1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Kesenian yang menurut Koentjaraningrat sebagai salah satu unsur kebudayaan,1 keberadaannya sangat diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,2 oleh karena itu kesenian akan selalu hadir di manapun manusia berada. Berbagai jenis atau cabang seni (kesenian) hadir di tengah-tengah kehidupan manusia, baik seni pertunjukan, mulai dari seni musik, seni tari, drama, maupun seni rupa seperti seni lukis, seni ukir atau pahat, dan sebagainya.3 Seni pertunjukan sebagai salah sebuah cabang dari seni
yang
selalu
hadir
dalam
kehidupan
manusia,4
seni
pertunjukan dalam kehidupan manusia sudah sangat tua usianya.5 Pada awalnya, tak ada satu bentuk kesenian (seni) yang otonom dan berdiri sendiri. Ia bisa menjadi bagian dari suatu ritus sosial, ritus religi atau kepercayaan, atau medium komunikasi
Koeantjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: PT. Gramedia. 1974), 12. 2 Timbul Haryono, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Dalam Perspektif Arkeologi Seni (Surakarta: ISI Press Solo, 2008), 1. 3 Dalam perkembangannya selanjutnya seni tari, seni musik, dan seni drama dikategorikan sebagai seni pertunjukan, mengikuti perkembangan dalam dunia keilmuan seni sebagai performing arts studies. 4 R. M. Soedarsono, Seni pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), 1. 5 R. M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Cetakan kedua (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001), 1. 1
2
produksi antar sesama manusia dan sebagainya.6 Jadi, tak ada masyarakat tanpa seni,7 salah satu di antaranya adalah seni musik. Kehadiran
musik
telah
menjadi
bagian
penting
bagi
kehidupan masyarakat budaya Sunda. Musik yang paling dominan hadir dalam masyarakat budaya Sunda adalah musik yang dalam penggarapannya atau pertunjukannya lebih didominasi oleh penggunaan instrumen musik yang secara material terbuat dari bahan
bambu,
terutama
bambu
gombong
(Gigantochloa
Pseudoarundinace atau Gigantochloa Vertilata), bambu wulung (Gigantochloa Atroviolacea), bambu tamiang atau bambu wuluh Schizotachyum Blunei Ness.) Bambu apus (Gigantochloa Apus Kurz).8
Musik
yang
mempergunakan
instrumen
bambu
ini
merupakan salah satu peninggalan masyarakat yang berlatar belakang budaya agraris tradisional, mulai dari budaya ngahuma9 hingga budaya persawahan.
6 Suka Harjana, “Seni Pertunjukan dan Pendidikan Seni”, dalam Mencermati Seni Pertunjukan III, Perspektif Pendidikan, Ekonomi & Manajemen, dan Media (Surakarta: Kerjasama The Ford Foundation & Program Pendidikan Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni (STSI) Surakarta, 2005),122. 7 Suka Harjana, Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini (Jakarta: Kerjasama Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2003), 19. 8 Lihat http://www.plantamor.com/index.php?plant=1836, lihat juga http://zalialgo.blogspot.com/p/nama-ilmiah-bambu-jenis-jenis-bambu.html. Diunduh tanggal 27 Februari 2015 pukul 20.00. 9 Ngahuma adalah bercocok tanam padi di ladang, para ahli menyebutnya dengan berbagai macam istilah, antara lain shipting cultivation, slash and burn agriculture dan ada pula yang menyebut swidden agriculture. Istilah-istilah itu semuanya menunjukkan tentang teknik/cara manusia melakukan bercocok tanam di ladang. Baca A. Sobana Hardjasaputra, Ngahuma: Suatu Pola Pertanian Tradisional di Jawa Barat, Tinjauan Sejarah (Bandung: Universitas Padjadjaran, Fakultas Sastra, Jurusan Ilmu Sejarah, 2005), 6.
3
Berdasarkan data yang diperoleh, budaya ngahuma ini telah ada di dalam wilayah budaya Sunda ini jauh sebelum masuknya budaya sawah yang merupakan salah satu pengaruh masuknya budaya Jawa.10 Berdasarkan tulisan Hardjasaputra, munculnya budaya persawahan dalam budaya Sunda diperkirakan mulai ada sekitar abad ke-17 hingga abad ke-18, sejak masuknya pengaruh budaya Jawa, khususnya ke wilayah Priangan.11 Dilihat dari segi fungsinya, kehadiran musik bambu tersebut selalu dikaitkan dengan upacara ritual dan dijadikan pelengkap yang mutlak ada, khususnya berkaitan dengan siklus upacara penanaman padi (Oryza Sativa L.)12, maka cukup beralasan apabila keberadaan musik bambu dalam budaya Sunda sampai sekarang masih terpelihara khususnya pada masyarakat agraris tradisional sebagai pendukungnya. Membahas masalah asal usul padi yang menjadi makanan pokok masyarakat Sunda, dalam masyarakat agraris tradisional Sunda dikenal beberapa mitos atau versi cerita rakyat yang
Pola pertanian ngahuma (berladang) dan bersawah, ditunjukkan oleh naskah-naskah lama tentang Jawa Barat. Dalam naskah Carita Parahyangan dijumpai istilah-istilah yang menunjukkan pekerjaan di ladang. Dari cerita-cerita dalam naskah tersebut dapatlah diperkirakan, bahwa ngahuma di Jawa Barat sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, paling tidak sejak jaman neolithicum. A. Sobana Hardjasaputra, 4-5. 11 Hardjasaputra, Budaya Ngahuma Suatu Pola Pertanian Tradisional di Jawa Barat: Tinjauan Sejarah (Bandung: Universitas Padjadjaran, Fakultas Sastra Jurusan Sejarah, 2005), 10. 12 http://id.wikipedia.org/wiki/Padi. Diunduh tanggal 27 Februari 2015 pukul 16.40. 10
4
dibawakan dalam pertunjukan pantun13. Pantun yang pertama adalah pantun Lutung Kasarung, yang kedua adalah pantun Paksikeling, dan yang terakhir adalah wawacan Sulanjana. Pantun atau wawacan tersebut sangat berkaitan erat dengan mitos padi, sehingga baik cerita maupun pertunjukannnya diposisikan sebagai cerita sakral yang dipercayai dan bahkan dianut ‘kebenarannya’ oleh beberapa kalangan masyarakat agraris. Hal ini bisa dilihat dari kepercayaan mereka terhadap kehadiran tokoh yang bernama Sunan Ambu sebagai Dewa tertinggi di bawah Sang Hyang Keresa, adanya Nyi Pohaci, adanya buana nyungcung (dunia Tuhan dan para dewa) dan buana panca tengah (dunia alam manusia). Sampai saat ini, cerita Lutung Kasarung masih dipertunjukkan dalam siklus ritual upacara padi, terutama di wilayah Kanekes atau Baduy. Dalam
perkembangannya
kemudian,
terutama
setelah
masuknya budi daya padi dengan sistem persawahan ke wilayah Sunda, berkembang pula cerita rakyat dalam bentuk wawacan atau pantun Sulanjana. Dalam wawacan atau pantun Sulanjana ini, seperti dalam salah satu versi pantun yang ditranskripsikan oleh Ajip Rosidi, memiliki kaitan yang sangat erat dengan mitos Nyai
Pohaci atau Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi padi. Inti dari alur
13 Pantun adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan, dialog, dan seringkali dinyanyikan. Lihat Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. (Bandung: Kerjasama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat dengan Pusat Dinamika Pembangunan UNPAD, 2003), 51.
5
cerita wawacan Sulanjana ini adalah mengungkapkan bahwa dalam budaya Sunda sejak dulu telah ada pola bercocok tanam padi. Di dalam salah satu bagiannya disebutkan tentang asal usul pohon padi yang tumbuh pada kuburan Pohaci atau Dewi Sri.14 Berkaitan
dengan
masalah
musik
bambu,
di
dalam
masyarakat Kasepuhan15 adat yang tergabung pada Kasatuan Adat Banten Kidul16 ternyata kehadiran musik bambu di lingkungan budayanya juga selalu dikaitkan dengan padi dan Nyai Sri atau Dewi Sri yang mereka percayai memiliki kaitan kesakralan yang sangat erat. Menurut penurutan Aki Karsim, alasan masyarakat Kasepuhan di Banten Kidul menghadirkan instrumen musik bambu dalam daur kehidupan masyarakatnya tidak bisa dilepaskan dari cerita pantun Sulanjana sebagai cerita asal usul padi sebagai sumber kehidupan masyarakat Kasepuhan.17
14 Lihat: Ajip Rosidi, Sri Sadana atau Sulanjana, Pantun Ki Atjeng Tamadipura di Situraja Sumedang (Bandung: Proyek Penelitian Pantun, 1970). Lihat juga http://id.wikipedia.org/wiki/Sri. Diunduh tanggal 24 Januari 2009 pukul 19.20. 15 Kasepuhan adalah suatu kelompok masyarakat adat yang dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya masih terikat secara kuat oleh nilai-nilai tradisional atau adat para leluhurnya. Pola perilaku sosio budaya masyarakat Kasepuhan masih menunjukkan karakteristik budaya Sunda abad ke-16. Lihat Kusnaka Adimiharja. Kasepuhan Yang Luruh di Atas Yang Luruh: Pengelolaan Tradisional Di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat (Bandung: Tarsito, 1992), 4. 16 Masyarakat adat Kasatuan Adat Banten Kidul adalah kelompok sosial atau masyarakat yang dalam kehidupannya menunjukkan pola perilaku sosiokultural, masih terikat secara kuat oleh nilai dan adat istiadat tradisional. Kelompok-kelompok social ini tersebar di tiga wilayah administratif, yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bogor, serta Bayah-Lebak Banten. 17 Wawancara dengan Aki Karsim tanggal 16 April 2011, namun dalam penyebutan nama Wawacan Sulanjana tersebut, Aki Karsim juga sebagian besar masyarakat Kasepuhan lebih mengenalnya dengan sebutan Sulamjana.
6
Dari sekian banyak jenis musik bambu yang masih ‘terpelihara’ dan juga telah mengalami banyak perkembangan salah satunya adalah musik angklung18.
Di wilayah Jawa Barat dan
Banten sebagai tempat tinggal masyarakat berlatar belakang budaya Sunda, kehadiran jenis-jenis kesenian angklung untuk kepentingan upacara ritual tetap hadir dalam masyarakat yang masih memegang teguh tradisi para karuhun19-nya. Jenis-jenis musik angklung tersebar di beberapa wilayah dengan berbagai penyebutan atau penamaan untuk jenis kesenian angklung ini, dan hampir semua jenis kesenian angklung ini yang difungsikan dalam kepentingan ritual padi ini dikategorikan dalam angklung buhun20. Pada masa lalu angklung buhun belum digunakan sebagai unsur kesenian murni atau seni seperti dalam paradigma Barat, yaitu sebagai seni yang dipertunjukkan secara khusus untuk para penonton. Angklung buhun hanya difungsikan dalam berbagai rangkaian kegiatan keagamaan atau religius (kepercayaan). Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa sebutan yang diberikan pada
Angklung yang dimaksud di sini adalah instrumen musik angklung yang terbuat dari bambu, yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia merupakan “sejenis alat musik tradisional yang dibuat dari ruas bambu digoyang-goyangkan untuk menimbulkan bunyi atau nada”. J. S. Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. 1994), 57. 19 Dalam Kamus Bahasa Sunda, karuhun = nenek moyang atau leluhur, http://www.kamusbahasasunda.com. Diunduh tanggal 16 April 2010 pukul 14.00. 20 Buhun = kuna (baca: kuno), http://www.kamusbahasasunda.com. Diunduh tanggal 16 April 2010 pukul 15.00. 18
7
jenis kesenian ini, di antaranya: angklung Buncis di Arjasari Kapupaten Bandung, angklung Gubrag di Cipining Bogor, angklung Bungko di Desa Bungko Kabupaten Cirebon, Badud di Cijulang Kabupaten Ciamis, dodod di Mekarwangi Pandeglang, angklung Dogdog Lojor
di
Ciptarasa, Cisolok
Kabupaten Sukabumi,21
angklung Mayangsari di Ciruas dan angklung Baduy di Banten, angklung Badeng di Garut, Badud di Sumedang dan Ciamis, dan lain-lain. Kehadiran berbagai jenis dan penamaan kesenian angklung tersebut, seperti telah diungkap di atas tidak terlepas dari kehidupan masyarakat budaya agraris tradisional sebagai warisan tradisi budaya agraris masyarakat Sunda lama. Berbicara masalah asal usul kehadiran instrumen angklung di Indonesia merupakan hal yang cukup sulit untuk ditelusuri. Banyak pemerhati angklung yang menduga-duga tentang asal usul alat musik ini. Ada yang berpendapat bahwa angklung hadir sejak agama Hindu masuk ke Indonesia, dan pada waktu itu dipakai sebagai pengganti genta yang dipakai dalam upacara keagamaan.22 Pendapat tersebut tidak didasari atas data-data atau alasan-alasan yang dapat dipertangungjawabkan, sehingga tidak bisa dijadikan
21 Juju Masunah, Rita Milyartini, Oya Yukarya, Uus Karwati, Deni Hermawan, Angklung di Jawa Barat: Sebuah Perbandingan. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional [P4ST] (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2003), 4. 22 Obby A. R., “Mengenal Instrumen Angklung,” makalah (Bandung: tidak diterbitkan, 1988), 1.
