentuk dan melakukan aksi militernya yaitu seluruh wilayah Aceh. Batas awal penelitian ini adalah tahun 1890 yaitu, waktu sebelum tahun tersebut tertahanya langkah militer Hindia Belanda dalam lini konsentrasi, karena perlawanan sengit gerilyawan Aceh. Akibatnya pemerintah Hindia Belanda harus
16
membentuk krops marsose, dan diakhiri tahun 1942, yaitu pada saat Belanda meninggalkan Aceh, maka berakhirlah kekuasan Hindia Belanda, dan secara otomatis berakhir pula peran pasukan marsose. Tulisan tentang marsose ini dapat dikategorikan sebagai sejarah militer, Sejarah militer merupakan sejarah perjuangan dan sarana-sanaran perjuangan: organisasi dan mentalitas militer, logistik, persenjataan dan perlengkapan, perencanaan strategi, latihan taktik dan prilaku dalam pertempuran. Sejarah militer tak dapat dipisahkan dari sitem-sistem sosial, kondisi fisik dan ideology mereka24. Sejarah militer dapat diredefiniskan sebagai perluasan ruang lingkup sejarah politik. Militer adalah sebuah alat untuk mencapai kekuasaan, sedangkan kekuasaan pasti ada dimana-mana, bukan hanya milik pemerintah dan negara. Militer secara politik juga sangat dipengaruhi
atau diperalat oleh
masyarakat. Secara struktural dan kultural, militerisme yang terbentuk di dalam masyarakat bukan hanya dikehendaki oleh tentara melainkan juga nilai yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri sebagai bagian dari praktek kekuasaanya25. Redefinisi ini
Yuliet Gardiner, Sejarah Dewasa Ini, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hlm.15-8. 24
Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris?, (Yogyakarta: Ombak, 2005), hlm. 196. 25
17
bisa digunakan untuk menarik kebawah, ke sejarah politik tingkat-lokal26.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk dapat menjelaskan dan mendeskripsikan tentang sejarah perang Aceh. Perang Aceh selama ini selalu dilihat sebagai perang antara pihak kolonial Belanda dengan orang-orang Aceh saja. Dalam perang Aceh, kondisi internal dan dinamika sosial-ekonomi masyarakat Aceh juga bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya perang ini. Melalui peranan pasukan marsose yang anggotanya melibatkan orang-orang perang
pribumi
Aceh,
tidak
menghadirkan
gambaran
secara
putih
hitam
baru.
dimaknai
Bahwa sebagai
perlawanan orang-orang Aceh terhadap orang-orang Belanda, karena juga melibatkan pihak-pihak lain yang menjadi pasukan kolonial. Lagi pula dalam gambaran masyarakat Aceh dewasa ini, perang Hindia Belanda di Aceh, pihak Aceh tidak pernah kalah dalam perang tersebut, pada hal kalau ditinjau secara kritis dalam proses sejarahnya tidaklah demikian. Sejarah tentang sepak terjang pasukan marsose menarik untuk diteliti. Hal ini mengingat bahwa tulisan-tulisan yang berkenaan dengan objek tersebut masih kurang. Padahal peran Kuntowijoyo, Metodologi Wacana, 2003), hlm. 176. 26
Sejarah,
(Yogyakarta:
Tiara
18
korps marsose ini cukup punya andil besar dalam perang Hindia Belanda di Aceh dalam rangka menundukkan perlawanan rakyat Aceh. Berangkat dari asumsi bahwa banyak peristiwa lokal di Aceh yang luput dari pengetahuan sejarah masyarakat, maka kajian ini memiliki arti penting dalam
rangka memperkaya khazanah
historiografi Indonesia. Karya sejarah mengenai korps marsose sangat berguna terutama bagi mereka yang berminat meneliti perkembangan kekuatan militer dan khususnya tentang pasukan para komando di tiap negara.
D. Tinjauan Kepustakaan Sampai sekarang ini sejarah tentang perang Aceh memang telah banyak melahirkan karya tulis. karya-karya tersebut. Diantaranya,
L.F. van Gent, Tjarita Peperangang ing Atjeh, J.C.
