BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah masalah yang selalu menyibukkan pikiran para pemikir dan pecinta perbaikan. 1 Di bidang ini pula tajamnya penulis dan pembahas. Meskipun berjauhan pandangan para sarjana dan berbeda pendapat mereka tentang batasan pengertian pendidikan dan tujuannya. Tetapi semuanya sepakat atas keharusan pendidikan tersebut, bagi bangsa-bangsa agar dapat hidup bahagia dan mencapai tingkat yang tinggi di dunia dan akhirat. Pendidikan itu lebih penting lagi bagi kita pada zaman sekarang ini, yaitu zaman kemajuan pembangunan, zaman perlombaan antar individu, sehingga kehidupan ini menjadi saling mengalahkan dan saling berlomba-lomba. Selain pendidikan umum juga yang lebih penting adalah pendidikan agama Islam, karena kalau tidak diimbangi dengan pendidikan Islam, maka tidak akan tercapai tujuan dari pendidikan nasional. Dalam
pembukaan
Undang-undang
Republik
Indonesia
1945
menganatkan pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
1
Abu Bakar Muhammad, Pedoman Pendidikan dan Pengajaran (Surabaya: Usaha Nasional,
1981), 1.
1
2
kemerdekaan, perdamaian abadi dan berkeadilan sosial dan juga mengamanatkan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.2 Islam sebagai agama juga sangat memperhatikan masalah pendidikan. Petunjuk kitab suci maupun sunnah nabi dengan jelas menganjurkan para pemeluk agama Islam untuk meningkatkan kecakapan dan akhlaq generasi muda dengan budi pakerti luhur dan kecakapan yang tinggi, firman Allah dalam surat al-Mujadallah ayat 11:
َوِإذَا,ْ>?ُ @َ Q ُ اR ِ: َ <ْ Kَ ْا68 ُ: َ Sْ MَS T ِ @ِMَUVَ @ْ اW ِ S ْا68 ُ: 9 <َ =َ ْ>?ُ @َ A َ Bْ Dِ ِإذَاGْ6Hُ Iَ G J َ Kْ Lِ @9 اMَNKOَاPَK Q ُ وَا,ت ٍ Mَ[ْا اْ@ ِ_ ْ^ َ> َد َر6=ُ ْ ُأوJ َ Kْ Lِ @9 ُ?>ْ وَاHْ Iِ ْا6Hُ Iَ G J َ Kْ Lِ @9 اQ ُ اaِ Sَ ْbKَ وْاcُ d ُ eْ MَS وْاcُ ُdeْ اA َ Bْ Dِ .ٌbBْ gِ h َ ن َ ْ6^ُVَ _ْ =َ MَVjِ Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. .3 Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bahwa pembentukan pribadi muslim tidak terlepas dari pendidikan dan pengajaran pengetahuan umum belaka. Kaum muslimin di Indonesia bertugas membangkitkan umat Islam dengan bertitik tolak pada membaca dan menulis al-Qur’an, sebab sangat kecil kemungkinannya jika
2 3
UU RI. No. 20 Tentang SISDIKNAS (Bandug: Citra Umbara, 2006), 70. Al-Qur’an dan Terjemah (Jakarta: Madinah, 1971), 95.
3
Islam akan maju dan berkembang kalau umatnya sendiri tidak tahu membaca dan menulis al-Qur’an Undang-undang SISDIKNAS No 20 Tahun 2003 bab IV pasal 5 ayat 2 berbunyi: “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.4 Pendidikan harus diberikan kepada semua pihak/peserta didik, karena sangat pentingnya pendidikan terutama pendidikan agama Islam, apa lagi pendidikan kepada anak yang menyandang cacat tuna netra, yang memiliki perbedaan fisik dengan anak normal lainnya. Ini merupakan kenyataan yang berlaku dimana-mana bahwa manusia berbeda satu sama lain dalam hal itu, antara lain dalam hal intelejensi, bakat, minat, kepribadian jasmani, dan perilaku sosial. Ada kalanya seseorang lebih cekatan dalam satu bidang kegiatan dibandingkan dengan
orang
lain.
Dalam
bidang
tertentu
ini
mungkin
menunjukan
keunggulannya dibandingkan dengan orang lain.5 Pembinaan kemampuan membaca al-Qur’an merupakan bagian dari pembinaan agama. Pada umumnya pelaksanaan pembinaan tersebut dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah/madrasah dan masyarakat khususnya. Namun dalam realitas kehidupan yang ada ternyata nasib masing-masing anak berbeda. Banyak anak-anak muslim yang terlahir dalam dunia ini dalam keadaan cacat. 4 5
115-116.
UU RI. No. 20 Tentang SISDIKNAS, 77. Sunarto, B. Agung Harono, Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999),
4
Sebenarnya jika kita amati lebih jauh, tidak sedikit anak muslim cacat yang mempunyai potensi lebih bila dibandingkan dengan anak-anak normal yang lain. Biasanya anak berbakat yang cacat lebih dikenal karena kecacatannya dan bukan karena keterbakatannya padahal, kebanyakan kecacatan tidak merintangi keterbakatan. Namun dengan memberi label seorang anak sebagai “anak cacat” kita terfokus pada kebutuhan pendidikannya berkenaan dengan ketunaannya dan kurang menemukenali keterbakatannya.6 Maka dari itu progam pendidikan dan motode pembelajaran harus disesuaikan dengan perbedaan tersebut. Bertolak dari uraian di atas, bahwa anakanak muslim cacat selain berhak mendapatkan pendidikan umum seperti anak normal yang lain, mereka juga harus diberikan pendidikan keagamaan, khususnya membaca dan menulis al-Qur’an. Hal ini perlu sekali karena mengingat mereka adalah generasi penerus bangsa yang berbasis agama. Dari sini penulis tertarik untuk menganalisis, bagaimana seorang anak muslim tuna netra belajar membaca dan menulis al-Qur’an, seperti yang telah diketahui bersama metode pembelajaran yang dipakai oleh anak-anak tuna netra dalam membaca dan menulis adalah tidak sama dengan metode pembelajaran yang diajarkan pada anak normal lainnya. Karena walau bagaimanapun juga sebagai muslim, mereka juga harus diberikan pengenalan terhadap al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam.
6
258-259.
Utami Munanjar, Pengembangan Kreatifitas Anak Berbakat (Jakarta: Rineka Cipta, 1999),
5
Metode pembelajaran yang digunakan oleh anak-anak tuna netra dalam membaca dan menulis adalah Braille. Braille kemungkinan kurang begitu digunakan lagi sebagai metode utama dalam pembelajaran baca tulis al-Qur’an, sebab pembaharuan dan kemajuan di bidang tehnologi memampukan anak membaca dengan menggunakan alat-alat yang mengubah tulisan kedalam bentuk suara dan juga tersedia bahan rekaman. Demikian juga di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, di SMPLB/A Braille digunakan sebagai metode utama dalam proses pembelajaran bagi siswa tuna netra. Dari sini timbullah pertanyaan, apakah metode Braille juga digunakan dalam baca tulis al-Qur’an. Berangkat dari masalah inilah, akhirnya penulis mencoba untuk menggali secara mendalam tentang berbagai permasalahan tersebut dengan mengangkat judul: “APLIKASI METODE BRAILLE DALAM BACA TULIS AL-QUR’AN” (Studi Kasus Pada Siswa Tuna Netra Di SMPLB-A Aisyiyah Ponorogo Tahun Ajaran 2008 /2009). B. Rumusan Masalah 1. Apa latar belakang penggunaan metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an pada siswa tuna netra di SMPLB-A Aisyiyah Ponorogo tahun 2008/2009? 2. Bagaimana langkah-langkah aplikasi
metode Braille dalam baca tulis al-
Qur’an pada siswa tuna netra di SMPLB-A Aisyiyah Ponorogo 2008/2009?
tahun
6
3. Apa faktor pendukung dan penghambat metode Braille dalam baca tulis alQur’an pada siswa tuna netra
di SMPLB-A Aisyiyah Ponorogo
tahun
2008/2009?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: 1. Untuk mengetahui latar belakang metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an pada siswa tuna netra di SMPLB-A Aisyiyah Ponorogo tahun 2008/2009. 2. Untuk mengetahui langkah-langkah aplikasi metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an pada siswa tuna netra di SMPLB-A Aisyiyah Ponorogo tahun 2008/2009. 3. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an pada siswa tuna netra di SMPLB-A Aisyiyah Ponorogo tahun 2008/2009.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan konstribusi bagi dunia pendidikan Islam, khususnya dalam pendidikan luar biasa (anak cacat), serta dijadikan usaha dalam peningkatan pengetahuan bagi jurusan PAI dan pengembangan sistem pembelajaran pendidikan Islam agar lebih relevan dengan tuntutan zaman sekarang ini.
7
2. Manfaat Praktis Sebagai bahan pertimbangan dan acuan lembaga pendidikan Islam khususnya STAIN Ponorogo dan umumnya adalah lembaga-lembaga lainnya, terutama lembaga yang masih inten menggunakan metode Braille dalam upaya perbaikan dan pengembangan metode pembelajaran.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan metode deskriptif, yaitu berusaha mengungkap fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilaksanakan dengan penjelasan yang mengarah pada diskripsi tentang aplikasi metode Braille dalam baca tulis
al-Qur’an pada siswa tuna
netra di SMPLB-A Aisyiyah Ponorogo tahun 2008/2009. 2. Sumber Data Penelitian Untuk memperoleh data dalam penelitian ini maka, peneliti memanfaatkan kata-kata, tindakan dan dokumentasi, yaitu: a. Manusia Yaitu kepala sekolah, semua guru, karyawan dan siswa di SLTPLB/A Aisyiyah Ponorogo. b. Non Manusia Yaitu sumber data yang berupa arsip-arsip atau catatan-catatan baik yang sudah dalam sebuah buku atau belum.
8
3. Tehnik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut: a. Metode Observasi Metode observasi adalah suatu metode yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan ini dilakukan ketika bersama objek peneliti.7 Metode ini digunakan untuk mengamati penerapan metode Braille, setrategi pembelajaran dalam baca tulis al-Qur’an. b. Metode Wawancara Adalah alat pengumpulan data informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertannyaan secara lisan yang dijawab dengan lisan juga.8 Interview ini digunakan untuk memperoleh data tentang konsep metode Braille, implementasinya dan faktor pendukung dan penghambat implementasi metode Braille dalam pembelajaran membaca dan menulis al-Qur’an. c. Dokumen Dokumen adalah setiap bahan yang tertulis atau data-data yang disimpan.9
7
S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 158. S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan, 165. 9 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 1999),161. 8
9
Dokumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang sejarah dan keadaan karyawan, guru dan siswa. 4. Tehnik Analisa Data Dalam analisis data kualitatif ada tiga tahap yang menjadi rangkaian proses analisanya, yaitu: reduksi data, display data dan yang terakhir pengambilan kesimpulan dan verifikasi. 10 Ketiga tahap ini bisa dijelaskan sebagai berikut: a. Reduksi data Pada tahap ini, mereduksi data diperlukan untuk membantu peneliti dalam menulis semua hasil data lapangan sekaligus merangkum, memilih dan memilah hal-hal pokok serta menganalisanya. Tahap ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang lebih tajam tentang hasil lapangan, mempermudah dalam melacak kembali bila diperlukan, dan membantu dalam memberikan kode pada aspek-aspek tertentu. b. Display data Display data dilakukan agar peneliti tetap dapat menguasai datadata yang telah dihimpun dan banyak jumlahnya dengan memilah-milah, membuat display ini juga termasuk dalam analisis.
