i
PERKEMBANGAN MASALAH GIZI KURANG KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM KETAHANAN PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI DI INDONESIA
ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
ABSTRACT ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI. Trend of Malnutrition in Relation with the Food and Nutrition Security Policy and Program in Indonesia. Under supervision of DRAJAT MARTIANTO and YEKTI HARTATI EFFENDI. Malnutrition, especially severe underweight among under-five years old children is a complex issue in the sense influenced by various aspects, as explained in the framework of UNICEF (1998). The study was aimed to examine development of malnutrition among under-five years old children in Indonesia and associate it with the development of food security policy and nutrition improvement program. A descriptive study designed was implemented and a set of secondary data was used in the study. Data gathering was conducted at corresponding institutions. Data was analyzed using Microsoft Excell 2007 for Windows and Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) 16.0 version. The result showed that the the prevalence of malnutrition has decreased from 37.5% in 1989 to 17.9% in 2010. Policies and programmes for food security and nutrition improvement have been developed over 35 years of the period of Repelita III, IV Repelita V Repelita VI Repelita, Propenas, RPJMN 2004-2009, RPJMN 20102014, and RANPG 2011-2015. During Repelita III (1979-1983), the goal is to achieve self-sufficiency and Repelita VI, food self-sufficiency achieved in 1984. In the period Repelita VI (1994-1998), the target prevalence of PEM (Protein Energy Malnutrition) under-five years old children 30%, and has been reached at the end of Repelita VI 20.7%. In the period Propenas (1999-2004), the target prevalence of malnutrition children 20%, but at the end Propenas this target was not achieved because of the prevalence 27.5%. In RPJMN period (2004-2009) the prevalence of malnutrition among under-five years old children target is 20% and has been reached at 17.9% by the year 2010. Compared with the MDGs by 2015, at 18.5%, the target was exceeded. Trend of present malrition problem are stunting and overweight among under-five years old children. Keywords : Protein Energy Malnutrition, Under Five Years Old Children, Food Security Policy, Nutrition Improvement Program.
iii
RINGKASAN ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI. Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan YEKTI HARTATI EFFENDI. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis perkembangan masalah gizi kurang kaitannya dengan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia. Tujuan khususnya yaitu mempelajari: (1) perkembangan masalah gizi kurang di Indonesia, (2) kebijakan dan program pemerintah dalam mendukung pembangunan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia, (3) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial (tingkat kemiskinan, PDB/kapita, dan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas), (4) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan (proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak dan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak), (5) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar (jumlah posyandu dan cakupan imunisasi lengkap), (6) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan persentase anggaran program perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan dan (7) tren masalah gizi terkini dan kaitannya dengan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi. Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2011 di Bogor, Jawa Barat. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, terdiri dari status gizi balita di Indonesia, akses air minum layak, akses sanitasi layak, cakupan imunisasi lengkap, jumlah posyandu, tingkat kemiskinan di Indonesia, rata-rata lama sekolah penduduk, dokumen kebijakan dan program ketahanan pangan dan gizi (Repelita, Propenas, RPJMN, RANPG) di Indonesia selama tiga puluh lima tahun terakhir (1980-2015). Data-data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 for Windows dan Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) versi 16.0. Pengolahan data status gizi balita dilakukan yakni dengan cara analisis tren terhadap variabel yang diteliti antar waktu selama tiga puluh tahun terakhir yaitu, tingkat kemiskinan, PDB/kapita, rata-rata lama sekolah penduduk, akses air minum layak, akses sanitasi layak, jumlah posyandu, cakupan imunisasi lengkap, dan alokasi anggaran perbaikan gizi. Analisis yang digunakan untuk menganalisis kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dilakukan secara deskriptif dengan metode content analysis (metode analisis isi). Penggunaan analisis isi untuk memilah program/kegiatan dan indikator-indikator apa saja yang dijadikan arah kebijakan pada periode Repelita III-VI, Propenas 1999-2004, RPJMN 2004-2009, RPJMN 2010-2014 dan RANPG 2011-2015. Dengan demikian, penelitian ini akan menguraikan perbedaan atau perbandingan hasil analisis isi terhadap berbagai dokumen kebijakan tersebut terkait ketahanan pangan dan perbaikan gizi selama tiga puluh tahun lima terakhir (1980-2010). Berdasarkan data trend perkembangan gizi kurang, terjadi kecenderungan penurunan prevalensi gizi kurang (gizi buruk dan gizi kurang) pada anak balita dari 37.5% pada tahun 1989 menjadi 17.9% pada tahun 2010. Prevalensi gizi buruk tertinggi terdapat pada tahun 1995, yaitu sebesar 11.6%
iv
atau sebanyak 2.4 juta jiwa balita menderita gizi buruk dari 21.5 juta balita. Prevalensi gizi buruk terendah terdapat pada tahun 2010, yaitu 4.9%, artinya terdapat 4.9% balita yang menderita gizi buruk di Indonesia pada tahun 2010. Berbagai kebijakan dan program yang mendukung ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia sejak Repelita III sampai RPJMN 2004-2009 berpengaruh terhadap perkembangan masalah gizi kurang pada balita. Penguatan produksi pangan terjadi selama periode Repelita III sampai Repelita IV dengan tercapainya swasembada pangan pada periode Repelita IV. Pada periode Repelita V sampai RepelitaVI kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi mulai banyak diarahkan pada distribusi dan konsumsi pangan. Selanjutnya pada periode Propenas 1999-2004, kebijakan ketahanan pangan dan gizi berorientasi pada pengamanan ketersediaan pangan, peningkatan diversifikasi pangan, meningkatkan distribusi pangan, dan mengembangkan kemandirian pangan. Sedangkan pada periode RPJMN 2004-2009, pemerintah mempromosikan “Revitalisasi Pertanian” dengan upaya mencapai swasembada beras maupun non beras melalui pangan alternatif seperti jagung dan singkong, disamping beras. Sedangkan kebijakan dan program perbaikan pada periode ini terlihat semakin “kabur” karena pemerintah lebih mengakomodir hal-hal yang bersifat makro, seperti ketersediaan pangan, dll. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan tingkat kemiskinan, terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara prevalensi gizi kurang dengan PDB/kapita, dan tidak terdapat hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan dasar menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan dengan jumlah posyandu dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan cakupan imunisasi lengkap. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan anggaran perbaikan gizi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan jumlah anggaran perbaikan gizi per balita. Selain gizi kurang, beberapa permasalahan gizi lain yang saat ini mulai bermunculan adalah adanya balita yang pendek/stunting dan masalah gizi lebih. Kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi dalam RPJMN 2010-2014 yang didukung oleh RANPG 2011-2015 menunjukkan bahwa pemerintah memiliki upaya untuk mengatasi masalah gizi terkini seperti stunting yang masih dijumpai pada anak balita, namun pemerintah belum menetapkan suatu target untuk menangani masalah gizi lain seperti masalah gizi lebih yang mulai banyak terjadi pada anak balita maupun pada penduduk usia 15 tahun ke atas.
v
PERKEMBANGAN MASALAH GIZI KURANG KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM KETAHANAN PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI DI INDONESIA
ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
LEMBAR PENGESAHAN Judul
Nama NIM
: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia : Anak Agung Ayu Widi Utari : I14070069
Disetujui : Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Drajat Martianto, M. Si NIP 19640324 198903 1 004
Dosen Pembimbing II
dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked NIP 19471029 197901 2 001
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001
Tanggal Disetujui :
vii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang melimpah sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perkembangan Masalah KEP (Kurang Energi Protein) di Indonesia Kaitannya dengan Kebijakan dan Program di Bidang Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi” . Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk mencapai gelar Sarjana Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan masukan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku dosen pembing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikiran, dengan sabar memberikan masukan, saran,
kritikan,
semangat
dan
motivasi
kepada
penulis
untuk
menyelesaikan skripsi ini. 2. dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked selaku dosen pembing akademik dan dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikiran, dengan sabar memberikan masukan, saran, kritikan, semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji atas segala saran dan masukkan yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Bapak Budi dari Badan Pusat Statistik yang telah membantu penulis untuk
memperoleh
data
indikator
pendidikan
yang
mendukung
penyelesaian skripsi. 5. Bapak Lucky dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang telah membantu penulis untuk memperoleh data anggaran pembangunan yang mendukung penyelesaian skripsi. 6. Ibu Suparmi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan yang telah membantu penulis untuk memperoleh data status gizi yang mendukung penyelesaian skripsi. 7. Kedua orang tua dan keluarga besar Puri Kanginan yang senantiasa memberi dukungan, dorongan, serta semangat kepada penulis. 8. Teman seperjuangan penulis: Devi Sandy Ambarpratiwi, Nesyi Febi Oktarina Putri, dan Elfrida Yuliansari yang telah bekerja sama dalam penelitian.
viii
9. Teman kosan Tilotama: Sukma, Gek Iwik, Renny, Puspita, Ika, Dian, dan Santi yang selalu mendukung dan membantu penulis. Terimakasih untuk kebersamaan, kekeluargaan, dan kerjasamanya. 10. Sahabat-sahabat Gizi Masyarakat 44 (Linda, Riri, Stefani, Riza, Melda, Mayang, Devi Nur, Siha, Fatma, Upil, Atika Primadala, Syifa Aulia, Imam, Anti Kitty, Saskie dan semua yang tidak dapat disebutkan satu per satu), teman-teman KKP Desa Cinagara (Chacha, Novi, Bocad, Adji, dan Gian), juga teman Internship Dietetik RS Kanker Dharmais (Sisil, Chacha, Eka, Merita) terimakasih untuk kerjasama dan kebersamaannya. 11. Keluarga besar Gizi Masyarakat: para pengajar, staf TU, teman-teman angkatan 42, 43 (Mba Chika, Mba Indah, Ka Guntari), 45, 46 atas segala bantuannya. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Akhirnya,
penulis
menyadari bahwa
dalam
penelitian
ini masih
memerlukan saran dan kritik untuk perbaikan dari berbagai pihak. Semoga hasil penelitian ini memberikan manfaat yang nyata dalam perbaikan upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi Kurang Energi Protein di Indonesia.
Bogor, Oktober 2011
Anak Agung Ayu Widi Utari
ix
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Anak Agung Ayu Widi Utari dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 1989. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Agung dan Ibu Ketut. Sejak kecil penulis tinggal di Depok. Penulis menamatkan pendidikan di SD Katolik Maria Cimanggis, Kota Depok tahun 2001, SLTP Katolik Maria Cimanggis, Kota Depok pada tahun 2004, dan SMAN 3 Depok pada tahun 2007. Penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi menjadi mahasiswa IPB pada tahun 2007 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), selanjutnya diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia dengan program Mayor Ilmu Gizi pada tahun 2007. Selama kuliah, penulis pernah tergabung dalam organisasi kampus, yaitu HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi) IPB sebagai anggota klub Gizi Olahraga periode 2009/2010. Selain itu,
penulis juga tergabung dalam
organisasi independen bernama BKG (Badan Konsultasi Gizi) IPB sebagai ketua di divisi hubungan masyarakat periode 2009/2011. Penulis pernah melakukan KKP (Kuliah Kerja Profesi) di Desa Cinagara, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor untuk studi tentang revitalisasi posyandu dengan
peningkatan
partisipasi
masyarakat
melalui
aksi
komunikatif.
Selanjutnya, penulis melakukan Internship Dietetik yang berjudul “Proses Asuhan Gizi pada Kasus Penyakit Dalam, Kasus Bedah, dan Penyakit Anak di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta” pada bulan Februari-Maret 2011. Pengalaman kepanitiaan yang pernah diikuti penulis antara lain INDEX 2009 (Indonesia Ecology Expo), IPB Green Festival 2009, Ecology Sport Event 2010, SENSASIONAL (Seminar Gizi Nasional) tahun 2011.
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................................ x DAFTAR TABEL .................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xv PENDAHULUAN .................................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................................. 2 Kegunaan ......................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 4 Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi............................................. 4 Masalah Kurang Energi Protein (KEP) Anak Balita ........................................ 6 Pengertian KEP ........................................................................................ 6 Klasifikasi KEP .......................................................................................... 7 Penyebab KEP ........................................................................................ 11 Permasalahan KEP di Indonesia ............................................................ 12 Upaya Penanggulangan KEP ................................................................. 14 Faktor yang Berpengaruh Pada KEP ............................................................ 15 Tingkat Kemiskinan................................................................................. 15 Produk Domestik Bruto (PDB) ................................................................ 17 Indikator Pendidikan (BPS 2009) ........................................................... 18 Kesehatan Lingkungan ........................................................................... 19 Pelayanan Kesehatan Dasar .................................................................. 21 Anggaran Perbaikan Gizi ........................................................................ 23 Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi ....................................... 24 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................... 26 METODOLOGI...................................................................................................... 28 Desain, Waktu, dan Tempat .......................................................................... 28 Jenis dan Cara Pengumpulan Data............................................................... 28 Pengolahan dan Analisis Data....................................................................... 30 Asumsi dan Keterbatasan Penelitian............................................................. 31 Definisi Operasional ....................................................................................... 31 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 36 Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang di Indonesia .................................... 36 Kebijakan dan Program Pemerintah dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia ...................................................... 46 Hubungan Parameter Pembangunan Ekonomi dan Sosial dengan Masalah Gizi Kurang...................................................................................... 56 Kemiskinan.............................................................................................. 56 Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita .............................................. 60 Pendidikan .............................................................................................. 63 Hubungan Parameter Pembangunan Kesehatan Lingkungan dengan Masalah Gizi Kurang...................................................................................... 66 Akses Air Minum Layak .......................................................................... 66
xi
Akses Sanitasi Layak .............................................................................. 69 Hubungan Perkembangan Parameter Pembangunan Pelayanan Kesehatan Dasar dengan Masalah Gizi Kurang ........................................... 73 Posyandu ................................................................................................ 73 Cakupan Imunisasi Lengkap .................................................................. 75 Hubungan Perkembangan Anggaran Program Perbaikan Gizi dengan Masalah Gizi Kurang...................................................................................... 77 Pembiayaan Kesehatan.......................................................................... 77 Tren Masalah Gizi Terkini dan Kaitannya dengan Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi ........................................................................... 81 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 85 Kesimpulan .................................................................................................... 85 Saran .............................................................................................................. 86 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 87 LAMPIRAN ........................................................................................................... 91
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NCHS ................................ 7
2
Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI ...................................... 8
3
Klasifikasi KEP menurut Gomez...................................................................... 8
4
Klasifikasi KEP menurut McLaren ................................................................... 8
5
Klasifikasi KEP menurut Trust Party................................................................ 9
6
Klasifikasi KEP menurut Waterflow ................................................................. 9
7
Klasifikasi KEP menurut Jellife ........................................................................ 9
8
Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score .................................. 10
9
Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < -2 SD) 1990-2001 ........................... 13
10 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian.................... 28 11 Jenis variabel, kategori, tahun, dan keterangan variabel penelitian ............. 30 12 Trend perkembangan KEP dan gizi kurang pada balita di Indonesia periode Repelita III-RPJMN ........................................................................... 38 13 Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia tahun 1989-2010 menurut indeks BB/U dengan status masalah kesehatan secara nasional . 41 14 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita III sampai Repelita IV ...................................................................... 48 15 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita V sampai Repelita VI ....................................................................... 49 16 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Propenas sampai RPJMN 2004-2009 ........................................................... 50 17 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia tahun 1989-2010 ............................................................................................ 56 18 Perkembangan tingkat kemiskinan dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 ............................................................................................ 57 19 Perkembangan PDB per kapita di Indonesia tahun 1989-2010 dan status masalah kesehatan secara nasional ............................................................. 61 20 Perkembangan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia tahun 1995-2010 dan status masalah kesehatan secara nasional ............................................................................ 63
xiii
21 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan di Indonesia tahun 1989-2010 ............................................................................................ 66 22 Perkembangan akses air minum layak dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 ............................................................................................ 67 23 Perkembangan akses sanitasi layak dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 ............................................................................................ 70 24 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar di Indonesia tahun 1989-2010 ............................................................................................ 73 25 Perkembangan jumlah posyandu dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 ............................................................................................ 74 26 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan perkembangan anggaran program perbaikan gizi tahun 1989-2010............ 77 27 Perkembangan persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran Depkes dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 ....................... 78 28 Permasalahan gizi masyarakat lainnya tahun 2007 ..................................... 81 29 Cakupan upaya perbaikan gizi masyarakat tahun 2007 ............................... 82 30 Kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode RPJMN 2010-2014 dan RANPG 2011-2015 ................................................................................. 83
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Penyebab KEP (Kurang Energi Protein) menurut UNICEF (1998) disesuaikan dengan kondisi Indonesia .......................................................... 27
2
Perkembangan prevalensi gizi kurang menurut indeks BB/U WHO-NCHS pada balita di Indonesia tahun 1989-2010 beserta Target MDGs
3
dan RPJMN 2009 ................................................................ 40
Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%) dengan tingkat kemiskinan (%) di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir (1989-2010) ......................... 59
4
Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan PDB per kapita di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir (1989-2010) ......................... 62
5
Hubungan antara rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas dengan prevalensi gizi buruk (%) di Indonesia pada tahun 1995-2010 ....... 64
6
Hubungan antara rata-rata lama sekolah dengan prevalensi gizi kurang (%) di Indonesia pada tahun 1995-2010 .................................... 65
7
Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%)dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) di Indonesia (1989-2010) ............................................................................... 71
8
Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) di Indonesia (1989-2010) ............................................................................... 72
9
Perkembangan cakupan imunisasi lengkap pada balita di Indonesia tahun 1991-2010 .......................................................................................... 75
10 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan anggaran perbaikan gizi per balita di Indonesia (1989-2010) ....................................... 79
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Lampiran 1 Kaitan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dengan perkembangan KEP pada balita di Indonesia .......... 92
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa kualitas SDM sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan antara lain oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Hal ini sejalan dengan WHO (1999) menyatakan bahwa gizi adalah pilar utama dari kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Sejak janin dalam kandungan, bayi, balita, anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut, makanan yang memenuhi syarat gizi merupakan kebutuhan utama untuk pertahanan hidup, pertumbuhan fisik, perkembangan mental, prestasi kerja, kesehatan, dan kesejahteraan (Supariasa et al 2001). Masalah gizi merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi yang luas karena penyebabnya multi faktor dan multi dimensi, tidak hanya merupakan masalah kesehatan tetapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan. Menurut kerangka pikir UNICEF (1990) masalah gizi berakar pada masalah ketersediaan, distribusi, dan keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku masyarakat.
Dengan
demikian
masalah
pangan
dan
gizi
merupakan
permasalahan berbagai sektor dan penyelesaiannya menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, langkah-langkah penanggulangannya juga harus dirumuskan dan dilaksanakan bersama. Meski secara makro ketersediaan pangan sangat penting untuk menjamin ketahanan pangan nasional, namun untuk menjamin tercapainya status gizi yang baik yang diperlukan adalah akses terhadap pangan. Seperti diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang seperti yang terjadi pada tahun 1990. Oleh karena itu, pada tahun 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan pernyataan tentang perlunya upaya global untuk peningkatan kesejahteraan manusia sebagai salah satu ukuran pencapaian ketahanan pangan melalui Millenium Development Goals (MDGs) dengan sasaran pertamanya bukan pada tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat.
2
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa tahun 2015 setiap Negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dan menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi (mengkonsumsi energi kurang dari 70% kebutuhan untuk hidup sehat). Kedua indikator tersebut mencerminkan tingginya keterkaitan antara kondisi ketahanan pangan dengan status gizi masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan 2009). Menurut World Bank (2006), masalah gizi kurang maupun gizi lebih tidak dapat ditangani hanya dengan kebijakan dan program jangka pendek sektoral yang tidak terintegrasi. Pengalaman negara berkembang yang berhasil mengatasi masalah gizi secara tuntas dan berkelanjutan, seperti Thailand, Cina dan Malaysia, menunjukkan perlunya strategi kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan pembangunan bidang ekonomi, pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan keluarga berencana yang saling terkait dan terintegrasi untuk meningkatkan status gizi masyarakat. Selama ini kajian mengenai masalah gizi lebih banyak dikaji dari aspek mikro berupa analisis determinan masalah gizi dan belum banyak diarahkan dari berbagai kebijakan di bidang ketahanan pangan dan kesehatan yang ada pada saat itu. Padahal berbagai kebijakan tersebut saling mempengaruhi program intervensi yang dijalankan dengan masalah gizi. Untuk itu peneliti mencoba untuk mengkaji perkembangan masalah gizi di Indonesia dan mengaitkannya dengan perkembangan kebijakan di bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi. Pemilihan rentang waktu antara tahun 1980 sampai 2010 mempertimbangkan banyaknya perubahan yang
terjadi dalam sistem ketatanegaraan di bidang
kebijakan ketahanan pangan maupun perbaikian gizi selama periode tersebut. Selanjutnya, Pemerintah diharapkan dapat menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi terutama dari segi ketahanan pangan dan kesehatan guna mengatasi masalah gizi yang terjadi di Indonesia. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis perkembangan masalah gizi kurang kaitannya dengan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia.
3
Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1.
Mempelajari perkembangan masalah gizi kurang di Indonesia.
2.
Mempelajari kebijakan
dan
program
pemerintah
dalam
mendukung
pembangunan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia. 3.
Mempelajari
keterkaitan
prevalensi
gizi
kurang
dengan
parameter
pembangunan ekonomi dan sosial (tingkat kemiskinan, PDB/kapita, dan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas) 4.
Mempelajari keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter kesehatan lingkungan (proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak dan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak).
5.
Mempelajari keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pelayanan kesehatan dasar (jumlah posyandu dan cakupan imunisasi lengkap).
6.
Mempelajari keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan persentase anggaran program perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan.
7.
Mempelajari tren masalah gizi terkini dan kaitannya dengan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi Kegunaan Penelitian
ini diharapkan
dapat memberikan
informasi mengenai
perkembangan masalah gizi kurang dan kaitannya dengan kebijakan di bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia serta beberapa indikator parameter pembangunan ekonomi dan sosial, parameter pembangunan kesehatan, parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar dan anggaran program perbaikan gizi serta menmpelajari tren masalah gizi terkini. Penelitian ini juga dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dan pihak terkait untuk memutuskan suatu kebijakan atau program yang tepat terkait dengan masalah akses pangan, gizi, dan kesehatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
4
TINJAUAN PUSTAKA Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi Kesejahteraan suatu bangsa tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu negara dapat diketahui dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Komponen IPM yang dijadikan ukuran kualitas SDM suatu bangsa terdiri atas tingkat ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Posisi IPM Indonesia berada pada urutan ke 108 dari 177 negara (Dewan Ketahanan Pangan 2007). Jika dilihat dari tingkat kemiskinan, sekitar 40 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan akan berdampak pada penurunan kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal tersebut akan berakibat pada kekurangan gizi diindikasikan dari status gizi anak balita dan wanita hamil. Pada akhirnya berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas. Dalam jangka pendek, Indonesia akan mengalami kesulitan dalam mencapai pembangunan nasional yang optimal. Pangan merupakan modal dasar pembangunan, berperan sebagai sumber zat gizi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM.