Lamter, J.B. van Hautsz, J.W.F. Herfkens, De Atjeh-Oorlog van 1873 tot 1898, J.C.J. Kempees, De Toch van Overste van Daalen door de Gayo Alas en Bataklanden 8 Febuari-23 Juli 1904, Ali Hasymy, Hikayat Prang Sabil Menjiwai Perang Melawan Belanda, E.S. de Klerck, De Atjeh –Oorlog. Het Ontstaan van der Oorlog, Akan tetapi, penelitian mengenai pasukan marsose dalam perang Belanda di Aceh, memang ada yang telah dilakukan oleh sarjana atau peneliti Indonesia maupun luar negeri. Akan tetapi, kajian
19
penelitian mereka lebih banyak menitik beratkan pada aspek politik. Sedangkan aspek sosial kehidupan keseharian anggota pasukan marsose balum banyak di kaji. Ada beberapa kepustakaan yang terdekat dengan topik yang dibicarakan dalam tulisan ini. Diantaranya tulisan T. Ibrahim Alfian, Paul van ’t Veer, H. C. Zentgraaff, Anthony Red, J. Piekaar, Mohammad Said, H.M. Gayo. T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, memfokuskan pada unsur perang perang gerilya, dan menjadi faktor yang menentukan dalam perlawanan terhadap Belanda. Penelitiannya menjelaskan sumber kekuatan rakyat Aceh dalam melawan Belanda yaitu ideologi perang sabil. Cara para ulama membangkitkan semangat perang sabil dan menjadikannya sebagai bagian kesadaran kemederkaan. Karya-karya sastra yang ditulis selama perang dan tulisan tulisan para ulama dibicarakan dengan baik dalam buku ini. Studi ini juga memperlihatkan terjadinya peralihan dalam sistem kepemimpinan Aceh. Namun dalam disertasinya tersebut aspek ekonomi dan diplomasi kurang dibahas. Perang gerilya rakyat Aceh juga terlalu digeneralisasi . Padahal terdapat beberpa golongan gerilyawan, dan perang prajurit kerjaan Aceh seperti terabaikan, padahal pasukan inilah yang pertama kali melawan Belanda.
20
Sedangkan Paul van’t Veer dalam bukunya Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, memfokuskan pada perang rakyat Aceh yang melawan Belanda. Penelitiannya mengisahkan semangat juang atau heroisme rakyat Aceh dalam menghadapi tentara kolonial, sehingga tentara Hindia Belanda tertahan di lini kosentrasi. Sampai Akhirnya Belanda harus membentuk pasukan anti gerilya untuk melawan perlawan pihak Aceh. Penelitannya memaparkan kekejaman selama berlangsungnya perang Aceh. Kekejaman ini banyak dilakukan oleh pasukan marsose dalam menaklukan perlawanan rakyat Aceh, terutama sekali pada waktu Van Heutsz dan kemudian Vab Daalen yang mengantikanya memimpin ekspedisi pasukan marsose ke seluruh Aceh. Snouck Hurgronje yang menjadi penasehat Van Heutsz keliru dalam menilai perlawan rakyat Aceh. Pengetahuanya tetang Islam telah memberinya kenyakinan rakyat yang beragama yang fanatik ini akan tunduk menghadapi lawan yang jauh lebih kuat, operasi militer bisa singkat saja masanya. Persoalnya, bukan hanya masalah keyakinan agama, tetapi juga pranasionalisme, hasrat kemerdekaan
perjuangaan
sosial
terhadap
pemuka-pemuka
feodal. Snouek keliru dalam memperhitungkan akibat-akibat militer. Dalam bukunya Veer membagi empat perioderisasi dalam perang Aceh, namun tidak dijelaskan alasan perioderisasi itu. C. Zentgraf dalam bukunya Aceh lebih banyak menulis
21
tentang keadaan situasi perang dan kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh, gambaran geografi wilayah. Orang-orang Aceh digambarkan, baik pria maupun wanita pada umumnya telah berjuang dengan gigih yang mereka pandang sebagai kepentingan agama dan nasional mereka. Pada rakyat Aceh banyak terdapat pejuang-pejuang wanita yang tidak kalah beraninya dengan kaum pria. Walaupun ada dikalangan orang Aceh yang penakut dan pengkhianat bangsanya. Dalam bukunya ini, banyak dibahas tentang anggota marsose pada waktu menjalankan tugas patroli, kehidupan mereka di bivak yang penuh dinamika. Pahit gentir marsose di hutan rimba yang harus mereka jalani, suka duka, dan tekanan mental yang bisa menyebabkan pada kegilaan. Uraian penjelasannya tidak runut secara sistimais, untuk mendalami satu masalah kadang kita harus kembali ke bab belakang atau kebab depan. Anthony Red dalam bukunya The Contest for North Sumatra; the
Nederlands
Britain,
1858-1898,
menfokuskan
pada
menjelaskan konflik antara Aceh dengan Belanda, serta Inggris ikut
campur
perdagangannya
untuk di
mempertahankan
Sumatra
bagian
Utara.