10
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1996), 129 – 130.
10
c. Mengambil kesimpulan dan verifikasi Tahap ini adalah tahap dimana pengambilan kesimpulan dan verifikasi dilakukan, hal ini dalam rangka peneliti mencari makna data dan mencoba menyimpulkannya. Lebih jelasnya, langkah-langkah analisis ditunjukkan pada gambar berikut:11
Pengumpul an Data
Penyajian Data Reduksi Data
KESIMPULAN
Keterangan: 1) Mereduksi data dalam konteks penelitian yang dimaksud adalah
merangkum,
memilih
hal-hal
yang
pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, membuat kategori. Dengan demikian data yang telah direduksikan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. 11
Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Kuantitatif, Kualitatif (Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negri (STAIN) Ponorogo, 2007), 42.
11
2) Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaikan data atau menyajikan data ke dalam pola yang dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, grafik, matrik, network dan chart. Bila pola-pola yang ditemukan telah didukung oleh data selama penelitian, maka pola tersebut sudah menjadi pola yang baku yang selanjutnya akan didisplaikan pada laporan akhir penelitian 3) Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif dalam penelitian ini adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Dalam penelitian ini untuk memperoleh data yang akurat menggunakan metode induktif dan deduktif, Tehnik induktif adalah suatu cara yang disepakati untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum. 12 Tehnik deduktif adalah suatu cara yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Untuk menganalisis data dari penelitian yang telah terkumpul digunakan tehnik deskriptif dengan cara induktif – deduktif.
12
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997). 57.
12
F. Pengecekan Keabsahan Temuan Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaruhi dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (reabilitas). Derajat kepercayaan dan keabsahan data (kredibilitas) dapat diadakan pengecekan dengan teknik pengamatan yang tekun dan triangulasi. Ketekunan pengamatan yang dimaksud adalah menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau yang sedang dicari. Dengan triangulasi adalah suatu tehnik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai tehnik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada.13
G. Tahap-tahap Penenelitian Tahapan-tahapan penelitian dalam penelitian ini ada tiga tahapan dan ditambah dengan tahap terakhir dari penelitian yaitu tahap penulisan laporan hasil penelitian. Tahap-tahap penelitian tersebut adalah sebagai berikut : 1. Tahap pra lapangan, yang meliputi menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajaki dan menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapkan penelitian dan yang menyangkut persoalan etika penelitian. 2. Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan sambil mengumpulkan data yang terkait tentang metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an. 13
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV. Alfa Beta, 2005). 83.
13
3. Tahap analisis data, yang meliputi analisis selama dan setelah pengumpulan data terkait tentang metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an. 4. Tahap penulisan hasil laporan penelitian tentang aplikasi metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an.
H. Sistematika Pembahasan Secara garis besar, dalam pembahasan ini terbagi menjadi lima bab yang mana setiap bab terdiri dari sub bab. Bab I : Pendahuluan berfungsi sebagai pola dasar pemikiran penulis yang meliputi: latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori dan atau telaah pustaka, metode penelitian tahapan-tahapan penelitian dan sistematika pembahasan. Bab II : Metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an dan berfungsi sebagai landasan teoritis yang meliputi sejarah munculnya Braille, metode pengajarannya, klasifikasi tuna netra dan pembelajaran membaca dan menulis al-Qur’an. Bab III : Aplikasi metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an pada siswa tuna netra Di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo. Fungsinya sebagai paparan data empiris tentang sejarah berdiri, letak geografis, struktur organisasi, kurikulum, keadaan siswa, keadaan guru, keadaan karyawan, sarana dan prasarana, sedangkan data khusus tentang latar belakang metode Braille al-Qur’an, langkahlangkah aplikasi metode al-Qur’an Braille dan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam aplikasi metode al-Qur’an Braille.
14
Bab IV : Analisisis aplikasi metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an pada siswa tuna netra Di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo tahun 2008/2009. meliputi uraian data mengenai latar belakang metode al-Qur’an Braille, analisis tentang langkah-langkah aplikasi al-Qur’an Braille serta faktor-faktor yang mendukung dan menghambar dalam aplikasi metode al-Qur’an Braille. Bab V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
15
BAB II METODE BRAILLE DALAM BACA TULIS AL-QUR’AN
A. Metode Braille 1. Sejarah Munculnya Metode Braille Pada tanggal 4 Januari 1809 di sebuah desa Coupvray 40 km dari kota Paris lahirlah bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Louis Braille. Anak laki-laki yang lincah ini pada umur 3 tahun menjadi tuna netra disebabkan sebelah matanya tertusuk pisau yang mengakibatkan kedua matanya menjadi rusak karena terkena infeksi.14 Tahun 1819 ketika berumur 10 tahun. Louis Braille mulai bersekolah pada L”eccle des Yeunes Avengles di kota Paris, suatu sekolah tuna netra pertama yang didirikan oleh Valentie Hauy pada tahun 1784. Di sekolah Louis Braille memperlihatkan bakat serta kemauan yang keras, sehingga ia tergolong anak yang pandai. Sesungguhnya sebagai akibat ketuna netraannya itu Louis Braille tergolong anak yang berfisik lemah dan sakit-sakitan.. Setelah menamatkan pelajarannya, Louis Braille bekerja pada sekolah tersebut selaku pembantu guru (repetitor). Pada waktu itu tulisan yang digunakan ialah tulisan Latin yang dicetak timbul (relief). Sezaman dengan Louis Braille, seorang opsir Tentara Berkuda Perancis bernama Charles
14
Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa (Jakarta, CV. Harapan Baru, 1983/1984), 3.
15
16
Barbier menciptakan tulisan titik-titik timbul yang dapat dibaca dengan jalan meraba. Sistem tulisan Berbier itu terdiri dari 12 buah titik dan diciptakan untuk keperluan militer. Dengan perantaraan temanya Louis Braille sangat tertarik akan penemuan Barbier itu dan segera ia berkesimpulan bahwa titik-titik timbul lebih baik bagi perabaan dari pada relief Latin. Louis Braille menyusun kembali sistim titik-titik ini menjadi 6 titik saja, yang kemudian dikenal sebagai tulisan Braille. Pada tahun 1836 lengkaplah sistim tulisan Braille itu dan sejak itu perjuangan Louis Braille itu diarahkan keluar, yaitu agar sistim tulisan Braille dipergunakan secara luas dan umum sebagai tulisan resmi orang-orang tuna netra. Meskipun pada mulanya usaha Louis Braille ini mendapat tantangan yang keras tidak saja dari orang-orang awas, tetapi juga dari tuna netra sendiri, dalam suatu kongres yang diadakan di kota Paris pada tahun 1860 diterimalah tulisan Braille sebagai tulisan resmi bagi sekolah-sekolah tuna netra di seluruh Eropa Barat. Pada tanggal 6 juni 1852 Louis Braille meninggal dunia, beliau dikuburkan di kota kelahirannya Coupvray dan pada tahun 1887 di tempat kuburannya didirikan Tugu Louis Braille sebagai tanda kenangan dan penghargaan atas jasa-jasanya. Di Eropa Barat tulisan Braille menyebar ke Amerika Serikat, Asia, Afrika, Australia dan pada tahun 1901 diperkenalkan di
17
Indonesia dengan berdirinya Blinden Institut di Bandung. Tanggal 4 Januari diperingati di seluruh dunia sebagai hari Braille.15 2. Metode Pengajaran Braille Kebutuhan tehnik komunikasi secara cepat dan efisien muncul di Perancis dan Amerika di pertengahan abad 19. Braille kemudian mengambil ide kode titik timbul dari orang Perancis, kapten Charles Barbier yang menamakan sistemnya “penulisan malam”, suatu sistem menulis yang terdiri dari dari titik-titik timbul yang digunakan untuk komunikasi di medan perang pada malam hari.16 Dari sini ia mendemonstrasikan kepada Braille suatu metode membaca bagi orang-orang buta yang disebut dengan sonography. Walaupun sistemnya terlalu rumit untuk membaca dengan sentuhan jari, Braille menilainya sebagai dasar untuk penulisan titik yang cukup kecil dan sederhana yang sesuai dengan jarak dan ukuran jengkal ujung jari dan mengindentifikasi huruf secara spontan.17 Atas dasar penemuan Barbier pada tahun 1834 Louis Braille mengembangkan tulisan untuk anak tuna netra bertolak dari penemuan Barbier, Louis Braille menyusun tulisan terdiri dari 6 titik di jajarkan vertikal tiga-tiga. Dengan menempatkan titik-titik tersebut dalam berbagai posisi telah disusun 15
Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 9-10. Charles Fransworth, A Comparison Of The Braille and The Morse Codes, New York: Dominican College Orangebrurg, tt Avaible: http/www.wems Org/qsigh.html. diakses 04 Maret 2009. 17 Braille Alphabet and Numerals, The Encyclopedia Americana International Editional Volume 4, (New York: Americana Corporation, International Headquarters 575), 418. 16
18
seluruh abjad.18 Sehingga tulisan tuna netra Braille didapati berbentuk persegi panjang yang memuat 6 titik sel di dalamnya, dengan 63 kemungkinan kombinasi yang menggunakan satu atau lebih dari titik-titik tersebut. Braille ditimbulkan oleh tangan (atau dengan sebuah mesin) di kertas yang tebal dan dibaca oleh jari-jari yang bergerak menyilang di atas titik-titik tersebut.19 Tanda-tanda yang dikemukakan oleh Louis Braille didasarkan atas penempatan titik-titik 6 posisi, tersusun vertikal masing-masing 3 titik. Titiktitik tersebut tempatnya, masing-masing memiliki nama untuk membaca, titik timbul positif yang dibaca. Cara membacanya seperti pada umumnya, yaitu dari kiri ke kanan. Maka susunannya sebagai berikut: Titik ke 1
1 0 0 4 titik ke 4
Titik ke 2
2 0 0 5 titik ke 5
Titik ke 3
3 0 0 6 titik ke 6
Untuk menulis Braille, prinsip kerjannya berbeda dengan membaca. Cara menulis huruf Braille tidak seperti umumnya yaitu dimulai dari kanan ke kiri, biasanya sering disebut dengan menulis negatif. Jadi menulis Braille secara negatif menghasilkan tulisan secara timbul positif. Maka susunannya dalam menulis Braille menjadi sebagai berikut: Titik ke 4 4 0 0 1 titik ke 1 Titik ke 5 5 0 0 2 titik ke 2 Titik ke 6 6 0 0 3 titik ke 3 18
Munawir Yusuf, Pendidikan Tuna Netra Dewasa dan Pengembangan Karir (Jakarta: Depdikbud), 110. 19 Artikel http//www.raes.ab.ca/book/c31.htm. diakses 05 Maret 2009.
19
Penulisan huruf Braille dapat menggunakan mesin tik Braille ataupun reglet yang berpasangan dengan pen atau stilus.20 Ada berbagai macam metode baca tulis permulaan Braille yang dikerjakan para guru di lapangan antara lain: a.
Metode pengenalan huruf a sampai z Cara mengajar membaca dan permulaan Braille dengan menggunakan
metode pengenalan huruf a sampai z adalah siswa menghafal huruf demi huruf sampai hafal, setelah itu guru akan mengajarkan cara merangkai huruf menjadi satu kata. Suku kata menjadi kata-kata kemudian menjadi sebuah kalimat. b. Metode SAS Metode ini jarang dipergunakan karena sulit, pengenalan huruf melalui pengenalan kata, diuraikan menjadi huruf, kemudian dirangkai kembali menjadi suku kata-kata. Contoh: satu menjadi sa-tu selanjutnya menjadi s-a-t-u. c.
