BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Proses penyusunan kebijakan publik pada saat ini cenderung mengalami pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih merupakan proses negosiasi dari berbagai sistem kebijakan (Bovaird, 2007: 846). Hal ini karena permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah tidak lagi dapat diatasi oleh pemerintah sendiri, diperlukan kerjasama dengan berbagai komponen yang ada serta menghilangkan batas organisasi dan sektoral (Getha-Taylor, 2007: 8). Kecenderungan tersebut juga dipengaruhi oleh berkembangnya pandangan post-positivistik yang menempatkan sistem nilai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses-proses analisis kebijakan (deLeon and Vogenbeck, 2007: 12). Pendekatan konvensional dalam formulasi kebijakan melalui model teknokratis rasional tidak lagi mencukupi untuk mengatasi permasalahan sosial yang semakin kompleks (Lele, 2004; 242). Model teknokratis rasional mereduksi kebijakan publik sebagai proses dan hasil kerja teknis yang bersifat positivistik. Kebijakan publik disusun dan ditetapkan oleh para birokrat yang memiliki pengetahuan dan kemampuan tertentu. Implikasinya adalah proses formulasi kebijakan tersebut bersifat elitis dengan negara sebagai aktor utamanya. Hal ini melemahkan stakeholder lain sehingga pemerintahan akan menjadi otoriter dan represif (Pramusinto, 2006; 3). Berkembangnya masyarakat berjaringan (Haajer and Wagenaar, 2003: 12), berkembangnya demokrasi (Chamber, 2003: 308) dan kegagalan demokrasi 1
2
elit dalam mengemban amanah (O’flynn, 2006: 1) turut mendorong perlunya pendekatan baru dalam proses formulasi kebijakan publik. Masyarakat berjaringan membuka ruang politis baru dimana kekuasaan tidak lagi terpusat pada negara, tetapi tersebar pada organisasi sosial yang berkembang di masyarakat dan memiliki pengaruh dalam formulasi kebijakan publik. Demikian juga praktek dan teori yang demokrasi terus berkembang menyebabkan nilai-nilai kebebasan, persamaan dan majority rule dalam demokrasi (liberal) dipertanyakan ulang. Hal ini terutama berkaitan dengan proses formulasi sebuah kebijakan lokal. Keinginan masyarakat untuk terlibat dalam proses formulasi kebijakan semakin menguat seiring berjalannya proses demokratisasi. Kegagalan para elit dalam memenuhi harapan masyarakat turut mendorong keinginan masyarakat untuk terlibat dalam proses formulasi kebijakan. Formulasi kebijakan tidak lagi cukup hanya dilakukan sendiri oleh negara, perlu melibatkan sebanyak mungkin stakeholder yang ada. Salah
satu
bentuk
penyusunan
kebijakan
publik
yang
dapat
mengakomodasi kecenderungan di atas adalah model deliberatif. Model deliberatif menawarkan sebuah formulasi kebijakan publik yang didasarkan pada proses komunikasi yang adil dan seimbang antar stakeholder. Proses komunikasi memainkan peran yang sangat penting dalam model deliberatif.