kepentingan Persaingan
perdagangan antara Inggris dengan Belanda untuk menguasai pantai Utara Sumatra semakin ketat. Belanda merasa khawatir Aceh berda di bawah pengaruh hegomoni asing lain, segera
22
melakukan langkah lobi-lobi diplomasi dengan Inggris untuk bisa menguasai Aceh, sampai akhirnya Belanda melancarkan perang ke Aceh. Penelitiannya menyangkut perpolitikan internasional di Sumatra bagian Utara, hanya dibatasi sampai tahun 1898. J. Piekaar, Aceh dan Peperangan dengan Jepan, Jilid 1, menitik beratkan pada keadaan politik Aceh pada saat terakhir kekuasaan Hindia Belanda sebelum penyerbuan dan pendudukan Jepang. Dalam bukunya ini mengkaji keadaan politik di Aceh selama tahun tahun terakhir sebelum pecahnya perang Dunia II. Aksi-aksi pemberontakan terhadap Hindia Belanda mulai sering terjadi. Masuknya aliran-aliran politik ke Aceh di era tahun 1920 an semakin memperkuat kebangsaan. Aliran keagamaan reformis juga mulai bangkit dengan mendirikan pesatuan Ulama atau PUSA. PUSA inilah yang kemudian memengang peran penting dalam menghadapi Belanda dan mengambil alih kekuasan atas kaum feodal atau uleebalang. H.M. Gayo, Perang Gayo-Alas Melawan Kolonialis Belanda, buku ini menguraikan tentang geografi, sistem politik, budaya tanah Gayo dan Alas secara singkat. Menjelaskan peranan rakyat Gayo dan Alas dalam perang Aceh saat melawan Belanda. Daerah Gayo kemudian menjadi basis persembunyian dan perlawanan gerilyawan Aceh setelah tedesak dari daerah pesisir. Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu menaklukan segera daerah Gayo dan
23
Alas. Maka marsose dibawah pimpinan Van Daalen dikerahkan untuk melakukan ekspedisi kedaerah tersebut. Pasukan marsose mendapat
pelawanan
dari
gerilyawan
daerah-daerah
itu.