Metode dengan menggunakan kode atas Cara menggunakan metode ini, guru mengenalkan huruf Braille yang
mempunyai kode atas (titik 1, 2, 3, 4, 5) yaitu huruf a sampai j. Pengenalan huruf selanjutnya yaitu dari k sampai t dengan menambahkan satu titik bawah, yaitu titik ke 3, dan sisa huruf lainnya dengan menambah titik ke-3 dan ke-6.
20
Anastasia Widdjajantin dan Imanuel Hitipeuw, Ortopedagogik Tuna netra I (Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, tt), 145.
20
Contoh: Huruf →
c
Huruf m (huruf c + titik ke 3)
Huruf →
b
Huruf p (huruf b + titik ke 3)
Huruf →
h
Huruf r (huruf h + titik ke 3)
d. Metode dengan menggunakan kode kiri Cara menggunakan metode ini, guru mengenalkan huruf Braille dengan kode kiri, yaitu huruf a, b, k, l sebagai huruf dasar.
Setelah itu baru
mengenalkan huruf lain dengan menambah titik ke- 4 atau titik ke- 5 atau titik ke- 6 atau titik 4, 5. Contoh: Huruf a →
huruf c (huruf a + titik ke- 4)
Huruf b →
huruf f (huruf b + titik ke- 4)
Huruf a →
huruf e (huruf a + titik ke- 5)
21
B. Tuna Netra, Hambatan dan Cara Belajar 1. Tuna Netra a. Pengertian Tuna Netra Untuk tuna netra itu sendiri tidak asing bagi orang. Tapi masih banyak yang belum memahaminya. Pengertian tuna netra itu sendiri banyak ragamnya, sebab dapat ditinjau dari segi harfiah, kiasan, metafisika, medis, fugsional atau segi pendidikan. Dipandang dari segi bahasa kata tuna netra terdiri dari kata tuna dan netra. Tuna netra mempunyai arti rusak, luka, kurang, tidak memiliki, sedangkan netra artinya mata.21 Sehingga artinya secara bahasa tuna netra adalah rusak matanya, luka matanya, atau tidak mempunyai mata yang berarti buta atau kurang penglihatan. Menurut Alana M. Zambone, dalam bukunya Ortopedagogik Tuna Netra I karangan Anastasia dkk. 22 Sedangkan menurut Herdman yang dikutip oleh Anastasia dkk, buta secara pendidikan difokuskan pada kemampuan siswa dalam menggunakan penglihatan sebagai suatu saluran untuk belajar sehingga anak tersebut tidak dapat menggunakan penglihatannya dan bergantung pada indra yang lain seperti pendengaran, perabaan dan penciuman. Untuk selanjutnya, pengertian tuna netra yang dipergunakan ialah kemampuan siswa dalam menggunakan penglihatannya dan bergantung pada 21
971.
22
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahas Indonesia (Jakarta: 1999),
Tuna Netra adalah seseorang dikatakan buta total apabila tidak mempunyai bola mata, tidak dapat membedakan terang dan gelap, tidak dapat memproses apa yang dilihat padahal otaknya yang masih berfungsi.
22
indra lain seperti pendengaran, perabaan, pernciuman dengan sedikit perbedaan istilah yaitu tuna netra total untuk menyebutnya buta dan tuna netra kurang lihat untuk tuna netra yang masih mempunyai sisa penglihatan. Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan lebih akrab disebut anak tuna netra. Pengertian tuna netra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, Low Vision atau rabun adalah bagian dari kelompok tuna netra. Dari uraian di atas, pengertian anak tuna netra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-keduanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang yang awas. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi sebagai berikut: 1). Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas 2). Terjadinya kekeruhan pada lensa mata atau terdapatnya cairan tertentu 3). Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak 4). Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan. 5). Dari kondisi-kondisi seperti di atas, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tuna netra atau tidak adalah
berdasarkan
pada
tingkat
ketajaman
penglihatan.
Untuk
23
mengetahui ketuna netraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai tes Snellen Card. Perlu ditegaskan bahwa anak dikatakan tuna netra bila ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter. Berdasarkan acuan tersebut, anak tuna netra dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu: a) Buta Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0) b) Low Vision Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.23 Terjadinya ketuna netraan ialah pada saat: 1)
Sebelum dan sejak lahir
2) Saat usia di bawah 3 tahun (tuna netra balita) 3) Saat usia di bawah 5 tahun (tuna netra balita) 4) Saat usia 6-12 tahun (tuna netra usia sekolah) 5) Saat usia 13-19 tahun (tuna netra remaja)
23
66.
Sutjihati Soemantri, Psikologi Anak Luar Biasa (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006 ), 65-
24
6) Saat usia 19 tahun (tuna netra dewasa).24 Tuna netra pada seseorang disebabkan ada beberapa faktor 1) Faktor Intern (dalam diri anak), misalnya: karena faktor gen, kondisi psikis ibu, keracunan obat dan lain-lain. 2) Faktor Ekstern (di luar diri anak), misalnya: karena kecelakaan, terkena penyakit syphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, kekurangan vitamin A dan lain-lain.25 Akibat dari ketuna netraan menimbulkan karakteristik ketuna netraan sebagai berikut: 1) Ciri khas tuna netra total antara lain: a) Rasa curiga pada orang lain b) Mudah tersinggung c) Ketergantungan yang berlebihan d) Blindism (gerakan yang tidak terkontrol dan tidak disadari) e) Suka melamun 2) Ciri khas tuna netra kurang lihat (Low Vision) antara lain: a) Selalu mencoba mengadakan Fixition (melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda) b) Merespon rangsang cahaya dan warna yang datang padanya
24 25
Widdjajantin, Ortopedagogik Tuna netra I, 8. Ibid., 22.
25
c) Bergerak dengan penuh percaya diri baik di rumah maupun di sekolah d) Mampu menghindari rintangan-rintangan yang berbentuk besar dengan sisa penglihatan e) Memiringkan kepala jika akan memulai dan melakukan suatu pekerjaan. f) Berat atau ringan seorang penyandang tuna netra tergantung sejak kapan seorang mengalami ketunaan. Tingkat ketajaman penglihatan, tingkat pendidikan dan tingkat usia.26 2. Hambatan Bagi Anak Tuna Netra Berdasarkan hasil penyelidikan ternyata anak tuna netra mempunyai intelegensi yang normal sehingga tidak mempunyai gangguan kognitif, mereka hanya mengalami hambatan dalam perkembannya yang sehubungan dengan ketunaannya. 27 Hambatan utama yang disandang anak tuna netra adalah bekerjanya indera penglihatan sebagaimana mestinya. Padahal indera penglihatan adalah salah satu indera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar diri seseorang sekalipun bekerjanya dibatasi oleh ruang, namun indera ini mampu mendeteksi objek pada jarak yang jauh. Melalui indera penglihatan seseorang mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar tidak saja pada bentuknya (pada objek berdimensi tiga),
26 27
Ibid., 11-12. Abu Ahmadi, dkk, Psikologi Belajar (Jakarta: Rineka Cipta,tt), 59.
26
warna dan dinamikanya. Melalui indera ini pula sebagian besar ransangan informasi diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap ransangan tersebut, yang pada akhirnya mampu merangsang pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang sehingga mampu berkembang secara optimal.28 Berdasarkan di atas, hal inilah yang menyebabkan anak tuna netra mempunyai keterbatasan pengalaman baik dalam jenis maupun jumlahnya dan keterbatasan penguasaan terhadap diri sendiri dalam hubungan dengan alam lingkungan karena kemampuan mobilitas dan orientasi serta komunikasi yang leluasa. Dampak sosial dari psikologis yang timbul adalah sebagai berikut: a. Para tuna netra mengalami masalah di dalam pengembangan organisasi kepribadian
karena
berbagai
hambatan
yang
dihadapi
dalam
mengembangkan rasa aman, kepercayaan kepada diri, rasa mandiri, rasa keutuhan diri dan pengembangan citra diri yang realistik. b. Para tuna netra mengalami masalah dalam pengembangan kepadaan sosial karena berbagai hambatan yang dihadapi dalam kelincahan gerak dalam pergaulan, kecepatan penyesuaian diri dengan suasana lingkungan, penghimpunan informasi dan kelancaran berkomunikasi, perencanaan masa depan atau karir dan pengembangan harga diri.29
28 29
Soemantri, Psikologi Anak Luar Biasa, 54. Proyek Pengadaan Buku SPG, 30.
27
Akibatnya pengembangan anak tuna netra cenderung terlambat, antara lain dalam: 1) Perkembangan kognitif 2) Perkembangan motorik 3) Perkembangan emosi 4) Perkembangan sosial 5) Perkembangan kepribadian.30 Dari uraian di atas tampak jelas bahwa anak tuna netra mempunyai banyak masalah yang harus diantisipasi sedini mungkin dengan memberikan layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan dan kesempatan yang luas bagi anak tuna netra supaya permasalahan tersebut tidak meluas sehingga dapat merugikan perkembangan anak tuna netra. 3. Cara Belajar Anak Tuna netra Manusia berhubungan dengan lingkungan, baik sosial maupun alam melalui kemampuan inderanya. Sekalipun masing-masing indera mempunyai sifat dan karakteristik yang khas, namun dalam bekerjannya memerlukan kerjasama dan keterpaduan di antara indera-indera tersebut sehingga memperoleh pengertian atau makna yang lengkap dan utuh tentang objek di lingkungannya. Diperlukan kerjasama secara terpadu dan serentak antara indera penglihatan, pendengaran, pengecap, perabaan dan pembau atau
30
Ibid., 64-65.
28
penciuman untuk mendapatkan pengenalan, pengertian, atau makna yang lengkap dan utuh tentang linkungannya.31 Dalam praktek pendidikan, implikasi dari ketuna netraan ialah bahwa indera-indera non visual mutlak diperlukan untuk melakukan pengamatan dalam proses belajar mengajar. Hampir semua bidang studi agama dapat diterima dengan pendengaran, namun untuk materi praktis seperti shalat dan sebagainya dibutuhkan indera non visual lainnya, yaitu indera peraba. Dari alat indera tersebut, rangsangan diterima dan disalurkan ke otak untuk kemudian diterjemahkan dan menimbulkan suatu kesan atau sensasi, jadi kesan diperoleh dari hasil kesadaran rangsang. Ada 5 prinsip pengajaran yang harus diperhatikan dalam penyampaian suatu materi, yaitu: a. Totalitas, dalam mengajar suatu konsep harus secara keseluruhan. b. Keperagaan, berhubungan dengan alat peraga yang digunakan untuk mengenal suatu konsep. c. Berkesinambungan, baik dalam materi maupun istilah. d. Aktivitas, dalam kegiatan belajar mengajar diharapkan siswa turut aktif untuk memperkaya pengalaman belajar. e. Individual, merupakan ciri khas pengajaran tuna netra karena mereka mempunyai tingkat ketunaan dan tingkat kemampuan yang berbeda.32 31
Soemantri, Psikologi Anak Luar Biasa, 67.
