BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak sekali pandangan para pemikir dan sejarawan tentang nasionalisme. Sebagian kalangan menyebut nasionalisme sebagai barang dagangan yang menipu. “Nasionalisme bukanlah bangkitnya kesadaran-diri suatu
bangsa; nasionalisme
membikin-bikin bangsa-bangsa di mana mereka tidak ada” (Gellner, 1964: 169). Nasionalisme memang (tidak seperti sebagian besar isme lainnya) belum pernah melahirkan pemikir besarnya sendiri. Nasionalisme tidak memiliki tokoh-tokoh semacam Thomas Hobbes, Alexis de Tocqueville, Karl Marx, atau Max Webber. Kehampaan ini dengan mudah membangkitkan sikap meremehkan bagi intelektual pandai bicara tanpa makna yang dapat dicerna. Tom Nairn misalnya, pengkaji nasionalisme
yang
begitu
simpati
terhadap
subjeknya
menuliskan
bahwa:
“Nasionalisme” adalah patologi sejarah pembangunan modern, tak bisa dielakkan sama seperti neurosis dalam sesosok pribadi, lengkap dengan kemenduaan asasi yang melekat padanya, dengan kemampuan yang sudah dari “sononya” untuk anjlok ke kegilaan, berakar pada dilema ketidakberdayaan yang disorongkan ke hadapan sebagian besar jagat ini (mirip dengan infantilisme bagi masyarakat-masyarakat) dan pada umumnya tak mungkin disembuhkan” (Nairn dalam Anderson, 2001: 7). Tokoh lain seperti Ben Anderson dengan gaya pikir antropologisnya menuliskan tentang bangsa atau nasion sebagai berikut: “ia adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan” (Anderson, 2001: 8). Banyaknya pandangan yang menyebutkan bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang mengawang dan terbayang-bayang, tidak jarang dikonsumsi oleh masyarakat secara negatif. Nasionalisme hanya dipandang sebagai suatu paham utopis,
yang tidak akan mengubah keadaan dan tidak memiliki peranan penting bagi kehidupan
manusia.
Anggapan
yang
keliru
ini
merupakan
dampak
dari
ketidakmampuan sejarah dalam menjelaskan perkembangan nasionalisme khususnya di Indonesia. Nasionalisme bukanlah suatu hal yang tiada dan diada- adakan, bukan pula nasionalisme mengandaikan adanya bangsa yang sebenarnya tidak ada, tetapi nasionalisme dan bangsa-bangsa adalah suatu hal yang ada dan belum disadari. Munculnya nasionalisme (sebagai isme) hanyalah cara untuk menyadarkan manusia atas
bangsanya
yang
harus
diperjuangkan.
Soekarno
berpendapat
bahwa
nasionalisme atau kebangsaan tidaklah bersandar pada khayalan yang mengawang, tetapi justru berangkat dari realitas yang kongkrit. Hal ini tersirat dalam pidato 1 Juni pada rapat BPUPKI ketika Soekarno mengutip dari Ernest Renan yang menyebutkan le desire d’etre ensemble. Soekarno menyebutkan bahwa kebangsaan ialah keinginan (manusia dalam bangsa) untuk bersatu, dan keinginan untuk bersatu bukanlah suatu persatuan yang utopis belaka, tetapi persatuan yang riil, persatuan atas politik adudomba yang dilakukan oleh Belanda melalui siasat “devide et impera” (Tjokropranolo, 1992).
Lebih lanjutnya Soekarno mengutip dari Otto Bauer yang menyatakan bahwa persatuan itu muncul karena persamaan nasib (Wahid, 2013: 74). Adanya nasib yang sama disebabkan oleh aktivitas subyektif penjajah terhadap rakyat Indonesia sehingga memerlukan perjuangan secara bersama pula. Perjuangan secara bersama akan dapat dilakukan jika dan hanya jika masyarakat Indonesia bersatu. Keinginan untuk berjuang secara bersama melalui persatuan dalam bahasa Marx biasa disebut sebagai materialisme subyektif (riil) yang tidak mengada-ada atau dibikin-bikin. Materialisme subyektif adalah obyek-obyek material yang dihasilkan oleh aktivitas subyektif manusia (Marx dan Engels, 1958: 403). Berangkat dari persoalan diatas, nampak bahwa konsepsi nasionalisme masih layak
untuk
diperbincangkan,
terutama
nasionalisme
Soekarno
yang
seolah
memberikan
counter
terhadap
anggapan-anggapan
keliru
tersebut.