Dalam
Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 1999-2004, pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Investasi pembangunan tidak hanya terbatas pada sarana fisik, tetapi mencakup kebutuhan pokok, kesehatan dan kesejahteraan sosial (Karsin 2004). Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri. Strategi pencapaian tujuan tersebut adalah melalui Indonesia Sehat 2010 dengan difokuskan pada terbentuknya manusia yang berkualitas. Indikator manusia yang berkualitas tersebut adalah: a. manusia yang mampu hidup lebih lama (terukur dari umur harapan hidup) b. dapat menikmati hidup sehat (terukur dari angka kesakitandan kurang gizi), c. mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan (terukur dengan angka melek huruf dan tingkat pendidikan) d. hidup dengan sejahtera (terukur dengan tingkat pendapatan per kapita yang cukup memadai atau bebas kemiskinan) Sejalan dengan itu, tujuan dan arah pembangunan pangan dan gizi adalah perbaikan konsumsi pangan menuju pola pangan harapan Indonesia dan status gizi untuk meningkatkan kualitas SDM. Adapun startegi pencapaiannya
5
adalah melalui peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, pengawasan disteribusi pangan serta partisipasi masyarakat (Karsin 2004). Dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006-2010 terdapat strategi untuk mengatasi masalah gizi, baik itu strategi jangka pendek maupun jangka panjang. Strategi jangka pendek terdiri atas kebijakan yang mendorong ketersediaan pelayanan, kebijakan yang meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan, dan kebijakan yang mendorong perubahan ke arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui pendidikan gizi dan kesehatan. Kebijakan
yang
mendorong
ketersediaan
pelayanan,
diantaranya
pelayanan gizi dan kesehatan yang berbasis masyarakat (contoh posyandu), pemberian suplemen zat gizi mikro, pemberian bantuan pangan kepada anak kurang gizi dari keluarga miskin, fortifikasi bahan dan biofortifikasi. Kebijakan yang meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan, meliputi bantuan langsung tunai (BLT) bersyarat bagi keluarga miskin, pemberian kredit mikro untuk pengusaha kecil dan menengah, pemberian makanan, khususnya pada waktu darurat, pemberian suplemen zat gizi mikro, khususnya zat besi, vitamin A dan zat yodium, bantuan pangan langsung kepada keluarga miskin, dan pemberian kartu miskin untuk keperluan berobat. Kebijakan yang mendorong perubahan ke arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui pendidikan gizi dan kesehatan. Pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan anggota keluarga khususnya kaum perempuan tentang gizi seimbang, memantau berat badan bayi dan anak sampai usia 2 tahun, pengasuhan bayi dan anak yang benar, air bersih dan kebersian diri serta lingkungan, dan pola hidup sehat lainnya seperti berolah raga, tidak merokok, makan sayur dan buah setiap hari. Strategi jangka panjang
terdiri atas
kebijakan
yang mendorong
penyediaan pelayanan, kebijakan yang mendorong terpenuhinya permintaan atau kebutuhan pangan dan gizi, dan kebijakan yang mendorong perubahan perilaku hidup sehat dan gizi yang baik bagi anggota keluarga. Kebijakan yang mendorong penyediaan pelayanan meliputi, pelayanan kesehatan dasar, penyediaan air bersih dan sanitasi, pengaturan pemasaran susu formula, kebijakan pertanian pangan untuk menjamin ketahanan pangan, kebijakan pembangunan industri pangan, memperbanyak fasilitas olah raga bagi masyarakat.
Kebijakan
yang
mendorong
terpenuhinya
permintaan
atau
6
kebutuhan pangan dan gizi, seperti pembangunan ekonomi yang meningkatkan pendapatan rakyat miskin, pembangunan ekonomi dan sosial yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat miskin, pembangunan yang menciptakan lapangan kerja, kebijakan fiskal, dan harga pangan yang meningkatkan daya beli masyarakat miskin, dan pengaturan pemasaran pangan yang sehat dan aman. Kebijakan yang mendorong perubahan perilaku yang mendorong hidup sehat dan gizi baik bagi anggota keluarga, seperti meningkatkan kesetaraan gender, mengurangi beban kerja wanita terutama pada waktu hamil, dan meningkatkan pendidikan wanita baik pendidikan sekolah maupun diluar sekolah. Strategi-strategi di atas tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan melibatkan banyak pelaku, yaitu pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Kemitraan menunjukkan
antara
adanya
pemerintah
proses
dengan masyarakat dan
pembangunan
yang
berkelanjutan
swasta dalam
memanfaatkan sember daya yang ada sehingga dapat terwujud tujuan pembangunan nasional yaitu ketahanan pangan sampai tingkat rumah tangga. Masalah Kurang Energi Protein (KEP) Anak Balita Pengertian KEP Selama empat dekade terakhir, terjadi transisi penggunaan istilah KEP pada anak balita di Indonesia. Pada masa Repelita I (1970) sampai akhir Repelita V (1993) istilah yang sering digunakan untuk masalah kekurangan gizi makro pada anak balita adalah KKP atau Kurang Kalori dan Protein. Istilah tersebut berubah pada masa Repelita VI (1994-1998) menjadi KEP atau Kurang Energi Protein dan kembali berubah menjadi gizi kurang (baku WHO NCHS) pada masa Propenas (1999-2004) hingga saat ini. Adanya perubahan istilah KEP menjadi gizi kurang disebabkan oleh beberapa hal seperti, adanya perbedaan pengertian dan istilah yang digunakan pada tiap periode pembangunan serta adanya perbedaan dalam pengukuran antropometri untuk mengklasifikasikan status gizi balita. Kurang Energi Protein (KEP) didefinisikan sebagai masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan yang tidak cukup menjadi energi dan protein serta karena gangguan kesehatan (Soekirman 2000). Menurut Almatsier (2001), KEP merupakan suatu kondisi dimana tubuh mengalami sindroma gabungan antara kekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan berat badan dan umur, tinggi badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan pada balita (Atmarita
7
dan Tatang S. Fallah 2004). Selain perbedaan tersebut, istilah KEP dan gizi kurang juga dibedakan karena metode pengukuran dalam mengklasifikasikan status gizi balita juga berbeda. Pada pengklasifikasian masalah KEP, metode pengukuran yang digunakan adalah persentase terhadap nilai median, sedangkan untuk klasifikasi masalah gizi kurang digunakan metode pengukuran terhadap skor simpangan baku/standar deviasi. Klasifikasi KEP Manifestasi KEP dapat ditentukan dengan mengukur status gizi balita. Status gizi balita mencerminkan status gizi masyarakat, oleh karena itu untuk menilainya dapat menggunakan pendekatan penilaian status gizi golongan anak balita. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi pangan, antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 2001). Penilaian status gizi antropometri merupakan penilaian yang umum digunakan. Ada dua jenis baku acuan dalam mengklasifikasikan status gizi, yaitu baku lokal dan internasional. Terdapat beberapa baku acuan internasional, yaitu Havard (Boston), WHO-NCHS, Tanner dan Kanada. Havard dan WHO-NCHS adalah yang paling umum digunakan di seluruh negara. Data baku rujukan WHONCHS disajikan dalam dua versi yaitu persentil dan Z-score. Sejak
tahun
80-an
Indonesia
menggunakan
dua
baku
acuan
internasional, yaitu Havard dan WHO-NCHS. Semiloka Antropometri Ciloto (1991) menyarankan pengajuan penggunaan secara seragam baku rujukan WHO-NCHS sebagai pembanding dalam penilaian status gizi dan pertumbuhan baik perorangan maupun masyarakat. Pada penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP, klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut: 1. Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS Tabel 1 Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NCHS Klasifikasi KEP BB/U BB/TB Ringan 70-80% 80-90% Sedang 60-70% 70-80% Berat <60% <70%
2. Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI Klasifikasi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:
8
Mild Moderate Severe
Tabel 2 Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI BB/TB TB/U (berat menurut tinggi) (tinggi menurut umur) 80-90% 90-94% 70-79% 85-89% <70% <85%
3. Klasifikasi Menurut Gomez (1956) Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan dengan berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur. Tabel 3 Klasifikasi KEP menurut Gomez
Derajat KEP
Berat badan % dari baku 90% 89-75% 74-60% <60%
0 (normal) 1 (ringan) 2 (sedang) 3 (berat)
4. Klasifikasi Menurut McLaren (1967) McLaren mengklasifikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya. Gejala klinis disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total protein serum. Tabel 4 Klasifikasi KEP menurut McLaren Gejala klinis/laboratoris Edema Dermatosis Edema disertai dermatosis Perubahan pada rambut Hepatomegali Albumin serum atau protein total serum/g % <1.00 <3.25 1.00-1.49 3.25-3.99 1.50-1.99 4.00-4.74 2.00-2.49 4.75-5.49 2.50-2.99 5.50-6.24 3.00-3.49 6.25-6.99 3.50-3.99 7.00-7.74 >4.00 >7.75
Angka 3 2 6 1 1 7 6 5 4 3 2 1 0
Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap penderita: 0-3 angka
: marasmus
4-8 angka
: marasmic-kwashiorkor
9-15 angka
: kwashiorkor
9
Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalaahan jika dibandingkan dengan cara Welcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan laboratorium. 5. Klasifikasi Menurut Welcome Trust Party (1970) Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun jika cara ini diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan mendapat pengobatan diet, maka akan dapat dibuat diagnosa yang salah. Seperti pada penderita kwashiorkor (edema, berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang lain) yang sudah dirawat satu minggu, edema pada tubuh pasien tidak terlihat lagi dan berat badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala yang seperti itu akan didiagnosis sebagai penderita marasmus. Tabel 5 Klasifikasi KEP menurut Trust Party Edema Berat badan % dari baku Tidak ada Ada >60% Gizi kurang Kwashiorkor <60% Marasmus Marasmik-Kwashiorkor
6. Klasifikasi Menurut Waterlow (1973) Waterflow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan menahun.
Waterflow
berpendapat
bahwa
defisit
berat
menurut
tinggi
mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering). Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya. Tabel 6 Klasifikasi KEP menurut Waterflow Derajat Gangguan Stunting (BB/U) Wasting (BB/TB) 0 > 95% >90% 1 95-90% 90-80% 2 89-85% 80-70% 3 <85 <70%
7. Klasifikasi Menurut Jellife Jellife mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB) menurut umur (U) sebagai berikut: Tabel 7 Klasifikasi KEP menurut Jellife Kategori BB/U (% baku) KEP I 90-80 KEP II 80-70 KEP III 70-60 KEP IV <60
10
Menurut Depkes (1997), terdapat beberapa istilah yang digunakan di lapangan dalam mengklasifikasikan KEP, seperti KEP nyata dan KEP total. KEP total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat (BB/U < 80% baku median WHO-NCHS). Sedangkan KEP nyata adalah menghitung strata KEP sedang dan KEP berat dan pada KMS berada di bawah garis merah (tidak ada pemisah antara KEP sedang dan KEP berat pada KMS). Adanya transisi perubahan istilah KEP, maka sejak awal periode Propenas (1999) semua data berat badan dan tinggi badan setiap balita sejak tahun 1989 dikonversikan ke dalam bentuk nilai tertandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masingmasing indeks maka status gizi balita dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Indeks BB/U
TB/U
BB/TB
IMT/U
Tabel 8 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score Nilai Z-score Kategori Z-score <-3.0 Gizi buruk -3.0<-Z-score<2.0 Gizi kurang -2.0≤ Z-score ≤2.0 Gizi baik Z-score >2.0 Gizi lebih Z-score <-3.0 Sangat pendek -3.0≤ Z-score <-2.0 Pendek Z-score ≥-2.0 Normal Z-score <-3.0 Sangat kurus -3.0≤ Z-score <-2.0 Kurus -2.0 ≤ Z-score ≤2.0 Normal Z-score >2.0 Sangat kurus Z-score ≥ 3.0 severe obese 2.0 ≤ Z-score ≤ 3.0 obese 1.0 ≤ Z-score < 2.0 Overweight -2.0 < Z-score < 1.0 Normal -2.0 ≤ Z-score < -3.0 Thinness Z-score ≤ -3.0 severe thinness
Sumber: Riskesdas 2007
Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan gizi kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah balita tersebut bersifat kronis atau akut. Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak
11
lama (singkat), misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus (Depkes 2010a). Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut:
Penyebab KEP Menurut UNICEF (1998) dalam Soekirman (2000), penyebab timbulnya KEP pada anak balita terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penyebab langsung, penyebab tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. UNICEF (United Nations Children’s Found) menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kedua penyakit tersebut saling berpengaruh. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan sumber energi dan protein yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang, dan aman. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Untuk itu, cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersediaanya air minum bersih dan higienis sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung (Bappenas 2010a). Menurut Soekirman (2000), penyebab langsung diatas muncul akibat faktor tidak langsung, yaitu tidak cukup tersedianya pangan dalam keluarga, pola pengasuhan anak yang kurang memadai, keadaan sanitasi yang buruk, tidak tersedianya air bersih, dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan Faktor penyebab tidak langsung, selain sanitasi dan penyediaan air bersih, yaitu kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi udara dalam rumah yang baik, ruangan dalam terkena sinar matahari dan lingkungan rumah yang bersih. Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan. Selanjutnya, pola
12
asuh bayi dan anak serta jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat turut menjadi penyebab tidak langsung KEP. Pola asuh, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, akses informasi dan tingkat pendapatan keluarga Ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, yang tercermin dari rendahnya konsumsi pangan dan status gizi masyarakat. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah gizi masyarakat seperti KEP merupakan salah satu tumpuan penting dalam
pembangunan
ekonomi,
politik
dan
kesejahteraan
sosial
yang
berkelanjutan (Bappenas 2010a). Permasalahan KEP di Indonesia Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup (Atmarita & Fallah 2004). Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan ketika "bencana" kelaparan dan gizi buruk terus mewarnai berita-berita di media massa sepanjang tahun 2005. Belum reda dengan pemberitaan mengenai kasus gizi buruk di berbagai daerah yang dimulai awal tahun 2005, menjelang akhir tahun 2005 lagilagi masyarakat dikejutkan oleh munculnya pemberitaan mengenai kelaparan di Yahukimo,
sebuah
kabupaten
pemekaran
di
Propinsi
Papua
yang
mengakibatkan tak kurang dari 50 orang meninggal akibat kurang pangan (Martianto & Soekirman 2006 ). Gencarnya pemberitaan mengenai masalah kelaparan dan gizi buruk sangat memprihatinkan mengingat masalah kurang pangan dan gizi buruk ini bukan masalah baru, bisa terdeleksi secara dini dan dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangannya. Kejadian serupa, khususnya untuk gizi buruk, juga "baru" saja terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1998-2000 lalu. Padahal pada saat itu media massa juga sangat gencar memberitakan masalah gizi buruk ini. Dalam hal ini nampaknya kita telah menjadi bangsa yang cepat "lupa" tentang permasalahan yang dihadapi sehingga menjadi tidak waspada bahwa masalah gizi buruk ini bisa mencuat lagi ke permukaan kapan saja. Soekirman (2005), menyebutkan bahwa merebaknya masalah gizi buruk
13
ini adalah karena kita semua tidak waspada. Ketidakwaspadaan ini disebabkan instrumen-instrumen yang selama ini dikembangkan unluk mencegah dan menanggulangi masalah pangan dan gizi cenderung tidak dimanfaatkan, bahkan ditinggalkan. Selama ini di Indonesia telah dikembangkan suatu sistem isyarat dini (early warning system) untuk mengantisipasi terjadinya masalah pangan dan gizi yang disebut dengan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). SKPG yang
dikembangkan
mencakup
SKPG
untuk
mengantisipasi
terjadinya
kerawanan pangan/ kelaparan dan SKPG untuk mengantisipasi masalah gizi buruk yang implementasinya dilakukan melalui pemantauan berat badan anak balita di Posyandu. Karena masalah gizi buruk yang merebak akhir-akhir ini tidaklah "instan” atau terjadi begitu saja, melainkan merupakan suatu proses yang cukup panjang sejak terjadinya eksposure (intake makanan yang rendah dan
infeksi
penyakit
hingga
manifestasinya
dalam
bentuk
marasmus,
kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor), maka masalah ini seharusnya bisa dicegah bila sistem kewaspadaan tersebut berjalan dengan baik (Martianto 2006). Kajian gizi kurang lainnya adalah beberapa studi yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Seperti terlihat pada Tabel 9, prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2 SD) setelah tahun 1992 berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting diatas 10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita (Atmarita dan Fallah 2004). Tabel 9 Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < -2 SD) 1990-2001 IBT, 90 Suvita, 92 SKIA, 95 SKRT, 95 Ev. JPS, 99 SKRT, 01 Total 9.7 8.6 13.4 11.6 13.7 15.8 Laki-laki 10.8 9.5 13.9 13.3 16.9 Perempuan 8.7 7.6 12.7 10.0 14.5 Kota 13.5 14.0 15.2 Desa 13.3 13.7 16.2 IBT = Survei Indonesia Bagian Timur, Suvita – Survei Nasional Vitamin A; SKIA = Survei Kesehatan Ibu dan Anak; Ev. JPS = Evaluasi Jaring Pengaman Sosial; SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga; Sumber: Atmarita & Fallah dalam WKNPG VIII (2004).
Hasil RISKESDAS 2007 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk dan gizi kurang secara nasional sebesar 18.4%. Angka prevalensi gizi buruk pada
14
balita di Indonesia yang umumnya tinggi ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu tingginya prevalensi gizi kurang, pola pengasuhan anak yang buruk, balita tidak cukup mendapatkan makanan yang bergizi seimbang, serta pelayanan kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat. Upaya Penanggulangan KEP Menurut Soekirman (2000), upaya pencegahan dan penanggulangan KEP tidak cukup dari aspek pangan atau makanannya saja misalnya dengan meningkatkan produksi dan persediaan pangan, tetapi juga dengan mengkaji tingkat ekonomi dan pendidikan keluarga untuk mengatasi masalah kurang gizi yang terjadi. Pada umumnya, KEP pada orang dewasa lebih banyak menceminkan kemiskinan. Pada anak-anak, selain ekonomi terdapat faktor lain yang menyebabkan timbulnya KEP. Berbagai upaya lain di luar ekonomi harus berjalan bersama-sama saling melengkapi (komplementer) dengan upaya perbaikan ekonomi khususnya pengentasan kemiskinan. Upaya lain yang dimaksud adalah upaya yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh sasaran yaitu masyarakat beresiko tinggi menderita KEP (terutama anak balita). Sedangkan upaya perbaikan ekonomi merupakan upaya tidak langsung karena hasilnya tidak hanya dirasakan oleh kelompok sasaran, tetapi juga oleh masyarakat umum. Upaya yang langsung ke sasaran berupa pelayanan dasar gizi, kesehatan, dan pendidikan. Upaya tidak langsung meliputi: (a) jaminan ketahanan pangan (food security) sehingga setiap keluarga dan penduduk miskin dapat dipenuhi hak asasinya yaitu hak untuk memperoleh makanan yang cukup, (b) memperluas kesempatan kerja untuk meningkatkan daya beli, dan (c) membangun
dan mengembangkan
industri kecil dan
menengah
untuk
memberikan kesempatan kepada penduduk miskin meningkatkan pendapatan melalui produksi barang dan jasa. Disamping upaya langsung dan tidak langsung, terdapat upaya lain untuk memantau status gizi masyarakat di tingkat keluarga dan perorangan dari waktu ke waktu. Upaya pemantauan ini merupakan salah satu program gizi yang dilakukan di banyak negara termasuk di Indonesia dan disebut sebagai program kewaspadaan pangan dan gizi atau food and nutritional survelance. Menurut Arisman (2004), penanggulangan KEP harus dilakukan pada taraf makro dan taraf mikro. Penanggulangan taraf makro meliputi perbaikan ekonomi negara, peningkatan pendidikan umum, dan pendidikan gizi, penerapan
15
serta penyuluhan gizi, peningkatan produksi bahan makanan dan peningkatan upaya-upaya
pasca panen untuk menghindarkan
penghamburan
bahan
makanan (waste) dan peningkatan hygiene lingkungan maupun perorangan. Selain itu, Keluarga Berencana (KB) juga merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap prevalensi KEP dalam masyarakat. Penanggulangan pada taraf makro ini merupakan upaya yang harus dilakukan secara serempak oleh berbagai instansi yang memerlukan koordinasi. Penanggulangan dalam lingkup mikro bberhubungan dengan kondisi keluarga dan para anggota keluarga. Faktor-faktor penyebab KEP disini adalah kurangnya konsumsi, daya beli keluarga yang rendah, infeksi cacing, pendidikan umum, dan pengetahuan gizi yang rendah, dan terlalu banyak anak dalam keluarga. Faktor-faktor kelompok mikro ini harus ditinjau satu per satu dan dicari alternatif perbaikan atau pemecahannya. Faktor yang Berpengaruh Pada KEP Kerangka konsep UNICEF memperlihatkan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status kesehatan dan gizi buruk. Mulai dari krisis sosial ekonomi dan politik, kemiskinan, pendidikan, pola asuh, kesehatan lingkungan, ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, dan penyakit infeksi/non-infeksi. Ditinjau dari sudut pandang nasional, studi mengenai masalah kurang gizi memerlukan analisis sosial ekonomi yang luas dan bukan pendekatan secara diagnostis dan pengobatan perseorangan. Keadaan sosial ekonomi berkaitan dengan akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar terdiri atas pangan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Akses pangan terdiri atas 3 (tiga) aspek yaitu aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Aspek ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang dinilai dari PDB atau dari tingkat kemiskinan. Aspek sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikan. Ketiga aspek tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap akses masyarakat terhadap pangan tetapi berpengaruh pula terhadap kebutuhan dasar yang lainnya, termasuk kesehatan. Berikut diuraikan akses pangan dilihat dari dimensi sosial dan ekonomi. Tingkat Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah mendasar yang menjadi perhatian semua negara. Pada kerangka UNICEF (1990), kemiskinan dianggap sebagai akar penyebab terjadinya masalah gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa apabila jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah meningkat maka peluang
16
terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu, kemiskinan merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa. BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan tersebut memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memilki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKNM). Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkal per kapita per hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. Garis makanan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi untuk perkotaan dan 47 jenis untuk pedesaan. World Bank menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hai ini bermanfaat dalam menentukan arah penyaluran sumber daya finansial dan menganailisi kemajuan dalam memberantas kemiskinan. Ukuran yang digunakan Bank Dunia ada dua, yaitu pendapatan US$ 1 per kapita per hari dan pendapatan US$ 2 per kapita per hari. Selain menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), BPS juga membedakan penduduk miskin menurut sifatnya yaitu kemiskinan sementara (transient poverty) dan kemiskinan kronis (chronic poverty). Penduduk yang termasuk dalam kemiskinan sementara adalah mereka yang pengeluaran konsumsinya sedikit berada di bawah garis kemiskinan. Pada umumnya, penduduk miskin sementara (transient poor) disebabkan oleh memburuknya keadaan perekonomian sehingga pendapatan orang tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum. Sedangkan penduduk miskin kronis adalah mereka yang pengeluaran konsumsinya berada jauh di bawah garis kemiskinan. Mereka pada umumnya tidak mempunyai akses yang cukup terhadap sumber daya ekonomi (BPS 2008a). Penduduk miskin dalam penelitian ini diartikan sebagai penduduk yang memiliki nilai konsumsi di bawah garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran penduduk untuk dapat memenuhi konsumsi
17
sebesar 2.100 kalori serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin dihitung atas dasar jumlah penduduk miskin di suatu wilayah dibagi dengan jumlah total penduduk wilayah tersebut, dinyatakan dalam persen. Masalah
gizi
berkaitan
dengan
masalah
kemiskinan
merupakan
“lingkaran setan” yang menjadi penghambat bagi pembangunan negara. Situasinya dapat digambarkan seperti berikut. Kemiskinan menyebabkan makanan tidak seimbang sehingga menjadi kurang gizi yang pada akhirnya akan sakit. Keadaan tersebut menyebabkan pertumbuhan badan terhambat dan proses belajar menjadi lambat yang mengakibatkan individu dewasa menjadi kecil dan produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas berdampak pada kemampuan bekerja yang rendah sehingga akan menimbulkan pengangguran. Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan kemiskinan kembali, dan akan seperti itu seterusnya (Suhardjo 1989b). Bappenas (2007) menyebutkan bahwa dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat. Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut pengertian ekonomi, produk domestik bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional. PDB berbeda dari produk nasional bruto karena memasukkan pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara tersebut. Sehingga PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul faktor produksi yang digunakan.