29
Membaca dengan mata secara psikologis merupakan suatu proses yang kompleks, tetapi membaca melalui jari-jari seperti diperagakan oleh anak tuna netra lebih sulit dibandingkan dengan menggunakan mata. Anak tuna netra dalam belajar membaca menggunakan cara khusus dan metode utama yang paling efektif yakni menggunakan huruf-huruf yang diciptakan oleh Braille.33
C. Sistem Pendidikan Tuna Netra di Indonesia Sistem pendidikan tuna netra di Indonesia dimulai pada abad 20 dengan berdirinya Blidden Institut di Bandung pada masa penjajahan Belanda yang merupakan sekolah kusus bagi anak tuna netra setelah merdeka sekolah kususnya di kenal dengan SLB (Sekolah Luar Biasa).34 Dalam UUD 1945 BAB XIII pasal 31 ayat (1) dinyatakan bahwa “Tiaptiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran” dan pada ayat (2) dinyatakan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undag-undang”. Berdasarkan UUD 1945 tersebut, maka pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan hak untuk memperoleh pengajaran antara warga negara yang tergolong luar biasa, termasuk yang tergolong cacat.35 Berangkat dari hal ini, maka dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa 32
Widdjajantin dan Imanuel Hitipeuw, Ortopedagogik Tuna netra I, 138. Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 48-49. 34 Ibid., 115. 35 Mujiono Abdurrahman, Pendidikan Luar Biasa Umum (Jakarta: Depdibud, 1994), 244. 33
30
“Warga negara yang memiliki kelemahan fisik, emosional, mental dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Kemudian pasal 32 disebutkan bahwa “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. 1. Satuan Pendidikan Bagi Tuna Netra Keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia nomor 0491/V/1992 tentang Pendidikan Luar Biasa
yang antara lain
menetapkan bentuk-bentuk satuan PLB sebagai berikut: a. Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) b. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) c. Sekolah Lanjutan Pertama Luar Biasa (SLTPLB) d. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) 2. Bentuk-bentuk Penyelenggaraan Pendidikan bagi Tuna Netra a. Sekolah Terpadu Sekolah umum atau biasa yang di dalamnya terdapat anak tuna netra atau tuna lainnya yang dididik bersama. b. Kelas Khusus Kelompok belajar yang ada di sekolah umum atau biasa yang perlu mendapat layanan khusus dalam waktu-waktu tertentu, seperti anak-anak tuna netra.
31
c. Guru Kunjung Guru kunjung adalah guru pada satuan pendidikan TKLB, atau SDLB, SMPLB, SMLB. Mereka diberi tanggungjawab untuk mengajar pada kelompok belajar anak luar biasa. d. SLB/A SLB/A adalah singkatan dari Sekolah Luar Biasa bagian A. Bagian artinya untuk anak tuna netra di dalamnya bisa ditemukan jenjang pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak, tingkat sekolah dasar, tingkat sekolah lanjutan, tingkat menengah umum. e. SDLB Singkatan dari Sekolah Dasar Luar Biasa, adalah sekolah yang berdiri guna memeratakan pendidikan bagi semua anak yang mengalami ketunaan, yang didirikan hampir diseluruh kabupaten dan kotamadya, kecuali yang sudah memiliki SLB yang lengkap.36
D. Pembelajaran Baca Tulis al-Qur’an Braille Pada Siswa Tuna Netra 1. Latar Belakang Munculnya al-Qur’an Braille Kapan pastinya al-Qur’an Braille, muncul pertama kali di negeri ini tak begitu jelas. Setidaknya, ada dua versi yang menjelaskan sejarah al-Qur’an Braille di Indonesia. Menurut staf seksi Progam Balai Penerbitan Braille
36
Widdjajantin dan Hitipeuw, Ortopedagogik Tuna netra I, 117.
32
Indonesia (BPBI), Yayat Rukiyat, al-Qur’an Braille pertama kali muncul di Indonesia sekitar tahun 1954. Al-Qur’an yang ada saat itu merupakan inventaris Departemen Sosial (Depsos) sumb+angan dari Yordania. Namun al-Qur’an Braille tersebut baru bisa dibaca pada tahun 1964 oleh seorang juru tik Braille Depsos Yogyakarta Supardi Abdi Somad. Setelah itu, Yayasan Tuna Netra Islam (Yaketunis) menuliskannya secara manual, sebelum akhirnya
bekerja
sama
dengan
Departemen
Agama
(Depag)
untuk
memproduksinya besar-besaran pada tahun 1973. Versi yang lain mengenai sejarah al-Qur’an Braille diungkap oleh Kepala Percetakan Yayasan Penyantun Wyata Guna (YPWG) Ayi Ahmad Hidayat, al-Qur’an Braille sudah dimiliki perpustakaan Wyata Guna sejak lama. Akan tetapi, karena tidak ada yang mengerti cara membacanya, akhirnya hanya disimpan saja diperpustakaan. Sampai akhirnya ada seorang pengajar di Wyata Guna Abdullah Yatim Piatu, yang tertarik membolak balik halaman al-Qur’an tersebut dan ternyata sanggup membacanya.37 Terlepas dari ketunaannya sebagai seorang muslim, mengetahui dan menerapkan ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an. Hukumnya adalah wajib, sehingga pada akhirnya terbentuklah sesosok manusia paripurna (insan kamil). Bertolak dari pemikiran tersebut, maka setiap muslim tanpa terkecuali wajib mengerti dan memahami supaya bisa mengamalkan segala apa yang diperintahkan dan menjahui segala yang dilarang. Hal tersebut tidak mungkin 37
http://alquranBraille.blogspot.com. Diakses 06 Maret 2009.
33
terlaksana jika kita tidak bisa membacanya, demikian pula bagi seorang yang memiliki cacat mata atau disebut tuna netra. Bagi mereka sangat tidak mungkin bisa membaca dan menulis huruf al-Qur’an seperti pada umumnya. Berdasarkan pada uraian di atas, maka diterbitkanlah al-Qur’an dalam huruf Braille agar supaya bisa dipahami dan dipelajari bagi setiap muslim tuna netra tanpa terkecuali. Penulisan al-Qur’an dalam huruf Braille menggunakan perumusan yang disyahkan oleh UNESCO pada tahun 1950 dengan nama aslinya “Al-Kirabah Al-Arabiyah Annafirah Al-Qur’anul Majid” yang diterbitkan oleh Yordania pada tahun 1952 yang ditulis dalam huruf Braille dengan khat isthilahy/imlay merupakan dasar dan penulisan al-Qur’an dalam huruf Braille di Indonesia, yang baru dikenal pada akhir tahun 1964”.38 2. Bentuk Rumus Tulisan al-Qur’an Braille Bentuk rumus Arab Braille tidak berbeda dengan huruf Braille Latin, huruf Arab Braille terdiri dari 6 titik yang dibaca dari kiri ke kanan dan ditulis dengan reglet dari kanan ke kiri. Dengan demikian cara memberi nomor urut titik-titiknya sama dengan Braille latin. Bentuk positif membaca 1 2 3
38
00 00 00
4 5 6
Muhammad Najamudin, Masalah Integrasi Tuna Netra dalam Mengikuti Pelajaran pada Sekolah Menengah Agama di Yogyakarta (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1978).78.
34
Bentuk negatif (menulis dengan reglet) 4 5 6
00 00 00
1 2 3
Pemberian nomor titik-titik pada abjad dan lain-lainnya dari bagian selanjutnya berdasarkan urutan nomor bentuk positif. Braille
Arab
Nama/sebutan
ا
Alif
ب
Ba’
ت
Ta’
ث
Tsa’
ج
Jim
ح
Ha’
خ
Kha’
35
د
Dal
ذ
Dzal
ر
Ra’
ز
Zai
س
Sin
ش
Syin
ص
Shad
ض
Dhat
ط
Tha’
ظ
Zha
36
ع
‘ain
غ
Ghain
ف
Fa
ق
Qaf
ك
Kaf
ل
Lam
م
Mim
ن
Nun
و
Waw
ه
Ha
37
Lam alif
Hamzah
ي
Yã
ى
Alif-lajjinah
ة
Tã-marbuthah
أ
Hamzah-‘ala alif
G
Hamzah mad
ؤ
Hamzah-‘alal waw
-ُ
Domah
-ِ
Kasroh
-َ
Fathah
38
-ٌ
Dhomatain
-ً
Fathatain
-ٍ
Kasratain
,
Sukun
-ّ
Syiddah
،
Faslaj, koma
Keterangan: Bentuk rumus abjad tulisan al-Qur’an Braille seperti pada kutipan di atas adalah gambaran dari tulisan-tulisan Arab yang diubah bentuknya menjadi titik timbul dengan menggunakan titik dasar yang berjumlah enam buah (seperti halnya tulisan Braille Latin). Dengan dasar enam buah titik tersebut, semua abjadnya maupun semua tanda-tanda syakl/sandangan maupun semua tanda-tanda yang dipergunakan
39
dalam sistem tulisan al-Qur’an Braille itu adalah cukup lengkap sebagaimana tulisan al-Qur’an asli. Tanda-tanda strip (- jumlah asal 6 buah) seperti pada bentuk-bentuk di atas merupakan titik dasar, sedangkan titik-titik besar merupakan gambaran yang sudah membentuk tulisan al-Qur’an Braille. Membentuk titik-titik timbul sebagaimana kutipan di atas adalah dengan cara menekan kertas yang sudah terpasang pada alat tulis menulis Braille, sehingga merupakan bintik-bintik timbul. Dengan rabaan ujung jari tangan kanan, orang-orang tuna netra akan membaca huruf-huruf Braille tersebut sama cepatnya seperti halnya orangorang awas membaca melalui penglihatan matanya. Jari kirinya tetap pada permulaan baris supaya jangan ada jajaran yang tidak terjangkau. 3. Pembelajaran Baca al-Qur’an Braille a. Ejaan tanpa syakl/sandangan Ba, alif, ra, hamzah di atas ya =
رئ( ب ا ر ئMj) = b. Ejaan bersama syakl/sandangan Ba, alif, ra kasrah, hamzah di atas ya dhomah tanwin =
بارئ
=
Keterangan: Di atas kita tuliskan sebuah contoh kata رئMj kata ini menurut cara a hanya
dieja
huruf-hurufnya
saja
tanpa
mengikutsertakan
tanda-tanda
40
syakl/harakatnya. Selanjutnya ditulis dalam bentuk al-Qur’an Braille sesuai dengan hasil ejaannya. Sedangkan menurut cara b kata رئMj itu dieja dengan menyertakan tanda-tanda syakl/harakatnya yaitu harakat-harakat pada rā (harakat kasrah) dan dhamah tanwin pada yā. Selanjutnya ditulis dalam bentuk al-Qur’an Braille, juga sesuai dengan ejaannya itu. Ejaan tanpa harakat seperti yang terdapat pada cara a di atas, dimaksudkan agar setiap kata yang akan ditulis dalam bentuk al-Qur’an Braille terlebih dahulu harus dimengerti terdiri dari huruf-huruf apakah yang akan kita tulis itu. Sedangkan ejaan bersama harakat dimaksudkan bagaimana cara menuliskan kata-kata dalam bentuk al-Qur’an Braille berkenaan dengan penggunaan harakat. 4. Pembelajaran Tulis al-Qur’an Braille Bentuk-bentuk huruf dalam tulisan Braille terdiri dari huruf-huruf yang berdiri sendiri dan huruf-huruf yang bersambung dengan huruf-huruf yang lain. Pada tulisan Arab Braille tidak terdapat bentuk-bentuk huruf bersambung. Penulisan kata dilakukan dengan jalan menegelompokkan sejumlah huruf langsung tanpa spasi.
41
Contohnya: A
Contoh Kata Huruf Arab yang di Gandeng
1.
34آ
2.
678
3.
ء:;<
B
Contoh Kata Huruf Arab yang di Harus Ditulis Berdiri Sendiri
1.
وزن
2.
د رأ
3.