Melalui
nasionalisme Soekarno ini, akan dipaparkan bahwasannya nasionalisme bukanlah paham yang melulu ideal, tetapi hal kongkrit yang berangkat dari kondisi masyarakat dan patut diperjuangkan secara praksis dan nyata. Selain itu, kajian mengenai konsepsi nasionalisme dalam pemikiran Soekarno menjadi sangat penting dikala panasnya iklim politik di Indonesia yang sedang membara dimana hampir seluruh kalangan yang berkepentingan mengatasnamakan dirinya sebagai Soekarnois sejati. Banyak pihak merasa sebagai pewaris sah pemikiran Soekarno dan mencoba menerapkannya kembali di era kekinian setelah lebih dari 30 tahun upaya deSoekarnoisasi dilakukan oleh rezim berkuasa sejak 1966 – 1998. Memahami konsep nasionalisme Soekarno, mula-mula perlu mempelajari terlebih dahulu tiga hal yang merupakan “bahan baku” dari kelahiran nasionalismenya ( Wuryadi, dkk., 2004: xii): pertama adalah alur pikiran Soekarno. Alur pikiran Soekarno adalah alur pikiran yang dialektis, progresif, radikal, dan revolusioner. Dengan materialisme historis sebagai pisau analisis, Soekarno mencermati dan menganalisis keadaan yang dihadapi secara dialektis. Dengan cara demikianlah Soekarno mampu merunut sejarah perkembangan masyarakat yang berkembang secara dialektis, serta dapat memilahkan mana yang merupakan kontradiksi pokok, dan tidak pokok, mana yang antagonis dan non antagonis. Pada akhirnya Soekarno dapat mengenali dengan baik tesis dan antitesis dalam masyarakat, untuk selanjutnya menemukan sintesisnya. Kedua, adalah kondisi Indonesia pada saat nasionalisme itu dilahirkan. Memahami
situasi
dan
kondisi
Indonesia
merupakan
faktor
penting
untuk
memahami lebih jernih konsep nasionalisme Soekarno. Dengan pemahaman yang cukup mendalam (sekalipun ia menggunakan alur berpikir Marx) Soekarno menolak diterapkannya teori bahwa kontradiksi pokok di Indonesia adalah antara kaum proletar dengan majikan. Menurut Soekarno, kontradiksi pokok yang terjadi di Indonesia adalah
antara marhaen (rakyat yang dimiskinkan oleh kolonialisme- imperialisme dan feodalisme) dengan kolonialisme-imperialisme. Oleh karenanya
Soekarno juga
menolak teori pertentangan kelas, tetapi yang dilaksanakannya adalah persatuan seluruh kekuatan progresif revolusioner untuk menghancurkan neo kolonialismeimperialisme (nekolim) dan neo feodalisme. Soekarno segenap
rakyat
untuk
ber-wanhoops-theori
yaitu
juga tidak menghendaki untuk
meningkatkan
kerevolusioneran rakyat maka rakyat harus dibikin lebih sengsara lagi. Ketiga, adalah fungsi dari nasionalisme itu dilahirkan. Tentu nasionalisme Soekarno dilahirkan untuk membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman kolonialisme-imperialisme dan feodalisme serta mengantarkan manusia menuju kesejahteraan hidup yang sesuai dengan koridor the Social Concience of Man atau Tuntutan Budi Nurani Manusia yang menjadi ciri khas pemikirannya. Marhaenisme dilahirkan sebagai ideologi politik yang kelak ia tawarkan sebagai Pancasila yaitu philosophische gronslag atau weltanschaung disaat bangsa Indonesia telah merdeka. Selanjutnya, hal yang tidak boleh terlewatkan dalam membaca nasionalisme Soekarno adalah dengan tetap menyandingkan Soekarno dengan tokoh-tokoh yang mempengaruhinya. Salah satu tokoh yang akan diangkat pada tulisan ini adalah Karl Heinrich Marx. Nasionalisme Soekarno memiliki keterkaitan yang cukup mendalam dengan beberapa pemikiran yang ditelurkan oleh Marx, salah satunya adalah Materialisme Historis. Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa gaya berpikir Soekarno erat kaitannya dengan gaya berpikir Marx. Keduanya selalu berangkat dari materialisme historis sebagai pisau analisa, dan memandang serta mencermati realitas secara dialektis. Kajian dengan menggunakan metode Materialisme Historis, perlu diawali dengan pembahasan secara Materialis Dialektis. Hal yang demikian ini biasa disebut dengan metode berpikir MDH (Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis). Materialisme adalah konsepsi filsafat marxis, sedang dialektika adalah metodenya dan materialisme historis itu sendiri adalah penerapan atau pengenaan
materialisme dialektik ke alam sejarah manusia (Njoto, 1962 : 18 & 27). Dalam perkembangannya, Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis kerap dijelaskan dalam dua bagian pembahasan yaitu Materialisme
Dialektis
merupakan cara berpikir Marx tentang realitas, yakni pengertian bahwa realitas tersusun oleh materi yang memiliki relasi langsung dengan subyektifitas, dan relasi ini pun bergerak dalam untaian determinasi resiprokal. Adapun Materialisme Historis merupakan penerapan Materialisme Dialektis kepada kenyataan yang menyejarah, maka Materialisme Historis dapat kita mengerti
sebagai
gugus
pemahaman tentang sejarah sebagai ikhwal yang tersusun oleh determinasi resiprokal antara subyek dengan materi obyektif (Martin Suryajaya). Namun, melihat Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Keduanya terbentuk karena bangunan yang sama yaitu materialisme. Sebagaimana dialektika hanya merupakan predikat dari materialisme, historis juga merupakan predikat kelanjutan dari materialisme.
Melalui materialisme yang
dipandang dialektis, sehingga memiliki watak praksis, oleh karenanya menghasilkan historis. Dalam pembicaraan mengeni Materialisme Dialektika dan Materialisme Hitoris, biasanya dimulai dengan perbincangan mengenai materialisme. Kemudian barulah bagaimana materialisme dipahami secara dialektis, sehingga pada kalanya menjadi historis. Tanpa menyentuh diskursus probematika materialisme, Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis dapat berjalan menuju arah yang berlainan sama sekali. Bahkan dapat disalahpahami menjadi dialektika Hegelian; yang justru berlawanan dari Materialisme Dialektika (Marx, 2004: xxxix). Materialisme Dialektis dapat diartikan sebagai suatu pandangan kesalinghubungan antara manusia dan alam. Di dalam pandangan korelasi ini, terdapat pengertian materialisme secara umum yang “...mengklaim bahwa asal muasal dan perkembangan semua yang ada tergantung kepada alam dan “materi”, yakni realitas
