BAB I PENGUPAHAN DI INDONESIA: SEJARAH DAN PERBAIKAN KEBIJAKAN Sahat Aditua Fandhitya Silalahi*
A. LATAR BELAKANG Kebijakan upah minimum telah menjadi isu penting dalam masalah ketenagakerjaan, baik di negara-negara maju maupun negara sedang berkembang. Isu ini dirasa semakin penting seiring dengan berkembangnya industrialisasi di beberapa negara maju yang berdampak pada peningkatan taraf hidup segolongan masyarakat, khususnya masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas. Di sisi lain ada pendapat yang menyatakan bahwa industrialisasi tidak memberikan dampak signifikan terhadap kehidupan kaum pekerja, padahal kaum pekerja inilah yang memberikan kontribusi paling besar terhadap perkembangan sebuah industri.1 Paradigma lama industrialisasi sudah tidak relevan lagi digunakan saat ini. Paradigma pekerja sebagai faktor produksi dan merupakan sumber utama efisiensi perusahaan melalui penghematan biaya upah tidak akan mampu menjamin industri tersebut dapat berjalan secara berkesinambungan (going concern).2 Hal ini membuat posisi tawar kaum pekerja menjadi lebih tinggi dan memaksa pengusaha untuk duduk bersama dalam merumuskan besaran upah. Paradigma baru yang memandang sebuah industri sebagai kesatuan sistem yang harus saling menunjang, menekankan perlunya memasukkan unsur kesejahteraan di dalam komponen upah. Kesejahteraan disini didefinisikan bahwa semua kebutuhan minimum pekerja dan keluarganya harus dapat terpenuhi secara layak. Dengan demikian, tujuan pemberian *
1
2
Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI. Alamat e-mail: sahatsilalahi81@gmail. com. Suharto, E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama. Kuncoro, M. 2007. Industrialisasi: Ekonomika Industri Indonesia: Menuju Negara Ekonomi Baru 2030? Yogyakarta: Penerbit Andi.
1
Pengupahan di Indonesia
upah minimum harus dapat menjamin hal-hal sebagai berikut : (1) menjamin penghasilan pekerja sehingga tidak lebih rendah dari suatu tingkat tertentu, (2) meningkatkan produktivitas pekerja, dan (3) mengembangkan dan meningkatkan perusahaan dengan cara-cara produksi yang lebih efisien. Penekanannya disini adalah keuntungan perusahaan ditingkatkan melalui cara produksi yang lebih baik dan peningkatan produktifitas pekerja, dimana di dalamnya terkandung unsur keseimbangan antara beban kerja dan tingkat upah.3 Terkait erat dengan paradigma baru tersebut, sudah selayaknya Pemerintah dan kalangan pengusaha duduk bersama dalam rangka merumuskan kebijakan upah yang berkeadilan sekaligus menjaga tingkat keuntungan perusahaan dalam jangka panjang. Dalam tulisan ini akan dibahas konsep sistem pengupahan, model-model kebijakan upah, implementasi kebijakan upah minimum dalam kaitannya dengan karakteristik perusahaan, tinjauan peraturan perundang-undangan mengenai kebijakan upah, sejarah implementasi kebijakan upah minimum di Indonesia, dan diakhiri dengan rekomendasi perbaikan dalam kebijakan upah. B. UPAH DAN SISTEM PENGUPAHAN Definisi upah adalah segala macam pembayaran yang timbul dari kontrak kerja. Pengertian ini mengimplikasikan bahwa istilah upah terlepas dari jenis pekerjaan dan denominasinya.4 Upah menunjukkan penghasilan yang diterima oleh pekerja sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya sebagai perwujudan dari kontrak yang telah disepakati dengan pihak pemberi kerja. Upah dapat diberikan baik dalam bentuk tunai atau natura5, atau dalam bentuk tunai dan natura. Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan. Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya dibentuk berdasarkan kepada fungsi dasar upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang, dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja.6
3
4 5
6
Surhayadi, A., Widyanti, Perwira, D., Sumarto, S. 2003. Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 39(1). Hal. 29-50. Hasnan, S. 2002. Manajemen Personalia. Yogyakarta: Penerbit Andi. Definisi natura menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ. 23/1984 adalah setiap balas jasa yang diterima pegawai, karyawan atau karyawati dan atau keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja. Suryahadi, A., Widyanti, W. P., Sumarto, S. 2003. Minimum Wage Policy and Its Implication on Employment in the Urban Formal Sektor. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 39 (1). Hal. 29-50.
2
Sahat Aditua Fandhitya Silalahi
Pada dasarnya penghasilan yang diterima karyawan digolongkan ke dalam empat bentuk yaitu upah atau gaji, tunjangan dalam bentuk natura (seperti beras, gula dan pakaian), fringe benefits (dalam bentuk dana yang disisihkan pengusaha dan diperuntukkan sebagai dana pensiun, asuransi kesehatan, kendaraan dinas, makan siang), serta perbaikan kondisi lingkungan kerja. Sistem penggajian di Indonesia pada umumnya menggunakan basis berupa gaji pokok yang didasarkan pada kepangkatan dan masa kerja. Pangkat seseorang umumnya didasarkan pada tingkat pendidikan dan pengalaman kerja. Dengan kata lain, penentuan gaji pokok didasarkan pada prinsipprinsip teori human capital, yaitu bahwa upah atau gaji seseorang diberikan sebanding dengan tingkat pendidikan dan pelatihan yang telah dijalani. Di samping gaji pokok, pekerja juga menerima berbagai macam tunjangan sebagai persentase dari gaji pokok atau jumlah tertentu sesuai peraturan perusahaan seperti tunjangan jabatan, tunjangan keluarga dan lain-lain. Jumlah gaji dan tunjangan-tunjangan tersebut dinamakan gaji kotor. Gaji bersih yang diterima adalah gaji kotor dikurangi potongan-potongan seperti potongan untuk dana pensiun dan asuransi kesehatan. Jumlah gaji bersih ini biasa disebut dengan take home pay. Karakteristik dasar sistem pengupahan yang terdapat dalam kontrak kerja antara pekerja dan perusahaan terdiri atas dua, yaitu penetapan upah per satuan output (piece rates) dan upah per jam (time rates). Pemilihan jenis pengupahan ini akan mempengaruhi banyak aspek, antara lain produktivitas tenaga kerja dan tingkat keuntungan perusahaan. Pemilihan sistem pengupahan sering menimbulkan konflik antara pengusaha dan pekerja yang bersumber dari ketidaktahuan pengusaha mengenai beban pekerjaan sebenarnya yang ditanggung pekerja, sementara di sisi lain pekerja cenderung menginginkan upah yang tinggi dengan beban kerja sekecil mungkin. Sistem upah per satuan output memberikan kompensasi kepada pekerja berdasarkan pada output yang dihasilkan. Sebagai contoh pekerja garmen dibayar berdasarkan pada seberapa banyak jumlah pakaian yang dihasilkan dan para tenaga penjual dibayar sesuai dengan jumlah unit yang terjual. Sedangkan sistem upah per jam sangat bergantung kepada jumlah jam kerja yang dialokasikan pekerja dalam melakukan pekerjaannya dan tidak berhubungan sama sekali dengan jumlah output yang dihasilkan pekerja. Pemilihan sistem pengupahan ini juga tergantung kepada kemampuan pengawasan perusahaan. Perusahaan yang memiliki kemampuan pengawasan yang tinggi (memiliki mandor atau petugas pengawas yang mencukupi) akan memilih untuk menggunakan sistem upah persatuan output. Dengan kemampuan pengawasan yang tinggi, maka perusahaan akan mampu mengukur jumlah output pertenaga kerja sehingga upah yang diberikan akan 3
Pengupahan di Indonesia
sebanding dengan tingkat produktifitas pekerja. Sistem upah persatuan output juga mensyaratkan output yang dihasilkan mudah untuk diamati dan diukur sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penghitungan output yang dihasilkan pekerja, seperti jumlah unit yang dapat diselesaikan. Karena persyaratan kemudahan mengukur output ini, maka sistem pengupahan berdasarkan output banyak diimplementasikan pada perusahaan manufacturing. Di sisi lain perusahaan yang memiliki kemampuan pengawasan yang rendah (jumlah mandor tidak mencukupi atau untuk membangun sistem pengawasan yang efektif membutuhkan biaya mahal) cenderung memilih menggunakan sistem upah per jam. Sistem pengupahan perjam juga diimplementasikan terhadap jenis pekerjaan yang outputnya tidak mudah untuk diukur (karena tidak bersifat unit), atau terhadap jenis pekerjaan yang menuntut tingkat keahlian tertentu. Sebagai contoh sistem pengupahan perjam diberikan kepada pekerja pada tim produksi software, pengacara, konsultan, atau profesor dimana jenis-jenis pekerjaan ini membutuhkan tingkat keahlian tertentu. C. SEJARAH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI INDONESIA Selama lebih dari 40 tahun sejak upah minimum pertama kali diberlakukan, Indonesia telah 3 kali mengganti standar hidup sebagai dasar penetapan upah minimum. Komponen kebutuhan hidup tersebut meliputi: Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yang berlaku tahun 1969-1995, Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang berlaku tahun 1996-2005, dan terakhir Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berlaku tahun 2006 hingga saat ini.7
1. Implementasi Upah Minimum Periode 1969-1995 Implementasi kebijakan upah minimum di Indonesia diawali dengan ditetapkannya indikator Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) pada tahun 1956 melalui konsensus tripartit dan melibatkan para ahli gizi untuk memberikan acuan penghitungan upah minimum.8 Kebijakan upah minimum sendiri pertama kali diperkenalkan awal 1970 an setelah dibentuk Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) berdasarkan Kepres No. 85 Tahun 1969 dan Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD) oleh Pemerintah Daerah. Adapun KFM meliputi 5 kelompok kebutuhan, yaitu:9 1. Makanan dan minuman, terdiri atas 17 komponen; 2. Bahan bakar, penerangan, dan penyejuk, terdiri atas 4 komponen;
Sinaga, T. 2008.Kebijakan Pengupahan di Indonesia. Jurnal Ketenagakerjaan Vol 3 (2). Hal. 88-102. 8 Saget C. 2006. Fixing Minimum Wage Levels in Developing Countries: Common Failures and Remedies. ILO Geneve. Labor Studies Journal vol 1 (9). Hal. 11-24. 9 Sinaga, op. cit. 7
4
Sahat Aditua Fandhitya Silalahi
3. Perumahan dan alat dapur terdiri atas 11 komponen; 4. Pakaian terdiri atas 10 komponen; dan 5. Lain-lain terdiri atas 6 komponen. 1. 2. 3. 4. 5.
Sedangkan KFM tersebut dihitung untuk: Pekerja/buruh lajang; Pekerja/buruh + isteri (K-0); Pekerja/buruh+isteri+1 (satu) orang anak (K-1); Pekerja/buruh+isteri+2 (dua) orang anak (K-2); Pekerja/buruh+isteri+3 (tiga) orang anak (K-3);
Tahapan penentuan KFM meliputi proses penelitian harga pada pasar tradisional yang dilakukan sekali dalam sebulan untuk wilayah DKI Jakarta dan sekali dalam 3 bulan untuk wilayah provinsi lain. DPPD bertugas melaksanakan penelitian tersebut untuk kemudian menyampaikan hasil kajian KFM dan memberikan kesimpulan mengenai upah minimum kepada Gubernur. Selanjutnya gubernur memberikan rekomendasi kepada Menteri Tenaga Kerja yang selanjutnya dilakukan penelitian oleh DPPN. Hasil penelitian DPPN inilah yang kemudian dijadikan dasar bagi Menteri Tenaga Kerja untuk menetapkan besaran upah minimum. 2. Implementasi Upah Minimum Periode 1996-2005 Sejalan dengan perkembangan ekonomi, komponen KFM dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan perlu dikaji untuk disempurnakan. Penyempurnaan ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 81 Tahun 1995 dengan memperkenalkan indikator Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Komponen KHM terdiri atas: 1. Makanan dan minuman, 11 komponen; 2. Perumahan dan fasilitas, 19 komponen; 3. Sandang, 8 komponen; 4. Aneka kebutuhan, 5 komponen.
Perubahan komponen KFM menjadi KHM diselaraskan dengan munculnya ketentuan upah minimum melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 1997 tentang Upah Minimum Regional yang hanya berlaku selama 2 tahun. Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap.10 Selanjutnya Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 1 Tahun 1999 tentang Upah Minimum yang memuat ketentuan bahwa Upah Minimum terdiri atas Upah Minimum Regional Tingkat 1 (UMR I), Upah
10
Pasal 1 ayat 1 Permenakertrans No: PER-01/MEN/1999 jo. Kepmenakertrans Nomor KEP 226/MEN/2000.
5
Pengupahan di Indonesia
Minimum Regional Tingkat 2 (UMR II), Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat 1 (UMSR I), dan Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat 2 (UMSR II).11 UMR I dan UMR II ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut:12 1. Kebutuhan; 2. Indeks Harga Konsumen (IHK); 3. Kemampuan, perkembangan, dan kelangsungan daerah; 4. Upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah; 5. Kondisi pasar kerja; dan 6. Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan perkapita.
Sedangkan UMSR I dan UMSR II ditetapkan berdasarkan faktor pertimbangan di atas ditambah dengan pertimbangan kemampuan perusahaan secara sektoral.13 Pertimbangan sektoral ini meliputi kontribusi sektor terhadap pendapatan daerah, kemampuan penyerapan tenaga kerja, dan sifat ketenagakerjaan dari perusahaan (padat modal atau padat karya). 3. Implementasi Upah Minimum Periode 2006 – sekarang Sejak tahun 2001, seiring dengan perubahan rejim pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi yang ditandai dengan otonomi daerah, kewenangan penetapan tingkat upah minimum juga diberikan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bekerja sama dengan Dewan Pengupahan pada tingkat daerah. Dewan Pengupahan ini terdiri atas perwakilan dari dinas ketenagakerjaan, pengusaha, perwakilan serikat pekerja, dan kalangan akademisi.14 Sedangkan tujuan dari kebijakan desentralisasi ini adalah untuk meningkatkan efektifitas ekonomi, efisiensi, dan persamaan akses terhadap pelayanan publik.15 Penelitian SMERU juga menyatakan bahwa desentralisasi kewenangan ke level pemerintahan yang lebih rendah dalam penetapan upah minimum juga bertujuan untuk membagi resiko dalam bernegosiasi dengan serikat pekerja di daerah, seperti misalnya ketika terjadi demonstrasi besar-besaran pada saat menjelang penetapan besaran upah minimum. Selain itu Pemerintah Daerah cenderung lebih mengetahui kondisi beserta perkembangan daerah,
11
12 13
14
15
Pasal 3 Permakertrans No: PER-01/MEN/1999 jo. Kepemenakertrans Nomor KEP. 226/ MEN/2000. Ibid. Pasal 6 ayat 2 Permenakertrans No PER-01/MEN/1999 jo. Kepmenakertrans No KEP 226/MEN/2000. Manning, C. 2003. Labor Policy and Employment Creation. An Emerging Crisis?. PEGUSAID Technical Report. SMERU. 2003. Penerapan Upah Minimum di Jabotabek dan Bandung. Technical Report.
6
Sahat Aditua Fandhitya Silalahi
sehingga segala kebijakan yang diambil dengan pola desentralisasi dapat lebih tepat sasaran. Pemerintah menetapkan upah minimum sejak tahun 2006 berdasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) seorang pekerja lajang. Komponen penyusun KHL tersebut pertama kali diatur dalam Permenakertrans No Per17/Men/2005 tentang Komponen dan Pentahapan Kebutuhan Hidup Layak. Berdasarkan peraturan tersebut, komponen KHL terdiri atas 7 kelompok kebutuhan dengan 46 komponen dengan rincian sebagai berikut:16 1. Makanan dan minuman terdiri dari 11 (sebelas) komponen; 2. Sandang terdiri dari 9 (sembilan) komponen; 3. Perumahan terdiri dari 19 (sembilan belas) komponen; 4. Pendidikan terdiri dari 1 (satu) komponen; 5. Kesehatan terdiri dari 3 (tiga) komponen; 6. Transportasi terdiri dari 1 (satu) komponen; dan 7. Rekreasi dan tabungan terdiri dari 2 (dua) komponen.
Seiring dengan pemindahan kewenangan penetapan upah minimum kepada Pemerintah Kabupaten/Kota terdapat perubahan tren besaran upah minimum. Selain itu seiring era otonomi daerah, terdapat peningkatan dalam jumlah anggota serikat pekerja pada tingkat Kabupaten/Kota.17 Sebagai dampaknya secara rata-rata terdapat peningkatan besaran upah minimum sebesar 30% pertahun pada 2001 dan 2002. Bahkan dalam beberapa kasus terdapat peningkatan signifikan tingkat upah sehingga melampaui tingkat inflasi di provinsi tersebut, sebagai contoh adalah Jawa Barat dan Jawa Timur.18 Meskipun kenaikan ini secara umum dapat diinterpretasikan sebagai kompensasi atas inflasi, akan tetapi hal yang perlu dicermati adalah periode terjadinya kenaikan upah minimum adalah pada saat pasca krisis ekonomi 1997-1998. Dibandingkan dengan negara Asia lainnya yang memiliki tingkat pembangunan yang hampir sama, maka tingkat upah minimum rata-rata di Indonesia hanya lebih rendah daripada upah minimum di Filipina dan Thailand, tetapi secara relatif lebih tinggi daripada upah minimum di Vietnam, Kamboja, Sri Lanka, Pakistan, dan Bangladesh19 Dengan fakta tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat percepatan kenaikan upah minimum, bahkan pada saat periode pemulihan pasca-krisis ekonomi.
16
17
18 19
Untuk lebih lengkapnya lihat Permenakertrans No Per-17/Men/2005 tentang Komponen dan Pentahapan Kebutuhan Hidup Layak Husni, L. 2010.Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. Manning. 2003. op. cit. Ibid.
7
Pengupahan di Indonesia
D. MODEL KEBIJAKAN UPAH 1. Pasar Kompetitif Dalam konteks pasar tenaga kerja kompetitif atau pasar persaingan sempurna, pengusaha dan tenaga kerja dapat dengan bebas masuk dan keluar dari pasar kerja, sehingga alokasi tenaga kerja dapat terjadi pada suatu ekuilibrium yang efisien.20 Dalam pasar ini, dengan menggunakan pendekatan maksimisasi profit, pengusaha akan mempekerjakan karyawan hingga marginal cost sama dengan marginal revenue product of labour.21 Di suatu daerah atau negara di mana kebijakan tingkat upah minimum diimplementasikan mendekati model pasar kompetitif, maka kelebihan penawaran (dalam hal ini tenaga kerja berlimpah) akan menyebabkan meningkatnya angka pengangguran.22 Kecenderungan yang berbeda teramati pada negara yang sedang berkembang, dimana kelebihan penawaran tenaga kerja tidak selalu berdampak kepada meningkatnya angka pengangguran. Fenomena yang terjadi di negara sedang berkembang bila terjadi kelebihan penawaran adalah bertambahnya tenaga kerja di sektor informal. Hal ini mengindikasikan terjadinya peristiwa perpindahan dari tenaga kerja di sektor formal (tercover oleh kebijakan upah minimum) ke sektor informal (tidak tercover oleh kebijakan upah minimum).23 2. Model Dual Sektor Model dual sektor merupakan perluasan dari model kompetitif. Model ini lebih mencerminkan kenyataan di lapangan pada sektor tenaga kerja, di mana dalam ekonomi lapangan kerja tersegmentasi menjadi dua, yaitu sektor formal dan sektor informal.24 Perbedaan antara kedua sektor yang ditekankan pada model ini adalah keberadaan kebijakan upah minimum dan tidak. Model ini juga menyertakan kondisi terjadinya mobilitas sempurna di antara kedua sektor tersebut (hal ini mengimplikasikan tenaga kerja pada dua sektor dapat berpindah kapan pun dan dalam jumlah berapa pun).25
20
21
22
23 24
25
Autor, D.H. 2013. The “Task Approach” to Labor Markets : An Overview. Journal on Labour Market Research. Vol 6 (1). Hal. 134-145. Slotman, J. and Sutcliffe. 2004. Business Economics and Managerial Decision Making 3rd ed. New Jersey: Pearson Education .Inc. Abowd, J.M., Kramarz, F., Lemiaux, and Margolis, D.N. 2003. Minimum Wages and Youth Employment in France and The United States. NBER Working Paper No. 6111. National Bureau of Economic Research. Cambridge. USA. Pratomo DS, & Saputra Putu, op. cit. Osaki, K. 2003. Migrant Remittances in Thailand:Economic Necessity or Social Norm? Journal of Population Research. 20 (20). Hal. 203-204. Gindling, T.H., and Terrel, K. 2005. The Effect of Minimum Wages on Actual Wages in Formal and Informal Sectors in Costa Rica. Journal of World Development. 33(11). Hal. 1905-1921.
8
Sahat Aditua Fandhitya Silalahi
Penetapan tingkat upah minimum cenderung mengurangi jumlah permintaan tenaga kerja di sektor formal karena perusahaan cenderung untuk mengkalkulasi ulang tingkat biaya dan tingkat keuntungan optimum. Kelebihan penawaran tenaga sebagai dampak kebijakan penetapan tingkat upah minimum pada gilirannya akan diserap oleh sektor informal. Karena sektor informal ini tidak diregulasi oleh kebijakan tersebut, maka kecenderungan yang terjadi adalah pembentukan tingkat upah yang lebih rendah. Dampak secara makro yang teramati adalah distribusi pendapatan yang semakin buruk, dimana kesenjangan pendapatan antar sektor formal dan informal akan semakin tinggi.26 Dalam laporannya, International Labour Organization (ILO) menyatakan bahwa sektor informal adalah bagian dari ekonomi pasar yang memproduksi secara legal barang dan jasa untuk dijual ke konsumen. Sektor ini meliputi tenaga kerja yang terdapat di dalamnya, baik pada perusahaan informal (usaha kecil yang tidak terdaftar secara resmi) dan perusahaan formal (berbadan hukum). Perusahaan informal dan pekerja pada sektor ini memiliki karakter penting, yaitu tidak dikenali dan tidak dilindungi oleh ketentuan upah minimum dan peraturan ketenagakerjaan tetapi memilki pengaruh besar pada mekanisme pembentukan upah.27 Pengaruh yang diberikan dapat berasal dari keterlibatan tenaga kerja tersebut pada organisasi Serikat Pekerja yang memang sebagian besar tidak membatasi keanggotaannya hanya pada pekerja dari sektor formal saja. Oleh karena itu Pemerintah perlu memperhatikan dampaknya kepada sektor informal dalam menetapkan kebijakan upah minimum.
E. PERBAIKAN INDIKATOR KEBUTUHAN HIDUP LAYAK Penggunaan indikator KHL dalam komponen penentuan upah minimum merupakan kemajuan dalam kebijakan Pemerintah dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan kaum pekerja. Harus diakui bahwa terdapat kemajuan yang signifikan dalam komponen penentuan besaran upah minimum dibandingkan periode sebelumnya yang hanya menggunakan indikator kebutuhan hidup minimum. Akan tetapi secara nasional angka rata-rata rasio UMP terhadap KHL hanya sebesar 84% yang mengindikasikan bahwa masih ada provinsi yang memiliki upah minimum yang belum memenuhi kebutuhan hidup layak bagi pekerja. Menurut Lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, tim survei dibentuk sesuai dengan kebutuhan di Sumarsono, op. cit. Ibid.
26
27
9
Pengupahan di Indonesia
mana pada daerah yang telah memiliki Dewan Pengupahan maka tim survei ini beranggotakan 5 (lima) orang. Anggota tim survei terdiri atas 4 (empat) orang anggota Dewan Pengupahan yang keanggotaannya terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha, Serikat Pekerja/Serikat Pekerja, Perguruan Tinggi atau Pakar, dan 1 (satu) orang dari BPS setempat. Sedangkan poin-poin penting dalam survei yang dilakukan dalam menentukan angka KHL adalah:28 1. Survei dilakukan di pasar tradisional yang menjual barang secara eceran, bukan pasar induk dan bukan pasar swalayan atau sejenisnya. Kriteria pasar tradisional yang disurvei adalah: bangunan fisik pasar relatif besar, terletak pada daerah yang biasa dikunjungi oleh pekerja, komoditas yang dijual beragam, banyak pembeli, dan waktu keramaian berbelanja relatif panjang. 2. Harga barang dan jasa diperoleh dengan cara menanyakan harga seolaholah petugas survei akan membeli barang yang dijual, sehingga dapat diperoleh harga yang sebenarnya (terdapat proses tawar-menawar). Survei juga dilakukan terhadap tiga orang responden tetap yang telah ditetapkan sebelumnya. 3. Untuk jenis kebutuhan tertentu, survei harga dapat dilakukan di tempat lain di tempat jenis kebutuhan tersebut berada/dijual.
Penulis berpandangan keberadaan KHL dalam penentuan upah minimum perlu dipertahankan sekaligus dilakukan perbaikan dalam metode penentuan besaran KHL tanpa mengesampingkan indikator ekonomi lainnya, seperti Pendapatan Bruto Daerah (PDB), Indeks Harga Konsumen (IHK), dan keberlangsungan perusahaan. Pertemuan-pertemuan tripartit harus mampu mengakomodasi setiap indikator di atas sehingga proses pembentukan upah minimum dapat lebih objektif dan berkeadilan. Satu hal yang perlu memperoleh perhatian adalah perlunya pedoman yang jelas dan detail tentang kriteria KHL dikumpulkan di pasar. Masih banyak ditemui di lapangan perbedaan penafsiran dari tim survei KHL sehingga pedoman untuk menyusun KHL juga berbeda antar kabupaten/kota dalam satu provinsi. Sebagai dampaknya adalah terjadi perbedaan tingkat UMP yang signifikan pada kabupaten/kota dalam satu provinsi yang bersumber pada perbedaan angka KHL secara signifikan, padahal harga kebutuhan pokok di wilayah tersebut relatif sama. Sebagai tambahan, di beberapa daerah juga ditemui keterbatasan data selain komponen KHL, seperti Indeks Harga Konsumen (IHK) dan kemampuan keuangan perusahaan sehingga angka KHL yang terbentuk kurang mencerminkan angka kebutuhan hidup yang sebenarnya.
28
Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Menteri No 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
10
Sahat Aditua Fandhitya Silalahi
Usulan dari berbagai aliansi pekerja untuk menambahkan jumlah komponen dalam penyusunan KHL sebenarnya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka mencapai angka UMP yang berkeadilan. Akan tetapi perlu diperhatikan disini adalah kepentingan kalangan pengusaha yang tentunya berharap tingkat keuntungan perusahaan dapat terus bertumbuh. Menurut penelitian yang dilakukan di berbagai daerah, pada saat ini terdapat kalangan pengusaha yang telah mengeluhkan tentang banyaknya komponen penyusun KHL sebagaimana tertuang dalam Permenakertrans No. 13 Tahun 2012. Beberapa komponen tersebut juga dirasakan terlalu berlebihan bila dimasukkan sebagai kebutuhan pekerja lajang untuk hidup selama satu bulan. Beberapa komponen yang dirasakan terlalu berlebihan tersebut diantaranya rice cooker, kompor gas, dan tabung elpiji.29 Penyusunan KHL juga harus memperhitungkan pengaruh terhadap sektor informal sebagaimana dijelaskan pada kedua model kebijakan pengupahan pada bagian sebelumnya. Pelibatan komponen KHL yang terlalu banyak akan mengakibatkan kecenderungan penetapan UMP yang terlalu tinggi. Perlu ditekankan kembali bahwa kenaikan UMP pada gilirannya akan menaikkan harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga kebutuhan pokok tentunya membawa pengaruh bagi penurunan daya beli pekerja di sektor informal. Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, pekerja di sektor informal tidak dilindungi oleh kebijakan upah minimum, sehingga kenaikan UMP tidak serta merta diikuti oleh kenaikan upah sektor informal. Padahal menurut model dual sektor telah dinyatakan bahwa sektor ini juga memproduksi barang dan jasa kepada konsumen. Oleh karena itu resiko terhentinya produksi di sektor informal sedikit banyak akan membawa pengaruh terhadap kelangkaan barang dan jasa di pasar. Penulis mengusulkan agar komponen penyusun KHL tersebut ditinjau dan dievaluasi kembali dalam forum tripartit. Penekanan dalam penyusunan komponen KHL yang baru bukanlah dalam hal jumlah melainkan pada kualitas atau tingkat urgensi dari komponen tersebut untuk dimasukkan dalam daftar penyusun KHL. Setelah komponen KHL terbentuk dan kebijakan UMP telah diterbitkan, maka hal yang perlu memperoleh perhatian berikutnya adalah sosialisasi dan transparansi dari upah itu sendiri. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, upah minimum terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap. Akan tetapi PP ini tidak mengatur secara jelas mengenai tunjangan tetap sehingga sering menimbulkan kontroversi antara pengusaha dan pekerja. Ina, R. 2013. Kebutuhan Hidup Layak: Metode Survei dan Implikasinya. Jurnal Ketenagakerjaan Vol. (3) No. 2. Hal. 51-79.
29
11
Pengupahan di Indonesia
Salah satu survei menyebutkan bahwa kurangnya sosialisasi dan transparansi akan tunjangan tetap merupakan sumber utama dari permasalahan ini.30 Survei dari SMERU juga menyatakan bahwa masih banyak pekerja yang tidak mengetahui secara detail mengenai komponen tunjangan yang menjadi hak mereka. Bahkan banyak juga pekerja yang hanya menerima upah pokok tanpa menerima tunjangan. Hal ini berlangsung dalam waktu yang lama karena pekerja itu sendiri tidak mengetahui akan hak mereka untuk menerima tunjangan tetap.31 Untuk membantu mempercepat proses sosialisasi ini, penulis berpandangan perlunya dilakukan pertemuan tiga pihak yang melibatkan Pemerintah Daerah, pengusaha, dan perwakilan asosiasi pekerja. Dalam pertemuan ini hendaknya dibicarakan secara terbuka komponen gaji minimum, khususnya tunjangan tetap yang merupakan hak dari pekerja. Butir-butir yang harus disepakati dalam pertemuan ini adalah besaran tunjangan tetap, jangka waktu pemberian tunjangan, komponen tunjangan itu sendiri baik yang bersifat fixed maupun variabel, mekanisme pemberian, dan mekanisme pengawasan. F. TINJAUAN TERHADAP KEMUNGKINAN KEBIJAKAN UPAH MINIMUM SEKTORAL Dalam Peraturan Menteri No 1 Tahun 1999 tentang Upah Minimum sebenarnya telah diakomodasi kemungkinan diimplementasikannya pendekatan lain dalam penetapan upah minimum. Pendekatan ini adalah pendekatan upah minimum sektoral.32 Dalam Pasal 1 angka 3 dan 4 disebutkan bahwa Upah Minimum Sektoral Regional adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di wilayah provinsi ataupun kabupaten/kota. Sedangkan pada angka 6 disebutkan bahwa sektoral adalah kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLUI) sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009.33 Selanjutnya pada Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa upah minimum dapat terdiri atas upah minimum
Card, D, Krueger A. 1994. Minimum Wages and Employment: A Case Study of the Fast Food Industry in New Jersey and Pennsylvania. The American Economic Review. 84(4). Hal. 772793. 31 SMERU. op. cit. 32 Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum. 33 Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. 30
12
Sahat Aditua Fandhitya Silalahi
berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota atau berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Sedangkan kebijakan upah minimum tersebut ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau bupati/walikota. Dari UU Ketenagakerjaan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah memiliki opsi kebijakan menetapkan upah minimum berdasarkan sektor lapangan kerja. Akan tetapi salah satu yang menjadi persoalan adalah ketentuan pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 1 Tahun 1999 khususnya Pasal 5 yang menyatakan bahwa Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I dan II harus lebih besar sekurang-kurangnya 5% dari Upah Minimum Regional Tingkat I dan II pada daerah yang bersangkutan.34 Seperti telah disebutkan sebelumnya, Peraturan Menteri tersebut hanya mencantumkan batas bawah dan tidak mencantumkan batas atas dari UMSR Tingkat I dan Tingkat II. Hal ini memberikan ketidakpastian hukum khususnya bagi kalangan pengusaha karena membuka ruang bagi perselisihan dalam hal penetapan besaran upah minimum pada tiap sektor. Kecenderungan yang sangat mungkin terjadi adalah pihak serikat pekerja akan menuntut besaran upah minimum di atas 5% karena merasa sektor perusahaan tempatnya bekerja adalah sektor yang kompetitif dan menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi bagi perusahaan. Terlepas dari kemungkinan kontroversi dalam penetapan upah minimum sektoral, penetapan upah model ini lebih memberikan rasa keadilan terhadap kaum pekerja. Porsi dari besaran upah ini harus sesuai dengan besaran kontribusi terhadap PDB sektoral terhadap total PDB kabupaten/kota. Pemerintah provinsi dapat memberikan insentif lebih terhadap pekerja di sektor yang memberikan PDB signifikan terhadap PDB provinsi. Insentif ini memang harus ditetapkan oleh gubernur karena kontribusi PDB cenderung bersifat lintas kabupaten/kota. Kalangan pengusaha pada sektor unggulan dapat terbebani oleh tingginya upah sektoral dibandingkan upah minimum. Akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan mengaitkan variabel tunjangan terhadap produktivitas, atau dengan kata lain sistem pengupahan pada perusahaan tersebut terdiri atas upah minimum ditambah dengan tunjangan yang bersifat variabel. Untuk sektor manufacturing tunjangan yang bersifat variabel ini dapat diimplementasikan dengan sistem pengupahan piece rates. Sedangkan bagi perusahaan selain manufacturing, sistem tunjangan variabel dapat dikaitkan dengan tingkat kualitas dari output yang dihasilkan oleh pekerja.
34
Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum.
13
Pengupahan di Indonesia
Dalam menentukan sistem pengupahan berbasis sektoral, pihak pemerintah daerah, pengusaha, dan perwakilan dari serikat pekerja harus duduk bersama dan menyepakati besaran upah sektoral tersebut. Dalam forum ini, semua pihak dapat menyampaikan pandangannya terhadap besaran upah sektoral yang akan ditetapkan beserta besaran tunjangan terkait produktivitas. Kalangan pengusaha harus secara terbuka memberikan syarat penilaian kinerja kepada pekerja agar diperoleh besaran upah dan produktivitas yang adil. Sedangkan di sisi lain, perwakilan serikat pekerja juga bertugas mengawasi obyektivitas dan transparansi dalam pemberian upah sektoral terutama yang berkaitan dengan tunjangan yang bersifat variabel.
G. SIMPULAN Kebijakan upah minimum yang telah diimplementasikan di Indonesia dengan menjadikan dasar penghitungan KHL sebenarnya telah cukup baik dalam rangka mencapai taraf penghidupan yang layak. Untuk meningkatkan tingkat obyektivitas KHL dalam penyusunan upah minimum, pihak Pemerintah mengakomodasi pandangan kalangan pengusaha yang mengeluhkan beberapa komponen KHL yang dipandang terlalu berlebihan bagi pekerja lajang. Oleh karena itu Pemerintah sebaiknya mengakomodasi pertemuan antara kalangan pengusaha dan serikat pekerja untuk terus memperbaharui komponen KHL. Penekanan sebaiknya bukan pada jumlah, melainkan pada kualitas dan tingkat urgensi kebutuhan akan komponen tersebut. Hal penting lain yang perlu memperoleh perhatian dari Pemerintah adalah proses sosialisasi dan transparansi hak pekerja. Setiap pekerja harus mengetahui bahwa upah mereka terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap. Dengan sosialisasi yang memadai serta transparansi diharapkan akan lebih mendorong kalangan pengusaha untuk memberikan hak para pekerja secara penuh. Mencapai upah yang berkeadilan juga dapat ditempuh dengan mengimplementasikan model pengupahan sektoral. Permasalahan utama dalam penetapan model pengupahan sektoral adalah ketentuan bahwa besaran upah sektoral paling sedikit sebesar 5% dari besaran upah minimum yang berlaku di daerah Tingkat I/Tingkat II. Potensi perselisihan dapat terjadi antara kalangan pengusaha dan pekerja, di mana pekerja dapat menuntut besaran upah di atas 5% karena merasa perusahaan tempatnya bekerja menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi (di atas rata-rata keuntungan perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut). Sedangkan di sisi lain kalangan pengusaha tentunya ingin menjaga tingkat keuntungan yang tinggi. Oleh karena itu, pihak pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja harus duduk bersama dalam penetapan tingkat upah sektoral ini disertai dengan pembahasan kriteria kinerja agar implementasi upah sektoral dapat berbanding lurus dengan tingkat produktivitas dan keuntungan perusahaan. 14
DAFTAR PUSTAKA
Buku Hasnan, S. 2002. Manajemen Personalia. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Husni, L. 2010.Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kuncoro, M. 2007. Industrialisasi: Ekonomika Industri Indonesia:Menuju Negara Ekonomi Baru 2030?. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Slotman, J. and Sutcliffe. 2004. Business Economics and Managerial Decision Making 3rd ed. New Jersey: Pearson Education .Inc. Suharto,Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama. Jurnal Autor, D.H. 2013. The “Task Approach” to Labor Markets : An Overview. Journal on Labour Market Research. Vol 6 (1). Hal. 134-145.
Card, D, and Krueger, A. 1994. Minimum Wages and Employment: A Case Study of the Fast Food Industry in New Jersey and Pennsylvania. The American Economic Review. 84(4). Hal. 772-793. Gindling, T.H., and Terrel, K. 2005. The Effect of Minimum Wages on Actual Wages in Formal and Informal Sectors in Costa Rica. Journal of World Development. 33(11). Hal. 1905-1921.
Ina, R. 2013. Kebutuhan Hidup Layak: Metode Survei dan Impliikasinya. Jurnal Ketenagakerjaan vol (3) no. 2. Hal. 51-79.
Osaki, K. 2003. Migrant Remittances in Thailand:Economic Necessity or Social Norm? Journal of Population Research. 20 (20). Hal 203-204.
Saget, C. 2006. Fixing Minimum Wage Levels in Developing Countries: Common Failures and Remedies. ILO Geneve. Labor Studies Journal vol 1 (9). hal. 11-24. 15
Pengupahan di Indonesia
Sinaga, T. 2008. Kebijakan Pengupahan di Indonesia. Jurnal Ketenagakerjaan Vol 3 (2). hal. 88-102.
Surhayadi, A., Widyanti, W., Perwira, D., dan Sumarto, S. 2003. Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 39(1). Hal. 29-50.
Dokumen Resmi Abowd, J.M., Kramarz, F. Lemiaux, and Margolis, D.N. (2003). Minimum Wages and Youth Employment in France and The United States. NBER Working Paper No. 6111. National Bureau of Economic Research. Cambridge. USA. Manning, C., (2003). Labor Policy and Employment Creation. An Emerging Crisis?. PEG-USAID Technical Report. SMERU. (2003). Penerapan Upah Minimum di Jabotabek dan Bandung. Technical Report.
Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No Per-17/Men/1999 tentang Upah Minimum Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No Per-17/Men/2005 tentang Komponen dan Pentahapan Kebutuhan Hidup Layak Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No Per-13/Men/2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ. 23/1984
16
BAB II PERAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA: MODEL LEWIS-RANIS-FEI Iwan Hermawan*
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Wilayah Asia dan Pasifik tidak hanya mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat selama 4 dekade terakhir, tetapi juga mengalami perubahan secara dramatis di banyak aspek. Salah satunya terkait dengan perubahan struktur ekonomi. Pada pertengahan tahun 1970an, lebih dari 60 persen tenaga kerja di wilayah Asia berkerja di sektor pertanian dan pada tahun 2012 kontribusinya menurun hingga hanya kurang dari 33 persen. Hal ini mempengaruhi produkproduk yang dapat diekspor oleh negara-negara di wilayah Asia dan Pasifik. Pada tahun 1960an dan 1970an, kebanyakan ekspor produk-produk dari wilayah Asia bersifat labor intensive dan menggunakan teknologi yang rendah, namun saat ini ekspor produk-produk dari wilayah Asia lebih banyak yang menggunakan teknologi tinggi dan lebih capital intensive.1 Di Indonesia, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan krusial terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan ketahanan pangan. Tenaga kerja merupakan subyek utama dalam menggerakkan proses produksi barang dan jasa sehingga pada akhirnya mempengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian rata-rata mencapai lebih dari 40 juta antara periode tahun 2005 hingga tahun 2012. Jumlah ini merupakan jumlah tenaga kerja terbesar apabila dibandingkan dengan sektor nonpertanian (sektor industri dan jasa). Berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2012 sektor pertanian rata-rata memiliki kontribusi lebih dari 35 persen terhadap total angkatan kerja di Indonesia. Kontribusi tersebut juga yang terbesar dibandingkan *
1
Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail:
[email protected]. Asian Development Bank, Key Indicators for Asia and the Pacific 2013, (Mandaluyong City: Asian Development Bank, 2013), p. 3.
17
Peran Tenaga Kerja Sektor Pertanian
dengan tenaga kerja di sektor nonpertanian. Selain itu tenaga kerja sektor pertanian menjadi bagian tidak terpisahkan dari ketersediaan pangan dalam membangun ketahanan pangan (food security). Pergeseran tenaga kerja dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan atau dari sektor pertanian ke nonpertanian dapat mempengaruhi tingkat produktivitas pangan yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat ketahanan pangan tersebut. Tabel 1 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Industri, dan Jasa Tahun 2005-2012
Tahun
Tenaga Kerja Sektor Pertanian (Juta Orang)
Tenaga Kerja Sektor Industri (Juta Orang)
Tenaga Kerja Sektor Jasa* (Juta Orang)
Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian terhadap Angkatan Kerja Nasional (Persentase)
2005
41,31
11,95
17,91
43,97
2008
41,33
12,55
21,22
40,30
2006 2007 2009 2010 2011 2012
40,14 41,21 41,61 41,49 39,33 38,88
11,89
19,22
12,37
20,55
12,84
21,95
13,82
22,49
14,54
23,40
15,37
23,16
Sumber: BPS, 2013.2 Keterangan: * sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi.
42,05 41,24 39,68 38,35 35,86 35,09
Peningkatan PDB tersebut telah menstimulasi perkembangan wilayah kota dan pemukiman penduduk, sehingga banyak mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Lebih lanjut, dampak dari disparitas pembangunan ekonomi antara wilayah perdesaan dan perkotaan mendorong adanya urbanisasi. Menurut data Asian Development Bank pada tahun 2012, tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai 49,80 persen terhadap total penduduknya. Urbanisasi tersebut didasari faktor utama untuk memenuhi kebutuhan hidup petani dengan tingkat pendapatan yang memadai. Faktor lainnya adalah untuk mencari kesempatan di luar wilayah perdesaan, seperti pendidikan lebih tinggi dan pengembangan modal manusia, guna meningkatkan tingkat pendapatannya. Pendapatan yang semakin rendah berakibat pada semakin tidak menariknya pekerjaan sebagai petani atau buruh tani sehingga terjadi defisit tenaga kerja di sektor pertanian. Tenaga kerja produktif di sektor pertanian
2
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06& notab=2, diakses 11 Oktober 2013.
18
Iwan Hermawan
lebih memilih pekerjaan di sektor nonpertanian karena upah yang lebih menarik. Salah satu teori yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah teori pembangunan ekonomi dualistik yang diperkenalkan oleh Lewis-Ranis-Fei. Pertumbuhan ekonomi dapat dicapai dengan akumulasi modal yang cepat pada sektor nonpertanian (sektor industri dan jasa), hal ini dapat terjadi dengan ‘memindahkan’ surplus tenaga kerja di sektor pertanian. Pada teori ini Lewis-Ranis-Fei menunjukkan adanya tahapan permindahan dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian karena surplus tenaga kerja yang digerakkan oleh upah dan tingkat produktivitas tenaga kerja.
2. Permasalahan dan Tujuan Kontribusi tenaga kerja di sektor pertanian mendominasi angkatan kerja di Indonesia. Namun demikian sebagian besar atau lebih dari 85 persennya berdomisili di wilayah perdesaan dengan status pendidikan yang relatif masih rendah. Lebih dari 63 persen tenaga kerja di sektor pertanian berstatus pendidikan hanya tamat Sekolah Dasar (SD) dan bahkan ada yang tidak tamat SD. Tingkat pendidikan yang relatif rendah tersebut berimplikasi pada keterbatasan dalam mengakses teknologi dan permodalan, sehingga pada akhirnya turut mempengaruhi tingkat produktivitas dan pendapatan petani dan buruh tani. Menurut data BPS tahun 2010-2011, secara umum upah nominal buruh tani khususnya di subsektor tanaman pangan tumbuh sebesar 4,52 persen, di mana upah tertinggi pada kegiatan membajak sawah, yaitu Rp43.078 per hari. Bahkan pada April 2013, rata-rata upah buruh tani terus meningkat menjadi Rp66.200 per hari. Namun di sisi lain harga beras di pasar domestik terus meningkat sebagai akibat perubahan iklim, puso, dan kenaikan konsumsi domestik,3 sehingga daya beli petani sebagai konsumen menurun. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika kemiskinan banyak ditemui di wilayah perdesaan dengan penduduk yang bermatapencaharian di sektor pertanian. Pada September 2012, BPS mencatat tingkat kemiskinan di wilayah perdesaan mencapai 14,70 persen, sedangkan di wilayah perkotaan 8,60 persen.
3
Kementerian Perdagangan, “Tinjauan Pasar Beras”, Edisi: 05/BRS/TKSPP/2011, (http:// ews.kemendag.go.id/ews2/Sangkuriang/Publikasi/dokumen/beras2011050101.pdf, diakses 11 Oktober 2013).
19
Peran Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Sumber: Asian Development Bank, 2013.
Gambar 1 Perkembangan PDB Sektor Pertanian dan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Indonesia Tahun 2005-2012
Secara umum perkembangan kontribusi tenaga kerja sektor pertanian dari tahun 2005 hingga tahun 2012 mengalami penurunan, yaitu dari 43,97 persen menjadi 35,09 persen atau menurun dengan laju sebesar 0,86 persen. Penurunan ini tidak sejalan dengan rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB yang cenderung meningkat, di mana laju pertumbuhan subsektor tanaman pangan (padi dan palawija) mendominasi dalam membentuk PDB sektor pertanian. Di sisi lain, sektor industri dan jasa justru mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis peran tenaga kerja sektor pertanian Indonesia dengan menggunakan pendekatan model Lewis-Ranis-Fei. Melalui teori ini, penurunan kontribusi tenaga kerja di sektor pertanian dapat diidentifikasi dengan jelas dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi.
20
Iwan Hermawan
B. TINJAUAN TEORI DAN EMPIRIS 1. Tinjauan Teori Untuk menjawab tujuan penulisan ini maka landasaran teori yang relevan digunakan adalah pendekatan model Lewis-Ranis-Fei. Arthur Lewis pada tahun 1954 memperkenalkan teori pembangunan ekonomi dualististik yang menekankan surplus tenaga kerja dan sumber daya untuk negara-negara berkembang. Dalam teori Lewis, diasumsikan ekonomi dibagi menjadi dua, yaitu sektor pertanian atau sektor tradisional dan sektor nonpertanian atau sektor modern atau sektor industri. Sektor pertanian memiliki surplus tenaga kerja sehingga marginal productivity of labor (MPL) mendekati nol, di mana upah di sektor pertanian diasumsikan mengikuti aturan pembagian dan sama dengan rata-rata produktivitasnya. Sedangkan di sisi lain sektor nonpertanian memiliki kelebihan kapital. Sektor nonpertanian memiliki tujuan memaksimumkan profit dan mempekerjakan tenaga kerja dengan upah yang lebih tinggi sehingga dapat mengabsorbsi tenaga kerja dari sektor pertanian. Oleh sebab itu sektor nonpertanian kemudian mendorong surplus tenaga kerja di sektor pertanian keluar dari sektor tersebut dengan asumsi suplainya tidak terbatas. Ide ini kemudian dikembangkan oleh Gustav Ranis dan John Fei tahun 1961 (disajikan pada Gambar 2). Cara membaca gambar tersebut dimulai dari panel bawah kemudian ke atas dan kerangka teori ini dirujuk dari buku Debraj Ray.4 Tingkat produksi dari fungsi produksi yang mendatar menunjukkan adanya surplus tenaga kerja di sektor pertanian (A-B). Tingkat upah ditentukan berdasarkan pembagian pendapatan sehingga rata-rata upah adalah w . Pada B-C sudah tidak ada terjadi surplus tenaga kerja tetapi muncul pengangguran tersembunyi karena MPL lebih kecil dari rata-rata upah. Pada daerah kanan C, pengangguran tenaga kerja telah berakhir. Ketika terjadi surplus tenaga kerja sektor pertanian yang besar pada fase satu maka terjadi pergerakan sejumlah tenaga kerja ke sektor industri, namun hal ini tidak menaikkan rata-rata upah dan output dari sektor pertanian. Jumlah surplus dibagi dengan jumlah tenaga kerja yang ditransfer maka akan diperoleh rata-rata surplus tenaga kerja yang sama dengan rata-rata upahnya. Pada fase pengangguran tersembunyi, rata-rata surplus tenaga kerja mulai menurun. Hal ini karena total output di sektor pertanian mulai menurun (B’C’). Para pekerja diasumsikan masih bersedia membawa makanannya sendiri saat bekerja di sektor industri. Seiring dengan berjalannya waktu, tenaga kerja yang tadinya bekerja di sektor pertanian dan sekarang bekerja di sektor industri harus membeli makanannya sendiri. Oleh sebab itu upah minimum sektor nonpertanian atau industri dibutuhkan untuk melakukan transaksi ini.
4
Debraj Ray, Development Economics, (New Jersey: Princeton University Press, 1998), pp. 364-397.
21
Peran Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Pada panel paling atas, rata-rata upah di sektor industri sebesar w* (dalam nilai). Pada fase surplus tenaga kerja di sektor pertanian, upah minimum di sektor industri tidak berubah karena rata-rata surplus tenaga kerja sektor pertanian tidak berubah. Hal ini menciptakan suplai tenaga kerja yang elastis sempurna pada fase surplus tenaga kerja (ditunjukkan dengan garis mendatar). Pada zona ini memungkinkan memiliki pertumbuhan ekonomi dengan suplai tenaga kerja yang tidak terbatas sehingga ekspansi sektor industri tidak akan meningkatkan upah di sektor industri. Berkaitan dengan upah di sektor industri, pada saat rata-rata surplus tenaga kerja sektor pertanian menurun di bawah rata-rata upah maka tenaga kerja yang pindah ke sektor industri tidak dapat mengkompensasi kepindahannya lagi untuk membeli makanan dengan upah rata-rata yang diberikan oleh sektor industri. Oleh sebab itu harga makanan akan naik akibat surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang menurun. Upah di sektor industri harus dinaikkan. Kenaikan upah ini ternyata tidak serta merta dapat mengatasi masalah untuk membeli makanan (pertanian) yang seperti dulu. Salah satu cara efektifnya dengan mengkompensasi dalam mengkonsumsi antara produk-produk pertanian dan industri. Pada saat suplai tenaga kerja yang diberi upah meningkat tersebut disebut first turning point.
22
Iwan Hermawan Upah sektor industri
Kurva permintaan tenaga kerja industri
Kurva suplai tenaga kerja industri
W* Suplai tidak terbatas tenaga kerja
A’’
First turning point
B’’ x
y
Second turning point
C’’ z
Tenaga kerja industri
z’
Rata-rata surplus tenaga kerja
Surpus rata-rata w
Surplus konstan
A’
Surpus menurun
B’
Surplus menurun
C’ Tenaga kerja industri
Output pertanian
Output = f(L, ..)
Marginal productivity of labor
Upah Surplus tenaga kerja
A
Komersialisasi
Pengangguran tersebunyi
C
B
Tenaga kerja pertanian
Sumber: Debraj Ray, 1998.5
5
Debraj Ray, ibid., p. 363.
Gambar 2 Model Lewis-Ranis-Fei 23
w
Peran Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Transfer tenaga kerja berlanjut hingga mencapai titik C di mana pengangguran tersembunyi terserap habis. Pada titik ini MPL mulai melebihi tingkat upah tradisional. Pada fase ini tambahan tenaga kerja dalam produksi pertanian akan meningkatkan biaya karena ada biaya tenaga kerja yang dipekerjakan. Hal ini menunjukkan jika upah tenaga kerja sektor pertanian meningkat (fase komersialisasi). Kaitannya dengan panel yang paling atas bahwa fenomena ini disebut second turning point pada upah tenaga kerja industri. Upah tersebut tidak hanya harus dapat mengkompensasi penurunan surplus tenaga kerja sektor pertanian, pergerakannya ke sektor industri, tetapi juga mengkompensasi tenaga kerja untuk pendapatan yang lebih tinggi di sektor pertanian. Sedangkan permintaan tenaga kerja untuk produksi ditunjukkan dengan situasi di mana sejumlah tenaga kerja industri sebesar x dan dibayar sebesar w*. Ketika sektor industri berproduksi, mereka juga mendapatkan keuntungan dan sebagian daripadanya dikembalikan untuk memperbesar kapital dari sektor industri. Hal ini sesuai dengan paradigma Model HarrodDomar dan Solow, di mana ekspansi kapital akan menaikkan permintaan tenaga kerja kembali. Karena ekonomi berada pada surplus tenaga kerja maka penambahan tenaga kerja dari sektor pertanian tidak akan meningkatkan upah. Pada saat tenaga kerja sektor industri berada di y maka dengan adanya investasi lanjutan kurva permintaan tenaga kerja akan bergeser di titik di mana upah harus dinaikkan (z). Penurunan surplus tenaga kerja di sektor pertanian akan menghalangi perkembangan tenaga kerja di sektor industri karena hal itu meningkatkan biaya dalam mempekerjakan tenaga kerja sektor industri. 2. Tinjauan Empiris Pembangunan di sektor pertanian akan menjadi kunci bagi negara-negara Asia di masa depan. Sektor pertanian harus menjadi industrialisasi, contohnya dengan pengembangan agribisnis dan mengadopsi metode modern, untuk mencapai tingkat produktivitasnya. Peningkatan produktivitas di sektor pertanian tersebut pada akhirnya akan meningkatkan upah. Lebih lanjut investasi di sektor pertanian dan modal manusia menjadi elemen penting dalam mengurangi kemiskinan. Pengembangan teknologi akan membantu meningkatkan produktivitas dan menghubungkan dengan value chain pertanian global.6 Struktur ekonomi yang melibatkan sektor pertanian berawal dari produksi subsisten dari rumah tangga yang mengadopsi teknologi baru, di mana mereka menyediakan surplus tenaga kerja dan mempengaruhi
6
Asian Development Bank, op.cit., p. xxx.
24
Iwan Hermawan
ketahanan pangan di wilayah perdesaan. Kemudian diversifikasi aktivitas pertanian didorong oleh komersialisasi dan pada akhirnya terdapat integrasi antara ekonomi pertanian dengan ekonomi secara umum. Pola struktur tersebut dapat dipelajari melalui dua sisi. Pertama dari perspektif kebijakan utama dari negara-negara Asia di mana terdapat hubungan antara kebijakan dengan elemen-elemen kunci ekonomi. Negara-negara Asia memiliki keunikan di mana untuk menggerakan sumber daya dari sektor pertanian perlu memperhatikan pula ketahanan pangan dan rumah tangga perdesaan Di negara-negara Asia, beras menjadi komoditas penting dalam ketahanan pangan yang berkaitan dengan ekonomi domestik dan pasar dunia, sehingga tidak jarang banyak terkait dengan ranah politik. Kedua, hubungan antara sektor pertanian dan nonpertanian. Terdapat transformasi struktur perusahaan pada sektor nonpertanian di perdesaan yang pararel dengan perusahaan pertanian di mana mereka pada awalnya mengusahakan pertanian dengan skala kecil dan subsisten. Semua negaranegara Asia kesulitan dalam masa transisi dari ketahanan pangan menuju kepada pertanian yang komersial. Contohnya di India dan Indonesia, di mana mekanisme kebijakan biasanya dilakukan melalui proteksi harga dan subsidi input, tanpa melakukan diversifikasi dan komersialisasi.7 Tulisan Murat Üngör mengelaborasi penurunan kontribusi tenaga kerja di sektor pertanian berkaitan dengan pertumbuhan produktivitas sektor pertanian. Tulisan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan produktivitas di sektor pertanian, yang dikombinasikan dengan tingkat konsumsi subsisten di sektor pertanian, menjelaskan penurunan kontribusi tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini berkaitan dengan proses de-agriculturalization yang diobservasi di Kolombia, Costa Rica, Korea Selatan, dan Swedia selama tahun 1963-2005. Selain itu faktor-faktor seperti perkembangan teknologi nonpertanian, perselisihan di pasar tenaga kerja, halangan institusi, migrasi, dan perbedaan pertumbuhan penduduk usia muda, tidak dimodelkan di dalam penelitian ini.8 Tulisan Eric V. Edmonds and Nina Pavcnik menjelaskan hubungan antara liberalalisasi pasar produk dengan alokasi tenaga kerja antara rumah tangga dan pasar tenaga kerjadi negara-negara miskin. Temuannya menunjukkan bahwa harga beras yang meningkat telah membuat spesialisasi aktivitas rumah tangga. Hal ini sesuai dengan bukti di mana aktivitas rumah tangga konsisten dengan ide bahwa liberalisasi pasar produk berhubungan dengan
7
8
C. Peter Timmer, “Agriculture and Pro-Poor Growth: An Asian Perspective”, Asian Journal of Agriculture and Development, Vol. 5, No. 1, June 2008, pp. 9-10. Murat Üngör, “De-Agriculturalization as A Result of Productivity Growth in Agriculture”, Economics Letters, 119, 2013, p. 145.
25
Peran Tenaga Kerja Sektor Pertanian
pergerakan sumber tenaga kerja dari rumah tangga ke pasar tenaga kerja serta munculnya spesialisasi rumah tangga di negara-negara miskin seperti Vietnam. Pada awalnya banyak individu yang bekerja di dalam rumah tangga itu sendiri daripada di pasar tenaga kerja formal. Namun dengan adanya liberalisasi perdagangan beras di Vietnam tahun 1990an, kenaikan harga beras menurunkan jumlah jam kerja penduduk dewasa yang bekerja di dalam lingkungan rumah tangga dan justru meningkatkan waktu bekerja di pasar tenaga kerja formal. Bahkan terjadi peningkatan spesialisasi di pasar tenaga kerja formal dibandingkan di dalam aktivitas ekonomi rumah tangga. Oleh sebab itu realokasi tenaga kerja antara rumah tangga dan pasar tenaga kera formal dalam kaitannya dengan perdagangan internasional menjadi komponen penting untuk dipahami dalam kaitannya antara perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin.9 Dalam transisi ekonomi, modal manusia dan pasar yang tidak sempurna memiliki pengaruh yang signifikan terhadap alokasi tenaga kerja rumah tangga di wilayah perdesaan Hungaria. Reformasi ekonomi dan restrukturisasi institusi pertanian selama masa transisi mempengaruhi pasar tenaga kerja di wilayah perdesaan Hungaria. Pengangguran meningkat tajam selama tahun 1990an dan pekerja mandiri dari rumah tangga perdesaan sektor pertanian mengalami peningkatan. Umur menjadi peubah penjelas yang penting, khususnya umur antara 20 tahun hingga 65 tahun. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat korelasi positif antara umur dengan alokasi tenaga kerja pertanian keluarga. Kecuali umur 65 memiliki pernyataan bahwa alokasi tenaga kerja menurun seiring umurnya. Selain itu pendidikan juga berperan penting, di mana pada tingkat pendidikan yang sangat rendah, peningkatan pendidikan kepala rumah tangga meningkatkan alokasi tenaga kerja kepada pertanian keluarga. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi mendorong peningkatan keahlian manajerial dan memahami kesempatan pasar lebih baik sehingga meningkatkan penerimaan dari tenaga kerja sendiri yang dialokasikan pada pertanian keluarga. Dampak ini lebih banyak dikarenakan kepala rumah tangga daripada anggota keluarga lainnya. Selain itu penelitian ini juga menunjukkan jika tingkat pendidikan anggota keluarga yang ditingkatkan maka cenderung memiliki halangan berupa alokasi waktu yang lebih sedikit untuk pertanian keluarga karena pergerakan ke pasar tenaga kerja formal.10
9
10
Eric V. Edmonds and Nina Pavcnik, “Trade Liberalization and the Allocation of Labor between Households and Markets in A Poor Country”, Journal of International Economics, 69, 2006, pp. 293-294. Marian Rizov and Johan F. M. Swinnen, “Human Capital, Market Imperfections, and Labor Reallocation in Transition”, Journal of Comparative Economics, 32, 2004, pp. 766-768.
26
Iwan Hermawan
Xiaobing Wang, Thomas Herzfeld, and Thomas Glauben membangun model empiris untuk menganalisis partisipasi rumah tangga dalam menentukan keputusan membayar tenaga kerja dan menyuplai tenaga kerja saat off season pertanian, permintaan tenaga kerja, dan suplai tenaga kerja di saat off season pertanian di wilayah perdesaan Cina. Untuk itu digunakan estimasi ekonometrika dengan data tingkat mikro dari Provinsi Zhejiang selama tahun 1995-2002. Hasilnya menunjukkan bahwa permintaan tenaga kerja rumah tangga menurun dengan meningkatnya upah untuk tenaga kerja yang dibayar, di mana dampak upah tenaga kerja off season pertanian pada suplai tenaga kerja rumah tangga berbeda tergantung pada kemauan rumah tangga terhadap partisipasi pasar tenaga kerja. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa akumulasi aset yang produktif, perkembangan produksi peternakan, dan harga produk-produk pertanian berdampak meningkatkan permintaan tenaga kerja tetapi justru menurunkan suplai tenaga kerja rumah tangga saat off season.11 Berdasarkan hasil-hasil empiris tersebut maka alokasi tenaga kerja sektor pertanian yang bergerak ke sektor nonpertanian dapat terjadi dalam jangka pendek yang disebabkan oleh on dan off season pertanian, maupun dalam jangka panjang, seperti adanya perubahan struktur ekonomi. Selain itu secara umum berbagai faktor yang mempengaruhi pergerakan tenaga kerja tersebut dapat dikelompokkan ke dalam faktor permintaan, upah, dan penawaran tenaga kerja.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kontribusi Sektor Pertanian terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDB telah menurun dari sekitar 51 persen pada tahun 1968 menjadi hanya 14,44 persen pada tahun 2012. Sedangkan kontribusi sektor industri justru cenderung meningkat dari 8,50 persen pada tahun 1968 menjadi 23,98 persen pada tahun 2012. Hal ini disebabkan oleh adanya industrialisasi dan transformasi struktur ekonomi, di mana Indonesia bukan lagi sebagai negara agraris karena sektor industri mulai menggantikan sektor pertanian sebagai leading sector dalam perekonomian Indonesia sejak tahun 1989. Bahkan pada tahun 1996, sektor jasa juga sudah menunjukkan tren peningkatan positif dan kontribusinya lebih tinggi dari sektor pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia dari tahun 1989 hingga tahun 2012 rata-rata mencapai lebih dari 15 persen, di mana
11
Xiaobing Wang, Thomas Herzfeld, and Thomas Glauben, “Labor Allocation in Transition: Evidence from Chinese Rural Households”, China Economic Review, 18, 2007, p. 304.
27
Peran Tenaga Kerja Sektor Pertanian
kontribusi terbesarnya sebesar 21,63 persen terjadi pada tahun 1985. Subsektor pertanian yang berkontribusi besar adalah tanaman bahan pangan, khususnya padi/beras. Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) dan International Rice Research Institute (IRR), pada tahun 2012 produksi beras Indonesia mencapai 69,05 juta ton dan menjadi negara produsen beras terbesar di wilayah Asia Tenggara. Produksi tersebut didukung oleh ketersediaan lahan tanam mencapai 23,50 ribu hektar pada tahun 2011 yang meningkat sebesar 29,83 persen dari tahun 1992. Namun di sisi lain Indonesia juga menjadi importir beras terbesar di wilayah Asia Tenggara yang mencapai 2,75 juta ton pada tahun 2011. Hal ini dikarenakan beras merupakan bahan pokok utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Selain beras, pada tahun 1975 kontribusi terbesar dari subsektor pertanian dalam pertumbuhan PDB sektor pertanian berasal dari subsektor peternakan.12
Sumber: BPS, 2013.
Gambar 3 Perubahan Struktur Ekonomi di Indonesia Tahun 1985-2012
Kontribusi sektor industri terhadap PDB tercatat lebih dari 25 persen dari periode tahun 1989 hingga tahun 2012. Subsektor industri yang memiliki
12
Amiruddin Syam dan Saktyanu K. Dermoredjo, “Kontribusi Sektor Pertanian dalam Pertumbuhan dan Stabilitas Produk Domestik Bruto”, Soca, Vol. 1, No. 2, Juli 2001, hal. 14.
28
Iwan Hermawan
tingkat pertumbuhan melebihi rata-rata pertumbuhan industri nonmigas nasional (>6,40 persen) adalah industri pupuk, kimia, dan barang dari karet; industri semen dan barang galian bukan logam; industri minuman dan tembakau, industri alat angkut, mesin dan peralatannya, serta industri logam dasar besi dan baja. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan sektor industri yang ditetapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing produk-produk industri. Kebijakan tersebut meliputi (a) klaster industri prioritas yang fokus pada 35 industri prioritas, (b) kompetensi inti industri daerah dan industri unggulan provinsi di mana hingga tahun 2012 telah diterbitkan 24 Peraturan Menteri Perindustrian tentang Roadmap Pengembangan Industri Unggulan Provinsi, dan (c) akselerasi industrialisasi, di mana pada tahun 2012-2014 berfokus pada 15 subsektor industri.13 Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia merupakan konsekuensi logis dari transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri yang mulai terjadi pada tahun 1989. Namun demikian penurunan kontribusi sektor pertanian tersebut tidak dapat dipandang bahwa perannya tidak penting lagi bagi ekonomi Indonesia. Hal ini karena sumber daya yang berlimpah di Indonesia justru berada di sektor pertanian. Selain itu mata pencaharian penduduk Indonesia sebagian besar tergantung pada sektor pertanian. Menurut Cervantes dan Dewbre bahwa perkembangan sektor pertanian memiliki esensi penting bagi pengurangan kemiskinan dan kelaparan sesuai target Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 201514, karena kemiskinan terbesar berada di wilayah perdesaan dan sangat tergantung pada sektor pertanian. Menurut Tulus Tambunan15, kemiskinan Indonesia lebih merupakan fenomena perdesaan atau lebih spesifik berkaitan dengan sektor pertanian. Sedangkan menurut Harianto16, sektor pertanian dan perdesaan merupakan satu-kesatuan yang tak terpisahkan. Sektor pertanian merupakan komponen utama yang
13
14
15
16
Kementerian Perindustrian, “Pengembangan Ekonomi Nasional Berbasis Input Lokal”, Makalah disampaikan pada FDG 11 April 2013 di P3DI-Setjend DPR RI, Jakarta: Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim dan Mutu Industri, Kementerian Perindustrian, 2013. Cervantes, G. D. and J. Dewbre. “Economic Importance of Agriculture for Poverty Reduction”. Working Papers No. 23, OECD Food, Agriculture and Fisheries, OECD Publishing, France, 2010, pp. 1-26. Tulus Tambunan, “Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian Sangat Krusial bagi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia?”, Kadin Indonesia-JETRO, 2006, p. 1. Harianto, “Peranan Pertanian dalam Ekonomi Pedesaan”, Disampaikan pada Seminar Nasional ”Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat” yang diselenggarakan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian. Pada tanggal 4 Desember 2007 di Bogor, p. 1.
29
Peran Tenaga Kerja Sektor Pertanian
menopang kehidupan perdesaan di Indonesia. Apa yang terjadi di sektor pertanian akan secara langsung berpengaruh pada perkembangan wilayah perdesaan dan begitu pula sebaliknya. Semakin maju suatu negara (atau semakin tinggi pendapatan per kapitanya) maka sumbangan relatif sektor agroindustri (agro-manufacturing dan agroservices) terhadap PDB juga semakin besar, sementara sumbangan relatif sektor pertanian terhadap PDB semakin kecil. Menurut laporan Bank Dunia dalam Arief Daryanto bahwa Indonesia sebagai negara transforming countries yang dicirikan dengan sebagian besar petani menggarap lahan kurang dari setengah hektar dan hasil panen tradisionalnya menyediakan relatif sedikit peluang menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan. Oleh sebab itu strategi yang disarankan adalah perubahan orientasi pembangunan pertanian dari tanaman bernilai rendah (low value commodities) ke tanaman yang bernilai tinggi (high value commodities), dari orietasi pasar domestik (inward looking) ke pasar internasional (outward looking), dan dari pertanian on farm ke agribisnis dan agroindustri di wilayah perdesaan yang menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi.17 Pengembangan subsektor agroindustri (industrialisasi pertanian) dipandang sebagai langkah tepat dalam menjembatani proses transformasi ekonomi di Indonesia. Peran sektor pertanian dalam PDB tidak lagi hanya dipandang dari produk primer yang dihasilkan tetapi dikaitkan dengan industri pengolahan dan pemasaran untuk mendorong pembangunan, khususnya wilayah perdesaan. Pentingnya peran sektor agroindustri tidak hanya dilihat dari ketangguhannya dalam menghadapai krisis ekonomi, tetapi juga keterkaitannya dengan sektor lain. Keterkaitan tersebut tidak hanya berhubungan dengan produk, tetapi juga dengan konsumsi, investasi, dan tenaga kerja. Hal tersebut berimplikasi melalui pengembangan sektor agroindustri, tercipta kesempatan kerja, dan sumber pendapatan masyarakat, sehingga rumah tangga petani tidak hanya tergantung pada sebidang lahan yang semakin menyempit.18 2. Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Salah satu pendekatan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi adalah pendekatan faktor produksi. Pendekatan ini melihat pertumbuhan ekonomi dari sisi penggunaan faktor-faktor produksi, yaitu tenaga kerja (labor), modal (capital), dan kemajuan teknologi (technology). Oleh sebab itu salah satu strategi
17
18
Arief Daryanto, “Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya”, Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani, 14 Oktober 2009-Bogor, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian, 2009, hal. 23-24. Tim Indef, Outlook Industri 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 2011, (Jakarta: Kementerian Perindustrian, 2011), hal. 13-15.
30
Iwan Hermawan
yang ditempuh dalam tujuh Gema Revitalisasi Kementerian Pertanian adalah merevitalisasi sumber daya manusia (SDM) pertanian, mengingat petani sebagai pelaku utama pembangunan ekonomi. Jika terjadi peningkatan kinerja dari tenaga kerja sektor pertanian maka diharapkan dapat meningkatnya produksi sektor pertanian. Peningkatan produksi tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani yang selanjutnya berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan.19 Namun demikian berdasarkan data dari BPS, penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB ternyata diiringi dengan penurunan penyerapan tenaga kerjanya. Menurut data ADB, pada tahun 1990 kontribusi tenaga kerja sektor pertanian Indonesia mencapai 55,90 persen dan menurun menjadi 35,10 persen terhadap angkatan kerja pada tahun 2012. Hingga saat ini sektor industri di Indonesia belum mampu penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang besar, termasuk dari surplus tenaga kerja sektor pertanian. Tenaga kerja di sektor industri membutuhkan keahlian dan persyaratan tertentu, seperti persyaratan tamat tingkat pendidikan tertentu, yang masih sulit dipenuhi oleh tenaga kerja dari sektor pertanian. Oleh sebab itu selama kurun tahun 2005 hingga tahun 2012, penyerapan tenaga kerja masih didominasi sektor pertanian rata-rata sebesar 40,66 persen diikuti sektor jasa 21,24 persen, dan sektor industri sebesar 13,17 persen. Pada tahun 2011, jika dilihat dari kontribusi tenaga kerja tiap subsektor terhadap sektor pertanian, subsektor tanaman pangan memberikan kontribusi terbesar di antara subsektor lainnya (hortikultura, peternakan, dan perkebunan), yaitu sebesar 51,40 persen. Hal ini didasarkan pada produksi tanaman pangan, seperti padi/beras, yang menjadi bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Penjelasan penting terhadap penurunan kontribusi tenaga kerja sektor pertanian tersebut adalah pengurangan surplus tenaga kerja. Banyak negaranegara berkembang di Asia, titik yang menunjukkan pergeseran dari surplus tenaga kerja menjadi kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian direfleksikan dengan peningkatan upah. Indonesia belum mencapai kenaikan upah di sektor pertanian, meskipun terjadi pergeseran surplus tenaga kerja menjadi kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian.20 Menurut data Kementerian Pertanian, pada periode tahun 2007-2011 ternyata banyak dari tenaga kerja pertanian yang dilihat berdasarkan status justru mengalami penurunan. Penurunan tertinggi pada status berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar (4,77 persen) dan pekerja bebas (1,21 persen). Sedangkan tenaga kerja yang mengalami peningkatan terdapat pada status berusaha
19
20
Kementerian Pertanian, Perencanaan Tenaga Kerja Sektor Pertanian 2012-2014, (Jakarta: Kementerian Pertanian, 2012), hal. 19, 23, dan 25. Asian Development Bank, op.cit., p. 75.
31
Peran Tenaga Kerja Sektor Pertanian
dibantu buruh tetap/buruh dibayar (7,64 persen) dan buruh (6,75 persen). Hal ini menunjukkan jika tenaga kerja pertanian mulai kekurangan tenaga kerja dengan membayar buruh pertanian, meskipun belum tentu ada kenaikan upah. Sedangkan di sektor pertanian India dan Bangladesh justru masih dalam tahap surplus tenaga kerja. Taiwan telah mencapai Lewis turning point pada tahun 1960an. Korea Selatan pada tahun 1970an, dan Cina pada tahun 2000an. Namun demikian turning point ini dapat berbeda pencapaian waktunya jika digunakan pendekatan lain, seperti tambahan informasi (fungsi produksi, data tenaga kerja) atau kontrol (karakteristik tenaga kerja), dan sebagainya.21 Pengurangan surplus tenaga kerja sektor pertanian juga dapat dilihat dari minat generasi muda (umur 15-29 tahun) dibandingkan bukan generasi muda (30-60 tahun). Menurut data Kementerian Pertanian, minat generasi muda pada sektor pertanian sampai dengan tahun 2007-2011 terus menurun. Penurunan per tahun rata-rata mencapai 3,18 persen, sedangkan penurunan pada tenaga kerja bukan generasi muda hanya sebesar 0,38 persen saja.22 Data tersebut menunjukkan jika sektor pertanian belum menjadi salah satu pekerjaan yang menjanjikan bagi sebagian besar generasi muda.
Sumber: Asian Development Bank, 2013.
21 22
Gambar 4 Perkembangan Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Industri, dan Jasa terhadap PDB Indonesia Tahun 1990-2012 Asian Development Bank, ibid., p. 75. Kementerian Pertanian, op.cit., hal. 37.
32
Iwan Hermawan
Sektor pertanian merupakan sektor penyumbang PDB terbesar ketiga setelah sektor industri dan jasa. Meskipun sektor pertanian menyerap jumlah tenaga kerja cukup besar namun nilai tambahnya relatif sangat kecil. Hal ini karena aktivitas sektor pertanian yang dilakukan cenderung berupa pertanian primer dengan aktivitas pengolahan lebih lanjut relatif sedikit (bahan baku dan bahan setengah jadi). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2, di mana sektor pertanian memiliki nilai tambah sebesar Rp1,90 juta per orang. Nilai tersebut adalah yang terkecil di antara lapangan usaha yang lain. Sentuhan industri dalam sektor pertanian dapat digunakan sebagai jalan untuk meningkatkan nilai tambah tersebut, salah satunya melalui perkembangan agroindustri. Tabel 2 Nilai Tambah Pekerja Berdasarkan Lapangan Usaha di Indonesia Tahun 2011
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Lapangan Usaha
Nilai Tambah (Rp Juta per Orang)
Pertanian
1,90
Industri
11,40
Pengangkutan dan Komunikasi
10,50
Lainnya
31,70
Konstruksi
7,10
Perdagangan
4,70
Keuangan dan Real Estate
28,30
Jasa
Sumber: BPS, 2011 dalam Kementerian Perindustrian, 2011.
3,4
Kinerja yang baik pada subsektor agroindustri ternyata tidak diiringi dengan kemampuan subsektor ini dalam menyerap tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja pada subsektor agroindustri cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 14,23 persen, namun selama dua tahun berikutnya justru mengalami penurunan akibat pengaruh krisis global. Penguatan struktur pada subsektor agroindustri menjadi hal yang tetap mutlak harus dilakukan karena subsektor ini memiliki keterkaitan yang tinggi mulai dari subsistem hulu hingga hilir sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.23 Menurut hasil penelitian Bonar M. Sinaga dan Sri Hery Susilowati24 kebijakan peningkatan ekspor dan investasi di sektor agroindustri akan berdampak lebih besar dalam menurunkan kesenjangan pendapatan sektoral, tenaga kerja, dan
23 24
Kementerian Pertanian, op.cit., hal, 17-19. Bonar M. Sinaga dan Sri Hery Susilowati, “Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan Sektoral, Tenaga Kerja, dan Rumahtangga di Indonesia: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi”, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor-Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian, tidak ada tahun, hal. 18.
33
Peran Tenaga Kerja Sektor Pertanian
rumah tangga jika dialokasikan ke sektor agroindustri prioritas, yaitu industri karet, industri kayu lapis, bambu dan rotan, indusri rokok, industri minuman, dan industri pengolahan makanan sektor perikanan.