Persenjatan tidak memadai dan kebanyakan masih menggunakan senjata tajam, pengalaman perang mereka juga masih kurang dibanding rekan mereka dari daerah pesisir. Pasukan marsose menaklukan satu-persatu benteng pertahanan gerilyawan dengan cara keras dan kejam. Ekspedisi marsose ini banyak memakan korban di daerah Gayo dan Alas. Dengan ditaklukannya benteng pertahan terakhir di Alas, maka perang gerilya mulai berakhir. Namun dalam pejelasan buku ini, kajiannya kurang tajam, hanya tertumpu pada perang, luput pada aspek-aspek lain. Meski pun demikian buku ini menjadi penting, di karenakan minimnya sumber-sumber sejarah tentang dua daerah tersebut. H.M. Nur El Ibrahimy, Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, fokus kajian buku ini langkah diplomasi politik internasional kerajan Aceh, khususnya dengan negara-negara Eropa. Kerajaan Aceh telah lama menjalin hubungan diplomasi dengan negara Eropa, pada tahun 1601 Aceh mengirim utusan balasan ke Belanda. Aceh juga menjalin hubungan dengan Turki, Inggris, dan terakhir dengan Amerika. Pada saat konflik kerajan Aceh dengan Belanda, Aceh mencari dukungan politik internasionl untuk mencegah agresi Belanda. Dua buah perutusan dibentuk
24
dan di kirim kenegara yang bersahabat. Yang pertama di kirim ke Turki, dan yang kedua dikirim ke Singapur. Sayang diplomasi ini tidak memuaskan dan bisa dikatakan gagal. Belanda akhirnya pada tahun 1873 mengeluarkan maklumat perang terhadap Aceh setelah ada traktat Sumatra antara Inggris dengan Belanda. Kajian diplomasi
kerajaan
Aceh
ini,
hanya
sampai
pada
Belanda
mengumumkan perang. Informasi diplomasi selanjutnya tidak diketahui lagi, padahal saat perang terjadi kasus penyanderan kapal Nisero harus di selesaikan dengan cara diplomasi. Mohammad Said dalam Bukunya, Aceh Sepanjang Abad, lebih menitik beratkan pada aspek politik dan perang rakyat Aceh melawan Hindia Belanda. Said mendeskripsikan perlawanan total rakyat Aceh dalam peperangan menghadapi agresi Belanda sampai dengan perang gerilya, dengan mengunakan perspektif Indonesia sentris. Faktor yang menonjol dalam perang gerilya rakyat Aceh dalam menghadapi Belanda adalah semangat perang sabil, kehormatan dan rasa kemerdekaannya. Dalam buku ini banyak memuat fakta perang Aceh, buku ini bisa menjadi pegangan untuk dapat mengenal sejarah Aceh dalam garis besar. Ada dua buku yang khusus berkenaan denga peran marsose yaitu: A. Struyvenberg, Korps Marechaussee op Atjeh, Overzicht van de Gescheidenis van af de oprichting tot en met 1913, yang merupakan buku pertama kali menulis tentang korps marsose.
25
Kajiannya berupa sejarah singkat marsose, fukos utamanya tentang operasi militer marsose dalam perang Aceh. Akan tetapi dalam tulisanya ini tidak membahas keseharian anggota marsose di luar peperang. Padahal ini sangat penting untuk mengetahui apa saja kegiatan mereka sehari-hari, selain ekspedis dan patroli militer mereka. M.H. du Croo, Marechaussee in Atjeh Hereinneringen en Ervaringen van den Luitnant en Kapiten van het Korps Marechausse van Atjeh en Onderhoorigheden H.J. Scmidt, van 1902 tot 1918, fokus utama buku ini tentang peran marsose dalam kancah perang Aceh. Dalam kajian du Croo membahas pengalaman Scmidt, mulai saat dia datang ke Aceh untuk menjadi anggota korps marsose. Pengalaman pribadi Scmidt dibahas pada saat awal menjalan tugas sebagai anggota marsose, pengalamannya saat
menghadapi gerilyawan
Aceh. Dari
kajian
ini
banyak
informasi yang sajikan tentang marsose. Sanyangnya tentang kehidupan keseharian marsose masih kurang dalam buku ini, terlebih buku ini tidak membahas peran marsose sampai ke daerah Aceh pedalam seperti Gayo dan Alas yang merupakan beteng pertahan gerilyawan terahir.