8
sebagai rujukan. Tulisan tersebut kemungkinan didasarkan pada tulisan Karl-Edmund Prier Sj yang menyatakan, sebagai berikut. Pada waktu orang Hindu datang ke Jawa, maka mereka telah menemukan bermacam-macam alat musik. Dalam relief candi Borobudur terdapat alat musik lokal maupun alat yang diimpor dari India: gendang, termasuk gendang dari tanah dengan kulit hanya di satu sisi, kledi, suling, angklung, alat tiup semacam hobo, xyllophone (bentuknya setengah gambang setengah calung), sapeq, sitar, dan harpa dengan sepuluh dawai, lonceng dari perunggu dalam macam-macam ukuran, gong, saron, bonang.23 Pendapat tersebut sangat diragukan kebenarannya, karena dalam tulisan tersebut juga tidak disertai atau tidak disebutkan nama candi yang memuat relief tentang angklung, sehingga pendapat ini pun tidak dapat dijadikan sebagai rujukan.
Dalam pengamatan
Timbul Haryono,24 dari hasil pengamatannya selama meneliti reliefrelief candi yang ada di Indonesia, tidak satu pun ditemukan relief yang menggambarkan tentang keberadan instrumen angklung. Data-data tentang angklung bambu sebagai bukti sejarah kebedaraan angklung di Indonesia dapat dilihat dari catatan Th. Pigeaud, Curt Sachs, dan Jaap Kunst. Dalam penelusuran Pigeaud yang dimulai sejak tahun 1917, berbagai wilayah di Indonesia memiliki angklung sebagai khasanah keseniannya.25 Curt Sachs
23 Karl-Edmund Prier Sj. Sejarah Musik. Jilid I, Cetakan I (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 1991), 80. 24 Wawancara tangal 13 November 2010. 25 Periksa Th. Pigeaud. Javaanse Volksvertoningen (Batavia: volkslectuur, 1938), 73, 83, 93, 103, 165-166, 170, 181, 187, 197, 199, 207, 214, 228, 232, 234, 237, 242, dan 428.
9
dalam tulisannya menyebutkan angklung di Indonesia sebagai instrumen musik yang berasal dari periode pra-Hindu.26 Sementara Jaap Kunts dalam tulisannya menguraikan sebagai berikut. Angklung spread over the whole of Java, Madura, and Bali, as well as part of Sumatra and Borneo, it is not, at present, found anywhere so generally as in Sundanese mountain districts, for which reason it is often wrongly taken to be a typically Sundanese Instrument …I am not at present able to state this certain-that these instruments also occur, if only sporadically, in the majority of the other javanese regencies.27 (Angklung tersebar di seluruh pulau Jawa, Madura, dan Bali, juga pada beberapa wilayah di Sumatra dan Borneo (Kalimantan), ternyata tidak, saat ini, dapat ditemukan di berbagai wilayah pegunungan Sunda, karenanya sering menjadi kesalahan ketika menjadikannya sebagai instrumen khas Sunda… Saya saat ini tidak dapat menyatakan hal inibahwa instrumen ini juga terdapat, jika hanya secara sporadis, di sebagian besar kabupaten Jawa lainnya). Eksistensi angklung (bambu) dalam budaya Bali seperti dikemukakan oleh Colin McPhee, dikenal dua bentuk dengan nama yang sama. The angklung included in this orchestra is found in two forms. The one most generally employed is furnished with three bamboo tubes of different lengths which are hung within a light wooden frame and tuned to sound a simple tone in three octaves when the frame is shaken. The other form is supplied with four tubes; two large tubes of equal length produce the basic tone, while two smaller tubes sound the tone an octav higher.28
26 Curt Sachs. The History of Musical Instruments (New York: W.W. Norton & Company Inc., 1940), 233. 27 Jaap Kunst. Music In Java (The Hageu: Martinus Nijhoff, 1949), 361. 28 Colin McPhee, Music in Bali: A Study in Form and Instrumental Organization in Balinese Orchestral Music (New Haven and London: University Press., 1966), 235.
10
(Angklung termasuk dalam orchestra ini didapatkan dua bentuk. Salah satu bentuk yang umum adalah dilengkapi dengan tiga tabung dengan panjang yang berbeda yang digantung pada sebuah rangka dan ditala pada nada yang sederhana dalam tiga oktaf saat tangka tersebut dikocok [digoyangkan]. Bentuk lain yang disertakan dengan empat tabung; dua tabung besar dengan panjang yang sama menghasilkan nada dasar, sementara dua tabung kecil terdengar nada sebuah oktaf yang tinggi). Di Bali saat ini keberadaan musik angklung bambu dapat dikatakan sudah jarang dipertunjukkan, terutama angklung untuk upacara ritual padi. Masyarakat Bali sekarang lebih sering mempergunakan instrumen angklung dalam wujud dan fungsi yang berbeda. Angklung yang dikenal dalam budaya masyarakat Bali saat ini adalah Gong Angklung yaitu seperangkat gamelan yang berlaras29 slendro empat nada yang selalu difungsikan untuk kepentingan upacara Ngaben, yaitu dalam upacara kematian atau pengkremasian jenazah. Di daerah Banyuwangi Jawa Timur, khususnya pada masyarakat Osing dikenal pula suatu jenis pertunjukan angklung, namun bentuk instrumennya pun berbeda dengan angklung yang ada dalam budaya Sunda. Angklung yang dimaksud dalam budaya Osing di Banyuwangi ini adalah seperangkat gamelan bambu yang
29
Berlaras = berskala nada.
11
bentuknya ‘mirip’ gambang atau rindik (Bali),30 atau calung atau arumba (Sunda). Berbicara masalah angklung bambu yang dihubungkan dengan masalah padi, R.M. Soedarsono dalam sebuah tulisannya menyatakan sebagai berikut. West Java is considered the most significant home of bamboo music ensemble called angklung in Indonesia. There are some regions in West Java having their own specific development of their angklung, yet, the regions of Banten and Bandung are the most prominent ones. Banten, inhabited by the Baduy people, has a very sacred angklung ensemble connected with the beliefs of the origin of rice. They believe that the origin of the rice was a result of the marriage between the Goddess Sri (Goddess of Rice) and the God Guru Bumi (God of Earth). They regard the Goddess Sri the Goddess of Rice. They also believe that the cemetary of Sri is located in one sacred area in Banten. It is therefore that for making angklung instruments the Baduy have to find the bamboo trees near the cemetary. Once a year, especially during the days before the planting rice season, the Baduy people hold a ritual called Ngaseuk in a sacred place called Huma. During Ngaseuk they play angklung surrounding the Huma. During the marriage between the Goddess Sri and the God Guru Bumi, with the hope that it will affect the fertility of the rice field.31 (Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang paling penting bagi musik bambu, yang disebut angklung, di Indonesia. Ada beberapa daerah di Jawa Barat yang memiliki perkembangan yang spesifik dalam hal musik angklung. Namun demikian, Banten dan Bandung merupakan daerah yang paling menonjol. Banten, khususnya yang dihuni oleh orang-orang Baduy, memiliki seperangkat musik angklung yang sangat sakral yang terkait dengan keyakinan asal usul 30 Wawancara dengan Pak Sahuni (tanggal 26 Oktober 2010) yang merupakan salah seorang tokoh budaya dan merupakan pakar kesenian angklung Banyuwangi. 31 R.M. Soedarsono. “Angklung Music of Indonesia From Ritual to the Entertaintment for Tourist”. Makalah pada The 9th International Conference of the Asia Pacific Society for Ethnomusicology. (Phnom Penh: August 24-27, 2004).
12
beras. Mereka percaya bahwa beras berasal hasil dari perkawinan antara Dewi Sri (Dewi Padi) dan Dewa Guru Bumi (Dewa Bumi). Mereka menganggap Dewi Sri sebagai Dewi Padi. Mereka juga percaya bahwa makam Dewi Sri terletak di salah satu kawasan suci di Banten. Oleh karena itu, untuk membuat instrumen angklung, masyarakat Baduy harus menemukan pohon bambu di dekat pemakaman. Sekali dalam setahun, terutama pada masa-masa sebelum musim tanam padi, masyarakat Baduy mengadakan ritual yang disebut ngaseuk di tempat suci yang disebut huma. Selama ngaseuk mereka bermain angklung di sekitar huma, selama pernikahan antara Dewi Sri dan Dewa Guru Bumi, dengan harapan bahwa hal itu akan mempengaruhi kesuburan sawah). Dalam hal ini, angklung bagi masyarakat tradisi Sunda lama tidak dapat dilepaskan dari masalah padi sebagai salah satu sumber makanan pokoknya. Salah satu kelompok masyarakat Sunda yang dianggap masih memegang teguh tradisi lama masyarakat Sunda di antaranya adalah masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.32 Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ini dalam kehidupan sehari-harinya masih menjalankan tradisinya. Mereka sangat meyakini bahwa mereka masih terikat kuat dengan para karuhun-nya, sehingga mereka tetap menjaga nilai-nilai atau norma-norma adat tradisi para
Kasepuhan Ciptagelar adalah salah satu kelompok masyarakat adat yang yang tergabung dalam Kasatuan Adat Banten Kidul yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Di lapangan terdapat dua cara penulisan, yaitu Cipta Gelar dan Ciptagelar, tetapi keduanya merujuk pada kelompok Kasepuhan Adat yang sama. Untuk kepentingan penulisan disertasi ini hanya akan dipakai istilah Kasepuhan Ciptagelar untuk kelompok masyarakat Kasepuhan adat yang dimaksud. Penjelasan mengenai masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ini akan dibahas secara khusus dalam bagian gambaran umum. 32
13
karuhunnya. Kelompok masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ini pun dikenal sebagai salah satu pusat sosio-religius Kasatuan Adat Banten Kidul.33 Apabila dikaitkan dengan cerita pantun seperti sudah diulas di atas, dalam pantun Lutung Kasarung yang dipercayai oleh masyarakat Kanekes atau Baduy, pertunjukan angklung selalu dihadirkan dalam ritual padi. Salah satu repertoar lagu ritual yang selalu
ditampilkannya
pun
berjudul
Lutung
Kasarung,
dan
dijadikan sebagai lagu pembuka. Adapun dalam masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, salah satu cerita rakyat yang dipercayai adalah cerita pantun atau wawacan Sulanjana. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar juga dalam setiap upacara ritualnya selalu menghadirkan angklung sebagai kelengkapannya. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar menamai kesenian angklung ini dengan istilah “angklung dogdog lojor”. Ada
fenomena
yang
cukup
menarik
saat
mengkaji
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ini. Menurut pengakuannya,
Saat ini ada lima Kasepuhan Adat yang tersebar di tiga wilayah adminstratif kabupaten, ke tiga wilayah ini termasuk ke dalam wilayah budaya Banten Kidul (selatan) dan dijadikan pusat sosio-religius warga Kasepuhan. Kasepuhan yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lebak antara lain: Kasepuhan Citorek, Kasepuhan Cicarucub, dan Kasepuhan Cisungsang; yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor adalah Kasepuhan Urug; sedangkan yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Sukabumi adalah Kasepuhan Sirnaresmi (Sinar Resmi) dan Kasepuhan Ciptagelar. 33
14
masyarakat Kasepuhan adalah penganut agama Islam yang setia,34 namun dalam pelaksanaan beribadahnya terdapat beberapa perbedaan dengan penganut Islam di luar Kasepuhan Ciptagelar. Dalam pelaksanaan kegiatan atau aktivitas kesehariannya, nuansa sinkretisme35
masih
sangat
kental
dalam
setiap
fenomena
budayanya. Sampai saat ini, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih sangat taat dalam menjalankan tradisi karuhun (leluhur)-nya, terutama dalam hal tradisi bercocok tanam padi di huma (ladang) dan sawah.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih tetap
menghormati dan mempercayai kehadiran Dewi Sri. Hal ini dapat dilihat dari setiap pelaksanaan siklus upacara padi yang mereka lakukan, selain itu mereka juga masih percaya akan kehadiran para karuhun
di
sekitar
mereka.