D. PENUTUP Semakin maju suatu negara maka kontribusi sektor pertanian terhadap PDB cenderung menurun dibandingkan sektor industri dan sektor jasa. Di sisi lain, kontribusi subsektor agroindustri justru meningkat. Hal ini karena produk-produk primer membutuhkan proses lanjutan sehingga memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dan sesuai dengan kebutuhan. Oleh sebab itu fenomena penurunan kontribusi sektor pertanian menunjukkan adanya industrialisasi, namun kondisi ini kontradiksi dengan sumber daya dari sektor pertanian yang berlimpah di Indonesia. Kontribusi tenaga kerja sektor pertanian terhadap angkatan kerja Indonesia cenderung terus menurun dibandingkan sektor industri dan sektor jasa, walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap PDB cenderung meningkat. Berdasarkan model Lewis-Ranis-Fei antara sektor pertanian dan nonpertanian menunjukkan bahwa surplus tenaga kerja sektor pertanian Indonesia berkurang dan mulai terjadi kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian, namun kondisi ini belum menstimulasi kenaikan upah di sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan jika modal manusia dari tenaga kerja sektor pertanian belum mampu memenuhi kriteria tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sektor industri/nonpertanian. Kontribusi tenaga kerja sektor pertanian memiliki nilai tambah terkecil dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Nilai tambah yang terkecil tersebut dikarenakan produk-produk sektor pertanian pada umumnya diproduksi dalam bentuk primer atau setengah jadi. Oleh sebab itu keberadaan agroindustri dapat dijadikan sebagai jembatan transisi ekonomi dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian.
34
DAFTAR PUSTAKA
Buku Asian Development Bank. Key Indicators for Asia and the Pacific 2013. Mandaluyong City: Asian Development Bank, 2013.
Debraj Ray. Development Economics. New Jersey: Princeton University Press,1998. Kementerian Pertanian. Perencanaan Tenaga Kerja Sektor Pertanian 20122014. Jakarta: Kementerian Pertanian, 2012.
Tim Indef. Outlook Industri 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 2011. Jakarta: Kementerian Perindustrian, 2011.
Jurnal Edmonds, Eric V. and Nina Pavcnik. “Trade Liberalization and the Allocation of Labor between Households and Markets in A Poor Country”. Journal of International Economics, 69, 2006, pp. 272-295.
Rizov, Marian and Johan F. M. Swinnen, “Human Capital, Market Imperfections, and Labor Reallocation in Transition”, Journal of Comparative Economics, 32, 2004, pp. 745-774. Syam, Amiruddin dan Saktyanu K. Dermoredjo. “Kontribusi Sektor Pertanian dalam Pertumbuhan dan Stabilitas Produk Domestik Bruto”. Soca, , Vol. 1, No. 2, Juli 2001, hal. 1-14 Timmer, C. Peter. “Agriculture and Pro-Poor Growth: An Asian Perspective”. Asian Journal of Agriculture and Development, Vol. 5, No. 1, June 2008, pp. 1-28.
Üngör, Murat. “De-Agriculturalization as A Result of Productivity Growth in Agriculture”. Economics Letters, 119 2013, pp. 141-145. Xiaobing, Wang, Thomas Herzfeld, and Thomas Glauben. “Labor Allocation in Transition: Evidence from Chinese Rural Households”. China Economic Review, 18, 2007, pp. 287-308. 35
Peran Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Working Paper Cervantes, G. D. and J. Dewbre. “Economic Importance of Agriculture for Poverty Reduction”. Working Papers No. 23, OECD Food, Agriculture and Fisheries, OECD Publishing, France, 2010. Makalah Daryanto, Arief. “Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya”. Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani, 14 Oktober 2009-Bogor, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian, 2009, pp. 23-24. Harianto. “Peranan Pertanian dalam Ekonomi Pedesaan”. Disampaikan pada Seminar Nasional “Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat”. Diselenggarakan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian-Departemen Pertanian, 4 Desember 2007, Bogor.
Kementerian Perindustrian. “Pengembangan Ekonomi Nasional Berbasis Input Lokal”. Makalah disampaikan pada FDG 11 April 2013 di P3DISetjend DPR RI, Jakarta: Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim dan Mutu Industri, Kementerian Perindustrian, 2013. Sinaga, Bonar M. dan Sri Hery Susilowati. “Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan Sektoral, Tenaga Kerja, dan Rumahtangga di Indonesia: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi”. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian BogorPusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian, tidak ada tahun. Tambunan, Tulus. “Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian Sangat Krusial bagi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia?”. Kadin Indonesia-JETRO, 2006. Data dan Artikel dalam Website http://ricestat.irri.org. http://faostat.fao.org.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_ subyek=06¬ab=2, diakses 11 Oktober 2013.
Kementerian Perdagangan. “Tinjauan Pasar Beras”. Edisi: 05/BRS/TKSPP/2011, (http://ews.kemendag.go.id/ews2/Sangkuriang/Publikasi/dokumen/ beras2011050101.pdf, diakses 11 Oktober 2013). 36
BAB III PERLINDUNGAN KESEHATAN KERJA BAGI TENAGA KERJA SEKTOR INFORMAL Tri Rini Puji Lestari*
A. PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 86 ayat (1) huruf (a) menyatakan bahwa kesehatan kerja merupakan salah satu hak pekerja atau buruh untuk itu pengusaha wajib melaksanakannya secara sistematis dan terintergrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Selain itu dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Bab XII Pasal 164 juga dinyatakan bahwa upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Upaya kesehatan kerja tersebut diberikan tidak saja kepada tenaga kerja sektor formal tetapi juga kepada tenaga kerja sektor informal. Tenaga kerja sektor informal merupakan kelompok potensial karena jumlahnya besar, ikut berperan dalam tumbuh dan kembangnya pembangunan perekonomian negara dan merupakan tulang punggung ekonomi keluarga. Hal ini terbukti sejak terjadinya krisis moneter tahun 1998 lalu, di mana banyak perusahaan formal yang tutup atau merelokasi usahanya keluar Indonesia dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga tenaga kerja sektor formal beralih menuju ke sektor informal. Akibatnya jumlah tenaga kerja sektor informal semakin bertambah. Selama tahun 2008-2010, komposisi penduduk yang bekerja di sektor informal proporsinya terus meningkat yakni dari 69,14 persen pada tahun 2008 menjadi 69,49 persen pada tahun 2009 dan 68,59 persen pada tahun 2010. Kondisi ini mencerminkan bahwa investasi baik dalam dan luar negeri pada sektor formal lebih ke arah investasi padat modal sehingga kurang menyerap tenaga kerja. Selain itu, pada periode 2008-2009 juga tengah terjadi krisis ekonomi global, sehingga angka tenaga kerja di sektor informal *
Penulis adalah Peneliti Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI Jakarta. Alamat e-mail:
[email protected].
37
Perlindungan Kesehatan Kerja
cenderung meningkat, di mana sektor ini berfungsi menjadi katup pengaman bagi tenaga kerja pada saat-saat krisis.1 Namun demikian, amanat konstitusi tersebut di atas hingga saat ini belum terimplementasi sepenuhnya. Selama ini masih banyak tenaga kerja sektor informal yang belum mendapat perlindungan dan jaminan hidup layak saat dalam bekerja. Ketika mengalami kecelakaan saat bekerja, si tenaga kerja informal menanggung sendiri biaya berobat. Keselamatan raga maupun jiwa mereka tak ada yang menjamin. Begitupun saat mereka jatuh sakit atau memasuki hari tua. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 terdapat 118 juta (sekitar 49%) dari 237 juta jiwa penduduk Indonesia yang belum dilindungi dengan jaminan sosial dan kesehatannya. Hanya sekitar 0,02% dari 67,5 juta tenaga kerja informal saja yang sudah ikut dalam program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek). Sedangkan untuk tenaga kerja sektor formal yang menjadi peserta Jamsostek sudah mencapai 62,4% dari 46,6 juta tenaga kerja formal.2 Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam upaya mempertahankan serta meningkatkan produktivitas, tenaga kerja sektor informal belum memperoleh perlindungan kesehatan kerja yang sesuai dengan yang diharapkan. Padahal tenaga kerja sektor informal selalu berhadapan dengan faktor risiko yang cukup besar dalam melaksanakan pekerjaannya, selain berbagai masalah yang dihadapi tenaga kerja sektor informal secara umum, seperti:3 • Miskin, berpenghasilan rendah di bawah upah minimum, sehingga mengalami kesulitan finansial. • Berpendidikan rendah, bahkan sangat rendah, dan nyaris tidak berpendidikan, tidak terampil dan berteknologi sederhana. • Bertempat tinggal di pemukiman kumuh yang minim pelayanan publik (seperti: listrik, air, sanitasi, kesehatan, pendidikan, dan akses jalanan). • Tidak atau sangat kurang mendapatkan akses informasi yang memadai. Untuk itu, perlindungan terhadap risiko-risiko yang dapat terjadi akibat kerja pada tenaga kerja sektor informal sangat diperlukan dan sekaligus merupakan kebutuhan yang tidak kalah pentingnya dengan kebutuhankebutuhan lainnya seperti kebutuhan sandang, pangan, dan tempat tinggal.
Jaminan kesehatan untuk kecelakaan kerja pada pekerja sektor informal, Jamsosindonesia. com (online), 12 Desember 2011, (http://www.jamsosindonesia.com/cetak/print_ externallink/821/#sthash.Vn5vIJjk.dpuf, diakses 31-8-2013). 2 Fransiscus, Greget Jaminan Sosial Bagi Tenaga Kerja Informal, (online), (http://www. investor.co.id/home/greget-jaminan-sosial-bagi-tenaga-kerja-informal/61447), diakses 1-9-13. 3 Direktorat Bina Kesehatan Kerja, Kajian Kondisi Kerja Pada Sektor Informal/UKM Dan Dampaknya Pada Kesehatan Kerja, Dirjend Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, Jakarta:2008. hlm. 6 . 1
38
Tri Rini Puji Lestari
Berdasarkan latar belakang tersebut, berikut ini akan diuraikan lebih lanjut bagaimana konsep kesehatan kerja, kondisi perlindungan kesehatan kerja pada tenaga kerja sektor informal selama ini, dan harapan ke depan.
B. KESEHATAN KERJA Bekerja merupakan salah satu kegiatan utama bagi setiap orang untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya baik di sektor formal maupun informal. Bekerja, baik di sektor formal maupun sektor informal mempunyai risiko kesehatan. Dan untuk memelihara kesehatan, diperlukan sarana kesehatan untuk bekerja. Namun di lain pihak, sifat dan jenis pekerjaan, terutama lingkungan pekerjaan memiliki potensi bahaya yang dapat mengancam kesehatan masyarakat yang bekerja. Untuk dapat melakukan pekerjaannya secara baik, setiap orang memerlukan dukungan kemampuan kerjanya, seperti tenaga yang diperoleh dari gizi yang baik, kondisi badan yang sehat, serta kemampuan individu (disebut juga dengan kapasitas kerja) seperti keterampilan, kemampuan baca tulis, dan lain-lain yang dipengaruhi oleh jenis kelamin. Sedangkan untuk memelihara kesehatan kerjanya, perlu diperhatikan juga keserasian beban kerja dan kondisi lingkungan pekerjaannya. Agar tenaga kerja bekerja secara sehat dan selamat diperlukan upaya untuk menyerasikan komponen kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja. Dengan demikian, kesehatan kerja merupakan upaya agar masyarakat dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya, dengan mempelajari hubungan interaktif antara komponen kapasitas atau kemampuan kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja. 4 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengamanatkan bahwa pengelola tempat kerja tetap wajib menetapkan standar kesehatan kerja, menjamin lingkungan kerja yang sehat, dan bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja (termasuk menanggung seluruh biaya baik untuk pemeliharaan kesehatan maupun biaya atas gangguan kesehatan akibat kerja pada tenaga kerjanya). Upaya kesehatan kerja sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ditujukan untuk melindungi tenaga kerja guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, dilakukan dalam bentuk upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan, dan pemulihan bagi tenaga kesehatan, sehingga setiap tenaga kerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerjanya. Dengan demikian tujuan kesehatan kerja adalah:
4
Departemen Kesehatan, Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia, Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat, Dirjend Pembinaan Kesmas, Jakarta: 1993, hlm. 2.
39
Perlindungan Kesehatan Kerja
1. 2. 3. 4.
Melindungi tenaga kerja dari risiko kesehatan kerja. Meningkatkan derajat kesehatan para tenaga kerja. Agar tenaga kerja dan orang-orang disekitarnya terjamin kesehatannya. Menjamin agar produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan berdaya guna.
Program pelayanan kesehatan kerja yang dianjurkan adalah program pelayanan paripurna, terdiri dari pelayanan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara bersama-sama (komprehensif) dalam suatu sistem yang terpadu.5 Pelayanan preventif diberikan sebagai bentuk perlindungan pada tenaga kerja sebelum ada proses gangguan akibat kerja. Adapun kegiatannya meliputi: 1. Pemeriksaan kesehatan yang terdiri atas pemeriksaan awal/sebelum bekerja, berkala, dan khusus. 2. Imunisasi. 3. Kesehatan lingkungan kerja. 4. Perlindungan diri terhadap bahaya-bahaya dari pekerjaan. 5. Penyerasian manusia dengan mesin dan alat-alat kerja (ergonomi). 6. Pengendalian bahaya lingkungan kerja agar ada dalam keadaan aman (pengenalan, pengukuran, dan evaluasi). Pelayanan promotif diberikan kepada tenaga kerja yang sehat dengan tujuan untuk meningkatkan kegairahan kerja, mempertinggi efisiensi dan daya produktivitas tenaga kerja. Adapun kegiatannya antara lain: 1. Pendidikan dan penerangan tentang kesehatan kerja. 2. Pemeliharaan berat badan ideal. 3. Perbaikan gizi, seperti menu seimbang dan pemilihan makanan yang aman. 4. Pemeliharaan tempat, cara, dan lingkungan kerja yang sehat. 5. Konsultasi (counselling) untuk perkembangan kejiwaan yang sehat, nasehat perkawinan, dan Keluarga Berencana. 6. Olah raga fisik dan rekreasi.
Pelayanan kuratif diberikan kepada tenaga kerja yang sudah memperlihatkan gangguan kesehatan/gejala dini dengan mengobati penyakitnya supaya cepat sembuh dan mencegah komplikasi atau penularan terhadap keluarganya ataupun teman sekerjanya. Pada tenaga kerja yang sudah menderita sakit, pelayanan ini diberikan untuk menghentikan proses penyakit sehingga dapat sembuh mempercepat masa istirahat kerja dan mencegah terjadinya cacat atau kematian. Pelayanan yang diberikan meliputi pengobatan terhadap penyakit umum maupun penyakit dan kecelakaan akibat kerja.
5
Ibid., hlm. 18.
40
Tri Rini Puji Lestari
Pelayanan rehabilitatif diberikan kepada tenaga kerja yang karena penyakit parah atau kecelakaan parah telah mengakibatkan cacat sehingga menyebabkan ketidakmampuan bekerja secara permanen, baik sebagian atau seluruh kemampuan bekerjanya yang biasanya masih mampu dilakukan sehari-hari. Kegiatan ini meliputi: 1. Latihan dan pendidikan tenaga kerja untuk dapat menggunakan kemampuannya yang masih ada secara maksimal. 2. Penempatan kembali tenaga kerja yang cacat secara selektif sesuai kemampuannya. 3. Penyuluhan pada masyarakat dan pengusaha agar mau menerima menggunakan tenaga kerja yang cacat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, No.128/ Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas, disebutkan bahwa Puskesmas yang dalam wilayah kerjanya terdapat kawasan industri mempunyai tanggung jawab mengembangkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pekerja, yaitu di Puskesmas sebagai tempat kerja, di sektor formal maupun informal. Adapun bentuk nyata dari kegiatan tersebut meliputi pelayanan kesehatan pada masyakat pekerja yang berada di wilayah kerja Puskesmas yang terdiri dari upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit akibat kerja, penyembuhan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Penyelenggaraan kesehatan kerja melibatkan banyak organisasi sebagai pelaku dalam pelaksanaannya, karena ruang lingkup kesehatan kerja sangat multidisiplin dalam keilmuan. Penyelenggaraannya tidak dapat dilakukan oleh bidang kesehatan saja, tetapi harus dilakukan secara kemitraan. Untuk itu penyelenggaraan kesehatan kerja perlu melibatkan unsur pemerintah, segenap potensi masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi dan kalangan dunia usaha. Hubungan (kerjasama) tersebut didasarkan pada prinsip kesetaraan, keterbukaan, dan saling menguntungkan (memberi manfaat) atas kesepakatan, prinsip, dan peran masing-masing. Bentuknya tidak selalu dengan penyediaan pelayanan kesehatan, namun lebih dari suatu upaya menyeluruh untuk terselenggaranya pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja yang paripurna sekaligus memenuhi kebutuhan semua pihak yang terlibat (stake holders). Sedangkan Kementerian Kesehatan dalam hal ini Pusat Kesehatan Kerja berperan sebagai penggerak (fasilitator) dan memberikan masukan kebijakan teknis, sehingga upaya kesehatan kerja dapat berjalan dengan baik sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai.6 Suyono, Pengembangan Pola Manajemen Pengelolaan Upaya Kesehatan Kerja Di Puskesmas Kota Tasikmalaya, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang: 2007, hlm. 35.
6
41
Perlindungan Kesehatan Kerja
C. KONDISI KESEHATAN KERJA PADA TENAGA KERJA SEKTOR INFORMAL Istilah sektor informal berasal dari terminologi ekonomi yang dikenal sebagai sektor kegiatan ekonomi marginal atau kegiatan ekonomi kecilkecilan. Biasanya dikaitkan dengan usaha kerajinan tangan, dagang, atau usaha lain secara kecil-kecilan. Adapun ciri-ciri kegiatan ekonomi marginal yang dikategorikan kedalam sektor informal antara lain:7 1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaannya. 2. Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. 3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian. 4. Pada umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggal. 5. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar. 6. Pada umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah. 7. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan. 8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha mempekerjakan tenaga dari lingkungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama. Sedangkan menurut Payaman Simanjuntak (1985), sektor informal diartikan sebagai kegiatan ekonomi tradisional, yaitu usaha-usaha ekonomi di luar sektor modern atau sektor formal seperti perusahaan, pabrik, dan sebagainya yang mempunyai ciri sebagai berikut:8 1. Kegiatan usaha biasanya sederhana, tidak tergantung pada kerja sama banyak orang bahkan kadang-kadang usaha perorangan dan sistem pembagian kerja tidak ketat. 2. Skala usaha relatif kecil, biasanya dimulai dengan modal dan usaha kecilkecilan. 3. Biasanya tidak mempunyai izin usaha seperti halnya Firma, Perseroan Terbatas, atau CV. 4. Sebagai akibat yang pertama, kedua dan ketiga membuka usaha di sektor informal relatif lebih mudah daripada perusahaan formal. Adapun ILO mendefinisikan sektor informal sebagai cara melakukan pekerjaan apapun dengan karakteristik mudah dimasuki, bersandar pada
7 8
Ibid, hlm. 3 Departemen Kesehatan, op.cit, hlm. 4.
42
Tri Rini Puji Lestari
sumber daya lokal, usaha milik sendiri, beroperasi dalam skala kecil, padat karya dan teknologi yang adaptif, memiliki keahlian di luar sistem pendidikan formal, tidak terkena langsung regulasi, dan pasarnya kompetitif. Sementara BPS mengartikan sektor informal sebagai suatu perusahaan non-direktori (PND) dan Usaha Rumah Tangga (URT) dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang. Dengan keadaan seperti itu sektor informal dapat dikelompokkan menjadi:9 • Pekerja yang mengerjakan pekerjaan mereka sendiri dengan modal yang sangat kecil, misalnya pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima, pedagang pasar, sopir angkutan kota, kuli angkut barang, penjual jamu gendong, pedagang sayur keliling dan sejenisnya. • Pekerja informal yang bekerja pada orang lain, misalnya buruh harian, bekerja pada pengusaha kecil, pada rumah tangga, buruh bangunan, buruh tani, buruh nelayan. • Pekerja yang memiliki usaha sangat kecil dengan mempekerjakan beberapa pekerja, misalnya petani kecil, nelayan kecil, kota kecil, bengkelbengkel kecil, dan pengrajin.
Sektor informal dan formal dibedakan karena ketidakberadaannya hubungan kerja atau kontrak kerja yang jelas. Pada umumnya sifat pekerjaan sektor informal hanya berdasarkan perintah dan perolehan upah. Hubungan yang ada hanya sebatas majikan dan tenaga kerja. Tenaga kerja sektor informal pada umumnya berusaha pada usaha-usaha ekonomi informal dengan ciri-ciri antara lain berskala mikro dengan modal kecil, menggunakan teknologi sederhana, menghasilkan barang dan/atau jasa dengan kualitas relatif rendah, tempat usaha tidak tetap, mobilitas tenaga kerja sangat tinggi, kelangsungan usaha tidak terjamin, jam kerja tidak teratur, tingkat produktivitas dan penghasilan relatif rendah dan tidak tetap. Contoh spesifiknya seperti tukang becak, sopir angkot, petani, nelayan, pengamen jalanan, pedagang kaki lima, buruh bangunan, dan lain sebagainya.10 Kondisi perlindungan kesehatan kerja pada tenaga kerja sektor informal masih sangat rendah jika dibandingkan dengan sektor formal. Pada sektor formal institusinya jelas yaitu institusi formal, ada perjanjian ketenagakerjaan serta program perlindungan kesehatan kerja sudah ada dan diterapkan. Sedangkan industri informal masih jauh dari yang diharapkan padahal risiko yang ditanggung oleh tenaga kerja sektor informal tinggi. Sebagai contoh faktor risiko yang ada pada tenaga kerja yang bekerja di usaha gorengan, di antaranya tingginya suhu penggorengan, api dan minyak
9
10
Ibid. Jaminan kesehatan untuk kecelakaan kerja pada pekerja sektor informal, op.cit.
43
Perlindungan Kesehatan Kerja
goreng yang berpotensi untuk mengakibatkan luka bakar, lingkungan fisiologis yang tidak ergonomis karena selama bekerja mereka terus berdiri. Selain itu, karena posisi usahanya berada di pinggir jalan maka mereka akan banyak menghisap debu akibat asap kendaraan dan debu-debu lainnya selain dapat juga hinggap pada hasil gorengannya. Jika terjadi kecelakaan kerja (work accident), seberapapun kecilnya akan mengakibatkan efek kerugian (loss). 11 Contoh lainnya adalah risiko yang mesti ditanggung oleh pekerja pembuat krupuk dan krupuk kulit. Faktor risiko yang mengancam tenaga kerja di industri rumah tangga ini meliputi faktor: (i) fisik, (ii) kimiawi, dan (iii) lingkungan. Adapun potensi bahaya fisik yang ditemukan pada usaha kerupuk dan kerupuk kulit adalah panas yang berlebihan dan tidak cukupnya ventilasi pada tempat kerja. Bahaya lingkungan yang disebabkan oleh faktor biologi, yaitu tempat air yang terbuka, kontak dengan tanah tanpa alas kaki dan tangan selalu basah untuk waktu yang lama. Bahaya yang berhubungan fungsi tubuh adalah suasana kerja yang menoton, faktor non-ergonomic seperti bekerja dengan posisi jongkok, berdiri, dan mengangkat barang berat berulang-ulang. Hingga saat ini, sarana pelayanan kesehatan untuk tenaga kerja pada industri rumah tangga jarang tersedia. Akibatnya upaya pelayanan kesehatan tidak bisa mereka peroleh dan para tenaga kerja juga tidak mendapatkan informasi yang cukup seputar prosedur keselamatan kerja, higienis dan sanitasi produksi makanan serta manajemen pada industri rumah tangga. 12 Contoh-contoh tersebut di atas menunjukkan bahwa masih banyak tenaga kerja sektor informal di Indonesia yang belum mendapat perlindungan kesehatan kerja, baik berupa jaminan sosial ketenagakerjaan, termasuk tunjangan atas berbagai risiko, misalnya penyakit, kecelakaan, dan kematian. Bahkan perlindungan yang paling mendasar, yaitu upah minimum, juga tidak diterimanya. Sebab utamanya adalah tidak adanya pemantauan yang layak. Terkait perlindungan kesehatan kerja pada tenaga kerja, bentuk jaminan sosial yang sudah diselenggarakan selama ini adalah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Jamsostek sebagaimana didasarkan pada UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi tenaga kerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya. Salah satu cakupan dari Jamsostek, yakni jaminan kecelakaan kerja yang meliputi biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu bekerja dan cacat.
11 12
Subaris, Heru, Hygiene Lingkungan Kerja, Mitra Cendikia Press, Jogjakarta: 2007, hlm. 23 Kusumaratna, Rina K, Occupational health profile of informal crispy (krupuk) and cow skin crackers in South Jakarta, Jurnal Kedokteran Trisakti Vol. 20 Nomor 2 tahun 2001, (online), (www.univmed.org/wp.../02/Vol.20_no.2_2.pdf), diakses 24-9-2013, hlm. 66.
44
Tri Rini Puji Lestari
Program Jamsostek pada dasarnya merupakan sistem asuransi sosial, karena penyelenggaraannya didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan tenaga kerja. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek bagi Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja, salah satu bidang kerja yang berhak mendapatkan Jamsostek adalah bidang kerja sektor informal. Subsidi iuran program Jamsostek bagi tenaga kerja sektor informal diberikan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek bagi Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja. Selama ini subsidi iuran program Jamsostek telah mengalami peningkatan hampir tiga kali lipat dari tahun 2010 yang bernilai Rp1,3 miliar dan terdapat 4.166 tenaga kerja informal yang tersebar di tujuh provinsi yang menerimanya pada tahun 2010.13 Upaya Jamsostek yang menyediakan perlindungan sosial bagi tenaga kerja di sektor formal dan informal turut membantu pembangunan ekonomi bangsa. Jamsostek berpeluang menjadi penopang bagi seluruh pekerja di tanah air dari risiko-risiko atas profesi kerja, dan masa depan keluarga-keluarga Indonesia yang menjadi peserta juga akan semakin terlindungi. Namun demikian seiring berjalannya program Jamsostek, ditemukan beberapa masalah pada para tenaga kerja di sektor informal. Mereka kerap terkendala menjadi peserta program Jamsostek karena tidak memiliki perusahaan sebagai penjamin iuran dan berpendapatan tidak tetap. Padahal, tenaga kerja informal juga membutuhkan jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian seperti halnya pekerja formal. Hal ini termaktub dalam UU No 3/1992 tentang Jamsostek Pasal 3 ayat (2), yang menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja. Jamsostek berpeluang menjadi penopang bagi seluruh pekerja di tanah air dari risiko-risiko atas profesi kerja, dan masa depan keluarga-keluarga Indonesia yang menjadi peserta akan semakin terlindungi. Jaminan sosial tenaga kerja yang salah satunya merupakan jaminan kesehatan untuk kecelakan kerja tenaga kerja di sektor informal pada dasarnya telah terlaksana, namun penerapannya belum menyeluruh di semua sektor informal yang ada. Contohnya, walaupun suatu sektor informal telah mendaftarkan para tenaga kerjanya untuk mendapatkan jaminan tersebut, namun masih ada beberapa tenaga kerjanya yang tidak mendapatkan hak jaminan tersebut. Untuk melindungi para tenaga kerja yang belum mendapatkan perlindungan dari Jamsostek, selama ini Pemerintah melalui program
13
Ibid.
45
Perlindungan Kesehatan Kerja
jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) telah memberikan perlindungan pelayanan kesehatan kepada tenaga kerja sektor informal tersebut. Namun demikian, pelayanan jamkesmas belumlah cukup karena masih berfokus pada kegiatan kuratif saja. Pelayanan yang bersifat promotif dan preventif masih perlu dikembangkan. Selain itu program tersebut juga tidak dapat mencakup semua tenaga kerja di sektor informal, karena program Jamkesmas lebih ditujukan pada kelompok masyarakat miskin dan nyaris miskin saja, sementara tidak semua tenaga kerja di sektor informal adalah keluarga miskin dan nyaris miskin.
D. HARAPAN KE DEPAN Perlindungan kesehatan kerja merupakan hak bagi setiap warga negara yang harus dipenuhi. Jika merujuk pada Undang-Undang Kesehatan Tahun 2009, perlindungan kesehatan kerja merupakan upaya untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja. Untuk itu perlindungan kesehatan kerja tidak dapat diabaikan. Terlebih lagi jika dilihat dari aspek ekonomi, penyelenggaraan kesehatan kerja akan memberikan dampak yang sangat menguntungkan, karena jika penyelenggaraan kesehatan kerja diterapkan dengan baik dapat meningkatkan produktivitas. Dengan tidak terjadinya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, berarti tidak ada absenteisme para tenaga kerja. Selain itu, dengan meningkatnya status kesehatan yang seoptimal mungkin bagi setiap tenaga kerja, tentunya akan berpengaruh pada peningkatan produktivitas. Kondisi tidak ada atau rendahnya absenteisme dan meningkatnya status kesehatan tenaga kerja, yang pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi yang bermuara pada meningkatnya keuntungan perusahaan.14 Perlindungan kesehatan kerja menjadi tanggung jawab bersama antara tenaga kerja, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Komitmen dan kerjasama lintas sektor sangat diperlukan guna memperkuat dan mengembangkan kebijakan kesehatan kerja. Untuk itu regulasi perlindungan kesehatan kerja khususnya untuk tenaga kerja sektor informal, ke depan harus lebih komprehensif dan aplikatif. Pedoman dan standardisasi kesehatan kerja sektor informal juga perlu disusun lebih jelas dan nyata, sehingga dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak terkait. Walau penerapan dan penegakan hukum terkait perlindungan kesehatan kerja pada tenaga kerja sektor informal di Indonesia selama ini masih tergolong lemah, tidak dapat dipungkiri Indonesia sudah mempunyai
14
Notoatmodjo Soekidjo, Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2011, hlm. 201.
46
Tri Rini Puji Lestari
beberapa bentuk perlindungan kesehatan kerja, terutama dalam bentuk upaya kesehatan kerja (berupa pelayanan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif yang semuanya dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu), tunjangan kematian, kecelakaan kerja, dan asuransi kesehatan. Namun demikian, harapan ke depan tidak ada lagi kendala bagi tenaga kerja di sektor informal dalam mengakses perlindungan kesehatan kerja. Tidak ada lagi persyaratan administrasi pada pendaftaran yang mengharuskan berkelompok atau melalui organisasi. Karena sebagian besar tenaga kerja informal bekerja secara mandiri tanpa organisasi, apalagi berbadan hukum. Selain itu, perlu juga diperhatikan bahwa kebutuhan perlindungan kesehatan kerja bagi tenaga kerja yang bekerja di sektor informal berbedabeda, tergantung pada status demografi, tingkat risiko bahaya pekerjaan (misalnya tukang parkir, tukang ojek, buruh tani, nelayan), lokasi dan situasi pekerjaan (di rumah, jalan, pabrik), lingkungan (masyarakat dan bukan perusahaan), serta kemampuan membayar iuran dana asuransi secara teratur. Oleh karena itu perlu ada identifikasi kebutuhan prioritas terhadap berbagai risiko dan pengembangan mekanisme yang tepat untuk mengelola risiko tersebut. Dalam rangka menjamin perlindungan kesehatan kerja bagi tenaga kerja sektor informal tersebut, perangkat peraturan untuk mendukung pelaksanaan seperti peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan harus segera diterbitkan, mengingat pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional tinggal sebentar lagi (1 Januari 2014). Selain itu, kualitas dan kuantitas SDM dan kelembagaan yang menangani pelaksanaan sistem perlindungan kesehatan kerja juga harus segera dipersiapkan secara komprehensif, serta perlu adanya lembaga yang ditunjuk dan skema pembiayaan guna menangani perlindungan kesehatan bagi tenaga kerja sektor informal. Koordinasi terkait pembebanan biaya penanganan kesehatan kerja bagi tenaga kerja sektor informal perlu dilakukan. Untuk itu, pembagian tugas dan wewenang harus jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara lembaga/kementerian. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran serta tenaga kerja informal dalam perlindungan kesehatan kerja. Untuk itu sosialisasi tentang manfaat, sistem kepesertaan serta hak dan kewajiban warga negara dalam regulasi perlindungan kesehatan kerja perlu diadakan, mengingat tenaga kerja sektor informal masih ada yang tidak mampu membayar iuran secara teratur dikarenakan rendahnya penghasilan tenaga kerja informal tersebut. 47
Perlindungan Kesehatan Kerja
E. KESIMPULAN Tenaga kerja di sektor informal jumlahnya mendominasi tenaga kerja yang ada di Indonesia dan ke depan cenderung akan terus meningkat jumlahnya. Untuk itu perlindungan kesehatan kerja sangat diperlukan. Dari aspek ekonomi, dengan penyelenggaraan kesehatan kerja yang baik akan berdampak pada tidak adanya absenteisme dari para tenaga kerja, sehingga akan berpengaruh juga pada peningkatan produktivitas kerja. Untuk dapat mewujudkan upaya perlindungan kesehatan kerja pada tenaga kerja sektor informal, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan seperti: 1. Pengembangan jejaring kesehatan kerja. Pelaksanaan kesehatan kerja bersifat multidisiplin ilmu. Peran serta aktif dari berbagai pihak terkait sesuai dengan porsinya masing-masing diperlukan, sehingga akses pelayanan kesehatan kerja bagi seluruh masyarakat pekerja dapat ditingkatkan. 2. Peningkatan upaya kesehatan kerja dan pencegahan penyakit. Upaya kesehatan kerja tidak dapat dipisahkan dengan pencegahan penyakit, sehingga pendekatan melalui promosi kesehatan dan pencegahan penyakit sangat diperlukan. 3. Melaksanakan sistem informasi kesehatan kerja. Untuk mendukung pelaksanaan upaya kesehatan kerja sangat diperlukan sistem informasi yang baik, sehingga dapat memaksimalkan hasil yang akan dicapai. 4. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan SDM kesehatan kerja berbasis kompetensi. SDM yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan kompetensinya akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Dengan demikian peran serta institusi pendidian dan pelatihan serta lembaga-lembaga yang bergerak untuk meningkatkan kapasitas SDM kesehatan kerja untuk setiap jenjang administrasi dan bahkan untuk instansi sangat diperlukan. 5. Peningkatan pemberdayaan sektor terkait dan masyarakat. Peningkatan pemberdayaan sektor-sektor terkait, lembaga, institusi, asosiasi, masyarakat, dan perusahaan sektor informal dapat membantu keberlangsungan upaya-upaya kesehatan kerja. 6. Peningkatan kegiatan penelitian. Untuk mengantisipasi perubahanperubahan teknologi yang terjadi, tuntutan masyarakat yang semakin kritis, dan permasalahan kesehatan kerja yang semakin kompleks. 7. Membangun komitmen kesehatan kerja dalam pembangunan kesehatan dan pembangunan Indonesia. Mendorong semua pihak terkait untuk menjadikan kesehatan kerja sebagai suatu hal yang utama (main stream) dalam setiap proses pembangunan di Indonesia (pembangunan yang berwawasan kesehatan kerja). 48
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Bina Kesehatan Kerja, Kajian Kondisi Kerja Pada Sektor Informal/ UKM Dan Dampaknya Pada Kesehatan Kerja, Dirjend Bina Kesehatan Masyarakat, DepKes RI, Jakarta: 2008.
Departemen Kesehatan, Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia, Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat, Dirjend Pembinaan Kesmas, Jakarta: 1993.
Fransiscus, Greget Jaminan Sosial Bagi Tenaga Kerja Informal, (online), (http://www.investor.co.id/home/greget-jaminan-sosial-bagi-tenagakerja-informal/61447), diakses 1-9-13. Jaminan kesehatan untuk kecelakaan kerja pada pekerja sektor informal, Jamsosindonesia.com (online), 12 Desember 2011, (http://www. jamsosindonesia.com/cetak/print_externallink/821/#sthash.Vn5vIJjk. dpuf), diakses 31-8-2013 Kusumaratna, Rina K, Occupational health profile of informal crispy (krupuk)
and cow skin crackers in South Jakarta,, Jurnal Kedokteran Trisakti Vol. 20 Nomor 2 tahun 2001, (online), (www.univmed.org/wp.../02/Vol.20_ no.2_2.pdf), diakses 24-9-2013. Notoatmodjo Soekidjo, Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2011
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Suyono, Pengembangan Pola Manajemen Pengelolaan Upaya Kesehatan Kerja Di Puskesmas Kota Tasikmalaya, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang: 2007. Subaris, Heru, Hygiene Lingkungan Kerja, Mitra Cendikia Press, Jogjakarta: 2007. 49
BAB IV PERLINDUNGAN KESEHATAN JIWA TENAGA KERJA DALAM RUU TENTANG KESEHATAN JIWA Elga Andina*
A. PENDAHULUAN Bekerja bukan sekedar kegiatan mencari kompensasi, namun juga merupakan upaya pemenuhan kepuasan diri. Bekerja memberikan alasan bagi manusia untuk hidup. Manusia yang bekerja merasa dibutuhkan, berguna, dan dapat menyalurkan keterampilannya. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki pekerjaan memiliki penghargaan diri yang rendah, karena merasa tidak diperlukan. Semakin besar suatu organisasi tempat seseorang bekerja, maka semakin beragam jenis pekerjaan yang dilakukannya. Dengan begitu, tugas-tugas ini harus dikelola agar dapat mewujudkan tujuan organisasi. Riwayat pengelolaan kerja dimulai jauh sebelum Frederick Winslow Taylor menemukan cara untuk meningkatkan efisiensi dalam menyelesaikan tugas dengan menciptakan berbagai macam alat mekanik yang disesuaikan dengan struktur kerja tubuh manusia. Seiring perkembangan jaman yang semakin kapitalis, pemanfaatan teknologi menjadi semakin meningkat bahkan menyebabkan semakin bergantungnya manusia kepada kinerja mesin. Untuk mendukung perkembangan tersebut, tenaga kerja dituntut mampu bekerja mengikuti kemampuan peralatan kerjanya, baik dalam waktu maupun fleksibilitasnya. Meningkatnya fleksibilitas yang diharapkan dari tenaga kerja menyebabkan dampak negatif sebagai berikut (Wilken & Breucker, 2000:2): 1. pemadatan beberapa pekerjaan menjadi satu. 2. berorientasi hasil. 3. mengaburkan batas antara profesionalisme di tempat kerja dan kehidupan pribadi tenaga kerja. 4. Kelebihan pekerjaan. 5. Kebutuhan pekerjaan yang tidak dapat diprediksi. 6. Pengabaian atas keselamatan dan perlindungan kesehatan saat bekerja. *
Peneliti Muda Bidang Psikologi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail:
[email protected].