26
E. Pendekatan Teori dan Kerangka Konseptual Sepak terjang pasukan marsose dalam perang Aceh sangat memegang peranan penting dalam menundukkan perlawanan rakyat. Peranan pasukan khusus ini menduduki posisi khusus dalam pembahasan karya ilmiah ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan dan teori ilmu sosial sebagai sarana bantu untuk mengarahkan alur deskripsi analisis atas fakta dan sumber dokumen. Peristiwa yang digali dari berbagai sumber akurat dengan penulusuran dan kritik data, akan dipaparkan secermat dan setepat mungkin. Konsep yang merupakan gasasan atau ide mempunyai kandungan yang bersifat umum dari sejumlah obejek, peristiwa, atau individu27. Dalam permasalahan ini konsep-konsep psikologi sosial dapat mempertajam analisis sehingga dapat dihasilkan microhistoriy sampai pada tingkat kelakuan individual dan kolektif dalam komunitas kecil28. Dalam hal ini pendekatan behaviour yang merupakan bagian ilmu psikologi merupakan bidang ilmu yang paling tepat dengan penelitian ini. Pandangan behaviorstik mengenai agresi oleh A.H. Buss yaitu agresi sebagi respons yang memberi stimulasi berbahaya kepada organisme Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodelogi Sejarah, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010), hlm. 15. 27
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 140. 28
27
lawan. Keagresifan dan peperangan adalah hal yang biasa, meskipun bukan utama. Demikian pula persaingan, hirarki, dan individualisme merupakan hal yang lazim didapati. Suasana kehidupannya penuh dengan banyaknya kekejaman antarpribadi, kebrutalan, kegemaran berperang, permusuhan, ketegangan, dan ketakutan. Biasanya sangat sering terjadi persaingan, sangat mengutamakan kekayaan pribadi29. Mengingat objek penelitian merupakan peristiwa tingkah laku dan mental orang dalam menghadapi perang yang sangat berbahaya, dan pasukan marsose sanggup menghadapi ketangkasan dan keberanian orang-orang Aceh. Konsep perang gerilya rakyat Aceh di sini yaitu sebagian besar orang-orang Aceh yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam perang tersebut. Pada mulanya perang antar Hindia Belanda dengan kerajaan Aceh, perlawanan terhadap Hindia Belanda dilakukan oleh pasukan Aceh yaitu tentara kerajaan Aceh. Kemudian pusat perlawanan diambil alih oleh para ulama yang disebut Tengku dan kaum bangsawan (uleebalang) yang disebut Teuku.
Disini ada dua golongan perlawanan yang
kadang kala saling bekerjasama, golongan-golongan ini disebut dengan gerilyawan Aceh. Golongan perlawanan ini bisa dibedakan dengan cara melihat siapa yang memimpinya, Teungku atau Erich Fromm, Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis Watak Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm 229. 29
28
Teuku. Setelah perang gerilya mulai berakhir, rakyat Aceh masih ada yang terus melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda. Perlawanan ini menjadi perang kecil yang dilakukan orang Aceh terhadap Hindia Belanda. Perlawanan ini bisa dilakukan oleh beberapa atau puluhan orang yang disebut kelompok perlawan Aceh, juga perlawanan yang dilakukan perseorang yang kemudian disebut orang Aceh. Dengan tema pembahasan yang menyoroti sejarah militer marsose di Aceh, ditemukan peranan yang sangat penting dalam perang Hindia Belanda di Aceh. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pasukan marsose pada periode tersebut berhasil mendesak dan memperlemah perlawanan rakyat dalam skala besar. Anggota pasukan ini direkrut dari orang-orang bumiputra atau inlander. Mereka mempunyai keberanian individual, memiliki stamina yang sangat kuat, dan mempunyai ketrampilan yang mutlak diperlukan dalam perang kontra-gerilya. Pasukan ini bergerak dengan sistem anti
gerilya,
mereka
memutuskan
logistik
pejuang
Aceh,
membakar perkampungan penduduk, pembunuhan secara kejam. Untuk
menjelaskan
konsep
dan
fungsi
dari
pasukan
marsose tersebut maka perlu disini batasan-batasan tertentu yang mengarah pada eksplanasi tentang definisinya. Pasukan marsose merupakan pasukan khusus yang dibentuk oleh pemerintah Hindia-Belanda di Aceh, ditugaskan demi kepentingan Belanda
29
dalam
mengusai
seluruh
wilayah
Aceh.