CD د
Bentuk Tulisan Braille
Bentuk Tulisan Braille
Keterangan : Pada kolom A kita tuliskan bagian contoh kata-kata, masing-masing dalam bentuk tulisan Arab biasa ditulis dengan kata yang huruf-hurufnya harus ditulis bergandeng seperti terdapat pada contoh di atas. Kata-kata tersebut bila kita eja atau kita uraikan huruf-hurufnya kemudian kita nyatakan dalam bentuk tulisan yang huruf-hurufnya masingmasing berdiri sendiri maka kita akan dapati huruf-huruf sebagai berikut:
42
كتب
= Kaf, ta, dan ba dari lafadz 34آ
نسأ
= Nun, syin, hamzah di atas alif dari lafadz I;<
جلس
= Jim, lam, dan sin dari lafadz 678
وزن
= Wawu, za, dan nun dari lafadz وزن
درأ
= Dal, ra, dan hamzah di atas alif dari lafadz درأ
دفئ
= Dal, fa, dan hamzah dari lafadz CDد
Pada kolom kanan adalah contoh-contoh setelah kata-kata dari dua bagian contoh yang terdapat pada kolom kiri pada bagian A dan B ditulis dalam bentuk tulisan Arab Braille. Ternyata setelah kata-kata itu ditulis dalam sistem Arab Braille, mempunyai cara yang sama, yaitu ditulis berupa bentuk kata-kata yang hurufnya ditulis masing-masing berdiri sendiri, seperti menulis ejaan kata-kata yang huruf-hurufnya dinyatakan dengan huruf-huruf yang masing-masing berdiri sendiri. Dari keterangan-keterangan di atas kita dapat menyimpulkan dua hal yang penting : 1). Bahwa penulisan kata dalam bentuk Arab Braille terlepas soal-soal tulisan gandengan huruf-huruf sebagaimana yang berlaku bagi tulisan Arab biasa, dan yang ada hanyalah sistem pengelompokan satuan-satuan huruf, sehingga membentuk sesuatu kata.
43
2). Bahwa cara penulisan kata dalam bentuk Arab Braille adalah sama dengan cara menuliskan ejaan kata yang huruf-hurufnya dinyatakan dengan hu 3). Huruf-huruf yang berdiri sendiri dengan urutan dari kiri ke kanan bagi tanda-tanda Braille positif (yang dapat dibaca). Sedangkan bagi mereka yang menggunakan aparat tangan (dengan reglet misalnya), maka menulisnya dilekukan dengan urut-urutan dari kanan ke kiri (berlaku tanda-tanda Braille negatif).
44
BAB III APLIKASI METODE BRAILLE DALAM BACA TULIS AL-QUR’AN PADA ANAK SISWA TUNA NETRA DI SMPLB/A AISYIYAH PONOROGO TAHUN AJARAN 2008/2009.
A. PAPARAN DATA UMUM 1. Sejarah Singkat Berdirinya SMPLB Aisyiyah Ponorogo SLB-A Aisyiyah Ponorogo adalah salah satu bentuk amal usaha Aisyiyah Ponorogo dalam bidang pendidikan dan sosial yang telah berdiri sejak tahun 1986 yang melayani pendidikan khsusus bagi anak yang mengalami kelainan penglihatan (tuna netra). Sebelum berdiri menjadi sebuah lembaga pendidikan, SLB-A ini merupakan suatu bentuk kelompok belajar tuna netra yang diprakarsai oleh Bapak Gunari dan Bapak Timbul Pranowo yang beralokasikan di Wonoketro.39 Selama kelompok belajar ini berlangsung, Bapak Gunari dan Bapak Timbul Pranowo mengalami banyak problema, salah satunya adalah efisien waktu. Di mana setiap hari siswa yang diajar harus diantar jemput oleh orang tuanya masing-masing, sebab tidak mungkin bagi anak-anak tuna netra tersebut untuk berangkat dan pulang sendiri untuk jarak rumah yang jauh.
39
Mujiati, kepala sekolah SMPLB Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 06 November 2008. Pukul 10.30 WIB.
44
45
Akhirnya dia berdua memutuskan untuk mengasuh anak-anak tuna netra tersebut sekaligus memberikan pengajaran dan keterampilan supaya kelak mereka bisa berguna di masyarakat walaupun mengalami cacat fisik. Berangkat dari sinilah, Bapak Gunari dan Bapak Timbul Pranowo kemudian mencari yayasan yang mampu menerima kelompok belajar tersebut. Akhirnya yayasan Aisyiyah menyepakati untuk menerima tawaran kelompok belajar tersebut, walaupun pada awal berdirinya SLB-A ini belum bisa menempati gedung miliknya sendiri. Sebagai penggantinya kelompok belajar tersebut menempati rumah salah satu pengurus Yayasan Aisyiyah, yaitu rumah Ibu Hj. Jamil Yusuf yang berada di Jl. Kawung No. 44 Kertosari Ponorogo. Dan pada tahun 1995, akhirnya SLB-A Aisyiyah Ponorogo menempati gedung sendiri yang beralamatkan di Jl. Ukel Gg II No. 7 Ponorogo hingga sekarang. Seiring dengan terbentuknya SLB-A Aisyiyah Ponorogo, maka terbentuk pula jenjang-jenjang pendidikan di dalamnya dimulai dari TKLB sampai dengan SMLB yang sekaligus Panti Asuhan. Saat ini SLB-A Aisyiyah ini dikelola di bawah naungan Muhammadiyah, yaitu Aisyiyah.40 2. Letak Geografis Dari observasi yang penulis lakukan pada tanggal 07 November 2008 bahwa letak geografis SLBA Aisyiyah Ponorogo adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara : Berbatasan dengan perumahan penduduk Kertosari
40
Mujiati, Kepala Sekolah, kepala sekolah SMPLB Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 06 November 2008. Pukul 10.30 WIB.
46
b. Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan perumahan penduduk ketosari
c. Sebelah Barat
: Berbatasan dengan pemandian Tirtomenggolo Ponorogo
d. Sebelah Timur
: Berbatasan dengan lapangan kelurahan Kertosari.
3. Struktur Organisasi Untuk lebih jelasnya dalam memahami struktur organisasi di SLBA Aisyiyah Ponorogo maka, penulis akan menguraikan wewenang masingmasing bagian struktur tersebut: a. Kepala Sekolah Kepala sekolah berfungsi dan bertugas sebagai perencana, koordinator, supervisor dan evaluator. Kepala sekolah sebagai penanggung jawab pelaksanaan pendidikan sekolah dan administrasi sekolah. b. Urusan Kurikulum Berfungsi
sebagai
koordinator
kurikulum,
administrasi
kurikulum, pengaturan jadwal pelajaran, evaluasi dan pengembangan materi pelajaran di sekolah. c. UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) Berfungsi sebagai bagian kesehatan siswa dan lingkungan.
47
d. Kerumahtanggaan Bertugas mengurusi protokol, alat-alat rumah tangga, air, listrik dan sebagainya di sekolah. e. Bagian Kesiswaan Bertugas dan berfungsi sebagai administrator kesiswaan, mengurusi kegiatan upacara, kegiatan ekstrakurikuler, home visit, wisata dan lain-lain. f. Bagian Keuangan Bertugas
dan
berfungsi
sebagai
perencana
anggaran
administrasi keuangan, pengendalian dokumentasi dan pelaporan keuangan sekolah. g. Bagian Perpustakaan Bertugas
mengurusi
bagian
administrasi
perpustakaan,
inventarisasi buku-buku perpustakaan, pemeliharaan buku-buku dan penghapusan buku-buku perpustakaan sekolah. h. Bagian Sarana dan Prasarana Mengurusi inventarisasi sarana dan prasarana, tata letak, pengadaan, pemeliharaan dan penghapusan sarana dan prasarana sekolah. i. Bagian Hubungan Masyarakat (HUMAS) Mengurusi bagian publikasi, pameran kunjungan, kerjasama antar lembaga dan dokumentasi sekolah.
48
j. Bagian Keagamaan Mengurusi PHBI (Peringatan Hari Besar Islam), pembinaan budi pakerti, pembinaan akhlak, pembinaan ibadah bagi siswa. k. Bagian TU (Tata Usaha) Bertugas
mengurusi
administrasi
ketatausahaan,
surat-
menyurat dan pengarsipan dokumen sekolah.41 4. Kurikulum Kurikulum di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo adalah sesuai dengan kurikulum pendidikan luar biasa yang berdasarkan keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan No. 0126/U/1994, tanggal 16 Mei 1994. kurikulum yang diberikan di SMPLB-A Aisyiyah Ponorogo berdasarkan kurikulum 1994. Untuk lebih jelasnya mengenai progam kurikulum di SMPLB-A Aisyiyah ponorogo dapat dilihat pada table berikut:42 No 1.
41
WIB.
42
Jenis Progam Progam Umum
Mata Pelajaran 1. Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan 2. Pendidikan Agama Islam 3. Bahasa Indonesia 4. Matematika 5. Ilmu Pengetahuan Alam 6. Ilmu Pengetahuan Sosial 7. Kerajinan Tangan Kesenian 8. Pendidikan Jasmani Kesehatan
Waktu dan 2 jam 2 jam 2 jam 2 jam 2 jam 2 jam dan 2 jam dan 2 jam
Dokumen, SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, dikutip tanggal 03 Maret 2009. Pukul : 10.30
Mujiati, Kepala Sekolah, kepala sekolah SMPLB Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 16 Maret 2009. Pukul 10.30 WIB
49
2.
Progam Khusus
3.
Progam Muatan Lokal Progam Pilihan (Paket Ketrampilan)
4.
9. 1. 2. 1. 2. 3. 4. 5.
Bahasa Inggris Orientasi dan Mobilitas kemuhammadiyahan Bahasa Daerah
2 jam 2 jam 2 jam 2 jam
Rekayasa Pertanian usaha dan perkantoran kerumahtanggaan keseniaan
22 jam
Jumlah
46 jam
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Mujiati, kepala sekolah SMPLB-A Aisyiyah Ponorogo bahwa terdapat sedikit perbedaan antara kurikulum SLB-A dengan kurikulum sekolah umum dalam hal alokasi waktu. Di mana SLB-A selalu menyesuaikan dengan keadaan yang berlangsung. Misalnya: Bab puasa pada cawu 2 dikelas 2 SMPLB dipindah ke cawu 3 karena bertepatan dengan puasa. Maksud dari pemindahan alokasi waktu ini agar siswa tidak hanya mendengarkan teori saja, melainkan juga mempraktekkan secara langsung sehingga benar-benar mengerti apa makna dan hikmah puasa tersebut. Hal ini juga berlaku pada bab-bab yang lain intinya adalah mereka diperkenalkan sekaligus diajak merasakan apa yang diajarkan. Dengan cara seperti ini diharapkan siswa mampu untuk memahami sesuatu yang abstrak, di luar jangkauan pemikiran mereka.
50
5. Keadaan Murid Walaupun SLB-A Aisyiyah Ponorogo masih terbilang relatif sangat kecil, tetapi jenjang pendidikan yang ada sudah lengkap meliputi TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMLB.
JENJANG
TKLB
SDLB
SMPLB
SMLB
TOTAL
Jumlah
1
13
11
-
25
DAFTAR NAMA SISWA-SISWI DI SMPLB TUNANETRA AISYIYAH PONOROGO TAHUN 2008/2009 Kelas
No
VII
1. 2. 3.
Nita Eko N Arina R. K. Nanang Sety
Total Low Vision Low Vision
VIII
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2.
