BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Penulisan sejarah tentang nasionalisme di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para sarjana Indonesia dan mancanegara, dikaji dari berbagai perspektif, baik itu sejarah, politik, sosiologi dan budaya. Namun kajian nasionalisme Indonesia di tingkat lokal melalui persepsi dan perilaku para aktor masih sedikit sekali, lebih khusus lagi kajian nasionalisme Indonesia di Aceh. Hal ini diduga karena penulisan sejarah nasionalisme Indonesia di tingkat lokal Aceh masih terbatas pada peristiwa-peristiwa umum dan besar, jika pun menyinggung para aktor, lebih kepada aktivitas pemikiran dan politik mereka ketika peristiwa tersebut terjadi. Jarang sekali ada kajian sejarah tentang nasionalisme Indonesia para aktor yang dikaji secara utuh melalui penelusuran serangkaian fakta-fakta disekelilingnya, sehingga ketika terjadi perubahan pemikiran dan aktivitas politik dari para aktor yang berbeda jauh dari sebelumnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim.1 Di tambah lagi dengan kondisi sosial politik Aceh
Pernyataan pengkhianat atau pahlawan terhadap seorang adalah bentuk generalisasi kehidupan seseorang di masa lalunya. Jika dia dinilai baik, maka seumur hidup akan selalu baik, begitu juga sebaliknya. Dalam konteks ini, Tgk. Daud Beureueh adalah contoh yang cocok kita jadikan sebagai model, beliau adalah salah satu pejuang tegaknya Republik Indonesia di Aceh dan kemudian 1
1
yang sering bergejolak, dalam beberapa tahun terakhir para ahli lebih tertarik menulis tentang nasionalisme lokal Aceh (etno nasionalisme) dibanding dengan kajian nasionalisme Indonesia.2 Di sisi lain penulisan sejarah tentang pemikiran dan aktivitas tokoh khususnya di Aceh lebih banyak dilakukan oleh pelaku sejarah sendiri atau orang-orang terdekat (dalam bentuk otobiografi atau biografi), yang tentunya unsur subjektivitas sangat menonjol terutama pada interpretasi fakta-fakta sejarah terkait dengan pelaku,3 sehingga seakan-akan tidak terlihat
menjadi pemimpin gerakan Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh tahun 1953. Sampai wafatnya, beliau masih dicurigai sebagai sosok pemberontak meski gerakannya sudah berhenti dan DI/TII Aceh telah berdamai dengan pemerintah RI, baca M. Nur El Ibrahimy, Tgk. Daud Beureueh; Peranannya dalam Pergolakan di Aceh (Jakarta: Gunung Agung, 1982). Dalam enam tahun terakhir, setidaknya terdapat beberapa buku tentang nasionalisme lokal Aceh yang ditulis oleh penulis Indonesia ataupun mancanegara diantaranya, Edward Aspinall, Islam and Nation(California: Stanford University Press, 2009), Ahmad Taufan Damanik, Hasan Tiro: Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis (Jakarta: FES dan AFI, 2010), dan Otto Syamsuddin Ishak, Aceh Pasca Konflik (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2013). 2
Beberapa tulisan yang terkait dengan periode tesis ini ditulis dalam bentuk biografi dan otobiografi seperti Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak (Jakarta: Grafiti, 1992), dan M. Nur El Ibrahimy, op. cit., Ramadhan KH- Hamid Jabbar, Syamaun Gaharu; Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), Mardanas Safwan, Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif (Jakarta, Balai Pustaka, 1992). 3
2
perubahan-perubahan dalam cara pandang masyarakat atau pelaku sejarah terkait dengan nasionalisme mereka. Selama ini banyak yang menganggap perasaan nasionalisme itu bersifat tetap dan menyampingkan fakta-fakta disekelilingnya yang berpotensi mengubah atau bahkan menghilangkan perasaan nasionalisme Indonesia
tersebut.
masyarakat
Sejak di
tahun
Aceh
1970
seakan
an,
nasionalisme
mengalami
stagnasi
perkembangan, berbanding terbalik dengan fakta sejarah yang menunjukkan eforia keindonesiaan begitu besar dari masyarakat Aceh pada awal kemerdekaan Indonesia. Bahkan ketika daerah lain
masih
dalam
perjuangan
menghadapi
usaha
Belanda
membangun kembali kekuasaan kolonialnya (1945-1949), Aceh sudah mendeklarasikan diri menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia (RI). Namun, dalam perjalanan sejarah selanjutnya, setidaknya terdapat dua peristiwa besar terkait dengan relasi dinamis yang cenderung bergejolak antara Aceh dengan Indonesia, yaitu peristiwa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) tahun 1953-1962 dan peristiwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976-2005. Kedua peristiwa tersebut menggambarkan hubungan Aceh dan Indonesia yang bergejolak dan menunjukkan ada permasalahan pada perkembangan nasionalisme Indonesia di Aceh.