Pasukan
marsose
melakukan operasi anti gerilya secara opensif dengan segala cara untuk mencapai tujuan. Dalam perkembangan selanjutnya Belanda menghendaki penambahan kekuatan pasukan marsose untuk mempercepat mengatasi perlawanan orang-orang Aceh. Pemerintah Hindia Belanda sambil menanti persetujuan pemerintah pusat di negeri Belanda, pada tahun 1897 menambah korps marsose menjadi 5 opsir dan 365 bintara. Ditetapkan pula bahwa korps ini disamping untuk dinas kepolisian, diberi tugas melakukan perang kecil. Van Heutsz dengan aktif mengejar gerilyawan Aceh ke mana-mana, serangan gerilyawan Aceh semakin berkurang. Pasukan marsose mengadakan patroli secara intensif supaya pasukan-pasukan Aceh segera berdamai, marsose terus membuntuti dan menangkap keluarga mereka. Kini tinggal kelompok-kelompok perlawanan dan perlawan perseorangan yang berada di hutan dan di gununggunung. Perang dalam skala besar memang tidak lagi terjadi setelah itu, tetapi perlawanan dalam kelompok kecil dan perseorangan masih berlanjut. Dari segi sosio-psikologis, kekecewaan, dendam dan
benci
terhadap
Hindia
Belanda
masih
tertanam,
kecenderungan ini tampak pada pembunuhan yang dilakukan secara individu terhadap orang-orang Hindia Belanda, sistem
30
pembunuhan ini dikenal dengan Atjeh moorden atau pembunuhan oleh orang Aceh. Aceh telah dikalahkan tetapi jiwanya terus melawan.
F. Metode dan Sumber Penulisan Berdasarkan dari unit sejarah penulisan ini digolongkan ke dalam sejarah30, lokal yaitu kisah masa lampau dari kelompok masyarakat yang berada di daerah geografis yaitu posisi ruang pembagian administrasi pemerintahan Aceh. Berkenaan dengan topik dan lingkup penelitian yang difokuskan
pada upaya
pengungkapan sejarah itu maka metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah31. Metode penelitian sejarah adalah langkah-langkah yang ditempuh dalam sebuah penelitian sejak dari persiapan hingga selesai penyusunan hasil akhir dalam bentuk laporan penelitian. Batas dan seluk beluk sejarah lokal dapat diperiksa dalam: Taufik Abdullah, (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia: kumpulan tulisan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm 1-36; Piere Goubert, Local Histori dalam Deadalus, (America Academi Arts and Secnce, Vol. 100 No. 1. 1971), hlm 113-124; lihat Soeri Soeroto, dalam Lembaran Sejarah No. 6 Desember 1970, hlm 37-49. 30
T. Ibrahim Alfian, (ed.), “Tentang Metodologi Sejarah” dalam T. Ibrahim Alfian, Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis, (Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press, 1992), hlm 413; Robert F. Berkhofer, Jr, Behavioral Approach to Historical Analysis, (New York: The Free Press, 1969), hlm 292. 31
31
Langkah pertama yang penulis lakukan adalah menentukan sumber sejarah, yang terdiri dari arsip-arsip kolonial tentang keresidenan Aceh. Pada awal-awal penelitian, pencarian sumber lebih banyak dilakukan di berbagai perpustakaan di Yogyakarta seperti perpustakaan Ignatius, Sonobudoyo, Hatta, Fakultas Ilmu Budaya UGM dan Pusat Studi Asia Tenggara. Sangat disayangkan, minim sekali literatur tentang marsose, apalagi kajian khusus mengenai marsose. Mengatasi masalah kelangkaan sumber-sumber primer ini, penulis pulang ke Aceh dan mengunjungi kantor PDIA. Penulis merasa sangat bersyukur karena sempat mengunjungi kantor tersebut, seminggu sebelum kejadian tsunami. Di kantor ini penulis mendapatkan sumber yang berharga bagi penelitian ini, diantaranya, laporan politik kolonial dan buku mengenai marsose yaitu “Geden Boek van het Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden”. Guna mendapatkan sumber yang lebih banyak lagi, penulis pergi ke Jakarta, penulis mengunjugi kantor Arsip Nasional dan Perpustakaan
Nasional.