18
Menurut McEachern (2000), GDP artinya mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu atau untuk membandingkan beberapa perekonomian pada suatu saat. Gross Domestic Product hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate) tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali. Tipe-tipe GDP Ada dua tipe GDP, yaitu : 1) GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada tahun tersebut. 2) GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka GDP merupakan
hasil
perkalian
jumlah
produksi
(Q)
dan
harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka besarnya GDP akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut menunjukkan jumlah produksi (GDP riil). Mungkin kenaikan GDP hanya disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau merosot. Indikator Pendidikan (BPS 2009) Indikator pendidikan yang digunakan oleh BPS bersumber dari data hasil Susenas Kor tahun 1994 - 2010. Susenas merupakan survei tahunan yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial kependudukan dengan cakupan relatif luas. Indikator pendidikan tersebut yaitu, partisipasi pendidikan formal, partisipasi pendidikan formal dan nonformal, pendidikan yang ditamatkan penduduk 15 tahun ke atas, rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas, partisipasi pra sekolah (sedang), partisipasi pra sekolah (pernah dan sedang), dan buta huruf (BPS 2009).
19
Rata-rata Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004). Oleh karena itu penelitian ini menggunakan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas sebagai indikator pendidikan yang dianggap berpengaruh terhadap masalah gizi KEP. Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal
sangat penting dalam
menentukan status kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga. Berg (1986) menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Almarita & Fallah (2004) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Terdapat hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (2004) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk mengimplementasi pengetahuannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Kesehatan Lingkungan Depkes (2010b) mengelompokkan data kesehatan lingkungan meliputi data kebutuhan air keperluan rumah tangga, sanitasi dan kesehatan perumahan. Data keperluan air rumah tangga meliputi jenis sumber utama air yang digunakan untuk seluruh keperluan rumah tangga termasuk minum dan memasak, jumlah pemakaian air per orang per hari, jenis sumber air minum, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum dari sumbernya, cara pengolahan air minum dalam
20
rumah tangga, cara penyimpanan air minum serta akses terhadap sumber air minum. Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Sumber Air Minum yang Terlindungi dan Berkelanjutan. Berdasarkan berbagai survei mengenai kesehatan lingkungan seperti dalam SKRT, SUPAS, Susenas, dan Riskesdas, air dikelompokkan menjadi air bersih, air minum bersih, dan air minum yang terlindung dan berkelanjutan. Terdapat dua definisi air bersih menurut Susenas dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat, yaitu (1) Air bersih terdiri dari air pipa, pompa, air kemasan, air dari sumur terlindung, air dari mata air terlindung, dan air hujan dengan jarak ke tempat penampungan akhir tinja ≥ 10 m; (2) Air bersih terdiri dari air kemasan, air isi ulang, leding, dan sumur bor/pompa, sumur terlindung serta mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan akhir tinja ≥ 10 m (BPS 2009). Sedangkan Depkes (2008b) mendefinisikan air bersih berasal dari sumber terlindung dan sarana sumber air yang digunakan improved serta berada dalam radius 1 km dari rumah. Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2007 yang diterbitkan oleh BPS mengkategorikan sumber air minum yang digunakan oleh rumah tangga menjadi dua kelompok besar, yaitu sumber air minum terlindung dan tidak terlindung. Sumber air minum terlindung terdiri dari air kemasan, ledeng, pompa air, mata air terlindung, sumur terlindung, dan air hujan. Sedangkan sumber air minum tak terlindung terdiri dari sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai dan lainnya (Depkes 2008b). Air minum bersih menurut Susenas dalam Indikator Kesejahteraan Rakyat didefinisikan menjadi 3 (tiga), yaitu (1) Air minum bersih bersumber dari sumur/mata air yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m; (2) Air minum bersih bersumber dari pompa, sumur/mata air yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m; (3) Air minum bersih
bersumber dari leding,
kemasan, dan pompa, sumur/mata air terlindung yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m (BPS 2008b). Sedangkan untuk air minum yang terlindung dan berkelanjutan memiliki dua definisi, yaitu menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) dan SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) serta menurut Susenas. SKRT 1980, SUPAS 1985 dan SKRT 1986 mendefinisikan air minum yang terlindung dan berkelanjutan sebagai air yang diperoleh dari sumber ledeng, pompa air, mata air, dan air hujan (Depkes 1988).
21
Proporsi Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Sanitasi yang Layak. Tingginya masalah gizi dan penyakit terkait gizi saat ini berkaitan dengan faktor perilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu indikator PHBS yang memiliki keterkaitan dengan masalah gizi adalah akses terhadap sanitasi layak (Bappenas 2010b). Pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) dalam
nomenklatur
MDGs meliputi jenis pemakaian/penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis „latrine‟ dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan JMP WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu „improved‟, „shared‟, „unimproved‟ dan „open defecation‟. Dikategorikan sebagai „improved‟ bila penggunaan sarana pembuangan kotorannya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL (Depkes 2010a). Selain itu terdapat beberapa definisi sanitasi layak. Menurut SKRT 1980 dan SKRT 1986, sanitasi layak adalah bila penggunaan sarana BAB berupa jamban (Depkes 1988). Sedangkan Susenas mendefinisikan sanitasi layak menjadi 2, yaitu (1) penggunaan sarana BAB berupa septik tank dan lubang pembuangan tinja; (2) Sanitasi dasar yang layak didefinisikan sebagai sarana yang aman, higienis, dan nyaman yang dapat menjauhkan pengguna dan lingkungan di sekitarnya dari kontak dengan kotoran manusia, meliputi kloset dengan leher angsa yang terhubung dengan system pipa saluran atau tangki septik, termasuk jamban cemplung (pit latrine) terlindung dengan segel slab dan ventilasi serta toilet kompos (Bappenas 2009a). Pelayanan Kesehatan Dasar Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat, diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat dapat diatasi. Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan yaitu, pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan keluarga berencana, dan pelayanan imunisasi (Depkes 2008a).
22
Cakupan Imunisasi Lengkap. Cakupan imunisasi lengkap adalah besarnya persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap yaitu BCG 1 kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Imunisasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah kematian pada bayi dengan memberikan vaksin. Beberapa imunisasi yang wajib diberikan pada bayi adalah imunisasi polio, BCG, DPT, dan campak. BCG seringkali digunakan sebagai cerminan proporsi anak-anak yang dilindungi dari bentuk tuberkulosis yang parah selama satu tahun pertama hidupnya, dan juga digunakan sebagai salah satu indikator akses ke pelayanan kesehatan (Depkes 2008a). Selain BCG, vaksin lain yang wajib diberikan pada bayi adalah polio. Imunisasi polio merupakan imunisasi untuk
mencegah penyakit polio. Tidak
seperti imunisasi BCG atau campak yang membutuhkan 1 dosis, imunisasi polio membutuhkan 3 dosis. Maka untuk mengukur keberhasilan upaya kesehatan yang dilakukan adalah polio3, yaitu ketika bayi telah mendapatkan imunisasi polio sebanyak 3 dosis (3 kali) (Depkes 2008a). Diantara penyakit pada anak-anak yang dapat dicegah dengan vaksin, campak adalah penyebab utama kematian anak. Oleh karena itu pencegahan campak merupakan faktor penting dalam mengurangi angka kematian balita. Dari dua tujuan yang disepakati dalam pertemuan dunia tentang anak, salah satunya adalah mempertahankan cakupan imunisasi campak sebesar 90%. Di seluruh negara ASEAN dan SEARO, imunisasi campak diberikan rata-rata umur 9-12 bulan dan merupakan imunisasi terakhir yang diberikan kepada bayi diantara imunisasi wajib lainnya (BCG, DPT, Polio, Hepatitis, dan Campak). Dengan demikian
diasumsikan
bayi
yang
mendapat
imunisasi
campak
telah
mendapatkan imunisasi lengkap. Sumber Daya Kesehatan. Gambaran mengenai situasi sumber daya kesehatan dikelompokkan menjadi sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan pembiayaan kesehatan. Sarana kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit (rumah sakit umum dan rumah sakit khusus), sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi farmasi dan alat kesehatan, dan institusi tenaga kesehatan. Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, berbagai upaya dilakukan dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada, termasuk yang ada di masyarakat. Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) di antaranya adalah Posyandu (Pos
23
Pelayanan Terpadu), Polindes (Pondok Bersalin Desa), Toga (Tanaman Obat Keluarga), POD (Pos Obat Desa), dan sebagainya. Posyandu merupakan salah satu UKBM yang paling terkenal di masyarakat. Posyandu menyelenggarakan minimal 5 program prioritas, yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi, dan penanggulangan
diare.
Untuk
memantau
perkembangannya,
Posyandu
dikelompokkan ke dalam 4 (empat) strata, yaitu Posyandu Pratama, Posyandu Madya, Posyandu Purnama, dan Posyandu Mandiri. Jumlah posyandu merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat keadaan sarana pelayanan kesehatan sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) pada tiap tahun di Indonesia (Depkes 2008a). Anggaran Perbaikan Gizi Pembiayaan kesehatan di Indonesia terdiri atas pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat yaitu mengenai pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dituangkan dalam Anggaran Departemen Kesehatan Republik indonesia (Depkes 2008a). Anggaran Departemen Kesehatan tiap tahun digunakan untuk berbagai program kesehatan dan salah satu diantaranya dialokasikan pada program perbaikan gizi. Program perbaikan gizi yang dilakukan yaitu Usaha Perbaikan Gizi Keluarga, Pencegahan Gondok Endemik, Pencegahan Defisiensi Vitamin A, Pencegahan dan Penanggulangan AGB, serta peningkatan kemampuan tenaga gizi, pengadaan prasana, sarana pengendalian dan penilaian (Bappenas 1983). Persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan. Persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan adalah banyaknya jumlah anggaran perbaikan gizi tiap tahun dibagi dengan jumlah total anggaran departemen kesehatan tiap tahun dikalikan dengan 100 persen. Adapun rumus yang digunakan yaitu :
24
Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai suatu tujuan. Kebijakan setiap instansi pemerintah bervariasi menurut substansi permasalahan, tujuan kelompok sasaran, dan lingkup permasalahan (Wahab 2004). Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan pangan adalah masalah eksternal dan internal. Permasalahan eksternal berkaitan dengan upaya pemantapan ketahanan pangan yang dihadapkan pada keterbukaan
ekonomi
dan
perdagangan
global.
Pada
tataran
internal,
pemantapan ketahanan pangan menghadapi masalah yang terkait dengan masih banyaknya proporsi penduduk yang mengalami kerawanan pangan kronis dan transien. Kerawanan pangan ini berdampak langsung pada rendahnya status gizi, kualitas fisik dan tingkat intelegensia masyarakat, yang berkorelasi positif dengan kemiskinan. Konferensi Dewan Ketahanan Pangan sebagai lembaga koordinatif telah merumuskan tujuh fokus masalah strategis menyangkut ketahanan pangan nasional. Pertama, ketersediaan pangan pokok yang harus dapat mengejar laju konsumsi akibat masih tingginya laju pertambahan penduduk. Kedua, lambatnya penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang. Ketiga, masalah keamanan pangan. Keempat, kerawanan pangan dan gizi buruk
masalah ini sangat
berkaitan erat dengan kemiskinan. Kelima, masalah alih fungsi lahan pertanian dan konservasi lahan dan air. Keenam, pengembangan infrastruktur pedesaan. Ketujuh, belum berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan baik struktural maupun kelembagaan ketahanan pangan masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan 2004). Menurut
Nainggolan
(2008),
untuk
mengatasi
berbagai
masalah
ketahanan pangan sangat diperlukan kebijakan dan langkah operasional terpadu lintas sektoral dan bahkan dengan menyertakan seluruh komponen masyarakat guna mengatasi rawan pangan, gizi buruk, dan kemiskinan. Instansi terkait haruslah secara sadar mengarahkan kebijakan maupun program kegiatan pada sistem ketahanan pangan yang handal Pada sisi ketersediaan, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk: a) meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya alam dan air; b) menjamin kelangsungan produksi pangan utamanya dari produksi dalam negeri;
25
c) mengembangkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat; d) meningkatkan kapasitas produksi nasional dengan menetapkan lahan abadi untuk produksi pangan. Pada aspek distribusi, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk; a) mengembangkan sarana dan prasarana distribusi pangan untuk meningkatkan efisiensi perdagangan, termasuk disalamnya mengurangi kerusakan bahan pangan dan kerugian akibat distribusi yang tidak efisien; b) mengurangi atau menghilangkan peraturan daerah yang mengambat distribusi pangan antar daerah; c) mengembangkan kelembagaan pengelolaan dan pemasaran di pedesaan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas distribusi pangan serta mendorong peningkatan nilai tambah. Pada aspek konsumsi, kebijakan ketahan pangan diarahkan untuk: a) menjamin pemenuhan pangan bagi setiap rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang memadai aman dikonsumsi dan bergizi seimbang; b) mendorong dan mengembangkan membangun serta memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemenuhan pangan sebagai implementasi pemenuhan hak atas pangan; c) mengembangkan jaringan antar lembaga masyarakat untuk pemenuhan hak atas pangan; d) meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada golongan masyarakat tertentu (golongan miskin, ibu hamil, balita gizi buruk dan sebagainya) (Dewan Ketahanan Pangan 2006).
26
KERANGKA PEMIKIRAN Menurut UNICEF (1998), penyebab timbulnya KEP pada anak balita terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah, dan pokok masalah. UNICEF menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh. Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan. Sedangkan kurang gizi yang terjadi akibat penyakit disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik. Faktor penyebab langsung yang kedua adalah infeksi yang berkaitan dengan tingginya prevalensi dan kejadian penyakit infeksi terutama diare, ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Infeksi ini dapat mengganggu penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk. Sebaliknya, gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah sakit. Kedua faktor penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh tiga faktor penyebab tidak langsung, yaitu: (i) ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga, (ii) pola pengasuhan anak, dan (iii) jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Ketiganya dapat berpengaruh pada kualitas konsumsi makanan anak dan frekuensi penyakit infeksi. Apabila kondisi ketiganya kurang baik menyebabkan gizi kurang. Ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial, dapat berakibat pada rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat yang antara lain tercermin pada maraknya masalah gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat. Upaya mengatasi masalah ini bertumpu pada pembangunan ekonomi, politik dan sosial yang harus dapat menurunkan tingkat kemiskinan setiap rumah tangga untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan dan gizi serta memberikan akses kepada pendidikan dan pelayanan kesehatan. Efektivitas upaya ini antara lain dapat digambarkan dari keberadaan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi yang tercantum pada dokumen-dokumen kebijakan seperti Repelita, RPJMN, GBHN, dan lain-lain (Gambar 1).
27
MASALAH KEP
Dampak
Penyebab Langsung
Penyebab Tidak Langsung
Masalah Utama
Status Infeksi
Konsumsi Makanan Kurang
Ketersediaan Pangan
Kualitas Pola Asuh Anak
Pelayanan Kesehatan Dasar dan Kesehatan Lingkungan
Kemiskinan, Ketahanan Pangan dan Gizi, Pendidikan
Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi
Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat Akar Masalah (Nasional) Kondisi Ekonomi dan Sosial Politik
Gambar 1 Penyebab KEP (Kurang Energi Protein) menurut UNICEF (1998) disesuaikan dengan kondisi Indonesia
Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
28
METODOLOGI Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2011 di Bogor, Jawa Barat. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya berupa data sekunder. Pengumpulan data dibedakan berdasarkan sumber data. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: No. 1. 2. 3. 4.
5.
6.
7.
Tabel 10 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian Jenis Data Tahun Sumber Status Gizi Balita di Indonesia 1980-2010 Departemen Kesehatan RI, Badan Pusat Statistik (BPS RI) Akses Air Minum Layak, Akses 1980-2010 Badan Pusat Statistik (BPS RI) Sanitasi Layak Cakupan Imunisasi Lengkap, 1980-2010 Departemen Kesehatan RI Jumlah Posyandu Produk Domestik Bruto (PDB) per 1980-2010 Badan Pusat Statistik RI (BPS kapita, Tingkat kemiskinan di RI) Indonesia, Rata-rata rata-rata lama sekolah 1994-2010 Badan Pusat Statistik RI (BPS penduduk 15 tahun ke atas RI) penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia Persentase anggaran perbaikan 1980-2010 Departemen Keuangan RI gizi terhadap total anggaran Depkes Kebijakan dan program 1980-2015 Badan Perencanaan dan pembangunan nasional : Repelita, Pembangunan Nasional RI Propenas,RPJMN, dan RANPG (Bappenas RI)
Stratifikasi variabel status gizi diperoleh dari data nasional hasil pengukuran antropometri balita dengan menggunakan indeks menurut umur (BB/U).
berat badan
Luasan masalah gizi dalam suatu populasi atau
masyarakat pada umumnya dinyatakan dalam angka prevalensi. Menurut Beaglehole, Bonita, dan Kjellstorm (1997), prevalensi dihitung sebagai jumlah keseluruhan dari orang-orang yang diketahui sudah mempunyai (terkena) penyakit pada waktu tertentu selama suatu periode waktu tertentu dibagi oleh jumlah populasi yang memiliki risiko untuk terkena penyakit pada pertengahan waktu dari periode tersebut. Jika dinyatakan dalam rumus perhitungan, maka rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:
29
Besar kecilnya angka prevalensi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu durasi atau lamanya penyakit, usia hidup penderita dalam populasi, peningkatan kasus baru atau peningkatan insidensi, migrasi kasus-kasus ke dalam populasi, migrasi individu sehat dari populasi, masuknya individu yang beresiko atau rentan dalam populasi dan perkembangan fasilitas diagnosis atau sistem monitoring (Beaglehole, Bonita & Kjellstorm 1997). Pada penelitian ini, data status gizi yang digunakan berupa prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia. Data parameter pembangunan ekonomi dan sosial diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat kemiskinan, PDB per kapita menurut harga konstan dan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas. Data parameter kesehatan lingkungan diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proporsi rumah tangga dengan akses terhadap air minum yang layak dan proporsi rumah tangga terhadap akses sanitasi yang layak di Indonesia. Data parameter pelayanan kesehatan dasar diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu cakupan imunisasi lengkap dan jumlah jumlah posyandu yang ada di Indonesia. Cakupan Imunisasi lengkap adalah persentase balita yang telah mendapatkan imunisasi BCG 1 kali, polio 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Data kebijakan dan program di bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi diperoleh dari dokumen-dokumen nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Dokumen-dokumen yang digunakan yaitu Repelita III-VI, Propenas 1999-2004, RPJMN 2004-2009, RPJMN 2010-2014, dan RANPG 2011-2015. Pengkategorian variabel secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 11.
30
No. 1.
Tabel 11 Jenis variabel, kategori, tahun, dan keterangan variabel penelitian Variabel Kategori Tahun Keterangan Kurang Energi KEP total 1978-1998 Terdiri dari : KEP Protein (KEP) ringan, KEP sedang, dan KEP berat KEP nyata
2.
3.
Status Gizi (BB/U)
Pembangunan Ekonomi dan Sosial
4.
Pembangunan Kesehatan Lingkungan
5.
Pembangunan Pelayanan Kesehatan Dasar
6.
Pembiayaan Kesehatan
Terdiri dari : KEP sedang dan KEP berat
Gizi Buruk Gizi Kurang
1986-1987
Standar Median Baku Havard
Gizi Buruk (Z-score <-3.0) Gizi Kurang (Z-score >= -3.0 s/d Z-score <-2.0) Tingkat Kemiskinan
1989-2010
Standar Baku WHONCHS
1980-2010
Indikator kemiskinan BPS
PDB/kapita
Menurut Harga Konstan
Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas Persentase RT dengan akses terhadap sumber air minum layak Persentase RT dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak Jumlah Posyandu
1994-2010
Indikator Pendidikan BPS
1980-2009
Data SKRT 1980, SUPAS 1985, SKRT 1986, dan Susenas 1993-2009
1980-2010
Data Profil Kesehatan Indonesia
Cakupan Imunisasi Lengkap
1991-2010
Data SDKI dan Riskesdas 2010
Persentase Anggaran Program Perbaikan Gizi terhadap Total Anggaran Depkes
1980-2010
Anggaran Program Perbaikan Gizi dan Anggaran Depkes dalam RAPBN.