3
Sejak
proklamasi
Indonesia
Agustus
1945,
dinamika
Nasionalisme Indonesia masyarakat Aceh sudah terlihat. Konflik horizontal (Perang Cumbok) pasca kepergian Jepang tahun 1945 antara kelompok ulama dan uleebalang, berpengaruh terhadap carapandang kelompok-kelompok masyarakat di Aceh terhadap eksistensi Negara Indonesia. Pemerintah Indonesia di Aceh yang diwakili oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Aceh, mengalami
kendala
dalam
berhubungan
dengan
pemimpin
masyarakat Aceh lainnya, terutama yang berasal Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).4 Hal tersebut dikarenakan latar belakang sebagian
besar
anggota
Komite
yang
berasal
dari
pihak
uleebalang.5 Baru setelah peristiwa Cumbok berakhir, terjadi perombakan dalam struktur keanggotaan komite yang sebagian besarnya diisi oleh kelompok PUSA, dan Komite ini relatif bisa
Insider, Atjeh Sepintas Lalu (Djakarta: Fa Archapada, 1950), hlm. 33-34 4
Dalam peristiwa Cumbok, para pemimpin PUSA kecewa dengan lambatnya aksi dari Residen Aceh dan Markas Besar API di Kutaraja dalam mencegah penyerangan kelompok uleebalang yang dipimpin oleh T. Daud Cumbok kota Sigli dan desa-desa disekitar wilayah Cumbok. Kelambanan tindakan dari pemerintah memancing reaksi masyarakat untuk membalas serangan Cumbok yang mengakibatkan meletusnya revolusi Sosial di Aceh. Kelambanan ini pula yang menyebabkan perasaan marah dalam diri Husain al Mujahid yang berujung kepada pembersihan besarbesaran kelompok uleebalang melalui aksi TPR nya pada Maret 1946. Lihat Hasan Saleh, op. cit., hlm. 81 5
4
menjalankan program-programnya,6 meski kelompok uleebalang berada di pihak oposisi. Kekuatan persatuan dan identitas dalam masyarakat Aceh menjelang akhir pendudukan Jepang banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan kolektif ulama, membuat daerah tersebut menjadi satu-satunya daerah di Sumatera yang bebas dari kekuasaan kolonial Belanda pasca kemenangan tentara Sekutu atas Jepang tahun 1945. Hal ini mendorong para pemimpin Aceh mendesak pemerintah Indonesia agar menjadikan Aceh sebagai sebuah propinsi
tersendiri.7
Permintaan
Syafruddin
Prawiranegara
dengan
tersebut
direspon
mengeluarkan
oleh
keputusan
tentang pembentukan Propinsi Aceh melalui Peraturan Wakil Perdana
Menteri
pengganti
Peraturan
Pemerintah
Nomor
8/Des./WKPM Tahun 1949. Keputusan Syarifuddin tersebut menimbulkan perdebatan dalam
6
kabinet
pemerintahan
Republik
Indonesia
(RI)
di
Insider, op. cit., hlm. 35
Ibid., hlm. 49-50, menurut Insider, pembentukan propinsi juga diakibatkan oleh sulitnya pengelolaan sebuah pemerintahan yang begitu luas mencakup wilayah Sumatera Utara dan Aceh. Setelah PDRI dibubarkan, Syafruddin Prawiranegara sebagai wakil perdana menteri ditempatkan di Aceh untuk mengadakan perbaikan di pulau Sumatera. Banyak peraturan dikeluarkan dalam berbagai sektor ternyata tidak berdampak pada perbaikan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat terutama di wilayah Aceh. 7
5
Yogyakarta, namun saat itu berkembang kondisi yang bersifat akomodatif, orang Aceh tetap menjalankan propinsi secara de facto, sementara Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta tetap diam saja terhadap aspek de jure propinsi itu. nampaknya Pemerintah tidak mau buru-buru bersikap karena kuatir akan berdampak negatif terhadap eksistensi Negara Republik Indonesia yang masih baru berdiri, sekaligus enggan berkonfrontasi secara langsung dengan masyarakat Aceh.8 Karena Aceh adalah bagian dari Republik Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia Serikat tidak ikut campur dalam masalah intern Republik Indonesia tersebut.9 Kejadian ini didiamkan sementara waktu, dan baru pada Agustus 1950 Pemerintah RI membubarkan Propinsi Aceh dan menggabungkannya dengan Sumatera Utara melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 yang ditandatangani oleh Mr. Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden dan Mr. Soesanto sebagai Menteri Dalam Negeri tentang Pembentukan menyatakan
Propinsi mencabut
Sumatera Peraturan
Utara, Wakil
yang
didalamnya
Perdana
Menteri
pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 8/Des./WKPM Tahun Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hlm. 40 8
9
Ibid.
6
1949 yang dijadikan dasar hukum pembentukan Provinsi Aceh.10 Akibatnya, Kabinet Hatta mulai berkonfrontasi langsung dengan masyarakat Aceh.11 Kejadian ini membuat suhu politik Aceh memanas. Para pemimpin PUSA mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap perlakuan pemerintah pusat dengan mengeluarkan pernyataanpernyataan publik yang menggugat dan menghujat pemerintah pusat,
sementara
mengkonsolidasikan
kelompok diri
dalam
uleebalang sebuah
yang
organisasi
sudah Badan
Keinsyafan Rakyat (BKR) merapat ke pihak pemerintah pusat dan mendukung kebijakan pemerintah tersebut. Perang propaganda antara dua kelompok besar masyarakat Aceh pada periode ini dilakukan melalui surat kabar dan selebaran-selebaran serta media-media lainnya. Pada periode inilah dimulai sebuah proses dialektika keindonesiaan dan kenegaraan antara masyarakat Aceh dengan komponen luar (pemerintah pusat) setelah sebelumnya terjadi proses serupa antara sesama masyarakat dalam peristiwa Cumbok pada
1945-1946,
yang berujung pada
meletusnya
gerakan DI/TII Aceh 1953-1963. Dalam sejarah Aceh sejak 1945, para aktor intelektual dan kelompok besarnya memainkan peran penting dalam proses 10
M. Nur El Ibrahimy, op. cit., hlm. 50
11
Ibid., hlm. 41 7