Di
Perpustakaan
nasional
penulis
mendapatkan bukunya A. Sttruyvenberg “Korps Marechaussee op Atjeh, Overzicht van de Gescheidenis van af de oprichting tot en met 1913 ”. Di Arsip Nasional penulis tidak mendapatkan sumber yang penulis butuhkan tentang marsose.
32
Langkah
kedua
adalah
melakukan
penilaian
(kritik)
terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan, baik secara intern maupun ekstern32. Pengujian atau kritik sumber dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ekstern untuk mencari otentiknya dan
kritik
ekstern
untuk
menguji
kredibilitasnya.
Karena
keterbatasan alat maka kritik ekstern sangat sulit dilakukan. Kritik intern penulis lakukan untuk menganalisa sumber-sumber yang dikeluarkan pihak konolial dan tulisan yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri guna mencari objektifitas sejarah. Sumber-sumber sekunder lainnya didapat dalam sejumlah buku, artikel, majalah, disertasi, tesis yang berkenaan dengan tulisan
ini
sebagai
bahan
pembanding
untuk
membantu
eksplanasi. Setelah sumber-sumber tersebut terkumpul, dan telah dilakukan kritik sumber, maka sumber-sumber yang dianggap benar dapat ditetapkan sebagai fakta. Langkah ketiga adalah interpretasi atau analisis guna memperoleh sejumlah fakta yang terkandung dalam berbagai dokumen.
Fakta
tersebut
kemudian
dirangkai
dalam
satu
kesatuan yang serasi dan logis sehingga menghasilkan cerita sejarah.33 Karya sejarah yang baik tidak hanya tergantung pada
32
Garraghan, op. cit, hlm 168.
33
kemampuan mereka meneliti sumber sejarah dan memunculkan fakta sejarah, melainkan juga membutuhkan imajinasi untuk menguraikan kisah historis secara teperinci34. Penyajian dalam bentuk tulisan dengan pemikiran baru disampaikan sedemikian rupa guna memperoleh realitas masa lampau tentang pasukan marsose.
G. Sistimatika Penulisan Penyajian penelitian dalam bentuk tesis ini mempunyai tiga bagian: Pengantar, Hasil penelitian, dan Kesimpulan. Bagian pertama merupakan bab pendahuluan sebagaimana yang telah dibahas, di dalamnya diuraikan beberapa hal pokok mengenai latar
belakang
masalah,
rumusan
masalah,
lingkup
permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode dan sumber penulisan, pendekatan teori dan kerangka konseptual, dan sistimatika penulisan. Hasil penelitian disajikan dalam tiga bab berikutnya, sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Pada bab kedua dipaparkan kondisi medan pertempuran di Aceh dan Setiap bagian mempunyai hubungan dengan bagian yang lain, begitu juga terjalin hubungan tersebut secara keseluruhan. Lihat Robert F. Bethofer, Jr, op. cit, hlm188 33
Bambang Purwanto, “Interprestasi dan Analisis Dalam Sejarah”, (Makalah pada penataran Metodologi Sejarah yang diselenggarakan Lembaga Penelitian IKIP Negeri Yogyakarta, 16-26 Pebuari 1994), hlm 7 34
34
perlawanan gerilya yang menyulitkan pihak Belanda dalam menaklukkan wilayah Aceh. Bab ketiga berisi tentang pembentukan korps marsose di Aceh, keadaan sosio-psikologis mereka dalam menjalankan tugas operasi militer dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh, Perkembangan kekuatan marsose dan sepak terjangnya dalam melakukan operasi-operasi anti gerilya. Bab keempat membahas kehidupan keseharia para anggota pasukan marsose dalam kancah peperangan, dan interaksi sosial mereka di tangsi dan bivak. Bagian terakhir adalah kesimpulan atas keseluruhan pembahasan tesis ini, yang merupakan benang merah dari uraian pada bab-bab sebelumnya.