Komunikasi
harus dilakukan dalam kerangka dialog autentik (Innes and Booher, 2003: 37-46). Dalam dialog autentik para peserta menyadari bahwa setiap peserta memiliki kepentingan dan kepentingan tersebut dapat berbeda namun ada keterkaitan antar
3
kepentingan tersebut. Keterkaitan kepentingan stakeholder dapat mendorong pencarian solusi bersama yang saling menguntungkan. Kebijakan deliberatif bertujuan untuk menigkatkan legitimasi sebuah keputusan bersama, menguatkan perspektif publik dalam setiap isu publik, meningkatkan rasa saling menghargai dan pemahaman bersama dalam proses penyusunan kebijakan (Gutman and Thompson, 2004: 10-12). Kebijakan deliberatif ini merupakan turunan dari praktek demokrasi deliberatif. Menurut Hardiman (2009: 19) demokrasi deliberatif sangat sesuai dengan kondisi di Indonesia pada saat ini. Hal ini karena Indonesia sedang mengalami proses demokratisasi dan dihadapkan terhadap berbagai konflik. Demokrasi deliberatif menyediakan standar normatif dalam masa transisi dari situasi konflik ke dalam proses demokratisasi (O’flynn, 2006: 4). Pendekatan konvensional yang menempatkan negara sebagai aktor utama dalam penyusunan kebijakan publik juga terjadi dalam bidang kehutanan di Indonesia. Hal ini terlihat dalam pendekatan pengelolaan sumber daya hutan yang menggunakan paradigma state-base. Kebijakan pengelolaan hutan dalam paradigma state-base disusun dan ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah sebagai perwakilan pemerintah pusat melaksanakan seluruh kebijakan pengelolaan hutan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang juga ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kebijakan yang dihasilkan sangat sentralistik, dinas kehutanan di daerah berfungsi sebagai pelaksana kebijakan tanpa bisa merubah atau menyesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat di daerah.
4
Menurut Awang (2003; 30) kebijakan pengelolaan sumber daya hutan yang sentralistik merupakan akibat dari mono-interpretasi pemerintah atas hak dan wewenang pengelolaan sumber daya alam oleh negara. Mono-interpretasi ini menafikan keberadaan stakeholder lain dalam pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya alam. Dengan demikian kebijakan yang dihasilkan sangat kental oleh kepentingan pemerintah pusat. Sebagai contoh dapat dilihat pada kebijakan pemerintah untuk memberikan hak pengelolaan hutan kepada para invenstor asing mulai tahun 1967. Kebijakan ini diambil sebagai respon terhadap permasalahan krisis ekonomi, kemiskinan, dan tingkat inflasi yang tinggi pada awal era orde baru. Investor pemegang HPH sampai dengan tahun 1989 mencapai 572 perusahaan yang mengelola kurang lebih 64 juta hektar hutan alam (Awang, 2003; 6). Sistem pengelolaan hutan state-base ini lebih berorientasi pada aspek ekonomi dari pada aspek ekosistem hutan maupun aspek kemasyarakatan. Hal ini mengakibatkan konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan pengusaha (investor) maupun antara masyarakat dan negara (Awang, 2006: 8-17; Yasmi, 2007: 23; Wibowo et al., 2009: 2; Nugraha dan Murtijo, 2005: 123). Selain itu juga mengakibatkan kerusakan sumber daya hutan. Luas hutan yang rusak akibat kebijakan HPH mencapai 48 juta hektar. Pendekatan sentralistik seperti di atas juga terjadi dalam pengelolaan cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada era orde baru cendana dikuasai oleh negara (Pemerintah Daerah Provinsi NTT). Pemerintah Daerah Provinsi NTT menetapkan peraturan daerah yang mengatur pengelolaan cendana di NTT sehingga manfaat ekonomi cendana sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah
5
daerah. Pengelolaan cendana lebih mengedepankan aspek ekonomi sehingga cendana mampu menyumbang Pendatan Asli Daerah (PAD) dalam jumlah yang banyak. Sumbangan cendana terhadap PAD Provinsi NTT pada kurun waktu 1990 sampai dengan tahun 1998 rata-rata mencapai 25 % per tahun (BanoEt, 2001: 471). Sumbangan cendana terhadap PAD Provinsi NTT tertinggi pada tahun 1990/1991 sebesar 40 % dari total PAD (Suripto, 1992: 15). Hal ini bisa tercapai dengan kebijakan penguasaan cendana yang dimonopoli oleh pemerintah1. Pengelolaan cendana yang sentralistik dan menitikberatkan aspek ekonomi ini mengakibatkan eksploitasi yang mengabaikan aspek kelestarian sehingga potensi cendana terus mengalami penurunan. Hasil inventarisasi Dinas Kehutanan Provinsi NTT pada tahun 1990 terdapat 544.952 pohon namun pada tahun 1998 tinggal 250.940 pohon (Darmokusumo et al., 2001: 509). Selain mengakibatkan penurunan potensi cendana, kebijakan pengelolaan cendanan yang dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi NTT mengakibatkan sikap apatis masyarakat terhadap cendana (Rahayu et al., 2002: 23; Pello, 2001: 505). Masyarakat enggan untuk mengembangkan cendana karena seluruh hasil (nilai ekonomi) diambil oleh pemerintah. Meskipun cendana tersebut tumbuh di lahan milik masyarakat dan dipelihara oleh masyarakat, cendana tersebut tetap merupakan hak milik Pemerintah Daerah Provinsi NTT.
