BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Dalam ekonomi dewasa ini, produksi tidak lagi menjadi suatu dasar. Dunia memasuki era baru perdagangan bebas, perdagangan yang melewati batas-batas
negara.
Pelaku
perdagangan
internasional
berubah
dari
perdagangan antar negara menjadi perdagangan yang dilakukan perusahaanperusahaan multinasional, hubungan dagang antar produsen dengan konsumen atau penjual dengan pembeli pada mulanya berlangsung atas dasar saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Barang dan jasa hanya diproduksi apabila dibutuhkan dan bermanfaat. Pada dasarnya karena alasan kebutuhan dan juga alasan perdagangan yang diharapkan mampu mendatangkan banyak keuntungan terutama bagi pihak produsen, hal ini mengakibatkan komersialisasi dan akibatnya menjadi dasar kegiatan ekonomi dengan tidak mengindahkan dampak negatif yang timbul dan dirasakan langsung oleh konsumen. Setiap orang pada suatu masa tertentu dalam posisi tunggal maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang dan jasa tertentu, keadaan universal ini
1
2
pada beberapa sisi menunjukan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen berada pada posisi yang tidak aman.1 Didukung pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, keterbukaan persaingan tersebut akan memberikan begitu banyak tantangan baik sebagai konsumen, produsen/pengusaha ataupun sebagai pemerintah. Salah satu aspeknya adalah bahwa akan semakin meningkatnya permasalahan perlindungan hukum.2) Menurut Black’s Law Dictionary, “Perlindungan Hukum” adalah: “Protective Order is any order or decree of a court whose purpose is to protect a person from further harasswement or abusive service of process or discovery” (Perlindungan hukum adalah suatu perintah atau keputusan pengadilan yang bertujuan untuk melindungi seseorang dari gangguan lebih lanjut atau perlakuan kasar dari suatu proses) Perlindungan hukum bagi konsumen, dalam hal ini anak-anak yang sedang dalam pertumbuhan, sangatlah penting dan tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan dan kemajuan bangsa ini berada ditangan anak-anak Indonesia yang dituntut oleh keadaan anak-anak tersebut harus lebih pintar dan kesehatan anak-anak tersebut adalah salah satu faktor yang menunjang kesuksesan bangsa ini, sehingga dalam mengkonsumsi produk malnan anakanak ini harus mendapat jaminan, baik mainan dalam negeri ataupun mainan dari luar negeri, karena tujuan hukum perlindungan konsumen menurut UUPK dalam pasal 3 adalah: 1
Sri Redjeki Hartono, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era Perdagangan Bebas dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm.37. 2) Erman Rajagukguk, Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen dalam Era Perdagangan Bebas dalam Kumpulan Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm.6.
3
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2. Mengangkat
harkat
dan
martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negative pemakaian barang dan/atau jasa; 3. Meningkatkan
pemberdayaan
konsumen
dalam
memilih,
menentukan, menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan yang bertanggungjawab dalam berusaha; 6. Meningkatkan
kualitas
barang
dan/atau
jasa,
kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Semakin lama industri dan perdagangan semakin meningkat, dengan meningkatnya industri dan perdagangan, telah beredar dalam masyarakat berbagai jenis produk yang di produksi di dalam maupun diluar negeri (import). Bukan hal yang tidak mungkin, banyak beredarnya produk-produk dari luar negeri yang tidak memenuhi persyaratan dan mengakibatkan cacat mutu dari produk tersebut yang dapat membahayakan konsumen. Konsumen sebagai pembeli berhak memperoleh produk yang terjamin mutu serta berhak memperoleh informasi yang tepat atas produk yang
4
dibeli/dikonsumsi. Oleh karena itu konsumen perlu memiliki sikap waspada dalam membeli produk-produk dari luar Negeri. Untuk dapat memperoleh jaminan keamanan dan keselamatan bukanlah hal yang mudah dan murah. Artinya dapat dikatakan bahwa kehati-hatian konsumen dalam memilih produk merupakan jaminan bagi keamanan dan keselamatan mereka. Kini konsumen tidak mungkin mengandalkan kejujuran pihak produsen ataupun penjual untuk mewujudkan jaminan tersebut. Kesadaran yang relatif rendah dari masyarakat menyebabkan konsumen terbiasa untuk menjadi seorang manusia yang patuh dan taat, sehingga produsen atau penyedia jasa sebagai pelaku usaha dapat dengan leluasa memanfaatkan kelemahan-kelemahan konsumen. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh produsen produk mainan dari luar Negeri semakin banyak terjadi, yang dapat mengakibatkan posisi konsumen semakin terancam, karena produk tersebut mengandung unsur berbahaya yang dapat mengancam keselamatan dan kesehatan. Oleh karena itu masyarakat Indonesia selaku konsumen perlu meningkatkan kesadaran dan tanggungjawabnya, sehingga dapat memilih produk mainan import dengan hati-hati dan benar. Dalam standarisasi, suatu produk harus melalui standarisasi tertentu, dan yang ditetapkan dengan cara lain, dengan memperhatikan hak-hak dasar konsumen yaitu keselamatan, diberi informasi, memilih dan mendengar, jika diperhatikan maka tujuan standarisasi produk barang dan makanan adalah:
5
Menurut pendapat Gandi bahwa:3) “Menetapkan standar produk yang dapat memberikan manfaat optimum pada konsumen dan produsen, tanpa mengurangi hak dari konsumen” Pendapat lain menurut Ibrahim Idham, mengatakan:4) “Sebagai pihak yang lemah dalam menghadapi produsen dengan produksi barang-barangnya, konsumen kadang-kadang tidak menyadari bahwa mereka telah dirugikan karena haknya telah dilanggar. Bahkan dalam perkembangan masyarakat modern persaingan produk telah berkembang dan akan timbul segi negatif yang akan merugikan konsumen, memang telah ada usaha diberbagai bidang untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen, namun belum ada kaidah umum yang diberlakukan terhadap seluruh aspek perlindungan konsumen” Di dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) disebutkan bahwa konsumen antara lain mempunyai hak atas kenyamanan, keselamatan dalam memproduksi barang dan/atau jasa, serta hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan sedangkan dari sisi pelaku usaha di harapkan memenuhi kewajiban kepada pelanggan antara lain beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha, melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminasi dan memberikan konpensasi, ganti rugi/penggantian terhadap barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai perjanjian.