Adapun
siklus
ritual
upacara
penanaman padinya pun selalu dilengkapi dengan kehadiran kesenian, yaitu (instrumen) musik angklung. Kaitan antara kegiatan keagamaan dan seni, seperti diungkap Y. Sumandiyo Hadi yang menyatakan bahwa, di antara berbagai macam gejala kebudayaan manusia, seni dan agama nampaknya merupakan
34 Menurut Aki Karsim (70 tahun), ajaran Islam yang mereka anut secara turun temurun adalah ajaran yang bersumber langsung dari Sunan Gunung Jati. Wawancara tanggal 15 April 2011. 35 J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Haparan, 1994), 113.1 Sinkretisme = penyerasian, penyesuaian, penyeimbang antara dua aliran agama.
15
domain-domain yang begitu akrab. Keduanya sering nampak dalam kebersamaan gejala manusia, sehingga keterkaitan di antara keduanya sudah dianggap sewajarnya.36 Dalam ritual padi pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, angklung dogdog lojor selalu dihadirkan sejak dimulainya musim menanam padi, yaitu pada upacara ngaseuk di huma, dilanjutkan pada penanaman padi secara tandur di sawah. Pertunjukan angklung dogdog lojor selalu ditampilkan sejak kegiatan pengambilan binih pare (benih padi) dari dalam leuit37, penanaman serta panen padi di huma dan sawah, hingga upacara pelaksanaan sěrěn taun. Urutan setiap pertunjukan angklung dogdog lojor, ditampilkan mengikuti urutan atau tahapan-tahapan masing-masing upacara. Proses pelaksanaan mulai pengambilan benih padi, penanaman padi hingga menyimpan kembali bakal benih padi memakan waktu hampir setahun penuh. Pertunjukan angklung dogdog lojor digelar sesuai dengan uraian repertoar upacara. Pelaksanaan awal penanaman padi bergantung pada waktu penyelenggaraan ngaseuk atau tandur.
Penentuan waktu
penyelenggaraan awal siklus pertanian baik di huma maupun di sawah
selalu
ditentukan
oleh
para
sesepuh
adat.
Dalam
36 Y. Sumandiyo Hadi, Seni Dalam Ritual Agama (Yogyakarta: Pustaka, 2006), 255. 37 Leuit adalah lumbung padi.
16
pemahaman masyarakat Kasepuhan, awal siklus pertanian selalu ditandai dengan munculnya dua rasi bintang yang dalam ilmu astronomi disebut the orient belt dan bintang kerti.38 Dalam
masyarakat
Kasepuhan
Ciptagelar,
pelaksanaan
upacara ngaseuk39 selalu di mulai dari lahan huma milik Abah atau sesepuh girang (pimpinan adat) dan dilanjutkan di sawah yang juga milik sesepuh girang. Setelah kegiatan ngaseuk di huma dan tandur40 di sawah Sesepuh Girang selesai ditanami padi, kegiatan ngaseuk serta tandur kemudian dilanjutkan di huma atau sawah baris kolot atau para pembantu sesepuh girang, dan terakhir di huma atau sawah milik masyarakat yang digarap secara bergilir dan gotong royong, tergantung dari kesepakatan masyarakat huma dan sawah siapa yang akan digarap terlebih dulu. Apabila upacara ngaseuk dan tandur ini telah selesai, kegiatan pertunjukan angklung selanjutnya akan terus dilakukan pada setiap hari selama kurang lebih enam bulan. Kegiatan pertunjukan angklung ini dalam perkembangan selanjutnya selain dipertunjukkan di sekitar saung huma atau di pinggir sawah, juga bisa dipertunjukan di saung pangkemitan dan di buruan (alun-alun)
38 Sampai sejauh ini rasi bintang kerti belum teridentifikasi. Baca: Kustaka Adimihardja, 1992, 126. 39 Ngaseuk adalah proses penanaman padi di huma (ladang). Penjelasan selengkapnya akan dibahas pada Bab IV. 40 Tandur adalah proses penanaman padi di sawah dengan sistem penanaman tanam mundur. Penjelasan selengkapnya akan dibahas pada Bab IV.
17
Kampung Gedě Kasepuhan Ciptagelar. Berbeda dengan masyarakat Kanekes yang pada saat akan memasuki bulan ke tiga, masyarakat Kanekes memasang sebuah alat yang diberi nama sondari41, yaitu sebatang bambu yang ditancapkan di tengah huma atau di pinggir sawah. Pada beberapa ruas bambu bagian atas diberi beberapa lubang, kurang lebih 6 sampai 9 lubang yang bentuk serta ukuran lubangnya berbeda-beda. Apabila tertiup angin, sondari ini akan mengeluarkan suara mendengung yang menurut kepercayaan mereka, bunyi sondari ini juga sangat disukai oleh Nyai Sri. Di dalam masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, penggunaan sondari tidak ditemukan dalam siklus penanaman padi. Masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar
tidak
menambahkan
atau
mengganti
peralatan dengan alat lain, mereka hanya memainkan angklung di dalam setiap tahapan siklus penanaman padinya. Menurut informasi dari Aki Dai,42 pada awalnya, sebelum Kampung Kasepuhan adat atau Kampung Gedě dipindahkan dari Ciptarasa ke Kampung Gedě Ciptagelar di Kampung Cicemet Desa Sirnaresmi, pertunjukan angklung dogdog Lojor hanya boleh dibawakan oleh para pria dewasa saja, tetapi setelah beberapa
41 Di Kanekes nama alat seperti ini adalah calintuh, sedangkan dalam budaya Bali dinamakan sunari, sedangkan menurut wawancara dengan R. M. Soedarsono (tanggal 29 Mei 2011) dalam budaya Jawa alat seperti ini dinamakan sendaren. 42 Aki Dai adalah pimpinan grup Angklung Dogdog Lojor di Kasepuhan Ciptagelar. Wawancara tanggal 13 April 2011.
18
generasi terutama setelah Kampung Gedě Kasepuhan dipindahkan ke Kampung Cicemet, pemain angklung sudah bisa dimainkan oleh kaum perempuan, bahkan anak-anak. Dari data yang peneliti dapatkan, ternyata ada beberapa perkembangan yang terjadi dalam angklung itu sendiri, dimulai dari instrumen, cara memainkan, bentuk dan fungsi pertunjukannya, para pemain, pergeseran makna dan simbolnya, repertoar lagu, hingga masalah penyebarluasannya. Saat ini repertoar lagu yang dipertunjukkan selain lagu-lagu khusus untuk keperluan upacara, sekarang sudah dihadirkan lagu-lagu repertoar baru, sebagai salah satu bentuk hasil kreativitas mereka. Berdasarkan informasi, lagulagu repertoar baru tersebut merupakan salah satu bentuk pembaharuan Aki Dai sebagai pimpinan grup angklung di Kampung Gedě
Kasepuhan
Ciptagelar
dalam
mengkemas
pertunjukan
angklung dogdog lojor, dan hasil dari upaya pembaharuan Aki Dai tersebut telah dipertunjukkan dalam beberapa kegiatan hiburan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Demikian juga tentang bambu yang digunakan sebagai bahan pembuatan
(instrumen)
angklung.
Bambu
yang
biasanya
dipergunakan dalam pembuatannya adalah bambu atau awi
19
gombong atau gigantochloa vertilata (gigantochloa maxima).43 Tetapi berdasarkan data yang ada ternyata bambu yang digunakan dalam pembuatan angklung sekarang ada yang sudah menggunakan awi hideung (awi wulung) atau bambu hitam (gigantochloa atter).44 Perubahan paradigma atau pola pikir masyarakat juga disinyalir
merupakan
salah
satu
alasan
kuat
yang
turut
mempengaruhi perkembangannya. Hal ini dapat dilihat dari perubahan sistem atau pola pertanian masyarakat yang asalnya berbudaya ngahuma ke sistem atau pola pertanian sawah. Selanjutnya masuknya
perubahan pengaruh
yang
budaya
terjadi Islam,
dimungkinkan serta
pengaruh
akibat karena
perkembangan pola pikir dan sistem pendidikan Barat, terutama sejak jaman kolonial Belanda. Menurut Abah Ugi juga Aki Karim, perpindahan Kampung Gedě beserta masyarakatnya dari Ciptarasa ke Ciptagelar terjadi karena adanya wangsit dari para karuhun. Perpindahan Kampung Gedě ini telah menjadi momen paling penting bagi masyarakat Kasepuhan untuk membuka diri terhadap berbagai pengaruh luar. Perpindahan mereka ke Kampung Gedě Ciptagelar merupakan masa bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar untuk menerima hal-
43
Awi gombong lihat: Anang Sumarna, Bambu (Bandung: Angkasa, 1986).
44
Awi wulung: lihat Sumarna, Bambu, 21.
12.
20
hal atau pengaruh yang positif bagi pengembangan dan kelestarian alam serta budayanya, juga saatnya memberikan apa yang mereka miliki kepada pihak luar. Hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan listrik yang mempergunakan turbin yang mereka bangun sendiri secara bergotong royong. Menurut Abah Ugi, mereka memiliki
berbagai
kekayaan
energi
yang
cukup
untuk
mengembangkan berbagai potensi yang mereka miliki. 45 Dalam budaya Sunda terdapat salah satu babasan atau paribasa (peribahasa) yang berbunyi ngindung ka waktu mibapa ka jaman. Babasan atau peribahasa ini merupakan salah satu konsep kehidupan
masyarakat
Sunda
dalam
rangka
mengadaptasi
berbagai hal, baik mengadaptasi dalam permasalahan lingkungan, trend, pengetahuan, teknologi, dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan masyarakat Kasepuhan, babasan ngindung ka waktu mibapa ka jaman tersebut dijadikan sebagai konsep untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan dan perkembangan yang tidak bisa mereka hindari. Sebagai salah satu produk budaya agraris, budaya ngahuma merupakan salah satu bentuk dari budaya Sunda lama, sebagai sumber kehidupan atau kelangsungan atau daur hidup manusia.
45 Wawancara dengan dengan Abah Ugi tanggal 16 April 2011 dan wawan cara dengan Aki Karim tanggal 14 April 2011.
21
Selama
mereka
menjalankan
budaya
tradisi
Sunda
lama,
khususnya ngahuma, mereka akan tetap menggunakan angklung sebagai media pelengkap upacara ritual (penanaman padi) di huma atau ladang padi.
Begitupun di dalam kepercayaan masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar, instrumen angklung merupakan media ritual transendental yang bisa menghubungkan mereka dengan Dewi Sri dalam setiap upacara ritual. Mereka percaya bahwa padi dan tanah masing-masing ada pemiliknya yang disebut ‘gaib’46, oleh karena itu untuk mendapatkan berkah dari pemilik padi dan tanah mereka melakukan upacara. Angklung dalam paradigma masyarakat Sunda lama, baik sebagai instrumen musik ataupun sebagai musik tidak dapat dipisahkan
dari
konteks
keseimbangan
keseimbangan hidup manusia dan alam.
kosmos,
khususnya
Demikian pula halnya
dengan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sekarang, konteks keseimbangan kosmos masih tetap dijalankan. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mempercayai adanya hubungan antara musik angklung dengan kesuburan alam, khususnya dengan tanaman padi. Dalam pandangannya, Dewi Sri sangat menyukai bunyi angklung ini, sehingga secara adat
46 Bagi masyarakat Kasepuhan di Banten Kidul, makhluk yang dianggap ‘gaib’ adalah Nyai Pohaci sebagai dewi padi dan para karuhun mereka yang selalu setia hadir di dalam kehidupan masyarakatnya.