fisik yang indipenden dari, dan ada sebelum adanya pemikiran (tought)” (Bellamy, 2013: 2). Namun, ketergantungan terhadap alam, bagi Materialisme Dialektis bukan berarti bahwa segala yang terkait kehidupan manusia dapat
direduksi dalam
penjelasan segala yang ada pada alam, sebagaimana ada dalam materialisme mekanis ataupun yang kontemporer dalam fisikalisme reduksionis. Seperti dapat dilihat dalam materialisme Epicurus, bahwa semua realitas terdiri atas atom, dan atom itu dapat menciptakan
elemen
kesempatan/peluang
dan
ketidakpastian
(dengan
begitu
memberikan ruang bagi kehendak bebas) (Bellamy, 2013: 36). Dalam pandangan Epicurus tersebut tersirat pengertian bahwa manusia dapat mempengaruhi (mengubah) alam dengan kesempatan yang diberikan oleh atom yang mengisi realitas. Hanya saja memang, karena materialisme memandang bahwa materi adalah realitas yang independen terhadap manusia, maka pengubahan terhadap alam hanya dimungkinkan sejauh dalam realitas alam sendiri memiliki kemungkinan untuk itu. Baik Martin dalam buku Materialisme Dialektis (2012) maupun Lenin dalam buku Materialisme dan Emperiokritisisme menyatakan bahwa materialisme menjadi titik utama dalam bangunan konsep dialektika materialisme. Ini sekaligus menjernihkan dialektika materialisme dari dialektika Hegelian (dialektika idealisme). Kecenderungan yang kerap muncul adalah perbedaan di antara keduanya hanya begitu saja mengacu pada ungkapan Marx dalam Kata Pengantar Edisi Kedua Das Kapital, bahwa dialektika Marx adalah pembalikan dari dialektika Hegel (Marx, 2004: xxxix). Namun pengertian ini tidak diikuti dengan pengertian yang mendetail terkait yang dibalik dari dialektika tersebut. Karena itu, seringkali Materialisme Dialektika masih dipahami dengan jatuh pada dialektika Hegelian, yakni ketika mendahulukan dialektika ketimbang materialisme. Bagaimana pun, dialektika harus dipahami hanya sebagai relasi (Domain II) dari materi (Domain I). Untuk itulah, materialisme harus didahulukan ketimbang dialektika (Mulyanto, 2015). Dialektika
sebagai domain epistemelogis dan praktis semestinya ditemukan, bukan dipostulatkan, dalam material sebagai domain ontologis. Hanya
melalui
pembacaan
materalisme
yang
demikian,
pemahaman
Materialisme Historis dapat dimungkinkan. Materialisme berangkat dari asumsi tentang objektifitas Ada (materialitas) dan karenanya akan menjelaskan pikiran berdasarkan Ada (Suryajaya, 2012: 54). Konsepsi ini sejalan dengan konsepsi Materialisme Historis yang menyatakan bahwa realitas ekonomi politik (basis) mengkondisikan superstruktur (realitas kesadaran; kebudayaan, politik, hukum, seni, dll). Artinya, bahwa sejarah manusia dapat berjalan dengan hubungannya bersama alam yang mengkondisikan kesadaran, dan oleh karenanya menjadi tindak praktis manusia. Suatu corak produksi (ekonomi-politik) hanya dapat dimungkinkan oleh alam, dan untuk itu segala model pembentukannya hanya sejauh dimungkinkan oleh alam. Kesadaran manusia dapat dimungkinkan ada sebagai cerminan dari realitas material yang mengemuka antara hubungan manusia dengan alam melalui kerja (produksi). Dengan hubungan antara manusia dan alam melalui kerja (produksi), maka manusia menciptakan sejarahnya sendiri. Melihat seberapa dekat gaya berpikir Marx dan Soekarno dalam melihat keadaan, menjadikan penulis tertantang untuk membaca nasionalisme Soekarno dalam sudut pandang Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis. Maka tulisan ini secara garis besar akan memaparkan bagaimana konsepsi Soekarno mengenai nasionalisme dan apakah ia sejalan dengan Marx yang mencetuskan teori Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis atau justru berseberangan? Sebab dengan cara inilah, kita akan menjumpai bagaimana Soekarno dalam merunut sejarah perkembangan masyarakat Indonesia, serta dapat memilahkan mana yang merupakan kontradiksi pokok dan tidak pokok, mana yang antagonis dan non antagonis. Selain itu, yang tidak kalah penting pula adalah mengenali dengan baik tesis dan antitesis dalam masyarakat Indonesia untuk selanjutnya menemukan sintesis yang ditawarkan
oleh Soekarno dalam Nasionalismenya. 1. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji yakni sebagai berikut: a) Apa Isi Konsep Nasionalisme Soekarno? b) Apa Isi Konsep Materialisme Historis? c) Bagaimana
Perspektif
Materialisme
Historis
Terhadap
Nasionalisme Soekarno? 2. Keaslian Penelitian Sejauh yang diketahui dan ditelusuri, penulis belum menemukan adanya penelitian yang membahas tentang Nasionalisme Manurut Perspektif Materialisme Historis Karl Marx di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, melainkan ada beberapa penelitian dalam format skripsi, tesis, maupun jurnal yang membahas tentang Nasionalisme, Nasionalisme Soekarno dan Materialisme Historis: 1. Konsep Nasionalisme menurut Mohandas Karamchad Gandhi yang ditulis oleh Hermawan Susanto; 2. Akar Nasionalisme dalam kajian Benedict Anderson (telaah kritis terhadap buku Immagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang) yang ditulis oleh Decky Hermawan; 3. Pengaruh Jean-Jacques Rousseau terhadap Perkembangan Nasionalisme yang ditulis oleh Ahyar Anwar; 4. Nilai-nilai Persatuan sebagai landasan Nasionalisme Indonesia yang ditulis oleh Abdul Khakim; 5. Konsep Nasionalisme menurut Ir. Soekarno yang ditulis oleh Sri Wahyuni; 6. Konsepsi Mohammad Hatta tentang Nasionalisme Indonesia yang ditulis oleh Y. Haris Nurasas; 7. Ketahanan
Nasional
dalam
Hubungannya
dengan
Pertumbuhan
Nasionalisme Indonesia yang ditulis oleh Edi Susiantoro; 8. Peranan Islam bagi Pertumbuhan Nasionalisme Indonesia (suatu tinjauan kefilsafatan) yang ditulis oleh B.A. Driartanto; 9. Resolusi Jihad NU dalam Pertempuran 10 November 1945 menurut tinjauan Nasionalisme Soekarno yang ditulis oleh Abd. Wahid Hasyim; 10. Imperialisme Amerika Serikat: Tinjauan Materialisme Dialektik atas Filsafat Pragmatisme yang ditulis oleh Yusuf Waluyo Jati. Berdasarkan pada hasil penelusuran yang peneliti lakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa belum pernah ada naskah ilmiah baik itu skripsi, thesis maupun jurnal yang secara eksplisit membahas mengenai Perspektif Materialisme Historis Terhadap
Nasionalisme
Soekarno.