integrasi Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia dan juga berperan sebaliknya sebagai sosok yang menentang kehadiran Indonesia di Aceh di kemudian hari. Perjalanan dan pemikiran tokoh mewarnai dan mempengaruhi pemikiran masyarakat umum. Urgensi peran tokoh menjadi lebih menarik ketika dalam proses sebelum dan sesudahnya, mereka pernah berada pada dua kutub yang berbeda. Hasan Saleh dan Hasan Tiro adalah dua aktor yang terlibat dalam proses tersebut melalui gerakan DI/TII Aceh 1953, meski dalam peran dan posisi yang berbeda. Hasan Saleh terlibat langsung dalam sebagian besar proses politik di Aceh dikarenakan posisinya sebagai prajurit DI/TII yang kemudian menjadi Menteri Peperangan DI/TII Aceh.12 Ia pemimpin keras kepala dan tidak berada di bawah pengaruh Daud Beureueh meski ia menghormati pemimpin DI/TII tersebut. internal
DI/TII
Ia juga menjadi otak dari konflik
menyangkut
penyelesaian
politik
dengan
pemerintah.13 Sementara Hasan Tiro memainkan peran diplomasi DI/TII karena menetap dan bekerja sebagai staf perwakilan Indonesia di New York.14 Keduanya juga merupakan pemuda yang
12
M. Nur El Ibrahimy, ibid., hlm. 6
13
Nazaruddin Sjamsuddin, op. cit., hlm. 199-200
14
M. Nur El Ibrahimy, op. cit., hlm. 13
8
kuat bersentuhan dengan nasionalisme, karena Hasan Saleh adalah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kemudian berpihak kepada DI/TII, sedangkan Hasan Tiro adalah intelektual muda Aceh sekaligus bekerja dalam birokrasi pemerintah Republik Indonesia. Hasan Saleh berasal dari keluarga sederhana di pedalaman daerah Pidie, dengan fasilitas pendidikan yang didapatnya sangat terbatas. Ia mengaku baru bisa membaca-tulis huruf latin ketika berumur 19 tahun, diajarkan oleh adik bungsunya M. Yacob Aly. Sebagai keluarga desa biasa, afiliasi politik Hasan Saleh dan keluarganya adalah kelompok PUSA, dan bersama saudarasaudaranya berada dalam barisan PUSA dan rakyat ketika menghadapi kelompok uleebalang dalam peristiwa cumbok pada tahun 1945. Pandangan keluarga yang anti Belanda dan kondisi ekonomi
yang
lemah
membuat
Hasan
Saleh
kecil
hanya
menempuh pendidikan pada dayah-dayah dan madrasah di Aceh saja. Pada tahun 1943, Hasan Saleh masuk pendidikan militer Jepang di Lhokseumawe bersama dengan 26 pemuda Aceh lainnya.15 Pendidikan militer tersebut akhirnya menjadi pilihan karier Hasan Saleh selanjutnya hingga menjadi perwira militer dan
15
Hasan Saleh, op. cit., hlm. 153-156
9
sempat bertugas di beberapa daerah konflik di Indonesia sebelum akhirnya bergabung dalam Gerakan DI/TII Aceh 1953. Sedangkan Hasan Tiro berasal dari keluarga besar ulama terkenal Aceh Teungku Chiek Di Tiro. Keluarga besarnya sangat dihormati oleh masyarakat Aceh terutama mereka yang masih memiliki ingatan kuat tentang perang Aceh menghadapi Kolonial Belanda. Bagi masyarakat Aceh, keluarga besar Hasan Tiro dianggap mulia dan keramat sehingga ia sering sekali terlambat sampai ke sekolah karena orang-orang kampung berebut mencium tangannya ketika berpapasan di jalan.16 Afiliasi politik keluarga Tiro adalah PUSA dan paman Hasan Tiro sendiri, Teungku Umar Tiro adalah tokoh senior PUSA yang dihormati semua anggota. Pada 1943, Hasan Tiro menempuh pendidikannya pada Madrasah Sa’adah al Abadiyah Sigli di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh, namun tidak selesai. Kemudian pindah dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Normal Islam Bireuen di bawah pimpinan H.M. Nur El Ibrahimy, hingga jenjang sekolah menengah atas. Setamat dari Normal Islam, atas bantuan Teungku Daud Beureueh dan Syafruddin Prawiranegara, Hasan
Tiro
berhasil melanjutkan pendidikan
Hasan Muhammad Tiro, Jum Meurdehka: Seunurat Njang Gohlom Lheuih Nibak Teungku Hasan Di Tiro (London: Angkatan Atjeh Meurdehka, 1985), hlm. 2-3 16
10
perguruan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikannya tersebut pada tahun 1950. Setelah beberapa saat bekerja di Aceh sebagai staf pada PDRI, Hasan Tiro melanjutkan pendidikannya ke Amerika Serikat di Columbia University hingga jenjang doktoral. Hasan Tiro termasuk murid yang cerdas, kepintarannya mendapat perhatian serius dari para guru terutama kepala sekolahnya di Normal Islam Bireuen.17 Secara umum, keterlibatan keduanya dalam gerakan DI/TII Aceh
1953
merujuk
pada
alasan-alasan
para
pemimpin
pemberontak tersebut, antara lain dikarenakan oleh kebijakan nasional Indonesia tentang konsep kenegaraan dan persoalan teknis pelaksanaan pemerintahan yang dianggap tidak selaras dengan identitas kebudayaan dan keinginan masyarakat Aceh. Selain itu, juga dikarenakan pembubaran divisi militer Aceh menjadi satuan brigade di bawah Divisi Bukit Barisan di Medan,18 mutasi kesatuan militer Aceh ke Sumatera Utara atau wilayah lainnya yang jauh dari daerah Aceh,19 dan penangkapan tokohtokoh Aceh serta kondisi politik Aceh yang memojokkan para Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (Jakarta: Grasindo, 2001) hlm. 68-69 17
18
M. Nur El Ibrahimy, op. cit., hlm. 125
19
Ibid., hlm. 135-136
11
pendukung PUSA oleh aparat TNI yang didukung kelompok uleebalang,20 dimana Hasan Saleh dan Hasan Tiro beserta keluarga termasuk dalam golongan PUSA ketika konflik Cumbok beberapa tahun sebelumnya. Dalam prosesnya kemudian terutama setelah gerakan DI/TII Aceh berakhir, terlihat perbedaan transformasi nasionalisme Indonesia keduanya. Hasan Saleh kembali mengakui nasionalisme Indonesia
secara
sementara
total
Hasan
nasionalisme
Tiro
Indonesia
dan
bahkan
menjadi yang
memperjuangkannya,
semakin dianggapnya
kritis gagal
terhadap dalam
