BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masa remaja dinyatakan sebagai masa transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status kanak-kanak. Remaja masih belum mampu menguasai fungsi fisik dan psikisnya. Masa remaja berlangsung dari usia 12 hingga 21 tahun, yang dibagi dalam tiga periode, yaitu remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir (Mönks, Knoers, & Haditono, 2006). Masa remaja biasanya dirasakan sebagai masa yang sulit bagi remaja, keluarga, dan lingkungan di sekitarnya (Ali & Asrori, 2010). Pada masa remaja awal, individu akan dihadapkan pada berbagai peralihan, yaitu peralihan ke masa pubertas, peralihan dalam hubungan orang tua-anak, sekolah, teman sebaya, serta kemampuan kognitif dan emosional (Ben-Zur, 2003). Masa remaja awal kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup terjadinya perubahan pubertas (Santrock, 2003). Pubertas menjadi karakteristik penting dalam perubahan di masa remaja awal, yakni periode dimana kematangan fisik berlangsung cepat, yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh (Santrock, 2011). Hal yang senada juga diungkapkan oleh Holmbeck, dkk. (dalam Ben-Zur, 2003) bahwa masa remaja awal ini ditandai dengan dimulainya pubertas, yakni perubahan biologis yang cepat mempengaruhi perasaan remaja dan hubungannya dengan orang tua. Perubahan yang cepat ini mengakibatkan muncul konflik dan perubahan suasana hati yang dikenal dengan badai dan stres bagi remaja (Hall, dalam Santrock, 2011)
1
2
Karakteristik remaja awal juga dapat dilihat dari hasil studi preliminari dengan subjek 117 siswa sekolah menengah pertama di kota Yogyakarta dan Solo. Remaja awal menggambarkan hal-hal yang berarti baginya pada domain pribadi sebanyak 37 siswa (32%) dengan memiliki postur atau tubuh yang bagus. Hal tersebut memperlihatkan remaja awal mementingkan citra tubuh terkait dengan masa pubertas yang dialaminya. Sebanyak 43 siswa (37%) menyatakan memiliki banyak teman penting di sekolah dibandingkan memiliki nilai yang bagus dari 17 siswa (15%). Hal tersebut menunjukkan perubahan sosial yang dialami remaja, yaitu hubungan dengan teman sebagai lingkungan sosial di luar keluarga. Pada domain teman terlihat lebih jelas tentang peran teman bagi remaja awal, yakni secara dominan 42 siswa (36%) menyatakan pentingnya teman dalam belajar dan bermain. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan difokuskan pada remaja awal yang mengalami berbagai perubahan fisik, kognitif, emosi, dan sosial. Remaja dalam perkembangannya akan mengalami berbagai perubahan struktur fisik-motorik, kognitif, dan emosi. Hal tersebut menyebabkan remaja cenderung mengalami gangguan emosi, seperti kecemasan, depresi, dan permusuhan serta gangguan perilaku. Remaja awal memiliki gejala gangguan emosi dan gangguan perilaku yang lebih banyak daripada remaja akhir. Hal ini dikarenakan remaja awal belum memiliki kematangan dalam berpikir dan mengambil keputusan seperti remaja akhir (Agbaria, Ronen, & Hamama, 2012). Remaja yang memiliki subjective well-being akan dapat menjalani hidup secara sehat dan mengatasi berbagai perubahan yang dialaminya. Subjective well-being pada remaja akan sangat tergantung pada kebutuhan yang dipenuhi remaja dalam mencapai kepuasan dan tujuannya untuk hidup (Eryilmaz, 2012).
3
Subjective well-being (SWB) dapat dipahami sebagai kombinasi antara afeksi positif dan kepuasan hidup secara umum (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). Lebih lanjut Diener dan Suh (dalam Angner, 2010) mengungkapkan subjective well-being tersebut berkaitan dengan kesejahteraan pengalaman subjektif individu tentang hidupnya. Kesejahteraan individu ini dapat dilihat dari perasaan dan kepuasan kognitif. Oleh karena itu, individu dengan subjective well-being yang tinggi akan memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi dan pengalaman emosi positif daripada emosi negatif (Suldo & Huebner, 2006). Masa remaja awal sebagai periode pertama individu dalam memasuki tahap perkembangan remaja. Masa ini dirasakan sebagai masa yang sulit dan kritis oleh remaja (Ali & Asrori, 2010). Pada studi preliminari yang telah dilakukan belum semua responden memiliki subjective well-being yang tinggi. Hal tersebut menggambarkan bahwa remaja masih sulit untuk menghadapi berbagai perubahan yang dialaminya dan mengalami dampak negatif, berupa gangguan emosi dan perilaku sehingga remaja tidak memiliki perasaan bahagia dan menilai hidupnya secara puas. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diteliti lebih lanjut mengenai hal yang membuat remaja memiliki subjective well-being. Subjective well-being fokus pada studi mengenai kebahagiaan dan kepuasan yang mencakup mood, emosi, dan penilaian individu yang berubah sepanjang waktu (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). Penelitian Holder dan Coleman (2009) anak-anak di sekolah dasar memiliki perasaan positif yang tinggi dibandingkan anak-anak yang lebih tua. Pada usia kanak-kanak, well-being biasanya lebih ditekankan pada hubungan dengan orang tua karena anak-anak belum memahami emosi secara komprehensif.