22
kehadiran angklung sudah menjadi suatu kelengkapan dan penghormatan kepada Dewi Sri. Angklung dalam paradigma budaya masyarakat Sunda yang sampai saat ini masih memegang teguh tradisinya, seperti dalam budaya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ini, ternyata gambaran mengenai bentuk instrumen angklung secara keseluruhan memiliki makna yang sangat kompleks dan bahkan hampir dijadikan sebagai pandangan hidup yang dalam pelaksanaan kegiatan hidup mereka dijadikan sebagai pendidikan etika kehidupan manusia dalam bermasyarakat.
Selain itu instrumen angklung oleh masyarakat
tradisional dijadikan sebuah simbol yang mengandung makna seperti terungkap dalam papatah (nasihat) Sunda, yaitu ulah ngelmu angklung, apabila diterjemahkan secara harfiah kira-kira adalah ulah (jangan) ngelmu (‘menganut’ ilmu) seperti posisi tabung angklung. Ungkapan tersebut isinya didasarkan pada posisi pemasangan tabung angklung pada rangkanya.
Posisi tabung
angklung yang berukuran lebih besar atau tabung indung menghadap tabung berukuran kecil atau tabung anak, karena bentuk pemasangannya pula, maka posisi tabung angklung anak membelakangi tabung angklung indung.47 Makna yang terkandung
47 Dinda Satya Upaja Budi. “Angklung Dalam Upacara Ritual Ngaseuk”. Tesis untuk memperoleh derajat S-2 pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta: Program Pascasarjana, 2001), 73-76.
23
dalam papatah masyarakat Sunda ini memiliki arti dan pesan bahwa kasih sayang dan perhatian ibu terhadap anaknya sangat besar, akan tetapi sebaliknya kasih sayang dan perhatian anak akan lebih besar terhadap anaknya lagi. Ungkapan tersebut memiliki ungkapan dan pesan yang sangat mendidik, yaitu agar setiap anak senantiasa dan seharusnya memberikan perhatian kepada para orang tua mereka dan mereka memiliki kewajiban untuk selalu hormat dan taat kepada orang tua mereka terutama kepada ibu. Demikian pula halnya dengan masalah yang berhubungan dengan kosmologi. Jakob Sumardjo dalam sebuah tulisannya menyatakan sebagai berikut. Nenek moyang bangsa Indonesia percaya adanya suatu aturan tetap yang mengatasi segala apa yang terjadi dalam alam dunia manusia. Manusia harus berpartisipasi dalam aturan kosmos, sehingga hidupnya menjadi otentik dan bernilai. Untuk mengungkapkan kepercayaan itu, manusia memaknai lambang-lambang dan tanda, berupa mitos dan ritus. Mitos berupa cerita yang menafsirkan makna hidup berdasarkan kejadian purba (asal usul masyarakat atau padi memberikan petunjuk bagaimana manusia harus berkelakuan sesuai dengan kosmos). Sedang ritus adalah kelakuan simbolik yang mengkonsolidasikan atau memulihkan tata alam dan menempatkan manusia dalam tata alam tersebut.48 Hal tersebut terkandung pula dalam instrumen angklung.
48 Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater dan Drama Indonesia (Bandung: STSI Press, 1997), 20.
24
Masyarakat Sunda lama seperti masyarakat Baduy mempercayai bahwa dalam bentuk instrumen angklung terkandung suatu gambaran simbolik tentang adanya hubungan kosmik antara tiga lapisan dunia yaitu buana nyungcungn (dunia atas), buana panca tengah (dunia tengah), dan buana larang/rarang (dunia bawah). Buana nyungcung sebagai simbol dunia atas terletak pada bagian atas angklung yang dihiasi oleh daun pelah (Daemonorop Rubra)49, yaitu sejenis daun pohon rotan yang ukurannya cukup panjang. Buana panca tengah sebagai gambaran dunia tengah terletak pada bagian tabung, sebagai gambaran dunia atau alam tempat manusia dan binatang tinggal, dan buana larang terletak pada soko sebagai gambaran dunia bawah yang merupakan neraka. Tiang-tiang
angklung,
sebagai
penyangga
tiap
tabung
angklung dilambangkan sebagai suatu poros yang menghubungkan antara tiga lapisan dunia. Apabila dikaitkan dengan pendapat Mircea Eliade, poros tersebut dianggap sebagai axis mundi.50 Di dalam kosmologi, poros tersebut sering dilambangklan sebagai tiang, tangga, pohon, gunung, dan sebagainya. Axis mundi ini terletak pada pusat dunia yang menembus tembok-tembok pemisah
49 Daun pelah adalah nama daun rotan yang berukuran panjang sejenis pandan. Lihat http://skydrugz.blogspot.com/2011/10/seputar-rotan.htm1# axzz3SuZbpUJN. Diunduh tanggal 27 Februari 2015 pukul 04.00. 50 Mircea Eliade, The Sacred and The Profan, The Nature Of Religion (New York: A Harvest Book Harcourt, Brace & World, Inc., 1959), 35-37.
25
antar lapisan dunia. Melalui axis mundi ini manusia religius dapat mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia bawah. Angklung sebagai instrumen musik tak dapat dipisahkan dari keseimbangan hidup masyarakat Sunda. Apabila dibandingkan dengan konsep yang ada dalam agama Hindu Bali, konsep keseimbangan ini mirip dengan konsep Tri Hita Karana seperti yang diungkap oleh I Made Bandem dalam tulisannya yang berjudul Prakempa, yang meliputi konsep keseimbangan hidup manusia dengan Sanghyang Keresa, konsep keseimbangan hidup manusia dengan alam sekitarnya, dan konsep keseimbangan hidup manusia dengan sesamanya.51 Oleh karena itu, masyarakat Sunda terutama yang masih memegang teguh tradisi karuhunnya akan selalu berusaha untuk tetap menjaga dunia sebagai pusat dunia. Sebagai manusia religius masyarakat Sunda percaya, bahwa menjaga keseimbangan dunia hanya bisa dilakukan oleh manusia sebagai penghuni lapisan buana panca tengah. Demikian pula halnya dalam cara penyajian atau pertunjukannya yang berbentuk seni helaran,
I Made Bandem, Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali (Denpasar: ASTI Denpasar, 1986), 11. Konsep ini mirip namun juga berbeda dalam pengaplikasiannya, di dalam masyarakat Sunda lama lebih ‘bentuk’ vertikal, sedangkan dalam budaya Bali horizontal (Kaja-Kelod). Dalam Tri Hita Karana budaya Bali tercermin dalam pembagian wilayah Kaja dan Kelod. Kaja merupakan daerah utara tempat Dewa, sedangkan Kelod adalah daerah selatan tempat bhuta, sementara di antara wilayah tersebut adalah wilayah untuk kehidupan manusia. Dalam kosmologi Sunda konsep keseimbangannya tercermin kosmologi yang berbentuk vertical, di mulai dari dunia atas atau Buana Nyungcung tempat Tuhan dan Sunan Ambu (Dewi), dunia tengah atau Buana Panca Tengah tempat manusia, serta dunia bawah atau Buana Rarang (Larang) yang merupakan neraka atau dunia kegelapan. 51
26
dalam pertunjukan, posisi pemain angklung selamanya berdiri dengan hidmat dan bersikap tegak dalam formasi lingkaran mengelilingi sesajen, para baris kolot, dan benih padi, dengan putaran sesuai dengan arah jarum jam. Formasi lingkaran yang dipertunjukkan dalam berbagai upacara digambarkan sebagai peredaran dunia yang selalu berputar. Perputarannya dilakukan searah jarum jam atau pradaksina, dari arah kiri ke arah kanan, dengan titik pusatnya mengarah ke bagian selatan.52 Dalam perkembangan selanjutnya, saat ini formasi lingkaran tidak hanya dilakukan memutar searah jarum jam tetapi berputar melawan arah jarum jam. Lantas
bagaimanakah
berbagai
gambaran
mengenai
angklung dogdog lojor yang terdapat pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar saat ini yang dalam tata kehidupannya sudah bergeser, karena perubahan paradigma yang dipengaruhi oleh berbagai aspek, mulai dari perubahan kepercayaan hingga paradigma karena pengaruh perkembangan pola pikir atau sistem pendidikan pola Barat? Pada kesempatan ini pula peneliti ingin mengungkap tentang berbagai latar belakang terutama yang berhubungan dengan perubahan paradigma masyarakat Sunda terhadap eksistensi angklung. Mengapa masyarakat Sunda selalu
52 Baca: Zoetmulder, Old Javanesse, English Dictionary (Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1982), 1350.
27
mempergunakan dan menjadikan angklung sebagai salah satu sarana yang mutlak ada dalam berbagai bentuk kegiatan, baik untuk kepentingan upacara ritual, hingga untuk kepentingan pertunjukan ‘estetis’. Dalam hal ini, peneliti memiliki keyakinan, bahwa keberadaan seni angklung, khususnya Angklung Dogdog Lojor akan tetap menarik untuk dicermati. Penelitian ini diberi judul: ”Angklung Dogdog Lojor Pada Masyarakat Kasepuhan Ciptegelar Kasatuan Adat Banten Kidul”. Pada dasarnya, selain untuk mencari berbagai fenomena yang berkaitan dengan angklung dogdog lojor, juga untuk mencari tahu bagaimana
proses pengembangannya,
faktor apa saja yang
melatarbelakangi perkembangannya, sehingga dapat diperoleh kejelasan fakta serta berbagai argumen yang mempengaruhinya, khususnya bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar khususnya atau masyarakat Sunda umumnya sebagai penyangganya. Selain itu pengkajian terhadap proses perkembangan angklung dogdog lojor pada dasarnya adalah untuk memahami bagaimana kaitan antara konsep tekstual dan kontekstual53 dari seni angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran alternatif bagi pengembangan khasanah angklung dogdog lojor pada Kasepuhan Ciptagelar sebagai kekayaan
53
Akan dijelaskan dalam landasan teori.
28
budaya Sunda. Hal ini penting dilakukan oleh karena angklung memang patut untuk dapat dikembangkan lagi supaya dapat lebih membumi. B. Rumusan Masalah Seperti sudah diutarakan pada bagian sebelumnya bahwa kehadiran angklung bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi kehidupan
masyarakat
Sunda
dianggap
sangat
penting.
Kepentingan penelitian ini adalah dalam rangka menggali informasi tentang berbagai fenomena yang berkaitan dengan instrumen angklung dogdog lojor pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Penelitian ini akan berangkat dari tiga pertanyaan yang paling mendasar sebagai batasan masalah. 1. Mengapa angklung dogdog lojor mempunyai kedudukan penting bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar? 2. Bagaimana jaringan sistematik organologi angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar? 3. Bagaimana perkembangan pertunjukan angklung dogdog lojor pada Kasepuhan Ciptagelar?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada perumusan masalah bahwa topik penelitian ini sekurang-kurangnya terfokus
29
pada beberapa permasalahan pokok, dengan demikian tujuan dari peneltian ini pada dasarnya: (1) menggali keberadaan serta kedudukan angklung dogdog lojor pada Kasepuhan Ciptagelar; (2) untuk
menjelaskan
keterkaitan
antara
jaringan
sistematik
angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar; (3) memaparkan perkembangan penampilan angklung dogdog lojor masyarakat Kasepuhan Ciptagelar serta menemukan bentukbentuk pengembangan angklung dogdog lojor oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar itu sendiri. D. Tinjauan Pustaka Penelitian dan penelitian yang mengambil objek tentang angklung begitu pula dengan penelitian tentang masyarakatmasyarakat adat Kasepuhan di wilayah Banten Kidul54, terutama Kasepuhan Ciptagelar sudah sangat sering dilakukan oleh peneliti atau peneliti lain. Pemaparan tinjauan pustaka berikut ini adalah dalam rangka menggambarkan bahwa topik penelitian tentang angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ini memang belum pernah dilakukan oleh siapapun. Oleh karena itu,
54 Masyarakat Adat Kasepuhan di Banten Kidul terdiri dari beberapa kelompok atau komunitas adat, di antaranya Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Sirnaresmi, dan Kasepuhan Ciptamulya yang masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Sukabumi. Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Ciherang, Kasepuhan Citorek, Kasepuhan Cibedug, Kasepuhan Sobang, Kasepuhan Bungur termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lebak Banten.