membangun kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat serta pelanggaran atas hak asasi manusia
akibat
pemerintah
kebijakan
dalam
politik
kekerasan
menyelesaikan
yang
diambil
persoalan-persoalan
pemberontakan DI/TII di seluruh Indonesia.21 Usia muda keduanya pada peristiwa proklamasi 1945, membuat mereka
tidak terlalu berkontribusi banyak terhadap
eksistensi nasional Indonesia di Aceh. Namun dalam kurun waktu tujuh tahun kemudian, keduanya menjadi tokoh yang disegani dan dihormati masyarakat terkait dengan peran dan aktivitasnya. 20
Ibid., hlm. 137
Lihat surat Hasan Tiro kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, New York, 1 September 1954, lihat M. Nur El Ibrahimy, Ibid., hlm. 14-15 21
12
Peran dan pemikiran keduanya kemudian hari juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Aceh secara luas. Dari semua peristiwa yang terjadi di Aceh, faktor aktor memiliki pengaruh dominan terhadap jalannya sebuah peristiwa, baik itu pandangan, sikap maupun perilakunya. Pandangan personal dan kolektif terhadap negara menjadi landasan bagi gerakan-gerakan aktor di kemudian hari. Biasanya seorang aktor mengembangkan ide dan pandangannya kepada para orang lain melalui media agama dan pendidikan, dan hal tersebut di lakukan oleh Hasan Saleh dan Hasan Tiro. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian Dari latar belakang di atas, pokok permasalahan penelitian ini adalah transformasi ide-ide nasionalisme Indonesia masyarakat Aceh seperti yang direpresentasikan oleh Hasan Saleh dan Hasan Tiro. Dalam kurun waktu 1945 sampai dengan 1970, semula nasionalisme Indonesia di Aceh menunjukkan kesolidan dan kekuatannya, namun kemudian berubah menjadi kritis dan bahkan cenderung bergejolak menentang ide-ide keindonesiaan itu sendiri. Perubahan tersebut menunjukkan adanya permasalahan dalam perkembangan nasionalisme Indonesia di Aceh. Sebagai representasi dari pembahasan nasionalisme masyarakat Aceh, peran dan pemikiran kedua tokoh di atas akan menjadi fokus
13
penting dalam penelitian ini karena dapat menunjukkan gambaran dari pola-pola nasionalisme Indonesia masyarakat Aceh. Secara
spesifik
penelitian
ini
ingin
mengetahui
dan
memahami bagaimana proses transformasi ide-ide nasionalisme Indonesia masyarakat Aceh melalui beberapa pertanyaan yaitu; 1. Mengapa masyarakat Aceh memilih Nasionalisme Indonesia sebagai bagian dari identitasnya pada tahun 1945? Dalam hal
apakah
dan
sejauhmana
identitas
lokal
Aceh
berpengaruh terhadap pembentukan Nasionalisme Indonesia dalam Masyarakat Aceh? 2. Bagaimana proses transformasi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dalam diri Hasan Saleh dan Hasan Tiro? Faktor apa
saja
yang
mempengaruhi
bentuk
nasionalisme
keduanya? Dan seperti apa mereka merefleksikan cara pandang
tersebut
dalam
aktivitas-aktivitas
sosial
dan
politik? 3. Dalam hal apakah transformasi ide-ide kebangsaan Hasan Saleh dan Hasan Tiro berpengaruh terhadap nasionalisme Indonesia masyarakat Aceh? Pemilihan Hasan Saleh karena ia adalah tokoh penting DI/TII Aceh yang berperan dalam penyelesaian gerakan tersebut sejak tahun 1957, sekaligus menjadi awal proses berhentinya pemberontakan DI/TII Aceh. Pada era Orde Baru, ia bergabung
14
dalam partai politik Golongan Karya (Golkar) dan sosok yang sangat aktif mensosialisasikan ide-ide nasionalisme Indonesia pada
masyarakat
Aceh.
Hasan
Tiro
sendiri
adalah
sosok
pendukung nasionalisme Indonesia pada periode awal proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang kemudian menjadi kritis terhadap ide-ide tersebut dan mengusulkan ide federasi untuk konsep Negara Republik Indonesia pada tahun 1959 dan dia pula yang mengusulkan Federasi Negara Sumatera dalam pertemuan antara Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan DI/TII Aceh di Jenewa-Swiss pada tahun1958,22 meski kemudian ditolak oleh Syarifuddin Prawiranegara dari pihak PRRI. Akibat penolakan tersebut dan melihat kondisi lapangan di Aceh pasca penyelesaian konflik DI/TII Aceh yang tidak memuaskan, maka pada tahun 1976, Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berbasis pada ideologi Nasionalisme Aceh. Pendeklarasian GAM menjadi simbol penolakan total Hasan Tiro terhadap ide-ide nasionalisme Indonesia di Aceh. Penulisan ini mengambil cakupan temporal 1945 sampai dengan 1976. Batasan awal 1945 diambil sehubungan dengan peristiwa proklamasi Indonesia, dan awal dimana nama Indonesia mulai diperkenalkan pada masyarakat Aceh secara luas. Dan batas 1976 diambil karena penulis menganggap bahwa pemikiran 22
M. Nur El Ibrahimy, ibid., hlm. 202 15
nasionalisme kedua tokoh yang menjadi objek kajian sudah terbentuk kuat dan relatif tidak lagi mengalami perubahanperubahan signifikan.
C. Tujuan Penelitian
ini
transformasi ide-ide
bertujuan
menjelaskan,
keindonesiaan
(satu)
masyarakat
pola-pola
Aceh
seperti
direpresentasikan oleh Hasan Saleh dan Hasan Tiro. (Dua) berusaha membandingkan transformasi nasionalisme indonesia antar keduanya. Dengan gambaran pola tersebut, penelitian ini juga akan mencoba menjelaskan bagaimana masyarakat Aceh mengaktualisasikan identitas lokal dan keindonesiaan mereka secara bersamaan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik mereka. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah data historis
berkenaan
masyarakat
Indonesia
dengan
proses
kehidupan
dan
memahami
bahwa
bernegara
nasionalisme
Indonesia dewasa ini adalah suatu sikap dan prilaku dinamis yang tidak terlepas dengan faktor-faktor luar yang mempengaruhinya seperti kesejahteraan, keadilan maupun politik.