4
Pada usia remaja, subjective well-being tidak hanya dilihat dari faktor eksternal tapi juga faktor internal, seperti memiliki keunggulan, optimisme, dan hubungan dengan orang tua (Ben-Zur, 2003); gratitude (Froh, Yurkewicz, & Kashdan, 2009); faktor demografi (misal, kewarganegaraan, pekerjaan orang tua), tingkat atau kelas dan catatan akademik (Wu & Zhou, 2010); ekspektasi yang positif terhadap masa depan (Eryilmaz, 2011); living arrangements, yaitu hidup dengan kedua orang tua, hidup dalam keluarga single parent, dan hidup dalam perawatan (Dinisman, Montserrat, & Casas, 2012); perbedaan gender, self-esteem, kepuasaan sekolah dan kepuasaan akan lingkungan sekitar (Vera, Moallem, Vacek, Blackmon, Coyle, Gomez, Lamp, Langrehr, Luginbuhl, Mull, Telander, & Steele, 2012); prestasi akademik, perbandingan akademik berupa self-comparison, upward comparison, parallel comparison, dan downward comparison (Ye, Mei, Liu, & Li, 2012). Hal ini disebabkan oleh remaja mengalami perubahan fisik, hubungan sosial yang lebih luas, kognitif, dan emosi yang akan mempengaruhi well-being remaja tersebut. Pada usia dewasa, ditemukan kepribadian (Big Five) dan keadaan hidup yang positif dan negatif menjadi prediktor subjective well-being. Perbedaan usia memprediksi subjective well-being individu terkait kepribadian dan keadaan hidup, yaitu extraversion hanya menjadi prediktor SWB pada dewasa awal, efek neuroticism lebih jelas pada dewasa akhir. Selain itu, pengaruh peristiwa hidup yang negatif pada SWB lebih kuat pada dewasa awal dan dewasa tengah dibandingkan dengan individu dewasa akhir (Gomez, Krings, Bangerter, & Grob, 2009). Penelitian yang lain terkait subjective well-being remaja awal, yaitu Ye, Mei, Liu, dan Li (2012) menemukan siswa Sekolah Menengah Pertama pada
5
kelas paling rendah memiliki subjective well-being yang lebih tinggi daripada siswa Sekolah Menengah Atas pada kelas paling tinggi. Hasil ini didukung oleh penelitian sebelumnya oleh Wu dan Zhou (2010) bahwa semakin tinggi tingkat atau kelas seorang siswa (remaja), kesulitan dan tekanan dalam belajar juga semakin tinggi. Remaja akan memperlakukan tugas sekolah sebagai beban yang bukan kebutuhan penting bagi mereka. Selain itu, kepuasan hidup pada masa remaja awal juga terkait dengan kepuasan pribadi, sifat optimis, hubungan dengan sekolah, tetangga, keluarga, dan dukungan teman sebaya (Oberle, Schonert-Reichl, & Zumbo, 2011). Pada penelitian ini akan difokuskan pada subjective well-being remaja awal, karena pada masa ini terjadi berbagai perubahan yang kompleks dan berpengaruh pada kehidupan remaja tersebut. Berdasarkan studi preliminari yang telah dilakukan dengan subjek 117 siswa SMP (remaja awal usia 12-14 tahun) di Yogyakarta dan Solo. Data dikumpulkan melalui survei “Kebahagiaan Remaja” dengan kuesioner terbuka. Remaja menyatakan hal-hal yang membuatnya puas dan bahagia dapat berasal dari domain pribadi. Sebesar 16% remaja percaya bahwa memilki bakat atau kemampuan dan 15% menyatakan bahwa mereka pintar serta 20% memiliki nilai yang baik. Lalu sebanyak 32% remaja juga menyatakan memiliki tubuh atau fisik yang baik, 11% hidup tercukupi, dan lain-lain sebanyak 6% berupa memiliki waktu luang dan melakukan aktivitas yang disukai. Hasil preliminari tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja sebagian besar menyatakan puas dan bahagia karena kinerjanya yakni merasa mampu, pintar, dan memiliki nilai yang baik. Selanjutnya
fisik
yang
baik
(physical
self-esteem)
juga
menyebabkan
kebahagiaan dan kepuasan pada remaja. Hidup tercukupi, waktu luang, dan aktivitas yang disukai juga membuat remaja bahagia dan puas.