Terdapat
beberapa teks
yang
menjadikan
Nasionalisme Soekarno sebagai obyek material seperti yang ditulis oleh Wahyuni. Dalam teks tersebut mengungkapkan sisi historis kehidupan
Soekarno, dan
mengedepankan upayanya dalam menemukan konsep Nasionalisme dalam Pemikiran Soekarno. Selain itu, terdapat penelitian yang
dilakukan oleh Wahid. Dalam
penelitiannya, ia juga membahas tentang nasionalisme Soekarno, namun lebih meletakkannya sebagai objek formal. Ia mencoba melihat Resolusi Jihad NU dalam Pertempuran 10 November 1945 melalui sudut pandang nasionalisme Soekarno. Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yusuf Waluyo Jati dengan judul Imperialisme Amerika Serikat: Tinjauan Materialisme Dialektik atas Filsafat Pragmatisme.
Dalam
penelitian
tersebut,
Waluyo
hanya
mengambil
konsep
Materialisme Dialektik dari Karl Marx sebagai objek formal untuk membahas tentang Imperialisme Amerika Serikat tanpa melanjutkannya pada konsep Materialisme Historis. Pada titik ini, peneliti sekaligus ingin memberikan kritik terhadap penelitian tersebut bahwa Materialisme Dialektik akan menjadi sangat
utopis
tanpa
ada
kelanjutan pada ranah Historis. Justru jika Waluyo mengangkatnya pada konsep Materialisme Historis, tentu didalamnya akan memuat konsepsi Dialektis.
Berdasarkan hasil penelusuran diatas, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh peneliti berbeda dengan beberapa peneliti lainnya. Perbedaannya terletak pada penggunaan konsep Nasionalisme Soekarno sebagai obyek material yang kemudian menjadikan Materialisme Historis sebagai obyek formalnya. Penulis berani mengutarakan bahwa analisis pembahasan dalam penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. 3. Manfaat Penelitian Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi: a) Peneliti Diharapkan penelitian ini dapat menambah kemampuan peneliti untuk menulis secara ilmiah dan memberi pemahaman baru tentang analisis atas Perspektif Materialisme Historis Terhadap Nasionalisme Soekarno. b) Perkembangan Ilmu Pengetahuan Diharapkan penelitian ini dapat menambah perspektif baru dalam membaca konsep
Nasionalisme
Soekarno
dan
juga
menambah
perbendaharaan
informasi tentang kajian Materialisme Historis. c) Pengkaji paham Marxisme dan Soekarnoisme Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi yang ilmiah bagi kajian-kajian tentang Marxisme, Nasionalisme dan Soekarnoisme khususnya di Indonesia. B. Tujuan Penelitian Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini kemudian bertujuan untuk menjawab persoalan yang terdapat dalam rumusan masalah diatas, yaitu: a) Memaparkan secara deskripsi tentang Pemikiran Soekarno kemudian menarik analisa dan kritik tentang konsep Nasionalisme Soekarno b) Memaparkan secara deskripsi tentang konsep Materialisme Historis c) Menganalisis konsep Nasionalisme Soekarno yang kemudian ditinjau melalui
Materialisme Historis d) Merefleksikan konsep Nasionalisme Soekarno yang ditinjau melalui perspektif Materialisme Historis, terkait dengan kondisi pergolakan sosial politik dewasa ini khususnya pada wacana Nasionalisme masyarakat Indonesia. C. Tinjauan Pustaka Kajian tentang Soekarno memang telah banyak dibahas oleh beberapa ilmuwan, namun konten yang dibahas dari Soekarno itulah yang pada umumnya membedakan penelitian – penelitian tersebut. Soekarno selama ini selalu dikaitkan dengan Pancasila. Soekarno dalam sejarahnya memang kerap dijuluki sebagai penggali Pancasila. Hampir setiap orang yang membahas mengenai Pancasila selalu mengaitkannya dengan Soekarno, seperti Ign. Gatut Saksono yang menulis tentang “Pancasila Soekarno; Idiologi alternatif terhadap globalisasi dan Syariat Islam”, PSP UGM dan Yayasan Tifa yang menerbitkan buku tentang “Pancasila Dasar Negara; Kursus Presiden Soekarno tentang Pancasila”. Selain
Pancasila,
Soekarno
juga
kerap
disandingkan
dengan
istilah
Marhaenisme. Soekarno dan Marhaenismenya telah dituliskan oleh banyak peneliti seperti: Yulianto Sigit Wibowo yang menuliskan tentang “Marhaenisme dalam Obsesi dan Konsepsi Pemikiran Politik Soekarno”. Dalam penelitian tersebut, Sigit menyatakan bahwa “Marhaenisme merupakan pengembangan dari sosialisme ilmiah yang diajarkan oleh Karl Marx dan dicoba dikembangkan di Indonesia oleh Soekarn”‖ (Sigit, 1998 : 86). Selain itu, Ign. Gatut Saksono juga menuliskan tentang “Marhaenisme Bung Karno; Marxisme ala Indonesia”, yang menyebutkan bahwa “Marhaenisme yang Soekarno ciptakan adalah marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dan masyarakat Indonesia” (Gatut, 2008 : 62). Dalam sebuah diskursus, Sutoro SB (Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Cabang Yogyakarta) membantah anggapan – anggapan itu dengan menyatakan bahwa Marhaenisme bukanlah Marxisme yang di Indonesiakan.