Fathkul E Swastining G. Nurcahyati Umi Rosidah Zaenal R Ambar S Aris P
Low Vision Total Total Total Low Vision Total Low Vision
IX
Nama
Ketunaan
Untuk tingkat SMPLB-A, siswa tidak bersekolah di SLB-A Aisyiyah lagi, melainkan berintegrasi ke sekolah umum, tingkat SLTA juga dimana masih diawasi oleh guru-guru pembimbing dari SLB-A Aisyiyah sendiri.
51
6. Keadaan Guru dan Karyawan Sebuah lembaga pendidikan tentunya banyak melibatkan tenaga dalam menyalurkan tugas baik untuk edukatif maupun administratif. Demikian juga SLB-A Aisiyyiah Ponorogo sebagai lembaga pendidikan formal tidak lepas dari hal-hal tersebut. Sebagian besar guru di SLB-A Aisyiyah Ponorogo merupakan Pengawai Negeri Sipil (PNS) dari Diknas 7 orang, dari Depag 1 dan 4 orang sebagai tenaga bantuan sehingga jumlah guru dan karyawan secara keseluruhan sebanyak 12 orang. Untuk lebih jelasnya lihat data personalia pada tabel di bawah ini:43 DATA GURU DAN KARYAWAN SLB-A AISYIYAH PONOROGO TAHUN PELAJARAN 2008/2009 NO NAMA
IJAZAH /TH
1.
Mujiati, S.Pd.
SI PBSI/2007 Kepsek
IV/a
PNS/DPK
2.
Nurhayati, S.Pd
SI PBSI/2007
GURU
IV/a
PNS/DPK
3.
Emma MS, S.Pd
SI PLB/2001
GURU
IV/a
PNS/DPK
4.
Sulastri, S.Pd.
SI PBSI/2007
GURU
IV/a
PNS/DPK
5.
Susilastitik, S.Pd.
SI PBSI/2007
GURU
III/d
PNS/DPK
6.
Sri Zulaikha, S.Pd.
SI PLB/1999
GURU
III/d
PNS/DPK
7.
Lilik Yuniastuti, S.Pd. SI PLB/1996
GURU
III/a
CPNSD
8.
Wahyu Setiyani, S.Pd
SI BIG/2003
GURU
II/a
CPNSD
9.
Siti Suryani, S.Ag.
SI Ag/2000
GURU
III/c
PNS/DPK
43
WIB
Jabatan Gol/R
Status
Dokumen SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Dikutip Tanggal 16 Maret 2009, Pukul 11.45
52
10.
Dra Hasnawaty
SI Ag/2000
GURU
-
YYS
11.
Asmi’un, S.Th.I.
SI IAIN 2006
GURU
III/a
PNS/DPK
12.
Hadianto, S.Pd.I.
SI PAI/2008
GURU
-
YYS
13.
Suparno
SMEA/1983
KTU
-
YYS
7. Sarana dan Prasarana Adapun mengenai sarana dan prasarana SLB-A Aisyiyah Ponorogo ini telah memiliki berbagai fasilitas yang cukup lengkap walaupun belum bisa beroperasi secara optimal di antaranya adalah: a. Ruang Belajar Pada waktu peneliti melakukan observasi, ruang belajar yang digunakan oleh para siswa sudah lengkap dan sudah perkelas-kelas. b. Asrama (Panti Asuhan Tuna Netra Aisyiyah) Berdasarkan efisiensi waktu, tenaga maka SLB-A Aisyiyah Ponorogo ini membentuk asrama juga, di mana siswa tidak harus antar jemput oleh orang tuannya masing-masing sekaligus mereka bisa belajar lebih banyak melalui kegiatan-kegiatan yang diadaka oleh asrama. c. Masjid Bangunan 11 x 11 m yang beralokasikan tepat di tengah-tengah SLB-A ini memiliki banyak kegiatan yang melibatkan siswa-siswinya sendiri, diantaranya baca al-Qur’an ba’da maghrib dan muhadarah
53
setiap malam kamis. Kegiatan ini rutin dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT bagi siswa-siswi yang tinggal di asrama. d. Ruang Pertemuan (Aula) Ruangan aula ini, walaupun tidak terlalu besar namun setidaknya mampu menampung kurang lebih 50 orang. Biasannya digunakan sebagai ruang pertemuan oleh siswa-siswi SLB-A sendiri dalam melaksanakan kegiatannya. e. Ruang Percetakan Braille (Computer Braille) Ruangan ini digunakan sebagai ruang percetakan Braille dan digunakan untuk mencetak naskah soal yang bertuliskan Braille, untuk komputer Braille sendiri sekarang sudah diajarkan kepada siswa-siswi mengingat pentingnya perkembangan tehnologi dan juga sekarang sudah didukung dengan computer yang lengkap beserta pengajarnya. f. Studio Musik Ruangan ini terletak di sebelah selatan kantor guru walaupun tidak terlalu besar namun ruangan tersebut tidak pernah sepi dari kegiatan siswa-siswanya. Hal ini disebabkan oleh jadwal kegiatan siswa yang berbeda sehingga memungkinkan untuk latihan musik secara bersama-sama ataupun secara perorangan.
54
g. Ruang Mesegge (Pijat) Ruangan ini digunakan untuk praktek memijat dalam jenis progam pilihan yang tercakup dalam sebuah mata pelajaran keterampilan, untuk penggunaannya disesuaikan dengan jadwal yang ada yaitu setiap hari senin dan sabtu, selain pengajaran memijat juga ada pelajaran tambahan yang terkait dengan hal ini, yaitu pijat refleksi dan peracikan jamu-jamu tradisional yang diajarkan oleh seorang guru tambahan dari Tegalsari. h. Koperasi Layaknya
koperasi
pada
umumnya
tempat
ini
juga
menyediakan kebutuhan siswa setiap harinya, baik kebutuhan sekolah maupun kebutuhan sehari-hari. Selain menjajakan barang-barang tersebut, koperasi yang dikelola oleh Depsos ini juga menyediakan makanan kecil untuk para siswanya.44
B. Paparan Data Khusus 1. Latar Belakang Metode Braille Dalam Baca Tulis al-Qur’an Bagi mereka yang mengalami buta total, Braille tetap menjadi metode utama dalam proses baca tulis al-Qur’an. Braille juga tetap berguna untuk
44
Mujiati, Kepala Sekolah SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 17 Maret 2009, Pukul 10.30 WIB.
55
komunikasi sesame tuna netra, karena tidak semua penyandang tuna netra memiliki alat-alat tehnologi canggih yang relatif mahal. Bertolak dari uraian di atas, selain digunakan dalam pengajaran siswa yang mengalami total dalam ketunaannya di SMPLB – A Aisyiyah Ponorogo, Braille tetap juga masih digunkan sebagai pengajaran bagi siswa yang tingkat kebutaannya masih rendah. Hal ini, sesuai dengan pendapat bapak Asmi’un selaku guru PAI bahwa: Di panti ini Braille tetap menjadi metode utama kami dalam mengajarkan baca tulis Latin maupun al-Qur’an. Selain digunakan untuk anak buta total, Braille juga digunakan bagi anak-anak yang tingkat ketunaannya rendah (low vision) dan partial.45 Pandangan tersebut menunjukkan bahwa metode Braille adalah metode yang urgen sekali dalam proses pembelajaran baca tulis al-Qur’an bagi anak tunanetra, baik anak yang tingkat ketunaannya rendah, sedang maupun total. Pendapat dengan pijakan cara pandang yang berbeda dikemukaan oleh ibu Mujati selaku kepala sekolah SMPLB-A Aisyiyah Ponorogo. Dalam wawancara dengan peneliti mengungkapkan bahwa : Bagi siswa yang ketunaanya masih rendah, Braille bukan satu-satunya metode dalam pembelajaran baca tulis al-Qur’an, karena pada dasarnya mereka masih punya sisa penglihatan sehingga Braille merupakan alternatif lain yang dipakai. Bagi mereka tetap diajarkan tulisan awas dengan menggunakan alat, yaitu Lup atau sebaliknya tulisannya yang diperbesar.46 45
Asmi’un, Guru PAI SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 03 Maret 2009. Pukul 10.30 WIB. 46 Mujiati, Kepala Sekolah SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 17 Maret 2009, Pukul 10.45 WIB.
56
Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa selain metode Braille, ada metode lain yang digunakan dalam pembelajaran baca tulis alQur’an untuk tuna netra di antarnya yang dikemukakan oleh Ibu Suryani selaku pembimbing Pendidikan Agama Islam : Metode Braille merupakan salah satu bentuk wajib yang kenyataannya selama ini sangat dibutuhkan bagi anak buta total dalam melengkapi kekurangannya dan sampai sekarang masih digunakan sebagai metode yang sangat efektif, karena pendengaran tidak bisa digunakan selamannya. Jadi harus ditunjang dengan Braille untuk pengajaran Pendidikan Agama Islam sendiri, selain Braille dan ceramah, maka praktek atau demonstrasi langsung dapat membantu anak dalam memahami pelajarannya.47 Demikian juga sebagai tambahan yang diutarakan oleh Asmi’un bahwa : Metode Braille tetap memegang peranan penting karena tulisan tersebut memang diperuntukan bagi siswa tuna netra, di mana tulisan tersebut juga sudah disederhanakan menjadi 6 titik yang dahulunya menggunakan banyak titik. Dan pada perkembangannya titik-titik tersebut telah mengalami modifikasi lagi sehingga memudahkan bagi anak tuna netra belajar baca tulis al-Qur’an. Karena pada dasarnya huruf Arab Braille memiliki kesamaan dengan Braille Latin.48 Dari hasil wawancara dari berbagai sumber di atas maka penulis mendapatkan suatu bahwa metode al-Qur’an Braille mempunyai kesamaan dengan Braille Latin. Hal ini yang pada akhirnya dijadikan dasar bagi para siswa untuk belajar al-Qur’an Braille dengan mudah, walaupun pada akhirnya tidak selancar ketika mereka belajar Braille latin. 47
Suryani, Guru PAI SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 18 Maret 2009, Pukul 11.15 WIB. 48 Asmi’un, Guru PAI SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 19 Maret 2009, Pukul 10.45 WIB.