30
untuk menunjukkan orisionalitas rancangan topik penelitian ini, berbagai informasi atau tulisan terkait lainnya akan dipaparkan dalam beberapa hasil penelitian dan penelitian sebagai berikut. Dinda Satya Upaja Budi tahun 1999 dalam penelitiannya yang berjudul “Tinjauan Organologis terhadap Angklung Baduy, Suatu Telusuran Awal”.55 Tulisan ini merupakan suatu tinjauan awal terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesenian angklung dalam masyarakat Kanekes. Tulisan ini menginformasikan tentang peran instrumen angklung pada masyarakat Kanekes yang menjadi salah satu media pelengkap dalam setiap upacara ritual ngaseuk, yang
dalam
proses
pembuatan
hingga
proses
fungsi
dan
kegunaannya hanya bisa atau boleh dilakukan oleh Jaro Angklung atau orang yang diberi tugas dan tanggung jawab secara adat dalam setiap penyelenggaraan upacara ritual. Tulisan ini memiliki perbedaannya dengan topik bahasan yang peneliti teliti, karena disamping lokasi serta budayanya yang berbeda, juga instrumen serta pertunjukan angklungnya pun memiliki perbedaan. Dinda Satya Upaja Budi tahun 2001 dalam tesisnya yang berjudul “Angklung Baduy dalam Upacara Ngaseuk” menguraikan bahwa kedudukan angklung dalam masyarakat Kanekes dijadikan
55 Dinda Satya Upaja Budi, “Tinjauan Organologis terhadap Angklung Baduy, Suatu Telusuran Awal”. Laporan Penelitian, (Bandung: Puslitmas STSI, 1999).
31
sebagai salah satu media komunikasi atau media penghubung antara masyarakat Baduy.56 Tesis ini juga sangat penting karena cukup memberikan informasi mengenai hubungan atau peranan musik angklung dalam masyarakat Baduy dengan berdasarkan keterbatasan
serta
kapasitas
masyarakat
Baduy
sebagai
masyarakat Mandala. Dilihat dari segi fungsi seni pertunjukannya, penampilan angklung Baduy dalam siklus penanaman padi sangat terbatas, karena adanya aturan adatnya yang sangat ketat. Selain objek penelitian yang sangat berbeda secara fisik, penelitian ini memiliki perbedaan kajian yang didasarkan pada kedalaman kajian. Kajian pada angklung dogdog lojor ini memakai perspektif organologi baru, yaitu organologi sebagai sebuah systematic network (jaringan sistematik). sehingga sangat berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Selain itu, aktivitas kegiatan pertanian masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki rangkaian yang lebih banyak melibatkan angklung dogdog lojor dalam aktivitas kehidupan komunitas atau masyarakatnya. Randal Baier tahun 1986 dalam tesis etnomusikologinya yang berjudul “Si Duriat Keueung; The Sundanese Angklung Ensemble of West Java-Indonesia” mengulas sekilas beberapa jenis angklung
56 Dinda Satya Upaja Budi, “Angklung Baduy dalam Upacara Ngaseuk”, Tesis untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Program Pascasarjana, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2001).
32
yang terdapat dalam budaya Sunda, seperti angklung buncis di daerah Ujung Berung Bandung, angklung gubrag di Cipining Bogor, dan angklung baduy di Desa Kanekes. Penjaringan datanya dilakukan di antara bulan Agustus 1981 dan April 1982. Randal memandang bahwa angklung merupakan kesenian yang berasal dari tradisi pertanian, tetapi juga telah menjadi bagian dari sajian sekuler, hal ini dicontohkan dengan ensambel angklung gubrag dan angklung buncis yang sering ditampilkan dalam berbagai kegiatan festival
seni
rakyat
atau
festival
budaya
yang
hanya
diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Angklung telah menjadi bagian dari kepentingan politik, kolonial, dan pariwisata.57 Tulisan tentang angklung tersebut sangat jelas memiliki perbedaaan objek penelitian serta sudut pandang dengan topik penelitian yang peneliti bahas. Harry
Nugroho
tahun
2005
dalam
tulisannya
yang
merupakan tesis dalam bidang magister desain memberi judul “Studi Komparatif Angklung Buhun, Badeng, dan Modern dalam Perspektif Budaya Masyarakat Sunda” melakukan studi komparatif terhadap beberapa khasanah angklung Sunda.58 Dalam uraiannya
57 Randal Emerson Baier. “Si Duriat Keueung; The Sundanese Angklung Ensemble of West Java-Indonesia”. Thesis Submitted in partial fulfillment of the degree of Master of Arts Music (Middletown, Connecticut: Wesleyan University, 1986). 58 Harry Nugroho, “Studi Komparatif Angklung Buhun, Badeng, dan Modern dalam Perspektif Budaya Masyarakat Sunda”, Tesis untuk memperoleh gelar Magister (Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2005).
33
dibahas
mengenai
masalah
perubahan
karakteristik
desain
angklung, mulai dari angklung buhun, masuknya pengaruh Islam, hingga pengaruh pendidikan dan komersial. Dalam hal ini, peneliti mensinyalir terdapat beberapa kesalahan pengambilan data atau kekurangan
dalam
pengumpulan
data
(informasi),
karena
kemungkinan besar pengkajian hanya dilakukan dalam waktu yang singkat dan narasumber yang terbatas. Hal ini dapat dilihat dari pengambilan contoh angklung yang dijadikan objek penelitian, instrumen angklung Badeng yang diteliti adalah produk angklung yang juga diproduksi oleh salah satu industri atau produsen instrumen angklung yaitu Saung Angklung Udjo. Dalam beberapa hal, terdapat perbedaan-perbedaan pembahasan dengan topik yang penelitian ini, hal ini sangat dimungkinkan karena dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan dan pendekatan ilmu yang digunakan. Tulisan tersebut lebih banyak memakai pendekatan atau kajian desain secara kesenirupaan, sedangkan peneliti dalam penelitian angklung dogdog lojor ini memakai pendekatan lain, di antaranya adalah memakai teori organologi sebagai jaringan sistematik serta performance studies. Sementara
itu
Abun
Somawijaya,
Suhendi
Afriyanto,
Komarudin, Cici Suwarna, Cahya Hedi, Arliani, dan M.Yusuf Wiradiredja pada tahun 1996 menulis tentang “Khasanah musik
34
Bambu di Jawa Barat”.59 Dalam tulisan ini diuraikan tentang hubungan bambu dengan alam lingkungan, bambu dengan kehidupan manusia, bambu sebagai alat musik, dan sebagai alat ritual.
Contoh musik bambu yang dijadikan penelitian adalah
angklung buhun, seni badeng, calung, dodod, dan genggong. Angklung buhun diuraikan berfungsi sebagai sarana upacara di huma untuk menambah kekhidmatan upacara turun binih, ngarak binih, dan ngareremokeun binih. Seni badeng berfungsi sebagai sarana upacara penyebaran agama Islam. Calung difungsikan sebagai seni untuk mapag Dewi Sri pada saat panen padi, yang kemudian berkembang fungsinya sebagai sarana hiburan dalam pernikahan dan khitanan. Dodod merupakan seni tradisi yang terlahir sebagai sarana upacara tatanen dan
ngalaksa yang
berhubungan dengan kepercayaan kepada Dewi Sri, serta rasulan atau selamatan (salawatan). Genggong yang merupakan bentuk pertunjukan kemasan yang menggabungkan tiga jenis kesenian tradisi di antaranya angklung buncis, terbang, dan reak, dengan pertunjukan
yang
pengamatan
selama
berbentuk
seni
melakukan
helaran.
studi
Berdasarkan
pustaka,
peneliti
mendapatkan infomasi yang kemungkinan dapat membingungkan pembaca. Dalam hal ini, salah satu sub bahasan yang menguraikan
59 Abun Somawijaya, Suhendi Afriyanto, Komarudin, Cici Suwarna, Cahya Hedi, Arliani, dan M.Yusuf Wiradiredja “Khasanah musik Bambu di Jawa Barat”. Laporan penelitian (Bandung: Puslitmas STSI Bandung, 1996).
35
tentang angklung buhun Baduy ternyata terdapat ketidaktepatan dalam pengambilan data-data penelitian. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti mendapatkan fakta bahwa objek yang diteliti adalah bukan angklung yang berasal dari kampung adat Baduy, melainkan sebuah grup kesenian angklung bernama Grup Alfitrah dari Kampung Cipamekar Kabupaten Lebak, yang lokasinya cukup jauh dari Kampung adat Baduy, dan sudah mengubah fungsinya dari fungsi ritual menjadi fungsi sosial. Berdasarkan uraian tersebut sangatlah jelas bahwa bahasannya sangat berbeda dengan topik penelitian ini. Tulisan selanjutnya adalah tulisan Nuryanto dan Isep Machpudin tahun 2008 yang membahas tentang “Kajian Pola Kampung dan Rumah Tinggal Warga Kasepuhan Kesatuan Adat Banten Kidul di Sukabumi Selatan Jawa Barat”. Tulisan tersebut lebih banyak membahas hasil observasi terhadap artefak atau sisasisa peninggalan fisik arsitektur pola kampung-kampung di Kasepuhan. Penelitian pola kampung serta arsitektur rumah tinggal kampung Kasepuhan tersebut direkam serta diteliti selama tahun 2005.60 Sebagai kesimpulan umum, tulisan ini lebih menunjukkan adanya pemolaan Kampung Gedě yang sama antara Kampung Gedě
60 Nuryanto dan Isep Machpudin, “Kajian Pola Kampung dan Rumah Tinggal Warga Kasepuhan Kesatuan Adat Banten Kidul di Sukabumi Selatan Jawa Barat”, Arsitektur Tradisional Sunda (Bandung: Univertitas Pendidikan Indonesia, 2008).
36
saat masih di Ciptarasa dengan Kampung Gedě Ciptagelar sesudah pindah ke Kampung Cicemet-Sukamulya. Persamaan pola-pola tersebut di antaranya terdiri dari: batas yang berupa dari batasbatas fisik dan batas non fisik; fasilitas yang terdiri dari fasilitas umum dan sosial; tata ruang menguraikan tentang tata letak imah gedě atau bumi ageung dan rumah-rumah warga, beresih dan kokotor; serta ragam-ragam hias yang terdiri dari ragam hias warga adat dan non adat. Secara umum tulisan ini lebih banyak menjelaskan pola Kampung Gedě Ciptarasa dengan Kampung Gedě Ciptagelar sama-sama memiliki pola kampung yang museur atau pola rumah-rumah atau pemukiman warga yang memusat kepada imah Gedě yang berada pada sumbu utara-selatan. Persamaan pola arsitektur rumah tinggal di Kampung Gedě Ciptarasa dan Pola arsitektur rumah tinggal Kampung Gedě Ciptagelar dapat dilihat pada bentuk rumah-rumah panggung serta pengorganisasian tata ruang yang terdiri dari tepas imah (halaman depan rumah), tengah imah (bagian tengah dalam rumah), serta pawon (dapur), sedangkan komponen arsitektur rumah terdiri dari lelemahan, pangadeg, dan suhunan. Tulisan ini juga menguraikan aturan-aturan dalam membangun atau mendirikan sebuah bangunan rumah, terutama menguraikan tentang proses mendirikan rumah beserta upacara
37
yang mengiringinya.61 Tulisan ini sangat jelas sama sekali tidak membahas masalah angklung dalam masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, namun tulisan ini cukup membantu peneliti, terutama dalam memahami pengorganisasian tata ruang di Kasepuhan Ciptagelar. Selanjutnya adalah tulisan Asep yang berupa tesis dalam bidang studi Sosiologi Pedesaan pada Institut Pertanian Bogor tahun 2000 yang berjudul “Kesatuan adat Banten Kidul: Dinamika Masyarakat dan Budaya Sunda Kasepuhan di Gunung Halimun Jawa Barat.”62
Fokus penelitian ini adalah tentang pola-pola
hubungan sosial yang konkrit pada masyarakat desa Sirnarasa
Tulisan Dadang Ahadiat dan Nuryanto tahun 2007 yang berjudul “Kajian Pola Kampung dan Rumah Tinggal Warga Kasepuhan Kesatuan Adat Banten Kidul di Sukabumi Selatan Jawa Barat” merupakan sebuah studi banding yang menguraikan tentang observasi artefak atau sisa-sisa peninggalan fisik arsitekturnya pada masing-masing kampung serta rumah. Pola kampung dan rumah tinggal direkam serta diteliti selama tahun 2005, karena terbatasnya data lapangan yang dapat ditelusuri. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya penggunaan pola kampung yang sama antara Kampung Gedě Ciptarasa dan Kampung Gedě Ciptagelar. Secara umum tulisan ini memiliki kesamaan topik bahasan dengan tulisan sebelumnya, yang di kedua kampung sama-sama memiliki pola museur (memusat) kepada bumi ageung yang berada pada sumbu utara-selatan. Pola rumah tinggal di Ciptarasa dan Ciptagelar dapat dilihat pada bentuk rumah panggung dan organisasi ruang, yaitu tepas imah, tengah imah dan pawon. Komponen rumah yang terdiri dari lelemahan, pangadeg, dan suhunan Aturan dalam mendirikan sebuah bangun, yaitu proses mendirikan rumah serta upacara yang mengiringinya, demikian pula dengan ragam hias yang terdiri dari ragam hias adat dan non adat. Penelitian ini memberi gambaran tentang adanya pola umum atau pola yang sama yang ditemukan di kampung dan rumah tinggal, baik di kampung Ciptarasa maupun di kampung Ciptagelar merupakan bukti kesetiaan warga kepada adat tatali paranti karuhun. Dadang Ahadiat dan Nuryanto, “Kajian Pola Kampung dan Rumah Tinggal Warga Kasepuhan Kesatuan Adat Banten Kidul di Sukabumi Selatan Jawa Barat” Hasil Penelitian Arsitektur Tradisional Sunda, (Bandung: Univertitas Indonesia, 2007). 62 Asep, “Kesatuan adat Banten Kidul: Dinamika Masyarakat dan Budaya Sunda Kasepuhan di Gunung Halimun Jawa Barat”, Tesis Program Pascasarjana (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2000). 61
38
yang saat itu menjadi pusat orientasi sosioreligius masyarakat Kasepuhan adat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat Kasepuhan berbentuk hierarkis yang dilandasi oleh jalinan sistem kekerabatan yang mendominasi berbagai pola hubungan sosial dalam masyarakat tersebut. Mekanisme struktur sosialnya ditopang oleh sistem pemerintahan adat yang dilandasi oleh nilai-nilai adat dan sistem ekonomi tradisional dengan komponen
utamanya
adalah
ikatan
kulawarga
(keluarga).