51
Perlindungan Kesehatan Jiwa Tenaga Kerja
Banyak tenaga kerja yang diperlakukan seperti mesin dan kurang diperhatikan kualitas kesehatannya, padahal kesehatan sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja. Hasil survei 2000 dokter oleh Physician Wellness Services and Cejka Search pada akhir tahun 2011 yang dikutip oleh Alan H. Resenstein menemukan bahwa 87 persen responden merasa sedang hingga sangat tertekan dan lelah sehari-harinya, dan hampir 63 persen mengakui merasa lebih tertekan dan lelah dibandingkan 3 tahun lalu1. Akibat dari stres dan kelelahan tersebut antara lain: 1. Menurunnya kepuasan kerja; 2. Menurunnya produktivitas; 3. Tidak cukup seimbangnya kehidupan kerja dan pribadi; 4. Konflik di tempat kerja dan di rumah; 5. Merasa terganggu, moodi, marah, dan menunjukkan sikap permusuhan atau kebencian; 6. Merasa lelah, kurang tidur, dan sulit tidur; 7. Dampak negatif pada kesehatan fisik; 8. Dampak negatif pada kesehatan jiwa, seperti depresi dan kecemasan atau gejala-gejala berupa apatis, sinisme, dan berkurangnya minat berhubungan dengan orang lain dalam aktivitas sehari-hari; 9. Terkait keselamatan pasien, seperti kesulitan mengambil keputusan, berkomuniasi secara efektif dengan orang lain, dan meningkatnya kesalahan medis. Dampak negatif akibat kesalahan dalam mengelola tenaga kerja juga ditulis oleh Wilken & Breucker (2000:1) yang menyatakan bahwa stres fisik di tempat kerja terus menurun dan stres mental meningkat. Para ahli perilaku sepakat bahwa tekanan berlebihan berpengaruh negatif terhadap kinerja. Dalam mewujudkan kinerja tersebut, tenaga kerja membutuhkan motivasi agar ia tergerak untuk melakukan tugas-tugasnya. Menurut Teori X-Y oleh Douglas MacGregor di tahun 1960, dari sudut Teori X, orang dianggap malas dan berusaha menghindari pekerjaan. Namun, sebaliknya Teori Y mengasumsikan2: • berusaha dalam bekerja sama alaminya dengan bekerja dan bermain; • orang memiliki kontrol diri dan pengarahan sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi, tanpa membutuhkan kontrol eksternal maupun ancaman hukuman;
1
2
Alan H. Rosenstein, MD Physician Stress and Burnout: Prevalence, Cause, and Effect http:// www.aaos.org/news/aaosnow/aug12/managing4.asp, diakses tanggal 13 September 2013. Douglas McGregor- Theory x y, http://www.businessballs.com/mcgregor.htm, diakses tanggal 4 September 2013.
52
Elga Andina
• • • •
komitmen terhadap tujuan merupakan fungsi penghargaan yang terasosiasi dengan pencapaian mereka; orang mampu menerima dan mencari tanggung jawab; kapasitas untuk menggunakan imajinasi tingkat tinggi, keaslian, dan kreativitas dalam menyelesaikan permasalahan organisasi tersebar secara luas, tidak menyempit; dan potensi intelektual orang biasa hanya digunakan sebagian.
Dalam teori psikologi lain Herzberg, Mausner, dan Snyderman (1959) mengidentifikasikan faktor-faktor seperti prestasi, pengenalan, tanggung jawab, kemajuan dan perkembangan pribadi yang dianggap sebagai komponen intrinsik pekerjaan, cenderung memotivasi karyawan untuk bekerja lebih baik. Faktor seperti gaji, peraturan perusahaan, gaya kepemimpinan, kondisi kerja, dan hubungan dengan rekan kerja cenderung merusak motivasi kerja jika tidak dipenuhi, namun jika tercukupi pun tidak akan meningkatkan motivasi. Teori ini dikenal sebagai Teori Hygiene. Disini kepuasan kerja malah bukan difokuskan pada penghasilan yang diterima, namun pada hal-hal lain, seperti lingkungan kerja, hubungan dengan kolega dan atasan. Dengan begitu lebih pada kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri. B. SUMBER STRES KERJA DI INDONESIA Wilken dan Breucker (2000:1) mencurigai parameter sosial di tahun 1990-an, termasuk kompetisi pasar global, pengangguran, dan masalah dalam pembiayaan manfaat kesejahteraan sosial dari pemerintah sebagai faktor yang meningkatkan stres mental. Disisi lain, masalah dari dalam diri tenaga kerja juga berkontribusi terhadap masalah kejiwaan yang dialaminya. Oleh karena itu stres kerja dapat berasal dari dua sumber, yaitu: 1. Eksternal a. Kondisi Sosial Ekonomi Tidak dapat dipungkiri dunia berubah dan perubahan itu memaksa manusia untuk berevolusi. Pekerjaan semakin sulit didapat dan jarak semakin jauh menyebabkan manusia harus bergantung pada alat komunikasi elektronik. Mencari kerja menjadi lebih sulit dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu. Seiring dengan kesulitan tersebut, biaya-biaya semakin melambung dan nilai uang semakin rendah. Dengan begitu, tenaga kerja harus bekerja lebih keras dan lebih lama untuk mendapatkan penghasilan yang sesuai dengan kebutuhannya. b. Kebijakan Perburuhan Setiap tahun buruh melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah. Upah minimum mencerminkan hubungan antara pemilik modal, buruh, dan negara. Dalam penetapan upah minimum, negara mempunyai peranan yang 53
Perlindungan Kesehatan Jiwa Tenaga Kerja
paling menonjol. Tujuan penetapan upah minimum adalah menghilangkan bagian dari kemiskinan yang disebabkan bagian tingkat upah yang tidak memungkinkan pekerja memperoleh penghasilan untuk mencapai standar minimum kehidupan. Namun, ketidakmungkinan ini disebabkan oleh surplus tenaga kerja, sumber daya manusia yang rendah, dan kondisi fisik buruh (Wahyuni, 2012:11). Berapapun upah minimum yang ditetapkan pemerintah, selalu ada buruh yang merasa tidak cukup dan berujung pada demonstrasi. Misalnya di DKI Jakarta tahun 2013 Gubernur DKI Jakarta menyetujui kenaikan UMP DKI Jakarta 2013 yang tertinggi sejak 10 tahun terakhir, namun buruh masih tetap melakukan demonstrasi. c. Kondisi Lingkungan Perubahan kondisi lingkungan memaksa manusia ikut berubah. Pembangunan gedung dan perumahan di berbagai pelosok negeri telah mengubah gaya hidup masyarakat yang semula hanya berjalan kaki menjadi lebih suka menggunakan kendaraan. Pada tingkat ketergantungan yang lebih tinggi, masyarakat menjadi terbatas geraknya jika tidak memiliki kendaraan. Padahal, tenaga kerja sangat bergantung pada sarana transportasi. Di kota besar terlihat peningkatan jumlah komuter, yaitu orang yang bekerja di pusat kota namun tinggal di kota kecil atau pinggiran kota. Kondisi ini menyebabkan tenaga kerja harus berangkat lebih pagi dan berhimpitan di sarana transportasi umum yang tidak memadai. Di Jakarta misalnya, kegaduhan dan kepadatan transportasi massal berkontribusi terhadap perubahan emosi penggunanya. Pada kasus lain, tenaga kerja yang berada di daerah rawan bencana atau konflik juga rentan terkena stres. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyampaikan bahwa Indonesia berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat dibanding tingkat kegempaan di Amerika Serikat.3 Mengalami bencana akan menghadapkan seseorang pada situasi sulit. Bencana merupakan suatu kejadian yang mengganggu kehidupan normal dan melampaui kapasitas seseorang atau masyarakat untuk mengatasinya. Bencana bisa berdampak pada terganggunya keseimbangan kondisi psikologis seseorang, kehilangan harta benda, kehilangan orang terdekat, maupun kehilangan penghasilan. Ketidakseimbangan kondisi psikologis dapat dirasakan dalam bentuk terganggunya fungsi psikologis seseorang seperti fungsi pikiran, perasaan, dan tingkah laku. Beberapa gejala yang umumnya muncul adalah terkejut, menyesal, menyalahkan diri, berduka, cemas, kehilangan orientasi, sering teringat-ingat pada peristiwa yang dialami meskipun tidak ingin mengingatnya, dan mimpi buruk.
3
Potensi Ancaman Bencana, http://www.bnpb.go.id/page/read/6/potensi-ancamanbencana, diakses tanggal 10 September 2013.
54
Elga Andina
Selain itu, ditemukan juga gejala berupa menutup diri, menarik diri dari hubungan sosial, menghindari peristiwa yang dialami, dan merasa tak berdaya.
2. Internal a. Rendahnya Kemampuan Coping terhadap Stres Meningkatnya kemampuan teknologi memenuhi kebutuhan manusia mau tidak mau mengubah cara manusia memandang dunia. Jika dulu sesuatu sulit dicari maka manusia dituntut untuk bekerja keras. Namun, di masa sekarang ini segalanya serba instan dan ini membentuk mental malas dalam diri manusia. Perubahan gaya hidup ini yang mendorong terbentuknya budaya instan, terutama di kalangan generasi muda. Tenaga kerja yang masih muda cenderung kesulitan untuk bertahan dalam sebuah pekerjaan yang menekan. Bahkan di kalangan fresh graduate dari universitas ternama sering terjadi fenomena yang disebut “kutu loncat” yaitu seringnya tenaga kerja baru berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain dalam waktu yang berdekatan. Mereka tidak tekun dan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya sehingga memilih untuk berhenti dari pekerjaan. b. Harapan Tinggi, Kemampuan Rendah Tenaga kerja yang baru memasuki dunia kerja cenderung belum memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Adanya kesenjangan antara yang kebutuhan dengan keterampilan ini menyebabkan tenaga kerja harus melalui proses pelatihan yang spesifik dan berbeda dengan masa pendidikan formalnya. Rendahnya lulusan jenjang pendidikan yang terserap di dunia kerja meningkatkan jumlah pengangguran. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah penggangguran di Indonesia terhitung hingga Februari 2013 sebanyak 7,170,523 jiwa.
Sumber: BPS, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=4, diakses tanggal 10 Oktober 2013.
55
Perlindungan Kesehatan Jiwa Tenaga Kerja
C. PENTINGNYA KESEHATAN JIWA BAGI TENAGA KERJA WHO menjelaskan makna kesehatan sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial selengkapnya, dan bukan sekedar tanpa sakit atau lemah. Lebih lanjut, kesehatan jiwa didefinisikan sebagai keadaan sejahtera dimana setiap individu memahami potensinya, mampu mengelola tekanan hidup, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, dan dapat memberikan kontribusi pada komunitasnya4. Dalam konteks dunia kerja, ILO (2000) memberikan definisi kesehatan kerja sendiri. Meskipun banyak elemen kesehatan jiwa dapat diidentifikasikan, istilah ini tidak mudah untuk dijelaskan. Permasalahan sehat secara mental memiliki berbagai interpretasi terkait dengan makna penilaian, yang dapat berbeda antar-budaya. Kesehatan jiwa tidak boleh dilihat sebagai ketiadaan sakit, namun lebih kepada kesejahteraan subjektif, ketika individu merasa bahwa mereka mengatasi, memiliki kontrol atas dirinya, mampu menghadapi tantangan, dan mengambil tanggung jawab. Kesehatan jiwa adalah keadaan yang memperlihatkan performa sukses dari fungsi mental, yang berujung pada aktivitas produktif, hubungan yang memadai dengan orang lain, dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan serta menghadapi keberagaman yang khusus pada budaya individual. Dengan begitu, seorang tenaga kerja dapat berfungsi optimal jika jiwa dan raganya berada dalam kondisi yang sehat. Namun, pada prakteknya permasalahan kesehatan jiwa masih sering menjadi aspek yang terabaikan dalam dunia pengelolaan sumber daya manusia. Masih sedikit organisasi yang memberikan perhatian terhadap kesehatan jiwa tenaga kerjanya, meskipun permasalahan kejiwaan dapat memberikan kerugian yang sangat besar terhadap perusahaan. Stres mental berkontribusi terhadap penurunan kinerja, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Salah satu dampak stres kerja terlihat dari jumlah kecelakaan kerja. Berdasarkan laporan ILO, setiap hari terjadi 6.000 kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan korban fatal. Sementara di Indonesia setiap 100 ribu tenaga kerja terdapat 20 korban yang fatal akibat kecelakaan kerja. Tak hanya itu, menurut kalkulasi ILO, kerugian yang harus ditanggung akibat kecelakaan kerja di negara-negara berkembang juga tinggi, mencapai 4% dari produk nasional bruto (PNB).5Pada tahun 2011 tercatat 96.314 kasus dengan korban meninggal 2.144 orang dan mengalami cacat sebanyak 42 orang. Diperkirakan, kerugian akibat kecelakaan mencapai
4
5
Mental Health: a state of well being, http://www.who.int/features/factfiles/mental_ health/en/, diakses tanggal 12 September 2013. Kecelakaan Kerja di Indonesia Masih Tinggi. http://kspsi.com/berita/kecelakaan-kerjadi-indonesia-masih-tinggi/, diakses tanggal 29 Agustus 2013.
56
Elga Andina
Rp280 triliun per tahun.Perlakuan yang tidak tepat terhadap tenaga kerja dapat menimbulkan masalah-masalah kejiwaan dalam organisasi, mulai dari gangguan mental ringan hingga gangguan kejiwaan. D. RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN JIWA Kesehatan jiwa di dalam dunia kerja merupakan salah satu fokus aksi perlindungan kesehatan jiwa yang dicanangkan dalam Pakta Kesehatan Jiwa Eropa (2008:4). Dalam pakta tersebut peserta Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa “Together for Mental Health and Wellbeing” mendorong pembuat kebijakan untuk melakukan aksi kesehatan jiwa di dunia kerja, meliputi: 1. peningkatan organisasi kerja, budaya organisasi dan praktek kepemimpinan untuk mempromosikan kesejahteraan mental di dunia kerja, termasuk rekonsoliasi antara kerja dan kehidupan keluarga; 2. mengimplementasikan program-program kesehatan dan kesejahteraan jiwa dengan program pengukuran dan pencegahan resiko untuk situassituasi yang dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan jiwa tenaga kerja (stres, perilaku abuse seperti kekerasan dan harassment di kantor, alkohol, obat-obatan) dan skema intervensi dini di lingkungan kerja; 3. menyediakan pengukuran untuk mendukung rekrutmen, retensi atau rehabilitasi dan pengembalian kerja orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Rencana aksi diatas merupakan bentuk ideal pengelolaan kesehatan jiwa tenaga kerja. Namun demikian, pelaksanaannya masih sulit dilakukan di Indonesia, karena: 1. Masalah Legislasi Secara umum pengelolaan kesehatan jiwa diamanatkan dalam pasal 144- Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, sejak ditetapkan belum ada aturan turunan yang diberlakukan untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut. Meskipun begitu, pengaturan kesehatan jiwa untuk aspek tertentu tersebar di berbagai peraturan. Misalnya dalam hal pelindungan kesehatan jiwa tenaga kerja.Masalah kesehatan kerja sudah disinggung dalam Pasal 86 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi: 1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. 57
Perlindungan Kesehatan Jiwa Tenaga Kerja
2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. 3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku“.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa “upaya keselamatan dan kesehatan kerja” dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Jelas bahwa pasal ini baru mengatur kesehatan fisik tenaga kerja. Setidaknya ada 121 peraturan mengenai keselamatan kerja di Indonesia, namun tidak satupun yang spesifik mengatur pelindungan kesehatan jiwa tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja lebih dianggap sebagai alat daripada modal sosial yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Belum adanya payung hukum ini berpengaruh terhadap pelaksanaan pelayanan di daerah yang terkait dengan sumber daya manusia kesehatan jiwa, fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, perbekalan kesehatan jiwa, teknologi dan produk teknologi kesehatan jiwa, dan pendanaan kesehatan jiwa. Dalam hal pendanaan, misalnya, Provinsi Gorontalo menetapkan besaran anggaran kesehatan secara umum sebesar 5% dari anggaran APBD, tetapi tidak ada penganggaran khusus untuk ODMK (PUU Kesra, 2012: 88). 2. Pelayanan Kesehatan yang Buruk Upaya kesehatan selama ini hanya difokuskan kepada kondisi fisik, tanpa memperhatikan kualitas kejiwaannya. Terbukti dengan pelayanan kesehatan yang jauh dari standar manusiawi. Pasien diperlakukan seperti barang, bukan makhluk yang memiliki rasa, terutama mereka yang golongan ekonomi lemah. Mereka yang memiliki asuransi kesehatan (ASKES) digolongkan kepada pasien kasta rendah yang harus mengantre panjang untuk mendapatkan layanan kesehatan. Masih banyak pula tenaga kesehatan yang tidak menghormati pasien dengan rendahnya empati ketika melakukan pemeriksaan. Pola kerja yang sangat kapitalis ini membuat pasien mengalami tekanan dan memperburuk kondisi kesehatan fisiknya.
E. TENAGA KERJA RENTAN GANGGUAN KEJIWAAN Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rentan diartikan sebagai: ren·tan a 1 mudah terkena penyakit; 2 peka; mudah merasa: ketimpangan dan dominasi produksi swasta telah membuka peluang situasi pasar menjadi -- thd perubahan; (me) -- hati, pb lekas marah (sakit hati, patah hati); -- penyakit mudah terkena penyakit; 58
Elga Andina
me·ren·tan v membuat rentan; ke·ren·tan·an n perihal rentan: menghasilkan akibat yg tidak dapat diduga spt ~ kerja, bias distribusi, penimbunan semen Dalam konteks hak asasi manusia, kelompok populasi tertentu sering mendapat perlakuan yang diskriminatif atau membutuhkan perhatian khusus untuk menghindari adanya kemungkinan eksploitasi. Populasi inilah yang disebut sebagai kelompok-kelompok rentan(Reichert, 2006:78). Menurut David Mechanic dan Jennifer Tanner (2007:1223-1225), kerentanan berasal dari: 1. Kemiskinan dan Ras Stigma selalu terbentuk pada kondisi lemah ekonomi dan perbedaan ras, yang berujung pada diskriminasi. Rendahnya pendapatan dan pendidikan, seringkai terjadi pada kaum kulit hitam di Amerika, berujung pada banyak kerentanan. Mechanic & Tanner (2007:1223) mengutip penelitian yang menemukan bahwa anak-anak dengan pendapatan keluarga yang rendah serta pengasuhan yang berat mengalami hambatan dalam hal kognitif dan kompetensi sosialnya. 2. Hubungan sosial dan kurangnya dukungan sosial. Banyak orang di komunitas yang miskin kekurangan dukungan sosial yang berguna untuk melawan stres. 3. Batasan pribadi, yaitu yang terkait dengan kerusakan fisik dan kognitif, sakit yang berkepanjangan. Hal-hal seperti rendahnya berat lahir, kerusakan kongenital, kekerasan ketika masa kecil dan deprivasi, conduct disorder, atau kesulitan belajar, dimulai dari masa kecil lalu menyebabkan masalah yang lebih besar ketika dewasa. 4. Lokasi fisik, misalnya berada di tempat tandus, perdesaan, pinggir kota, atau tempat-tempat lain yang diasosiasikan dengan infrastruktur yang kurang memadai atau rusak, kesempatan kerja yang kecil, layanan kesehatan, sosial dan pendidikan yang tidak cukup, transportasi dan fasilitas komunikasi yang buruk; tingginya kejahatan dan korban; dan paparan terhadap kondisi lingkungan yang tidak sehat. Berdasarkan pemaparan diatas, kerentanan meliputi kurangnya atau terhalangnya akses terhadap hal-hal yang dibutuhkan seseorang sehingga ia tidak dapat berfungsi secara optimal.
59
Perlindungan Kesehatan Jiwa Tenaga Kerja
F. KELOMPOK TENAGA KERJA YANG RENTAN TERHADAP PERMASALAHAN KEJIWAAN Dalam dunia kerja, kelompok tenaga kerja yang rentan terhadap permasalahan kejiwaan antara lain (Belin, dkk., 2011:8-17): 1. Wanita Kesenjangan antara pekerja pria dan wanita tidak dapat dielakkan. Hal ini disebabkan karena natur pekerjaan yang tidak sesuai dengan salah satu jenis kelamin, serta adanya stigma yang melekat sehingga menghambat salah satu jenis kelamin, biasanya wanita, untuk mencapai posisi-posisi tertentu.Dalam risetnya, ILO menemukan jurang antara partisipasi pekerja pria dan wanita di Indonesia dan dibandingkan dengan 3 negara tetangga. Di Indonesia perbedaan itu bernilai rata-rata 36%.
sumber: Phu Huynh and Steven Kapsos, Economic class and labour market inclusion: Poor and middle class workers in developing Asia and the Pacific.
Permasalahan diskriminasi wanita di dunia kerja masih menjadi topik utama dalam kajian-kajian feminisme. Namun, diskriminasi ini tidak bisa diberlakukan secara umum. Wanita yang rentan dan atau mengalami diskriminasi di lingkungan kerja biasanya memiliki ciri sebagai berikut: a. Berpendidikan Rendah Pendidikan rendah berkonotasi dengan pekerjaan bergaji minim, yang notabene sering berbentuk tugas-tugas klerikal yang tidak membutuhkan kompetensi konseptual. Apalagi jika wanita berada dalam bidang pekerjaan informal, maka ia sangat rentan mendapatkan perlakuan tidak adil karena dianggap tidak cukup cerdas untuk mendapatkan haknya. 60
Elga Andina
b. Kurang Keterampilan Tenaga kerja terampil memiliki nilai jual dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki keterampilan. Dalam proses perekrutan misalnya, mereka yang memiliki pengalaman lebih diutamakan dibandingkan yang baru memulai di bidang pekerjaan tersebut. 2. Pekerja Lanjut Usia Pekerja lanjut usia (lansia) dianggap sudah mengalami penurunan kompetensi sehingga tidak banyak diharapkan lagi untuk mendukung performa organisasi. Namun, disisi lain, tenaga kerja lansia memiliki pengalaman yang tidak dimiliki pekerja juniornya. Tenaga kerja lansia tidak lagi mengejar karir dan uang, namun lebih kepada kepuasan dan kesejahteraan mentalnya. Sebagaimana disampaikan oleh ahli kesehatan, lansia aktif, termasuk yang tetap bekerja dalam kondisi lingkungan yang baik dan dapat beradaptasi, dapat meningkatkan kesejahteraan lansia (Belin, dkk.,2011:50) .
3. Pekerja Difabel Pekerja difabel tidak dapat diperlakukan sama dengan pekerja normal. Keterbatasannya membuat pekerja difabel hanya dapat dipekerjakan pada bidang-bidang tertentu. Oleh karena keterbatasan ini, pekerja disabel rentan terhadap pengurangan hak-haknya sebagai tenaga kerja.Pekerja difabel juga sulit mendapatkan pekerjaan. Menurut estimasi ILO, tahun 2010 jumlah tenaga kerja penyandang disabilitas mencapai sekitar 11 juta orang.6 jumlah Penyerapan kaum difabel sebagai tenaga kerja atau karyawan di perusahaan negara dan swasta masih kurang dari 1 persen.7 Padahal, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat Pasal 28, pengusaha harus mempekerjakan sekurangkurangnya satu orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk setiap 100 orang pekerja.
4. Pekerja Belia Dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pengertian anak disini mencacu pada Pasal 1 butir 1 Undang Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
6
7
Menakertrans Buka Pameran Bursa Kerja Khusus Warga Disabilitas di Kemayoran, http:// megapolitan.kompas.com/read/2013/10/09/1340542/Menakertrans.Buka.Pameran. Bursa.Kerja.dan.Job.fair.Khusus.Penyandang.Disabilitas.Di.Kemayorandiakses tanggal 15 Oktober 2013. Pekerja Difabel Minim, http://nasional.kompas.com/read/2010/06/25/04354581, diakses tanggal 15 Oktober 2013.
61
Perlindungan Kesehatan Jiwa Tenaga Kerja
Dalam pengaturan selanjutnya diberikan pengecualian pada anak-anak diatas usia 14 tahun untuk dapat melakukan pekerjaan ringan dengan waktu kerja maksimal 3 jam sehari. Akan tetapi, banyak perusahaan yang memanfaatkan pekerja anak dalam tugas-tugas yang berbahaya bagi kesehatan anak dan dalam waktu kerja yang melebihi ketentuan. ILO sendiri mendefinisikan pekerja anak meliputi semua anak yang bekerja pada jenis pekerjaan yang, oleh karena hakikat dari pekerjaan tersebut atau oleh karena kondisi-kondisi yang menyertai atau melekat pada pekerjaan tersebut ketika pekerjaan tersebut dilakukan, membahayakan anak, melukai anak (secara jasmani, emosi dan atau seksual), mengeksploitasi anak, atau membuat anak tidak mengenyam pendidikan.8 Menurut ILO9 pekerja anak disebabkan karena kemiskinan, gagalnya sistem pendidikan, perekonomian informal yang menyerap banyak tenaga anak, rendahnya biaya yang dikeluarkan untuk mempekerjakan pekerja anak, tidak adanya organisasi pekerja pada sektor informal yang dapat mempertahankan pengaturan dan hak tenaga kerja, serta adat dan sikap sosial yang membiarkan terjadinya pekerja anak. 5. Pekerja Migran Menurut Edi Suharto, pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran internal dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal berkaitan dengan urbanisasi, sedangkan pekerja migran internasional tidak dapat dipisahkan dari globalisasi.10 Belin dkk (2011:80) mengemukakan bahwa sedikit pekerja migran yang memiliki pekerjaan-pekerjaan dengan keterampilan tinggi, namun lebih banyak yang mendapatkan pekerjaan “kotor, berbahaya, dan penuh tuntutan” yang konsekuensinya tinggi, meliputi kecelakaan dan penyakit. Banyak pekerja migran di Indonesia tergolong ekspatriat yang diberikan kompensasi lebih besar daripada pekerja lokal. Namun, pekerja migran Indonesia di luar negeri sering mendapatkan masalah-masalah ketenagakerjaan yang berujung pada pemidanaan oleh negara pemberi kerja. 6. Pekerja Sementara Pekerja sementara tidak memiliki ikatan kuat dengan organisasi. Biasanya pekerja sementara dipekerjakan dengan kontrak kerja sementara, kontrak
8
9
10
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/ documents/publication/wcms_144313.pdf, page 7 Ibid., : 10 Edi Suharto, Ph.D ,PERMASALAHAN PEKERJA MIGRAN: PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL. http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_35.htm, diakses tanggal 9 Oktober 2013.
62
Elga Andina
kerja waktu tertentu, bahkan tanpa kontrak kerja. Mereka sering merasakan ketidakamanan karena tidak memiliki masa depan yang jelas. Kebimbangan ini memang pernah dibahas oleh Maslow yang mengemukakan 5 hierarki kebutuhan manusia. Pada jenjang kedua, Maslow menekankan sekuritas sebagai hal yang membuat manusia tenang. 7. Pekerja Berkualitas Rendah Pekerja berkualitas rendah rentan menjadi pihak yang mendapat diskriminasi karena tidak memiliki daya tawar terhadap pemberi kerja. Mereka sulit dipertahankan dan ketika organisasi memilih melakukan perampingan/efisiensi, mereka akan menjadi pilihan pertama.
G. UPAYA KESEHATAN JIWA TENAGA KERJA DALAM RUU TENTANG KESEHATAN JIWA Sebagai upaya untuk melindungi tenaga kerja, khususnya mereka yang rentan terhadap gangguan jiwa, maka dimasukkan upaya kesehatan jiwa sebagai salah satu substansi dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa. Sebagaimana alur yang telah diatur dalam Undang-Undang no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, upaya kesehatan dibagi atas 4, yaitu: 1. Upaya Promotif Upaya kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.ILO menjelaskan promosi kesehatan jiwa sebagai sebuah konsep multidimensional yang berimplikasi pada pembentukan kondisi individu, sosial, dan lingkungan, yang memungkinkan perkembangan psikologis yang optimal secara keseluruhan. Ini khususnya difokuskan pada otonomi personal, adaptabiltas, dan kemampuan untuk menghadapi stres, kepercayaan diri, keterampilan sosial, tanggung jawab sosial, dan toleransi. Prevensi gangguan jiwa dapat berupa salah satu hasil ini.
2. Upaya Preventif Prevensi didasarkan pada pengetahuan khusus tentang hubungan sebab akibat antara penyakit dan faktor risiko. Pencegahan berujung pada hasil yang dapat diukur. Dalam konteks dunia kerja, pencegahan mencakup tindakan yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan stresor. Pencegahan dan promosi merupakan aktivitas yang saling bertumpukan dan terkait. Promosi dapat secara berkelanjutan bersifat mencegah, dan sebaliknya. 3. Upaya Kuratif Upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar di lingkungan 63
Perlindungan Kesehatan Jiwa Tenaga Kerja
keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan masyarakat (Draf RUU Keswa,2013:5). Aspek kuratif dalam penanganan kesehatan jiwa lebih banyak menekankan pada intervensi medis. Hal ini diwujudkan dalam upaya mengurangi dampak gejala gangguan kejiwaan dan mengembalikan kemampuan ODGJ dapat melakukan aktivitas sedapat mungkin mendekati kondisi optimalnya. 4. Upaya Rehabilitatif Wilken dan Breuker (2000:v) menuliskan bahwa rehabilitasi adalah proses yang ditujukan untuk memungkinkan orang dengan keterbatasan untuk mendapatkan kembali dan menjaga level fisik, sensori, intelektual, psikis, dan atau fungsi sosialnya, dengan memberikan mereka alat untuk mengubah kehidupan mereka menuju kemandirian. Rehabilitasi dibutuhkan untuk mempersiapkan individu yang sudah melewati proses pemulihan kembali ke dunia nyata. Dengan begitu ia perlu dibekali keterampilan beraktivitas sehari-hari. Seringkali, mereka yang berada dalam fase ini harus diperlakukan seperti yang belum pernah melakukan aktivitas normal. Berbeda dengan rehabilitas kesehatan fisik, rehabilitasi kesehatan jiwa dilakukan dengan tetap mendapatkan kontrol medis. H. SUBSTANSI YANG DIATUR DALAM RUU TENTANG KESEHATAN JIWA Tujuan utama Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa difokuskan pada penguatan upaya mencegah terjadinya gangguan jiwa, sehingga substansi ini menjadi perdebatan mengenai perlu dicantumkan secara spesifik dalam upaya kesehatan jiwa. Namun, akhirnya diputuskan untuk menjabarkan upaya kesehatan jiwa secara umum saja, yaitu termasuk dalam Bab II Upaya Kesehatan Jiwa. Meskipun disampaikan dan melebur dalam norma umum, fokus yang diharapkan dari pengaturan ini adalah: 1. Perbaikan Lingkungan Kerja Lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap motivasi tenaga kerja. Menciptakan lingkungan yang kondusif berarti: a. mengatur tata ruangan yang ergonomis sesuai dengan gerak normal manusia sehingga tidak memberikan tekanan berlebihan pada tubuh. b. menggunakan peralatan kerja yang memadai dan aman bagi kesehatan. Istilah lingkungan kerja tidak terbatas pada lingkungan fisik, namun juga lingkungan manusia yang berinteraksi dengan tenaga kerja. Pengaturan pola perilaku yang diarahkan dengan aturan perusahaan yang berperspektif kesehatan jiwa dapat mendorong budaya organisasi yang sehat. Misalnya di Jerman, manajer dilarang untuk menelpon atau mengirimkan surat elektronik kepada pekerja 64
Elga Andina
mereka di luar jam kerja kecuali karena masalah darurat.11 Aturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja Jerman ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kelelahan dan menjaga kesehatan mental para pekerja. Namun, peraturan saja tidak cukup jika tidak dibiasakan dan diberi teladan oleh para pimpinan. Budaya organisasi yang positif dibentuk dari keteladanan pemimpin.
2. Meningkatkan Akses terhadap Bantuan Kesehatan Jiwa Setiap pekerja berhak atas bantuan jika mengalami gangguan kejiwaan. Untuk itu pemberi kerja wajib menyediakan konselor, baik berupa psikolog maupun konselor perilaku lain yang dapat ditemui tenaga kerja untuk membantu menyelesaikan masalah-masalahnya. Jika pemberi kerja tidak memiliki fasilitas tersebut, maka ia wajib untuk memberikan akses konselor eksternal dan memberikan waktu bagi tenaga kerja untuk melakukan proses konseling. 3. Menghilangkan Diskriminasi Pekerja yang mengalami gangguan kejiwaan harus dapat dikelola agar tetap menjadi sumber daya yang menguntungkan. Mereka harus diberdayakan potensinya untuk melakukan tugas-tugas sesuai kemampuannya. Mereka tidak boleh diberhentikan secara sepihak dan harus dihormati haknya sebagaimana tenaga kerja lainnya.
I. PENUTUP Lingkungan kerja kerap menimbulkan tekanan bagi tenaga kerja, terutama mereka yang rentan mengalami diskriminasi, yaitu wanita, pekerja lanjut usia, pekerja difabel, pekerja belia, pekerja migran, pekerja sementara, dan pekerja berkualitas rendah. Mereka berhak dan wajib diberikan layanan kesehatan jiwa mulai dari upaya promotif hingga rehabilitatif untuk menjaga kualitas hidup dan kinerjanya. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, mereka berhak mendapatkan perlindungan dari gangguan kejiwaan dan mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Kenyataannya, upaya kesehatan jiwa di Indonesia masih terkendala faktor legislasi dan buruknya kualitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu DPR berinisiatif merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa. Rancangan undang-undang ini diharapkan menjadi pionir dalam pengelolaan segala aspek kehidupan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Dengan mengambil contoh norma yang diatur dalam rancangan undang-undang ini, diharapkan menjadi dorongan perbaikan pengaturan ketenagakerjaan yang selama ini masih berfokus pada kesehatan fisik.
11
Jerman Larang Bos Hubungi Pekerja di Luar Jam Kerja. http://www.metrotvnews.com/ metronews/read/2013/09/03/7/179165/Jerman-Larang-Bos-Hubungi-Pekerja-diLuar-Jam-Kerja, diakses tanggal 3 September 2013.
65
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Belin, Alice, dkk.2011. Occupational Health And Safety Risks For The Most Vulnerable Workers. Brussel: European Parliament’s Committee on Employment and Social Affairs. David Mechanic and Jennifer Tanner, Vulnerable People, Groups, And Populations: Societal View. Health Affairs, 26, no.5 (2007):1220-1230 Herzberg, F., Mausner, B., & Snyderman, B. (1959). The motivation to work. New York: Wiley
Reichert, Elizabeth.2006. Understanding Human Rights~ An exercise book. Thousand Oaks: Sage Publication. Wahyuni.Dinar. Kebijakan Upah Minimum dan Kesejahteraan Buruh, Info Singkat Vol. IV, No. 23/I/P3DI/Desember/2012.
Wilken, Ulrich.J.& Breucker,Gregor.2002. Mental Health in Workplace: situation analysis Germany. Geneva: International Labour Office.
Website Douglas McGregor- Theory x y, http://www.businessballs.com/mcgregor. htm, diakses tanggal 4 September 2013.
Ian Matthew Smith.2013.Burnout And Work Engagement: The Incremental Validity And Relative Importance Of Individual Differences Over And Above Characteristics Of The Work Environment (Thesis), http://sdsudspace.calstate.edu/bitstream/handle/10211.10/3202/Smith_Ian. pdf?sequence=1, diakses tanggal 13 September 2013
Phu Huynh and Steven Kapsos.2013.Economic class and labour market inclusion: Poor and middle class workers in developing Asia and the Pacific, http:// www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/documents/ publication/wcms_218752.pdf, diakses tanggal 3 September 2013. BNPB. Potensi Ancaman Bencana, http://www.bnpb.go.id/page/read/6/ potensi-ancaman-bencana, diakses tanggal 10 September 2013. 66
Elga Andina
--,--.Chapter Eight: Focusing on Vulnerable Populations, govinfo.library.unt.edu/ hcquality/meetings/mar12/papch08.htm, diakses tanggal 29 Agustus 2013. Surat Kabar Menakertrans Buka Pameran Bursa Kerja Khusus Warga Disabilitas di Kemayoran, http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/09/1340542/ Menakertrans.Buka.Pameran.Bursa.Kerja.dan.Job.fair.Khusus.Penyandang. Disabilitas.Di.Kemayorandiakses tanggal 15 Oktober 2013.
Pekerja Difabel Minim, http://nasional.kompas.com/read/2010/06/25/ 04354581, diakses tanggal 15 Oktober 2013. Laporan Badan Pusat Statistik.Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan 2004–2013, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?t abel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=4, diakses tanggal 10 Oktober 2013.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2009. Profil Kesehatan 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
European Pact for Mental Health and Wellbeing, EU High Level Conference: Together for Mental Health and Wellbeing, Brussels, 12-13 June 2013. Tim Kerja Penyusun Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa. 2012. Laporan Pengumpulan Data Dalam Rangka Penyususnan Konsep Naskah Akademis Dan Draf Ruu Tentang Kesehatan Jiwa Ke Provinsi Maluku, Bali, Medan, Dan Gorontalo Tanggal 5-17 Maret 2012. Bagian PUU KesraSETJEN DPR DI, tidak diterbitkan. Peraturan Perundang-undangan Undang Undang no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang Undang no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang Undang no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa. September 2013. tidak diterbitkan
Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa. September 2013. tidak diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat 67
BAB V MENINGKATKAN PENGAWASAN PADA PEKERJA ANAK DI JERMAL Herlina Astri*
A. PENDAHULUAN Berbagai penelitian telah mengungkapkan begitu banyaknya penyebab anak yang bekerja di sektor industri. Salah satunya disebabkan oleh faktor ekonomi keluarga (kemiskinan), padahal alasan ini merupakan sebagian kecil penyebab anak ikut bekerja membantu keluarganya. Hal ini menjadi legitimasi untuk mempekerjakan anak, bahkan dengan pekerjaan yang eksploitatif. Yang kurang menjadi perhatian saat ini adalah adanya faktor budaya, permintaan pasar (demand), relokasi industri, dan sebagainya, yang menguatkan alasan anak dipekerjakan. Anak yang bekerja pada sektor industri kemudian disebut dengan istilah ’pekerja anak’ layaknya pekerja dewasa. Dari beberapa faktor tersebut, jika ditinjau dengan cermat maka sebenarnya yang paling menonjol adalah faktor permintaan (demand) dan relokasi industri. Permintaan (demand) merupakan faktor yang spesifik karena karakteristik yang dimiliki oleh anak. Seorang anak yang menjadi pekerja sangat dibutuhkan, disenangi, dan banyak dicari para pemberi kerja. Hal ini disebabkan oleh kondisi anak yang masih mudah untuk diperintah, diatur, dan tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Sedangkan faktor relokasi industri sering ditunjuk sebagai salah satu penyebab timbulnya masalah pekerja anak di sektor formal, karena Indonesia menerima cukup banyak relokasi industri tidak saja dari negara-negara di Asia Timur (Jepang, Korea, Taiwan dan Hongkong) tetapi juga negara-negara Asia Tenggara.1 Pekerja anak disukai sektor industri karena bersedia dibayar murah dibandingkan dengan buruh dewasa. Di Pantai Timur Sumatera Utara (Asahan, Labuhan Batu dan Deli Serdang) misalnya, ditemukan banyak anak-anak yang dipekerjakan di jermal-jermal dengan kondisi amat memprihatinkan, antara lain upah rendah, jam kerja panjang, dan tidak teratur, dan tidak diperkenankan meninggalkan lokasi *
1
Peneliti Muda pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail:
[email protected]. Buruh Anak Jermal Belum Terlindungi, http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/27/ buruh-anak-jermal-belum-terlindungi-ahmad-sofian/ (diakses tanggal 22 oktober 2012).