“Soekarno bukanlah seorang marxis, ia (Soekarno), hanya mewarisi tradisi pemikiran marxisme dengan melihat sesuatu melalui titik pandang corak produksi (mode of production)”. Menurutnya, banyak pemikiran dari marxisme yang tidak dipakai (bahkan ditentang) oleh Soekarno. Diantaranya adalah penggunaan istilah marhaenisme yang memiliki pengertian jauh berbeda dengan proletar. Penggunaan istilah ini oleh Soekarno didasarkan pada realitas objektif masyarakat (tradisi pemikiran marx –materialisme historis-) yang masih memiliki
alat produksi
dan
bukan buruh. Selain itu penolakan Soekarno atas perjuangan kelas yang tidak perlu dilakukan di Indonesia, justru yang dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia adalah persatuan antar semua golongan, termasuk dengan pentingnya Nasionalisme bagi Bangsa Indonesia. Namun terlepas dari akrabnya Soekarno sebagai penggali Pancasila, dan pencetus Marhaenisme, lebih utuh lagi ia merupakan tokoh revolusi yang memiliki konsep nasionalisme. Soekarno dalam buku Dibawah Bendera Revolusi Bab I, menyebutkan tentang konsep nasionalisme, islamisme dan marxisme. Bab tersebut menyiratkan cukup jelas tentang nasionalisme yang ditawarkan oleh Soekarno, yaitu pentingnya persatuan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam bab tersebut, Soekarno mencoba memperluas pemahaman bahwa nasionalismenya adalah nasionalisme yang humanistik, bukan nasionalisme yang chauvinistik. Nasionalisme yang humanistik berarti tidak membeda-bedakan ras, agama, golongan dan lain sebagainya, tetapi nasionalisme yang humanistik adalah nasionalisme kerakyatan yang bisa menerima islamisme dan marxisme sebagai kekuatan yang juga memiliki tujuan membangun Indonesia merdeka. Nasionalisme yang digagas oleh Soekarno nampaknya sangat kuat bersandar pada pemaparan Ernest Renan dan Otto Bauer tetang bangsa sebagai jiwa. Hal ini dapat ditemui dalam teks pidatonya yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Selain itu, teks-teks lain seperti “Anjuranku Kepada Segenap Bangsa
Indonesia”, “Pancasila Harus Memasukkan Paham Kebangsaan” dan lain-lain itu setidaknya memberikan gambaran tentang isi dari nasionalismenya. Didalamnya – dengan mengutip Renan dan Bauer- Soekarno menjelaskan
tentang
unsur-unsur
pembentuk bangsa yang ia komparasikan dengan konsep-konsep nasionalisme yang lain. Unsur-unsur itu antara lain adalah pemahaman mengenai teritori, bahasa, agama, keturunan serta naluri dasar manusia untuk bersatu dalam sebuah bangsa. Penelitian mengenai nasionalisme Soekarno memang telah ada sebelumnya. Beberapa penulis yang telah menghadirkan tulisan mereka antara lain adalah penelitian karya Abdul Wahid Hasyim dalam penelitiannya yang berjudul “Resolusi Jihad NU dalam Pertempuran 10 November 1945 menurut tinjauan Nasionalisme Soekarno” yang berisi tentang nasionalisme Soekarno sebagai produk pemikiran anti penjajahan. Wahid disini hanya melihat nasionalisme yang sudah jadi tanpa menelusuri lebih dalam alasan nasionalisme Soekarno menjadi seperti saat ini. Disamping itu Wahid juga menjadikan nasionalisme Soekarno sebagai obyek formal dalam penelitiannya. Selain itu, Sri Wahyuni juga menuliskan penelitiannya yang berjudul “Nasionalisme menurut Ir. Soekarno”. Wahyuni merunut secara sistematis pemikiran Soekarno secara deskriptif historis namun lagi – lagi tidak sampai pada pertanyaan “apa
yang
melatar
belakangi
lahirnya
nasionalisme
itu?”.
Wahyuni
hanya
menjelaskan perjalanan hidup Soekarno dan pemikiran yang dilahirkannya, tanpa melanjutkan kajiannya tentang latar belakang lahirnya nasionalisme itu secara utuh. Soekarno dalam karya-karyanya, sebenarnya telah memprediksi bahwa pertanyaan – pertanyaan semacam itu pasti muncul, oleh sebabnya ia menuliskan di dalam buku “Dibawah Bendera Revolusi” sebagai berikut: “Marxisme itulah jang membuat
sajapunja
nasionalisme
berlainan
dengan
nasionalismenja nasionalis
Indonesia jang lain...”(Soekarno, jilid 1, 1965: 511). Pernyataan tersebut dengan jelas menggiring kita (peneliti nasionalisme Soekarno) untuk membuka pemikiran marxisme.
Tanpa memahami marxisme maka penjelasan mengenai nasionalisme Soekarno tidak akan pernah utuh. Pada teks ini, Soekarno
hanya
mengisyaratkan
bahwa
nasionalismenya sangat dipengaruhi oleh marxisme namun teks ini menjadi hampa mengingat Soekarno tidak dengan jelas menyebutkan “pada sektor apa marxisme mempengaruhi pemikirannya?”. Pada titik inilah, peneliti merasa tertantang untuk membongkar keterkaitan antara nasionalisme Soekarno dengan marxisme. Dalam penelitian ini, peneliti akan meletakkan nasionalisme Soekarno sebagai objek material yang akan dikaji dengan menggunakan Materialisme Historis sebagai pisau analisanya (objek formalnya). Dengan
demikian
akan
menghasilkan
gambaran
yang
utuh,
dimana
letak
persinggungan antara nasionalisme Soekarno dan Materialisme Historis. D. Landasan Teori John Bellamy Foster, dalam Ekologi Marx: Materialisme dan Alam, cukup terang dalam menjelaskan sejarah diskursus materialisme. Di buku tersebut dibahas bagaimana materialisme tidak hanya memiliki satu pandangan. Dari materialisme yang dipahami mekanis, sampai pada materialisme yang dipahami dialektis. Karl Marx adalah filsuf yang memahami materialisme secara dialektis. Marx menempatkan dirinya sebagai kelanjutan dari materialisme Yunani Kuno yang hadir lewat Epicurus, dan kemudian filsafat materialisme Jerman yang dipresentasikan oleh Feurbach. Hanya saja, Marx kemudian beranjak dari keduanya,
dengan
tidak
menjadikan materialisme hanya sekedar kontemplatif melainkan dapat menjadi suatu aksi bagi manusia. Hal ini dimungkinkan, karena dalam alam memberikan ruang yang
cukup
bagi
manusia
guna
melakukan
perubahan.