16
D. Tinjauan Pustaka Dalam karyanya “Menuju Sejarah Sumatera”23, Anthony Reid menjelaskan, bagaimana proses pembentukan identitas Aceh menjadi identitas masyarakat di wilayah Aceh yang terdiri dari berbagai etnis. Identitas ini terbentuk terutama oleh spirit Islam dan semangat anti orang Portugis. Kedua spirit membentuk kesatuan budaya dan politik Aceh, yang kemudian menjadi identitas Aceh. Reid juga mengungkapkan terdapat perbedaan pandangan signifikan antara persepsi Aceh dan Indonesia terkait dengan masa lalunya. Indonesia lebih banyak dibentuk oleh penyesuaian
pengaruh
Belanda
sementara
Aceh
justru
menghindari pengaruh tersebut. Dalam “Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional”,24 Reid menjabarkan dinamika dalam masyarakat Aceh pada awal abad kedua puluh, ketika kekuasaan pemerintah kolonial Belanda relatif kuat menguasai Aceh, yang berujung kepada solidnya kepemimpinan politik di Aceh pada periode 1945. Dalam periode ini, kebijakan pemerintah kolonial, pengaruh organisasi-organisasi pergerakan dari Hindia Belanda seperti Muhammadiyah dan
Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatera (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011). 23
Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012) 24
17
Serikat
Islam
serta
mempengaruhi
kontestasi
terbentuknya
antar
kelompok
kekuatan-kekuatan
di
baru
Aceh dalam
masyarakat Aceh yang mampu bersaing dan bahkan menandingi kekuatan-kekuatan yang telah ada sebelumnya. Kekuatan baru ini kemudian
bergabung
dengan
organisasi
PUSA
yang
terus
berkembang hingga kekuasaan Jepang berakhir dan Belanda tidak lagi menguasai Aceh. Dalam periode 1945-1949, PUSA menjadi lokomotif utama pendukung Negara Republik Indonesia dan berperan besar memperkuat eksistensi negara republik tersebut di Aceh. Namun secara umum kedua karya diatas tidak spesifik membahas kondisi nasionalisme Indonesia masyarakat Aceh setelah
periode
menonjolnya
revolusi
peran
fisik,
politik
meski
Aceh
Reid
pada
mengungkapkan fase
perjuangan
mempertahankan kemerdekaan indonesia dan posisi Aceh yang berkontribusi
penting
terhadap
eksistensi
negara
Republik
Indonesia. Karya M. Nur El Ibrahimy “Tgk. Daud Beureueh; Peranannya dalam Pergolakan di Aceh”,25 membahas tentang proses Aceh menjadi Indonesia dan peran-peran yang dilakukan
oleh tokoh-
tokohynya terhadap Negara Republik Indonesia serta mengapa dan bagaimana pergolakan DI/TII Aceh terjadi pada tahun 1953.
25
M. Nur El Ibrahimy, op. cit.
18
Secara khusus, El Ibrahimy mengupas cara pandang dan aktivitas politik Daud Beureueh sebagai pemimpin tertinggi DI/TII Aceh yang juga tokoh Aceh yang sangat berpengaruh hingga tahun 1970 an, dan bagaimana relasi Daud Beureueh dengan kawan-kawan seperjuangannya
yang
sebagian
dari
mereka
kemudian
membelakanginya dengan mendirikan Dewan Revolusi dalam DI/TII Aceh. Menurut El Ibrahimy, Dewan Revolusi yang didirikan oleh
Hasan
Saleh
dan
kawan-kawan
bukan
gerakan
yang
mengambil alih (kudeta) kekuasaan dari Daud Beureueh, namun sebagai gerakan yang memisahkan diri dari gerakan DI/TII Daud Beureueh. Dengan demikian, sejak dideklarasikan Dewan Revolusi pada 15 Maret 1959, DI/TII Aceh terpecah menjadi dua golongan. Sebagai anggota parlemen RI ketika periode pemberontakan tersebut
terjadi,
El
Ibrahimy
juga
menguraikan
perbedaan
pandangan para anggota parlemen RI terkait dengan penyelesaian konflik DI/TII Aceh tersebut. Karya Republik”,26
Nazaruddin mengupas
pemberontakan
Syamsuddin tentang
DI/TII Aceh
dan
latar
“Pemberontakan belakang
dinamika
Kaum
meletusnya
internal
mereka
sehingga mempengaruhi terjadinya kesepakatan damai antara DI/TII Aceh dengan pemerintah Republik Indonesia pada tahun
26
Nazaruddin Sjamsuddin, op. cit.
19
1959. Nazaruddin membagi faksi-faksi dalam DI/TII Aceh menjadi dua faksi berdasarkan latar belakang mereka. Faksi pertama adalah faksi ulama, yaitu mereka yang memiliki latar belakang pendidikan agama yang kuat (berasal dari dayah-dayah) dan berprofesi sebagai ulama yang mengelola dayah-dayah. Tokohtokoh seperti Daud Beureueh, Hasballah Indrapuri, Zainal Abidin Tiro, dan Ilyas Leubee termasuk dalam golongan pertama ini. Faksi kedua adalah faksi zuama, yaitu, mereka yang memiliki latar belakang pendidikan agama namun berprofesi tidak sebagai ulama. Dalam faksi ini termasuk tokoh-tokoh seperti Hasan Saleh, Hasan Ali, dan Husein Al Mujahid. Karya C. Van Dijk “Darul Islam: Sebuah Pemberontakan”.27 Mengupas perbedaan dan hubungan antara lima pemberontakan DI/TII di Indonesia. Untuk pemberontakan DI/TII di Aceh, Van Dijk menyebutnya sebagai pemberontakan kaum ulama yang didukung oleh sebagian besar dari Aceh karena menggunakan agama
sebagai
pemberontakan pemerintah,
spirit di
utama
Aceh
namun
jika
perjuangan.
relatif
lebih
pemerintah
Dengan
sulit mampu
demikian
dihadapi
oleh
menyelesaikan
pemberontakan tersebut, maka akan mendorong penyelesaian di daerah-daerah lainnya.
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987). 27
20
Karya Jacques Bertrand “Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia”,28 membahas tentang pengaruh struktur terhadap konflik etnis di Indonesia. Menurut
Bertrand, konflik etnis
cenderung terjadi selama periode perundingan ulang mengenai model kebangsaan dan lembaga-lembaga negara, dan periode reformasi adalah peluang untuk merundingkan kembali model kebangsaan
atau
cara
dilembagakan.