1
Salah satu Peraturan Daerah tentang Cendana yang pernah berlaku adalah Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 16 Tahun 1986 tentang Cendana. Pasal 2 ayat 1 Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 16 Tahun 1986 tentang Cendana menyatakan bahwa “Pemerintah daerah provinsi menguasai semua cendana baik yang berupa tumbuhan hidup ataupun mati maupun potongan, belahan, kepingan, akar yang belum diolah baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dalam Daerah Provinsi NTT”.
6
Setelah bertahun-tahun dikuasai oleh pemerintah daerah provinsi maka pasca reformasi pengelolaan cendana diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Pada tahun 2001 Pemerintah Daerah Kabupaten TTS menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana. Perubahan mendasar Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana dibandingkan dengan Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 16 Tahun 1986 adalah adanya pengakuan kepemilikan cendana oleh masyarakat. Kepemilikan cendana oleh masyarakat diakui pemerintah jika cendana tersebut tumbuh secara alami maupun ditanam di lahan milik masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi Pohon cendana yang tumbuh secara alamiah dan atau dibudidayakan di atas tanah milik perorangan, kelompok adat dan Badan Hukum lainnya menjadi milik/dikuasai perorangan kelompok adat serta Badan Hukum tersebut. Meskipun peraturan daerah telah dirubah sebagian besar masyarakat tetap merasa trauma terhadap pengelolaan cendana oleh pemerintah, inisiatif pengembangan cendana oleh masyarakat belum berkembang secara masif dan mekanisme tata usaha kayu cendana masih belum efektif dan efisien. Sepuluh tahun pasca penetapan Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana, potensi cendana di lapangan belum menampakkan perbaikan. Hasil inventarisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten TTS tahun 2010 di 23 desa di Kabupaten TTS tercatat 1.426 pohon dengan diameter antara 20 cm s/d 100 cm. Masih jauh dibandingkan dengan hasil inventarisasi pada tahun 1998 yang sebesar 112.710 pohon (Darmokusumo et al., 2001: 509).
7
Formulasi Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan trauma masyarakat terhadap pengelolaan cendana pada masa lalu, ancaman kepunahan cendana dan penurunan sumbangan cendana terhadap PAD. Selain itu formulasi peraturan daerah tersebut secara yuridis merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Kehutanan Kepada Daerah dan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah2. Lele (2004; 247) merekomendasikan transformasi kebijakan publik di Indonesia khususnya dalam praktek formulasi kebijakan. Rekomendasi tersebut adalah reorientasi dan reformulasi peran negara, otonomi daerah, dan pemahaman bahwa formulasi kebijakan merupakan proses dinamis yang disertai upaya kritis terus menerus. Selanjutnya dijelaskan bahwa negara seharusnya berperan sebagai katalisator, lebih banyak berperan sebagai “pendengar” bukan “pembicara”. Reorientasi dan reformulasi peran negara dapat dimulai dengan menghidupkan dialog yang komunikatif antar stakeholder kebijakan dan menempatkan dimensi intersubjektif secara layak dalam proses dialog tersebut. Hal ini sejalan dengan pendekatan kebijakan deliberatif yang menempatkan proses dialog autentik antar stakeholder dalam penyusunan sebuah kebijakan. Innes and Booher (2003: 37-46) menyatakan bahwa dialog autentik didasarkan pada kesadaran bahwa peserta dialog memiliki beragam kepentingan dan kepentingan tersebut saling terkait/tergantung. Peserta dialog hurus jujur 2
Pada tahun 2004 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten.