Dengan
demikian,
materialisme oleh Karl Marx menjadi dipahami secara dialektis. Materialisme Dialektis dapat diartikan sebagai suatu pandangan kesalinghubungan antara manusia dan alam. Di dalam pandangan korelasi ini, terdapat pengertian materialisme secara umum yang “...mengklaim bahwa asal muasal dan
perkembangan semua yang ada tergantung kepada alam dan “materi”, yakni realitas fisik yang independen dari, dan ada sebelum adanya pemikiran (tought)” (Bellamy, 2013: 2). Akan tetapi, ketergantungan terhadap alam, bagi Materialisme Dialektis bukan berarti bahwa segala yang terkait kehidupan manusia dapat
direduksi dalam
penjelasan segala yang ada pada alam, sebagaimana ada dalam materialisme mekanis ataupun yang kontemporer dalam fisikalisme reduksionis. Seperti dapat dilihat dalam materialisme Epucurus, bahwa semua realitas terdiri atas atom, dan atom itu dapat menciptakan
elemen
kesempatan/peluang
dan
ketidakpastian
(dengan
begitu
memberikan ruang bagi kehendak bebas) (Bellamy, 2013: 36). Dalam pandangan Epicurus tersebut tersirat pengertian bahwa manusia dapat mempengaruhi (mengubah) alam dengan kesempatan yang diberikan oleh atom yang mengisi realitas. Hanya saja memang, karena materialisme memandang bahwa materi adalah realitas yang independen terhadap manusia, maka pengubahan terhadap alam hanya dimungkinkan sejauh dalam realitas alam sendiri memiliki kemungkinan untuk itu. Suryajaya terkait hal ini, dalam Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer yang merupakan pembacaan atas Materialisme dan Emperiokritisisme V.I. Lenin, menjelaskan sebagai berikut: “Berdasarkan sifat dasarnya [ini], dialektika Marxian (Materialisme Dialekika) mengandung dua ciri penting yang membedakannya dari dialektika Hegelian: pertama, adanya separasi antara domain ontologi (Domain I) dan domain epistemologi (Domain II); kedua, adanya hierarki di antara kedua domain tersebut (Domain I memiliki status hierarkis yang lebih tinggi ketimbang Domain II). [...] Kendati adanya dunia objektif mendahului adanya manusia, namun dengan adanya manusia dunia objektif juga dapat diubah oleh manusia melalui praxis. Dalam dunia objektif susudah adanya manusia, hierarki di antara kedua domain tersebut juga dapat berubah. Akan tetapi perubahan dalam hierarki ini tetap secara garis besar dikondisikan oleh Domain I. Gerak dalam domain II hanya dapat mengubah Domain I sejauh dalam batasbatas yang dimungkinkan oleh Domain I” (Suryajaya, 2012: 68- 69). Penjelasan Suryajaya ini sejalan dengan penjelasan Roy Baskhar yang menyatakan materialisme filosofis rasional, terdiri dari tiga bagian: [1] Materialisme ontologis, menegaskan ketergantungan sepihak bidang sosial terhadap bidang biologis
(dan secara lebih umum, fisik) dan kemunculan pertama dari yang terakhir (dalam bahasa Suryajaya disebut Domain I). [2] Materialisme epistemologis, menegaskan keberadaan indipenden dan tranfaktual [yakni kausal dan seperti hukum] aktivitas beberapa objek pemikiran ilmiah (Domain II dalam bahasa Suryajaya). [3] Materialisme praktis, menegaskan peran penting manusia sebagai agen transformasi dalam produksi dan transformasi sosial (Bellamy, 2013: 2). Baik
dalam
Suryajaya
(termasuk
Lenin
dalam
Materialisme
dan
Emperiokritisisme) dan Roy Baskhar menyatakan bahwa materialisme menjadi titik utama dalam bagunan konsep dialektika materialisme. Ini sekaligus menjernihkan dialektika materialisme dari dialektika Hegelian (dialektika idealisme). Biasanya, perbedaan di antara keduanya hanya begitu saja mengacu pada ungkapan Marx dalam Kata Pengantar Edisi Kedua Das Kapital, bahwa dialektika Marx adalah pembalikan dari dialektika Hegel (Marx, 2004: xxxix). Namun pengertian ini tidak diikuti dengan pengertian yang mendetail terkait yang dibalik dari dialektika tersebut. Karena itu, seringkali Materialisme Dialektika masih dipahami dengan jatuh pada dialektika Hegelian, yakni ketika mendahulukan dialektika ketimbang materialisme. Bagaimana pun, dialektika harus dipahami hanya sebagai relasi (Domain II) dari materi (Domain I). Untuk itulah, materialisme harus didahulukan ketimbang dialektika (Mulyanto, 2015). Dialektika sebagai domain epistemologis dan praktis semestinya ditemukan, bukan dipostulatkan, dalam material sebagai domain ontologis. Hanya
melalui
pembacaan
materialisme
yang
demikian,
pemahaman
Materialisme Historis dapat dimungkinkan. Materialisme berangkat dari asumsi tentang objektifitas Ada (materialitas) dan karenanya akan menjelaskan pikiran berdasarkan Ada (Suryajaya, 2012: 54). Konsepsi ini sejalan dengan konsepsi Materialisme Historis yang menyatakan bahwa realitas ekonomi politik (basis) mengkondisikan superstruktur (realitas kesadaran; kebudayaan, politik, hukum, seni,