6
Hal tersebut sesuai dengan komponen self-esteem menurut Heartherton dan Wyland (2004) yakni performance self-esteem individu percaya bahwa dia pintar dan mampu, social self-esteem individu percaya dengan orang lain, dan physical self-esteem individu melihat fisiknya. Self-esteem mencerminkan persepsi dan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri (Çivitci & Çivitci, 2009). Sebagian besar individu dengan self-esteem yang tinggi menjalani kehidupan yang bahagia dan produktif, sedangkan individu dengan self-esteem yang rendah memiliki persepsi negatif dalam memandang diri dan lingkungannya (Heatherton & Wyland, 2004). Self-esteem akan berkembang sepanjang kehidupan dan biasanya relatif tinggi pada masa kanak-kanak, lalu menurun selama masa remaja, meningkat secara bertahap pada masa dewasa, dan kemudian menurun tajam di usia tua (Robins & Trzesniewski, 2005). Akan tetapi, penelitian longitudinal di Norwegia selama 17 tahun dari 1083 remaja saat usia 13 sampai 30 tahun, menemukan bahwa self-esteem selama masa remaja (usia 14 sampai 23 tahun) konsisten tinggi dan stabil (Birkeland, Melkevik, Holsen, & Wold, 2012). Penelitian oleh Schraml, Perski, Grossi, dan Simonsson-Sarnecki (2011) menemukan self-esteem dapat memprediksi gejala stres yang dialami oleh remaja. Selain itu, remaja yang memiliki self-esteem yang tinggi akan memiliki penilaian diri yang positif, sebaliknya remaja yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung menilai diri secara negatif berupa keraguan dan penolakan diri. Myers dan Diener (dalam Ben-Zur, 2003) menyatakan sumber daya atau karakteristik internal berupa self-esteem, sense of control, optimisme, dan ektraversi berhubungan dengan subjective well-being. Penelitian yang dilakukan oleh Karatzias, Chouliara, Power, dan Swanson (2006) juga menemukan self-
7
esteem menjadi prediktor general well-being yang terdiri dari empat domain, yaitu physical, mood, anxiety, dan self/others. Self-esteem dibagi dalam tiga domain, yakni peer, home, dan school self-esteem. Home self-esteem ditemukan sebagai prediktor terkuat dari berbagai domain well-being yang diteliti dari remaja Skotlandia. Pada remaja, self-esteem ditemukan berperan menjadi variabel mediator antara kesepian dan kepuasaan hidup, tetapi tidak menjadi moderator hubungan kedua variabel (Çivitci & Çivitci, 2009). Kong, Zhao, dan You (2013) juga menemukan self-esteem menjadi mediator dan moderator hubungan antara dukungan sosial dan subjective well-being pada mahasiswa di Universitas Cina. Self-esteem memediasi pengaruh dukungan sosial pada kepuasan hidup dan afek positif dari dimensi subjective well-being. Selanjutnya, self-esteem juga dapat menjadi moderator hubungan dukungan sosial dengan kepuasan hidup dan afek positif, tetapi tidak pada afek negatif. Selain self-esteem sebagai karakteristik internal, prestasi akademik juga berperan dalam subjective well-being pada remaja. Hal tersebut sesuai dengan data yang didapatkan dari survei awal “Kebahagiaan Remaja”. 117 remaja awal dalam rentang usia 12-14 di lingkungan sekolah merasa sejahtera sebanyak 15% karena mendapat nilai bagus, 16% dapat memiliki ilmu, dan 8% dapat bersekolah dengan baik. Selain itu, sebanyak 21% sejahtera memiliki guru yang baik di sekolah, 37% karena memiliki banyak teman, dan lain-lain sebanyak 3% berupa lingkungan sekolah yang nyaman. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa nilai yang bagus, memiliki ilmu, dan dapat bersekolah dengan baik menjadi sumber kebahagiaan remaja sebagai gambaran dari prestasi akademik.