69
Meningkatkan Pengawasan pada Pekerja Anak di Jermal
kerja untuk waktu tertentu.2 Umumnya para pemberi kerja memberikan alasan bahwa mempekerjakan anak akan jauh lebih aman dibandingkan mempekerjakan pekerja dewasa. Selain berisiko tinggi, pekerja dewasa juga memiliki kemampuan untuk melawan ketika terjadi perlakuan yang tidak semena-mena, berbeda halnya dengan pekerja anak. Untuk sektor informal, pekerjaan rumah tangga (domestic works), terjadi juga permintaan yang kuat akan pekerja anak, khususnya perempuan sebagai pengasuh anak, teman bermain anak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.3 Demikian juga di sektor jasa, anak dianggap lebih serasi dan terampil menjajakan barang dan jasa, serta lebih mengundang simpati para pembelinya.4 Bahkan pada beberapa pekerjaan tertentu kualitas pekerjaan pekerja anak dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan pekerja dewasa. Apa yang dikemukakan di atas merupakan sederetan fakta betapa buramnya keadaan pekerja anak di Indonesia. Di satu sisi peraturan perundangundangan tidak tegas melindungi mereka terhadap bahaya eksploitasi, di sisi lain eksintensi mereka diperlukan, baik sebagai penyokong ekonomi keluarga maupun industri yang padat karya. Beberapa kebijakan yang telah diimplementasikan masih sekadar memberikan perhatian terhadap perlunya melindungi anak-anak dari situasi kerja yang eksploitatif, belum pada satu pemikiran untuk menghapusnya. B. KERANGKA KONSEPTUAL 1. Pengawasan Masalah pekerja anak di jermal membutuhkan perhatian dari semua pihak. Yang sering dilupakan adalah melakukan pengawasan baik dalam hal pelaksanaan maupun dalam evaluasi hasilnya. Pengawasan dibutuhkan untuk memperbaiki dan meningkatkan implementasi kebijakan-kebijakan yang dibuat agar mencapai hasil yang diinginkan. Pengawasan diartikan sebagai mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.5 Pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan.6
2
5 6 3 4
“Buruh Anak Jermal Belum Terlindungi”, http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/27/ buruh-anak-jermal-belum-terlindungi-ahmad-sofian/, diakses tanggal 22 oktober 2012. Ibid. Ibid. George R. Terry, Prinsip-prinsip Manajemen, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 395. Winardi, Kepemimpinan dalam Manajemen, (Jakarta: PT.Rieneka Cipta), hlm. 224.
70
Herlina Astri
Pada pokoknya pengawasan merupakan keseluruhan daripada kegiatan yang membandingkan atau mengukur apa yang sedang atau sudah dilaksanakan dengan kriteria, norma-norma, standar atau rencana-rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Intinya, pengawasan merupakan suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan tujuan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan.
2. Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak diatur dalam Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Mengeleminasi Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000. Beberapa bentuk pekerjaan terburuk bagi anak diartikan sebagai berikut: a. Semua bentuk perbudakan atau praktik-praktik yang menyerupai perbudakan seperti penjualan anak-anak, kerja ijon (debt bondage), perhambaan, kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk terlibat dalam konflik bersenjata. b. Penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak untuk kegiatan prostitusi, produksi pornografi, atau untuk pertunjukan pornografi. c. Penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak, untuk kegiatan terlarang, terutama untuk produksi dan penyelundupan narkotika dan obat-obat psikotropika, seperti yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang relevan. d. Pekerjaan yang pada dasarnya dan lingkungannya membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa atau moral anak-anak. Setelah konvensi tersebut diratifikasi di Indonesia, beberapa bentuk pekerjaan terburuk bagi anak kemudian dirumuskan dalam Kepmenakertrans No. Kep.235/Men/2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan, atau Moral Anak. a. Jenis-Jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan kerja, yaitu: 1) Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi dan peralatan lainnya, meliputi: a) pekerjaan pembuatan, perakitan/ pemasangan, pengoperasian dan perbaikan: mesin-mesin, pesawat, alat berat (traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin pancang); b) instalasi (pipa bertekanan, listrik, pemadam kebakaran dan saluran listrik); c) peralatan lain (tanur, dapur peleburan, lift, perancah); d) bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut dan sejenisnya. 71
Meningkatkan Pengawasan pada Pekerja Anak di Jermal
2) Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya meliputi: a) pekerjaan yang mengandung bahaya fisik; b) pekerjaan yang mengandung bahaya kimia; dan c) pekerjaan yang mengandung bahaya biologis. 3) Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu: a) Konstruksi bangunan, jembatan, irigasi/ jalan; b) Pada perusahaan pengolahan kayu seperti penebangan; c) pengangkutan dan bongkar muat; d) Mengangkat dan mengangkut secara manual beban di atas 12 kg untuk anak laki-laki dan 10 kg untuk anak perempuan; e) Dalam bangunan tempat kerja terkunci; f) Penangkapan ikan yang dilakukan dilepas pantai atau perairan laut dalam; g) Dilakukan di daerah terisolir dan terpencil; h) Di Kapal; i) Dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barangbekas; j) Dilakukan antara pukul 18.00 – 06.00. b. Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan moral anak, yaitu: 1) Pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi. 2) Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras. 3) Obat perangsang seksualitas dan/atau rokok.
3. Pekerja Anak di Jermal Jermal merupakan unit bangunan tempat penangkapan ikan, dibangun di tengah lautan. Jermal adalah bangunan terbuat dari bambu berukuran 15x60 meter yang terletak sekitar 2,5 mil dari panti.7 Selain berbentuk unik dan berada di tengah laut ternyata jermal juga tidak menyediakan alat tranportasi khusus untuk pekerjanya. Jermal ini digunakan untuk menangkap hasil laut seperti cumi-cumi, ikan teri dan sebagainya. Jermal didirikan pada kedalaman laut di atas 17 meter.8 Setiap jermal dihuni oleh 4-9 orang pekerja anak (usia 11-16 tahun), 2-5 pekerja dewasa, dan ditambah seorang mandor/ wakil mandor yang mengawasi pekerja anak-anak tersebut.9 Jumlah pekerja anak yang bekerja di setiap unit jermal sangat variatif, maksudnya tidak sama untuk setiap unit jermal. Ada yang mempekerjakan 2 orang anak per jermal namun ada juga yang 12 anak per unit jermal.10 Di Indonesia saat ini sekurang-kurangya 5.400 anak bekerja dan tersebar di
7 8
9
10
Abu Huraerah, Kekerasan terhdap Anak, (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 73. “Kekerasan Seksual terhadap Pekerja Anak Jermal di Pantai Timur Sumatera Utara.” http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/19/kekerasan-seksual-terhadap-pekerjaanak-jermal-di-pantai-timur-sumatera-utara/,diakses tanggal 22 Oktober 2012. Ibid. Ibid.
72
Herlina Astri
2000 jermal.11 Selain pekerja, di jermal juga terdapat seorang mandor dan dua orang wakil mandor yang senantiasa mengawasi kerja para buruh. Untuk jam kerja di jermal tidak teratur dan sangat tergantung pada musim. Jika musim pasang hidup (banyak ikan) maka jam kerja dimulai pukul 02.00 dini hari sampai pukul 20.00 malam, sebaliknya ketika pasang mati (ikan sedikit dan ombak besar) maka jam kerja mulai pukul 07.00 pagi sampai dengan pukul 15.00 sore.12 Selain berupah rendah dan jam kerja yang panjang, pekerja anak di jermal juga rawan terhadap penyalahgunaan seksual dan ekploitasi dari pekerja dewasa lainnya. Hal ini terjadi karena mereka tinggal bersama, terisolasi dengan pekerja dewasa selama berbulan-bulan.13 Kondisi ini membuat pekerja anak di jermal mengalami kondisi dissosial dan hampir lepas kontrol baik dari birokrasi formal maupun kontrol masyarakat.14 Isolasi yang terjadi di jermal sekaligus menjelaskan pola pekerja jermal yang dilakukan secara bersama-sama.15 C. PEMBAHASAN Banyak pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya atau kondisi dan situasi yang berbahaya, misalnya di bidang konstruksi, pertambangan, penggalian, dan penyelaman di laut dalam. Selain pekerjaan tersebut sering ditemukan pekerjaan yang dilakukan pekerja anak yang selintas tidak berbahaya, namun sebenarnya tergolong berbahaya karena akibatnya akan terasa beberapa waktu yang akan datang, misalnya bekerja dengan kondisi kerja yang tidak layak, antara lain tempat kerja yang sempit, penerangan yang minim, posisi kerja duduk di lantai, menggunakan peralatan kerja yang besar dan berat melebihi ukuran tubuhnya, waktu kerja yang panjang. Pekerjaan yang berbahaya tersebut digolongkan sebagai bentukbentuk pekerjaan terburuk yang tidak boleh dilakukan oleh anak. Bentukbentuk pekerjaan terburuk anak merupakan bentuk pekerjaan yang diyakini jika dikerjakan oleh seorang anak, akan berpengaruh sangat buruk terhadap tumbuh kembang anak baik secara fisik, mental, sosial dan intelektualnya. Pada kenyataannya, isu pekerja anak bukan sekedar isu tentang masalah anak menjalankan pekerjaan dengan memperoleh upah, akan tetapi lekat
11 12
15 13 14
Abu huraerah. Loc.cit, hlm. 73. Kekerasan Seksual terhadap Pekerja Anak Jermal di Pantai Timur Sumatera Utara, ahmad sofian. http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/19/kekerasan-seksual-terhadap-pekerja-anakjermal-di-pantai-timur-sumatera-utara/ (diakses tanggal 22 Oktober 2012). Abu huraerah. Loc. cit, hlm. 73. Ibid. Ibid.
73
Meningkatkan Pengawasan pada Pekerja Anak di Jermal
sekali dengan eksploitasi, pekerjaan berbahaya, terhambatnya akses pendidikan, serta terhambatnya perkembangan fisik, psikis dan sosial anak.16 Dalam mempekerjakan anak yang terpaksa bekerja, ditetapkan bahwa salah satu bentuk hak anak yang terpaksa bekerja adalah hak untuk mendapatkan pendidikan. Yang terpenting adalah bahwa pekerja anak harus diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sehingga mempekerjakan anak tidak lebih dari 4 jam/hari, karena dengan waktu yang ada pekerja anak akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan/bersekolah.17 Pekerja anak yang berada di bawah ketentuan usia kerja, terkadang telah dibekali surat ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa mereka telah berusia dewasa. Hal ini cukup mempersulit pengawas tenaga kerja untuk memberikan tindak hukum bagi pemberi kerja yang merekrut pekerja anak. Selain itu kondisi ekonomi keluarga setempat yang biasanya sangat miskin, sehingga menyebabkan anak-anak terpaksa bekerja. Hal ini kemudian dijadikan alasan kuat bagi pihak-pihak tertentu untuk membiarkan adanya pelanggaran, terutama pada kasus mempekerjakan anak-anak di jermal.
1. Pendekatan untuk Mengatasi Masalah Pekerja Anak Secara konsepsional, setidaknya ada tiga pendekatan yang dapat digunakan sebagai upaya untuk mengatasi masalah pekerja anak, yaitu: penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan penguatan atau pemberdayaan (empowerment).18 Pendekatan penghapusan, muncul berdasarkan asumsi bahwa seorang anak tidak boleh bekerja karena dia harus bersekolah dan bermain.19 Penulis berasumsi bahwa semangat dan budaya tersebut memang ditumbuhkan oleh masyarakat di beberapa negara maju. Secara sosial mereka tidak mengalami persoalan yang cukup signifikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga tidak ada alasan untuk anak-anaknya bekerja dengan alasan ekonomi. Ini kemungkinan yang mendasari dibuatnya aturan yang melarang segala jenis pekerja anak di negara-negara maju, sehingga berimbas pada kewajiban negara-negara berkembang untuk menghapuskan praktik pekerja anak. Pendekatan perlindungan, muncul berdasarkan pandangan bahwa anak sebagai individu mempunyai hak untuk bekerja sehingga harus dijamin melalui peraturan ketenagakerjaan sebagaimana yang berlaku bagi pekerja
16
17
18
19
Muhammad Joni dan Tanamas Zulechaina. Z, Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Perspektif Konvensi Hak-hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 1- 8. Permenaker Nomor 01 Tahun 1987 Tentang Perlindungan bagi Anak yang Terpaksa Bekerja, Pasal 4. Idrus Affandi, Pendidikan Anak Berkonflik Hukum (Model Konfergensi antara Fungsionalis Dan Religious), (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm.17. Ibid.
74
Herlina Astri
dewasa.20 Menurut penulis hal ini dilakukan untuk menghindari tindak penyalahgunaan dan eksploitasi pada pekerja anak. Pendekatan ini memang tidak melarang anak bekerja karena bekerja adalah bagian dari hak asasi anak yang paling dasar. Namun demikian, penegakan hukum harus dapat menjamin terwujudnya hak anak tersebut agar melakukan pekerjaan yang layak dan tidak membahayakan kesehatan, keselamatan, dan sebagainya. Oleh karena itu tidak dibenarkan ada peraturan perundang-undangan yang mengeksploitasi sumber daya anak, hanya sekedar untuk kepentingan ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum dalam perspektif orang tua, keluarga, masyarakat dan negara.21 Pendekatan empowerment, yang mengakui adanya hak-hak anak dan mendukung upaya penguatan pekerja anak agar mereka memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya.22 Menurut penulis pendekatan ini tidak bertujuan untuk mengeksploitasi pekerja anak. Justru yang dilakukan adalah melihat potensi yang ada dalam diri anak, kemudian menyesuaikan jenis pekerjaan sesuai kondisi fisik dan psikis anak. Meskipun demikian pendekatan ini harus dikaji lebih jauh untuk meminimalisasi kesempatan pihak-pihak tertentu yang berniat mengeksploitasi pekerja anak. Bentuk pengawasan terpadu dari pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam melakukan pendekatan ini.
2. Dampak Negatif Pekerjaan bagi Tumbuh Kembang Anak Pada prinsipnya mempekerjakan pekerja anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi anak. Apalagi jika bentuk-bentuk pekerjaan yang diberikan mengancam kesehatan dan keselamatan pekerja anak, terutama menghambat tahap tumbuh dan kembangnya. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengemukakan beberapa dampak negatif pekerjaan bagi tumbuh kembang anak, yaitu:23 a. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan fisik anak Secara fisik pekerja anak lebih rentan dibanding orang dewasa karena fisik mereka masih dalam masa pertumbuhan. Bekerja sebagai pekerja anak dapat memengaruhi perkembangan kesehatan fisik karena pekerjaan yang mereka lakukan dapat menimbulkan kecelakaan maupun penyakit. Dampak kecelakaan terhadap pekerja anak dapat berupa luka-luka atau cacat akibat tergores, terpotong, terpukul, terbentur dan lain-lain, sedang kondisi yang menimbulkan penyakit antara lain kondisi tempat kerja yang
22 23 20
21
Idrus Affandi. Loc. cit. hlm. 17. Idrus Affandi. Loc. cit. hlm.19. Ibid. Modul Penanganan Pekerja Anak, (Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2005), hlm. 17.
75
Meningkatkan Pengawasan pada Pekerja Anak di Jermal
sangat panas atau terlalu dingin, tempat kerja terlalu bising, terhirup debu, terhirup bahan kimia berupa uap lem, uap cat sablon, tempat kerja yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual, dan lain-lain. Dampak penyakit yang ditimbulkan berupa pusing, demam, menggigil, kerusakan pada sistem syaraf (rendahnya kapasitas intelektual, daya ingat lemah dan lemahnya alat perasa), kulit, ginjal, paru-paru, sesak nafas, batuk, tuli, tertular penyakit seksual (IMS/HIV/AIDS). b. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan emosi anak Pekerja anak sering bekerja dalam lingkungan kerja yang memungkinkan terjadinya eksploitasi, berbahaya, merendahkan martabat, derajat dan terisolasi. Mereka sering menerima perlakuan yang sewenang-wenang, kasar dan diabaikan oleh pemberi kerja dan pekerja dewasa lainnya. Dampak yang ditimbulkan berupa pekerja anak menjadi pemarah, pendendam, kasar terhadap teman sebaya atau yang lebih muda, kurang mempunyai rasa kasih sayang terhadap orang lain dan adanya perasaan empati terhadap orang lain. c. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan sosial anak Pekerja anak yang tidak mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan seperti bermain, pergi ke sekolah dan bersosialisasi dengan teman sebayanya, tidak mendapat pendidikan dasar yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan, tidak mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain dan ikut berpartisipasi aktif di tengah masyarakat serta menikmati hidup secara wajar biasanya akan tumbuh menjadi anak yang pasif dan egois sehingga sering berdampak anak mengalami masalah dalam interaksi/menjalin kerja sama dengan orang lain dan mereka kurang percaya diri atau merasa direndahkan. Ketiga dampak tersebut semestinya menjadi rambu-rambu bagi pemerintah dan masyarakat untuk selalu memikirkan kepentingan terbaik bagi anak. Selama ini baik kondisi ekonomi maupun sosial selalu menempatkan anak pada posisi tawar yang sangat rendah. Anak dipaksa untuk menerima apa pun situasi dan kondisi yang dialami keluarganya, tanpa memikirkan masa depan dan kelangsungan hidup mereka selanjutnya. Seorang anak merupakan potensi dan generasi muda yang akan meneruskan cita–cita perjuangan bangsa dan menjamin eksistensi bangsa di masa depan. Untuk mewujudkannya maka sudah menjadi tugas dan kewajiban generasi yang lebih tua sebelumnya untuk memberikan pengarahan, pembinaan, dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi anak untuk maju dan berkembang. Termasuk di dalamnya menyamakan persepsi semua pihak untuk berupaya mencegah dan menghapus pekerja anak di Indonesia secara bertahap. 76
Herlina Astri
3. Proses Anak Bekerja di Jermal Apa yang dikemukakan di atas merupakan sederetan fakta makin banyaknya pekerja anak yang mengadu nasib di jermal. Peraturan perundangundangan belum tegas melindungi mereka terhadap bahaya eksploitasi, seperti pelecehan seksual, tindak kekerasan, dan sebagainya, karena diperlukan, baik sebagai penyokong ekonomi keluarga maupun industri yang padat karya. Penulis mengelompokkan penyebab munculnya pekerja anak di jermal sebagai berikut: a. Faktor Ekonomi Anak yang bekerja disebabkan karena kondisi ekonomi yang sangat kurang untuk memebuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini menyebabkan anak bekerja untuk membantu orang tuanya. Mekanisme ini sering disalahartikan oleh keluarga, karena dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan. Bahkan sampai saat ini masih ada anggapan bahwa anak yang bekerja akan meringankan beban orang tua dan menjadi mandiri karena dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. b. Faktor Pendidikan Pekerja anak menggangap bekerja merupakan sesuatu hal karena menerima uang. Umumnya mereka hanya berpikir untuk kepuasan jangka pendek saja, bukan untuk kepuasan jangka panjang. Namun demikian tanpa disadari sebenarnya pekerja anak telah kehilangan salah satu haknya yaitu mengenyam pendidikan. Pekerja anak di jermal sangat rentan dengan putus sekolah dikarenakan jarak jermal dengan daratan sangat jauh. Tidak mungkin melakukan kegiatan belajar mengajar di tengah lautan lepas dengan kondisi bangunan yang tidak memadai. c. Faktor Lingkungan Lingkungan di luar rumah juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap peningkatan jumlah pekerja anak di jermal. Ketika mereka putus sekolah tentu akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dibandingkan berada di rumah. Wilayah pesisir sangat rentan dengan pekerja yang mengeksploitasi anak putus sekolah. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir banyak terbuka lowongan pekerjaan bagi anak di bawah umur, misalnya: mengangkat barang, mengangkat jala nelayan, bongkar muat, mencuci kapal nelayan, dan menjaga kapal nelayan pada malam hari. Ini sudah merupakan suatu bentuk pekerjaan yang mengarah kepada eksploitasi. Lingkungan pekerjaan di jermal bukan merupakan lingkungan normatif yuridis. Keberadaan hukum sebagai pelindung hak dan kewajiban seseorang tidak berlaku di jermal. Yang ada hanya aturan untuk menentukan benar atau salah, patut atau tidak, dan lain-lain, dengan wewenang terbatas pada mereka yang dianggap lebih kuat secara fisik (pekerja dewasa) atau yang lebih berkuasa 77
Meningkatkan Pengawasan pada Pekerja Anak di Jermal
secara ekonomi (mandor atau tauke). Pekerja anak tetap dianggap sebagai penghuni pada tingkatan paling akhir di jermal. Baik secara fisik maupun mental, penempatan pekerja anak di jermal selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun juga akan berdampak buruk pada tumbuh kembangnya. Pekerja anak di jermal memperoleh beban kerja yang sama beratnya dengan pekerja dewasa, salah satu contoh adalah memutar jaring dengan katrol tangan (penggilingan).24 Masing-masing pekerja akan memegang katrol tangan untuk menggiling jaring yang berisi ikan. Pada bangunan jermal biasanya terdapat 10-15 katrol dan ini digiling dalam waktu bersamaan.25 Keselamatan pekerja di jermal sangat tergantung pada kerja sama antarpekerja dalam melakukan penggilingan, sebab pada suatu saat mereka bisa terlempar ke laut atau terkena hantaman katrol yang dipegangnya. Selain proses penggilingan yang dilakukan setiap dua jam sekali, pekerja anak akan menyortir (memilah) ikan-ikan yang telah ditangkap, kemudian ikan tersebut direbus dan dijemur.26 Demikian proses tersebut dilakukan terus-menerus setiap hari sehingga pekerja anak pun mendapatkan waktu istirahat yang sangat minim. 4. Pengawasan terhadap Pekerja Anak di Jermal Sampai saat ini ketentuan yang berlaku tentang perlindungan hukum terhadap pekerja anak masih menggunakan peraturan perundang-undangan zaman Hindia-Belanda, yaitu Ordonansi 17 Desember 1925 yang menetapkan bahwa anak usia di bawah 12 tahun tidak diperkenankan untuk bekerja. Batasan usia tersebut berubah pada Lembaran Negara Nomor 8 Tahun 1940, yaitu usia 12 tahun menjadi 14 tahun, tetapi ini hanya berlaku bagi pekerja anak yang bekerja di malam hari. Pemerintah Indonesia kemudian mengelurkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 yang memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 yang menetapkan bahwa seluruh anak Indonesia dengan batas usia 14 tahun tidak boleh bekerja. Namun demikian, terkait dengan batasan usia kerja, sampai saat ini memang sulit untuk dilaksanakan karena belum ada peraturan pemerintah yang mengaturnya dengan tegas. Di tahun 1987 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1987 yang mengatur mengenai anak-anak yang terpaksa harus bekerja. Pada aturan ini anak usia 14 tahun ke bawah diperkenankan bekerja maksimum 4 jam per hari. Permenaker ini secara yuridis formal tidak bisa dilaksanakan karena bertentangan dengan
24
25 26
Kekerasan Seksual terhadap Pekerja Anak Jermal di Pantai Timur Sumatera Utara, http:// sosbud.kompasiana.com/2011/04/19/kekerasan-seksual-terhadap-pekerja-anakjermal-di-pantai-timur-sumatera-utara/ (diakses tanggal 22 Oktober 2012). Ibid. Ibid.
78
Herlina Astri
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 dan ketentuan Ordonansi 17 Desember 1925. Selain itu, dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa aparat yang berwenang untuk melakukan pengawasan adalah para pengawas ketenagakerjaan (labour inspectors) yang berada di bawah koordinasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pada saat ini jumlah pengawas ketenagakerjaan sekitar 1.200 orang di seluruh Indonesia, dari jumlah tersebut hanya 700-800 orang yang melakukan tugas secara aktif.27 Hal ini sangat menyulitkan, mengingat masing-masing pengawas harus mengawasi lebih dari 3.000 perusahaan.28 Dalam realisasinya ternyata pengawas ketenagakerjaan menghadapi kesulitan lain. Beberapa pekerja anak yang diduga berusia di bawah ketentuan usia kerja, sering telah dibekali surat ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa mereka telah berusia dewasa. Hal ini menyebabkan para pengawas terpaksa harus menutup mata dan membiarkan adanya pelanggaran, terutama pada kasus mempekerjakan anak-anak di jermal. Ini merupakan sederet fakta masih buramnya pengawasan terhadap pekerja anak di Indonesia. Secara umum pengawasan terhadap pekerja anak dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:29 a. Mengubah persepsi masyarakat terhadap pekerja anak, bahwa anak yang bekerja dan terganggu tumbuh kembangnya dan tersita hak-haknya akan pendidikan tidak dapat dibenarkan. b. Melakukan advokasi secara bertahap untuk mengeliminasi pekerja anak, dengan perhatian pertama diberikan kepada jenis pekerjaan yang sangat membahayakan, dalam hal ini perlu ada kampanye besar-besaran untuk menghapuskan pekerja anak. c. Mengundangkan dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang selaras dengan konvensi internasional, khususnya Konvensi Hak Anak dan Konvensi ILO lain yang menyangkut anak. d. Mengupayakan perlindungan hukum dan menyediakan pelayanan yang memadai bagi anak-anak yang bekerja di sektor informal, seperti di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. e. Memastikan agar anak-anak yang bekerja memperoleh pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan keterampilan melalui bentuk-bentuk pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Sebagai sebuah sistem perlindungan hukum, pegawai pengawas
27
28 29
Buruh Anak Jermal Belum Terlindungi, http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/27/ buruh-anak-jermal-belum-terlindungi-ahmad-sofian/, diakses tanggal 22 oktober 2012. Ibid. Abu huraerah. Loc. Cit, hlm. 76.
79
Meningkatkan Pengawasan pada Pekerja Anak di Jermal
ketenagakerjaan semestinya dapat melakukan penegakan hukum mengenai kondisi kerja, perlindungan tenaga kerja dan peraturan yang menyangkut waktu kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan, penggunaan pekerja anak dan orang muda, serta masalah-masalah lain yang terkait.30 Namun demikian jika meninjau kondisi riil di lapangan, ternyata sistem pengawasan terhadap pekerja anak masih sangat lemah. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya pekerja anak yang ditempatkan pada lokasi kerja yang membahayakan keselamatan mereka, salah satunya adalah jermal. Di jermal, lingkungan pekerjaan juga tidak mampu memunculkan seorang figur yang layak dipilih sebagai model atau orang penting (significant person). Model artinya terdapatnya orang dewasa yang dapat dipercaya oleh anak-anak secara maksimal dan dapat pula dijadikan mereka sebagai teladan dalam menata tingkah laku pribadi dan sosial, yang menyangkut moral secara kognitif. Secara psikologis kehadiran significant person ini amat dibutuhkan dalam perkembangan anak, khususnya bagi pembentukan kepribadiannya. Pekerja anak di jermal cenderung longgar terhadap nilai dan norma kehidupan. Mereka hampir tidak pernah melakukan kegiatan ritual keagamaan. Para pekerja anak di jermal belajar dari teman-teman dan pekerja dewasa dewasa, baik pada saat mereka ada di darat maupun melalui pembicaraan antarindividu di jermal. Di jermal, arus komunikasi berlangsung antara pekerja anak dan sejumlah pekerja dewasa. Dalam lingkungan kerja tersebut, lebih banyak terjadi interaksi di antara mereka. Hubungan yang terjadi di jermal lebih didominasi oleh pekerja dewasa. Di sini berlangsung intervensi pemahaman atas banyak nilai dan norma kehidupan pekerja dewasa terhadap pekerja anak. Pekerja anak di jermal jermal cenderung sensitif untuk mengekspresikan apa pun yang mereka lihat, baik dari televisi maupun peristiwa-peristiwa di darat. Hal ini menyebabkan nilai dan norma yang terintegrasi dalam diri mereka lebih didasarkan pada persepsi dan pengalaman selama berada di jermal. Keterbatasan dan kesederhanaan pekerja anak di jermal dalam berpikir dan memaknai situasi yang terjadi pada dirinya sering dikaburkan oleh pemaknaan dari para pekerja dewasa. Hal ini menyebabkan pengawasan terhadap pekerja anak menjadi kurang diperhatikan karena tidak ada keluhan atau laporan dari pekerja anak saat diperlakukan semena-mena. Kebijakan penanggulangan pekerja anak di jermal memang belum efektif dilakukan. Selain berbagai kendala di lapangan, juga terdapat hambatan dari nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat setempat seperti nilai historis, tradisi, kebiasaan, lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan lemahnya
30
Konvensi ILO 81 Tahun 1947.
80
Herlina Astri
sistem pengawasan. Rendahnya pengawasan yang dilakukan pada pekerja anak di jermal dapat didasarkan pada dua alasan, yaitu:31 a. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran hukum yang dimiliki oleh pekerja anak, dan b. Aparat keamanan yang terkait di sektor kelautan mengalami keterbatasan dalam memantau pelaksanaan hukum (khususnya hukum ketenagakerjaan) di jermal. Hal ini dikarenakan minimnya jumlah personil pengawas tenaga kerja, dana, sarana, dan prasarana untuk melakukan pengawasan terhadap pekerja anak. Menurut Edy Sunarwan32 dari Local Project Officer ILO/IPEC, khusus di kawasan Sumatera Utara, sebenarnya masalah pekerja anak ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, termasuk di dalamnya berupaya untuk menghapus pekerja anak di jermal. Seharusnya pemerintah baik pusat maupun daerah tidak mentoleransi keberadaan anak-anak pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk tersebut. Dibutuhkan tidak hanya sekadar pembuatan kebijakan tetapi juga tentang perlunya pengawasan yang terpadu terhadap pekerja anak. D. PENUTUP 1. Simpulan Perlindungan terhadap pekerja anak pada dasarnya telah diatur dalam beberapa undang-undang dan Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Penyebab munculnya pekerja anak banyak dipengaruhi oleh faktor sosial seperti kemiskinan, urbanisasi, sosial budaya, pendidikan, perubahan proses produksi serta lemahnya pengawasan dan minimnya lembaga untuk rehabilitasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan pekerja anak, namun upaya pemerintah tersebut belum berjalan secara optimal. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan belum sesuai antara harapan dan kenyataan. Masalah pekerja anak di jermal sampai saat ini pun belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, padahal bentuk pekerjaan di jermal tergolong ke dalam jenis pekerjaan terburuk bagi anak. Penghapusan pekerja anak di jermal sangat mendesak untuk dilakukan. Para pekerja anak yang berada di jermal sebaiknya dapat dicarikan tempat yang lebih layak, agar terhindar dari praktik eksploitasi. Penghapusan pekerja anak di jermal perlu
31 32
Konvensi ILO 81 Tahun 1947. “Ekploitasi Anak Situasi Dilematis”, http://www.ykai.org/index.php?option=com_co ntent&view=article&id=274:eksploitasi-anak-situasi-dilematis&catid=40:sumaterautara&Itemid=65, diakses tanggal 9 september 2013.
81
Meningkatkan Pengawasan pada Pekerja Anak di Jermal
dijadikan sebagai program yang bersifat urgent dengan pengawasan yang efektif dan efisien.
2. Saran a. Pemerintah harus melakukan perbaikan sosial-ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, sehingga angka kemiskinan berkurang yang kemudian diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan di masyarakat dan diharapkan bisa mengurangi pekerja anak. b. Pemerintah lebih mengefektifkan aturan-aturan yang telah ada, termasuk pemberdayaan aparatur negara dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang konsisten terhadap perlindungan hak-hak anak untuk bisa lebih mengawasi dan mendampingi anak yang dipekerjakan agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh yang mempekerjakannya. c. Dalam kaitannya dengan upaya penghapusan anak sebagai pekerja, Pemerintah harus mempunyai target untuk menghapus pekerja anak secara tuntas. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang bersifat nasional dengan upaya penghapusan kemiskinan yang telah terstruktur.
82
DAFTAR PUSTAKA
Buku Affandi, Idrus. 2007.Pendidikan Anak Berkonflik Hukum (Model Konfergensi antara Fungsionalis Dan Religious). Bandung: Alfabeta.
Modul Penanganan Pekerja Anak. 2005. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja. dan Transmigrasi. Terry, George .R,. 2006. Prinsip-prinsip Manajemen.Jakarta: Bumi Aksara.
Winardi. 2 Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: PT.Rieneka Cipta. Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Nuansa.
Joni, Muhammad. dan Zulechaina. Z, Tanamas. Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Perspektif Konvensi Hak-hak Anak. Bandung: Citra Aditya Bakti. Peraturan Perundang-undangan Permenaker Nomor 1 Tahun 1987 tentang Perlindungan bagi Anak yang Terpaksa Bekerja. Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Internet Buruh Anak Jermal Belum Terlindungi.http://sosbud. kompasiana.com/2010/ 03/27/buruh-anak-jermal-belum-terlindungi-ahmad-sofian/, diakses tanggal 22 oktober 2012.
Kekerasan Seksual terhadap Pekerja Anak Jermal di Pantai Timur Sumatera Utara.”http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/19/kekerasan-seksualterhadap-pekerja-anak-jermal-di-pantai-timur-sumatera-utara/, diakses tanggal 22 Oktober 2012. Ekploitasi Anak Situasi Dilematis”, http://www.ykai.org/ index.php?option= com_conte nt&view=article&id=274:eksploitasi-anak-situasi-dilematis&catid=40:sumaterautara&Itemid=65, diakses tanggal 9 September 2013. 83
BAB VI HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI Shanti Dwi Kartika*
A. PENDAHULUAN Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, untuk menghadapi berbagai tantangan di sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Salah satunya dilakukan melalui pembangunan ketenagakerjaan. Tenaga kerja mempunyai kedudukan dan peran penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan nasional. Pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia didasarkan pada Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD N RI Tahun 1945). Berdasarkan ketentuan tersebut, bekerja merupakan hak konstitusional warga negara Indonesia yang merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Ini berarti bahwa berdasarkan amanat konstitusi negara harus memberikan perlindungan terhadap warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapatkan pekerjaan. Tanggung jawab negara tersebut juga berlaku bagi warga negara yang bekerja di luar negeri. Ini tidak terlepas dari hak hidup sebagai hak asasi manusia yang diaktualisasikan melalui pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri tenaga kerja dan keluarganya. Namun demikian, pembangunan ketenagakerjaan belum sepenuhnya dilakukan. Ini terbukti dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan di dalam negeri, sehingga angka pengangguran membengkak. Kondisi ini tidak sama dengan kesempatan kerja di luar negeri yang masih terbuka dengan tingkat upah yang ditawarkan memadai. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi tenaga kerja Indonesia untuk mencari dan mengisi peluang kerja di luar negeri. Fenomena sosial tersebut *
Peneliti Muda Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI alamat e-mail
[email protected].
85
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
menyebabkan Indonesia sebagai negara pengirim (sending country) buruh migran terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Filipina.1 Keterbatasan pekerjaan di dalam negeri tersebut menyebabkan sebagian warga negara Indonesia mencari pekerjaan di luar negeri, yang dari tahun ke tahun jumlah tenaga kerja Indonesia di luar negeri semakin meningkat. Keberadaan tenaga kerja Indonesia di luar negeri mempunyai sisi positif dan negatif, yaitu mengatasi masalah pengangguran di dalam negeri tetapi berisiko mengalami perlakukan yang tidak manusiawi, baik selama masa prapenempatan maupun masa penempatan. Fenomena dan gejala sosial tersebut didukung dengan data tentang ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan data dari BPS, pengangguran terbuka menurut pendidikan hingga Februari tahun 2013 mencapai 7.170.523 orang dari total angkatan kerja yang mencapai 121,2 juta orang (5,92%), dengan tingkat pendidikan sebagai berikut: tidak/belum pernah sekolah (109.865 orang), belum/tidak tamat SD (513.534 orang), SD (1.421.653 orang), SLTP (1.822.395 orang), SLTA Umum (1.841.545 orang), SLTA Kejuruan (847.052 orang), Diploma/ Akademi (192.762 orang), dan Universitas (421.717 orang).2 Jumlah TKI menurut kawasan/negara penempatan pada tahun 2012 menunjukkan TKI yang bekerja di luar negeri sebanyak 494.609 orang, dengan negara tujuan terbanyak ke Malaysia (134.023 orang), Taiwan (81.071 orang), Hongkong (45.478 orang), Singapura (41.556 orang), Arab Saudi (40.655 orang), dan United Emirates Arab (35.571 orang).3 Setiap tahun penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri berjumlah tidak kurang dari setengah juta orang, dengan tiga perempat dari jumlah tersebut merupakan tenaga kerja yang berjenis kelamin perempuan yang bekerja di bidang domestik.4 Dengan kondisi yang demikian, pelaksanaan tanggung jawab negara dalam penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri menghadapi tantangan. Tanggung jawab dalam ketenagakerjaan tersebut merupakan tanggung jawab yang harus ditangani bersama antara
1
2
3
4
Tita Naovalita, et.al., “Perlindungan Sosial Buruh Migran Perempuan,” Prosiding Seminar, The World Bank bekerja sama dengan Kementerian Kesejahteraan Rakyat RI, Jakarta, 2-3 Mei 2006, hal. 64. Badan Pusat Statistik, Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan 2004-2013, diakses melalui http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel= 1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=4, tanggal 18 Oktober 2013. Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2013, Jakarta: BPS-Statistik Indonesia, 2013, hal. 105. Palmira Permata Bachtiar, “Catatan Kebijakan: Mendukung Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,” diakses melalui www.smeru.or.id/ policybrief/migrantworkers_pb_ind.pdf, tanggal 13 Oktober 2013.