Pengolahan dan Analisis Data Data-data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Pengolahan data meliputi editing, coding, entri dan analisis data. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara statistik deskriptif dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 for Windows dan Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) versi 16.0. Analisis data status gizi balita dilakukan yakni dengan cara analisis tren terhadap variabel yang diteliti antar waktu selama tiga puluh tahun terakhir. Variabel-variabel tersebut yaitu, tingkat kemiskinan, PDB/kapita, rata-rata lama
31
sekolah penduduk, akses air minum layak, akses sanitasi layak, jumlah posyandu, cakupan imunisasi lengkap, dan alokasi anggaran perbaikan gizi Analisis yang digunakan untuk menganalisis kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dilakukan secara deskriptif dengan metode content analysis (metode analisis isi). Metode analisis isi merupakan metode yang digunakan untuk mengklasifikasi dan menganalisis kebijakan dan program ketahanan pangan serta kebijakan dan program perbaikan gizi selama tiga puluh tahun terakhir. Penggunaan analisis isi untuk memilah program/kegiatan dan indikator-indikator apa saja yang dijadikan arah kebijakan pada Repelita III, Repelita IV, Repelita V, Repelita VI, Propenas 1999-2004, dan RPJMN 20042009. Dengan demikian, penelitian ini akan menguraikan perbedaan atau perbandingan hasil analisis isi terhadap berbagai dokumen kebijakan tersebut terkait ketahanan pangan dan gizi selama tiga puluh tahun terakhir (1980-2010). Asumsi dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan asumsi dan mempunyai keterbatasan. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang digunakan dalam penelitian seluruhnya benar. Asumsi-asumsi di atas digunakan agar hasil penelitian dapat diterima secara umum. Adapun yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini adalah tergantung pada validitas data-data sekunder yang digunakan. Definisi Operasional Air minum yang terlindung dan berkelanjutan (layak) adalah air minum yang berasal dari sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 m dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya, meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan Anggaran adalah rencana keuangan pemerintah dalam suatu waktu tertentu ( biasanya dalam satu tahun mendatang) untuk membiayai tugas-tugas pemerintah disegala bidang. Anggaran Departemen Kesehatan adalah rencana keuangan yang dikeluarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia untuk membiayai semua program Departemen Kesehatan selama 1 tahun. Anggaran program ketahanan pangan adalah rencana keuangan untuk membiayai serangkaian kegiatan atau proyek yang terorganisasi dan
32
diarahkan untuk percapaian tujuan terkait ruang lingkup ketahanan pangan. Anggaran program perbaikan gizi adalah rencana alokasi keuangan untuk membiayai serangkaian kegiatan atau proyek yang terorganisasi dan diarahkan untuk percapaian tujuan terkait perbaikan gizi. Balita adalah individu yang berada pada rentang usia kurang dari lima tahun. Cakupan imunisasi lengkap adalah adalah besarnya persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap yaitu BCG 1 kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Gizi buruk adalah klasifikasi KEP pada tingkatan yang parah yang dalam penelitian ini dinyatakan dalam suatu indeks antropometri berat badan menurut umur (BB/U) dengan Z-score < -3.0 Gizi kurang adalah gangguan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan. Indeks yang digunakan untuk mengukur gizi kurang pada anak dalam penelitian ini adalah indeks berat badan menurut umur (BB/U) dengan Z- score < -2 SD Harga konstan adalah harga yang tidak dipengaruhi oleh terjadinya inflasi atau harga tahun dasar. Indikator pendidikan BPS adalah indikator yang digunakan oleh BPS untuk menggambarkan situasi pendidikan nasional di Indonesia yaitu, partisipasi pendidikan
formal,
partisipasi
pendidikan
formal
dan
nonformal,
pendidikan yang ditamatkan penduduk 15 tahun ke atas, rata-rata ratarata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas, partisipasi pra sekolah (sedang), partisipasi pra sekolah (pernah dan sedang), dan buta huruf (BPS 2009). Jumlah posyandu adalah banyaknya posyandu yang ada di Indonesia tiap tahun. Kemiskinan adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran yang dalam penelitian ini menggunakan garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS). KEP total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat (BB/U < 80% baku median WHO-NCHS). KEP nyata adalah menghitung strata KEP sedang dan KEP berat dan pada KMS berada di bawah garis merah.
33
Kesehatan Lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup
manusia
yang sehat. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Kurang energi protein adalah salah satu masalah kurang gizi akibat kekurangan asupan sumber energi dan protein serta gangguan kesehatan. PCM adalah istilah lain dalam bahasa Inggris untuk menyebut masalah kekurangan energi dan protein menurut klasifikasi median baku Havard 1959 atau singkatan dari Protein Calorie Malnutrition. PDB (Produk Domestik Bruto) adalah nilai semua barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu satu tahun. PDB per kapita adalah nilai PDB yang dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun atau pendapatan yang dibayarkan per penduduk Indonesia. Pelayanan Kesehatan Dasar adalah upaya pelayanan kesehatan yang sangat penting
dalam
memberikan
pelayanan
kesehatan
dasar
kepada
masyarakat yaitu, pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan keluarga berencana, dan pelayanan imunisasi. Pembangunan ketahanan pangan adalah suatu upaya pembangunan yang bersifat lintas bidang dan lintas sektoral yang saling berkaitan, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara adil merata baik jumlah maupun mutu gizinya (dilihat dari bentuk program dan kegiatan). Persentase
anggaran
program
perbaikan
gizi
terhadap
anggaran
departemen kesehatan dan kebijakan ketahanan pangan dan gizi di Indonesia adalah perbandingan antara besarnya anggaran yang dialokasikan untuk program perbaikan gizi terhadap total anggaran departemen kesehatan dalam 1 tahun. Posyandu adalah salah satu UKBM di masyarakat yang menyelenggarakan minimal 5 program prioritas, yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare
34
Prevalensi KEP pada balita adalah persentase balita yang menderita Kurang Energi Protein di Indonesia mencakup gizi kurang dan gizi buruk tiap tahun berdasarkan hasil Susenas dan Riskesdas. Prevalensi stunted adalah persentase balita yang mempunyai z skor tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD terhadap total balita. Prevalensi underweight adalah persentase balita yang mempunyai z skor indeks berat badan menurut umur (BB/U) kurang dari -2 SD terhadap total balita. Prevalensi wasted adalah persentase balita yang mempunyai z skor berat badan tinggi badan (BB/TB) kurang dari -3 SD sampai -2 SD terhadap total balita. Program ketahanan pangan adalah serangkaian kegiatan-kegiatan atau proyek-proyek yang terorganisasi dan diarahkan untuk mencapai ketahanan pangan. Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak adalah perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dengan penduduk seluruhnya, dan dinyatakan dalam persen. Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak adalah perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan dengan penduduk seluruhnya, dan dinyatakan dalam persen. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk usia 15 tahun ke atas adalah rata-rata lama penduduk usia 15 tahun ke atas menempuh pendidikan formal, dinyatakan dalam tahun. Sanitasi layak adalah sarana yang aman, higienis, dan nyaman yang dapat menjauhkan pengguna dan lingkungan di sekitarnya dari kontak dengan kotoran manusia, meliputi kloset dengan leher angsa yang terhubung dengan system pipa saluran atau tangki septik, termasuk jamban cemplung (pit latrine) terlindung dengan segel slab dan ventilasi serta toilet kompos Sumber Daya Kesehatan adalah sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan pembiayaan kesehatan. Sarana kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit (rumah sakit umum dan rumah sakit khusus), sarana Upaya
35
Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi farmasi dan alat kesehatan, dan institusi tenaga kesehatan. Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin dihitung atas dasar jumlah penduduk miskin di suatu wilayah dibagi dengan jumlah penduduk wilayah tersebut, dinyatakan dalam persen.
total
36
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang di Indonesia Masalah kekurangan gizi khususnya kurang energi dan protein pada balita di Indonesia pada tahun 1970an hingga akhir Repelita V (1993) disebut sebagai KKP (Kurang Kalori dan Protein) dan istilah ini kemudian mengalami transisi hingga saat ini disebut sebagai gizi kurang. Istilah KEP (Kurang Kalori Protein) digunakan pada awal Repelita VI (1994), sedangkan istilah gizi kurang mulai digunakan sejak periode Propenas (1999) hingga saat ini. Kurang energi Protein (KEP) dikenal sebagai salah satu dari empat masalah gizi di Indonesia yang dianggap utama dari sejak permulaan dikenal yaitu pada tahun 1959 hingga saat ini. Gejala KEP mencakup semua manifestasi kekurangan gizi yang sering dijumpai, dimana pada anak sebagai akibatnya adalah terhambatnya perkembangan fisik dan mental mereka. Penderita KEP umumnya adalah anak-anak berumur di bawah lima tahun (Balita). terutama pada masa mulai atau baru saja disapih (Suhardjo 1989b). Menurut Aritonang (2004), masalah kekurangan pangan dan kelaparan di Indonesia merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO (Honger Oedeem) dan kematian di beberapa daerah. Oleh karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan
pendapatan
petani,
tetapi
secara
eksplisit
juga
untuk
meningkatkan keadaan gizi masyarakat. Besar dan luas masalah KEP pada balita di tingkat propinsi dan nasional sudah tersedia secara periodik melalui Susenas modul kesehatan dan gizi. Selain itu terdapat perbedaan dalam standar/ baku acuan yang digunakan pada data status gizi yang tersedia sejak tahun 1978-2010. Data status gizi balita berdasarkan data Susenas tahun 1978, 1986, dan 1987 menggunakan baku Havard 1959. Berdasarkan baku Havard 1959, status gizi dibagi menjadi empat, yaitu (1) gizi baik untuk well nourished (≥ 80% baku median Havard); (2) gizi sedang mencakup mild PCM (70% s/d 79.9% median baku Havard); (3) gizi kurang untuk underweight mencakup moderate PCM (60 - 69.9% baku median Havard); dan (4) gizi buruk untuk severe PCM (<60% median baku Havard), termasuk marasmus, marasmik-kwashiorkor dan kwashiorkor.
37
Sedangkan data status gizi balita berdasarkan data Susenas 1989-2005, Riskesdas 2007, dan Riskesdas 2010 menggunakan standar baku WHO NCHS yang telah disepakati secara nasional. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 920/Menkes/SK/VIII/2002 tentang klasifikasi status gizi anak balita menyebutkan bahwa berdasarkan perkembangan iptek dan hasil temuan pakar gizi Indonesia Mei 2000 di Semarang, standar baku antropometri yang digunakan secara nasional disepakati menggunakan standar baku WHO-NCHS 1983. Status gizi balita diukur berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB, dan IMT/U (Depkes 2010a). Berdasarkan median baku WHO-NCHS 2005, angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score). Prevalensi gizi kurang pada balita adalah persentase bayi di bawah usia lima tahun (balita) yang menderita gizi kurang (moderate malnutrition) dan gizi buruk (severe malnutrition). Sehingga gizi kurang dalam penelitian ini bila berat badan menurut umur (BB/U) berada dibawah minus 2 standar deviasi (Z-score < -2) dari angka median berat badan baku WHO-NCHS dan sudah termasuk gizi buruk. Gizi buruk bila berat badan menurut umur (BB/U) berada di bawah minus 3 standar deviasi (Z-score < -3) dari angka median berat badan baku WHONCHS. (Bappenas 2009a). Prevalensi gizi buruk pada balita adalah persentase bayi di bawah usia lima tahun (balita) yang menderita gizi buruk di Indonesia tiap tahun berdasarkan hasil Susenas dan Riskesdas. Analisis
masalah
KEP
pada
balita
berdasarkan
data
Susenas
menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat penurunan prevalensi KEP total dari 54.7% tahun 1978 menjadi 20.7% pada tahun 1998. KEP total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat. Sedangkan KEP nyata adalah menghitung strata KEP sedang dan KEP berat. (Depkes 1997) Perkembangan prevalensi KEP nyata dan KEP total pada balita di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 12.
38
Tabel 12 Trend perkembangan KEP dan gizi kurang pada balita di Indonesia periode Repelita III-RPJMN Laju Laju penurunan penurunan Tahun % Balita KEP % Gizi Periode (r) KEP total (r) Gizi Kurang per tahun kurang per Nyata Total (%) tahun Repelita III 1978 18.95 54.70 NA NA NA Repelita IV 1989 NA 47.80 -1.1 37.47 NA Repelita V 1992 13.05 44.70 -2.1 35.57 -1.7 Repelita VI 1994 7.10 29.00 -17.6 NA NA 1995 7.30 28.60 -1.3 31.58 -3.7 1996 5.50 26.30 -8.0 NA NA 1997 5.10 23.10 -12.2 NA NA 1998 4.30 20.70 -10.3 29.51 -2.2 Propenas 1999 NA NA NA 26.36 -10.7 2000 NA NA NA 24.66 -6.4 2001 NA NA NA 26.10 5.8 2002 NA NA NA 26.82 2.75 2003 NA NA NA 28.17 5.0 RPJMN 2004 NA NA NA 27.5 -2.4 2005 NA NA NA 28.04 1.9 2007 NA NA NA 18.30 -17.4 2010 NA NA NA 17.9 -0.7 Rata-rata laju penurunan (r) per tahun -3.1 -1.5 Sumber: Pembangunan Kesehatan, 50 tahun Indonesia Merdeka; Dit. Bina Gizi Masyarakat, Depkes RI dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000
Berdasarkan data trend perkembangan KEP dan gizi kurang di atas, terjadi kecenderungan penurunan prevalensi KEP (KEP nyata dan KEP total) dan gizi kurang pada balita di Indonesia. Rata-rata laju penurunan KEP total dari periode Repelita III sampai periode Repelita VI adalah
3.1% per tahun,
sedangkan rata-rata laju penurunan gizi kurang per tahun dari Repelita IV sampai RPJMN adalah 1.5%. Pada akhir Repelita VI tahun 1998, KEP total balita adalah 20.7%. Dengan trend ini target penurunan KEP total pada akhir Repelita VI sebesar 30% telah tercapai dan target penurunan gizi kurang pada akhir RPJMN 2004-2009 sebesar 20% juga telah tercapai. Laju penurunan KEP total tertinggi terjadi pada awal periode Repelita IV yaitu tahun 1994 sebesar 17.6%, sedangkan laju penurunan gizi kurang yang paling tinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu 17.4%. Hal ini diduga berhubungan dengan adanya beberapa perubahan kebijakan dan program yang dirumuskan pemerintah dalam bidang pangan dan perbaikan gizi saat periode Repelita V (1989-1992) dibanding dengan periode Repelita sebelumnya dan kebijakan pada masa RPJMN 2004-2009. Kebijakan dan program bidang pangan dan perbaikan gizi pada Repelita V adalah peningkatan dan penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan serta peningkatan usaha perbaikan gizi seperti, UPGK,
39
UPGI, penanggulangan gondok endemik, pengembangan SKPG, dan penelitian gizi. Selain itu, terlihat bahwa pada akhir RPJMN yaitu tahun 2010, terlihat bahwa prevalensi gizi kurang sudah mencapai 17.9%. Kebijakan ketahan pangan dan perbaikan gizi pada masa RPJMN 2004-2009 bersifat lebih makro dengan adanya “Revitalisasi Pertanian” dan adanya program perbaikan gizi pada kebijakan bidang Kesehatan. Selain dengan melihat perkembangan prevalensi KEP nyata dan KEP total, manifestasi KEP pada anak balita dalam jangka panjang dan pendek dapat berupa gizi buruk dan gizi kurang. Besarnya prevalensi gizi buruk pada balita adalah persentase jumlah balita yang mengalami gizi buruk terhadap jumlah seluruh balita
Indonesia. Prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia
mengalami perkembangan selama tiga puluh tahun terakhir yaitu dari tahun 1986-2010. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010, besarnya prevalensi gizi buruk (Z-score < -3.00) dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) secara nasional adalah 4.9% dan prevalensi gizi kurang (Z-score <-2.00) dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) secara nasional adalah 17.9%. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Depkes tahun 1989 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk di Indonesia adalah sebesar 6.3% dan prevalensi gizi kurang adalah sebesar 37.5%. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan kesehatan dari beberapa tahun sebelumnya yang terlihat dari penurunan prevalensi gizi buruk dari 6.3% menjadi 4.9% dan penurunan prevalensi gizi kurang dari 37.5% menjadi 17.9%. Walaupun angka ini menurun dibandingkan hasil Susenas tahun 1989, tetapi menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama, jika di suatu daerah ditemukan gizi buruk > 1% maka termasuk dalam masalah berat (Departemen Kesehatan 2000). Perkembangan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut indeks berat badan per umur (BB/U) di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir (1989-2010) secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 2.
5.0
Target MDGS 2015
18.5
17.9 4.9
20.0
18.3 5.4
8.8
8.3
8.6
7.5
6.3
7.5
8.1
7.2
15.0
10.5
11.6
20.0
10.0
Target RPJMN 2009
28.0
27.5
28.2
26.8
26.1
24.7
25.0
6.3
Prevalensi (%)
30.0
26.4
29.5
35.0
31.6
35.6
40.0
37.5
40
3.6
0.0
Prevalensi gizi buruk (%)
Prevalensi gizi kurang (%)
Sumber: BPS. Susenas 1989-2003; Depkes. Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 menggunakan standar WHO (2005)
Gambar 2 Perkembangan prevalensi gizi kurang menurut indeks BB/U WHO-NCHS pada balita di Indonesia tahun 1989-2010 beserta Target MDGs dan RPJMN 2009
Berdasarkan pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa keadaan gizi masyarakat telah menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi gizi kurang (Z-score <-2 SD WHONCHS) dan gizi buruk (Z-score <-3 SD WHO-NCHS) pada anak balita. Prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi pada tahun 1989 yaitu sebesar 37.5% dan prevalensi gizi buruk tertinggi terdapat pada tahun 1995, yaitu sebesar 11.6%. Prevalensi gizi buruk terendah terdapat pada tahun 2010, yaitu 4.9%, artinya terdapat 4.9% balita yang menderita gizi buruk di Indonesia pada tahun 2010. Sampai saat ini, Indonesia telah membuat kemajuan yang bermakna dalam upaya perbaikan gizi selama tiga puluh tahun terakhir ini yang ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dari 37.5% pada tahun 1989 menjadi 24.7% pada tahun 2000. Angka prevalensi tersebut meningkat kembali menjadi 28.0% pada tahun 2005, namun pada tahun 2007 angka prevalensi anak balita dengan gizi kurang kembali menurun menjadi 18.3% (Riskesdas 2007). Data Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 17.9%. Berikut ini disajikan data nasional dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia tahun 1989-2010 disertai dengan cut off point status masalah kesehatan masyarakat berdasarkan WHO tahun 1999 (Tabel 13).
41
Tabel 13 Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia tahun 1989-2010 menurut indeks BB/U dengan status masalah kesehatan secara nasional Gizi Buruk Gizi Kurang Status No Tahun (%) (%) Masalah Kesehatan 1. 1989 6.30 37.47 sangat tinggi 2. 3. 4. 5. 6. 7.
1992 1995 1998 1999 2000 2001
7.23 11.56 10.51 8.11 7.53 6.30
35.57 31.58 29.51 26.36 24.66 26.10
sangat tinggi sangat tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi
8. 9. 10. 11. 12. 13.
2002 2003 2004 2005 2007 2010
7.47 8.55 8.3 8.80 5.40 4.9
26.82 28.17 27.5 28.04 18.30 17.9
tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang
Sumber: BPS. Susenas, SKRT; Depkes. RISKESDAS 2007 dan RISKESDAS 2010 Keterangan: Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Tinggi : 20-29.9% Sedang : 10-19.9% Sangat tinggi : ≥30%
Berdasarkan cut off point WHO (1999) pada Tabel 13 di atas terlihat bahwa pada tahun 1989, 1992, dan 1995, secara nasional Indonesia memiliki masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi gizi kurang yang sangat tinggi. Berdasarkan data Susenas 1989, jumlah balita yang mengalami gizi kurang adalah sebanyak 7.9 juta jiwa dari 21.3 juta jiwa balita di Indonesia. Sedangkan pada tahun
1995, jumlah balita yang mengalami gizi menurun
menjadi 6.8 juta jiwa dari 21.5 juta balita. Status gizi buruk pada balita di Indonesia yang sangat tinggi pada saat itu mencerminkan bahwa penanganan masalah gizi buruk maupun gizi kurang di Indonesia pada tahun 1989-1995 belum berjalan dengan baik. Sejak tahun 1998-2005 terlihat bahwa status masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi gizi kurang pada saat itu termasuk tinggi. Selama tahun 2003, prevalensi gizi buruk di Indonesia mencapai 8.5% atau sekitar 1.5 juta anak, sedangkan gizi kurang mencapai 28.17%. Walaupun prevalensi gizi buruk ini lebih sedikit dibandingkan gizi kurang, namun kasus ini lebih cepat mendapat perhatian publik karena tanda-tandanya terlihat nyata. Berbeda halnya dengan gizi kurang yang lebih banyak namun tidak mendapat perhatian karena tanda-tandanya yang belum diketahui (Soekirman 2005).
42
Martianto dan Soekirman (2006) menyebutkan bahwa selama periode 1989-2000 telah terjadi penurunan prevalensi gizi kurang yang sangat relatif lebih tajam dari 37.5% menjadi 24.7%, dibanding periode setelahnya (2000-2003). Diantara faktor yang menjadi pendorong turunnya prevalensi ini adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terjadi pada periode sebelum krisis dan adanya upaya penanggulangan masalah gizi yang intensif melalui Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada periode krisis (1998-2000). Seiring dengan selesainya Program JPS dan implementasi otonomi daerah yang berimplikasi bahwa program gizi menjadi kewenangan daerah, padahal tidak semua pemimpin di Kabupaten/Kota memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah gizi, maka prevalensi gizi kurang terlihat meningkat kembali pada periode 20002003. Angka prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia yang tinggi ini disebabkan oleh beberapa hal. Soekirman (2005) menyatakan bahwa prevalensi gizi kurang pada balita yang tinggi selama tahun 2003 (19.6%) merupakan penyebab kasus gizi buruk makin tinggi. Kelompok balita gizi kurang merupakan kandidat penderita gizi buruk, khususnya jika kelompok tersebut tidak mendapatkan penanganan yang baik. Salah satu cara penanganan ini adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak (terutama baduta) dengan kartu menuju sehat (KMS) di posyandu yang masih melakukan fungsi utamanya. yaitu melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar. Kasus gizi buruk yang semakin tinggi juga disebabkan karena balita tidak mendapatkan makanan yang bergizi seimbang, yaitu air susu ibu dan jika sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang baik. MPASI yang baik adalah yang cukup mengandung energi, protein, zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin dan mineral lainnya. Selain itu. pola pengasuhan anak juga turut mempengaruhi kasus gizi buruk pada balita. Pola pengasuhan anak yang baik yaitu pengasuhan yang dilakukan oleh ibunya sendiri dengan kasih sayang. berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI. posyandu. kebersihan. walaupun berada dalam kondisi ekonomi yang miskin akan menghasilkan anak yang sehat (Soekirman 2006). Melihat kondisi masih banyaknya balita yang mengalami kekurangan gizi maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk menanggulangi permasalahan tersebut dalam rangka mewujudkan tujuan pembagunan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional, maka sesuai amanat Undang-Undang
43
Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. telah disusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 (Bappenas 2009a). Dalam RPJMN 2004-2009, salah satu misinya adalah mewujudkan
Indonesia
yang
sejahtera
melalui
agenda
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Salah satu sasaran dari kegiatan ini adalah menurunkan angka prevalensi kekurangan gizi pada balita menjadi 20.0% dari jumlah balita pada tahun 2009. Selain RPJMN 2004-2009, Indonesia juga sedang berusaha untuk mewujudkan
Millenium
Development Goals
(MDGs).
MDGs
merupakan
paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Salah satu tujuan MDGs adalah menanggulangi kelaparan ekstrim dan kemiskinan. Salah satu target dari tujuan tersebut adalah menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu (1990-2015). Salah satu indikator yang digunakan adalah persentase balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk (Bappenas 2010). Sesuai target MDGs tersebut. maka Indonesia diharapkan pada tahun 2015 dapat mencapai 18.5% prevalensi gizi buruk dan gizi kurang. Pada tahun 2010, angka prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia telah mencapai 17.9%. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009 sebesar 20% dan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5%, maka secara nasional target-target tersebut sudah terlampaui. Namun pencapaian tersebut belum merata di 33 provinsi. Untuk itu. Perlu perencanaan pangan dan gizi yang lebih efektif dengan memanfaatkan potensi ekonomi daerah dan bantuan dana pemerintah pusat untuk wilayah-wilayah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah guna penanggulangan gizi buruk di masa yang akan datang. Dalam RPJMN 2004-2009, program ini ditujukan
untuk
meningkatkan
kesadaran
gizi
keluarga
dalam
upaya
meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, bayi, dan anak balita. Kegiatan pokok yang dilaksanakan dan berkaitan dengan KEP antara lain meliputi: (1) Peningkatan pendidikan gizi; (2) Penanggulangan kurang energi protein (KEP), (3) Penanggulangan gizi lebih; (4) Peningkatan surveilens gizi; dan (5) Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi (Bappenas 2009a).