8
Remaja dengan prestasi akademik yang baik memiliki kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi dibandingkan remaja dengan prestasi akademik yang tidak baik (Ye, Mei, Liu, & Li, 2012). Selain itu, remaja dengan catatan akademik yang baik akan mendapat dukungan dari keluarga dan penerimaan dari guru dan teman sekelas. Subjective well-being pada remaja akan mengalami peningkatan secara perlahan dan perasaan positif akan mempengaruhi hal tersebut sehingga remaja dapat menyesuaikan diri untuk belajar dan menjalani hidup (Wu & Zhou , 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Primasari dan Yuniarti (2012) dengan pendekatan psikologi positif menemukan sumber-sumber kebahagiaan remaja di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Salah satunya adalah self-fullfilment yakni kondisi dimana individu puas dengan pilihan atau keterampilannya. Prestasi, uang, dan waktu yang menyenangkan (melakukan hobi) merupakan bentuk dari self-fullfilment yang memberikan kebahagiaan pada remaja. Hasil penelitian yang lain juga menemukan remaja yang merasa bahagia dengan sekolah dan memiliki prestasi akademik yang baik akan berkontribusi pada subjective well-being remaja tersebut (Piko & Hamvai, 2010). Hair dan Graziano (2003) melalui penelitian longitudinal di Texas menemukan bahwa prestasi akademik di Sekolah Menengah Atas dapat diprediksi dari karakteristik remaja saat di Sekolah Menengah Pertama yakni melalui karakteristik kepribadian dan aspek diri. El-Anzi (2005) juga menemukan ada hubungan yang signifikan antara prestasi akademik dan self-esteem pada mahasiswa di Kuwait. Akan tetapi, self-esteem tidak menjadi penyebab dari prestasi akademik atau sebaliknya, karena terkait dengan usia sampel. Pada penelitian Zhang, Zhao, dan Yu (2009) self-esteem remaja meningkat jika
9
informasi tentang prestasi akademiknya yang rendah dirahasiakan. Hal ini disebabkan oleh self-esteem remaja tersebut akan terlindungi dari ekspektasi negatif, kemungkinan diskriminasi dan prasangka. Remaja awal yang dapat mengatasi berbagai perubahan yang dialaminya dan memenuhi kebutuhannya terkait kebutuhan untuk dihargai dan tujuan pribadi yang ingin dicapai akan meningkatkan well-being remaja tersebut (Eryilmaz, 2011; Primasari & Yuniarti, 2012; Ben-Zur, 2003). Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui self-esteem dan prestasi akademik dapat memprediksi subjective well-being remaja awal. Hal ini disebabkan oleh self-esteem sebagai penilaian remaja terhadap dirinya dan prestasi akademik atau nilai yang baik menjadi suatu tujuan yang dicapainya di sekolah.
B. Rumusan Permasalahan Subjective well-being remaja awal dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Pada penelitian ini akan difokuskan pada faktor internal, yaitu
self-esteem
dan
prestasi
akademik.
Oleh
karena
itu,
rumusan
permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah self-esteem dan prestasi akademik dapat memprediksi subjective well-being remaja awal?
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan Penelitian Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran self-esteem dan prestasi akademik terhadap subjective well-being remaja awal.
10
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan sumbangan ilmiah bagi bidang psikologi perkembangan dalam memahami subjective well-being pada remaja awal. 2. Memberikan informasi empirik dan pengetahuan mengenai self-esteem sebagai prediktor yang paling efektif terhadap subjective well-being remaja awal dibandingkan prestasi akademik.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai subjective well-being pada remaja telah banyak dilakukan, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di antaranya adalah penelitian Riyanto (2010) dengan subjek siswa Sekolah Menengah Atas kelas XXII, sebanyak 299 siswa. Penelitian ini mengungkap pengaruh self-esteem dan pola pendidikan terhadap well-being remaja. Hasil penelitian ini menemukan bahwa self-esteem dan pola pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap wellbeing remaja. Penelitian lain yang dilakukan Setyasari (2009) yang menghubungkan kelekatan aman, kualitas persahabatan, dan prestasi akademik dengan kebahagiaan remaja. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Bantul. Penelitian ini menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara prestasi akademik dan kebahagiaan hidup remaja. Akan tetapi, hasil korelasi parsial menunjukkan prestasi akademik memiliki hubungan positif yang signifikan dengan komponen afeksi dalam
11
kesejahteraan subjektif remaja. Hal ini berarti memperoleh nilai yang tinggi atau baik merupakan hal yang menyenangkan bagi seorang siswa. Penelitian mengenai subjective well-being juga telah dilakukan di luar negeri. Penelitian Trzcinski dan Holst (2008) berjudul Subjective Well-being Among Young People in Transition to Adulthood menemukan bahwa kepuasan remaja dengan nilai akademik, yakni nilai matematika dan nilai bahasa Jerman berkontribusi positif pada kesejahteraan subjektif remaja di Jerman. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ayyash-Abdo dan Alamuddin (2007) menghasilkan subjective well-being mahasiswa di Lebanon berkorelasi positif dengan dengan self-esteem, optimis, dan afek positif. Selanjutnya, juga ditemukan variabel demografi seperti jenis kelamin, dominasi bahasa, dan status sosioekonomi berhubungan dengan tingkat subjective well-being. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah diuraikan, perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya adalah terkait variabel independen yakni self-esteem dan prestasi akademik yang akan diuji secara bersama pada variabel dependen, subjek yang berbeda secara usia dan tahap perkembangan (remaja awal). Oleh karena itu, penelitian tentang subjective wellbeing remaja terkait dengan kedua faktor ini penting untuk dilakukan.