dll). Artinya, bahwa sejarah manusia dapat berjalan dengan hubungannya bersama alam yang mengkondisikan kesadaran, dan oleh karenanya menjadi tindak praktis manusia. Suatau corak produksi (ekonomi-politik) hanya dapat dimungkinkan oleh alam, dan untuk itu segala model pembentukannya hanya sejauh dimungkinkan oleh alam. Kesadaran manusia dapat dimungkinkan ada sebagai cerminan dari realitas material yang mengemuka dengan hubungan manusia bersama alam melalui kerja, produksi. Dengan hubungan bersama alam melalui kerja (produksi) manusia menciptakan sejarahnya sendiri. Hal tersebut dapat dipahami dengan ungkapan Kar Marx dalam Ideologi Jerman: “Manusia dapat dibedakan dari binatang karena mereka mempunyai kesadaran, agama atau apa saja sesuka anda. Namun mereka sendiri mulai membedaka diri dengan binatang setelah mereka memproduksi alat-alat untuk hidup (subsistence), suatu ruang hidup yang dikondisikan oleh organisasi fisik mereka. Dengan memproduksi alatalat untuk kehidupannya, manusia secara tak langsung memproduksi kehidupan materialnya” (Marx dan Engels, 2013: 11). Manusia hanya dapat memiliki kesadaran (agama, dll) hanya jika memenuhi kebutuhan hidupnya, melalui produksi maupun reproduksi. Sementara itu, produksi itu
sendiri
adalah
hubungan
aktual
antara
manusia
dan
alam,
dan
yang
mengkondisikan kerja itu sendiri adalah alam. Dalam hal ini, oleh karenanya, ekonomi (pemenuhan kebutuhan hidup melalui kerja) adalah jembatan yang mempertemukan manusia dan alam dalam kesaling-hubungan dialektis. Pembuktian akan hal ini dapat dirumuskan menjadi sebuah analogi: seorang manusia tidak akan dapat berpikir apapun jika ia tidak hidup, dan untuk hidup seorang manusia harus makan (memenuhi kebutuhan). Sementara itu, keharusan untuk makan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup diituntut oleh realitas fisik manusia sebagai mahluk biologis. Akibat kesadaran manusia adalah cerminan dari kondisi material, maka tindak praktis manusia pun hanya dapat dimungkinkan oleh kondisi materialnya.
Inilah sebabnya, Karl Marx dalam konsepsi tentang Materialisme Historis tergolong dalam (bahasa Baskhar) materliasme praktis (Bellamy, 2013: 2). Dengan ini, Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis memiliki arti penting sebagai upaya analisa terkait kondisi sosial manusia. Pembacaan terkait suatu bangunan kesadaran tertentu dari manusia, entah dalam agama, kebudayaan, kesenian, dll, dapat ditarik, meskipun secara tidak langsung, dalam kondisi materialnya—yang mengemuka dalam ekonomi-politik. Akan tetapi yang harus dijernihkan di sini, tidak begitu saja suatu pola bangunan kesadaran manusia dapat direduksi (tidak begitu saja basis dipandang mendeterminasi kesadaran) dalam penjelasan pada kondisi ekonomi-politik. Hal ini justru konsekuensi dari Materialisme Dialektika yang memungkinkan manusia dengan kehendak bebasnya dapat mengubah alam, sehingga dapat memungkinkan manusia memiliki kesadaran yang berlawanan dengan kondisi ekonomi-politik yang ada. Inilah yang dimaksud oleh Suryajaya dalam essainya berjudul Marxisme dan Supervinience (2013) dan Menalar Marx (2014), bahwa
basis hanya menopang
superstruktur, tidak mendeterminasi sepenuhnya. Pereduksian (pandangan determinasi penuh) basis terhadap superstruktur justru berakibat pada pengingkaran terhadap Materialisme Dialektika itu sendiri. Dalam kata lain, melihat Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis tidak dapat dipisahkan satau sama lainnya. Keduanya terbentuk karena bangunan yang sama, yakni materialisme. hanya
merupakan
predikat
Sebagaimana
dialektika
dari materialisme, historis pun merupakan predikat
kelanjutan dari materialisme. Melalui matarelisme yang dipandang dialektis, sehingga memiliki watak praxis, oleh karenanya historis. Kemungkinan akan praxis untuk mengubah alam yang dijamin oleh Materialisme Dialektis inilah yang menunjukan tumbuhnya kesadaran ideologis yang bertujuan mengubah keadaan suatu tatanan sosial tertentu. Salah satu yang
mengemuka sebagai bangunan ideologis tersebut adalah nasionalisme Soekarno. Sehingga,
dengan
demikian
menjadi
sangat
relevan
jika
penulis
mencoba
membedah nasionalisme Soekarno dengan menggunakan sudut pandang dari Materialisme Historis. Selain adanya kedekatan gaya berpikir antara Soekarno dan Marx, pembacaan nasionalisme Soekarno menggunakan Materialisme Historis sebagai pisau analisanya, akan menunjukkan sikap yang jelas dimana letak nasionalisme Soekarno berpijak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Bahan dan materi penelitian ini akan diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu dari buku-buku karya Soekarno, Karl Marx dan sumber-sumber sekunder yang membicarakan tentang Materialisme Historis, Nasionalisme dan Soekarno. Adapun bahan danmateri penelitian itu antara lain: 1) Bahan dan Materi Penelitian A. Sumber Primer a) Marx, Karl. 2004, Das Kapital; Sebuah Kritik Ekonomi Politik Buku I – Proses Produksi Kapitalis, (terj. Oey Hay Djoen), Hasta Mitra, Jakarta; b) Marx, Karl & Engels, Frederick. 2013, Ideologi Jerman Jilid I – Feuerbach,
(terj.