44
Prevalensi gizi buruk di Indonesia yang masih tinggi selama tiga puluh tahun terakhir merupakan salah satu tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan dalam penanganan masalah gizi buruk mengandung tiga masalah mendasar, yaitu masalah pelaksanaan,masalah sasaran, dan masalah lokasi. Pelaksanaan penanganan masalah gizi buruk mengharuskan adanya kerjasama lintas pelaku mengingat masalah kelaparan dan khususnya masalah gizi merupakan masalah yang sangat krusial. Hilangnya perhatian terhadap masalah kelaparan dapat menyebabkan hilangnya perhatian terhadap perbaikan gizi masyarakat. Apabila perhatian terhadap gizi masyarakat khususnya kepada balita kurang, maka hal ini akan mengakibatkan pengaruh pada penurunan kualitas penduduk berusia muda. Kendala yang dihadapi pada pelaksanaan di tingkat masyarakat adalah keterbatasan tenaga (kualitas dan kuantitas) untuk menjangkau kelompok sasaran (Bappenas 2010). Banyaknya jumlah balita yang masih menderita gizi buruk selama tiga puluh tahun terakhir (1986-2010) memerlukan penanganan yang cepat dan tepat melalui program-program perbaikan gizi. Martianto dan Soekirman (2006) menyatakan bahwa program-program yang diadakan untuk penanganan masalah gizi makro (KEP) di Indonesia adalah UPGK/Posyandu, program Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan program peningkatan ketahanan pangan masyarakat. UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga) dan Posyandu merupakan program yang secara khusus dilaksanakan untuk menurunkan prevalensi gizi buruk (KEP). Peningkatan kedua program ini berdampak positif menurunkan prevalensi gizi buruk. Kegiatan utama program UPGK (dari aspek gizi) yang dilaksanakan sampai saat ini berupa penimbangan balita. penyuluhan gizi (KIE), peningkatan pemanfaatan pekarangan, pemberian makanan, pemberian oralit, pemberian kapsul vitamin A takaran tinggi, dan pemberian pil besi kepada ibu hamil. Kegiatan ini melibatkan beberapa lembaga terkait yang mempunyai tugas dan tanggungjawab saling menopang untuk keberhasilan program. Pelaksanaan di tingkat desa atau di tingkat yang lebih kecil dikoordinasikan dalam bentuk Posyandu (Aritonang 2004). Pada Posyandu, cara pencegahan terjadinya gizi kurang adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak dengan kartu menuju sehat (KMS), dengan syarat posyandu masih melakukan fungsi utamanya, yaitu melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar (Soekirman 2005).
45
Penyebab langsung tingginya kasus gizi buruk di Indonesia ini adalah balita tidak mendapat makanan yang bergizi seimbang. yaitu ASI (Air Susu Ibu) dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) setelah anak berusia lebih dari 6 bulan. MP-ASI yang baik mengandung cukup energi dan protein, zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin dan mineral lainnya. Selain makanan yang seimbang. pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan juga berpengaruh terhadap munculnya kasus gizi buruk. Pola pengasuhan anak yang baik adalah apabila anak tersebut diasuh oleh ibunya sendiri yang berpendidikan dan mengerti tentang pentingnya ASI, posyandu, dan kebersihan tanpa melihat kondisi ekonominya. Program pemberian makanan tambahan (PMT) ditujukan kepada anak balita, anak sekolah, dan wanita usia subur (WUS). Program ini mendapat cukup banyak kritikan. karena terbukti tidak efisien, salah sasaran dan berbiaya tinggi. Untuk itu, kedepannya program ini hanya akan diperuntukkan untuk mengatasi kondisi darurat seperti bencana alam, konflik sosial, dan lain sebagainya. Adapun untuk program
peningkatan ketahanan pangan masyarakat yang
telah
dikembangkan antara lain Proyek Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K), dan Desa Mandiri Pangan (Desa MAPAN). Desa MAPAN bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi
(mengurangi
kerawanan
pangan
dan
gizi)
masyarakat
melalui
pendayagunaan sumberdaya. kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan (Martianto dan Soekirman 2006).
46
Kebijakan dan Program Pemerintah dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional. Suryana (2004) menyebutkan bahwa kebijakan di bidang ketahanan pangan dan gizi merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional. Secara spesifik, kebijakan tersebut diarahkan untuk mengatasi masalah dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan, yaitu menjamin pasokan pangan yang stabil bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu, keragaman, kandungan gizi, dan keamanan yang cukup; serta menjamin akses masyarakat terhadap dalam arti fisik maupun ekonomi. Sejak periode Repelita III hingga RPJMN 2004-2009, pembangunan di bidang pertanian dalam arti luas ( pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan) serta pembangunan di bidang kesehatan dan gizi selalu menjadi agenda setiap pemerintahan di Indonesia. Pembangunan di berbagai sektor tersebut pada hakekatnya merupakan faktor kunci dalam pembangunan ketahanan pangan dan gizi di Indonesia. Ketahanan pangan dan perbaikan gizi selalu menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional, bahkan pada Repelita III pembangunan di bidang pangan dan gizi dituangkan dalam satu bab tersendiri. Pada saat perencanaan dan implementasi pembangunan bidang pangan dan gizi dilakukan secara terintegrasi seperti sat itu, indonesi mencapai beberapa kemajuan berarti, antara lain mencapai swasembada beras dan kuatnya kelembagaan untuk pemantauan dan perbaikan status gizi seperti Posyandu, PKK, dan dasawisma. Kebijakan dan strategi pembangunan di bidang ketahanan pangan dan gizi terus berkembang dari waktu ke waktu seiring perubahan tantangan dan peluang yang dihadapi oleh setiap pemerintahan. Di sektor penyediaan pangan,
47
dalam 50 tahun terakhir setidaknya terdapat dua paradigma, yaitu: a) paradigma produksi (supply side) termasuk pada penekanan peningkatan produktivitas (intensifikasi)
dan
perluasan
areal (ekstensifikasi);
pada
paradigma
ini
kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan didasarkan pada kemampuan produksi,
dan
semua
aspek,
khususnya
kelembagaan
ditujukan
untuk
mendukung proses produksi seperti yang ditunjukkan antara lain oleh Program Bimas dan Inmas, b) paradigma sistem usaha agribisnis yang mengkaitkan kegiatan produksi bahan baku dengan kegiatan industri dan jasa dalam perspektif ekonomi makro. Implementasi kedua paradigma tersebut dalam pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah menunjukkan tingkat keberhasilan dan permasalahan masing-masing, Pelajaran utama yang dapat dipetik dari berbagai pengalaman tersebut adalah bahwa kebijakan dan strategi untuk pembangunan ketahanan pangan, khususnya dalam hal produksi, penyediaan dan distribusi pangan harus bersifat integratif. Artinya pembangunan di bidang ini (khususnya sektor pertanian dan perikanan/kelautan) atau yang diarahkan untuk bidang ini (pembangunan di sektor lain yang mempengaruhi sektor pertanian dan perikanan) harus terintegrasi, harus memadukan kebijakan yang bersifat jangka Berbagai kebijakan dan program yang mendukung ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia sejak Repelita III (1979-1983) sampai RPJMN 2004-2009 dibagi per sepuluh tahun dan secara lebih rinci disajikan pada Tabel 14 sampai Tabel 16.
48
Tabel 14 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita III sampai Repelita IV Orde Orde Baru (Periode Menuju Pencapaian Swasembada Beras)
Rezim Pemerintahan Soeharto (Repelita III 1979-1983)
Soeharto (Repelita IV 1984-1988)
Arah Kebijakan
Kebijakan dan Program
Mengusahakan penyediaan pangan meningkat dan merata dan pada tingkat harga yang terjangkau oleh rakyat Mengusahakan penganekaragaman pola konsumsi pangan rakyat dan mengurangi ketergantungan pada beras Meningkatkan keadaan atau status gizi rakyat dan usahausaha pencegahan serta penanggulangan masalah kurang kalori protein (KKP), kekurangan vitamin A, anemia gizi besi dan gondok endemik dengan peran-serta aktif masyarakat.
Mengusahakan agar persediaan dan konsumsi bahan makanan dalam masyarakat terus meningkat dan semakin beraneka ragam Secara berkala akan ditentukan harga dasar untuk bahan-bahan pangan yang terpenting Meningkatkan daya guna dan hasil guna sistem pemasaran pangan Penanggulangan masalah gizi Pencapaian sasaran memantapkan swasembada pangan Penganekaragaman pola konsumsi pangan, peningkatan produksi dan pengadaan bahan pangan bukan beras akan terus ditingkatkan Penganekaragaman pangan dan teknologi industri pangan, baik yang bersifat teknis maupun fisik Pemerataan persediaan/cadangan pangan Peningkatan usaha perbaikan gizi
Menuju tercapainya penyediaan pangan yang memadai, merata dan sesuai dengan kebutuhan gizi penduduk serta terjangkau oleh daya beli rakyat Meningkatkan keanekaragaman pola konsumsi pangan dengan mengurangi ketergantungan pada beras dan meningkatkan mutu gizinya Menunjang pemantapan pembentukan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera dengan menurunkan angka kematian bayi dan anak balita melalui peningkatan keadaan gizi mereka Melanjutkan upaya peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah yang berdampak pada pengurangan penyakit KKP, kekurangan vitamin A, Gondok Endemik dan Anemia Gizi Besi
Indikator KEP
Penderita kurang kalori dan protein (KKP) pada anak balita berkurang dari 30% menjadi 22%
Catatan 1978: Kepres 39/1978, Pengembalian tugas Bulog sebagai pengontrol harga untuk gabah, beras, tepung gandum, gula pasir, dll 1984: Medali FAO atas tercapainya swasembada pangan Kebijakan pangan pada masa ini hanya untuk meningkatkan produksi padi saja tanpa memperhatikan siapa dan golongan petani mana yang memanfaatkan dan menikmati program tersebut. Produksi padi harus naik, sedangkan pembagian hasil akan diatur oleh kekuatan atau mekanisme pasar
49
Tabel 15 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita V sampai Repelita VI Orde Orde Baru (Era Stabilisasi Orde Baru)
Rezim Pemerintahan Soeharto (Repelita V 1989-1993)
Soeharto (Repelita VI 1994-1998)
Arah Kebijakan
Kebijakan dan Program
Memantapkan swasembada pangan yang telah dicapai dalam Repelita IV Meningkatkan upaya penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan guna mengurangi ketergantungan pada beras, sekaligus meningkatkan mutu pangan dan gizi rakyat dengan tetap memperhatikan po- la konsumsi masyarakat setempat Meningkatkan keadaan gizi bayi, balita dan ibu hamil Melanjutkan upaya peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah yang berdampak mengurangi penyakit KKP, kekurangan vitamin A, Gondok Endemik dan Anemia Gizi Besi Terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, yang antara lain tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dan terjangkaunya harga pangan oleh masyarakat Terwujudnya diversifikasi konsumsi pangan, yang tercermin dari tersedianya berbagai komoditas pangan dan pangan olahan Terjaminnya keamanan pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat Mantapnya kelembagaan pangan yang dicirikan oleh meningkatnya pelayanan dan koordinasi tentang penyediaan pangan, kebijaksanaan harga dan distribusi pangan, serta pengembangan industri pangan Terwujudnya kesadaran gizi yang tinggi di masyarakat yang antara lain tercermin dari pola konsumsi pangan yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang Tercapainya penurunan prevalensi penyakit bukan infeksi akibat gizi lebih seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker sampai pada tingkat yang serendah mungkin Turunnya secara bermakna berbagai jenis penyakit gizi kurang terutama pada bayi, anak balita, dan ibu hamil sehingga tidak lagi menjadi masalah gizi masyarakat
Peningkatan dan Penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan Peningkatan pemerataan penyediaan angan Stabilisasi harga pangan Peningkatan usaha perbaikan gizi
Peningkatan Ketahanan Pangan Diversifikasi Konsumsi Pangan Peningkatan Keamanan Pangan Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Gizi Masyarakat Penanggulangan masalah gizi kurang Pengelolaan Upaya Perbaikan Gizi Program pokok : pemantapan swasembada pangan dan diversifikasi pangan Program penunjang : pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pangan; penelitian dan pengembangan pangan; pengembangan kelembagaan pangan; dan program perbaikan gizi
Indikator KEP Penderita kurang kalori protein (KKP) nyata pada balita berkurang dari 10.8% menjadi 9.5%
Prevalensi KEP total pada balita sekurangkurangnya 30%
Catatan Kebijakan yang penting: stabilisasi harga beras Berbagai instrumen kebijakan digunakan untuk mengamankan harga beras Manajemen stok merupakan instrumen inti dari kebijakan stabilisasi 1997: Perubahan fungsi Bulog hanya untuk mengontrol harga beras dan gula pasir 1998: Penyempitan peran Bulog yang berfungsi sebagai pengontrol harga beras saja Pada periode ini harga beras relatif cukup stabil walaupun cenderung meningkat sebagai penyesuaian dengan laju inflasi Keberhasilan upaya ini ternyata memerlukan ongkos yang besar dan terus meningkat sepanjang tahun
50
Tabel 16 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Propenas sampai RPJMN 2004-2009 Orde Reformasi
Rezim Pemerintahan Habibie : Sebelum Desentralisasi (1998/1999) A. Wahid: Setelah Desentralisasi (1999/2000) Megawati (2000/2004) (Propenas 1999-2004) S. Bambang Yudoyono (RPJMN 2004-2009)
Arah Kebijakan
Kebijakan dan Program
Mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan pembangunan yang lebih kukuh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan Peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan dengan pendekatan paradigma sehat, peningkatan mutu lembaga dan pelayanan kesehatan, pengembangan sistem jaminan sosial tenaga kerja, pengembangan ketahanan sosial, peningkatan apresiasi terhadap penduduk lanjut usia dan veteran, peningkatan kepedulian terhadap penyandang masalah sosial, peningkatan kualitas penduduk, pemberantasan perdagangan dan penyalahgunaan narkotik dan obat terlarang, dan peningkatan aksesibilitas fisik dan nonfisik bagi penyandang cacat
Penyediaan kebutuhan pokok untuk keluarga miskin Peningkatan Ketahanan Pangan Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat Upaya Kesehatan Perbaikan Gizi Masyarakat Sumber Daya Kesehatan Obat, Makanan, dan Bahan Berbahaya Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan
Mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri dengan ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, agar kemandirian pangan nasional dapat diamankan Meningkatkan ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri. Kebijakan pengembangan peternakan diarahkan untuk meningkatkan populasi hewan dan produksi pangan hewani dari produksi dalam negeri agar ketersediaan dan keamanan pangan hewani dapat lebih terjamin untuk mendukung peningkatan kualitas SDM Melakukan diversifikasi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras dengan melakukan rekayasa sosial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerjasama dengan industri pangan, untuk meningkatkan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif Peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan Pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin Peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat Peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar
Program peningkatan ketahanan pangan Program pengembangan agribisnis Program peningkatan kesejahteraan petani Program peningkatan sumberdaya perikanan Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat Program lingkungan sehat Program upaya kesehatan masyarakat dan perorangan Program pencegahan dan pemberantasan penyakit Program perbaikan gizi masyarakat Program sumberdaya kesehatan Program penelitian dan pengembangan kesehatan
Indikator KEP Menurunkan prevalensi kurang gizi pada balita menjadi 20 %
Menurunnya prevalensi kurang gizi pada anak balita dari 25.8 persen menjadi 20%
Catataan Perubahan yang signifikan pada era ini: Pemerintah lebih membuka ekonomi Indonesia terhadap pasar global, termasuk untuk beras Perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi dan otonomi daerah Sebelum desentralisasi : Unsur-unsur penopang kebijakan ekonomi beras dihilangkan 1998/1999: penjualan pesawat IPTN ditukar dengan beras Thailand 2000: Penugasan tugas Bulog untuk managemen logistik beras ( penyediaan, distribusi, dan kontrol harga) Setelah desentralisasi: Implementasi otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi sejalan dengan paradigma pembangunan ketahanan pangan yang lebih terarah pada tingkat rumah tangga 2003: Privatisasi Bulog 2004: No-Option Strategy kecualu Swasembada Beras 2005: “Revitalisasi Pertanian” komitmen untuk peningkatan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung serta palawija
51
Hasil analisis isi terhadap kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi selama
periode
Repelita
III
sampai
RPJMN
2004-2009
di
Indonesia
memperlihatkan adanya pola tertentu yang semakin berkembang pada tiap masa pemerintahan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan disesuaikan dengan masalah dan tantangan setiap periode pemerintahan. Pada periode Repelita III hingga Repelita IV menunjukkan bahwa pembangunan pangan lebih berorientasi pada produksi pangan yang tercermin dari arah kebijakan ketahanan pangan dan gizi yang lebih banyak diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan. Kebijakan dan program pembangunan ketahanan pangan dan gizi pada periode ini masih berfokus pada program penguatan produksi pangan untuk mencapai swasembada pangan. Selain itu terlihat bahwa pada periode Repelita III, pemerintah belum menetapkan suatu indikator spesifik dalam pencapaian target penurunan prevalensi KKP (Kurang Kalori dan Protein) yang banyak diderita oleh anak balita. Pada periode Repelita V sampai periode Repelita VI terlihat bahwa kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi mulai diarahkan pada sub sistem ketahanan pangan lainnya yaitu, distribusi dan konsumsi pangan. Hal ini tercermin dari arah kebijakan seperti, peningkatan penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan dan pemantapan kelembagaan pangan yang dicirikan oleh meningkatnya pelayanan dan koordinasi tentang penyediaan pangan, kebijaksanaan harga dan distribusi pangan, serta pengembangan industri pangan. Akan tetapi arah kebijakan juga tetap diarahkan untuk memantapkan swasembada pangan yang telah dicapai dalam Repelita IV. Selain itu, pada sub sistem status gizi, kebijakan mulai diarahkan untuk menurunkan berbagai penyakit kurang gizi terutama pada bayi, anak balita, ibu hamil sehingga tidak lagi menjadi masalah gizi masyarakat. Disamping itu, kebijakan juga tetap diarahkan untuk melanjutkan usaha peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah untuk mengurangi KKP, kekurangan vitamin A, gondok endemik dan anemia gizi besi yang telah dimulai sejak Repelita III. Selain itu terlihat pula pada mas Repelita VI, pemerintah mulai peduli dengan masalah keamanan pangan, hal ini dicirikan dengan adanya program peningkatan kemananan pangan pada periode tersebut. Pada tahun 1970an sampai awal tahun 1990, Indonesia telah mengembangkan suatu pendekatan yang terintegrasi untuk meningkatkan akses pangan dan perbaikan gizi masyarakat melalui kegiatan Usaha Perbaikan Gizi
52
Keluarga (UPGK). Dalam implementasinya kegiatan ini melibatkan berbagai instansi teknis, khususnya pertanian, kesehatan, BKKBN, Departemen dalam Negeri dan lembaga kemasyarakatan yang tumbuh di pedesaan seperti PKK dan Dasawisma. Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) menjadi pusat kegiatan masyarakat untuk memantau pertumbuhan status gizi anak balita sekaligus memperoleh informasi dan kemampuan praktis dalam tata kelola pekarangan untuk menunjang perbaikan gizi keluarga, penyiapan makanan dan pengasuhan anak,pentingnya penganekaragaman/diversifikasi pangan, serta pada saat bersamaan memperoleh pelayanan imunisasi, suplementasi dan pelayanan rujukan bagi yang mengalami gizi kurang tingkat berat. Pada masa ini Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) berkembang pesat dan cukup memiliki daya cegah terhdap munculnya masalah gizi buruk ke permukaan karena penapisan dan penanganan gizi buruk dapat dilakukan secara lebih dini. Pembangunan nasional pada
periode
berikutnya
tertuang
dalam
Propenas dan RPJMN 2004-2009. Propenas sebagai penjabaran dari GBHN 1999-2004 dirumuskan secara transparan dengan mengikutsertakan berbagai pihak baik kalangan pemerintah, dunia usaha, dunia pendidikan, LSM, maupun para pakar baik di pusat maupun di daerah. Pada masa ini era reformasi dimulai dan terjadi perubahan besar di berbagai bidang yang telah membawa pula perubahan di berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, beberapa prioritas pembangunan pada periode Propenas adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan serta membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama, dan ketahanan budaya. Berbagai kebijakan ketahanan pangan dan gizi pada periode Propenas mulai berorientasi pada pengamanan ketersediaan pangan, peningkatan diversifikasi pangan, meningkatkan distribusi pangan, dan mengembangkan kemandirian pangan. Selain itu, pada periode ini, terlihat bahwa
pemerintah
mulai mengarahlan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizinya pada peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan dengan paradigma sehat. Hal ini dapat terlihat dengan adanya program lingkungan sehat perilaku sehat, dan pemberdayaan masyarakat. Pada
periode
RPJMN
2004-2009,
pemerintah
mempromosikan
“Revitalisasi Pertanian” dengan upaya mencapai swasembada beras maupun non beras melalui pangan alternatif seperti jagung dan singkong, disamping
53
beras. Revitalisasi pertanian termasuk di dalamnya juga pembangunan sektor agribisnis demi terciptanya nilai tambah komoditas agribisnis demi pendapatan dan hak atas pangan yang lebih baik. Hal ini terlihat dari kebijakan ketahanan pangan yang banyak diarahkan untuk mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri, meningkatkan ketersediaan pangan hewani, diversifikasi pangan. Selain itu, pembangunan bidang kesehatan semakin diperluas untuk menunjang perbaikan gizi masyarakat. Hal ini terlihat
dari beberapa kebijakan yang
diarahkan untuk peningkatan kualitas kesehatan dasar dan pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin. Selain perubahan tersebut, ternyata pada periode RPJMN 2004-2009 seperti yang terlihat pada Tabel 16, program perbaikan gizi mendapat perhatian yang kurang dari pemerintah jika dibandingkan dengan periode-periode pembangunan sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dari adanya kebijakan pada masa ini yang diarahkan kepada hal-hal yang bersifat makro seperti mempertahankan
produksi,
meningkatkan
ketersediaan
pangan
hewani,
diversifikasi pangan, dan beberapa kebijakan di bidang kesehatan. Program pembangunan bertambah banyak dan program perbaikan gizi terlihat menjadi semakin “kabur” dengan disejajarkannya program gizi beberapa program di bidang kesehatan seperti program promosi kesehatan, lingkungan sehat, pencegahan dan pemberantasan penyakit dan program-program lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah pada periode ini kembali menggunakan paradigma input untuk mengukur kesejahteraan rakyat seperti yang terjadi pada masa Repelita III dan Repelita IV dengan mengakomodir hal-hal yang lebih makro pada pembangunan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia. Beberapa perubahan yang terjadi pada era reformasi berdampak pula pada situasi ketahanan pangan dan gizi di Indonesia. Lembaga pedesaan yang selama ini berfungsi dalam perbaikan pangan dan gizi (PKK, posyandu, Dasawisma) rumahtangga mulai melemah dan kasus gizi buruk menjadi sering muncul di permukaan karena tidak terdeteksi dan tertangani secara dini. Desentralisasi dan otonomi daerah mengakibatkan tidak meratanya pemahaman, langkah, upaya dan penempatan prioritas pembangunan ketahanan pangan dan gizi sehingga di beberapa daerah ketahanan pangan dapat dibangun dengan kokoh sementara di daerah lainnya terjadi kerapuhan. Selain itu, pada akhir periode RPJMN, terlihat bahwa revitalisasi pertanian hanya menyentuh aspek produksi dan tidak banyak menjawab persoalan seperti soal akses atas pangan
54
yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Hal ini terlihat dari adanya kenaikan harga BBM yang mempengaruhi akses penduduk dalam memperoleh pangan dengan harga yang terjangkau. Bebagai kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi yang telah ditetapkan pemerintah sejak periode Repelita III hingga RPJMN 2004-2009 mempengaruhi perkembangan masalah gizi KEP pada balita. Kaitan antara kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dengan perkembangan masalah KEP pada balita di Indonesia dapat diihat lebih rinci pada Lampiran 1. Pada Lampiran tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 1983 atau akhir Repelita III, prevalensi KKP (Kurang Kalori dan Protein) pada balita adalah 29.1%. Jumlah ini menurun pada periode Repelita IV yaitu tahun 1998 menjadi 10.8%. Hal ini diduga karena pada periode Repelita IV, pemerintah telah menetapkan target penurunan prevalensi penderita KKP balita menjadi 22% yang belum ditetapkan pada periode Repelita III. Selain itu, kebijakan ketahanan pangan dan gizi pada Repelita III dan Repelita IV diduga turut mempengaruhi terjadinya penurunan prevalensi KKP pada anak balita.