Menurut
diperkenalkan
oleh
bagaimana Bertrand,
model
ketika
kebangsaan
kelembagaan
pemerintah, masyarakat
Aceh
itu baru
kemudian
menafsirkannya menurut perspektif keuntungan dan kerugian Aceh, sehingga setiap langkah pemerintah untuk menjalankan dan mengamankan visi nasionalnya dianggap sebagai pelanggaran terhadap Aceh. Dengan demikian semua pemberontakan di Aceh dianggap sebagai kosekuensi dari konteks kelembagaan yang mengelola identitas, kekuasaan dan distribusi ekonomi. Karya tesis Zulkifli Amiruddin “Nasionalisme Aceh dan Nasionalisme penulisan
Indonesia”,29
tesis
membicarakan
ini.
menjadi
Dalam
tentang
acuan
tesisnya,
transformasi
penting
Zulkifli
dalam
Amiruddin
nasionalisme
dalam
Jacques Bertrand, Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2012). 28
Zulkifli Amiruddin, “Nasionalisme Aceh dan Nasionalisme Indonesia” (Yogyakarta: Tesis Program Studi Sejarah Program Pascasarjana UGM, 2007). 29
21
masyarakat Aceh dari nasionalisme Aceh menjadi nasionalisme Indonesia dan dalam prosesnya kemudian memunculkan kembali nasionalisme lokal Aceh yang digerakan oleh Hasan Tiro melalui Gerakan Aceh Merdeka. Menurut Zulkifli Amiruddin, organisasi pergerakan nasional dan modernitas berpengaruh kuat terhadap perkembangan dan penguatan nasionalisme Indonesia dalam masyarakat Aceh. Semua karya di atas tidak spesifik berbicara tentang transformasi nasionalisme Indonesia dalam masyarakat Aceh, meski
kajian
nasionalisme
tetap
menjadi
bahasan
dalam
menggambarkan keadaan Aceh pada periode kajian. Tesis Zulkifli Amiruddin agak memiliki kemiripan dengan penulisan ini, akan tetapi tetapi metodologi, objek dan periode kajian penulisan ini tidak sama dengan tesis Zulkifli Amiruddin.
E. Kerangka Konseptual dan Pedekatan Kajian nasionalisme berbasis lokal di Indonesia mendesak untuk dikaji, hal tersebut dikarenakan oleh dua hal yaitu; (satu) Narasi sejarah nasional belum memberi porsi yang semestinya untuk kajian lokal/daerah khususnya yang menyangkut tema nasionalisme masyarakat lokal. (dua) nasionalisme adalah sebuah sikap mental dinamis, bersifat fluktuatif dan tidak bisa dibahas secara konfrehensif bila tidak melihat kondisi-kondisi di sekeliling
22
yang mempengaruhinya baik itu berasal dari internal maupun eksternal. Faktor internal berbentuk dinamika sosial dan mobilitas masyarakat yang tinggi yang mempengaruhi sikap dan prilakunya, sementara faktor eksternal datang dari luar masyarakat lokal yang mempengaruhi sikap dan mental masyarakat baik itu berupa kebijakan, program pembangunan maupun opini yang dibangun. Penulisan tematis yang mendalam akan bisa dilakukan jika si sejarawan menguasai dinamika sosial-kultural dari lokalitas yang dibicarakan. Tanpa penguasaan terhadap lokalitas tersebut maka dimungkinkan terjadinya distorsi pengetahuan terhadap sebuah peristiwa yang dibahas.30 Untuk kajian tentang nasionalisme Indonesia di Aceh sebenarnya telah dibahas oleh banyak peneliti,31 namun dengan perspektif berbeda peneliti menulis tentang pola-pola nasionalisme Indonesia
masyarakat
Aceh
berikut
dengan
dinamika
perkembangannya yang direpresentasikan oleh Hasan Saleh dan Hasan Tiro. Peneliti menyadari betul bahwa sebuah peristiwa
Taufik Abdullah, “Ke Arah Penulisan Sejarah Nasional di Tingkat Lokal”, dalam Taufik Abdullah, (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 310 30
Kajian hampir serupa juga dilakukan Zulkifli Amiruddin dalam tesisnya, lihat Zulkifli Amiruddin, op. cit. 31
23
sejarah bersifat kompleks yang dilandasi oleh berbagai faktor penyebab yang saling berhubungan. Dan agar dapat mengungkap berbagai dimensi tersebut secara kritis, maka konsep-konsep ilmu pengetahuan lainnya tidak boleh dikesampingkan. 32 Negara-bangsa dan nasionalisme adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman nasionalisme suatu kelompok masyarakat berbanding lurus dengan pemahaman mereka
tentang
konsep negara-bangsa. Sartono
Kartodirdjo,
mengungkapkan bahwa negara-bangsa adalah gejala kompleks yang bersifat multidimensional dan konfrehensif, serta merupakan produk dari perkembangan historis.33 Kartodirdjo memberikan definisi tentang negara-bangsa sebagai suatu komunitas kesatuan kehidupan bersama yang mencakup berbagai unsur berbeda dalam aspek etnik, kelas, aliran kepercayaan, kebudayaan linguistik dan lain sebagainya, yang semuanya diintegrasikan dalam perkembangan historis sebagai kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Studi Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 70-72 32
Sartono Kartodirdjo, “Nasionalisme, Lampau dan Kini (makalah)”, dalam Seminar Tentang Nasionalisme (Salatiga: Yayasan Bina Dharma, 1993), hlm. 1 33
24
ditopang
oleh
kemauan
politik
bersama. 34
Dalam
hal
ini
Kartodirdjo berusaha menyempurnakan konsep negara-bangsa yang menurutnya kebanyakan definisi para ahli menitikberatkan pada satu aspek saja seperti politik, sosial, ekonomi, kultural, psikologis dan lain sebagainya. Konsep negara-bangsa Sartono Kartodirdjo selaras dengan definisi Ernst Renan yang menyatakan bahwa kemauan dan tekad bersama merupakan syarat utama nasionalisme, dan bahasa adalah faktor pendukung.35 Kedua pendapat di atas cocok digunakan dalam konteks Aceh terkait dengan nasionalisme Indonesia masyarakat Aceh. Fakta sejarah menggambarkan bahwa kemauan dan tekad bersama masyarakat Aceh bergabung dengan Indonesia tampak menonjol pada tahun awal kemerdekaan. Hal tersebut dibuktikan dengan meletusnya peristiwa Cumbok pada 1945-1946 yang salah satu alasannya adalah faktor keinginan menjadikan daerah sebagai bagian dari negara Indonesia. Selain itu, adanya tawaran dari Teungku Mansur walinegara Sumatra Timur supaya Aceh mengambil bagian dalam pembentukan Negara Sumatra Timur ditolak oleh Daud Beureueh. 36
34
Ibid.