Pemerintah adat sebagai institusi pengatur masyarakat berfungsi menjaga
ketertiban
dan
keharmonisan
sosial
dengan
cara
memupuk ketaatan warganya dengan mekanisme adat dalam penyelanggaraan berbagai upacara adat sebagi manifestasi tatali paranti karuhun. Sistem ekonomi berpijak pada usaha tani ladang, sawah, dan kebun yang membentuk pola hubungan antara penggarap dan pemilik lahan yang berdasarkan pada prinsip gotong royong dan tolong menolong. Kesimpulannya, struktur sosial masyarakat Kasepuhan dibentuk oleh adanya jalinan integratif dari sistem kekerabatan, sistem pemerintahan, dan sistem ekonomi tradisional. Dalam hal ini, tulisan ini pun sama sekali tidak membahas tentang seni pertunjukan angklung dogdog lojor, tetapi diakui bahwa tulisan ini cukup memberikan informasi tentang strategi adaptasi dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan dalam rangka menyeimbangkan integrasi sosialnya.
39
Tulisan selanjutnya adalah disertasi Iing Moch. Ichsan tahun 2009 yang berjudul “Etika Lingkungan Masyarakat Adat Kasepuhan dalam Pengelolaan Hutan di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak: Inspirasi Taoisme”.63 Tulisan ini menguraikan bahwa tradisi yang berkembang di masyarakat adat Kasepuhan memenuhi unsur pemikiran sebuah aliran filsafat, karena: pertama, tradisi yang dianut oleh masyarakat adat Kasepuhan lahir sebagai sebuah pemikiran dari para pendahulunya. Kedua, merupakan pemikiran reflektif masyarakat adat Kasepuhan dalam mencari pemecahan terhadap problematika yang dihadapinya. Ketiga, bersifat dinamis yang dapat berubah dari waktu ke waktu, terbuka, dan berkembang sesuai dengan keadaan. Keempat, pemikiran yang bersifat
runtut
dan
memperhatikan
kaidah-kaidah
logika,
menyeluruh (menyangkut seluruh aspek kehidupan), mendasar (sampai kepada hal-hal yang mendasar), dan bersifat spekulatif (dapat dijadikan titik tolak bagi pemikiran berikutnya). Tulisan ini memberikan penjelasan dan dapat dijadikan referensi tentang masyarakat adat Kasepuhan juga memiliki kesamaan dengan aliran filsafat timur yang pada dasarnya menekankan pada aktivitas manusia untuk mencari kebahagiaan dengan prinsip keselarasan,
63 Iing Moch. Ichsan, “Etika Lingkungan Masyarakat Adat Kasepuhan Dalam Pengelolaan Hutan di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak: Inspirasi Taoisme”, Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Filsafat (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2009).
40
yang konsepnya tidak bisa dipisahkan dari alam sekitar dan hubungannya dengan manusia yang umumnya bersifat agraris. Nilai-nilai kebaikan yang ada di komunitas masyarakat adat Kasepuhan dalam mengelola hutan sangat perlu untuk selalu dipertahankan dan dikembangkan untuk mengatasi persoalan lingkungan. Rita Rachmawati, Subair, Idris, Gentini, Dian Ekowati, dan Usep Setiawan pada tahun 2008 menulis “Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik, dan Dinamika Sosio-Ekologis”.64 Dalam tulisannya menguraikan tentang konsep Pancer Pangawinan sebagai sandaran kehidupan masyarakat adat Kasepuhan pada keterikatan atas tanah adat. Perubahan status tanah
adat
menyebabkan
menjadi terbatas
hutan
lindung
hingga
atau
hilangnya
Taman akses
Nasional
masyarakat
terhadap tanah adat. Kondisi ini menempatkan masyarakat pada konflik dengan pengelola Taman Hutan Nasional Gunung Halimun Salak. Hasil dari penelitian tersebut sangat memberikan referensi, khususnya mengenai adanya pengetahuan lokal masyarakat dalam mengatur kelestarian lingkungan dan bagaimana lingkungan tersebut memberi manfaat untuk kehidupan masyarakat, antara
64 Rita Rachmawati, Subair, Idris, Gentini, Dian Ekowati, dan Usep Setiawan, “Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik, dan Dinamika Sosio-Ekologis” dalam Sodality, Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, Ekologi Manusia (Agustus 2008), 150-190.
41
lain adanya konsep Ibu Bumi, Bapak Langit dan Guru Mangsa (guru zaman), leuit, dan wewengkon leuweung (wilayah hutan). Selanjutnya Kusnaka Adimiharja tahun 1992 membuat tulisan yang diberi judul Kasepuhan yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh: Pengelolaan Tradisional Di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat.65 Bahasan dari tulisan ini lebih banyak ditekankan pada masalah
interaksi
atau
saling
hubungan
antara
manusia
(masyarakat adat Kasepuhan) dengan alam. Secara empirik tulisan tersebut lebih banyak menganalisis budaya, terutama terhadap cara-cara dalam pengelolaan atau mengeksploitasi di lingkungan pegunungan Halimun-Salak serta pola adaptasi yang dilakukan masyarakat Kasepuhan Bungur. Dari berbagai tulisan yang telah dipaparkan di atas, peneliti tidak satu pun mendapatkan pustaka yang memiliki topik, objek penelitian, serta bahasan yang sama, dengan kata lain topik penelitian
tentang
angklung
dogdog
lojor
pada
masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar ini sama sekali belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Dengan demikian, topik disertasi tentang angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ini masih dapat dikatakan orisinal atau terjaga keasliannya.
65 Kusnaka Adimiharja. Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh: Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat (Bandung: Tarsito, 1992).
42
E. Landasan Teori Penelitian ini pada dasarnya adalah mengungkap salah satu seni pertunjukan angklung sebagai sebuah produk budaya. Clifford Geertz dalam tulisannya menyatakan sebagai berikut. Seni pertunjukan dan bentuk-bentuk lain pergelaran budaya, termasuk seni pertunjukan tradisional, harus dilihat sebagai jendela-jendela istimewa untuk memahami pandangan dunia dan etos kelompok-kelompok etnis tertentu dengan nilai dan pemahaman, kebiasaan dan norma tersendiri.”66 Sesuai dengan uraian di atas, maka yang akan terlebih dahulu dikaji adalah eksistensi (instrumen) musik angklung dogdog lojor yang terdapat dalam masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat dicermati melalui aspek organologi. Mantle Hood dalam bukunya yang berjudul The Ethnomusicologist pada bab ketiga tentang Organology menyatakan bahwa Musical Instruments as A Unique Source of Information (Instrumen musik sebagai sumber informasi unik).67 Dalam hal ini, sebuah instrumen musik dapat dianggap sebagai salah satu sumber informasi yang unik, instrumen musik bisa diibaratkan sebagai jendela untuk mengungkap keterkaitannya dengan budaya suatu kelompok etnik.
66 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Book, 1973), 452. 67 Mantle Hood, The Ethnomusicologist, New Edition (Ohio: Kent State Unversity Press, 1971), 123.
43
Berbicara
mengenai
seluk
beluk
serta
ruang
lingkup
instrumen musik sebagai bidang utama dari organologi, Sue DeVale dalam tulisannya menyatakan bahwa: Organology is best simply described as the science of sound instruments. The use of sound rather than music to define the category of instruments that are the objects of its study allows the inclusion of the instruments in many cultures used for more that, or other than, music.68 (Organologi secara sederhana digambarkan sebagai ilmu tentang bunyi instrumen (musik). Penggunaan bunyi (daripada musik) untuk mendefinisikan kategori instrumen (musik) yang merupakan objek penelitian, memungkinkan masuknya instrumen-instrumen musik yang digunakan dalam beragam kebudayaan, tidak hanya, sekedar musik). Penggunaan kata sound atau bunyi, bukan music (musik) untuk menunjukkan, bahwa bunyi yang dimaksud dalam definisi ini tidak terbatas pada bunyi musik saja, tetapi meliputi keseluruhan bunyi instrumen juga digunakan selain untuk musik. Selain itu, DeVale melihat relasi bahwa secara organolog, instrumen musik memiliki keterkaitan dengan latar belakang budaya masyarakatnya. DeVale dalam tulisannya mencontohkan bahwa instrumen kulkul dalam budaya Bali selain biasa dibunyikan sebagai alat komunikasi antar warganya juga ditempatkan sebagai instrumen dalam ensambel musiknya.
Dengan
membahas
organologi,
melalui
sebuah
instrumen musik kita dapat mengetahui seluk beluk hubungan
68 Sue Carole DeVale, “Organizing Organology” dalam Selected Reports in Ethnomusicology, Volume VII-Issues in Organology (Los Angeles: University of California, 1990), 4-5.
44
antara bentuk fisik sebuah instrumen musik dengan budaya pada suatu ‘suku’ bangsa atau dengan ‘suku’ bangsa yang lainnya. Lebih jauh DeVale menyatakan demikian. In Nature, I see organology as a multidisciplinary systematic network with three branches: Classificatory, Analytic, and Applied… Classificatory organology attends to the categorization of instruments. Analytic organology answer specific questions concerning instruments or the discipline it self, drawing on techniques and methodologies from the arts, humanities, and sciences. Applied organology attends to the creation, use, and adaptation of instruments for practical, scientific, artistic, or educational purposes.69 (Di lapangan, saya melihat organologi sebagai sebuah jaringan sistematis multidisiplin dengan tiga cabang: klasifikasi, analisis, dan aplikasi ... klasifikasi organologi digunakan untuk mengkategorikan instrumen musik. Organologi analitis menjawab pertanyaan khusus mengenai instrumen atau disiplin ilmu itu sendiri, dengan mengambil teknik dan metodologi dari seni, humaniora, dan sains. Organologi terapan berkaitan dengan penciptaan, penggunaan, dan adaptasi instrumen untuk tujuan praktis, ilmiah, seni, atau pendidikan).
Gambar 1 Organology as a Systematic Network 69 70
Sue Carole DeVale, 1990, 5. Sue Carole DeVale, 1990, 4.