Disamping itu, pada
periode Repelita III pemerintah mencanangkan program utama di bidang ketahanan pangan yaitu swasembada pangan dan tercapai pada tahun 1984 atau pada periode Repelita IV. Selain itu, pada akhir periode Repelita VI terlihat bahwa prevalensi KEP total adalah 20.7% dengan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi pada saat itu berorientasi pada diversifikasi konsumsi pangan dan peningkatan distribusi pangan. Jumlah ini telah melampaui target yang ditetapkan pemerintah yaitu prevalensi KEP total pada balita sekurangkurangnya 30%. Pada akhir Repelita VI atau pada awal Propenas, istilah Kurang Energi Protein (KEP) pada balita sudah jarang digunakan dan istilah masalah gizi pada balita disebut sebagai kekurangan gizi balita. Hal ini dikarenakan masalah gizi pada anak balita juga disebabkan oleh kurangnya zat gizi mikro. Pada akhir periode Propenas, prevalensi kekurangan gizi pada balita adalah 27.5% dan jumlah ini menurun menjadi 17.9% pada akhir periode RPJMN 2004-2009. Hal ini diduga terjadi karena pemerintah menetapkan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi yang berbeda dengan periode sebelumnya. Pada periode Propenas, pemerintah mengarahkan kebijakan untuk mempercepat pemulihan
55
ekonomi dan peningkatan SDM dan lingkungan dengan pendekatan paradigma sehat dan pelayanan kesehatan. Sedangkan pada periode RPJMN 2004-2009, pemerintah banyak mengarahkan kebijakan di bidang pangan dan perbaikan gizi untuk mencapai swasembada beras dan non-beras, melakukan diversifikasi pangan dan memperluas pembangunan kesehatan dengan berbagai program yang tidak hanya bertujuan memperbaiki keadaan gizi masyarakat tetapi juga mendukung terwujudnya keadaan gizi yang lebih baik dan merata. Berbagai hal ini memperlihatkan bahwa kebijakan yang telah ditempuh pemerintah melalui program pembangunan nasional sejak tahun 1980 hingga 2010 khususnya dalam bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia mempengaruhi perkembangan masalah gizi KEP pada balita. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009 sebesar 20% dan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5%, maka secara nasional targettarget tersebut sudah terlampaui. Menurut Aritonang (2004) kecenderungan perubahan
keadaan
gizi
masyarakat
mencerminkan
adanya
kebijakan
pembangunan yang berbeda pula. Terwujudnya ketahanan pangan akan berdampak kepada perbaikan status gizi (Azwar 2004).
56
Hubungan Parameter Pembangunan Ekonomi dan Sosial dengan Masalah Gizi Kurang Beberapa
parameter
pembangunan
ekonomi
dan
sosial
diduga
berhubungan dengan prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir. Tabel 17 menunjukkan parameter ekonomi dan sosial yang berpengaruh terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia berdasarkan uji korelasi Pearson. Tabel 17 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia tahun 1989-2010 Rata-rata lama Tingkat kemiskinan PDB per kapita Variabel sekolah (%) (Rp) (tahun) Prevalensi Gizi Berhubungan Tidak Berhubungan Buruk (%) signifikan berhubungan signifikan (p = 0.046 < 0.05; (p = 0.904 > 0.05) (p = 0.005 < 0.01; r = 0.641) r = -0.774) Prevalensi Gizi Tidak berhubungan Berhubungan Berhubungan Kurang (%) (p = 0.1 > 0.05) signifikan signifikan (p = 0.001 < 0.01; (p = 0.005 < 0.02; r = -0.821) r = -0.774)
Kemiskinan Kemiskinan merupakan faktor penghambat sebuah keluarga dalam memperoleh akses makanan yang seimbang, pola pengasuhan, dan pelayanan kesehatan yang baik. Apabila ketiga faktor tersebut tidak dapat dipenuhi maka akan mengakibatkan munculnya kasus gizi buruk (Soekirman 2005). Menurut beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa penderita gizi buruk (KEP) cenderung lebih banyak dan parah di lingkungan keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Masalah gizi yang berkaitan dengan kemiskinan merupakan suatu lingkaran setan yang sulit dipecahkan sehingga menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan (Suhardjo 1989b). Kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab masalah gizi yang dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan meyebakan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran
57
untuk berobat (Bappenas 2007). Untuk mengetahui perkembangan tingkat kemiskinan dan status gizi balita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Perkembangan tingkat kemiskinan dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 Periode
Tahun
Prevalensi Gizi Buruk
Prevalensi Gizi Kurang
Tingkat Kemiskinan
Repelita IV Repelita V
1989 1990 1992 1993 1996a 1996b 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(%) 6.30 NA 7.23 NA NA NA 10.51 8.11 7.53 6.30 7.47 8.55 8.3 8.80 NA 5.40 NA NA 4.9
(%) 37.47 NA 35.57 NA NA NA 29.51 26.36 24.66 26.1 26.82 28.17 27.5 28.04 NA 18.3 NA NA 17.9
(%) NA 15.1 NA 13.7 11.34 17.47 24.23 23.43 19.14 18.41 18.2 17.42 16.66 15.97 17.75 16.58 15.42 14.15 13.33
Repelita VI
Propenas
RPJMN
Sumber : BPS. Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Ket: Tingkat kemiskinan : tahun 1989 s.d. 1996a : menggunakan standar lama (sebelum tahun 1998) tahun 1996b s.d. 2010 : berdasarkan standar 1998 yang disesuaikan dengan pola konsumsi tahun yang bersangkutan Status gizi menggunakan indeks BB/U menurut standar baku WHO-NCHS
Mengacu pada garis kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan (persentase penduduk miskin) menunjukkan kecenderungan menurun selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 1990, tingkat kemiskinan mencapai 15.1%, kemudian turun menjadi 11.34% pada tahun 1996 (a). Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 mengakibatkan persentase penduduk miskin meningkat kembali menjadi 24.2% pada tahun 1998. Pemulihan ekonomi dalam 5 tahun terakhir berhasil menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 15.97% tahun 1995. Akan tetapu pada tahun 2006 tingkat kemiskinan menungkat lagi menjadi 17.75%. Hal ini diduga terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut meningkat yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17.95% (BPS
58
2009). Dengan demikian, penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin.
Pada tahun 2007 terjadi penurunan kembali,
persentase penduduk miskin di Indonesia menjadi 16.6% atau sebesar 37.2%. Pada periode tahun 2006-2010, jumlah penduduk miskin telah berhasil dikurangi secara signifikan dari periode sebelumnya. Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan dimana tahun 2010 menjadi 31.0 juta jiwa (13.3%) atau berkurang 8.3 juta jiwa orang dibandingkan tahun 2006. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 tersebut bahkan lebih kecil dari jumlah penduduk miskin sebelum krisis ekonomi moneter tahun 1998 sebesar 34.01 juta jiwa (17.5%). Selain berupaya untuk mengurangi jumlah kurang gizi, Indonesia juga berupaya untuk mengurangi jumlah kemiskinan. Sesuai dengan jumlah MDGs yaitu mengurangi kelaparan ekstrim dan kemiskinan, maka target yang harus dicapai oleh Indonesia adalah menurunkan proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan di bawah US$1 per hari menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015. Tingkat kemiskinan yang menjadi sasaran MDGs pada tahun 2015 adalah 7.5% (Bappenas 2007). Di sisi lain, Indonesia juga berusaha untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional melalui RPJMN 2004-2009 yaitu penanggulangan kemiskinan dengan sasaran menurunkan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 8.2% pada tahun 2009 (Bappenas 2009a). Berdasarkan hasil evaluasi RPJMN 2004-2009, faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia antara lain: 1) belum meratanya program pembangunan, khususnya di pedesaan, luar pulau Jawa, daerah terpencil dan daerah perbatasan; 2) kemiskinan sangat terkait dengan dengan keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar; 3) masih besarnya jumlah penduduk yang rentan untuk jatuh miskin baik karena guncangan ekonomi maupun kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan sosial; 4) bencana alam dan sosial menciptakan penduduk
miskin
baru,
sehingga
tingkat
kemiskinan
juga
mengalami
peningkatan; 5) kemiskinan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga-harga kebutuhan pokok yang berdampak pada daya beli masyarakat miskin (Bappenas 2007). Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin belum memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan
59
yang tidak mencukupi, anggota rumah tangga, termasuk anak balitanya menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan oleh profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja kasar yang berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh keluarga juga kurang berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai karena kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan adanya anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan keluarga. Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya beban anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin. Keseluruhan faktor ini dapat menyebabkan kekurangan gizi pada setiap anggota rumah tangga miskin yang dapat berakibat pada: (i) menurunnya produktivitas individu karena kondisi fisik yang buruk serta tingkat kecerdasan dan pendidikan yang rendah; (ii) tingginya pengeluaran untuk memelihara kesehatan karena sering sakit. Sebaliknya, kedua hal ini pun menyebabkan kemiskinan pada individu tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah KEP tidak hanya disebabkan oleh masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial ekonomi terutama kemiskinan. Berikut disajikan gambaran hubungan antara prevalensi gizi buruk dengan tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 1989-
Prevalensi gizi buruk (%)
2010 (Gambar 3). 12 11 10 9 8 7 6 5 4
y = 0.325x + 1.624 R² = 0.411
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
Tingkat Kemiskinan (%)
Gambar 3 Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%) dengan tingkat kemiskinan (%) di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir (1989-2010)
Analisis korelasi dengan metode Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = 0.046 < 0.05, r = 0.641) antara prevalensi gizi buruk dengan tingkat kemiskinan. Arah hubungan yang positif menunjukkan semakin tinggi tingkat kemiskinan maka prevalensi gizi buruk akan semakin meningkat. Nilai koefisien determinasi (R 2) adalah 0.411 yang berarti tingkat kemiskinan berpengaruh sebesar 41.1% terhadap prevalensi gizi buruk,
60
sisanya dijelaskan faktor lain. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = 0.325x + 1.624. Koefisien regresi persamaan tersebut adalah 0.325, artinya setiap kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 1 satuan, maka akan meningkatkan 0.325 kali prevalensi gizi buruk. Kemiskinan memiliki keterkaitan erat dengan kerawanan pangan dan aksesbilitas pangan. Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan. Apabila program-program pemantapan ketahanan pangan kurang memperhatikan kelompok ini, maka akan berdampak pada peningkatan kemiskinan/kerawanan pangan dan status gizi yang rendah (DKP 2006). Sementara itu, analisis korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p = 0.1 > 0.05) antara prevalensi gizi kurang pada balita dengan tingkat kemiskinan di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa masalah gizi kurang tidak hanya terjadi karena masalah ekonomi seperti kemiskinan, akan tetapi dapat disebabkan oleh faktor lain. Pada laporan Riskesdas 2010 disajikan prevalensi status gizi balita berdasarkan indeks BB/U menurut beberapa karakteristik responden. Salah satu karakteristik responden yang digunakan yaitu tingkat pengeluaran rumahtangga per kapita. Tingkat pengeluaran rumahtangga per kapita dibagi menjadi kuintil 1 sampai kuintil 5 yang mengindikasikan keadaan ekonomi rumah tangga. Semakin tinggi kuintil, semakin baik keadaan ekonomi rumahtangga dan sebaliknya
semakin
rendah
kuintil
semakin
rendah
keadaan
ekonomi
rumahtangga. Pada kuintil 5, terlihat bahwa prevalensi gizi buruk balita adalah 2.5% dan prevalensi gizi kurang sebesar 7.9%. Hasil ini mengindikasikan bahwa masalah gizi buruk tidak hanya terjadi pada keluarga yang status ekonominya rendah, namun juga terjadi pada keluarga yang baik kondisi perekonomiannya. Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita Perkembangan ekonomi dihitung berdasarkan perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). Angka laju pertumbuhan ekonomi dihitung dengan menggunakan PDB atas dasar harga konstan. Jika PDB dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun diperoleh rata-rata produk yang dihasilkan atau pendapatan yang dibayarkan per penduduk negara tersebut disebut sebagai nilai PDB per kapita (BPS 2005a). PDB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB atas dasar harga konstan per tahun. Perkembangan PDB per kapita di
61
Indonesia selama dua puluh tahun (1989-2010) secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Perkembangan PDB per kapita di Indonesia tahun 1989-2010 dan status masalah kesehatan secara nasional Status Gizi Buruk Gizi Kurang No Tahun PDB/kapita (rupiah) Masalah (%) (%) Kesehatan 1. 1989 4 908 329 6.30 37.47 sangat tinggi 2. 1992 5 770 766 7.23 35.57 sangat tinggi 3. 1995 6 833 940 11.56 31.58 sangat tinggi 4. 1998 6 403 538 10.51 29.51 tinggi 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1999 2000 2001 2002 2003 2004
6 359 468 6 775 003 6 927 442 7 142 654 7 385 472 7 655 534
8.11 7.53 6.30 7.47 8.55 8.3
26.36 24.66 26.10 26.82 28.17 27.5
tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi
11.
2005
7 963 608
8.80
28.04
tinggi
12. 13.
2007 2010
8 705 504 9 858 846
5.40 4.9
18.30 17.9
sedang sedang
*Atas dasar harga konstan Sumber: IMF, BPS (Susenas), RISKESDAS 2007, dan RISKESDAS 2010 Keterangan: Status gizi menurut indeks BB/U standar baku WHO-NCHS Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Sedang : 10-19.9% Tinggi : 20-29.9% Sangat tinggi : ≥30%
Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa selama dua puluh tahun terakhir, nilai PDB per kapita atas dasar harga konstan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1989-1997, nilai PDB per kapita terus mengalami peningkatan, namun terjadi penurunan pada rentang tahun 1998-1999. Penurunan ini disebabkan karena krisis ekonomi yang terjadi pada masa tersebut (BPS 2005a). Selanjutnya PDB terus mengalami peningkatan hingga tahun 2010. Pada tahun 1989-1995 dengan nilai PDB yang meningkat, status permasalahan gizi buruk dan gizi kurang termasuk dalam kategori sangat tinggi. Perbedaan status permasalahan gizi buruk dan gizi kurang pada tahun 19861987 dengan tahun 1989 disebabkan penggunaan standar yang berbeda. Pada tahun 1998-2005, Indonesia memiliki nilai PDB per kapita atas dasar harga konstan yang cenderung meningkat walaupun terjadi penurunan dari tahun 19981999, status permasalahan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang termasuk dalam
62
kategori tinggi. Selain itu pada tahun 2007-2010, permasalahan gizi buruk dan gizi kurang termasuk pada kategori sedang. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk pada balita dengan PDB per kapita di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir. Hal ini diduga terjadi karena walaupun PDB cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun investasi pembangunan di bidang gizi tidak mudah dan tidak cepat sebagaimana membangun gedung dan prasarana fisik. Perbaikan gizi memerlukan konsistensi dan kesinambungan program dalam jangka pendek dan jangka panjang (Bappenas 2007). Sejalan dengan kerangka pikir UNICEF (1998), PDB per kapita merupakan indikator daya beli yang berpengaruh langsung terhadap konsumsi pangan. Oleh karena itu apabila PDB per kapita rendah, maka daya beli pun menjadi rendah sehingga mengakibatkan kemampuan untuk membeli dan mengkonsumsi pangan akan berkurang. Selanjutnya, pengaruh PDB per kapita terhadap gizi kurang dapat
Prevalensi gizi kurang (%)
dijelaskan pada gambar di bawah ini (Gambar 4). 45 40
y = -4E-06x + 56.56 R² = 0.674
35 30 25 20 15 3.5
4.5
5.5
6.5
7.5
PDB per kapita (rupiah)
8.5
9.5 Millions
Gambar 4 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan PDB per kapita Indonesia selama dua puluh tahun terakhir (1989-2010)
di
Analisis korelasi dengan metode Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = 0.001 < 0.01; r = -0.821) antara prevalensi gizi kurang dengan PDB per kapita. Arah hubungan yang negatif menunjukkan semakin tinggi tingkat PDB per kapita maka prevalensi gizi kurang akan semakin menurun. Nilai koefisien determinasi (R2) adalah 0.674 yang berarti tingkat kemiskinan berpengaruh sebesar 67.4.% terhadap prevalensi gizi buruk, sisanya dijelaskan faktor lain. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = -4.106 x + 56.56. Koefisien regresi persamaan tersebut adalah -4.106, artinya
63
setiap kenaikan PDB per kapita sebesar 1 satuan, maka akan menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar 4.106 kali. Menurut Soekirman (2005), proporsi anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk maka akan semakin tinggi persentase anak yang mengalami kekurangan gizi juga akan semakin kecil. Pendidikan Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga. Berg (1986) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi akan menjadi lebih baik. Berikut ini disajikan data pendidikan berupa rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia tahun 1994-2010 pada Tabel 20. Tabel 20 Perkembangan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia tahun 1995-2010 dan status masalah kesehatan secara nasional Rata-rata Lama Status Gizi Buruk Gizi Buruk + Tahun Sekolah Masalah No (%) Gizi Kurang (%) (tahun) Kesehatan sangat tinggi 1. 1995 6.02 11.56 31.58 tinggi 2. 1998 6.57 10.51 29.51 tinggi 3. 1999 6.71 8.11 26.36 tinggi 4. 2000 6.79 7.53 24.66 tinggi 5. 2001 6.74 6.30 26.10 tinggi 6. 2002 7.05 7.47 26.82 tinggi 7. 2003 7.08 8.55 28.17 tinggi 8. 2004 7.24 8.3 27.5 tinggi 9. 2005 7.30 8.80 28.04 sedang 10. 2007 7.47 5.40 18.30 sedang 11. 2010 7.92 4.9 17.9 Sumber: BPS Keterangan: Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Sedang : 10-19.9% Tinggi : 20-29.9% Sangat tinggi : ≥30%
Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia pada Tabel 20 menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat
64
dari tahun 1995-2010. walaupun terjadi penurunan rata-rata lama sekolah penduduk pada tahun pada tahun 2000-2001. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk tertinggi yaitu pada tahun 2010 memiliki status permasalahan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang tergolong sedang dan hanya pada tahun 1995 yang termasuk dalam kategori sangat tinggi. Menurut Soekirman (2005), proporsi anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk maka akan semakin tinggi persentase anak yang mengalami kekurangan gizi juga akan semakin kecil. Untuk mengetahui hubungan antara prevalensi gizi buruk (%) dengan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia dapat dilihat pada
Prevalensi gizi buruk (%)
Gambar 5. 12 11 10 9 8 7 6 5 4
y = -3.046x + 29.24 R² = 0.598
6
6.5
7
7.5
8
Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas(tahun)
Gambar 5 Hubungan antara rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas dengan prevalensi gizi buruk (%) di Indonesia pada tahun 1995-2010
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan (p = 0.005 < 0.05, r = -0.774) antara prevalensi gizi buruk dengan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas. Arah hubungan yang negatif berarti terdapat hubungan berbanding terbalik antara rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas dengan prevalensi gizi buruk. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk suatu wilayah maka prevalensi gizi buruk di wilayah tersebut akan cenderung menurun Koefisien determinasi yang ditunjukkan pada hubungan di atas bernilai 0.598, artinya ratarata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas berpengaruh 59.8% terhadap prevalensi gizi buruk. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = -3.046x + 29.24. Koefisien persamaan regresi persaman tersebut bernilai negatif yaitu 3.046, artinya setiap kenaikan satu satuan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas akan menurunkan 3.046 kali prevalensi gizi buruk.
65
Menurut Khomsan A et al (2007), tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Tingginya tingkat pengetahuan gizi seseorang, maka diharapkan akan lebih baik juga keadaan gizinya. Selanjutnya, pengaruh lama sekolah terhadap gizi kurang
Prevalensi gizi kurang (%)
dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini (Gambar 6). 32 30 28 26 24 22 20 18
y = -6.522x + 71.49 R² = 0.599
6
6.5
7
7.5
8
Rata-rata lama sekolah (tahun)
Gambar 6 Hubungan antara rata-rata lama sekolah dengan prevalensi gizi kurang (%) di Indonesia pada tahun 1995-2010
Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan (p = 0.005 < 0.02; r = -0.774) antara lama sekolah dengan prevalensi gizi kurang dengan arah hubungan yang negatif. Semakin tinggi lama sekolah maka prevalensi gizi kurang semakin rendah. Begitupula sebalinya, semakin rendah lama sekolah per kapita maka prevalensi gizi kurang semnakin tinggi. Koefisien determinasi (R2) pada hubungan di atas adalah 0.599, artinya lama sekolah berpengaruh sekitar 59.9% terhadap porevalensi gizi buruk dan gizi kurang. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = -6.522x + 71.49. Koefisien regresi persamaan bernilai negatif yaitu -6.522, artinya setiap kenaikan lama sekolah sebesar 1 satuan maka akan menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar 6.522 kali. Cicely William dalam Sukandar (2009) melaporkan studi di Afrika Barat bahwa gizi kurang tidak terjadi karena kemiskinan harta, akan tetapi oleh kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gizi keluarga khususnya gizi pada anak-anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nutrition Assesment Educational Project di Washington 1999 menyatakan bahwa rendahnya perhatian terhadap masalah gizi sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pengetahuan atau pemahaman tentang gizi yang baik dalam penelitian ini dapat dilihat dari rata-rata lamanya sekolah penduduk.