86
Shanti Dwi Kartika
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, karena prosesnya panjang dan kompleks dengan melibatkan pihak yang berwenang di pemerintahan daerah hingga satuan pemerintahan terendah. Dalam penempatan tenaga kerja tersebut, muncul permasalahan ketenagakerjaan mulai dari masa pra-penempatan hingga masa purnapenempatan. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), 80% masalah yang dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia di dalam negeri antara lain berupa pemalsuan identitas, rekrutmen di bawah umur, tingkat pendidikan rendah, penipuan, pemerasan, dan penyekapan yang terjadi di tingkat desa, kota/kabupaten sehingga berada di luar kontrol pemerintah pusat.5 Ini berarti bahwa dalam pelaksanaan tanggung jawab negara dalam penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diperlukan peran dari pemerintah daerah. Selain permasalahan tersebut, tenaga kerja Indonesia di luar negeri juga mengalami permasalahan hukum di luar negeri sebagai akibat dari hubungannya dengan majikan atau dengan penduduk di negara penempatan, seperti penganiayaan, pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan, dan perbuatan pidana yang berakhir pada vonis hukuman mati atau penjara. Untuk melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeri (work in overseas) dan memberikan jaminan terhadap penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) dan peraturan pelaksananya. UU PPTKILN memberikan tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia di luar negeri, yang dilaksanakan oleh pemerintah yang dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah. Tanggung jawab tersebut berupa peningkatan upaya perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri,6 oleh karena itu pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan tenga kerja Indonesia di luar negeri.7 Namun demikian, tenaga kerja Indonesia di luar negeri masih mengalami permasalahan yang bersinggungan dengan hak asasi manusia. Salah satu contohnya yang dialami oleh Wilfrida Soik, tenaga kerja Indonesia asal Belu, Nusa Tenggara Timur yang bekerja di Malaysia yang divonis hukuman mati
5 6
7
Ibid. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
87
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
karena didakwa membunuh majikannya.8 Hukuman mati ini bertentangan dengan hak asasi manusia dan pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan. Kasus ini mencerminkan lemahnya sistem perlindungan dalam UU PPTKILN dan lemahnya politik hak asasi manusia dalam buruh migran (tenaga kerja Indonesia di luar negeri) mengingat pemerintah Indonesia masih menjalankan praktik hukuman mati.9 Ini berarti bahwa implementasi UU PPTKILN mempunyai keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini disebabkan dalam pelaksanaannya penempatan tenaga kerja tersebut tidak bisa dilepaskan dari masalah ketenagakerjaan, hak asasi manusia, pemerintahan daerah. Untuk itu, diperlukan penyerasian melalui harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan masih berlaku yang berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Atas dasar itu maka permasalahan hukum yang dikaji yaitu berkaitan dengan: a. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab negara dalam penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri ditinjau dari pendekatan hukum secara filosofis, yuridis, dan sosiologis; dan b. Apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tanggung jawab negara dalam penempatan tenaga kerja di luar negeri sudah harmonis. B. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Tanggung Jawab Negara dalam Ketenagakerjaan Kebebasan ke-empat yang dideklarasikan oleh Roosevelt dalam The four freedom yaitu freedom for want merujuk pada keadilan sosial. Keadilan sosial ini juga tercermin dalam Universal Declaration of Human Rights oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyatakan hak-hak sosial adalah bagian dari hak asasi manusia. Prinsip keadilan sosial ini dikembangkan oleh negara kesejahteraan (walfare state). Prinsip walfare state tersebut tercermin dalam UUD N RI Tahun 1945, yang di dalamnya terdapat tanggung jawab negara terhadap warga negaranya. Tanggung jawab negara dalam ketenagakerjaan secara normatif berdasarkan pada UUD N RI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara ini.
8
9
“Pengacara Kondang Malaysia Bela TKI Wilfrida,”diakses melalui http://dunia.news.viva. co.id/news/read/447920-pengacara-kondang-malaysia-bela-tki-wilfrida, tanggal 21 Oktober 2013. Refendi Djamin, dalam Wella Sherlita, “Wakil Komisi HAM ASEAN (AICHR) Indonesia Tolak Vonis Hukuman Mati Wilfrida,”diakses melalui http://www.kabarindonesia.com/ berita.php?pil=14&jd=Wakil+Komisi+HAM+ASEAN+%28AICHR%29+Indonesia+Tolak+ Vonis+Hukuman+Mati+Wilfrida&dn=20130930170513, tanggal 21 Oktober 2013.
88
Shanti Dwi Kartika
Tanggung jawab negara ini tercermin dalam tujuan negara yang tersirat dalam konstitusi. Tujuan bernegara yang terkandung di dalam Pembukaan UUD N RI Tahun 1945 alinea empat, yaitu:10 1. Protection function, negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Welfare function, negara wajib mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat; 3. Educational function, negara memiliki kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4. Peacefulness function, wajib menciptakan perdamaian dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, baik ke dalam maupun ke luar.
Pasal 27 ayat (2) UUD N RI Tahun 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan. Hak konstitusional ini dipertegas dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Hak konstitusional untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja juga diamanatkan oleh Pasal 28D. Hak asasi dalam memperoleh pekerjaan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 28I ayat (4) yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Landasan hukum tersebut menjelaskan bahwa menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya merupakan kewajiban dan tanggung jawab konstitusional dari negara yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tanggung jawab tersebut termasuk di dalamnya bidang ketenagakerjaan yang berkaitan dengan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Berdasarkan konsiderans menimbang UU PPTKILN, negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia. Namun, tidak bisa dipungkiri telah terjadi perubahan sosial di Indonesia, termasuk dalam bidang ketenagakerjaan. Pasar tenaga kerja Indonesia meningkat. Peningkatan ini antara lain dipicu oleh ledakan populasi, berkurangnya jumlah tanah untuk agrikultural, perubahan mata pencarian dari agraris ke industri, dan masuknya modal asing. Kondisi tersebut mencerminkan kedudukan ketenagakerjaan dalam sistem hukum Indonesia. Ketenagakerjaan berada dalam ruang lingkup hukum perburuhan yang merupakan functional filed of law yang mengkombinasikan semua cabang ilmu hukum.11 Hukum ketenagakerjaan mempunyai sifat ganda sebagai hukum
10
11
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Ed. Rev., Cet. Ke-11, Jakarta:: Rajawali Pers, 2012, hal. 12-13. Agusmidah, dkk, Bab-bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden, dan Universitas Gronigen, 2012, hal. 6.
89
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
privat dan hukum publik karena ada intervensi pemerintah di dalamnya. Karena sifatnya tersebut, ketenagakerjaan mempunyai ruang lingkup berupa aspek hubungan kerja yang meliputi pra-employment dan post-employment. Selain itu, ketenagakerjaan mempunyai karakteristik yang bercirikan:12 1. Lebih banyak aturan hukum yang bersifat kolektif; 2. Mengkompensasikan ketidaksetaraan (perlindungan pihak yang lebih lemah); 3. Pengintegrasian hukum privat dan hukum publik; dan 4. Sistem khusus berkenaan dengan penegakan.
Ketenagakerjaan Indonesia didasarkan pada asas pembangunan nasional, antara lain asas demokrasi, asas keadilan, dan pemerataan. Pembangunan ketenagakerjaan bersifat multidimensional dengan melibatkan negara, pemerintah, pengusaha, dan tenaga kerja, sehingga diperlukan keterpaduan yang bersifat koordinatif fungsional lintas sektoral antara pusat dengan daerah. Selain itu, tanggung jawab negara dalam ketenagakerjaan juga didasarkan pada Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). UDHR dan ICESCR mengakui hak atas pekerjaan sebagai hak asasi manusia sehingga melahirkan kewajiban negara untuk melindunginya. Kewajiban negara tersebut dijelaskan dalam ICESCR General Comment 3 tentang the nature of states parties obligation yang meliputi kewajiban negara untuk melakukan sesuatu (obligations of conduct) dan negara mampu mencapai realisasi penuh secara progresif (obligations of result). Obligations of conduct terdiri atas upaya untuk mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfil), memfasilitasi (to facilities), dan menyediakan (to provide). 2. Harmonisasi Norma Hukum Hierarki norma hukum didasarkan pada teori hierarki norma hukum (stufenbau theories) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Adolf Merkl. Norma hukum selalu mempunyai dua wajah teori mengenai jenjang norma hukum. Adolf Merkl menyatakan bahwa:13
12 13
Suatu norma hukum itu ke atas bersumber dan berdasar pada norma di atasnya dan ke bawah menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma di bawahnya, oleh karena itu suatu norma hukum mempunyai masa berlaku yang relatif karena masa berlakunya norma hukum tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya.
Ibid. Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan I: JEnis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 41-42.
90
Shanti Dwi Kartika
Atas dasar teori tersebut, Hans Kelsen berpendapat bahwa:14
norma-norma hukum berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), sehingga norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi sampai suatu norma tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm).
Norma hukum tersebut perlu ada harmonisasi. Harmonisasi berasal dari konsep yang dikemukakan oleh Rudolf Stammler, yaitu hukum akan tercipta dengan baik dan adil apabila terdapat keselarasan atau harmonisasi antara maksud, tujuan, dan kepentingan penguasa (pemerintah) dengan masyarakat. Harmonisasi sistem hukum nasional meletakkan pola pikir yang mendasari penyusunan sistem hukum dalam kerangka sistem hukum nasional (legal system harmonization) yang mencakup:15 1. Komponen materi hukum (legal substance); 2. Komponen struktur hukum (legal structure); dan 3. Komponen budaya hukum (legal culture).
Untuk itu, harmonisasi sistem hukum perlu menempuh langkah ideal berupa penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum yang berlaku dalam kerangka sistem hukum nasional (legal system) yang mencakup legal substance, legal structure, dan legal culture. Konsep dasar harmonisasi di Indonesia berakar dari paradigma Pancasila, konsep negara hukum, dan prinsip pemerintahan konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dengan memperhatikan social sence of justice dan mengakomodasi aspirasi masyarakat.16 Harmonisasi hukum merupakan kegiatan ilmiah untuk menuju proses penyelarasan, kesesuaian, dan keseimbangan hukum tertulis yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis, dan yuridis. Harmonisasi meliputi harmonisasi secara vertikal dan harmonisasi secara horizontal. Harmonisasi secara vertikal merupakan proses penyelarasan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah diselaraskan dengan peraturan yang berada di atasnya, sedangkan harmonisasi secara horizontal merupakan proses penyelarasan peraturan perundang-undangan yang sejajar tingkatannya. Ini dimaksudkan agar norma hukum mampu menciptakan kondisi kehidupan yang selaras (law as tool of social harmony). Tercipta law as tool of social harmony harus dilihat juga dari keberlakuannya suatu kaidah hukum secara filosofis, yuridis, dan sosiologis/empiris.
14 15
16
Ibid. Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis Suatu Masalah), Surabaya: Penerbit JPBooks, 2006. Ibid.
91
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
Kaidah hukum mempunyai keberlakukan filosofis (filosofischegetung) jika mencerminkan cita-cita hukum (rechtidee) sebagai nilai positif yang tertinggi (uberpositivevenwerte).17 Pancasila berkedudukan sebagai cita-cita hukum (rechtidee) bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berkaitan dengan cita-cita hukum, Rudolf Stammler menyatakan bahwa:18 Cita-cita hukum adalah konstruksi berpikir yang mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan masyarakat, berfungsi sebagai bintang pemandu (leitstern) untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan, dan mengandung prinsip yang berlaku sebagai norma bagi keadilan dan ketidakadilan hukum, sehingga hukum positif dapat diuji dengan rectidee dan hukum positifdapat diarahkan menuju hukum yang adil.
Selain sebagai rechtidee, Pancasila juga berfungsi sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm). Norma-norma dalam Pancasila baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama merupakan norma dasar dan norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Keberlakuan kaidah hukum secara yuridis dapat dilihat dari hubungan keselarasan suatu peraturan dengan peraturan lainnya yang dilakukan melalui sinkronisasi. Sinkronisasi sebagai bagian dari kajian harmonisasi, namun tidak dapat diaplikasikan dalam kajian norma dan sistem hukum global atau transnasional.19 Berlakunya peraturan perundang-undangan dapat dikaji dari derajat sinkronisasinya baik secara vertikal maupun horizontal. Ini didasarkan pada dinamika norma hukum yang dibedakan menjadi dua, yaitu dinamika norma hukum yang vertikal dan dinamika norma hukum yang horizontal.20 Sinkronisasi secara vertikal dilakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan apabila dilihat dari sudut hierarki peraturan perundangundangan.21 Sinkronisasi ini didasarkan pada dinamika norma hukum vertikal yang berjenjang dari atas ke bawah atau dari atas ke bawah, sehingga norma hukum itu berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang di atasnya.22
17
20 21 18
19
22
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: Gunung Agung, 2002, hal. 115. Theo Hujbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hal. 129 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum dalam…, loc. cit. hal. 24. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan…., op.cit., hal. 9. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Ringkas, Jakarta: Rajawali Pers, 2006, hal. 19. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan…, loc.cit., hal. 9.
92
Shanti Dwi Kartika
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU P3). Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU P3, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Peraturan Presiden; (6) Peraturan Daerah Provinsi; dan (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Undang-undang dalam arti luas dipahami sebagai produk hukum yang dihasilkan oleh kekuasaan legislatif dengan maksud untuk mengikat umum.23 Legislasi menunjuk pada suatu proses yang terkandung pemahaman akan tahaptahap yang harus dilalui.24 Suatu produk hukum mendapat legitimasinya dan memenuhi syarat formal sebagai undang-undang jika telah dilakukan melalui tahapan-tahapan itu.25 Selain itu, sebuah produk legislasi di dalamnya mengandung materi muatan. Materi muatan pertama kali diperkenalkan oleh A. Hamid S. Attamimi dalam majalah Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun IX (Mei 1979) sebagai terjemahan dari het eigenaarding onderwerp der wet.26 Menurut A. Hamid Attamimi, terdapat arti penting lain dalam menentukan materi muatan dari undangundang, karena pembentukan undang-undang suatu negara bergantung pada cita negara dan teori bernegara yang dianutnya, kedaulatan dan pembagian kekuasaan dalam negara, serta sistem pemerintahan negara yang diselenggarakannya.27 Materi muatan peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UUP3, yaitu: (1) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945; (2) perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang; (3) pengesahan perjanjian internasional tertentu; (4) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau (5) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Berlakunya kaidah hukum secara empiris dapat dilihat dari perilaku hukum (legal behavior) warga masyarakat yang dikenai aturan hukum itu.28
23
24 25
26
27 28
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 32. Binawan, 2005, hal. 9. Fajri Nursyamsi, RUU Pendidikan Tinggi: Analisis Perundang-undangan dalam Aspek Formil dan Subtansi Pengaturan, Jentera Edisi 22 – tahun VII, Januari-April 2012, hal. 98. A. Hamid S. Attamimi dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya,Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998, hal. 123. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan…, loc.cit., hal. 124. Lalu Husni, “Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,” Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 1, Februari 2011, Halaman 1-236.
93
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
Keberlakuan faktual atau empiris akan ada jika masyarakat berperilaku dengan mengacu pada keseluruhan kaidah hukum atau menaati suatu kaidah hukum.29 Keberlakuan sosiologis ini berkaitan dengan legal culture tersebut yang dipengaruhi oleh kesadaran hukum (legal awareness) dari stakeholders. Legal awareness memiliki beberapa indikator yaitu pengetahuan tentang peraturan hukum (law awareness), pengetahuan tentang isi peraturan hukum (law acquaintance), sikap terhadap peraturan hukum (legal attitude), dan peri kelakuan hukum (legal behaviour).30 C. ANALISIS Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal ini mengandung inti bahwa negara harus memberikan perlindungan kepada warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapatkan pekerjaan, termasuk di dalamnya bekerja di luar negeri. Ketentuan ini apabila dikaitkan dengan penyelenggaraan negara oleh pemerintah, maka penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri berkaitan dengan hubungan antar-negara, sehingga masalah penempatan tenaga kerja ini merupakan tanggung jawab negara yang pelaksanaan kewenangannya dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak swasta Namun, kesempatan kerja di negeri ini sangat terbatas tidak sebanding dengan tersedianya angkatan kerja sehingga menyebabkan pengangguran semakin meningkat. Keterbatasan lapangan pekerjaan itu mengakibatkan banyak tenaga kerja dengan usia produktif mencari pekerjaan di luar negeri. Realitas tersebut menunjukkan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagai upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak dilaksanakan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, serta perlindungan hukumnya.31 Atas dasar itu, maka negara wajib secara aktif menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya baik yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan gender, dan anti-perdagangan manusia.32 Amanat konstitusi tersebut menyiratkan adanya tanggung jawab negara untuk penempatan tenaga kerja baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
29
32 30
31
J.J.H. Bruggink sebagaimana diterjemahkan oleh Arief Sidharta, Rechts Reflecties (Refleksi Hukum), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 149. Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1992, hal. 159. Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, loc.cit., hal. 99. Ibid.
94
Shanti Dwi Kartika
Tanggung jawab negara tersebut harus dikuatkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan mengenai penempatan tenaga kerja. Pengaturan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri sudah seharusnya diatur dalam undang-undang karena:33 1. bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya; 2. hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan; 3. dalam kenyataan selama ini tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sering dijadikan objek perdagangan manusia, kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang bertentangan dengan hak asasi manusia; 4. negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan, kesetaraan gender, dan antidiskriminasi; dan 5. penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri perlu dilakukan secara terpadu antara instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu produk hukum yang memadai guna memberikan perlindungan yang masksimal.
Untuk itu, tanggung jawab negara dalam ketenagakerjaan ditindaklanjuti dengan pengaturan lebih lanjut ke dalam peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI Tahun 1945, antara lain Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Naker) dan UndangUndang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). UU Naker dan UU PPTKILN merupakan peraturan perundang-undangan sebagai bentuk hukum Indonesia seharusnya berparadigma Pancasila, yang dibangun dan dikembangkan berdasarkan UUD N RI Tahun 1945, yaitu:34 1. mencerminkan religiusitas kebertuhanan segenap warga negara melalui keyakinan segenap bangsa terhadap Tuhan yang Maha Esa; 2. mencerminkan prinsip-prinsip humanitas yang berkeadilan dan berkeadaban berdasarkan sila kemanusiaan yang adil dan beradab;
33 34
Ibid., hal. 97. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, loc.cit., hal. 206-207.
95
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
3. menjamin dan memperkuat prinsip nasionalitas kebangsaan Indonesia memalui sila persatuan Indonesia; 4. memperkuat nilai-nilai sovereinitas kerakyatan melalui sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan 5. melembagakan upaya untuk membangun sosialitas yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, maka kelima sila dalam Pancasila harus diimplementasikan melalui produk hukum termasuk peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan yang berkaitan dengan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Produk peraturan perundang-undangan juga harus didasarkan pada rechtidee dan staatfundamentalnorm. Ini berlaku juga untuk peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab negara dalam penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Agar mempunyai kekuatan berlaku secara filosofis, peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab negara dalam penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri harus didasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam rechtidee tersebut, yaitu:35 1. berdasarkan prinsip ketuhanan Yang Maha Esa, regulasi secara pranata hukum, penegakan hukum, dan penyelenggaraan penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri harus didasarkan pada nilai-nilai moral yang luhur sehingga tidak ada perilaku yang mengeksploitasi tenaga kerja Indonesia sejak masa pra-penempatan, penempatan, hingga masa purna-penempatan; 2. berdasarkan prinsip kemanusaian yang adil dan beradab, tidak dibenarkan dalam seluruh proses penyelenggaraan penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dilakukan oleh orang perorangan atau lembaga yang mengambil keuntungan melalui proses penempatan tenaga kerja Indonesia dengan cara-cara yang tidak etis; 3. berdasarkan prinsip nasionalisme yang terkandung dalam persatuan Indonesia, maka keseluruhan proses penempatan tenaga kerja Indonesia melalui peraturan perundang-undangan seharusnya mampu menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa tanpa memandang rendah bangsa lain, sehingga tenaga kerja Indonesia berkewajiban untuk menjaga nama baik bangsa dan negara dengan tidak melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum negara tujuan; 4. berdasarkan demokrasi dan segala tindakan diambil setelah ada keputusan bersama berdasarkan musyawarah mufakat yang terkandung
35
Lalu Husni, “Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja…”,loc.cit.
96
Shanti Dwi Kartika
dalam sila keempat, peraturan perundang-undangan tidak diperbolehkan mengurangi dan mematikan hak-hak tenaga kerja Indonesia sebagai warga negara Indonesia, oleh karena itu penguatan hak-hak tersebut harus memperoleh jaminan yang tersurat dalam peraturan perundangundangan dan memorandum of understanding; dan 5. berdasarkan prinsip keadilan sosial, negara harus memberikan perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia untuk mencegah sewenangwenangan dari pihak yang lebih kuat serta memberikan jaminan adanya keadilan dan pemerataan.
Kelima prinsip tersebut harus tercermin dalam UU PPTKILN dan political will dari pemerintah untuk ketenagakerjaan di luar negeri. UU PPTKILN secara normatif telah mengakomodasi prinsip-prinsip dari falsafah bangsa, amanah konstitusi, serta prinsip-prinsip dalam UDHR dan ICESCR. Namun, bila ditinjau dari ruang lingkup batasan tenaga kerja Indonesia dalam UU PPTKILN, belum sepenuhnya mengimplementasikan paradigma Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Ini disebabkan batasan definisi tenaga kerja Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU PPTKILN secara pragmatis belum mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi kelompok buruh tertentu yang bekerja di luar negeri, termasuk tenaga kerja yang tidak berdokumen (undocumented migrant workers), TKI mandiri, pekerja rumah tangga (PRT) migran, anggota keluarga TKI, dan anak buah kapal (ABK).36 UU PPTKILN telah mereduksi tanggung jawab negara dalam penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia, karena undangundang lebih banyak memberikan kewenangan terlalu luas kepada pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) dan kewajiban yang dibebankan kepadanya terlalu besar, sebagai badan usaha swasta yang bergerak dalam bidang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 43, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 75, dan Pasal 82. Beban tanggung jawab PPTKIS tersebut kurang tepat karena PPTKIS sebagai badan usaha mempunyai tujuan profit oriented, sehingga tangggung jawabnya itu tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik dan menyebabkan penempatan tenaga kerja Indonesia tidak dapat dilaksanakan secara selektif, yang berakibat pada terjadinya permasalahan yang menimpa tenaga kerja Indonesia di luar negeri.37
36
37
Hikmahanto Juwana, Lalu Husni, dkk, Naskah Akademik RUU tentang Perubahan terhadap UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, diakses melalui http://ccmigrant.blogspot.com/search/label/Naskah%20Akademik%20 RUU%20PPILN, tanggal 23 Oktober 2013. Ibid.
97
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
Selain itu, untuk mengetahui apakah regulasi tanggung jawab negara dalam penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri telah didasarkan pada rechtidee dan staatfundamentalnorm serta mengimplementasikan nilainilai yang terkandung dalam Pancasila, perlu dilakukan kajian sinkronisasi vertikal dan horizontal sebagai bentuk dari harmonisasi peraturan perundangundangan. Kajian sinkronisasi vertikal sebagai bagian dari harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dilakukan sesuai dengan teori hierarki norma hukum (stufenbautheorie) dari Hans Kelsen, yang dijabarkan sesuai dengan UU P3. Harmonisasi ini dimulai dengan sinkronisasi vertikal peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab negara dalam penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan UU P3 menempatkan UUD NRI Tahun 1945 sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. UUD NRI Tahun 1945 sebagai norma hukum tertinggi yang berlaku di wilayah Indonesia secara implisit memberikan tanggung jawab kepada negara dalam ketenagakerjaan. Hak dan kewajiban negara dalam UUD NRI Tahun 1945 yang relevan untuk perlindungan dan akses terhadap keadilan bagi pekerja migran (tenaga kerja Indonesia di luar negeri) diatur oleh Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4). Ini berarti bahwa konstitusi memberikan amanat kepada negara berupa tanggung jawab konstitusional untuk memberikan perlindungan dan akses keadilan bagi pekerja migran, berupa: (1) pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; (3) bekerja, mendapat imbalan, dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; (4) komunikasi dan informasi untuk pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya; (5) perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda; (6) hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh pelayanan kesehatan; dan (7) perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia oleh pemerintah. Pasal 34 UU Naker menentukan bahwa ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri diatur dengan undang-undang. Amanat Pasal 34 UU Naker ini dilaksanakan oleh pemerintah dengan diundangkannya UU PPTKILN yang mulai berlaku sejak tanggal 18 Oktober 2004. Konsiderans menimbang huruf a dan d UU PPTKILN menyebutkan bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya, negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan 98
Shanti Dwi Kartika
hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, antidiskriminasi, dan anti-perdagangan manusia. Ini berarti bahwa dasar menimbang dari UU PPTKILN telah memasukkan kandungan norma dasar dari Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Namun, norma dasar yang terkandung dalam konstitusi tersebut belum tercermin di dalam ketentuan pasal-pasal UU PPTKILN, yang lebih menekankan pada penempatan daripada perlindungan. Ini terbukti dari 109 pasal hanya ada 8 pasal yang mengatur mengenai perlindungan, namun belum mengatur secara tegas perlindungan tenaga kerja Indonesia pada masa pra-penempatan dan purna-penempatan. Berdasarkan Pasal 7 huruf e UU PPTKILN, Pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan purna-penempatan. Namun dalam praktiknya, kewajiban tersebut diserahkan kepada PPTKIS tanpa keterlibatan pemerintah di dalamnya sehingga berakibat timbul berbagai masalah pada masa penempatan setelah tenaga kerja Indonesia bekerja di luar negeri. Selain itu, meskipun hak-hak konstitusional telah diatur lebih lanjut ke dalam Pasal 8 UU PPTKILN, namun undang-undang tidak mengidentifikasikan pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi dan menegakkan hak-hak tenaga kerja Indonesia di luar negeri, tidak memberlakukan hukuman apabila hak tersebut tidak terpenuhi.38 UU PPTKILN menentukan bahwa kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan perlindungan dan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Selain itu, UU PPTKILN juga mengamatkan dibentuknya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Ini berarti bahwa terdapat dua lembaga yang mempunyai kewenangan perlindungan dan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Adanya pengaturan dua lembaga dalam UU PPTKILN menunjukkan bahwa UU PPTKILN mengandung ketidakterpaduan antar-lembaga yang diamanatkan untuk menjalankan tugas pengelolaan migrasi tenaga kerja. Kedua lembaga tersebut menunjukkan ketidakjelasan pengaturan dan pembatasan kewenangannya, serta pola hubungan koordinasi keduanya. Berdasarkan Bab X UU PPTKILN, kelembagaan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri berbentuk BNP2TKI sebagai pelaksana kebijakan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia secara terpadu dan terkoordinasi. BNP2TKI ini diatur lebih lanjut
38
Bassina Farbenblum, Eleanor Taylor-Nicholson, dan Sarah Paoletti, Akses Buruh Migran terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia, New York: Open Society Foundations, 2013, hal. 64.
99
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
dengan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (Perpres BNP2TKI). Pembentukan BNP2TKI didasari oleh adanya pengaturan dalam Pasal 95 UU PPTKILN. Pasal 95 harus dipahami lebih objektif dan konsisten, dengan taat asas hukum serta dikaitkan dengan perspektif filosofis, yuridis serta sosiologis, sebab secara filosofis pasar kerja dalam negeri berbeda dengan pasar kerja luar negeri.39 Pasar kerja dalam negeri pemerintah dapat mengatur permintaan (demand) dan penawaran (supply) secara bersamasama, sedangkan pasar kerja luar negeri masing-masing pemerintahan negara hanya dapat mengendalikan dari satu sisi saja yaitu pemerintah negara pengirim seperti Indonesia hanya dapat mengendalikan dari segi permintaan (supply) sedangkan pemerintahan negara penerima TKI mengendalikan dari segi permintaan (demand).40 Oleh karena itu, Pemerintah membentuk BNP2TKI yang khusus menangani pasar kerja luar negeri yang salah satu tugasnya melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara pemerintah dengan pemerintah negara pengguna TKI atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan. Pelaksanaan tanggung jawab negara ini melahirkan kewajiban bagi pemerintah dalam ketenagakerjaan. UU PPTKILN mengatur pembagian kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah dalam berbagai pasal yang berkaitan dengan penempatan tenaga kerja Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf e, Pasal 12, Pasal 13 huruf c, Pasal 17 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 34 ayat (3), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37, Pasal 38 ayat (2), Pasal 49 ayat (1), Pasal 55 ayat (3), Pasal 85 ayat (2), dan Pasal 91 ayat (1) UU PPTKILN. Berdasarkan ketentuan tersebut pembagian kewenangan dan kewajiban antara pemerintah dengan pemerintah daerah tidak seimbang, karena dalam hal kewajiban pemerintah daerah diberikan porsi yang lebih banyak namun diberikan porsi lebih sedikit dalam kewenangan. Pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah didasarkan pada Pasal 36, Pasal 55, Pasal 85, dan Pasal 92 UU PPTKILN. Kewenangan ini tidak sinkron dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (PP No. 38 Tahun 2007) yang secara hierarki berada di bawah undang-undang. PP No. 38 Tahun 2007 menetapkan tanggung jawab negara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah lebih banyak daripada yang ditentukan dalam UU PPTKILN. Selain
39
40
Naekma dan I Wayan Pageh, “Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia,” diakses melalui http://www.bnp2tki.go.id/hasil-penelitian-mainmenu-276/975-penempatan-danperlindungan-tenaga-kerja-indonesia.html, tanggal 30 Oktober 2013. Ibid.
100
Shanti Dwi Kartika
mengatur tanggung jawab pemerintah daerah sebagaimana diamanatkan oleh UU PPTKILN, PP No. 38 Tahun 2007 juga menambahkan tanggung jawab yang merupakan tugas PPTKIS berdasarkan UU PPTKILN dan beberapa tanggung jawab lainnya untuk mendukung tugas pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah dalam penempatan tenaga kerja di luar negeri mempunyai 13 (tiga belas) tanggung jawab. Untuk melaksanakan amanat tersebut, beberapa pemerintah daerah telah menetapkan dan mengundangkan peraturan daerah yang mengatur tentang tenaga kerja Indonesia di luar negeri, seperti Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 16 Tahun 2008 dan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 5 Tahun 2008. Ini berarti bahwa tanggung jawab negara yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah diperluas dengan diberlakukannya PP No. 38 Tahun 2007, namun pemerintah daerah pada umumnya memandang migrasi internasional sebagai tanggung jawab pemerintah pusat dengan BNP2TKI sebagai pelaksana untuk penempatan tenaga kerja Indonesia melalui kerja sama antar-pemerintah untuk penempatan G to G dan PPTKIS untuk penempatan P to P.41 Pengawasan dari pemerintah daerah diperlukan untuk penempatan melalui PPTKIS. Pengaturan mengenai pengawasan dalam UU PPTKILN tidak jelas, karena tanggung jawab pengawasan diberikan kepada pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah,42 dan BNP2TKI,43 namun tidak jelas batasan kewenangan antara pusat dan daerah. Harmonisasi peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab negara dalam penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri juga dilakukan secara horizontal terhadap peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sederajat. Harmonisasi horizontal ini antara lain dilakukan dengan sinkronisasi antar-undang-undang yang berada dalam legal system dengan melihat cakupan legal substance, legal structure, dan legal culture. Undang-undang yang mengatur tentang tanggung jawab negara tersebut antara lain terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Naker), Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (UU HubLu), UU HAM mengatur mengenai hak untuk bekerja dan ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU HAM, setiap orang bebas memilih
41 42
43
Palmira Permata Bachtiar, “Catatan Kebijakan:….,” loc.cit. Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pasal 95 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
101
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Pengaturan tersebut merupakan pengaturan lebih lanjut dari hak konstitusional warga negara dalam bekerja. UU HAM ini juga mengatur mengenai tanggung jawab negara dalam ketenagakerjaan yang tersirat pada Pasal 71, yang mengatur bahwa tanggung jawab pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia baik yang diatur dalam undang-undang maupun hukum internasional. Dalam rangka menegakkan dan melindungi HAM bagi tenaga kerja di luar negeri, pemerintah mengundangkan UU PPTKILN. Namun, dalam implementasinya UU PPTKILN tidak bisa mengatasi permasalahan-permasalahan hak asasi manusia yang dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Tanggung jawab negara tercermin dalam semangat filosofis UU Naker, yaitu ketenagakerjaan merupakan bidang perikehidupan masyarakat yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara sebagai hak asasi yang melekat pada seseorang sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. UU PPTKILN merupakan pelaksanaan amanat dari Pasal 34 UU Naker yang menetapkan bahwa ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dengan undang-undang. UU PPTKILN ini tidak harmonis dengan UU Naker, karena ada beberapa ketentuan dalam UU PPTKILN yang bertentangan dengan UU Naker, seperti penentuan batas usia dewasa sebagai tenaga kerja. Usia dewasa yang tersirat dalam Pasal 1 angka 26 UU Naker, yaitu 18 tahun. Ini berbeda dengan pelaksanaan tanggung jawab negara yang diberikan kepada pihak swasta sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a yang menyatakan bahwa usia calon tenaga kerja Indonesia sekurang-kurangnya 18 tahun kecuali yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 tahun. Ini berarti UU PPTKILN mengandung ketentuan yang kontraproduktif dan ada pembatasan dalam UU PPTKILN. Pembatasan usia 21 tahun untuk dapat bekerja bagi calon TKI yang bekerja pada pengguna perorangan merupakan wujud dari pembatasan hak konstitusional seseorang untuk melakukan pekerjaan.44 Ini berarti UU PPTKILN sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari norma yang diatur dalam Pasal 34 UU Naker telah bertentangan secara vertikal dengan konstitusi dan tidak harmonis juga secara horizontal dengan UU Naker. UU PPTKILN diundangkan hampir bersamaan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), namun jika dilihat dari legal substance kedua undangundang tersebut tidak ada harmonisasi antar-keduanya terutama terkait
44
Hikmahanto Juwana, Lalu Husni, dkk, Naskah Akademik RUU …, loc.cit.
102
Shanti Dwi Kartika
dengan ketentuan yang mengatur kewenangan daerah sebagai tanggung jawab negara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Berdasarkan Pasal 5 UU Pemda, pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Ini berarti tanggung jawab negara tersebut diamanatkan kepada pemerintah daerah dengan dasar wewenang berupa tugas pembantuan. Tanggung jawab tersebut tidak sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah daerah. Ini terbukti berdasarkan realita calon tenaga kerja Indonesia lebih memilih mendaftar diri ke PPTKIS daripada Disnakertrans kota/kabupaten, sehingga pemerintah daerah seringkali tidak mengetahui jumlah warganya yang bekerja di luar negeri karena tidak mempunyai data faktual.45 Kedua undang-undang ini juga menunjukkan telah terjadi inkonsistensi secara yuridis normatif dalam Pasal 10, 13, 14, dan 22 UU Pemda. Pasal 10 tidak menyebutkan bahwa urusan ketenagakerjaan merupakan urusan pemerintah, sehingga pengaturan dan perlindungan ketenagakerjaan merupakan urusan yang diwajibkan kepada pemerintah daerah. Atas dasar itu, beberapa pasal dalam UU PPTKILN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut seharusnya didelegasikan kepada pemerintah daerah, yang diatur melalui peraturan daerah dengan menyesuaikan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing. Namun, tidak ada satu pun pasal dalam UU PTKILN yang mengatur pendelegasian kepada pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah. Ini bertentangan dengan Pasal 13 huruf h dan Pasal 14 huruf h UU Pemda tentang urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi dan urusan wajib yang menjadi kewenangan kabupaten/kota, serta Pasal 22 huruf b, d, e, f, g, h, j, l, n, dan o UU Pemda tentang kewajiban pemerintah daerah dalam ketenagakerjaan. Ini berarti bahwa UU PPTKILN tidak harmonis secara horizontal dengan UU Pemda dalam urusan wajib pemerintah daerah. UU PPTKILN sesuai dengan nomenklaturnya jelas mempunyai dimensi internasional, hubungan kerja sama bilateral, dan subjek hukum negara penerima tenaga kerja Indonesia, sehingga di dalam konsiderans mengingat seharusnya mencantumkan juga UU HubLu dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. UU PPTKILN melibatkan perwakilan negara di luar negeri meskipun konsiderans mengingat tidak mencantumkan UU HubLu. Pasal 92 ayat (2) UU PPTKILN menentukan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. Ini secara normatif sejalan dengan kebijakan dalam UU HubLu. Tanggung jawab negara yang dilaksanakan oleh pemerintah
45
Ibid.
103
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
untuk melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum diatur dalam Pasal 18 UU HubLu. Tanggung jawab ini juga diatur dalam Pasal 19 huruf b yang menyatakan bahwa perwakilan RI berkewajiban untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri. Selain menggunakan pendekatan keberlakuan filosofis dan yuridis tersebut, tanggung jawab negara dalam penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri ini juga perlu dilihat dari keberlakuan sosiologis-empiris. Keberlakuan peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab negara dalam penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia secara sosiologisempiris dimulai dari tingkat kesadaran hukum stakeholders yang terlibat di dalamnya.46 Permasalahan yang dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum calon tenaga kerja dan tenaga kerja masih rendah. Ini dibuktikan dengan law awareness, law acquaintance, legal attitude, dan legal behaviour dari tenaga kerja Indonesia yang menunjukkan:47 1. tingkat pengetahuan hukum terhadap peraturan dan perlindungan tenaga kerja hanya 20% yang mengetahui bahwa penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dengan undang-undang; 2. pemahaman hukum calon tenaga kerja Indonesia dan tenaga kerja Indonesia terhadap peraturan perundang-undangan hanya 33.3% yang mengetahui isi UU PPTKILN terbatas pada prosedur penempatan; dan 3. tenaga kerja Indonesia memilih jalur resmi untuk bekerja melalui PPTKIS sebanyak 81,7%, sedangkan sisanya melalui calo. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah sebagai personifikasi dari negara kurang melaksanakan tanggung jawabnya dalam penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Kesadaran hukum masyarakat tersebut akan tinggi jika pemerintah memberikan pemahaman dan pengetahuan mengenai aspek hukum dan regulasi bagi tenaga kerja di luar negeri. Peningkatan kesadaran hukum tersebut dilaksanakan dengan melalui mobilisasi publik berupa pemberian akses informasi, sosialisasi, pendidikan, pelatihan, dan bantuan teknis. Pelaksanaan tanggung jawab negara tersebut juga dipengaruhi oleh kurangnya pengawasan terhadap penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Berdasarkan Pasal 92 ayat (1) dan (2), pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan tenaga kerja
46 47
Lalu Husni, “Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja …, loc.cit. Ibid.
104
Shanti Dwi Kartika
Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serat perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan. Landasan normatif tersebut menggambarkan ada upaya preventif dari negara terhadap permasalahan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam penempatan tenaga kerja di luar negeri. Namun pelaksanaan tanggung jawab pengawasan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya terbukti dengan adanya beberapa penyimpangan terhadap legal system dalam implementasi perlindungan dan penempatan tenaga kerja di luar negeri. Selain itu, secara empiris penegakan hukum (law enforcement) dari UU PPTKILN masih lemah terbukti masih banyaknya kasus-kasus pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU PPTKILN namun tidak ditindak tegas secara hukum.