70
45
Penampilan
angklung
dogdog
lojor
pada
masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar juga sangat erat kaitannya dengan siklus dan aktivitas kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Oleh karena itu, untuk mengkaji seni pertunjukan angklung dogdog lojor pada
masyarakat
Kasepuhan
Ciptagelar
ini,
peneliti
mempergunakan performance studies oleh Richard Schechner sebagai grand theory atau teori utama-nya. Penelitian ini juga akan dibantu dengan berbagai teori, antara lain: teori sejarah, teori organology as a Systematic Network atau organologi sebagai suatu jaringan sistematik yang diusung oleh Sue DeVale, teori fungsi seni pertunjukan yang diutarakan R.M. Soedarsono, dan teori sejarah tentang artefak seni pertunjukan yang diutarakan Timbul Haryono, seperti makes (buat), use (pakai), dan deposition (buang). Menurut Richard Schechner, Performance studies atau kajian penampilan adalah pendekatan saintifik yang berdasarkan kepada interdisiplin atau multidisiplin ilmu yang mempertemukan antara lain antropologi, kajian teater, antropologi tari atau etnologi tari, etnomusikologi, semiotika, sejarah, linguistik, kritik sastra, dan lain-lain. Performance studies berangkat dari dasar pemikiran bahwa penampilan
tidak dibatasi oleh
bentuk pertunjukan
tradisional yang dianggap ‘artistik’, tetapi dijabarkan ke dalam praktik penampilan yang luas melampaui kategori budaya, sejarah,
46
dan sosial yang konvensional. Performance studies secara serius memiliki empat ranah kajian. Pertama, perilaku (masyarakat) yang merupakan objek pengkajian, yaitu mengkaji apa yang dilakukan masyarakat dalam setiap kegiatannya. Kedua, objek atau kegiatan seni yang merupakan bagian terpenting bahan kajian, terutama aktivitas seniman serta kegiatan penampilannya, dan sebagainya. Hubungan antara kajian dengan penampilannya adalah bagian yang tidak terpisahkan. Ketiga, kerja lapangan sebagai participant observation merupakan metode yang sangat dihargai. Keempat, Performance
studies
secara
aktif
terlibat
dalam
praktik-
praktik sosial. Dalam penelitian performance studies kinerja harus ditafsirkan sebagai suatu spektrum
tampilan atau rangkaian
kegiatan manusia (masyarakat) mulai dari kegiatan ritual, bermain, hiburan olah raga, hiburan populer, seni pertunjukan, dan kegiatan kehidupan
sosial
sehari-hari,
profesional,
gender,
ras,
dan
pengobatan (mulai dari perdukunan untuk kedokteran), media, dan internet.71 Fenomena yang sangat menarik dalam hal mengkaji angklung dogdog lojor pada Kasepuhan Ciptagelar ini, antara lain terdapat
71 Richard Schechner, Performing Arts Studies (London and New York: Routledge. 2002), 1-2. Baca pula: David Harnish, The Bridges to the Anchestors: Music, Myth, and Cultural Politics at an Indonesian Festival (Honolulu: University of Hawai’I Press., 2006). Dalam hal ini David Harnish menggunakan performance studies dengan analisisnya sebagai aplikasi performance studies.
47
beberapa pembahasannya yang secara umum mempergunakan konsep atau model dalam proses pengkajiannya. Model pengkajian yang pertama diajukan oleh Sue DeVale yang menawarkan sebuah teori organologi sebagai model kajian dengan melihat kedudukan instrumen musik sebagai suatu systematic network atau jaringan sistematik. Jaringan sistematik ini meliputi tiga aspek penting, yaitu:
(1)
classificatory
yang
berkaitan
dengan
kategorisasi
instrumen musik sebagai penghasil bunyi; (2) Analitical yang berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan khusus mengenai instrumen atau mengenai disiplin ilmu organologi itu sendiri, dan berkaitan pula dengan teknik dan metodologi dari seni, humaniora, dan ilmu pengetahuan; dan (3) Applied adalah yang berkaitan dengan proses pembuatan, penggunaan, penyesuaian instrumen
untuk
tujuan
praktis,
keilmuan,
artistik,
dan
pendidikan. Dalam pandangan Sue DeVale, alur kajian organologi sebagai jaringan sistematik tersebut sebagai berikut. In the flow of the organological network, the results and questions raised in applied organology are fed back into both classificatory and analytic organology... the ultimate purpose of organology should be to help explain society and culture. As material objects, sound instruments are hard evidence of the musical nature of humanity; they can function as windows through which we can understand humankind.72 (Dalam alur jaringan organologi, hasil dan pertanyaan yang diajukan dalam aplikasi diumpankan kembali ke kedua klasifikasi dan analisis ... tujuan akhir dari organologi 72
Sue Carole DeVale, 1990, 21-22.
48
seharusnya membantu dalam menjelaskan masyarakat dan budaya. Sebagai objek material, bunyi instrumen musik adalah bukti kuat sifat musikal manusia; mereka dapat difungsikan sebagai jendela yang dapat memahami manusia). Untuk memperdalam bahasan mengenai fungsi pertunjukan angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ini dipergunakan teori fungsi seni pertunjukan yang dilontarkan R.M. Soedarsono, yang menyatakan bahwa seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer, yaitu: 1). Ritual, 2) Hiburan, dan 3) Presentasi Estetis.73 Angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar, dalam pengamatan selama di lapangan ketiga fungsi primer seni pertunjukan tersebut sangat sesuai dengan fenomena yang ada. Angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam perkembangannya telah memiliki dan masih menjalani ke tiga fungsi primer tersebut. Terutama setelah beralih tempat dari kampung Kasepuhan Ciptarasa ke Kampung Gedě Kasepuhan Ciptagelar. Sharer dan Ashmore seperti dikutip oleh Timbul Haryono yang menyatakan bahwa perilaku manusia telah menghasilkan tingalan-tinggalan budaya yang mencakup tiga hal mendasar, yaitu: 1), makes (buat), 2). Use (pakai), dan 3), deposition (buang). Pada proses yang pertama makes (buat) memiliki kaitan yang sangat erat
73 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Dalam Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 123.
49
dengan proses use (pakai) yang mengarahkan si pembuat terhadap fungsi
produk
buatannya,74
sedangkan
deposition
(buang)
merupakan tindak lanjut dari suatu benda setelah dipakai.75 Dalam hal ini makes mempertanyakan untuk apa dan bagaimana angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar dibuat, bagaimana angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar digunakan (dipakai), serta bagaimana angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar setelah digunakan dan diposisikan dalam masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang telah berkembang pola pikir dan paradigmanya. Dalam hal ini, apabila dikaitkan dengan proses penciptaan atau kreativitas karya seni maka makes diartikan sebagai alasan mengapa seni, dalam hal ini adalah angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar itu dibuat atau diciptakan masyarakat dengan berbagai fenomenanya, sedangkan use digunakan dalam hal bagaimana angklung dogdog lojor digunakan atau difungsikan dalam fenomena kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Adapun terkait dengan deposition merupakan tindak lanjut dari karya, dalam hal ini (angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar) tersebut setelah dibuat atau diciptakan dan difungsikan, maka
74 Timbul Haryono, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Dalam Perspektif Arkeologi Seni. Cetakan pertama (Surakarta: ISI Press Solo, 2008), 49-50. 75 Wawancara dengan Timbul Haryono tanggal 14 Desember 2014.
50
pada akhirnya akan menuju pada wilayah bertahan atau tidaknya seni (angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar) tersebut. Selain itu masih ada pernyataan yang diutarakan oleh Timbul Haryono yang digunakan dalam mengkaji khasanah seni angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar ini, yaitu: 1). Artefak, 2). Idiofak, dan 3). Teknofak.76 Dalam hal ini bagaimana angklung dogdog lojor ditinjau secara artefak sebagai salah satu seni pertunjukan produk budaya
masyarakat
Kasepuhan
Ciptagelar,
bagaimana
pula
angklung dogdog lojor dijadikan sebagai idiofak bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, serta bagaimana angklung ditinjau sebagai salah satu teknofak bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Penelitian angklung dogdog lojor ini lebih ditekankan pada kombinasi antara telaah tekstual dan kontekstual. Telaah tekstual atas seni pertunjukan memandang fenomena seni pertunjukan sebagai sebuah teks untuk dibaca atau dideskripsikan strukturnya, bukan untuk dijelaskan atau dicari sebab musababnya. Hal ini berbeda dengan telaah kontekstual yang menempatkan fenomena kesenian dalam konteks yang lebih luas, antara lain konteks sosial
76 Timbul Haryono. “Artifak Kualitas dan Validitasnya sebagai Data Arkeologi” dalam jurnal Artifak, Jurusan Arkeologi Universitas Gadajah Mada (Yogyakarta: UGM, No. 1/1, 1984), 5-15.
51
budaya masyarakat tempat fenomena seni tersebut muncul atau hidup.77 Untuk mengkaji angklung dogdog lojor ini digunakan pula analisis tekstual dan kontekstual yang disodorkan Marco de Marinis dalam buku The Semiotics of Performance.78 Berhubungan dengan masalah analisis tekstual, perlu dijelaskan bahwa teks dalam seni pertunjukan berbeda dengan teks dalam linguistik. Teks linguistik hanya memiliki satu-lapis (single layer) yaitu bahasa, sedangkan teks dalam seni pertunjukan memiliki multi-lapis (multilayered entity) yaitu semua lapis atau elemen dari seni pertunjukan yang paling tidak terdiri atas: pelaku atau pemain, gerak, musik, rias, busana, tata panggung, dan lain-lain. Demikian pula halnya angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar memiliki multi-lapis (multilayered entity), teks yang terdapat dalam pertunjukan dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar adalah instrumen angklung itu sendiri yang analisisnya menggunakan organogram. Organogram ini diajukan oleh Mantle Hood yang terinspirasi oleh notasi laban, yang taksonominya memungkinkan untuk dipakai dalam instrumen
Heddy Shri Ahimsa Putra, “Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis”, dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (ed.), Ketika Orang Jawa Nyeni (Yogyakarta: Galang Press., 2000), 40. 78 Marco de Marinis, The Semiotics of Performance. Terj. Aine O’Healy (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1993), 12; periksa pula Heddy Shry Ahimsa Putra, “Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual, dan Post Modernistis” dalam Ketika Orang Jawa Nyeni (Yogyakarta: Galang Press, 2000), 24. 77
52
musik. Hood menemukan sebuah cara dalam menggambarkan pendekatan lain untuk notasi simbolis instrumen-instrumen musik,
serta
keterkaitannya
dengan
masyarakat
sebagai
konteksnya.79 Dalam pelaksanaannya, analisis tekstual mengungkapkan bentuk pertunjukan angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar yang menyangkut bentuk visual. Bentuk visual akan menguraikan tentang pendukung angklung dogdog lojor, serta elemen-elemen pertunjukan angklung dogdog lojor, hubungan atau jalinan antar elemen,
dan
sistem
produksi.
Adapun
analisis
kontekstual
diperlukan untuk mengungkap latar belakang serta faktor-faktor pendukung perkembangan penampilan angklung dogdog lojor, pola perilaku masyarakat, penyebab masyarakat menyelenggarakan pertunjukan, dan bagaimana kegiatan itu berlangsung di kalangan masyarakat penyangganya. Selain itu, termasuk untuk mengetahui kedudukan dan fungsi pertunjukan angklung, segala aktivitas dalam pengembangan bentuk pertunjukan, dan komunikasi di antara mereka (seniman dan masyarakatnya). Berbicara masalah fungsi seni pertunjukan R.M. Soedarsono berpendapat, bahwa secara garis besar fungsi dan peran seni
79 Baca Mantle Hood, The Ethnomusicologist. New Edition (Ohio: The Kent State University Press, 1982), 123-196.
53
pertunjukan Indonesia dapat dicermati melalui tiga fungsi primer, di antaranya: (1) sebagai sarana ritual, (2) sebagai ungkapan pribadi yang umumnya berupa hiburan pribadi, dan (3) sebagai presentasi estetis. Di sebagian lingkungan masyarakat Indonesia yang masih memiliki kekentalan nilai-nilai kehidupan tradisionalnya, sebagian besar seni pertunjukannya memiliki fungsi-fungsi ritual. Fungsifungsi ritual itu bukan saja berkenaan dengan peristiwa siklus kehidupan yang dianggap penting, seperti kelahiran, potong gigi, potong rambut yang pertama, turun tanah, khitan, pernikahan serta kematian. Berbagai kegiatan yang dianggap penting juga memerlukan seni pertunjukan, seperti berburu, menanam padi, panen, bahkan sampai pula persiapan untuk perang.80 Eksplanansi melalui disiplin ilmu sejarah dalam mengungkap eksistensi seni angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar akan menjadi salah satu cara dalam mengkaji kaitan dari berbagai peristiwa. Seperti dikutip oleh T. Ibrahim Alfian berdasarkan pernyataan Bernheim bahwa, “Ilmu sejarah adalah ilmu yang menyelidiki dan menyajikan fakta-fakta perkembangan umat manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu dalam kegiatannya (yang bersifat individual, khas, dan kolektif) sebagai manusia sosial
80 R.M.Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press., edisi ketiga yang diperluas, 2002), 123.
54
dalam rangka hubungan sebab akibat psiko-fisik.81 Dalam hal ini babasan ‘ngindung ka waktu mibapa ka jaman’ yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sunda secara umum, khususnya bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu acuan dalam rangka perkembangan yang terjadi dalam pertunjukan angklung dogdog lojor Kasepuhan Ciptagelar. Dengan demikian, berdasarkan pada uraian di atas penelitian angklung
dogdog
lojor
ini
dapat
dikatakan
menggunakan
pendekatan multidisiplin. F. Metode Penelitian Angklung dogdog lojor sebagai sebuah objek penelitian merupakan seni pertunjukan yang diketahui sebagai salah produk budaya masyarakat yang telah berakar lama, tetapi sebagai sebuah disiplin, seni pertunjukan merupakan sebuah disiplin yang termasuk kategori baru. Seperti diakui oleh R.M. Soedarsono yang menyatakan
bahwa
di Indonesia,
disiplin
seni
pertunjukan
merupakan disiplin yang relatif masih muda sehingga masih perlu uluran tangan dari disiplin-disiplin lain dalam berbagai kebutuhan penelitian. Dukungan disiplin lain diperlukan untuk mempertajam pendekatan, metode, teori, konsep, sistem, dan sebagainya.82
81 T. Ibrahim Alfian, “Sejarah dan Permasahan Masa Kini”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar (Yogyakarta: UGM, 1985), 9. 82 R.M. Soedarsono, 2001, v-vi dan 1.