Nasikhul
Mutamanna),
Pustaka
Nusantara,
Yogyakarta; c) Marx, Karl. 2007, Das Kapital; Sebuah Kritik Ekonomi Politik Buku II – Proses Sirkulasi kapital, (terj. Oey Hay Djoen), Hasta Mitra, Jakarta; d) Soekarno. 1965, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I dan II,
Yayasan Bung Karno, Jakarta; e) Soekarno. 1930, Indonesia Menggugat; Pidato Pembelaan di Depan Pengadilan Kolonial di Bandung, CV Haji Masagung, Jakarta; B. Sumber Sekunder a) Adams, Cindy. 1966, Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, Gunung Agung, Jakarta; b) Aidit, D.N. 1963, Tentang Marxisme; Kaum Buruh Semua Negeri, Bersatulah!, Akademi Ilmu Sosial Aliarkham, Jakarta; c) Balibar, Etiene. 2013, Anti Filsafat; Metode Pemikiran Marx, (terj. Eko P. Darmawan), Resist Book, Yogyakarta; d) Buku, artikel surat kabar, majalah, jurnal, dan media elektronik (televisi, rekaman video, dan internet) tentang pemikiran Soekarno, Nasionalisme, dan Materialisme Dialektika Historis; e)
Engels, Frederick. 2005, Anti Duhring; Revolusi Herr Eugen Duhring dalam Ilmu Pengetahuan, (terj. Oey Hay Djoen), Hasta Mitra – Ultimus, Indonesia;
f)
Hegel, G.W. Fredrich. 2012, Filsafat Sejarah, (terj. Cuk Ananta Wijaya), Pustaka Pelajar, Yogyakarta;
g) Hidayat. 2013, Materialisme Historis, Pena Hikmah, Yogyakarta; h) Lenin, V.I. 2002, Materialisme dan Empiriokritisme; Catatan – Catatan Kritis tentang Suatu Filsafat Reaksioner, (terj. Adi Kromo) . . . . . . .,. . . . . . . .. i) Suryajaya, Martin. 2012, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, Resist Book, Yogyakarta;
j) Skripsi yang berkaitan dengan tema penelitian; 2) Jalannya Penelitian Jalannya penelitian ini akan mencakup beberapa tahapan yaitu pengumpulan data atau bahan yang merupakan data hasil studi kepustakaan,
kemudian
pengkategorisasian, lalu pengklasifikasian data kedalam beberapa kategori sehingga menjadi sistematis. Data primer dan data sekunder yang telah dikelompokkan kemudian dianalisa secara kritis dan filosofis. Setelah tahapan tersebut dilakukan, kemudian hasil akhir dituangkan dalam bentuk laporan penelitian. 3) Analisis Data Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan dengan menggunakan model penelitian historis, faktual dan ketokohan. Peneliti akan mengumpulkan berbagai sumber pustaka yang terkait dengan obyek penelitian. Setelah data yang diperoleh dianggap relevan, data tersebut akan dianalisis. Untuk memperdalam analisis, peneliti akan menggunakan metode hermeneutika-filosofis dengan unsur-unsur metodis berupa (Bakker, 1990: 68): a) Deskripsi Peneliti berusaha untuk menggambarkan secara
komprehensif mengenai
konsep Nasionalisme dalam Pemikiran Soekarno yang ditinjau melalui konsep Materialisme Historis b) Interpretasi Peneliti
berusaha
untuk
memahami
dan
mengerti
tentang
konsep
Nasionalisme yang tertuang di dalam Pemikiran Soekarno dan konsep Materialisme Historis, kemudian dianalisis dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan yang baru. c) Kesinambungan Historis Peneliti berusaha untuk menemukan pemahaman baru tentang Konsep
Nasionalisme dalam Pemikiran Soekarno yang kemudian disesuaikan dengan
perkembangan
zaman.
Makna
Nasionalisme
yang
telah
ditemukan dan dipahami akan dilihat dengan tinjauan sosial politik berdasarkan keyakinan peneliti d) Keherensi Intern Permasalahan Nasionalisme dalam Pemikiran Soekarno kemudian ditinjau melalui konsep Materialisme Historis sehingga ditemukan kelebihan dan kekurangannya F. Hasil yang Dicapai Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mendapatkan pemahaman secara deskriptif konsep Nasionalisme dalam Pemikiran Soekarno
2.
Memperoleh pemahaman, khususnya mengenai konsep Materialisme Historis
3.
Memahami penjelasan hubungan antara konsep Nasionalisme dalam Pemikiran Soekarno ditinjau melalui konsep Materialisme Historis
G. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan disusun dalam lima bab sebagai berikut: BAB 1 : berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang digunakan, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penulisan. BAB 2 : memuat tentang pembahasan obyek material yaitu nasionalisme Soekarno. Peneliti akan membagi pembahasannya kedalam
beberapa poin: pertama, memaparkan biografi singkat Soekarno. Kedua, mendeskripsikan akar dan sejarah nasionalisme. Ketiga, mendeskripsikan
sejarah
lahirnya
nasionalisme
di
Indonesia.
Keempat, mendeskripsikan konsep nasionalisme Soekarno. BAB 3 : berisi tentang pembahasan mengenai obyek formal yaitu konsep Materialisme Historis. Peneliti akan membagi pembahasannya ke dalam beberapa poin: pertama, mendeskripsikan perihal tafsir materialisme
dialektika
dan
materialisme
mendeskripsikan
tentang
materialisme
dan
mendeskripsikan
tentang
materialisme
Karl
mendeskripsikan
tentang
materialisme
historis.
Kedua,
idealisme.
Ketiga,
Marx.
dialektika.
Keempat, Kelima,
mendeskripsikan tentang materialisme historis. BAB 4 : memuat hasil penelitian dan pembahasan yang akan dibagi menjadi dua poin:
pertama,
menguraikan
hasil
analisa
atas
perspektif
materialisme historis terhadap nasionalisme Soekarno. Penguraian ini terbagi ke dalam dua pembahasan yaitu penemuan kontradiksi atas realitas Indonesia dan fungsi nasionalisme Soekarno sebagai respon atas realitas Indonesia. Kedua, menguraikan tinjauan kritis atas nasionalisme Soekarno menggunakan metode materialisme historis. BAB 5 : berisi tentang penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dalam karya tulis ini. Kata
Kunci : Indonesia, Nasionalisme, Historis, Materialisme.