66
Hubungan Parameter Pembangunan Kesehatan Lingkungan dengan Masalah Gizi Kurang Beberapa
parameter pembangunan
kesehatan
lingkungan
diduga
berhubungan dengan prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir. Tabel 21 menunjukkan parameter pembangunan kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia berdasarkan uji korelasi Pearson. Tabel 21 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan di Indonesia tahun 1989-2010 Akses air minum layak Akses sanitasi layak Variabel (%) (%) Prevalensi Gizi Buruk (%) Tidak berhubungan Berhubungan signifikan (p = 0.098 > 0.05) (p = 0.004 < 0.01; r = -0.813) Prevalensi Gizi Kurang (%) Tidak berhubungan Berhubungan signifikan (p = 0.375) (p = 0.016 < 0.05; r = -0.732)
Akses Air Minum Layak Menurut Susenas, air minum yang terlindung dan berkelanjutan (air minum layak) berasal dari sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 m dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya, meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan. Untuk menilai akses terhadap sumber air minum, dalam penelitian ini menggunakan kriteria yang digunakan pemerintah dalam laporan Millenium Development Goals (MDGs) 2010. Kriteria akses terhadap sumber air minum terlindung yang digunakan MDGs adalah bila jenis sumber air minum berupa perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung dan mata air terlindung dengan jarak dari sumber pencemaran lebih dari 10 m. Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan adalah perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang
terlindungi dan
berkelanjutan
dengan
penduduk
seluruhnya, dan
dinyatakan dalam persen. Indikator ini menunjukkan tingkat pencapaian perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh (Bappenas 2009a). Perkembangan akses air minum layak dan status gizi balita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia disajikan pada Tabel 22.
67
Tabel 22 Perkembangan akses air minum layak dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 Gizi Buruk + Akses Air Gizi Buruk Gizi Kurang Periode Tahun Gizi Kurang MinumLayak (%) (%) (%) (%) 1989 6.30 31.17 37.47 NA Repelita V 1992 7.23 28.34 35.57 NA 1993 NA NA NA 37.7 1994 NA NA NA 37.7 Repelita VI 1995 11.56 20.02 31.58 38.0 1996 NA NA NA 41.3 1997 NA NA NA 42.7 1998 10.51 19.00 29.51 42.0 1999 8.11 18.25 26.36 42.2 Propenas 2000 7.53 17.13 24.66 37.5 2001 6.30 19.80 26.10 48.7 2002 7.47 19.35 26.82 48.3 2003 8.55 19.62 28.17 47.7 2004 8.3 19.2 27.5 48.8 RPJMN 2005 8.80 19.24 28.04 47.6 2006 NA NA NA 47.8 2007 5.40 12.90 18.30 48.3 2008 NA NA NA 46.5 2009 NA NA NA 47.7 2010 4.9 13.0 17.9 NA Sumber: BPS. SKRT 1980, SUPAS 1985, SKRT 1986, Susenas 1993-2009. Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Keterangan: Akses air minum layak: *Tahun 1980, 1985, dan 1986 : air minum layak didefinisikan sebagai air yang diperoleh dari sumber ledeng, pompa air, mata air, dan air hujan *Tahun 1993-2009 : sumber air minum layak didefinisikan sebagai sumber air sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya, meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan. Status gizi menurut indeks BB/U standar baku WHO-NCHS
Tabel 22 menunjukkan bahwa akses rumah tangga terhadap sumber air minum layak terus meningkat. Data Susenas menunjukkan, akses air minum layak meningkat dari 37.73% pada tahun 1993 menjadi 47.71% pada tahun 2009. Adapun laju peningkatan per tahunnya hanya 1.3%. Akses air minum layak cenderung lebih tinggi pada rumah tangga di perkotaan daripada di pedesaan, Bappenas (2010) menyebutkan bahwa masih relatif rendahnya akses air minum layak mencerminkan bahwa laju penyediaan infrastruktur air minum, terutama di perkotaan, belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, disamping itu banyak sarana dan prasarana air minum tidak terpelihara dan pengelolaannya tidak berkelanjutan.
68
Di samping kemajuan yang telah dicapai, masih terdapat gap dengan target MDGs dalam hal akses terhadap air minum yang layak. Target MDGs untuk akses air minum layak di Indonesia adalah 68.9% pada tahun 2015 dan pada tahun 2009 akses air minum layak di Indonesia baru mencapai 47.7% seperti yang ditunjukkan pada Tabel diatas. Salah satu tujuan MDGs adalah memastikan kelestarian lingkungan hidup dengan salah satu targetnya yaitu menurunkan
hingga
setengahnya
proporsi rumah
tangga
tanpa
akses
berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi layak hingga tahun 2015. Adapun indikator yang digunakan adalah proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak, perkotaan dan pedesaan.
Sesuai
dengan target MDGs tersebut, maka Indonesia diharapkan pada tahun 2015 dapat mencapai 68.8% proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak (Bappenas 2010). Menurut Soekirman (2001), pola pertumbuhan dan status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, akan tetapi program lain diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan
lapangan kerja dan penanggulangan
kemiskinan. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk maupun prevalensi gizi kurang pada balita dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak di Indonesia. Hal ini diduga karena sepanjang tahun 1980-2010, akses rumah tangga terhadap sumber air minum layak cenderung meningkat dengan laju peningkatan per tahunnya hanya 1.3%. Bappenas (2010a) menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab tidak langsung yang mempengaruhi status gizi individu adalah ketersediaan air minum bersih. Air minum merupakan salah satu sarana masyarakat untuk hidup sehat. Balita dengan daya tahan tubuh yang lemah memiliki kerentanan terhadap penyakit yang tinggi, ketika air minum yang dikonsumsi tidak layak maka akan meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi termasuk diare dan ISPA. Kedua penyakit tersebut dapat mengakibatkan balita lebih mudah mengalami gizi buruk karena balita mengalami kurang nafsu makan sehingga asupan makanan berkurang. Apalagi jika penyakit tersebut dialami balita yang telah mengalami gizi buruk/kurang, maka masalah gizi tersebut akan menjadi lebih serius. Selain itu Bappenas (2007) menyebutkan bahwa infeksi yang berkaitan dengan tingginya
69
prevalensi dan kejadian penyakit infeksi terutama diare, ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Infeksi ini dapat mengganggu penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk. Sebaliknya, gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah sakit. Akses Sanitasi Layak Menurut definisi dari Susenas, sanitasi dasar yang layak didefinisikan sebagai sarana yang aman, higienis, dan nyaman yang dapat menjauhkan pengguna dan lingkungan di sekitarnya dari kontak dengan kotoran manusia, meliputi kloset dengan leher angsa yang terhubung dengan sistem pipa saluran atau tangki septik, termasuk jamban cemplung (pit latrine) terlindung dengan segel slab dan ventilasi serta toilet kompos (Bappenas 2009a). Untuk menilai akses terhadap sanitasi layak, dalam penelitian ini menggunakan kriteria yang digunakan pemerintah dalam laporan Millenium Development Goals (MDGs) 2010. Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap sanitasi yang layak didefinisikan sebagai perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dengan penduduk seluruhnya, dan dinyatakan dalam persen. Indikator ini menunjukkan tingkat pencapaian perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh, terkait dengan kelestarian lingkungan hidup dalam hal akses terhadap sanitasi yang layak. Pada Tabel 23 disajikan perkembangan akses sanitasi layak dan status gizi balita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia.
70
Tabel 23 Perkembangan akses sanitasi layak dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 Gizi Buruk Gizi Kurang Akses Sanitasi Layak Periode Tahun (%) (%) (%) 1989 6.30 37.47 NA Repelita V 1992 7.23 35.57 30.9 1995 11.56 31.58 21.9 Repelita VI 1998 10.51 29.51 28.9 1999 8.11 26.36 32.6 Propenas 2000 7.53 24.66 32.7 2001 6.30 26.10 34.3 2002 7.47 26.82 35.6 2003 8.55 28.17 35.6 2004 8.3 27.5 38.1 RPJMN 2005 8.80 28.04 NA 2007 5.40 18.30 44.2 2010 4.9 17.9 NA Sumber: BPS, SKRT 1980, SKRT 1986, Susenas 1992-2009. Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Keterangan: *Tahun 1992 : sanitasi layak didefinisikan sebagai proporsi rumah tangga yang menggunakan septik tank dan lubang pembuangan tinja *Tahun 1993-2009 : definisi Sanitasi layak menurut Susenas Status gizi menggunakan standar baku WHO-NCHS
Tabel 23 di atas menunjukkan trend perkembangan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak tahun 1989-2010. Data Susenas menunjukkan peningkatan akses sanitasi layak dari 24.8% pada tahun 1993 menjadi 51.2% pada tahun 2009. Menurut Bappenas (2010), laju pertumbuhan penduduk menjadi tantangan utama yang dihadapi dalam meningkatkan cakupan sanitasi layak. Dengan memperhatikan kecenderungan capaian akses sanitasi layak selama ini, Indonesia harus memberikan perhatian khusus, termasuk peningkatan kualitas infrastruktur sanitasi, guna mencapai target MDGs pada tahun 2015. Sementara itu target MDGs untuk akses terhadap sanitasi yang layak di Indonesia pada tahun 2015 adalah 62.41%, terlihat bahwa masih terdapat gap sebesar 10.8% pada tahun 2009 dengan target yang telah ditetapkan oleh MDGs. Salah satu tujuan MDGs adalah memastikan kelestarian lingkungan hidup dengan salah satu targetnya yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi layak hingga tahun 2015. Adapun indikator yang digunakan adalah proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi yang layak, perkotaan dan pedesaan.
71
Menurut Bappenas (2010), upaya untuk mengakselerasi pencapaian target air minum dan sanitasi yang layak terus dilakukan melalui investasi penyediaan air minum dan sanitasi, terutama untuk melayani jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat. Untuk daerah perdesaan, penyediaan air minum dan sanitasi dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat agar memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan infrastruktur dan pembangunan sarana. Di samping itu, perlu dilakukan upaya untuk memperjelas peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan sistem air minum dan sanitasi yang layak. Berdasarkan dengan target MDGs, maka Indonesia diharapkan pada tahun 2015 dapat mencapai 62.41% proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi yang layak (Bappenas 2010). Berikut disajikan gambaran hubungan antara prevalensi gizi buruk dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak di Indonesia tahun 1980-
Prevalensi gizi buruk (%)
2010 (Gambar 7). 11 9
y = -0.253x + 16.57 R² = 0.660
7 5 3 20
25
30
35
40
45
50
55
Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%)
Gambar 7 Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%)dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) di Indonesia (19892010)
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan (p = 0.004 < 0.05, r = 0.813) antara prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak. Koefisien determinasi (R 2) yang ditunjukkan pada hubungan di atas bernilai 0.660. artinya proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak berpengaruh 66% terhadap prevalensi gizi buruk. Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa persamaan garis yang diperoleh adalah y = -0.253x + 16.57. Koefisien regresi persamaan tersebut adalah -0.253, artinya setiap kenaikan proporsi rumah tangga dengan
72
akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak sebesar satu satuan maka akan menurunkan prevalensi gizi buruk sebesar 0.253 kali. Depkes (2007) menyebutkan bahwa faktor lingkungan mempunyai peran yang sangat besar dalam proses timbulnya gangguan kesehatan baik secara individual maupun masyarakat umum. Upaya pembinaan kesehatan lingkungan dan sanitasi dasar pada prinsipnya dimaksudkan untuk memperkecil atau meniadakan faktor risiko terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan akibat lingkungan yang kurang sehat. Sanitasi yang buruk akan memudahkan seseorang terkena penyakit infeksi (diare). Penyakit infeksi meningkatkan risiko terjadinya gizi kurang/gizi buruk (Permanasari et al 2009). Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak di Indonesia dapat
Prevalensi gizi kurang (%)
dilihat pada Gambar 8. 40 35 30 25 20 15 10
y = -0.562x + 46.29 R² = 0.535
20
25
30
35
40
45
50
55
Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%)
Gambar 8 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) di Indonesia (19892010)
Analis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = 0.016 < 0.05; r = -0.732) antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak dan dengan arah hubungan yang negatif. Semakin tinggi proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak maka prevalensi gizi kurang akan semakin rendah. Kofisien determinai (R 2) pada hubungan di atas adalah 0.535, artinya proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak berpengaruh sebesar 53.5% terhadap prevalensi gizi kurang. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -0.562x + 46.29 . Koefisien persamaan regresi bernilai negatif yaitu -0.562, artinya setiap kenaikan proporsi
73
rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak sebesar satu satuan maka akan menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar 0.562 kali. Lingkungan merupakan salah satu variabel yang kerap mendapat perhatian khusus dalam menilai kondisi kesehatan masyarakat. Bersama dengan faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik, lingkungan menentukan baik buruknya status derajat kesehatan masyarakat. Akses terhadap sanitasi layak merupakan salah satu indikator yang menggambarkan keadaan lingkungan. Oleh karena itu akses terhadap sanitasi layak merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap situasi derajat kesehatan masyarakat yang tercermin melalui status gizi balita (Depkes 2010b). Bappenas (2007) menyebutkan bahwa masih tingginya angka penyakit infeksi pada balita yang menyebabkan penurunan status gizi, terutama berkaitan dengan status air minum dan sanitasi lingkungan yang masih memprihatinkan, serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Hubungan Perkembangan Parameter Pembangunan Pelayanan Kesehatan Dasar dengan Masalah Gizi Kurang Beberapa parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar diduga berhubungan dengan prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir. Tabel 24 menunjukkan parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar yang berpengaruh terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia berdasarkan uji korelasi Pearson. Tabel 24 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar di Indonesia tahun 1989-2010 Cakupan imunisasi Variabel Jumlah posyandu per balita lengkap (%) Prevalensi Gizi Buruk (%) Tidak berhubungan Tidak berhubungan (p = 0.990 > 0.05) (p = 0.247 > 0.05) Prevalensi Gizi Kurang (%) Tidak berhubungan Tidak berhubungan (p = 0.174 > 0.05) (p = 0.129 > 0.05)
Posyandu Posyandu menjadi wadah titik temu antara pelayanan profesional dari petugas kesehatan dan peran serta masyarakat dalam menanggulangi masalah kesehatan masyarakat, terutama dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan angka kematian. Jumlah posyandu merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat keadaan sarana pelayanan kesehatan sarana Upaya
74
Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) pada tiap tahun di Indonesia (Depkes 2008a). Menurut Depkes (2007), upaya pemantauan status gizi pada kelompok balita difokuskan melalui pemantauan terhadap pertumbuhan berat badan yang dilakukan melalui kegiatan penimbangan di Posyandu secara rutin setiap bulan, serta pengamatan langsung terhadap penampilan fisik balita yang berkunjung di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Posyandu memiliki peran terhadap pemantauan status gizi balita. Berikut disajikan perkembangan jumlah posyandu dan status gizi balita selama dua puluh tahun terakhir di Indonesia pada Tabel 25. Tabel 25 Perkembangan jumlah posyandu dan status gizi balita di Indonesia tahun 19892010 Total balita Jumlah Gizi Buruk Gizi Kurang Jumlah Periode Tahun posyandu (%) (%) posyandu per balita 21 313 796 0.0097 1989 6.30 37.47 206 162 Repelita V 22 238 815 0.0110 1992 7.23 35.57 245 255 21 544 699 0.0113 11.56 31.58 244 591 Repelita VI 1995 20 639 834 0.0121 1998 10.51 29.51 249 516 19 941 528 0.0090 1999 8.11 26.36 178 757 Propenas 17 904 128 0.0137 2000 7.53 24.66 245 758 18 134 208 0.0130 2001 6.30 26.10 234 843 18 369 952 0.0120 2002 7.47 26.82 220 198 18 608 762 0.0130 2003 8.55 28.17 242 221 18 810 633 0.0127 2004 8.3 27.5 238 699 RPJMN 19 095 151 0.0165 2005 8.80 28.04 315 921 19 668 425 0.0137 2007 5.40 18.30 269 202 21 805 008 0.0122 2010 4.9 17.9 266 827 Sumber: Depkes. Profil Kesehatan Indonesia, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Keterangan: Status gizi menurut indeks BB/U standar baku WHO-NCHS
Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk maupun prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia dengan jumlah posyandu per balita selama dua puluh tahun terakhir.
Hal ini diduga berhubungan dengan masih rendahnya
pemanfaatan posyandu oleh masyarakat dan keaktifan posyandu. Selain itu adanya
pertambahan
jumlah
balita
yang
cenderung
lebih
besar
dari
bertambahnya jumlah posyandu setiap tahunnya akan mempengaruhi cakupan posyandu per balita, sehingga dapat mempengaruhi pelayanan pada posyandu. Depkes
(2009) menyebutkan
bahwa
pencapaian
target cakupan
kunjungan bayi sangat dipengaruhi oleh keaktifan posyandu tiap bulannya dan partisipasi keluarga untuk membawa bayi ke posyandu, sehingga provinsi yang
75
memiliki wilayah sulit dijangkau mempunyai cakupan yang relatif rendah. Posyandu sebagai pelayanan kesehatan masyarakat, salah satu fungsinya adalah memantau pertumbuhan balita. Dengan memanfaatkan pelayanan posyandu tersebut, memudahkan orang tua untuk mengetahui jika ada masalah pertumbuhan pada balita sejak dini, sehingga masalah kekurangan gizi dapat segera diatasi. Menurut Depkes (2010b), masalah yang berkaitan dengan kunjungan posyandu antara
lain: dana operasional dan sarana
prasarana untuk
menggerakkan kegiatan posyandu, tingkat pengetahuan kader dan kemampuan petugas dalam pemantauan pertumbuhan dan konseling, tingkat pemahaman keluarga
dan
masyarakat akan
manfaat
posyandu, serta
pelaksanaan
pembinaan kader. Peran kader posyandu juga menentukan status kesehatan dan gizi anak. Kader di posyandu tidak hanya bertugas menimbang anak, namun mempunyai peran untuk memberikan penyuluhan / arahan kepada ibu dalam memberikan pengasuhan terhadap balitanya,baik itu pola pengasuhan gizi maupun kesehatan (Depkes 2010b). Cakupan Imunisasi Lengkap Imunisasi berfungsi untuk kekebalan tubuh terhadap penyakit, khususnya penyakit infeksi. Cakupan imunisasi lengkap adalah besarnya persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap yaitu BCG 1 kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Berikut disajikan data cakupan imunisasi lengkap pada balita di Indonesia pada Gambar 9. 60 58 56 54 52 50 48 46 Cakupan Imunisasi Lengkap (%)
1991
1994
1997
2002
2003
2007
2010
48
50
55
51
51
59
54
Sumber : SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) 1991, 1994, 2002-2003, 2007, dan Riskesdas 2010
Gambar 9 Perkembangan cakupan imunisasi lengkap pada balita di Indonesia tahun 1991-2010
Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa cakupan imunisasi lengkap pada balita di Indonesia cenderung naik turun dari tahun ke tahun. Pada tahun
76
1991 cakupan imunisasi lengkap adalah 48% dan jumlah ini meningkat hingga 55% pada tahun 1997. Akan tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan menjadi 51%. Jumlah ini kemudian naik turun hingga tahun 2010 dengan cakupan imunisasi lengkap pada balita di Indonesia mencapai 54%. Setiap balita wajib mendapatkan imunisasi dasar untuk membentuk kekebalan tubuhnya terhadap penyakit. Jika imunisasi dasar tersebut tidak terpenuhi maka balita akan memiliki kekebalan tubuh sehingga tidak mudah terkena penyakit. Balita yang sering terkena penyakit akan memiliki nafsu makan yang kurang, sehingga peluang terjadi masalah gizi (gizi buruk) lebih besar akibat asupan gizi berkurang. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk maupun prevalensi gizi kurang dengan cakupan imunisasi lengkap dengan pada balita di Indonesia. Hal ini diduga karena cakupan imunisasi lengkap pada balita secara nasional di Indonesia sepanjang tahun 1991-2010 cenderung fluktuatif seperti ditunjukkan oleh Gambar 9. Namun hal ini bukan berarti bahwa imunisasi tidak berpengaruh terhadap status gizi balita, beberapa penelitian meyebutkan bahwa imunisasi berpengaruh terhadap status gizi balita. Ulfani (2010) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara imunisasi dengan prevalensi underweight sesuai hasil pengolahan terhadap data Riskesdas 2007. Bayi dan anak-anak memiliki risiko yang lebih tinggi terserang penyakit menular yang dapat mematikan, seperti: Difteri, Tetanus, Hepatitis B, Typhus, radang selaput otak, radang paru-paru, dan masih banyak penyakit lainnya. Untuk itu salah satu pencegahan yang terbaik dan sangat vital agar kelompok berisiko ini terlindungi adalah melalui imunisasi (Depkes 2010b). Selain itu cakupan imunisasi lengkap diduga berkaitan dengan faktor pendidikan dan pengeluaran perkapita. Menurut hasil Riskesdas 2007, pendidikan dan pengeluaran per kapita berhubungan dengan persentase anak umur 12-23 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar termasuk juga campak. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka semakin tinggi pula anak mendapat imunisasi. Begitu pula dengan pengeluaran per kapita, bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita maka semakin banyak anak mendapat imunisasi dasar.
77
Hubungan Perkembangan Anggaran Program Perbaikan Gizi dengan Masalah Gizi Kurang Besarnya anggaran program perbaikan gizi di Indonesia diduga berhubungan dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir. Tabel 26 menunjukkan hubungan anggaran program perbaikan gizi terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia berdasarkan uji korelasi Pearson. Tabel 26 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan perkembangan anggaran program perbaikan gizi tahun 1989-2010 % Anggaran perbaikan gizi terhadap Variabel anggaran Depkes Prevalensi Gizi Buruk (%) Tidak berhubungan (p = 0.068 > 0.05) Prevalensi Gizi Kurang (%) Berhubungan signifikan (p = 0.001 > 0.05; r = -0.789)
Pembiayaan Kesehatan Depkes (2009) menyebutkan bahwa sumber daya kesehatan merupakan salah satu faktor pendukung dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas, yang diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu komponen sumber daya yang diperlukan dalam menjalankan pembangunan
kesehatan
adalah
pembiayaan
kesehatan.