55
Penelitian angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ini merupakan penelitian yang mengkaji suatu seni pertunjukan, sehingga dalam praktiknya penelitian ini memerlukan berbagai
pendekatan atau multidisiplin seperti yang sudah
diuraikan pada bagian sebelumnya. Metode penelitian yang akan dipergunakan adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif berciri: data berupa teks; analisis berupa interpretasi; dan prototipenya berupa wawancara mendalam.83 R.M. Soedarsono dalam tulisannya menyatakan, bahwa di dalam penelitian kualitatif sebuah data dianggap sebagai sebuah totalitas.84 Kemungkinan karena totalitas inilah, penelitian kualitatif
terhadap
angklung dogdog lojor
pada
masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar ini tidak akan dapat menjadi disiplin yang tunggal tetapi lebih sebagai ajang dari praktik-praktik penafsiran yang majemuk. Angklung
dogdog
lojor
pada
masyarakat
Kasepuhan
Ciptagelar memiliki setting alami sebagai sumber data, yaitu latar alamiah angklung dogdog lojor yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar.
Pembahasan
Martin W. Bauer, “Analyzing Noise and Music as Sosial Data”, dalam Qualitative Researching with Text, Image and Sound. A Practical Handbook. Martin W. Bauer and George Gaskell (eds.) (London: SAGE publications, 2000), 7. 83
84
R.M. Soedarsono, 2001, 34.
56
mengenai angklung dogdog lojor akan diuraikan dalam bentuk deskripsi berupa teks kata-kata, gambar-gambar atau foto-foto, serta notasi sebagai suatu penggambaran secara sistematis terhadap fakta-fakta yang berkenaan dengan perkembangan angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Analisis yang dilakukan akan bersifat induksi yaitu berpijak dari hal-hal
khusus
yang
saling
berhubungan
dengan
proses
perkembangan angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
Dalam hal ini makna umum angklung dogdog lojor
diperoleh dengan cara mencermati berbagai gejala yang berkaitan dengan permasalahan angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Metode
kualitatif
ini
dipakai
untuk
menggambarkan
keberadaan angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sesuai dengan fenomena apa adanya selama penelitian ini dilakukan. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk memeriksa dan menjawab rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Penggunaan metode kualitatif ini akan sangat bermanfaat dan membantu kerja penelitian. Metode kualitif dirasa cukup efektif dalam memberikan informasi keadaan angklung dogdog lojor pada masyarakat
Kasepuhan
Ciptagelar
yang
paling
mutakhir,
mengidentifikasi faktor-faktor yang relevan dengan angklung
57
dogdog lojor, dan yang disesuaikan dengan perubahan data yang terjadi di lapangan. Penelitian tentang seni pertunjukan merupakan pengkajian yang
sangat
kompleks,
sehingga
dalam
prosesnya
sangat
diperlukan suatu metode penelitian yang dapat menjaring data-data selengkap-lengkapnya. Untuk memperoleh data-data yang lengkap tentang angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
tersebut,
dipergunakan
metode
kualitatif
sebagai
pendekatan disiplin dan pendekatan Etnomusikologi. Dalam pelaksanaan penelitian ini, dengan metode kualitatif diupayakan untuk mendapatkan data sebanyak-banyaknya melalui penelitian pustaka, baik data dari hasil penelitian, maupun data dari lapangan melaui wawancara dan pengamatan yang selanjutnya data-data tersebut akan dianalisis dan diuraikan secara sistematik. Penentuan para informan atau narasumber dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu informan kunci dan informan biasa. Informan kunci di antaranya adalah sesepuh girang atau pimpinan adat masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, pamakayan yang merupakan wakil (tangan kanan) sesepuh girang dalam bidang upacara ritual dan pertanian, para pelaku atau seniman angklung dogdog lojor, dan beberapa orang baris kolot yang. Para informan biasa yang dipilih adalah para praktisi karawitan Sunda, serta pejabat instansi
58
pemerintahan terkait yaitu Kepala Desa Sirna Resmi atau petugas Kecamatan Cisolok yang memiliki tugas berhubungan dengan masyarakat adat. Dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti selalu berupaya memposisikan diri sebagai participant observer (penelitian terlibat) dalam beberapa peristiwa tertentu, mengingat melalui posisi seperti ini diharapkan dapat menjaring data lebih banyak atau lengkap. Dalam hal ini, peneliti turut terlibat dalam beberapa peristiwa atau kegiatan masyarakat Kasepuhan Cipagelar, terutama terlibat dalam memainkan dikumpulkan
angklung melalui
dogdog penelitian
lojor.
Data-data
pustaka
yang
akan
selanjutnya
akan
dibandingkan dan diverifikasi dengan data yang dikumpulkan. Teknik penelitian yang berkaitan dengan fieldwork atau kerja lapangan dilakukan dalam beberapa tahapan kerja dengan menggunakan beberapa teknik penelitian lapangan yang secara umum sudah biasa dipakai dalam proses penelitian. Adapun tahapan kerja yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan dengan cara menelisik serta membaca berbagai bentuk tulisan, baik berupa karya buku, jurnal, majalah, lagu-lagu, maupun naskah-naskah yang berhubungan
59
dengan topik angklung serta masyarakat Kasepuhan di Banten Kidul. Studi pustaka dilakukan dimaksudkan agar permasalahanpermasalahan yang diangkat serta dianalisis dapat memenuhi standar penelitian yang baku sebagai sebuah disiplin serta bermanfaat bagi dunia seni pertunjukan khususnya. 2. Wawancara Wawancara ditujukan terhadap narasumber-narasumber yang memiliki berbagai latar belakang, seperti sebagai pelaku atau praktisi seni, serta memiliki pemahaman tentang budaya Sunda dan Banten Kidul atau tokoh-tokoh mengetahui berbagai informasi tentang angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Para narasumber tersebut antara lain para sesepuh girang atau pimpinan adat masyarakat Kasepuhan Banten Kidul, baris kolot, pelaku atau seniman angklung dogdog lojor, para praktisi karawitan Sunda, serta pejabat instansi pemerintahan. Proses pemilihan nara sumber diutamakan berdasarkan pada pertimbangan adanya keterkaitan langsung terhadap penampilan angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang dimaksud dalam penelitian ini. Wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara terbuka dan lebih dominan mengunakan wawancara tak terstruktur, karena data yang hendak digali dari para narasumber berupa data kualitatif.
60
Selama proses wawancara dipergunakan beberapa peralatan pendukung berupa alat perekam untuk mengabadikan berbagai data atau informasi yang dilontarkan oleh para narasumber. Adapun alat-alat rekam yang digunakan selama proses wawancara dan pendokumentasian gambar dan video adalah mempergunakan beberapa perangkat alat rekam, seperti tape recorder Sony TCM-150 dan Sony cassette (kaset) audio recorder, Zoom H2 dan Zoom H4N digital voice recorder dalam format wav atau mp3 24 bit, mdv recorder dan mdv cassette (kaset), Camera Nikon D3100, dan alat tulis. 3. Dokumentasi Pendokumentasi sangat penting dilakukan dalam rangka melengkapi data, baik dokumentasi visual yang berbentuk foto-foto maupun audiovisual (video) dan audio yang bersangkutan seni angklung dogdog lojor. Pendokumentasian audio mempergunakan perangkat yang dipergunakan seperti Zoom H2 dan H4N voice recorder untuk kepentingan rekam audio, pendokumentasian audiovivisual (video) mempergunakan perangkat MDV (mini digital video) recorder dan kaset MDV, serta Camera Nikon D3100 untuk merekam gambar (foto) dan video. Pendokumentasian ini sangat membantu peneliti dalam menjelaskan seni pertunjukan angklung dogdog lojor Kasepuhan
61
Ciptagelar pada masyarakat adat Kasatuan Adat Banten Kidul yang dijadikan topik dalam penelitian ini. G. Sistematika Penelitian Secara sistematis, tata penelitian penelitian angklung dogdog lojor ini disusun berdasarkan tata urutan sebagai berikut. Bab I Pengantar merupakan bagian yang menjadi landasan utama dari berbagai macam permasalahan yang dikerjakan dalam penelitian ini. Adapun di dalamnya terdiri dari: (A). Latar belakang masalah, yang merupakan uraian proses yang melatarbelakangi munculnya alasan untuk melakukan penelitian, (B). Rumusan masalah, adalah bagian yang lebih memfokuskan pertanyaanpertanyaan mendasar dari judul yang diajukan, (C). Tujuan penelitian, memaparkan tentang mengapa penelitian ini dilakukan, (D). Tinjauan sumber, merupakan paparan tentang tulisan-tulisan yang terkait dengan topik atau objek penelitian yang dilakukan, (E). Landasan Teori, (F). Metode penelitian, memaparkan tentang cara yang
digunakan
selama
melaksanakan
penelitian,
dan
(G).
Sistematika penelitian, merupakan pemaparan yang menguraikan format penelitian. Bab II menguraikan tentang Gambaran Umum Lokasi Penelitian yang meliputi: Kondisi Geografis dan Kondisi Iklim, selain itu
diuraikan
mengenai
masyarakat
Kasepuhan
Ciptagelar,
62
kesejarahan masyarakat Kasepuhan, perpindahan Kampung Gedě Kasepuhan
Ciptagelar,
sistem
organisasi
sosial
masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar, sistem kekerabatan, sistem kepemimpinan adat, bahasa, pakaian adat, pengetahuan, mata pencaharian, pola kampung Kasepuhan, pusat perkampungan, sistem kepercayaan Kasepuhan Ciptagelar yang meliputi agama dan kepercayaan, rangkaian upacara ritual adat. Selanjutnya diuraikan tentang khasanah seni budaya yang meliputi seni pertunjukan, antara lain: jipeng, wayang golek, rengkong, angklung, serta seni kriya, Bab III merupakan uraian jaringan sistematik organologi angklung dogdog lojor masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sebagai sebuah jaringan sistematik yang meliputi: organologi klasifikasi, organologi analitik, dan organologi aplikasi. Pada Bab IV diuraikan mengenai pertunjukan angklung dogdog lojor dalam siklus pertanian pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, yang meliputi: angklung dogdog lojor masyarakat Kasepuhan Ciptagelar pada masa tanam padi, angklung dogdog lojor masyarakat Kasepuhan Ciptagelar pada masa panen padi, angklung
dogdog
lojor
masyarakat
Kasepuhan
Ciptagelar
pascapanen padi, dan perkembangan angklung dogdog lojor pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
63
Bab V Isinya merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dideskripsikan dan dianalisis, serta rumusan penemuan baru dari hasil penelitian. Saran dan rekomendasi terhadap keberadaan seni-seni pertunjukan tradisional lainnya di Indonesia.