D. PENUTUP Tanggung jawab negara dalam penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dari pendekatan hukum menggambarkan ketidakharmonisan baik dari sisi filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Implementasi tanggung jawab negara untuk ketenagakerjaan di luar negeri dari sisi filosofis belum sepenuhnya mengimplementasi prinsip-prinsip yang terdapat dalam falsafah hidup bangsa dan pelaksanaannya bertentangan dengan rechtidee dan staatfundamentalnorm. Dari sisi sosiologis pemerintah dinilai telah gagal dalam menjalankan tanggung jawab negara tersebut karena belum mampu meningkatkan legal awareness dari stakeholders sehingga tercipta legal culture yang cukup baik. Tanggung jawab negara tersebut dilihat dari berlakunya kaidah masih tumpang tindih secara normatif-yuridis. UU PPTKILN sebagai kaidah hukum mempunyai hubungan yang disharmonis dengan peraturan perundang-undangan dalam hierarki yang berlaku di Indonesia baik secara vertikal maupun horizontal. Atas dasar itu, maka perlu diadakan perubahan terhadap UU PPTKILN dengan memperhatikan harmonisasi peraturan perundang-undangan terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab negara agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan dan kewenangan serta disharmonsi peraturan perundangundangan. Perubahan yang harus dilakukan antara lain berkaitan dengan pendelegasikan pasal-pasal yang mengatur tentang urusan-urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah, pengawasan dan mekanisme pengawasan, meningkatkan kewenangan pemerintah daerah dalam perlindungan TKI dengan menghapuskan ketentuan Pasal 23, kantor cabang PPTKIS harus bertanggungjawab terhadap segala pelanggaran yang dilakukannya dan perlakuan tidak manusiawi terhadap tenaga kerja, sehingga pemerintah/ pemerintah daerah dapat memberlakukan sanksi terhadap PPTKIS. 105
DAFTAR PUSTAKA
Agusmidah, dkk, Bab-bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden, dan Universitas Gronigen, 2012. Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: Gunung Agung, 2002. Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Attamimi, Hamid S., Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-IV, Disertasi, Univertas Indonesia.
Bachtiar, Palmira Permata, “Catatan Kebijakan: Mendukung Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,” diakses melalui www.smeru.or.id/policybrief/migrantworkers_pb_ind. pdf, tanggal 13 Oktober 2013. Badan Pusat Statistik, Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan 2004-2013, diakses melalui http://bps.go.id/tab_sub/ view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=4, tanggal 18 Oktober 2013. Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2013, Jakarta: BPS-Statistik Indonesia, 2013. Binawan, 2005.
Farbenblum, Bassina, Eleanor Taylor-Nicholson, dan Sarah Paoletti, Akses Buruh Migran terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia, New York: Open Society Foundations, 2013. Goesniadhie, Kusnu, Harmonisasi Hukum dalam Perspektif Perundangundangan (Lex Specialis Suatu Masalah), Surabaya: Penerbit JPBooks, 2006. 106
Shanti Dwi Kartika
Hujbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Husni, Lalu, “Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,” Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 1, Februari 2011. Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Ed. Rev, Cet. ke-11, Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Juwana, Hikmahanto, Lalu Husni, dkk, Naskah Akademik RUU tentang Perubahan terhadap UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, diakses melalui http://ccmigrant. blogspot.com/search/label/Naskah%20Akademik%20RUU%20PPILN, tanggal 23 Oktober 2013. Naekma dan I Wayan Pageh, “Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia,”diakses melalui http://www.bnp2tki.go.id/hasil-penelitianmainmenu-276/975-penempatan-dan-perlindungan-tenaga-kerjaindonesia.html, tanggal 30 Oktober 2013.
Naovalita, Tita, et.al., “Perlindungan Sosial Buruh Migran Perempuan,” Prosiding Seminar, The World Bank bekerja sama dengan Kementerian Kesejahteraan Rakyat RI, Jakarta, 2-3 Mei 2006.
Nursyamsi, Fajri, RUU Pendidikan Tinggi: Analisis Perundang-undangan dalam Aspek Formil dan Subtansi Pengaturan, Jentera Edisi 22 – tahun VII, Januari-April 2012. S., Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan I: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya,Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
107
BAB VII PEMERIKSAAN PSIKOLOGI DALAM PROSES PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN PEREMPUAN SEKTOR RUMAH TANGGA Sulis Winurini∗
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bekerja di luar negeri merupakan pilihan yang menarik bagi sebagian warga negara Indonesia. Keterbatasan akan lowongan kerja di dalam negeri menyebabkan banyak warga negara Indonesia mencari pekerjaan ke luar negeri.1 Upah yang diberikan oleh pengguna jasa tenaga kerja di luar negeri pun relatif lebih tinggi dibanding di dalam negeri karena adanya perbedaan nilai tukar dan tingkat kemakmuran negara yang dituju.2 Hal-hal tersebut menjadi penyebab besarnya animo pekerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri yang bahkan meningkat dari tahun ke tahun. Manfaat dari bekerja di luar negeri tidak hanya dirasakan oleh pekerja migran itu sendiri, tetapi juga oleh masyarakat, dan negara. Penempatan pekerja migran di luar negeri merupakan salah satu solusi terbaik untuk mengatasi masalah pengangguran karena bisa memperluas kesempatan kerja dan secara langsung bisa meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Selain itu, penempatan pekerja migran di luar negeri memberi kontribusi yang besar terhadap pendapatan negara. Lisna Y Poelongan, Deputi Perlindungan BNP2TKI, menyebutkan bahwa jasa pengiriman uang pekerja migran (remintasi) menyumbang 10% dari nilai APBN dan dengan persentase tersebut ia menempati posisi kedua setelah pendapatan dari sektor migas. Oleh karena inilah pekerja migran Indonesia seringkali disebut sebagai Pahlawan Devisa Negara.3 *
1
2
3
Peneliti Muda pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail:
[email protected]. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Sertifikasi Uji Kompetensi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Indonesia/ Tenaga Kerja Wanita Penata Laksana Rumah Tangga (TKI/TKW PLRT),eprints. undip.ac.id/16839/1/BUDI_ASTUTI.pdf, diakses pada tanggal 2 September 2013. Ini Dia Mengapa TKI Disebut Pahlawan Devisa Negara, http://finance.detik.com/read/2 012/09/26/164718/2038367/4/ini-dia-mengapa-tki-disebut-pahlawan-devisa-negara, diakses pada tanggal 3 September 2013
109
Pemeriksaan Psikologis dalam Proses Penempatan Pekerja
Di sisi lain, penempatan pekerja migran di luar negeri memiliki resiko, salah satunya yang paling banyak muncul adalah kemungkinan terjadinya tindak pelanggaran hak asasi manusia terhadap pekerja migran itu sendiri. Kasus yang sering dihadapi oleh pekerja migran tidak hanya berkaitan dengan pelanggaran hak pekerja, melainkan juga tindak kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Mengingat 90% pekerja migran adalah perempuan yang bekerja di sektor rumah tangga, maka dapat dipastikan sebagian besar dari pekerja migran Indonesia yang mengalami tindak pelanggaran hak asasi adalah pekerja migran perempuan yang bekerja di sektor tersebut.4 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPNH) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), melalui kajiannya mengenai perlindungan pekerja migran Indonesia, menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan pekerja migran perempuan mengalami penganiayaan, yaitu:5 1. Kesulitan berkomunikasi dengan pengguna jasa akibat kemampuan bahasa yang tidak memadai; 2. Kesalahpahaman yang sering terjadi dengan pengguna jasa akibat keterbatasan pengetahuan tentang budaya negara yang dituju; 3. Kemampuan intelektual yang kurang karena mayoritas dari mereka adalah pekerja yang tidak terdidik; 4. Pengalaman deportasi akibat bekerja secara ilegal. Hal-hal tersebut muncul karena pada kenyataannya masih banyak calon pekerja migran yang belum memenuhi kualifikasi bisa bekerja di luar negeri. Meskipun para calon pekerja migran tidak mengikuti pelatihan, gagal dalam proses medical check up, dan memiliki keterbatasan kompetensi, mereka tetap diberangkatkan ke luar negeri. Dengan bermodalkan hasrat yang sifatnya impulsif, para pekerja migran perempuan berusaha memenuhi permintaan pengguna dan keuntungan balas jasa yang akan diterima oleh perusahaan penyalur.6 Penyebab lain atas munculnya beragam permasalahan pekerja migran perempuan datang dari dalam diri pekerja itu sendiri. Arifin Purba, Direktur Pemberangkatan BNP2TKI, menyebutkan, motivasi calon pekerja migran
4
5
6
Sali Susiana, “Perlindungan Pekerja Migran Perempuan” dalam buku Tenaga Kerja Indonesia: Antara Kesempatan Kerja, Kualitas dan Perlindungan (Jakarta: P3DI Setjen DPR RI, 2011), hal. 112. Tim Pengkajian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, di bawah pimpinan Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H, Perlindungan TKI Pada Masa Pra Penempatan, Selama Penempatan Dan Purna Penempatan, http://www.bphn. go.id/data/documents/pkj_2012_-_5.pdf, diakses pada tanggal 2 September 2013. Ibid.
110
Sulis Winurini
berangkat ke luar negeri bisa bermacam-macam, bisa karena terpaksa, desakan ekonomi, bujuk rayu calo, dan ada juga karena sekedaringin jalanjalan ke luar negeri.7 Menurut Ramiany Sinaga, Kepala Biro Hukum BNP2TKI, banyak pekerja migran perempuan Indonesia tidak memiliki motivasi yang sungguh-sungguh untuk bekerja di luar negeri. Di antara mereka, ada yang mengaku termotivasi hanya karena sedang ada masalah dengan suami di kampung. Akibatnya, ketika dihadapkan pada sedikit persoalan, misalnya mendapatkan pengguna dengan tipe penuntut, dengan mudahnya mereka mengambil keputusan untuk berhenti kerja dan menyatakan keinginan untuk pulang ke tanah air. Keluhan mengenai hal tersebut pun seringkali disampaikan oleh para pengguna, bahkan diketahui memberi kontribusi terhadap munculnya permasalahan pelanggaran hak pekerja.8 Banyak pekerja migran perempuan diberangkatkan ke luar negeri dalam kondisi yang tidak siap, padahal, ketika mereka bekerja di luar negeri, ada banyak tuntutan yang harus mereka hadapi. Tuntutan tersebut tidak hanya berkenaan dengan apa yang mereka kerjakan, tetapi juga dengan situasi dan kondisi pekerjaan, lingkungan kerja, termasuk nilai-nilai di dalam budaya kerja, yang masih terasa asing. Ketidakmampuan mereka merespon tuntutantuntutan menimbulkan beragam permasalahan, termasuk di dalamnya adalah permasalahan kekerasan dan permasalahan psikologis. Arifin Purba, Direktur Pemberangkatan BNP2TKI, menyebutkan, kasus bunuh diri, kasus membunuh, kasus kehamilan banyak menimpa pekerja migran perempuan Indonesia.9 Selanjutnya, Dr. Diah Setia Utami, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan menyebutkan, pekerja migran perempuan Indonesia seringkali mengalami gangguan jiwa karena kesulitan penyesuaian di negara tujuan akibat cultural shock. Pengalaman kekerasan serta trauma juga menjadi penyebab lain munculnya gangguan jiwa.10 Kemampuan pekerja merespons tuntutan tergantung dari kondisi psikis mereka, yaitu bagaimana mereka memahami dan merespons permasalahan, bagaimana mereka melaksanakan pekerjaan, bertahan dalam situasi menekan, lalu bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berinteraksi di dalam lingkungan tersebut. Secara umum, kondisi psikis berimplikasi
7
8
9
10
Calon TKI Yang Tak Lolos Tes Psikologi Jangan Diproses, http://www.kampungtki.com/ baca/34629, diakses pada tanggal 2 September 2013 Wawancara dengan Ramiany Sinaga, Kepala Biro Hukum BNP2TKI, pada tanggal 10 September 2013. Calon TKI Yang Tak Lolos Tes Psikologi Jangan Diproses, http://www.kampungtki.com/ baca/34629, diakses pada tanggal 2 September 2013 Calon TKI Wajib Lakukan Skrining Kesehatan Jiwa, http://www.pikiran-rakyat.com/ node/193366, diakses pada tanggal 2 September 2013
111
Pemeriksaan Psikologis dalam Proses Penempatan Pekerja
terhadap keseluruhan permasalahan yang akan mereka hadapi di tempat kerja. Atas dasar hal ini, pemerintah menjadikan kondisi psikis sebagai salah satu pertimbangan untuk menentukan kelayakan calon pekerja migran Indonesia. Pemahaman mengenai kondisi psikis calon pekerja migran diperlukan untuk mengantisipasi permasalahan ketenagakerjaan. Di sinilah letak pentingnya pemeriksaan psikologi. Pemeriksaan psikologi digunakan untuk mengidentifikasi aspek-aspek psikis calon pekerja migran untuk kemudian digunakan sebagai acuan di dalam pengambilan keputusan penempatan. Keberadaan pemeriksaan psikologi dalam penempatan pekerja migran telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). Sebagai bentuk tindak lanjut UU PPTKILN, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2011 Tentang Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia (Perpres PKPCTKI). Perpres PKPCTKI menjadi pijakan di dalam pelayanan penempatan pekerja migran. Sesuai Perpres PKPCTKI,calon pekerja migran yang berangkat ke luar negeri adalah mereka yang telah dinyatakan sehat secara fisik dan mental. Menurut Jumhur Hidayat, Kepala BNP2TKI, pemeriksaan kesehatan dan psikologi merupakan upaya serius yang dilakukan pemerintah untuk menciptakan perlindungan yang paripurna terhadap pekerja migran perempuan Indonesia,11 khususnya pekerja migran perempuan sektor rumah tangga yang paling sering mengalami permasalahan. 2. Permasalahan Ada beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui tulisan ini, yaitu: 1. Sejauh mana urgensi pemeriksaan psikologi di dalam penempatan pekerja migran perempuan yang berada pada sektor rumah tangga? 2. Sejauh mana komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan pemeriksaan psikologi dalam penempatan pekerja migran perempuan yang bekerja pada sektor rumah tangga?
B. KERANGKA TEORI 1. Pemeriksaan Psikologi Pemeriksaan psikologi lebih dikenal sebagai tes psikologi atau psikotes. Menurut Anastasi dan Urbina (1997), tes psikologi adalah pengukuran terhadap sampel perilaku yang dilakukan secara obyektif dan terstandar, yang bertujuan untuk memeriksa contoh perilaku individu dan untuk
11
Aturan Baru: Calon TKI Harus Lolos Tes Mental, http://nasional.news.viva.co.id/news/ read/252262-aturan-baru--calon-tki-harus-lolos-tes-mental, diakses pada tanggal 2 September 2013.
112
Sulis Winurini
mendapat gambaran tentang karakteristik orang tersebut.12 Kemudian, Murphy dan Davidshofer (2005) menyebutkan, tes psikologi merupakan resepresentasi dari aplikasi prinsip keilmuan psikologi yang digunakan untuk mengukur atribut individu yang dianggap penting di dalam penggambaran dan pemahaman perilaku individu.13 Berdasarkan dua pengertian ini, pada intinya, tes psikologi digunakan untuk memahami perilaku individu. Tes psikologi adalah penting karena memiliki dampak substansial terhadap berbagai macam keputusan penting, salah satunya adalah keputusan untuk menyeleksi calon pekerja. Dalam proses seleksi, organisasi melakukan penilaian untuk memilih calon pekerja yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Untuk itu, gambaran mengenai calon pekerja diperlukan. Skor yang dihasilkan dari tes psikologi tidak hanya memberikan gambaran mengenai atribut individu, tapi juga memberikan informasi mengenai perbedaan antara satu individu dengan yang lainnya. Dengan demikian, tes psikologi memberikan kesempatan bagi organisasi untuk memilih calon pekerja yang paling sesuai di antara calon pekerja yang lain untuk ditempatkan pada pekerjaan tertentu. Tes psikologi merupakan metode pengukuran yang kontroversial. Keterbatasan ketepatan menjadi karakteristik umum yang ditemukan dalam semua tes psikologi. Tes psikologi seringkali dihubungkan dengan isu test bias dan test fairness, dan karenanya tes psikologi tidak bisa membuat keputusan dengan ketepatan yang sempurna. Meskipun demikian, National Academy of Science menilai, dengan ketidaksempurnaannya, tes psikologi tetap merupakan metode pengukuran terbaik, teradil dan terkurat yang bisa digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai individu.14 2. Organisasi Sebagai Sistem Terbuka Kast dan Rosenzweig (1974) mengartikan sistem sebagai:15
“suatu kesatuan keseluruhan yang terorganisasi, yang terdiri dari dua atau lebih bagian, komponen atau subsistem, yang saling tergantung, yang dipisahkan dari suprasistem sebagai lingkungannya oleh batas-batas yang dapat ditemukenali.”
Sistem berinteraksi dengan sistem lainnya dan membentuk suprasistem. Sebaliknya sistem terdiri dari dua atau lebih subsistem yang saling berinteraksi,
12
13
14 15
Anne Anastasi dan Susana Urbina, Tes Psikologi Edisi Bahasa Indonesia Jilid I, (Jakarta: Prenhallindo, 1997), hal. 3. Kevin R. Murphy dan Charles O. Davidshofer, Psychological Testing: Principles and Application, Sixth Edition, (New Jersey: Pearson Education International, 2005), hal. 1. Ibid, hal. 2. Prof.Dr.A.S. Munandar, Psikologi Industri I: Edisi Pertama, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1995), hal. 14.
113
Pemeriksaan Psikologis dalam Proses Penempatan Pekerja
dan masing-masing subsistem terdiri dari sistem yang lebih kecil lagi yang saling berinteraksi. Interaksi yang terjadi di antara setiap komponen, subsistem dan sistem merupakan menggambarkan adanya hubungan ketergantungan di antara komponen, subsistem dan sistem tersebut.16 Organisasi merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem, dimana subsistem tersebut terdiri dari subsistem yang lebih kecil lagi yaitu satuan kerja seperti bagian, seksi hingga satuan kerja terkecil, yaitu tenaga kerja. Organisasi berinteraksi dengan sistem lainnya membentuk suprasistem. Sebagaimana halnya dengan setiap sistem, organisasi berada dalam proses pertukaran yang bersinambung dengan lingkungannya. Ia merupakan sistem terbuka, artinya menerima dan melepas sesuatu dari dan kepada sistem yang lain. Organisasi industri menerima dari sistem lainnya masukan tertentu, sebaliknya ia menghasilkan produk yang dilepas, disalurkan dan diterima oleh sistem lain.17 Berrien mengatakan bahwa sistem dilingkupi oleh suatu batas. Batas dari sistem mempunyai fungsi seleksi dan pengendalian terhadap macam dan banyaknya arus dari masukan dan keluaran. Batas melakukan seleksi dan kendali terhadap bahan mentah yang akan masuk ke dalam sistem industri. Batas juga melakukan seleksi dan kendali terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan.18 C. URGENSI PEMERIKSAAN PSIKOLOGI DALAM PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN PEREMPUAN SEKTOR RUMAH TANGGA Penempatan pekerja di luar negeri merupakan bentuk dari proses interaksi antara Indonesia dengan negara lain. Indonesia, melalui PPTKIS menyediakan sumber daya manusia untuk kemudian diserap oleh negara lain sebagai masukan dalam pelaksanaan pekerjaan. Apa yang diterima dan dialami oleh pekerja migran Indonesia menjadi hasil sekaligus masukan bagi pemerintah Indonesia dalam hal penetapan dan pelaksanaan kebijakan ketenagakerjaan, baik untuk saat ini maupun untuk selanjutnya. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan kesejahteraan para pekerja. Dalam proses interaksi tersebut di atas, penempatan memiliki porsi yang sangat penting. Munandar (1995) menyebutkan tugas dan sasaran penempatan, yaitu:19 18 19 16 17
Ibid, hal. 15. Ibid, hal. 15. Ibid, hal. 15. A.S. Munandar, Psikologi Industri I: Edisi Pertama, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1995), hal.. 24.
114
Sulis Winurini
“Tugas penempatan adalah untuk menilai para calon dan untuk mencocokkan kualifikasi mereka dengan persyaratan yang telah ditetapkan semula dari setiap pekerjaan.” “Sasaran penempatan adalah suatu rekomendasi atau keputusan yang mendistribusikan para calon pada pekerjaan yang berbeda-beda berdasarkan suatu dugaan tentang kemungkinan-kemungkinan dari calon untuk berhasil pada setiap pekerjaan yang berbeda.”
Sementara itu, UU PPTKILN memiliki definisi sendiri tentang penempatan pekerja migran atau TKI, yang dijelaskan dalam Pasal 1, yaitu:20 “Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.“
Mengacu pada pengertian di atas, pada prinsipnya, penempatan mencakup kegiatan penilaian terhadap calon pekerja. Munandar (1995) lebih memfokuskan penempatan kepada pendistribusian para calon kepada pekerjaan. Sementara UU PPTKILN mendefinisikan penempatan lebih luas lagi, mencakup keseluruhan proses, mulai dari perekrutan, seleksi, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan. Dalam hal ini, penempatan tidak hanya berbicara mengenai penyeleksian calon pekerja migran, tetapi juga mengenai bagaimana calon pekerja migran bisa menjadi pekerja migran yang layak, bisa ditempatkan dan dipulangkan dari tempat kerja. Di sinilah letak pentingnya penempatan. Penempatan merupakan proses di mana masukan diolah menjadi keluaran yang berarti. Proses di mana calon pekerja migran diseleksi dan dikelola hingga diperoleh pekerja migran yang layak untuk dipekerjakan. Supaya bisa berjalan sebagaimana mestinya, penempatan memerlukan acuan, yaitu persyaratan pekerjaan. Persyaratan pekerjaan berguna untuk mengontrol kualitas masukan yang dalam hal ini adalah calon pekerja migran. Persyaratan pekerjaan yang dimaksud menyangkut kesiapan kerja di luar negeri. Brady (2010) menyatakan, kesiapan kerja mencakup segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang, baik mengenai kemampuan maupun perilaku yang diperlukan pada setiap pekerjaan.21 Menurut Sutrisno, kesiapan kerja
20
21
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Work Readiness Inventor, http://www.careercc.com/shopmall/html/PDF/Work%20 Readiness%20Inventory%20Administrator%27s%20Guide.pdf, diakses pada tanggal 13 September 2013
115
Pemeriksaan Psikologis dalam Proses Penempatan Pekerja
diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tanpa mengalami kesulitan, hambatan, dengan hasil maksimal, dan target yang telah ditentukan.22 Berdasarkan UU PPTKILN, bakat, minat dan kemampuan merupakan hal-hal yang termasuk dalam persyaratan untuk penempatan calon pekerja migran. Perpres PKPCTKI menambahkan tiga aspek yang juga perlu diperhatikan di dalam penempatan calon pekerja migran, yaitu:23 1. Aspek kognitif, meliputi kemampuan daya pikir yang dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan sukses di pekerjaan; 2. Aspek kepribadian, meliputi ciri sifat yang ada pada seseorang yang mencakup pengendalian emosi, inisiatif dan kemampuan melaksanakan tugas; 3. Aspek sosial, mencakup kemampuan menyesuaikan diri dan kemampuan hubungan sosial.
Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kondisi psikis yang dibutuhkan ketika bekerja di luar negeri. Kebutuhan untuk memahami kondisi psikis muncul karena permasalahan psikis diduga menjadi bibit atas munculnya permasalahan yang lain, yaitu mulai dari permasalahan kinerja hingga pelanggaran hak asasi manusia. Keterbatasan daya pikir, gangguan kepribadian serta gangguan sosial seringkali menjadi penyebab atas munculnya permasalahan-permasalahan tersebut. Sebagian pekerja migran yang diberangkatkan ke luar negeri memiliki motivasi kerja yang terbatas, kemampuan adaptasi yang kurang karena pemahaman budaya serta penguasaan bahasa asing yang minim.24 Sementara itu, ketika bekerja di luar negeri, mereka harus menghadapi permasalahan yang bukan hanya terkait dengan apa yang dikerjakan, tetapi terkait juga dengan situasi dan kondisi pekerjaan, lingkungan kerja, termasuk nilai-nilai di dalam budaya kerja, yang masih terasa asing. Dalam kondisi seperti ini, mereka harus tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya supaya tindakannya itu sesuai dengan permasalahan yang mereka hadapi. Apabila mereka tidak mampu merespon permasalahan secara tepat, maka mereka akan kesulitan menampilkan kinerjanya secara optimal, akibatnya para pengguna akan merasa frustasi. Bukan tidak mungkin, para pengguna akan melampiaskan rasa frustasinya itu kepada pekerja migran melalui tindakan pelanggaran hak asasi manusia.
22
23
24
http://eprints.uny.ac.id/7701/3/BAB%202%20-%2007104244044.pdf, diakses pada tanggal 4 Oktober 2013. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2011 tentang Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia. Wawancara dengan Ramiany Sinaga, Kepala Biro Hukum BNP2TKI, pada tanggal 10 September 2013.
116
Sulis Winurini
Untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh mengenai kondisi psikis para pekerja migran, pemeriksaan psikologi diperlukan di dalam penempatan pekerja migran. Pemeriksaan psikologi menjadi alat di dalam fungsi batas atau fungsi dari komponen rentang-batas sistem. Penempatan merupakan komponen batas dari sistem ketenagakerjaan. Penempatan merupakan proses yang berfungsi untuk mengendalikan kualitas dan kuantitas masukan berupa calon pekerja migran. Hasil dari proses penempatan adalah diterimanya pekerja migran yang memenuhi persyaratan seperti yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini, pemeriksaan psikologi menjadi salah satu alat kendali mutu calon pekerja, terutama dalam hal kesiapan psikis. Sesuai dengan fungsinya, pemeriksaan psikologi digunakan untuk menggambarkan dan menilai sejauhmana calon pekerja migran memiliki ciri kognitif, kepribadian dan sosial seperti yang dipersyaratkan, dan sejauhmana calon pekerja migran memenuhi persyaratan kognitif, kepribadian dan sosial seperti yang ditentukan. Gambaran mengenai karakteristik psikis calon pekerja migran ini kemudian menjadi dasar untuk membuat rekomendasi atau keputusan di dalam seleksi dan/atau penempatan itu sendiri.
D. KOMITMEN PEMERINTAH TERHADAP PELAKSANAAN PEMERIKSAAN PSIKOLOGI CALON PEKERJA MIGRAN PEREMPUAN SEKTOR RUMAH TANGGA 1. Peraturan Perundang-Undangan tentang Pemeriksaan Psikologi Pekerja Migran Keberhasilan pelaksanaan pemeriksaan psikologi dalam penempatan pekerja migran sangat tergantung dari bagaimana pemerintah berperan. Pemerintah memiliki andil dalam penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang nantinya akan menjadi acuan dalam melaksanakan sebuah kebijakan. Pemeriksaan psikologi merupakan salah satu kebijakan yang dibuat pemerintah untuk menyeleksi calon pekerja migran terkait kondisi psikis-nya. Persyaratan dalam pemeriksaan psikologi memperjelas batasan mengenai siapa-siapa saja yang layak ditempatkan di luar negeri dan siapa-siapa saja yang tidak. Kebutuhan untuk melakukan pemeriksaan psikologi di dalam penempatan pekerja migran telah disadari oleh pemerintah. Eksistensinya telah disinggung dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN), yaitu pada Pasal 31, 48, 49, dan 50. Berikut poin-poin yang berkaitan dengan pemeriksaan psikologi:25
25
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
117
Pemeriksaan Psikologis dalam Proses Penempatan Pekerja
1. Kegiatan pemeriksaan psikologi ada dalam proses pra-penempatan TKI bersamaan dengan pemeriksaan kesehatan; 2. Pemeriksaan psikologi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan; 3. Setiap calon TKI harus mengikuti pemeriksaan psikologi yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemeriksaan Psikologi (LPP) yang ditunjuk oleh pemerintah; 4. PPTKIS dilarang menempatkan calon TKI yang tidak memenuhi syarat psikologi; 5. Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologimerupakan salah satu dokumen yang harus dimiliki calon TKI untuk dapat ditempatkan di luar negeri.
Dalam pelaksanaannya, PPTKIS berperan membantu dan memfasilitasi calon pekerja migran yang telah lulus seleksi untuk melakukan pemeriksaan psikologi bersamaan dengan kesehatan, sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 25 Peraturan Menakertrans RI Nomor PER-18/ MEN/IX/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.26 Pemeriksaan psikologi secara lebih spesifik dijelaskan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2011 tentang Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia (PKPCTKI), terutama pada Bab 3, mulai dari Pasal 18 hingga Pasal 28, lalu Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (2). Perpres ini ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 20 September 2011 dan merupakan hasil tindak lanjut pemerintah terhadap UU PPTKILN. Beberapa hal penting mengenai pemeriksaan psikologi tercantum dalam poin-poin berikut ini:27 1. Pemeriksaan psikologi dimaksudkan untuk melihat tingkat kesesuaian aspek-aspek kognitif, kepribadian dan sosial calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di tempat kerja di negara tujuan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah profesi psikologi; 2. Pemeriksaan psikologi dilakukan terhadap calon TKI yang telah menandatangani perjanjian penempatan; 3. Kelayakan calon TKI untuk bekerja di luar negeri dinyatakan dalam sertifikat pemeriksaan psikologi yang hanya dapat dikeluarkan oleh Lembaga Pemeriksaan Psikologi tempat pemeriksaan dilakukan;
26
27
Peraturan Menakertrans RI Nomor PER-18/MEN/IX/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Perpres Nomor 64 Tahun 2011 tentang Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia.
118
Sulis Winurini
4. Lembaga Pemeriksaan Psikologi yang dapat melakukan pemeriksaan psikologi terhadap calon TKI adalah Lembaga Pemeriksaan Psikologi yang mendapat izin dari Menteri setelah mendapat rekomendasi dari Tim Penilai; 5. Tim Penilai dibentuk oleh Menteri yang keanggotaannya terdiri dari unsur Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI, dan Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia; 6. Pembinaan dan pengawasan terhadap Lembaga Pemeriksaan Psikologi dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI.
2. Implementasi Peraturan Perundang-Undangan tentang Pemeriksaan Psikologi dalam Penempatan Pekerja Migran Perempuan Sektor Rumah Tangga Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, pemeriksaan psikologi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam penempatan pekerja migran.Namun dalam pelaksanaannya, terutama untuk penempatan pekerja migran perempuan sektor rumah tangga, pemeriksaan psikologi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun Perpres PKPCTKI sudah ditetapkan pada tahun 2011, pelaksanaan pemeriksaan psikologi masih terkendala. Dalam perjalanannya, pemeriksaan psikologi terhadap calon pekerja perempuan sektor rumah tangga pernah dilakukan pada tahun 2004. Pada saat itu, Lembaga Pemeriksaan Psikologi (LPP) yang ditunjuk oleh Depnakertrans adalah Fakultas Psikologi UI. Dalam kurun waktu yang tidak lama, LPP Fakultas Psikologi UI menghentikan kegiatannya karena tidak ada perpanjangan masa kontrak dari Depnakertrans.28Setelah itu, belum ada LPP lain yang ditunjuk oleh Depnakertrans. Keputusan penetapan LPP masih menjadi permasalahan hingga saat ini. Ramiany Sinaga, Kepala Biro Hukum BNP2TKI, menegaskan, BNP2TKI dan HIMPSI selaku Tim Penilai29 sudah memberikan hasil rekomendasi kepada Kemenakertrans, namun Kemenakertrans belum memperlihatkan tindak lanjut yang signifikan.30 Guntur Wicaksono, Direktur Penempatan Tenaga
28
29
30
Wawancara dengan Andrie Daniel, Koordinator Pelaksana Pemeriksaan Psikologi Calon Pekerja Migran Perempuan Fakultas Psikologi UI, pada tanggal 5 September 2013. Telah disebutkan di dalam Perpres PKPCTKI bahwa LPP yang dapat melakukan pemeriksaan psikologi adalah LPP yang mendapat izin dari Menakertrans.Dalam mekanismenya, sebelum mendapatkan izin dari Menakertrans, LPP tersebut harus mendapat rekomendasi dari Tim Penilai. Tim Penilai adalah tim yang dibentuk oleh Menakertrans yang keanggotaannya terdiri dari unsur Kemenakertrans, BNP2TKI, dan Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Terhitung bulan September 2013 ini, Tim Penilai sudah terbentuk dua tahun. Wawancara dengan Ramiany Sinaga, Kepala Biro Hukum BNP2TKI, pada tanggal 10 September 2013.
119
Pemeriksaan Psikologis dalam Proses Penempatan Pekerja
Kerja Luar Negeri (Dit.PTKLN) mengakui adanya kendala dalam penetapan LPP. Salah satu kendala yang dimaksud adalah keraguan Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Ditjen Binapenta) terhadap kredibilitas HIMPSI. Keberadaan HIMPSI sebagai Tim Penilai memang sudah dijelaskan dalam Perpres PKPCTKI. Kendati demikian, mengingat HIMPSI bukan instansi pembina dari pemerintah, maka kewenangan HIMPSI sebagai anggota Tim Penilai masih diragukan.31 Tidak hanya mengenai LPP, penetapan biaya pemeriksaan psikologi pun masih dalam proses penelaahan dan belum sampai pada satu kesepakatan. Pemerintah juga masih memikirkan mekanisme pelaksanaan yang tepat. Misalnya, apakah pemeriksaan psikologi dilaksanakan bersamaan dengan seleksi minat atau bersamaan dengan pemeriksaan kesehatan, kemudian bagaimana pelaksanaannya di daerah mengingat LPP tidak tersebar di semua daerah.32 Minimnya kerjasama dan koordinasi Tim Penilai dengan Kemenakertrans mengindikasikan pemerintah masih memerlukan waktu lebih lama untuk mematangkan teknis pelaksanaan pemeriksaan psikologi. Padahal, kebutuhan pemeriksaan psikologi terus meningkat seiring dengan terus meningkatnya kebutuhan penempatan calon pekerja migran. UU PPTKILN memang telah menyebutkan bahwa PPTKIS dilarang menempatkan calon pekerja migran yang tidak memenuhi syarat psikologi,33tetapi realitanya, selama ini mereka tetap bisa bekerja ke luar negeri tanpa melalui pemeriksaan psikologi. Pelaksanaan pemeriksaan psikologi terlihat tidak konsisten.34 Kalaupun pemeriksaan psikologi terlaksana, maka akan sulit bagi PPTKIS untuk menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada saat ini dengan ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Pada permasalahan ketenagakerjaan di atas, pemerintah Indonesia dapat digambarkan sebagai suprasistem yang besar yang terdiri dari sistem-sistem yang saling berinteraksi. Sistem-sistem yang dimaksud adalah organisasi yang berkaitan dalam hal ketenagakerjaan, yaitu HIMPSI, BNP2TKI dan Kemenakertrans. Berdasarkan pemaparan masalah yang ada, tampak bahwa interaksi antarsistem tersebut belum berjalan dengan baik. Hal ini tergambar dari koordinasi antara Tim Penilai dan Kemenakertrans yang kurang kuat.
31
32 33
34
Wawancara dengan Guntur Wicaksono, Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (Dit. PTKLN), pada tanggal 20 September 2013. Ibid. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Wawancara dengan Rahmat Ismail, Senior Advisor BNP2TKI, pada tanggal 16 September 2013.
120
Sulis Winurini
Berrien mengatakan bahwa sistem seyogyanya dilingkupi oleh batasan, yang berfungsi menyeleksi dan mengendalikan terhadap macam dan banyaknya arus dari masukan dan keluaran.35 Di dalam penempatan pekerja migran, LPP merupakan salah satu yang berperan sebagai batasan mengingat wewenangnya dalam melakukan pemeriksaan psikologi. Pada prakteknya, batasan yang dimaksud belum berperan sebagaimana mestinya sehingga kesiapan psikis para pekerja migran tidak teridentifikasi. Ketidaksesuaian antara kondisi pekerja migran dengan kebutuhan para pengguna sangat mungkin terjadi. Permasalahan di dalam penempatan tidak hanya mengenai ketiadaan tes psikologi, tetapi juga proses pelatihan yang tidak maksimal serta lemahnya peran kendali mutu yang berfungsi sebagai batasan. Oleh sebab itu, keluaran yang dihasilkan di dalam proses penempatan, yaitu pekerja migran, seringkali tidak memiliki daya guna, bahkan menimbulkan permasalahan. Permasalahan-permasalahan ini merupakan dampak dari interaksi antarsistem ketenagakerjaan yang belum berjalan dengan baik. Selayaknya sistem yang bersifat saling mempengaruhi satu sama lain, dampak negatif tidak hanya dirasakan oleh para pengguna yang menyerap pekerja migran, tapi juga pemerintah Indonesia sebagai suprasistem. Visi misi pemerintah Indonesia di bidang ketenagakerjaan belum terealisasi karena fakta yang ada, pekerja migran perempuan sektor rumah tangga belum diberdayagunakan secara optimal dan manusiawi. Daya saing dan daya tawar mereka terlihat rendah. Kondisi-kondisi yang demikian menjadi pemicu atas munculnya permasalahan ketenagakerjaan hingga saat ini.
E. PENUTUP Pemeriksaan psikologi perlu dilaksanakan dalam penempatan pekerja migran perempuan sektor rumah tangga. Layaknya pekerja migran yang lain, kesiapan untuk bekerja di negara lain menjadi kebutuhan yang harus diperhatikan dalam penempatan. Kondisi psikis tercakup di dalam kesiapan kerja yang dimaksud. Hal ini bisa dipahami karena permasalahan psikis merupakan bibit atas munculnya permasalahan yang lain. Bagaimana pekerja menangkap dan merespons instruksi, menyelesaikan permasalahan mendasar dalam pekerjaan, kemudian bagaimana pekerja menyesuaikan diri dengan pekerjaan, dengan lingkungan kerja, termasuk penggunanya, lalu bagaimana pekerja mengendalikan emosi, bertahan dalam tekanan, merupakan permasalahan yang dibahas dalam psikologi dan berimplikasi terhadap keseluruhan permasalahan kerja. Dengan pemahaman yang demikian, pemerintah kemudian memasukkan kondisi psikis dalam persyaratan kerja pekerja migran.
35
Prof.Dr.A.S. Munandar, Psikologi Industri I: Edisi Pertama, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1995), hal. 14.