Pembiayaan
kesehatan ada yang bersumber dari pemerintah dan ada yang bersumber dari masyarakat. Pada tahun 2009, anggaran Kementerian Kesehatan dibagi berdasarkan program/kegiatan kesehatan yang berjumlah 14 program/kegiatan, yang dikelompokkan dalam 4 kelompok besar, yaitu program/kegiatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan preventif. Program/kegiatan yang bersifat preventif antara lain penerapan kepemerintahan yang baik, program obat dan perbekalan kesehatan, program pencegahan dan pemberantasan penyakit, penelitian dan pengembangan kesehatan, program sumber daya kesehatan, kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan dan program pendidikan kedinasan. Program/kegiatan
yang
bersifat
promotif
yaitu
promosi kesehatan
dan
pemberdayaan masyarakat. Program/kegiatan yang bersifat kuratif yaitu program upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Sedangkan program/kegiatan yang bersifat rehabilitatif yaitu perbaikan gizi masyarakat. Kementerian Kesehatan pada tahun 2009 mengalokasikan anggaran sebesar
Rp
20.535.418.220.000
dengan
jumlah
realisasi
sebesar
Rp
78
16.438.689.737.629 (80.05%). Distribusi anggaran menurut program/kegiatan menunjukkan bahwa alokasi terbesar untuk program yang bersifat kuratif dengan jumlah Rp 12.412.403.407.000 (60.44%), sedangkan alokasi terkecil untuk program yang bersifat promotif sebesar Rp 117.494.400.000 (2.6%) (Depkes 2009). Berikut disajikan trend persentase anggaran untuk Program Perbaikan Gizi terhadap anggaran Departemen Kesehatan dan status gizi balita selama dua puluh tahun terakhir di Indonesia pada Tabel 27. Tabel 27 Perkembangan persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran Depkes dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 Gizi Anggaran Anggaran Gizi Kurang Periode Tahun Buruk Gizi Total balita Gizi per (%) (%) (juta rupiah) balita 3 500 21 313 796 0.164 1989 6.30 37.47 Repelita V 12 600 22 238 815 0.567 1992 7.23 35.57 Repelita VI
1995 1998
11.56 10.51
31.58 29.51
17 854 47 903.2
21 544 699 20 639 834
0.829 2.321
Propenas
1999 2000 2001 2002 2003
8.11 7.53 6.30 7.47 8.55
26.36 24.66 26.10 26.82 28.17
158 305
19 941 528
7.938
71 438 54 625 83 318 50 000
17 904 128 18 134 208 18 369 952 18 608 762
3.990 3.012 4.536 2.687
2004 2005
8.3 8.80
27.5 28.04
172 967 178 500
18 810 633 19 095 151
9.195 9.348
2007 2010
5.40 4.9
18.30 17.9
667 519 393 196
19 668 425 21 805 008
33.939 18.032
RPJMN
Sumber: Departemen Keuangan RI, RAPBN 1980-2010. Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa perkembangan persentase anggaran Program Perbaikan Gizi di Indonesia terhadap total Anggaran Departemen Kesehatan setiap tahunnya cenderung fluktuatif dari tahun 19802010. Persentase tertinggi terjadi pada tahun 1988 yaitu sebesar 7.2% dengan besar anggaran Program Perbaikan Gizi pada saat itu adalah 3.5 milyar rupiah dari total 48.4 milyar rupiah Anggaran Departemen Kesehatan. Sedangkan persentase tersendah selama periode 30 tahun terakhir yaitu pada tahun 2000 yaitu 0.9%. Adapun besar anggaran Program Perbaikan Gizi pada saat itu adalah 71.4 milyar rupiah dari total 7.9 triliyun rupiah Anggaran Departemen Kesehatan. Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia
79
dengan anggaran perbaikan gizi per balita selama 20 tahun terakhir (1989-2010). Hal ini diduga karena walaupun anggaran perbaikan gizi cenderung meningkat setiap tahun namun gizi buruk tidak dengan cepat dapat diatasi, perlu penanganan lebih lanjut dalam jangka waktu yang lebih lama dari penanganan masalah gizi kurang. Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara prevalensi gizi kurang
Prevalensi gizi kurang (%)
dengan anggaran perbaikan gizi per balita dapat dilihat pada Gambar 10. 40 35 30
y = -0.470x + 31.02 R² = 0.622
25 20 15 0
5
10
15
20
25
30
35
Anggaran perbaikan gizi per balita (Rp)
Gambar 10 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan anggaran perbaikan gizi per balita di Indonesia (1989-2010)
Analis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = 0.001 > 0.05; r = -0.789) antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak dan dengan arah hubungan yang negatif. Semakin tinggi jumlah anggaran gizi per balita maka prevalensi gizi kurang akan semakin rendah. Kofisien determinai (R2) pada hubungan di atas adalah 0.622, artinya anggaran gizi per balita berpengaruh sebesar 62.2% terhadap prevalensi gizi kurang. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -0.470x + 31.02. Koefisien persamaan regresi bernilai negatif yaitu -0.470, artinya setiap kenaikan anggaran perbaikan gizi sebesar satu satuan maka akan menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar 0.47 kali. Menurut Aritonang (2004), kecenderungan perubahan keadaan gizi masyarakat di negara berkembang yang berbeda-beda mencerminkan adanya kebijakan pembangunan yang berbeda pula. Derajat kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya pelayanan kesehatan, air bersih, sanitasi, dan pelayanan sosial lainnya. Memadai atau tidaknya pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin tergantung pada anggaran pemerintah yang disediakan untuk pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya. Dalam keadaan ekonomi sulit,
80
pemerintah
cenderung
mengadakan
penghematan
yang
tidak
jarang
mempengaruhi penyediaan anggaran untuk bidang sosial. Soekirman
(2001)
menyebutkan
bahwa
kelambanan
Indonesia
menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi kurang dan gizi buruk ada kaitannya dengan kebijakan program gizi yang masih mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab utama masalah gizi. Kebijakan ini cenderung mengabaikan peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang masingmasing berdiri sendiri dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya. Kebijakan ini disebut sebagai kebijakan dengan paradigma input. Salah satu kelemahan paradigma input bagi program perbaikan gizi adalah digunakannya indikator agregatif makro seperti persediaan energi dan protein
perkapita.
Indikator
ini
tidak
dapat
menggambarkan
keadaan
sesungguhnya diri individu anggota keluarga terutama anak dan wanita. Oleh karena itu, indikator pertumbuhan dan status gizi anak perlu dijadikan salah satu indikator kesejahteraan. Untuk itu program gizi memerlukan pendekatan paradigma baru, yaitu paradigma outcome. Dengan paradigma ini beberapa hal yaitu penanganan masalah gizi makro seperti KEP, pemantauan berat badan dan tinggi badan anak balita, revitalisasi Posyandu, dan “perombakan” kurikulum di lembaga pendidikan tenaga gizi untuk memahami perlunya paradigma baru yang berorientasi pertumbuhan dan status gizi anak sebagai titik tolak dari program memerlukan perhatian lebih besar dalam program gizi . Derajat kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya pelayanan kesehatan. air bersih, sanitasi, dan pelayanan sosial lainnya. Memadai atau tidaknya pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin tergantung pada anggaran pemerintah yang disediakan untuk pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya. Dalam keadaan ekonomi sulit. pemerintah cenderung mengadakan penghematan yang tidak jarang mempengaruhi penyediaan anggaran untuk bidang sosial.
81
Tren Masalah Gizi Terkini dan Kaitannya dengan Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Selain gizi kurang, beberapa permasalahan gizi lain yang saat ini mulai bermunculan adalah adanya balita stunting dan masalah gizi lebih seperti yang ditunjukkan pada Tabel 27. Kekurangan gizi pada waktu yang lama menyebabkan tingginya prevalensi anak balita yang pendek. Disamping itu, status gizi ibu hamil yang masih rendah juga menjadi salah satu penyebab masih tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Sementara itu, keadaan gizi lebih menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Tabel 28 Permasalahan gizi masyarakat lainnya tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Indikator Prevalensi anak balita yang pendek (stunting) Prevalensi anak balita yang kurus dan sangat kurus (wasting) Perempuan usia subur (15-45 tahun) mengalami kurang energi kronis (KEK) Prevalensi bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR) Prevalensi balita mengalami gizi lebih Prevalensi penduduk usia diatas 15 tahun mengalami obesitas (kelebihan berat badan)
Status (%) 36.8 13.6 13.6 11.5 4.3 10.3
Sumber : Riskesdas 2007
Dalam penanganan masalah gizi, beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain adalah masih tingginya angka kemiskinan, rendahnya kesehatan lingkungan, belum optimalnya kerjasama lintas sektor dan lintas program, melemahnya partisipasi masyarakat, terbatasnya akesbilitas pangan pada tingkat keluarga terutama pada keluarga miskin, tingginya penyakit infeksi, belum memadainya pola asuh ibu, dan rendahnya akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan dasar (Bappenas 2010c). Beberapa upaya perbaikan gizi yang telah dilaksanakan antara lain, pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI), pemberian ASI eksklusif, pemberian kapsul vitamin A pada balita, dan pemberian tablet besi (Fe) pada ibu hamil, dengan cakupan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 28.
82
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 29 Cakupan upaya perbaikan gizi masyarakat tahun 2007 Status Indikator (%) Bayi usia 6-9 bulan mendapat MP-ASI 75.0 Bayi yang mendpaat ASI eksklusif selama 6 bulan 32.4 Anak usia 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A 71.5 Ibu hamil menerima tablet besi (Fe) 77.3 Cakupan rumah tangga yang mengkonsumsi garam 62.3 beryodium
Sumber: SDKI 2007 dan Riskesdas 2007
Berdasarkan adanya permasalahan gizi masyarakat seperti pada Tabel 27, maka tantangan ke depan adalah meningkatkan status gizi masyarakat dengan fokus pada ibu hamil dan anak usia 0-2 tahun, meningkatkan pola hidup sehat, menjamin kecukupan zat gizi dengan memperkuat kerjasama lintas sektor, meningkatkan pemberdayaan masyarakat, dan meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan. Hal ini mengandung makna bahwa pemerintah harus mulai menetapkan langkah-langkah untuk mencegah dan menanggulangi masalah gizi masyarakat tersebut. Efektivitas upaya ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi mulai dari periode RPJMN 2010-2014 dan didukung dengan adanya RANPG (Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi) 2011-2015. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014 merupakan penjabaran dari visi, misi dan program aksi pembangunan nasional dari pasangan Presiden/Wakil Presiden Susilo Bambang YudhoyonoBoediono. Ketahananan pangan merupakan salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Tahun 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 menginstruksikan perlunya disusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional dan Rencana Aksi Pangan dan Gizi di tingkat provinsi yang dalam proses penyusunannya melibatkan kabupaten dan kota. Rencana Aksi Pangan dan Gizi disusun dalam program berorientasi aksi yang terstruktur dan terintegratif dalam lima pilar rencana aksi yaitu perbaikan gizi masyarakat, peningkatan
aksesibilitas
pangan,
peningkatan
pengawasan
mutu
dan
keamanan pangan, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, serta penguatan kelembagaan pangan dan gizi. Berbagai kebijakan dan program yang mendukung ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia pada periode RPJMN 2010-2014 dan RANPG 2011-2015 secara lebih rinci disajikan pada Tabel 29.
83
Tabel 30 Kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode RPJMN 2010-2014 dan RANPG 2011-2015 Rezim Pemerintahan S. Bambang YudoyonoBoediono
Arah Kebijakan RPJMN 2010-2014
mendukung pembangunan perekonomian nasional terutama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mewujudkan daya saing ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; serta meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. tercapainya sasaran peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang ditandai dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG) yang didukung oleh tercapainya penduduk tumbuh seimbang; serta makin kuatnya jati diri dan karakter bangsa
RANPG 2011-2015
Peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan anak melalui ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan mekanisme koordinasi lintas bidang dan lintas program serta kemitraan.
Kebijakan dan Program Peningkatan produksi dan produktivitas pangan, pertanian, perikanan, dan kehutanan terus dilakukan untuk endukung peningkatan ketersediaan pangan dan bahan baku industri Peningkatan efisiensi distribusi pangan untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau Peningkatan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan menjadi kebijakan dan strategi pembangunan ketahanan pangan yang perlu memperoleh perhatian yang memadai agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan pemasaran produk pertanian Peningkatan kapasitas masyarakat pertanian, perikanan, dan kehutanan Peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan balita Perbaikan status gizi masyarakat Pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular diikuti dengan penyehatan lingkungan Pengembangan SDM kesehatan Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, keamanan, mutu dan penggunaan obat serta pengawasan obat dan makanan Pengembangan sistem jaminan pembiayaan kesehatan Pemberdayaan masyarakat dan penanggulanagn bencana dan krisis kesehatan Peningkatan pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier Perbaikan gizi masyarakat Peningkatan aksesibilitas pangan Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat Penguatan kelembagaan pangan dan gizi
Indikator Menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi <15% Menurunnya prevalensi anak balita yang pendek/stunting menjadi <32%
Menurunnya prevalensi gizi kurang anak balita menjadi 15.5% Menurunnya prevalensi pendek pada anak balita menjadi 32%
84
Hasil analisis isi terhadap kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode RPJMN 2010-2014 menunjukkan bahwa pemerintah memposisikan kebijakan dan program ketahanan pangan pada bidang pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup, sedangkan kebijakan dan program perbaikan gizi diposisikan dalam bidang pembangunan sosial budaya dan kehidupan beragama. Pada periode ini terlihat bahwa pembangunan ketahanan pangan selain berorientasi pada peningkatan produksi pangan, efisiensi distribusi pangan, pemenuhan kebutuhan konsumsi, juga mulai berorientasi pada peningkatan nilai tambah, Kebijakan
ketahanan
daya saing, dan pemasaran produk pertanian.
pangan
tersebut
diarahkan
untuk
mendukung
pembangunan perekonomian. Sedangkan kebijakan dan program perbaikan gizi pada periode diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, RANPG 2011-2015 disusun sebagai panduan dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan bidang pangan dan gizi di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten dan kota, baik bagi institusi pemerintah maupun masyarakat dan pihak-pihak lain yang terkait dalam perbaikan pangan dan gizi. Sehingga kebijakan ketahan pangan dan perbaikan diarahkan menjadi lebih spesifik yaitu peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan anak melalui ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan mekanisme koordinasi lintas bidang dan lintas program serta kemitraan. Adapun indikator/target dalam mengatasi permasalahan gizi masyarakat dalam RANPG 2011-2015 mengacu pada target yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2015. Beberapa target tersebut yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 15.5% dan menurunnya prevalensi pendek pada anak balita menjadi 32%. Adanya indikator ini memperlihatkan bahwa pemerintah memiliki upaya untuk mengatasi masalah gizi terkini seperti stunting yang masih dijumpai pada anak balita, namun pemerintah belum menetapkan suatu target untuk menangani masalah gizi lain seperti masalah gizi lebih yang mulai banyak terjadi pada anak balita maupun pada penduduk usia 15 tahun ke atas.
.
.
85
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Kesimpulan Perkembangan gizi kurang pada balita di Indonesia selama 20 tahun dari tahun 1989-2010 mengalami penurunan dari 37.5% tahun 1989 menjadi 17.9% tahun 2010.
2.
Kebijakan pada Repelita III hingga RPJMN 2004-2009 memperlihatkan bahwa kebijakan yang awalnya hanya mengakomodir hal-hal yang makro seperti ketersediaan pangan, kemudian mulai berorientasi ke arah distribusi, konsumsi, dan perbaikan status gizi masyarakat hingga Propenas 19942004. Namun pada masa RPJMN 2004-2009, kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi kembali diarahkan pada hal-hal yang lebih luas dan makro bukannya ke arah yang lebih spesifik dalam upaya perbaikan gizi masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi kemunduran dalam penentuan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di indonesia.
3.
Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan tingkat kemiskinan, terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara prevalensi gizi kurang dengan PDB/kapita, dan tidak terdapat hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas.
4.
Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak.
5.
Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan dasar menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan dengan jumlah posyandu dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan cakupan imunisasi lengkap.
6.
Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan anggaran perbaikan gizi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan
86
signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan jumlah anggaran perbaikan gizi per balita. 7.
Selain gizi kurang, beberapa permasalahan gizi lain yang saat ini mulai bermunculan adalah adanya balita yang pendek/stunting dan masalah gizi lebih. Kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi dalam RPJMN 20102014 yang didukung oleh RANPG 2011-2015 menunjukkan bahwa pemerintah memiliki upaya untuk mengatasi masalah gizi terkini seperti stunting yang masih dijumpai pada anak balita, namun pemerintah belum menetapkan suatu target untuk menangani masalah gizi lain seperti masalah gizi lebih yang mulai banyak terjadi pada anak balita maupun pada penduduk usia 15 tahun ke atas. Saran
1.
Dalam rangka memperbaiki dan mengatasi masalah gizi balita, maka pemerintah
perlu meningkatkan kualitas pelayanan posyandu dengan
peningkatan jumlah posyandu per balita. Untuk mewujudkan hal ini perlu adanya peningkatan pemberdayaan masyarakat. Selain itu perlu dilakukan peningkatan klasifikasi posyandu untuk meningkatkan kualitas pelayanan posyandu. Pemerintah juga perlu untuk meningkatkan cakupan imunisasi lengkap pada balita untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi yang berpengaruh langsung terhadap status gizi balita 2.
Peningkatan akses terhadap kesehatan balita perlu didukung pula oleh peningkatan akses secara sosial dan ekonomi. Hal ini dapat dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat dengan meningkatan lapangan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan, peningkatan pendapatan untuk meningkatkan akses terhadap pangan dan kesehatan, peningkatan alokasi anggaran pendidikan sehingga memperluas kesempatan memperoleh pendidikan.
3.
Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pola yang sama dalam lingkup kabupaten/provinsi mengingat hasil penelitian ini baru mengkaji permasalahan KEP secara nasional.
87
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Aritonang. 2004. Aritonang E. 2004. Kurang Energi Protein (Protein Energy Malnutrition). http://library.usu.ac.id. [17 Juli 2011]. Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Widyakarya Nasional pangan dan gizi VIII. Jakarta: LIPI. Azwar A. 2004. Hubungan Ketahanan Pangan dengan Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Widyakarya Nasional pangan dan gizi VIII. Jakarta: LIPI. Beaglehole, Bonita & Kjellstorm. 1997. Basic Epidemiology 2nd Edition. Switzerland: World Health Organization Press. Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Zahara DM, penerjemah. Jakarta: CV. Rajawali. Terjemahan dari: The Nutrition factor, it’s Role in National Development. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 1983. Rancangan Anggaran dan Belanja Negara 1983. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. _______. 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. _______. 2009a. Pengembangan Database Pembangunan Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Jakarta: Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. _______. 2009b. Pencapaian Sebuah Perubahan: Evaluasi 4 Tahun Perencanaan RPJMN 2004-2009. Jakarta: Kementerian Negara PPN/Bappenas. _______. 2010a. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. _______. 2010b. Laporan Perkembangan Pencapaian Milenium Development Goals Indonesia. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.
88
_______. 2010c. Rencana Pembangunan Jangka Menengah NAsional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2005a. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. _______. 2005b. Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. _______. 2008a. Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. _______. 2008b. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. _______. 2009. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Castro T et al. 2009. Materi Kesehatan Komunitas. Magelang: Balai Pelatihan Kesehatan. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1988. Profil Kesehatan Indonesia 1988. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. _______. 1997. Pedoman Penanggulangan Kekurangan Energi Protein (KEP) dan Petunjuk Pelaksanaan PMT pada Balita. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes. _______. 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. _______. 2008a. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. _______. 2008b. Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. _______. 2010a. Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. _______. 2010b. Profil Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2004. Hasil Kesepakatan Konferensi Dewan Ketahanan Pangan di Jakarta. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. _______. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan.
89
_______. 2009. Draft Indonesia Tahan Pangan dan Gizi. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. Karsin ES. 2004. Peranan pangan dan gizi dalam pembangunan. Di dalam: Yayuk B et al., editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Khomsan A et al. 2007. Studi Implementasi Program Gizi: Pemanfaatan, Cakupan, Keefektifan,dan Dampak Terhadap Status Gizi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, I Institut Pertanian Bogor. Mankiw Gregory. 2006. Teori Makroekonomi. Jakarta: Erlangga. Martianto. 2006. Rekonstruksi Kelembagaan Sosial dan Penanganan dan Pencegahan Rawan Pangan dan Gizi Buruk: Meluruskan Pemahaman Masyarakat tentang Busung Lapar. Di dalam: Prosiding Lokakarya Nasional II Penganekaragaman Pangan; Jakarta, 21 November 2005. Bogor: Forum Kerja Penganekaragaman Pangan 2006. Hlm 75-88. Martianto dan Soekirman. 2006. Rekonstruksi Kelembagaan Sosial dan Penanganan dan Pencegahan Rawan Pangan dan Gizi Buruk: Overview Masalah Pangan dan Gizi di Indonesia dan Upaya Penanggulanggannya. Di dalam: Prosiding Lokakarya Nasional II Penganekaragaman Pangan; Jakarta, 21 November 2005. Bogor: Forum Kerja Penganekaragaman Pangan 2006. Hlm 1-23. McEachern, William A, Triandaru, Si.git. 2000. Ekonomi Makro. Yogyakarta: Salemba Empat. Nainggolan K. 2008. Melawan Kelaparan dan Kemiskinan abad ke-21. Bogor: Kekal Press. Permanasari Y, Luciasari E, Purwanto B. 2009. Hubungan PHBS dengan kejadian diare dan kaitannya dengan status gizi balita di Indonesia. JurnalPenelitian Gizi dan Makanan 3 (67): 97-108. Riyadi. 2001. Metode Penilaian Status Gizi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Scortino R. 2007. Menuju Kesehatan Madani. Ypgyakarta: Gajah Mada University Press. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. _______. 2001. Perlu Paradigma Baru untuk Menanggulangi Masalah Gizi Makro di Indonesia. www.google.com.KurangEnergiProtein/download.pdf. [17 Juni 2011] _______. 2005. Gizi Buruk, Kemiskinan, dan KKN. http://anti korupsi.org/indo/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4788. [10 Juni 2011].
90
Suhardjo. 1989a. Petunjuk Laboratorium: Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Suharjo. 1989b. Sosio Budaya dan Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Supariasa B, Bakri, I Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Encourage Creativity (EGC). Suryana A. 2004. Keterkaitan Ketahanan Pangan dan Gizi, SDM Berkualitas dan Kesejahteraan Sosial. Widyakarya Nasional pangan dan gizi VIII. Jakarta: LIPI. Sukandar D. 2009. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Ulfani DH. 2010. Faktor-faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan masalah gizi underweight, stunted, dan wasted di Indonesia. [skripsi]. Bogor: Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Wahab SA. 2004. Analisis Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara. World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development. Washington DC: The International Bank for Reconstruction and Development. [WHO] World Health Organization. 1997. WHO Global Database Child Growth and Malnutrition. Geneva: World Health Organization.
91
LAMPIRAN
92
Lampiran 1 Kaitan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dengan perkembangan KEP pada balita di Indonesia Periode
Repelita III 19791983
Repelita IV 19841988
Kebijakan dan Program Utama Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Swasembada Pangan dan UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga) Swasembada Pangan dan UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga)
Repelita V 19891993
Swasembada Pangan dan UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga)
Repelita VI 19941998
Swasembada Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat
Propenas 19992004
Peningkatan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat
RPJMN 20042009
Revitalisasi Pertanian dan Perbaikan Gizi Masyarakat
Perkembangan Prevalensi KEP total (%) Indikator Output
„92
„94
„95
„96
„97
„98
„99
„03
„04
„07
„10
Target MDGs 2015
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
44.7
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
29
28.6
26.3
23.1
20.7
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
26.4
28.2
27.5
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
18.3
17.9
18.5
„78
„83
„87
54.7
29.1 (KKP total )
-
Penderita KKP total balita 22%
-
-
(KKP nyata)
Penderita KKP nyata balita 9.5%
-
-
-
Prevalensi KEP total balita 30%
-
-
Prevalensi kekurangan gizi balita 20%
-
-
Prevalensi kekurangan gizi balita 20%.
Perkembangan Prevalensi Kekurangan Gizi (%)
„89
10.8
47.8