35
Zulkifli Amiruddin, op. cit., hlm. 14
36
M. Nur El Ibrahimy, op. cit., hlm. 42
25
Di sisi lain keberadaan dan eksistensi identitas lokal Aceh serta persepsi terhadap masa lalu, sedikit banyak ikut mewarnai perkembangan indentitas nasional Indonesia. Menurut Anthony Reid
(2011),
perbedaan
ingatan
tentang
masa
lalu
antara
Indonesia dan Aceh, melahirkan ketegangan antara mitos dan kenyataan, yang sedikit banyak berpengaruh
terhadap cara
pandang masyarakat Aceh terhadap Indonesia, dan begitu juga sebaliknya. Indonesia lebih banyak dibentuk oleh penyesuaianpenyesuaian pengaruh Belanda, sedangkan Aceh mengambil posisi yang sebaliknya, menghindarkan diri dari penyerapan ke dalam koloni yang kemudian menjadi Indonesia. Perjuangan rakyat Aceh adalah untuk menghindarkan Aceh menjadi bagian dari Hindia Belanda, sedangkan ide negara-bangsa Indonesia justru tercipta di atas
kekuasaan
Hindia
Belanda
dan
bahkan
meneruskan
kekuasaan atas Hindia Belanda dengan berganti nama menjadi Indonesia.37 Perbedaan persepsi terhadap masa lalu tersebut membuat banyak terjadi perbedaan di kemudian hari tentang bagaimana konsep negara-bangsa dan bagaimana seharusnya negara-bangsa yang telah terbentuk tersebut harus diisi. Berbagai perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh adalah sebagai bentuk untuk memulihkan kebanggaan dan
37
Anthony Reid (2011), op. cit., hlm. 333.
26
indentitas
yang
pernah
dimilikinya.
Kegagalan
perlawanan
terhadap Belanda yang menonjolkan identitas ke-Aceh-an selama lebih kurang empat puluh tahun perang Aceh (1873-1912),38 mendorong terjadinya proses transformasi identitas dari Aceh menjadi Indonesia. Organisasi Serikat Islam (SI) yang berkembang pesat di Aceh pada tahun 1920 an adalah medium penting pertama bagi proses transformasi identitas tersebut. 39 Menurut Reid, transformasi identitas dari Aceh menjadi Indonesia adalah bagian dari keinginan masyarakat Aceh memulihkan kebanggaan mereka.40 Transformasi identitas yang terjadi Aceh tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada daerah-daerah lainnya di Nusantara. Sartono Kartodirdjo menyatakan fase awal nasionalisme Indonesia ditandai oleh nasionalisme regional seperti nasionalisme Jawa, Ambon dan Sumatera. Nasionalisme regional ini terbentuk oleh persepsi masa lampau yang memandang adanya kebesaran sejarah masa lampau yang menjulang pada sebuah etnis.41 Dan
T. Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999), hlm. 192 38
39
Anthony Reid (2011), op. cit., hlm. 343
40
Ibid.
Sartono mencontohkan wejangan yang diberikan oleh Wahidin Sudirohusodo kepada pelajar STOVIA yang 41
27
transformasi menjadi nasionalisme Indonesia pun terjadi setelah proses dialektis terus-menerus antara persepsi sejarah masa lampau, kondisi kekinian (hidup dalam suasana penjajahan sebagai penduduk bumiputera dan terdiskriminasi) dan persepsi masa depan.42 Proses dialektis ini pula yang kemudian menjadi proses kembali munculnya etnonasionalisme Aceh pada tahun 1970 an.43 Transformasi adalah suatu perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dalam kajian sosial budaya, transformasi berbicara tentang proses perubahan struktur, sistem sosial dan budaya, dan tidak ada perkembangan budaya terjadi secara linear.44Menurut Nordholt (2002), tranformasi ide-ide nasionalisme bukanlah sebuah proses liniar yang berjalan lancar. Konsepsi membayangkan sebuah kerajaan besar Jawa di masa depan, lihat Sartono Kartodirdjo, ”Kata Pengantar”, dalam Anthony Reid dan David Marr, (ed.), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka (Jakarta: Grafiti, 1983), hlm. IX-X 42
Ibid.