8
dalam
menyampaikan
kepentingannya
dan
benar-benar
menggambarkan
kepentingan kelompok mereka, jika peserta dialog tersebut mewakili sebuah kelompok. Hal ini harus didukung kondisi yang menjamin peserta dialog untuk bebas mengeluarkan pendapat. Keberagaman kepentingan merupakan hal yang wajar. Peserta dialog harus mau belajar untuk memahami kepentingan peserta lain dan saling belajar untuk menemukan keterkaitan antara kepentingan yang beragam yang mereka miliki. Ketika peserta dialog memahami keterkaitan kepentingan mereka maka peserta dialog akan secara sukarela mencari solusi bersama bagi permasalahan mereka. Namun jika ada dominasi salah satu peserta dialog maka dialog dalam proses formulasi kebijakan tidak akan autentik sehingga kebijakan yang dihasilkan kental dengan kepentingan peserta dialog yang dominan. Hal ini mengakibatkan kebijakan tersebut akan menghadapi perlawanan dan kegagalan dalam implementasinya. Penyusunan kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terdiri dari tahap agenda setting, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan terakhir adalah penilaian kebijakan (Dunn, 2003: 25). Secara linear setiap tahap dalam penyusunan kebijakan akan mempengaruhi tahap selanjutnya. Implementasi dan kinerja sebuah kebijakan publik dipengaruhi oleh proses formulasi kebijakan publik tersebut (Krott, 2005: 278; Nugroho, 2009: 521; Putra, 2003: 49-50). Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana merupakan kebijakan yang diambil Pemerintah Kabupaten TTS untuk mengatasi permasalahan pengelolaan cendana yang ada. Namun jika kebijakan
9
tersebut disusun berdasarkan mono-interpretasi pemerintah, maka menjadi wajar jika kebijakan tersebut tidak mampu mengatasi permasalahan pengelolaan cendana yang ada. Hal ini karena kepentingan dan persepsi masyarakat tidak terakomodasi dalam kebijakan yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut maka menarik untuk mengevaluasi proses formulasi kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana dalam perspektif kebijakan deliberatif terutama dalam aspek dialog autentik. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah: Apakah terjadi dominasi negara dalam proses formulasi Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana? Kajian dilaksanakan menggunakan perspektif kebijakan deliberatif, sehingga perumusan masalah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana proses formulasi Peraturan Daerah Kebutapen TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana dilaksanakan? Apakah terjadi dialog autentik dalam proses tersebut? 2. Apa kepentingan masyarakat terhadap cendana dan sejauh mana kepentingan tersebut diakomodasi dalam Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001?
10
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan dan pertanyaan penelitian di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Memperoleh data dan penjelasan evaluatif terhadap proses formulasi Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana dalam perspektif kebijakan deliberatif. 2. Merumuskan rekomendasi kebijakan tentang cendana yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat dan mendorong peningkatan pendapatan daerah. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis maupun teknis sebagai berikut: 1. Secara teoritis penelitian ini dapat memberi sumbangan bagi demokrasi pengelolaan hutan melalui pengembangan bentuk kebijakan deliberatif dalam pengelolaan hutan di daerah. Pengembangan bentuk kebijakan didasari pemahaman pelunya peran serta dan persepsi masyarakat dalam penyusunan kebijakan yang mempengaruhi kepentingan masyarakat. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan penyempurnaan kebijakan pengelolaan cendana di daerah sehingga peranserta masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan cendana meningkat.