121
Pemeriksaan Psikologis dalam Proses Penempatan Pekerja
Meskipun seringkali dianggap tidak sempurna karena tidak pasti dan rentan bias, National Academy of Sciences menyatakan bahwa pemeriksaan psikologi merupakan metode terbaik, teradil, dan terakurat untuk memberi gambaran terkait individu. Penggunaan pemeriksaan psikologi di dalam penempatan pekerja tercantum dalam UU PPTKILN yang ditetapkan pada tahun 2004 dan kemudian ditindaklanjuti dengan Perpres PKPCTKI yang ditetapkan pada tahun 2011. Dalam penempatan pekerja migran, pemeriksaan psikologi digunakan untuk menilai aspek kognitif, kepribadian, dan sosial calon pekerja migran. Ketiga aspek ini menggambarkan kondisi psikis calon pekerja untuk bekerja di luar negeri. Pada praktiknya, pemeriksaan psikologi belum dilaksanakan sesuai ketentuan yang tercantum di dalam UU PPTKILN dan Perpres PKPCTKI. Ketidakharmonisan antarsistem menjadi inti permasalahan. BNP2TKI, HIMPSI dan Ditjen Binapenta belum menunjukkan interaksi yang mendukung sehingga hasil atas pekerjaan bersama belum dirasakan sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia sebagai suprasistem. Akibatnya, penempatan pekerja migran belum memenuhi fungsinya sebagai batasan di dalam sistem ketenagakerjaan. Sampai saat ini tidak ada yang bisa memastikan apakah pekerja migran Indonesia sudah memiliki kondisi psikis yang menunjang atau tidak untuk bekerja di luar negeri. Persoalan ini merupakan hal mendasar karena seringkali menggiring pekerja migran perempuan sektor rumah tangga kepada pengalaman yang merugikan. Upaya untuk memaksimalkan fungsi penempatan pekerjaan migran perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia, salah satunya adalah dengan mengimplementasikan pemeriksaan psikologi seperti yang disebut di dalam UU PPTKILN dan Perpres PKPCTKI. Dalam hal ini, pembenahan sistem ketenagakerjaan perlu dilihat sebagai prioritas oleh pemerintah. Interaksi yang baik antarsistem diperlukan untuk mengoptimalisasi kinerja sistem secara keseluruhan. Terlaksananya pemeriksaan psikologi dalam penempatan pekerja migran merupakan hal yang perlu dicapai sebagai hasil dari pembenahan tersebut. Dengan demikian, permasalahan terkait ketenagakerjaan perempuan sektor rumah tangga dapat direduksi. Pada akhirnya, upaya tersebut tidak hanya berimplikasi hanya pada penempatan, namun juga pada perlindungan pekerja migran perempuan sektor rumah tangga secara keseluruhan.
122
DAFTAR PUSTAKA
Buku Anastasi, Anne., Urbina, Susana.(1997).Tes Psikologi Edisi Bahasa Indonesia Jilid I, (Jakarta: Prenhallindo)
Munandar, A.S. (1995). Psikologi Industri I: Edisi Pertama,( Jakarta: Universitas Indonesia,
Murphy, Kevin R., Davidshover, Charles O. (2005). Psychological Testing: Principles and Application, Sixth Edition, (New Jersey: Pearson Education International)
Susiana, Sali. (2011). Perlindungan Pekerja Migran Perempuan dalam Buku Tenaga Kerja Indonesia: Antara Kesempatan Kerja, Kualitas dan Perlindungan (Jakarta: P3DI Setjen DPR RI) Skripsi Basyari, Achyar. (2006). Rancangan Tes Psikologi Untuk Seleksi Calon Operator Forging Di PT X, (Depok: Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia) Internet Calon TKI Wajib Lakukan Skrining Kesehatan Jiwa, http://www.pikiranrakyat.com/node/193366, diakses pada tanggal 2 September 2013
Calon TKI Yang Tak Lolos Tes Psikologi Jangan Diproses, http://www. kampungtki.com/baca/34629, diakses pada tanggal 2 September 2013
Ini Dia Mengapa TKI Disebut Pahlawan Devisa Negara, http://finance.detik. com/read/2012/09/26/164718/2038367/4/ini-dia-mengapa-tkidisebut-pahlawan-devisa-negara, diakses pada tanggal 3 September 2013 Tim Pengkajian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, di bawah pimpinan Dr. Hadi Subhan, S.H., M.H, Perlindungan TKI Pada Masa Pra Penempatan, Selama Penempatan Dan Purna Penempatan, http://www.bphn.go.id/data/documents/ pkj_2012_-_5.pdf, diakses pada tanggal 2 September 2013 123
Pemeriksaan Psikologis dalam Proses Penempatan Pekerja
Sertifikasi Uji Kompetensi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Indonesia/ Tenaga Kerja Wanita Penata Laksana Rumah Tangga (TKI/TKW PLRT), eprints.undip.ac.id/16839/1/BUDI_ASTUTI.pdf, diakses pada tanggal 2 September 2013 Work Readiness Inventory ,http://www.careercc.com/shopmall/html/PDF/ Work%20Readiness%20Inventory%20Administrator%27s%20Guide. pdf, diakses pada tanggal 13 September 2013
http://eprints.uny.ac.id/7701/3/BAB%202%20-%2007104244044.pdf, diakses pada tanggal 4 Oktober 2013 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2011 Tentang Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia Peraturan Menakertrans RI Nomor PER-18/MEN/IX/2007 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
124
BAB VIII PENINGKATAN KUALITAS TENAGA KERJA DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 Edmira Rivani*
A. PENDAHULUAN Pada era globalisasi seperti ini, tentu banyak negara yang saling bekerja sama. Hal ini pula yang terjadi dengan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Pada KTT ASEAN ke-9 di Bali, seluruh kepala negara yang tergabung dalam ASEAN menyepakati pembentukan komunitas ASEAN dalam berbagai bidang yang dikenal dengan Bali Concord II yang akan diberlakukan mulai tahun 2015.1 Komunitas ASEAN tersebut sering disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA adalah salah satu pilar-pilar impian masyarakat ASEAN. Hal-hal yang diharapkan dari MEA antara lain adalah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing, pertumbuhan ekonomi yang merata, meningkatkan kemampuan untuk berintegrasi dengan perekonomian global. Dari ketentuan tersebut, nantinya perdagangan barang, jasa, modal dan investasi akan bergerak bebas seakan tidak ada halangan secara geografis. Dimulainya MEA 2015 tersebut tentu akan memberikan dampak positif dan negatif bagi Indonesia. Dampak positifnya adalah MEA 2015 akan memacu pertumbuhan investasi dari dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, Investasi dalam negeri berpotensi akan meningkat yang akan menambah jumlah lapangan kerja dalam negeri. Bertambahnya lapangan kerja di Indonesia akan menambah kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia. Peluang kedua adalah penduduk Indonesia dapat mencari pekerjaan di luar negeri dengan aturan yang lebih mudah. Dampak negatifnya adanya pasar barang dan jasa secara bebas khususnya pada ketenagakerjaan adalah persaingan tenaga kerja semakin ketat karena tenaga kerja asing akan masuk ke Indonesia. Hal inilah yang akan menambah pelik masalah ketenagakerjaan di Indonesia. *
1
Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail:
[email protected]. Roadmap for ASEAN Community 2009-2015. 2009. Sekretariat ASEAN, Jakarta.
125
Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja
Seorang tenaga kerja yang tinggal di salah satu negara ASEAN akan punya kesempatan bekerja di sembilan negara ASEAN lain. Sebagai contoh orang dari Indonesia mempunyai peluang bekerja di Singapura, Malaysia, Vietnam, Brunei dan negara ASEAN lain. Dengan jumlah sumber daya manusia yang paling besar di ASEAN, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk memanfaatkan integrasi di sektor tenaga kerja terdidik ini. Di lain sisi, Indonesia juga akan menghadapi ancaman. Orang dari negara ASEAN lain akan bisa datang ke Indonesia untuk mencari peluang kerja di Indonesia. Artinya peluang kerja yang ada di Indonesia akan diperebutkan oleh lebih banyak orang. Sejauh mana orang Indonesia dapat bersaing di negeri orang atau di negeri sendiri sangat tergantung pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Berbicara tentang kualitas, maka sangat terkait dengan kompetensi yang dimiliki para tenaga kerja Indonesia. Kompetensi yang dimiliki para tenaga kerja umumnya diperoleh dari pengembangan kemampuan khusus dalam bidang tertentu melalui pendidikan. Terkait dengan kualitas tenaga kerja Indonesia, penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa tenaga kerja Indonesia masih kalah dalam hal kualitas dengan negara ASEAN lainnya. Indonesia lebih banyak mengirimkan tenaga kerja tidak terampil, sedangkan Filipina lebih banyak mengirimkan tenaga kerja terampil untuk bekerja di luar negeri.2 Data survey dari United Nation Development Program (UNDP) tahun 2011 tentang Human Development Index (HDI) menunjukkan Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 negara. Gambar 1 Tren Perkembangan HDI di Indonesia Tahun 1980-2011
Sumber: UNDP, 2012.
2
T. A. Primasanto. 2010. Pengiriman Tenaga Kerja Terampil Indonesia ke Luar Negeri: Pelajaran Dari Filipina. Jurnal Diplomasi Vol. 2 No.1, Maret 2010.
126
Edmira Rivani
Posisi Indonesia masih kalah apabila dibandingkan dengan negaranegara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura (26), Brunei (33), Malaysia (61), Thailand (103), dan Filipina (112), hanya lebih baik dari Vietnam (128), Laos (138), kamboja (139), dan Myanmar (149).3 Hal ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia menghadapi ancaman dengan akan diberlakukannya MEA. Namun apabila melihat trend perkembangan HDI Indonesia dari tahun 1980–2011 memperlihatkan trend yang terus meningkat. Artinya secara umum kualitas sumber daya manusia Indonesia terus mengalami peningkatan. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Teori Integrasi Ekonomi Integrasi ekonomi merupakan sebuah proses di mana sekelompok negara berupaya untuk meningkatkan tingkat kemakmurannya,4 yang ditandai oleh penghapusan hambatan-hambatan ekonomi (economic frontier) antara dua atau lebih ekonomi atau negara.5 Hambatan-hambatan ekonomi tersebut meliputi semua pembatasan yang menyebabkan mobilitas barang, jasa, faktor produksi, dan juga aliran komunikasi, secara aktual maupun potensial relatif rendah. Ada beberapa jenis integrasi ekonomi, diantaranya adalah :6 1. Pengaturan Perdagangan Preferensial (Preferential Trade Arragements) dibentuk oleh negara-negara yang sepakat menurunkan hambatanhambatan perdagangan di antara mereka dan membedakannya dengan negara-negara yang bukan anggota. 2. Kawasan perdagangan bebas (free trade area) di mana semua hambatan perdagangan tarif diantara negara-negara anggota dihilangkan sepenuhnya, namun masing-masing negara anggota masih berhak menentukan sendiri apakah mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkan terhadap negara-negara non-anggota. 3. Persekutuan Pabean (Customs Union) mewajibkan semua negara anggota untuk tidak hanya menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan di antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka terhadap negara lain non anggota 4. Pasaran bersama (Common Market) yaitu suatu bentuk integrasi di mana bukan hanya perdagangan barang saja yang dibebaskan namun arus faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal juga dibebaskan dari semua hambatan.
3 4
5 6
United Nations Development Programme (UNDP). 2011. Human Development Report 2011. F. Jovanovic. 2006. Integration, Disintegration and Trade In Europe: Evaluation of Trade Relation During The 1990s. Working Paper No. 20. Ibid. D. Salvatore. 2007. International Economic. John Willey & Sons, New York.
127
Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja
5. Uni Ekonomi (Economic Union) yaitu dengan menyeragamkan kebijakankebijakan moneter dan fiskal dari masing-masing negara anggota di dalam suatu kawasan atau bagi negara-negara yang melakukan kesepakatan.
2. Dampak Integrasi Ekonomi Integrasi ekonomi dapat berdampak pada penurunan kesejahteraan hidup masyarakat apabila terdapat negara yang secara ekonomi kuat menerapkan tarif yang tinggi terhadap negara lain, namun juga memberikan beberapa manfaat bagi negara yang melakukan integrasi, seperti: mendorong berkembangnya industri lokal, peningkatan manfaat perdagangan melalui perbaikan terms of trade, dan mendorong efisiensi ekonomi di suatu kawasan ekonomi. Pembentukan integrasi ekonomi di suatu kawasan ditujukan untuk alokasi sumber daya yang lebih efisien, mendorong persaingan, dan meningkatkan skala ekonomi dalam produksi dan distribusi diantara negara anggota.7 Integrasi ekonomi juga memiliki dampak yang berbeda terhadap negara-negara berkembang. Untuk Brazil, integrasi ekonomi meningkatkan permintaan terhadap skilled-labor, sedangkan untuk Cina integrasi ekonomi justru menurunkan permintaan terhadap skilled-labor.8 Melalui integrasi dan globalisasi diasumsikan setiap negara dapat memperkuat dan memperluas perekonomiannya, meningkatkan kesejahteraan, dan mencapai pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Dasar pertimbangan dari harapan ini karena integrasi ekonomi berarti tidak ada hambatan keluar masuk barang dan jasa serta modal dari suatu negara ke negara lain, sehingga harga barang dan jasa menjadi semakin murah dan tersedia secara memadai di suatu negara.9 Arus tenaga kerja dari suatu negara ke negara lain dapat menjadi mudah dengan adanya integrasi ekonomi, sehingga tidak akan terjadi kesenjangan antara supply dan demand tenaga kerja di suatu negara. Dengan adanya integrasi ekonomi, maka arus barang, jasa dan uang akan menjadi lebih mudah dibandingkan tanpa integrasi ekonomi. Namun, khusus untuk arus tenaga kerja integrasi ekonomi tidak secara linear akan mendorong arus migrasi karena arus migrasi ke suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor sosial, demografi, budaya dan politik. Bahkan banyak fakta menunjukkan besar kecilnya arus migrasi tidak berkaitan dengan adanya integrasi ekonomi.
7
8
9
Suarez. 2001. Trace Creation and Trade Diversion For Mercusur. Disertasi. United States: Boston University. Fajnzylber dan Fernandes. 2004. International Economic Activities and The Demand for Skilled Labor: Evidence From Brazil and Chinai. Social Science Research Network. Charunia Firdausy. 2004. Liberalisasi Perdagangan dan Investasi di Era Globalisasi. Jakarta: LIPI.
128
Edmira Rivani
Singkatnya, pengaruh integrasi ekonomi terhadap arus migrasi tenaga kerja nyaris tidak akan terjadi dalam jangka pendek.10 Bagi Indonesia peluang terjadinya migrasi tenaga kerja ini berpotensi menguntungkan mengingat tingkat pengangguran Indonesia relatif lebih tinggi dari negara ASEAN lainnya, dimana tingkat pengangguran terbuka usia muda antara 15 hingga 29 tahun di Indonesia mencapai 19,9 persen. Sementara Srilangka 17,9 persen dan Filipina 16,2 persen.11 Data tersebut membuat Indonesia menyandang gelar sebagai negara dengan pengangguran usia muda tertinggi di Asia Pasifik.12 Melihat pada kondisi tenaga kerja Indonesia saat ini, Indonesia baru mampu menyediakan lebih banyak tenaga kerja untuk sektor informal. Hingga sekarang sektor ini masih menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja Indonesia. Hasil survei Badan Pusat Statistik Februari 2010 memperlihatkan, 68,58 persen (73,67 juta) dari 116 juta angkatan kerja Indonesia di Indonesia pada 2010 terserap di sektor informal. Sisanya, 31,42 persen (33,74 juta) masuk sektor formal.13 Tingginya penyerapan di sektor informal memperlihatkan betapa sebenarnya masih cukup rendah kualitas tenaga kerja Indonesia. Data BPS pada Februari 2012, pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sebesar 55,5 juta orang (49,21 persen), sedangkan pekerja dengan pendidikan diploma sekitar 3,1 juta orang (2,77 persen) dan pekerja dengan pendidikan universitas hanya sebesar 7,2 juta orang (6,43 persen). Rendahnya tingkat pendidikan pada tenaga kerja mengakibatkan sulitnya bagi kelompok masyarakat ini untuk mendapatkan pekerjaan formal dengan tingkat keterjaminan yang relatif lebih baik terutama dalam bersaing dengan negaranegara ASEAN lainnya. Potret ini tentunya menjadi kegelisahan yang cukup mengganggu dalam menyongsong pasar tunggal ASEAN, saat arus liberalisasi jasa termasuk jasa profesi baik skillful labor maupun semi-skilled labor akan semakin deras mendekati tahun 2015. Dengan kondisi seperti ini sudah seharusnya perlu peningkatan dalam hal kualitas dari para tenaga kerja itu sendiri. Peran serta pemerintah dalam meningkatkan kualitas para pekerja ini sangat diharapkan. Pemerintah sendiri telah menyiapkan 3 strategi dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia, yaitu peningkatan standar kompetensi kerja, lembaga pendidikan
10 11
12 13
Ibid. Penganggur Muda Indonesia Tertinggi di Asia. Online, http://www.tempo.co/read/ news/2012/04/11/090396328/Penganggur-Muda-Indonesia-Tertinggi-di-Asia. Diakses pada tanggal 23 September 2013. Ibid. Online http://www.seputar‐Indonesia.com/edisicetak/content/view/390667/50, diakses pada tanggal 17 September 2013.
129
Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja
dan pelatihan profesi yang berbasis kompetensi dan sistem dan kelembagaan sertifikasi yang independen terpercaya dan menjamin mutu.14 Namun keberhasilan dari strategi ini tidak menjamin kualitas tenaga kerja akan meningkat. Kesadaran dari diri sendiri untuk mengubah diri dari para pekerja sendirilah yang paling dibutuhkan dalam peningkatan kualitas mereka agar sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh para penyedia kerja.
C. PEMBAHASAN 1. Posisi dan Tingkat Persaingan Tenaga Kerja di Indonesia Jika kita perhatikan indikator Human Development Index (HDI) Indonesia masih sangat memprihatinkan, pada tahun 2002 nilainya 0,684 berada pada rangking 110. Pada tahun 2003 HDI Indoneia semakin memburuk menduduki peringkat 112 di bawah Vietnam (109), Thailand (74) dan Brunei Darusalam (31), Korea (30), dan Singapura (28). Selanjutnya pada tahun 2004 dan 2005 HDI Indonesia secara berturut-turut berada pada peringkat 111 dan 110. Menurut “The 2006 Global Economic Forum of Global Competiveness Index (GCI)” yang di-rilis World Economic Forum (WEF), daya saing global Indonesia kini berada pada poisi yang terpuruk. Berdasarkan jumlah penduduk yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan mengalami kenaikan untuk hampir semua golongan pendidikan jika dibandingkan keadaan Agustus 2008, kecuali untuk pekerja dengan pendidikan diploma yang mengalami penurunan sebanyak 100 ribu orang. Begitu juga jika dibandingkan dengan keadaan setahun yang lalu, dimana penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan mengalami kenaikan untuk hampir semua golongan pendidikan, kecuali pekerja dengan pendidikan SD ke bawah yang menurun sebanyak 190 ribu orang. Meskipun secara rata-rata terdapat kenaikan tingkat pendidikan pekerja di Indonesia, tetapi jumlah pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap tinggi, pada Februari 2009 jumlahnya masih sekitar 55,43 juta orang (53,05 persen). Pekerja dengan pendidikan tinggi secara absolut jumlahnya masih relatif kecil, pekerja dengan pendidikan Diploma I/II/III hanya sebesar 2,68 juta orang (2,56 persen) dan pekerja dengan pendidikan sarjana hanya sebesar 4,22 juta orang (4,04 persen). Berikut data penduduk yang bekerja menurut pendidikan:
14
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2012. Muhaimin Instruksikan Program Percepatan Sertifikasi Kerja Untuk Jamin Kompetensi Pekerja Indonesia. Online, http:// menteri.depnakertrans.go.id/?show=news&news_id=828. Diakses pada 20 September 2013.
130
Edmira Rivani
Tabel 1 Penduduk Yang Bekerja Menurut Pendidikan Periode Agustus 2007 – Februari 2009 (dalam Juta Orang)
Pendidikan SD ke bawah
Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas
Sekolah Menengah Kejuruan Diploma I/II/III Sarjana
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010.
2007
Agustus
2008
Februari
Agustus
2009 Februari
56,37
55,62
55,33
55,43
5,79
6,71
6,76
7,19
18,83 12,75 2,60 3,60
19,39 13,90 2,66 3,77
19,04 14,39 2,87 4,15
19,48 15,13 2,68 4,22
Sedangkan jumlah pengangguran pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta orang atau 8,14 persen dari total angkatan kerja. Secara umum Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) total cenderung menurun dibanding TPT Agustus 2008 sebesar 8,39 persen, dan TPT Februari 2008 sebesar 8,46 persen. Jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2008, TPT untuk sebagian besar tingkat pendidikan mengalami penurunan, kecuali TPT untuk pendidikan diploma dan universitas yang mengalami kenaikan. Antara Agustus 2008 ke Februari 2009 TPT untuk pendidikan diploma meningkat dari 11,21 persen menjadi 15,38 persen, dan TPT untuk pendidikan universitas naik dari 12,59 persen menjadi 12,94 persen. Pada semester ini TPT untuk pendidikan SMK adalah yang tertinggi yaitu sebesar 15,69 persen. Jumlah pengangguran pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta orang atau 8,14 persen dari total angkatan kerja. Secara umum Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) total cenderung menurun dibanding TPT Agustus 2008 sebesar 8,39 persen, dan TPT Februari 2008 sebesar 8,46 persen. Jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2008, TPT untuk sebagian besar tingkat pendidikan mengalami penurunan, kecuali TPT untuk pendidikan diploma dan universitas yang mengalami kenaikan. Antara Agustus 2008 ke Februari 2009 TPT untuk pendidikan diploma meningkat dari 11,21 persen menjadi 15,38 persen, dan TPT untuk pendidikan universitas naik dari 12,59 persen menjadi 12,94 persen.15 Penyebab meningkatnya pengangguran pada masa kini, menurut pengamat ketenaga kerjaan lebih cenderung disebabkan oleh kesiapan para lulusan memasuki dunia kerja, baik dari aspek kompetensi maupun profesionalisme tingkat nasional maupun internasional.
15
Badan Pusat Statistik. 2010. Online, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel =1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=4. Diakses pada 2 Oktober 2013.
131
Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja
2. Pengaruh MEA 2015 terhadap Ketenagakerjaan Indonesia Sesuai dengan kerjasama di bidang ekonomi yang diatur dalam komunitas ASEAN, nantinya pasar barang, jasa dan investasi dapat secara bebas bergerak tanpa batasan geografis. Khususnya pada tenaga kerja, MEA 2015 pasti akan berdampak langsung pada ketenagakerjaan Indonesia. Secara teoritis, liberalisasi dalam pasar barang, jasa, modal dan tenaga kerja akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja, karena akan menciptakan kondisi yang mendorong perusahaan untuk mengalokasikan sumber-sumber daya secara lebih efisien. Adanya mobilitas tenaga kerja yang tanpa batas, tentu akan membuat kesempatan kerja bagi angkatan kerja semakin luas dengan cakupan wilayah yang luas pula. Tenaga kerja bisa bebas memilih jenis pekerjaan sesuai dengan yang mereka inginkan dan perusahaan juga dapat memilih tenaga kerja yang sesuai dengan spesifikasinya. Namun, para tenaga kerja Indoensia perlu waspada karena justru ketika pasar barang dan jasa itu dimulai tanpa kesiapan sumber daya manusia yang berkualitas kita hanya akan menjadi penonton kesuksesan di negeri sendiri. Seperti yang saat ini terjadi, jumlah pekerja migran yang besar dari Indonesia didominasi oleh pekerja dengan keahlian rendah (low skilled). MEA 2015 juga menuntut tenaga kerja Indonesia mempunya keahlian yang lebih dari rata-rata agar bisa bersaing dengan tenaga kerja asing dari negara-negara tetangga. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan kualitas dari tenaga kerja Indonesia.
3. Peningkatan Daya Saing Tenaga Kerja Indonesia Harus ada perbaikan mutu atau kualitas dari tenaga kerja Indonesia, supaya mempunyai nilai lebih yang ditawarkan kepada penyedia kerja agar dapat dipertimbangkan di pasar lokal maupun global, bukan sebagai TKI dengan kemampuan rendah. Agar tenaga kerja Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi maka perlu ada korelasi antara input penunjang tenaga kerja, seperti terlihat pada Gambar 2.
132
Edmira Rivani
Gambar 2 Korelasi Antar Input Penunjang Tenaga Kerja
Dari gambar tersebut kita akan memperoleh gambaran mengenai korelasi antara input penunjang tenaga kerja yang diuraikan sebagai berikut:16 a. Kesehatan Kesehatan merupakan komponen sumber daya manusia yang paling mendasar. Hal ini disebabkan oleh suatu pemikiran bahwa tidak akan ada gunanya atau kurang berguna pendidikan seseorang apabila dalam keadaan yang tidak sehat. Segala gagasan, kreativitas dan produktivitas yang maksimal berawal dari kesehatan. Apabila penduduk Indonesia dalam keadaan yang tidak sehat maka daya saing dalam dunia kerja juga tidak akan maksimal. Maka perlu adanya peningkatan kesehatan bagi penduduk Indonesia agar produktivitasnya dapat maksimal. Peningkatan kesehatan dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan mengenai kesehatan. Pendidikan akan menjadi tindakan preventif dalam kesehatan karena dengan pengetahuan tersebut masyarakat dapat hidup sehat. Hidup sehat tersebut yang jangka panjangnya akan meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia karena secara fisik tenaga kerja Indonesia akan kuat. Kesehatan juga dikaitkan dengan kesejahteraan. Ketika kesejahteraan tidak merata yang mengakibatkan ketimpangan sosial, masyarakat golongan menengah kebawah atau kategori miskin akan sulit untuk menjaga kesehatan. Sulitnya menjaga kesehatan atau mengobati sakitnya akan berdampak pada kurang maksimalnya produktivitas mereka yang akan berdampak pada
16
Pratiwi, dkk. 2013. Peningkatan Daya Saing Tenaga Kerja Indonesia Melalui Korelasi Input Penunjang Tenaga Kerja Dalam Menghadapi MEA 2015. Economics Development Analysis Journal Vol.2 No.2Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.
133
Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja
penurunan pendapatan. Hal ini apabila dibiarkan berkelanjutan akan menjadi perputaran kehidupan yang tidak ada peningkatan atau dikenal dengan istilah the vicious circle of pourty. Sehingga kesehatan juga berpengaruh pada perekonomian. Oleh karena itu, perbaikan kesehatan masyarakat harus diperhatikan untuk membangun generasi yang kompetitif. b. Pendidikan Hasil penelitian memperlihatkan adanya hubungan positif antara derajat pendidikan dengan kehidupan ekonomi, dimana semakin tinggi derajat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula derajat kehidupan ekonominya. Terhadap permasalahan ini ternyata banyak bukti yang menunjukkan bahwa antara keduanya terdapat hubungan saling mempengaruhi, yaitu bahwa pertumbuhan pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi mempengaruhi petumbuhan pendidikan.17 Pendidikan juga masih ada kaitannya dengan kesehatan, yaitu pendidikan seseorang yang semakin tinggi akan memungkinkan seseorang menjadi sehat. Dan hal ini, tentu perlu campur tangan dari pemerintah dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat berpenghasilan rendah untuk bisa mengenyam pendidikan agar kehidupannya lebih baik. Kaitannya dengan tenaga kerja, ketika pendidikan dari tenaga kerja semakin tinggi maka kesempatan kerja juga semakin besar. Pendidikan juga akan memberikan akreditasi professional bagi tenaga kerja sehingga jangka panjangnya tenaga kerja Indonesia lebih diperhitungkan oleh penyedia kerja di pasar lokal maupun global. Pendidikan dapat dilakukan melalui pendidikan formal, pendidikan informal maupun pelatihan. Pendidikan sebaiknya menggunakan pendekatan kebutuhan dunia kerja agar manfaat dari ilmu tersebut dapat langsung dirasakan oleh angkatan kerja. Hal tersebut juga perlu dukungan dari teknologi dan komunikasi yang baik. Persiapan tersebut tentu dapat meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia. c. Komunikasi Komunikasi adalah hal yang penting bagi kehidupan. Segala sesuatu dimulai dari komunikasi. Komunikasi yang baik akan meningkatkan produktivitas dan komunikasi yang buruk akan mengurangi kemauan seseorang untuk bekerja sama. Dengan dimulainya MEA 2015 akan ada masalah dalam komunikasi karena bahasa dari tiap-tiap negara berbeda. Khususnya pada tenaga kerja, hal ini akan sedikit berat ketika mereka tidak mampu berbahasa asing. Oleh karena perlu dilakukan pembinaan kepada tenaga kerja kita dalam berbahasa asing untuk memperlancar komunikasi mereka, antara lain dengan:
17
Saripudin. 2008. Makalah Pembangunan Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
134
Edmira Rivani
•
•
Program Ragam Bahasaku Besar Kesempatanku Ini adalah suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa asing bagi tenaga kerja/penduduk Indonesia. Hal ini sangat diperlukan karena pada MEA 2015 kita akan berhadapan dengan penduduk dari berbagai negara. Sehingga, jangan sampai bahasa menjadi penghalang bagi kita untuk berkomunikasi. Program ini sebaiknya dilakukan secepat mungkin agar kita mempunyai daya saing apabila berhadapan dengan tenaga kerja asal Singapura atau Malaysia. Selain meningkatkan daya saing penguasaan bahasa asing dapat mempermudah komunikasi kita yang akan berdampak kepada bertambahnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia di pasar global. Teknologi Di era globalisasi, teknologi dianggap sebagai teman keseharian. Hal itu disebabkan manusia dalam menjalankan aktivitasnya akan selalu menggunakan teknologi meskipun teknologi yang digunakan masih sederhana. Itu juga berlaku bagi tenaga kerja karena mereka selalu menggunakan teknologi dalam menyelesaikan perkerjaan. Perkembangan teknologi jauh lebih cepat dibandingkan dengan tingkat kemahiran seseorang pada suatu teknologi pada jangka waktu tertentu Oleh sebab itu perlu adanya sistem yang mengup-date mengenai teknologi terkini yang dapat dipelajari tenaga kerja. Hal tersebut dilakukan agar tenaga kerja mampu menambah keahlian mereka sehingga daya saing mereka juga akan meningkat.
D. PENUTUP 1. Simpulan Bagi Indonesia peluang terjadinya migrasi tenaga kerja ini berpotensi menguntungkan mengingat tingkat pengangguran Indonesia relatif lebih tinggi dari negara ASEAN lainnya. Melihat kondisi tenaga kerja Indonesia saat ini, Indonesia baru mampu menyediakan lebih banyak tenaga kerja sektor informal. Hingga sekarang sektor ini masih menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja Indonesia. Tingginya penyerapan di sektor informal memperlihatkan betapa sebenarnya kualitas tenaga kerja Indonesia masih cukup rendah. Rendahnya tingkat pendidikan pada tenaga kerja mengakibatkan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan formal dengan tingkat keterjaminan yang relatif lebih baik, terutama dalam bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Potret ini tentunya menjadi kegelisahan yang cukup mengganggu dalam menyongsong pasar tunggal ASEAN, saat arus liberalisasi jasa termasuk jasa profesi baik skillful labor maupun semi-skilled labor akan semakin deras mendekati tahun 2015. 135
Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja
Dimulainya MEA pada tahun 2015 akan memberikan dampak positif dan negatif. Hal tersebut tergantung pada bagaimana kita menyikapi pasar bebas barang dan jasa tersebut. Dengan mempersiapkan kualitas tenaga kerja yang memadai tentu MEA 2015 tidak akan menjadi halangan yang berarti untuk tenaga kerja Indonesia.
2. Rekomendasi Harus ada perbaikan mutu atau kualitas dari tenaga kerja Indonesia, supaya mempunyai nilai lebih yang ditawarkan kepada penyedia kerja sehingga dapat dipertimbangkan di pasar lokal maupun global, bukan sebagai tenaga kerja Indonesia dengan kemampuan rendah. Agar tenaga kerja Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi maka diperlukan input penunjang tenaga kerja yang meliputi kesehatan, pendidikan, komunikasi, dan teknologi.
136
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2010. Online, http://www.bps.go.id/tab_sub/view. php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=4. Diakses pada 2 Oktober 2013.
Firdausy, Charunia. 2004. Liberalisasi Perdagangan dan Investasi di Era Globalisasi. Jakarta: LIPI. Jovanovic, F. 2006. Integration, Disintegration and Trade In Europe: Evaluation of Trade Relation During The 1990s. Working Paper No. 20.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2012. Muhaimin Instruksikan Program Percepatan Sertifikasi Kerja Untuk Jamin Kompetensi Pekerja Indonesia. Online, http://menteri.depnakertrans. go.id/?show=news&news_id=828. Diakses pada 20 September 2013. Okezone. 2012. Inilah 4 Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia, http:// economy.okezone.com/read/2012/09/20/320/692729/redirect. Diunduh pada 15 April 2013
Pratiwi, E. N., dkk. 2013.Peningkatan Daya Saing Tenaga Kerja Indonesia Melalui Korelasi Input Penunjang Tenaga Kerja Dalam Menghadapi MEA 2015. Economics Development Analysis Journal Vol.2 No.2. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang, Semarang. Primasanto, T.A. 2010. Pengiriman Tenaga Kerja Terampil Indonesia ke Luar Negeri: Pelajaran Dari Filipina. Jurnal Diplomasi Vol. 2 No.1, Maret 2010. Jakarta: Kementerian Luar Negeri. Salvatore, D. 2007. International Economic. New York: John Willey & Sons.
Sekretariat ASEAN. 2009. Roadmap For An ASEAN Community 2009-2015. Jakarta: Sekretariat ASEAN. Saripudin, didin. 2008. Makalah Pembangunan Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Tempo. Penganggur Muda Indonesia Tertinggi di Asia. Online, http://www. tempo.co/read/news/2012/04/11/090396328/Penganggur-MudaIndonesia-Tertinggi-di-Asia. Diakses pada tanggal 23 September 2013. 137
INDEKS
A ASEAN, 125, 126, 129, 132, 135 Asia Pasifik, 129 Asia Tenggara, 28, 69, 86, 127 Asahan, 69 Arab Saudi, 86 A.Hamid S. Attamimi, 93 Arifin Purba, 110, 111 Adolf Merkl, 90 Akreditasi, 134 Arief Daryanto, 30
Diah Setia Utami, 111 Domestic, 70 Dissosial, 73 Douglas Mac Gregor, 52
E
B
Belia, 61, 65 Belin, 59, 61, 62 BPS, 10, 18, 19, 28, 31, 38, 43, 86, 129 Bangladesh, 7, 32 BNP2TKI, 87, 99, 100, 101, 109, 111, 119, 120, 122 BPNH, 110 Brunei, 126, 127, 130 Brady, 115
C
Cina, 27, 32, 128 Capital Intensive, 17 Cervantes, 29 Coping, 55
D
Denominasi, 2 David Mechanic, 59 Difabel, 61, 65 Demand, 69, 100, 128 Deli Serdang, 69 Deportasi, 110
Edi Suharto, 62 Eksploitatif, 69, 70 Estimasi Ekonometrika, 27 Empowerment, 74, 75 Eric V. Edmonds, 25 Eksploitatif, 69, 70
F
Filipina, 7, 86, 126, 127, 129 Feminisme, 60 FAO, 28 Fringe Benefit, 3 Frederick Winslow Taylor, 51
G
Gustav Ranis, 21 GCI, 130 Gender, 89, 94, 95, 99 G to G, 101 Guntur Wicaksono, 119 Globalisasi, 62, 125, 128, 135
H
Hungaria, 26 Hongkong, 69, 86 Hans Kalsen, 90, 91, 98 Human capital, 3 HIMPSI, 119,120, 122 HDI, 126, 127, 130 HAM, 101, 102, 110 Horizontal, 91, 98, 101, 102, 103, 105
138
I Industrilisasi, 1, 24, 27, 29, 30, 34 India, 25, 32 Ijon, 71 ILO, 9, 42, 56, 60, 61, 63, 71, 79, 81 ICESCR, 90, 97 IRR, 28 Ilegal, 110 IPEC, 81 Integrasi, 25, 80, 126, 127, 128, 129
J
Jermal, 69, 70, 72, 73, 74, 77 Jepang, 69 Jamsostek, 38, 44, 45 John Fei, 21 Jennifer Tanner, 59 Jawa Barat, 7 Jawa Timur, 7
K
Kolombia, 25 Korea Selatan, 25, 32 Korea, 25, 32, 69, 130 Kamboja, 7, 127 KFM, 4, 5 KHM, 4, 5 KTT ASEAN, 125 Korektif, 70 Komoditas, 10, 25 Konvensi, 71, 79, 81
L
Lansia, 61 Labor Intensive, 17 Lewis – Ranis – Fei, 17, 19, 20, 21, 34 Legal, 9 Labuhan Batu, 69 LPP, 118, 119, 120, 121 Leading Sector, 27 Lisna Y Poelangan, 109 Laos, 127
M
Migran, 62, 65, 86, 88, 97, 98
Model Harrod – Domor – Solow, 24 Murat Ungor, 25 Manufacturing, 4, 13, 30 Malaysia, 86, 87, 126, 127, 135 mEA, 125, 127, 132, 134, 136 Munandar, 114, 115 MDGs , 29 Myanmar, 127 Murphy dan Davidshofer, 113
N
Natura, 2, 3 Normatif, 77, 88, 97, 103, 105
O
ODGJ, 57, 63, 64 Output, 3, 4, 13, 21 Obyektif, 112
P
Pionir, 65 Piece rates, 3, 13 Preventif, 40, 46, 47, 63, 105, 103 Payaman Simanjutak, 42 PHK, 37 Promotif, 40, 46, 47, 63, 65 Pakistan, 7 Pasal 34 UU naker, 98, 102 Pra Employment, 90 Profit, 8, 21 PND, 43 Post Employment, 90 Political Will, 97 PPTKIS, 97, 99, 101, 103, 104, 105, 114, 118, 120 Preferensi, 127 PNB, 56 Persekutuan, 127 PRT, 97 P to P, 101 PKPCTKI, 112, 116, 118, 119, 120
R
Restrukturisasi, 26 Rehabilitatif, 40, 41, 47, 64, 65
139
U
Roosevelt, 88 Rechtidee, 92, 96, 98, 105 Rudolf Stamler, 91, 92 Ramiany Sinaga, 111, 119 Ratifikasi, 71, 81
S
Swedia, 25 Sumatera Utara, 69, 81 Srilangka, 129 Sentralisasi, 6 Sektor formal, 8, 9, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 45, 69, 129 Sri Hery Susilowati, 33 SMERU, 6, 12 Snyderman, 53 Sertifikasi,130 Stufenbautheorie, 90, 98 Skilled labor, 128, 129, 135
T
Tunai, 2 TKI, 86, 97, 99, 100, 102, 103, 105, 115, 118, 119, 132 Take home pay, 3 Time rates, 3 Thomas Herzfeld, 26 Thailand, 7, 127, 130 Thomas Glauben, 26 Tauke, 78 Taiwan, 32, 69, 86 Tes, 112, 113, 121 TPT, 131 Terms of trade, 128
Urbanisasi, 18, 62, 81 United Emirates Arab, 86 UMR, 5, 6 URT, 43 UDHR, 90, 97 UU P3, 93, 98 UNDP, 126 Urbina, 112
V
Vietnam, 7, 26, 126,127, 130 Vertikal, 91, 92, 98, 102, 105
W
Walfare State, 88 Wilken & Breucher, 51, 52, 64
X
Xiaobing Wang, 26
Y
Yuridis, 77, 78, 88, 91, 100, 103, 104, 105
Z
Zhejiang, 27
140