57
Dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa tidak ada jam khusus untuk baca tulis al-Qur’an Braille, tetapi digabungkan dengan mata pelajaran PAI dimana satu minggu PAI mempunyai alokasi waktu sebanyak 2 jam pelajaran (1 jam pelajaran = 40 menit). Dari alokasi waktu tersebut dapat dilihat bahwa baca tulis al-Qur’an sangat minim sekali, sehingga banyak siswa yang kesulitan untuk membaca dan menulis secara lancar dan benar. Dari hasil observasi pada tanggal 03 Maret 2009 diperoleh data bahwa al-Qur’an Braille mulai dikenalkan pada siswa SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo sejak siswa masuk ke Panti Asuhan Aisyiyah Ponorogo
walupun hanya
sekedar hafalan. Sedangkan baca tulis al-Qur’an Braille baru diajarkan pada kelas 3 semester I. Para pendidik di sekolah ini menekankan pada Braille Latin terlebih dahulu, karena pada dasarnya huruf arab Braille hampir sama dengan huruf Braille Latin sehingga pada akhirnya siswa tidak mengalami kesulitan. Berdasarkan wawancara dengan siswa SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, 3 dari 10 orang siswa berpendapat bahwa al-Qur’an Braille bahwa alQur’an Braille mulai dikenalkan di kelas 2 SD, bahkan ada yang sudah dikenalkan sejak masih di Taman Kanak-kanak (TK). Sedangkan untuk tingkat pemahaman maupun kelancaran, masing-masing anak berbeda lamanya. Untuk Braille Latin sekitar satu setengah bulan bahkan bisa mencapi dua bulan, dan untuk al-Qur’an Braille bisa lebih dari 3 bulan. Hal ini, disebabkan
58
karena al-Qur’an Braille hanya digunakan pada mata pelajaran PAI, berbeda dengan Braille Latin dimana setiap harinya selalu digunakan.49 Materi yang terkait denga al-Qur’an Braille adalah tajwid. Tajwid memegang peranan sangat penting dalam kelancaran proses kegiatan belajar mengajar ini, tetapi dalam kenyataannya materi yang mendukung pun tidak cukup jika pengajarannya menggunakan sistem klasikal. Hal ini, disebabkan oleh tingkat ketunaan dan tingkat kemampuan yang berbeda, sehingga pengajar harus memperhatikan anak satu persatu atau disebut juga pengajaran secara individual.50 2. Langkah-langkah Aplikasi Metode Braille dalam Baca Tulis al-Qur’an pada Siswa Tuna netra di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo. a. Langkah-langkah Baca al-Qur’an Braille Membaca huruf al-Qur’an Braille tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran menulis, karena ketika siswa belajar menulis secara otomatis siswa juga belajar membaca, karena setiap selesai menulis siswa harus membaca hasil tulisannya tersebut. Untuk membaca baik huruf Braille Latin maupun Arab Braille maka titik-titik timbul positif yang dibaca, cara membaca juga sama
49
Nita Eko Nurvianti, Siswa Kelas III SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 03 Maret 2009, Pukul 11.15 WIB. 50 Suryani, Guru PAI SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 02 Maret 2009, Pukul 10.15 WIB.
59
seperti pada umumnya, yaitu dari kiri ke kanan yang merupakan kebalikan dari sistem atau cara penulisannya. Untuk membaca al-Qur’an Braille, maka kegiatan yang pertama yang dilakukan oleh guru adalah mengenalkan huruf-huruf hijaiyah dengan hafalan. Setelah siswa menguasai huruf-huruf hijaiyah dan tandatanda harakatnya, kemudian siswa mulai dikenalkan dengan membaca Iqra’. Dari sinilah siswa diajarkan membaca huruf-huruf Braille mulai dari yang paling sederhana, seperti halnya pengajaran Iqra’ pada siswa normal. Hanya saja iqra’ Braille yang ada lebih ringkas dibanding dengan Iqra’ pada umumnya, kemudian bagi anak yang sudah lulus Iqra’ dapat melanjutkan dengan membaca al-Qur’an. Dikarenakan mayoritas siswa-siswi SMPLB/A bertempat tinggal di Panti Asuhan, maka setiap ba’da magrib diadakan kegiatan mengaji, sehingga kondisi ini sangat membantu kelancaran dan kefasihan siswa dalam membaca al-Qur’an Braille.51 b. Langkah-langkah Tulis al-Qur’an Braille Cara menulis huruf Arab Braille
pada dasarnya sama dengan
huruf Latin Braille, yaitu terdiri dari 6 titik timbul. Hanya saja beda penempatan dan penyusunannya. Huruf al-Qur’an Braille sebagaimana juga huruf Latin Braille merupakan titik-titik timbul yang jumlahnya ada 6
51
Asmi’un, Guru PAI SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 04 Maret 2009, Pukul 10.15 WIB.
60
titik, tersusun secara vertikal 3 di sebelah kiri dan 3 di sebelah kanan, cara penulisannya pun sama dengan huruf Braille Latin dari sebelah kanan ke kiri. Prinsip kerja penulisan Braille tidak sama dengan membaca. Di mana penulisannya pun berbeda dengan penulisan orang yang normal pada umumnya. Untuk tulisan Braille dimulai dari kanan ke kiri dengan menggunakan alat yang disebut dengan stylus (pena) dan reglet (cetakan titik). Penulisan semacam ini sering disebut menulis secara negatif sehingga akhirnya menghasilkan tulisan secara positif. Adapun tahapan belajar huruf al-Qur’an Braille dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Metode pengenalan huruf
اsampai ي
untuk mempelajari huruf al-Qur’an
Braille siswa harus hafal dan
menguasai terlebih dahulu nama-nama huruf hijaiyah beserta letak titik-titiknya. b. Pengenalan huruf-huruf khusus seperti ta’ marbuthah ( )ةalif maqsurah ( )ىdan sebagainya. c. Pengenalan tanda-tanda atau harakat seperti fathah, dhammah, kasroh, sukun, tasydid, dan sebagainya.
61
d. Menulis lafadz pendek yang terdiri dari dua huruf, tiga huruf dan seterusnya. Misalnya: دع
,A_S ,b<§ ,¦ده
3. Faktor Pendukung dan Penghambat Metode Braille Baca Tulis al-Qur’an pada Siswa Tuna Netra Di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo. Dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan dari penerapan metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an pada siswa tuna netra di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, tidak terlepas dari adanya faktor pendukung dan penghambat. Adapun faktor pendukung dan penghambat penerapan metode Braille tersebut adalah sebagai berikut: a. Faktor Pendukung 1). Sebagian besar siswa tuna netra SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo adalah lulusan dari SDLB/A setempat. 2). Semua siswa tuna netra di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo tinggal di asrama panti asuhan tuna netra terpadu Aisyiyah Ponorogo. 3). Adanya sarana dan prasarana yang cukup baik dan dapat dimanfaatkan sebagai penunjang dalam kelancaran proses pembelajaran. 4). Keberadaan lingkungan belajar, lingkungan tempat tinggal (asrama atau keluarga) maupun lingkungan masyarakat yang baik dan mendukung proses belajar mengajar.
62
5). Penggunaan kurikulum yang sama dengan kurikulum yang digunakan SMP pada umumnya.52 b. Faktor Penghambat 1). Kodisi fisisk siswa
tuna netra yang bermasalah pada indra
penglihatannya. 2). Kondisi siswa tuna netra yang mudah tersinggung. 3). Alokasi waktu yang terbatas. 4). Sikap malas pada siswa. 5). Asumsi negatif guru terhadap siswa yang malas. 6). Siswa merasa kesulitan dalam pembelajaran baca tulis al-Qur’an Braille, karena sering digunakan ditambah lagi banyaknya tanda “titik” yang harus dihafal lagi sehubungan dengan materi al-Qur’an Braille.53
52
Mujiati, Kepala Sekolah SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 16 Maret 2009, Pukul 11.14 WIB. 53 Asmi’un, Guru PAI SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Wawancara Tanggal 15 Maret 2009, Pukul 10.45 WIB.
63
BAB IV ANALISIS APLIKASI METODE BRAILLE DALAM BACA TULIS ALQUR’AN PADA SISWA TUNA NETRA DI SMPLB/A AISYIYAH PONOROGO TAHUN 2008/2009
A. Analisis Tentang Latar Belakang Metode al-Qur’an Braille Metode al-Qur’an Braille adalah suatu metode sistem pembelajaran huruf Arab Braille pada siswa tuna netra dengan menggunakan titik-titik timbul, yang dibaca dengan sentuhan jari. Metode ini merupakan satu jawaban atas salah satu masalah yang dihadapi oleh sebagian besar penyandang cacat tuna netra, terutama bagi mereka yang memeluk agama Islam. Hal ini terlepas dari kategori ketunaannya, setiap muslim yang menyandang cacat tuna netra harus bisa baca tulis al-Qur’an untuk mengetahui isi kandungan dari ayat-ayatnya. Demikian juga di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo ini, selain digunakan sebagai metode atau sistem pembelajaran huruf Latin Braile, Braille juga digunakan sebagai metode pembelajaran baca tulis al-Qur’an (huruf arab), walaupun tidak menutup kemungkinan dipergunakannya metode lain yang sesuai dengan tingkat ketunaan siswa. Al-Qur’an Braille sendiri dirumuskan dan disyahkan oleh UNESCO pada tahun 1950, dan diberi nama sesuai dengan aslinya yaitu “al-Kirabah al-Arabiyah al-nafirah al-Qur’an al-Majid”, yang diterbitkan oleh Yordania pada tahun 1952.
63
64
Tulisan Arab dalam huruf Braille lengkap dengan khat isthilahy/imlay ini merupakan dasar penulisan al-Qur’an dalam Braille di Indonesia. Secara umum bentuk rumusan abjad tulisan al-Qur’an Braille sama seperti halnya rumusan yang ada pada tulisan Braille Latin. Dengan dasar enam titik yang ada, semua abjadnya maupun semua tanda-tanda yang dipergunakan dalam sistem tulisan al-Qur’an Braille itu adalah cukup lengkap sebagaimana tulisan alQur’an asli. Dalam metode pembelajaran baca tulis al-Qur’an Braille. Dalam penulisannya dimulai dari sebelah kanan ke sebelah kiri, begitu juga dalam membaca dimulai dari sebelah kiri ke sebelah kanan. Dalam penulisan al-Qur’an Braille sebelum menulis huruf-huruf hijaiyah terlebih dahulu harus diketahui konsep dasar huruf-huruf hijaiyah tersebut, selanjutnya setelah mengetahui konsep dasar dari huruf hijaiyah baru kemudian belajar menulis. Pada penulisan al-Qur’an Braille ada dua pola, yaitu tulisan al-Qur’an disertai harakat dan tulisan al-Qur’an tanpa harakat. Untuk tulisan al-Qur’an Braille tanpa syakl dimaksudkan agar setiap kata yang akan ditulis dalam bentuk arab Braille harus dimengerti terlebih dahulu, terdiri dari huruf-huruf apakah yang akan kita tulis itu. Sedangkan ejaan bersama syakl dimaksudkan bagaimana cara menuliskan kata-kata dalam bentuk al-Qur’an Braille berkenaan dengan penggunaan harakat.