Hasan Tiro menyebutnya “pengembaraan dan pendakian” (mengutip spiritual Nietzsche dalam Thus Spoke Zarasthura), suatu proses transformasi intelektual yang melihat Aceh (kondisi sosiohistoris, budaya, ekonomi dan politik) dan Islam melalui perspektif dan artikulasi Barat. Lihat Ahmad Taufan Damanik, op. cit., hlm. 56 43
Umar Kayam, “Transformasi Sosial Budaya: Budaya Asli di Tengah-tengah Pengaruh Budaya Asing”, dalam M. Mansyur Amin dan Mohammad Najib, (ed.), Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: LKPSM, 1986), hlm. 178-179 44
28
nasionalisme di tingkat pusat tidak begitu saja diikuti oleh orangorang di tingkat lokal dan regional. Komunitas lokal dan regional tersebut bukanlah penerima pasif terhadap konsep-konsep baru yang datang dari luar. 45 Apalagi jika konsolidasi nasional untuk mempertahankan keseragaman
wilayah
dan
dilakukan
membatasi
atau
dengan bahkan
menciptakan menisbikan
keragaman.46 Konsep nasionalisme Indonesia sebagai sesuatu yang baru muncul pada awal abad 20 juga merupakan poin penting dalam kajian nasionalisme Indonesia di Aceh. Dengan demikian kita tidak
menegasikan
keberadaan
indentitas
lokal
masyarakat
Indonesia lainnya yang sesungguhnya telah ada jauh sebelum munculnya konsep nasionalisme Indonesia. Menurut Bambang Purwanto
(2006),
pembentukan
pada
indentitas
daerah-daerah keindonesiaan
tertentu
proses
berlangsung
sinergis
dengan identitas etnik tanpa harus saling bertentangan. 47 Kondisi ini pernah terjadi di Aceh pada awal kemerdekaan 1945, nasionalisme Indonesia bersinergis dengan keinginan masyarakat Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas Dalam Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 212-213 45
Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (Yogyakarta: Ombak, 2006), hlm, 161-162 46
47
Ibid., hlm, 182
29
Aceh untuk merdeka dari suasana penjajahan. Namun situasi tersebut tidak berlangsung lama, ketika negara melakukan campur tangan sangat besar dalam proses pembentukan identitas kebangsaan,
mengakibatkan
nasionalisme
yang
berkembang
adalah nasionalisme negara dan bukan nasionalisme yang berakar kuat pada masyarakat Indonesia. Akibatnya, berbagai gejolak etnik dan ideologi muncul sebagaimana yang terjadi di Aceh, dan reaksi dari negara otoriter dan sentralistik.48 Dengan demikian, Nasionalisme bisa disebut juga sebagai sebuah pengalaman emosional karena melibatkan timbulnya konsepsi-konsepsi baru yang
radikal
mempertanyakan
mengenai orde
waktu,
sosial
yang
ruang ada
dan
dan
bahasa,
pemindahan-
pemindahan sosial.49
F. Metode dan Sumber Penulisan Metode yang akan penulis gunakan adalah metode sejarah kritis yang dimulai dari menentukan dan mencari sumber-sumber sejarah, yang dilanjutkan dengan menguji dan menilainya, serta memahami makna yang sebenarmya dari sumber-sumber atau bukti-bukti sejarah tersebut, kemudian melakukan penyajian
48
Ibid., hlm. 165
49
Henk Schulte Nordholt, op. cit., hlm. 212 30
pemikiran baru berdasarkan bukti-bukti yang dinilai dalam bentuk tertulis (historiografi). Adapun
sebagai
langkah
pertama
yang
penulis
akan
lakukan adalah menentukan sumber sejarah, yang terdiri dari karya-karya tokoh yang menjadi objek kajikan seperti karya Hasan Saleh “Mengapa Aceh Bergolak”, dan karya Hasan Tiro “Demokrasi Untuk Indonesia”, “Masa Depan Dunia Melayu” dan “The Price Of Freedom: The Unfinished Diary Of Tengku Hasan Di Tiro”. Karyakarya ini adalah sumber utama yang penulis pergunakan untuk mengkaji pemikiran tokoh Hasan Saleh dan Hasan Tiro tentang negara dan gerakan politik mereka. Selain itu,
arsip-arsip
pemerintah RI yang ada di Badan Arsip dan Dokumentasi Daerah Aceh dan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Korankoran yang terbit dalam periode penulisan ini dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kajian. Untuk memperoleh sumber-sumber primer, penulis mengunjungi kantor PDIA di Aceh. Penulis juga mengunjungi perpustakaan-perpustakaan di Banda Aceh, Jakarta, Yogyakarta
atau
tempat-tempat
lainnya
untuk
memperkaya
sumber dari penelitian ini. Langkah kedua adalah menguji sumber-sumber yang telah terkumpul. Pengujian atau kritik sumber dibedakan menjadi dua, yaitu ekstern untuk mencari otentitasnya dan kritik interen untuk menguji kredibilitasnya. Kritik interen penulis lakukan untuk
31
mewaspadai sumber-sumber yang dikeluarkan oleh kekuatan atau kelompok politik yang bersaing. Setelah kritik sumber maka sumber-sumber yang telah dianggap benar dapat ditetapkan sebagai fakta. Fakta merupakan suatu
penjabaran
secara
langsung
dari
dokumen-dokumen
sejarah yang dianggap kredibel setelah melalui pengujian yang seksama atas dasar-dasar hukum sejarah. Unsur-unsur yang kredibel bukanlah unsur itu sungguh terjadi, melainkan unsur paling dekat dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Dalam hal ini sejarawan menetapkan suatu yang nampak benar, namun bukan benar secara objektif. Para sejarawan relative jarang berbeda paham mengenai yang kredibel dalam kasus ini. 50 Selanjutnya sebagai langkah ketiga adalah merangkai faktafakta tersebut satu dengan yang lain agar memberikan suatu makna. Kegiatan ini disebut eksplanasi. Eugene J. Mehan menyatakan
bahwa
peristiwa-peristiwa
eksplanasi
tunggal
adalah
(explicanda)
proses
yang
melalui
dihubungkan
dengan
peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan persyaratan umum yang tepat.51
Louis Gottshcalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 95 50
T. Ibrahim Alfian, “Sebuah Catatan Masalah Eksplanasi Dalam Disiplin Sejarah”, Makalah, (tanpa tahun) 51
32
Tahap akhir atau langkah yang keempat adalah melakukan rekontruksi. Hasil eksplanasi direkontruksi dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu dan pendekatan. Pendekatan multi dimensional digunakan
dalam
proses
rekontruksi
kajian
nasionalisme
Indonesia di Aceh.
G. Sistematika Penulisan Penulisan merupakan
ini
dibagi
pengantar
dalam
yang
enam
terdiri
bab,
dari
bab
latar
pertama belakang,
permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan, tinjauan pustaka, kerangka konseptual dan pendekatan, metode dan sumber penulisan dan sistematika penulisan. Bab kedua menggambarkan tentang kondisi masyarakat Aceh sampai awal abad kedua puluh, terutama terkait dengan proses pembentukan
identitas lokal masyarakat
Aceh
yang
berfungsi menerima sekaligus menyaring ide-ide yang berasal dari luar termasuk ide-ide Nasionalisme Indonesia. Bab ketiga, keempat dan kelima adalah inti dari penelitian ini yang membahas
tentang bagaimana proses Aceh menjadi
Indonesia serta dinamika dalam transformasi keindonesiaan tersebut, dan bagaimana proses transformasi kebangsaan dan kenegaraan
Hasan
keindonesiaan,
Saleh
serta
dan
aktivitas
33
Hasan
Tiro
politik
dalam keduanya
konteks yang
mempengaruhi dinamika politik daerah dan masyarakat Aceh. Bab keenam adalah pokok bahasan terakhir dari studi ini yang merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya terutama pada bab pengantar.
34