65
B. Analisis Tentang Langkah-langkah Aplikasi Metode Braille dalam Baca Tulis al-Qur’an pada Siswa Tuna Netra di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo. Dalam baca tulis merupakan satu rangkaian kegiatan belajar mengajar pada siswa tuna netra, termasuk juga pada pembelajaran baca tulis al-Qur’an di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo. Hal ini dikarenakan dalam proses pembelajaran untuk siswa tuna netra terdapat prinsip-prinsip pengajaran yang saling berkesinambungan satu sama lain, dan untuk memperoleh keberhasilan KBM, maka pendidik harus mengacu pada prinsip-prinsip tersebut. Adapun prinsipprinsip yang harus dipegang antara lain: prinsip totalitas, dimana pendidik harus menjelaskan suatu materi secara keseluruhan, dimulai dari pengenalan huruf-hurf hijaiyah dengan hafalan kemudian dilanjutkan ke tahap-tahap berikutnya sampai mereka dapat baca tulis al-Qur’an Braille sendiri. Hal ini guna mengantisipasi timbulnya interpretasi yang salah pada siswa sehubungan dengan minimnya pengalaman mereka di lapangan. Prinsip yang kedua yaitu keperagaan, dimana pendidik selain menjelaskan suatu materi juga harus menggunakan alat peraga dalam proses belajar mengajar sehingga siswa memahami apa yang telah disampaikan oleh gurunya. Alat peraga yang digunakan dalam proses pembelajaran baca tulis al-Qur’an Braille adalah papan Braille dan Braille teks. Prinsip yang ketiga adalah berkesinambungan, artinya dalam mengajarkan suatu konsep, pendidik hendaknya dapat memilih dan memilah bahan terkait dengan materi yang diberikan. Prinsip yang keempat adalah: aktifitas, dalam kegiatan belajar mengajar diharapkan siswa ikut berperan aktif, sehingga hal ini juga
66
memudahkan pendidik untuk dapat mengetahui apa saja materi yang belum dipahami oleh siswa. Prinsip yang kelima adalah: individual. Prinsip yang merupakan ciri khas pengajaran bagi anak tuna netra, dimana pengajaran secara klasikal dirasa kurang mampu memberikan kontribusi yang cukup bagi siswa yang mempunyai ketunaan dan kemampuan yang berbeda. Dalam aplikasinya, langkah awal yang ditempuh adalah mengenalkan huruf-huruf hijaiyah dengan metode hafalan. Proses ini sesuai dengan cara pengajaran baca tulis Braille Latin, yaitu siswa menghafal huruf demi huruf sampai faham, kemudian guru akan mengajarkan cara merangkai huruf dengan tanda-tandanya (harakat). Secara umum berbagai metode baca tulis al-Qur’an Braille yang diterapkan oleh guru di lapangan sama halnya seperti metode pengajaran Braille Latin, yaitu metode pengenal huruf a sampai z, metode kata lembaga, metode kode atas, dan metode penggunaan kode kiri. Namun untuk pembelajaran baca tulis al-Qur’an Braille berubah menjadi metode pengenalan huruf اsampai ي, pengenalan huruf-huruf khusus ta’ marbuthah ( )ةdan alif maqsurah ()ى, pengenalan tanda atau harakat, dan yang terakhir penulisan lafadz-lafadz pendek. Adapun sebagai langkah awal penerapan dari metode dan prinsip tersebut mulai diberikan sejak kelas satu, dimana hafalan sangat diutamakan. Sedangkan baca tulis al-Qur’an baru diterapkan pada kelas 3 semester I. Hal ini berangkat dari alasan bahwa yang paling utama bagi siswa harus menguasai Braille Latin
67
terlebih dahulu, karena penempatan titik-titik Braille lebih sederhana sehingga memudahkan siswa untuk mempelajari al-Qur’an Braille dengan titik-titik yang lebih kompleks. Sebagai metode pembelajaran baca tulis al-Qur’an pada siswa tuna netra di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, Braille tetap menjadi pilihan yang utama, walaupun tidak menutup kemungkinan diterapkannya metode lain yang sesuai dengan tingkat ketunaan siswa.
C. Analisis Tentang Faktor Pendukung dan Penghambat Metode Braille dalam Baca Tulis al-Qur’an Pada Siswa Tuna Netra Di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo. 1. Faktor Pendukung Faktor-faktor yang menjadi pendukung dari aplikasi pembelajaran baca tulis al-Qur’an Braille pada siswa tuna netra di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, sebagian besar siswa tuna netra SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo adalah lulusan SDLB setempat. Hal ini lebih memudahkan pendidik dalam pengajarannya, karena baca tulis al-Qur’an telah diperkenalkan pada kurikulum SD setempat dan pendidik tinggal melanjutkan materi yang telah diajarkan sebelumnya. Kedua adalah, tempat tinggal siswa yang berada di asrama, dengan kondisi semacam ini bisa menambah pengetahuan dan pengalaman siswa. Adapun bentuk nyata dari hal tersebut adalah membantu siswa dalam
68
menyerap materi pelajaran sekolah, khususnya materi baca tulis al-Qur’an Braille. Ketiga adalah adanya sarana prasarana yang cukup memadai dalam membantu kelancaran proses belajar mengajar. Hal ini terlihat pada setiap ruangan aktifitas yang dipergunakan untuk kegiatan ketrampilan siswa cukup mendukung untuk pengembangan kreatifitas dan pengalaman siswa. Keempat adalah keberadaan lingkungan belajar yang kondusif dan representatif. Hal ini terlihat dari lingkungan tempat tinggal (asrama atau keluarga) maupun lingkungan masyarakat yang baik dan mendukung terciptanya suasana baik. Faktor pendukung yang kelima adalah penggunaan kurikulum yang sama dengan SMP umum. Hal ini jelas akan mendukung semangat dan keaktifan siswa tuna netra. karena dengan penggunaan kurikulum yang setara dengan SMP umum, jelas menunjukkan indikasi tidak ada perbedaan antara siswa yang normal dengan siswa yang tidak normal (khususnya tuna netra). 2. Faktor Penghambat Faktor penghambat dari aplikasi metode Braille dalam pembelajaran baca tulis al Qur’an pada siswa tuna netra di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo kebanyakan muncul dari dalam diri siswa. Hal ini jelas terlihat dari faktor utama, yaitu adanya masalah pada indra penglihatannya yang mempunyai dampak pada psikologis maupun sosial sehingga akhirnya akan menghambat bagi perkembangan siswa.
69
Selain faktor secara psikologis dan fisik dari dalam diri siswa, faktor penghambat lainnya adalah akibat yang ditimbulkan dari kekurangan pada indra penglihatan itu, antara lain secara kognitif, motorik, emosi, sosial dan kepribadian yang jelas sekali mengalami keterlambatan. Berikutnya faktor yang menjadi penghambat dalam implementasinya adalah alokasi waktu yang terbatas. Hal ini jelas berpengaruh, meskipun waktu yang disediakan menurut orang normal adalah cukup namun bagi para penyandang tuna netra sangat terbatas. Kemungkinan hal ini tidak hanya dirasakan oleh guru, namun juga bagi para siswa itu sendiri. Dari paparan data di atas menurut penulis, aplikasi metode Braille dalam pembelajaran baca tulis al-Qur’an pada siswa tuna netra di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo cukup berhasil, meskipun ada beberapa hambatan yang belum teratasi secara maksimal, di antaranya adalah sikap malas pada siswa. Sehingga hal ini menjadikan pendidik berasumsi bahwa dengan diamnya siswa menandakan siswa sudah paham dan menguasai baca tulis al-Qur’an Braille. Dengan permasalah semacam ini hendaknya guru lebih memahami kondisi psikologi siswa, serta bisa memberikan motivasi kepada siswa agar lebih meningkatkan semangat belajar.
70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Konsep al-Qur’an Braille adalah suatu metode Braille dalam baca tulis huruf Arab pada siswa tuna netra dengan menggunakan titik-titik timbul yang dibaca dengan sentuhan jari. Metode ini mempunyai konsep yang sama dengan Braille Latin, di mana titik-titik yang digunakan juga berjumlah enam buah, dengan sistem penulisan dari arah kanan ke kiri, dan sistem membaca yang juga dimulai dari arah kiri ke kanan. Sedangkan perbedaannya terletak pada penempatan titik-titik yang digunakan untuk menyebutkan hurufhurufnya beserta adanya penambahan beberapa titik untuk tanda bacaan seperti fathah, dhammah, sukun dan sebagainya. 2. Aplikasi metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an pada siswa tuna netra di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, sama halnya dengan pembelajaran Braille Latin, di mana prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengajarannya juga tidak jauh beda. Untuk al-Qur’an Braille, langkah-langkah yang digunakan adalah pengenalan huruf-huruf hijaiyah dengan hafalan, kemudian dilanjutkan dengan pengenalan huruf-huruf khusus yaitu ta’ marbuthah dan alif maqsurah, dan yang terakhir pengenalan tanda harakat disertai penulisan lafadz-lafadz pendek. Sedangkan aplikasi di lapangan cukup berhasil, walaupun masih ada hambatan-hambatan yang belum bisa teratasi secara maksimal. 70
71
3. Faktor pendukung dari aplikasi metode Braille dalam baca tulis al-Qur’an pada siswa tuna netra di SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo antara lain adalah pertama, sebagian besar siswa tuna netra SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo adalah lulusan SD setempat, kedua adalah tempat tinggal siswa yang berada di asrama, ketiga adalah adanya sarana prasarana yang cukup memadai dalam membantu kelancaran proses belajar mengajar, keempat adalah keberadaan lingkungan sekolah yang kondusif dan representatif, dan faktor pendukung yang kelima adalah penggunaan kurikulum yang sama dengan SMP umum. Kemudian sebagai penglihatan
yang
faktor penghambatnya adalah adanya masalah indra mempunyai
dampak
psikologis
maupun
sosial,
keterlambatan perkembangan kognitif, motorik, emosi, sosial dan kepribadian pada
siswa.
Berikutnya
faktor
yang
menjadi
penghambat
dalam
implementasinya adalah alokasi waktu yang terbatas. Faktor penghambat berikutnya adalah sikap malas pada siswa yang menimbulkan asumsi negatif guru, dan intensitas pengunaan al-Qur’an Braille yang tidak setiap hari, sehingga menimbulkan kesulitan pada siswa.
B. Saran-saran Demi tercapainya pengajaran yang optimal dan mengatasi hambatan yang ada, kepala sekolah, hendaknya menjalin kerjasama yang baik dengan segenap guru dan karyawan.
72
Kepada guru PAI SMPLB/A Aisyiyah Ponorogo, hendaknya menjalin kerjasama yang baik dengan kepala sekolah dan dengan segenap karyawan sehingga hambatan dapat segera teratasi. Kemudian guru PAI meningkatkan profesionalisme dalam mengajar, memberi motivasi siswa, dan dengan waktu yang terbatas dapat menggunakan dengan seefektif mungkin serta menambah referensi ajar yang akan diajarkan pada siswa. Dengan seperti masalah hambatan dapat segera teratasi dengan sempurna. Kepada akademik kampus STAIN Ponorogo, untuk selalu berlapang membuka pendaftaran mahasiswa untuk tuna netra dan sejenisnya, karena setiap manusia mempunyai cita-cita.
73
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: Madinah, 1971. Agung Harono. Sunarto, B. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999. Artikel http//www.raes.ab.ca/book/c31.htm. Ahmadi, Abu, dkk, Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta,tt. Abdurrahman, Mujiono. Pendidikan Luar Biasa Umum, Jakarta: Depdibud, 1994. Braille Alphabet and Numerals, The Encyclopedia Americana International Editional Volume 4, New York: Americana Corporation, International Headquarters 575, Lexington Avenue. Depdikbud, Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahas Indonesia, Jakarta: 1999. Effendi, Muhammad, pengatar psikopedagogik anak berkelainan, Yogyakarta: Bumi Aksara, 2006.
74
Fransworth. Charles, A Comparison Of The Braille and The Morse Codes, New
York:
Dominican
College
Orangebrurg,
tt
Avaible:
http/www.wems Org/qsigh.html. http://alquranbraille.blogspot.com. Imanuel Hitipeu. Anastasia Widjajanti. Ortopedagogik Tuna Netra I. Jakarta: Depdibud, Direktorat Jendral Pendidika Tinggi. J. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 1999. Margono, S. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Muhammad. Abu Bakar. Pedoman Pendidikan Dan Pengajaran. Surabaya: Usaha Nasional, 1981. Munanjar, Utami. Pengembangan Kreatifitas Anak Berbakat, Jakarta: Rineka Cipta, 1999. Najamudin, Muhammad. Masalah Integrasi Tuna Netra dalam Mengikuti Pelajaran pada Sekolah Menengah Agama di Yogyakarta, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1978. Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1996. Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 1983/1984.
Jakarta, CV. Harapan Baru,
75
Pedoman Penulisan Skripsi Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Ponorogo, 2008. Soemantri, T.Sutjihati. Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006. Sunarto, B. Harono, Agung, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfa Beta, 2005. UU RI. No. 20 Tentang SISDIKNAS. Bandug: Citra Umbara, 2006. Widdjajantin. Anastasia, dan Hitipeuw, Imanuel, Ortopedagogik Tunanetra I Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, tt. Yusuf. Munawir, Pendidikan Tuna Netra Dewasa dan Pengembangan Karir, Jakarta: Depdikbud. tt
76