3) Ghandi, “Pengaturan Standarisasi Hasil Produksi Industri”BPHN, Jakarta,1980, hlm.4. 4) Ibrahim Idham, Perlindungan Konsumen atas Kelalaian Produsen, BPHN, Jakarta, 1992, hlm.1.
6
B. Identifikasi Masalah Bertitik tolak dari latar belakang penelitian di atas, maka penulis mencoba mengidentifikasikan masalah sebagai berikut : 1. Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai produk impor mainan anak-anak yang mengandung unsur berbahaya? 2. Bagaimana upaya konsumen dan pemerintah dalam penyelesaian masalah mengenai produk impor mainan anak yang mengandung unsur berbahaya dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan memahami masalah apa saja yang menjadi kendala dalam
pelaksanaan
Undang-Undang
No.8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan konsumen mengenai produk-produk impor yang berbentuk mainan anak-anak yang mengandung unsur berbahaya sebagai produk cacat? 2. Untuk mengetahui bagaimanakah penyelesaian masalah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen mengenai produk-produk impor yang berbentuk mainan anak-anak yang mengandung unsur berbahaya sebagai produk cacat?
7
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat yang positif baik dari segi teoritis praktis, sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis Secara toeritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, pembaharuan ilmu hukum nasional pada umumnya, khususnya dalam hukum perdata mengenai perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pemakaian produk import yang berbentuk mainan anak-anak yang mengandung unsur berbahaya sebagai produk cacat berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di dalam tata hukum Indonesia sekaligus memberikan bahan referensi bagi kepentingan yang bersifat akademis dan sebagai bahan tambahan bagi kepustakaan. 2. Kegunaan Praktis a. Bagi para praktisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai gambaran dan dapat dijadikan masukan dalam pemahaman mengenai perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pemakaian produk import yang berbentuk mainan anak-anak yang mengandung unsur berbahaya berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. b. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang baru, sehingga pemerintah khususnya lembaga dan instansi yang terkait, akan lebih sungguh-sungguh dalam
8
menangani masalah
perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
pemakaian produk import yang berbentuk mainan anak-anak yang mengandung unsur berbahaya sebagai produk cacat berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penulis juga berharap hasil penelitian ini secara praktis dapat bermanfaat dan memberikan gambaran yang dapat disumbangkan pada masyarakat luas, sehingga masyarakat memenuhi dan menyadari arti penting perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pemakaian produk import yang berbentuk mainan anak-anak yang mengandung unsur berbahaya berdasarkan Undangundang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
E. Kerangka Pemikiran Berdasarkan Pancasila sebagai dasar idiologi Negara Republik Indonesia pada sila kelima yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, nilai yang terkandung dalam sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia ini adalah didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dalam sila tersebut terkandung makna nilai keadilan yang harus terwujud dalam
kehidupan bersama atau bermasyarakat yamg artinya
harus
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga Negara serta melindungi haknya dari segala bentuk ketidakadilan dan serta mendapatkan perlindungan hukum.
9
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar Negara, sebagaimana disebutkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea IV yang secara tegas menyatakan:5) “..melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa..” Setiap warga Negara diperlakukan dan diberi kedudukan yang sama dihadapan hukum, juga setiap warga Negara mendapatkan perlindungan hukum yang sama atas keselamatan dan keamanan jiwa, kehormatan juga harta bendanya hal tersebut sesuai dengan pasal 27 ayat (1) UUD Tahun1945 (amandemen ke-IV) dengan menganut asas “Equality Before The Law” yang berarti bahwa adanya kesederajatan dimuka hukum,ini berarti hukum tidak mengenal diskriminasi. Dan berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang 1945 menegaskan bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kehidupan yang layak bagi kemanusiaan diperuntukan bagi semua manusia atau masyarakat yang ada di muka bumi Indonesia tanpa ada yang dikecualikan. Asas tersebut di atas, dijabarkan lebih jauh di dalam Pasal 5 UU No.14 Tahun 1970 Jo UU No.35 Tahun 1999 mengenai ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dengan tegas menyatakan:6) “Bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.”
5) UUD1945,Amandemen pertama sampai keempat, Penerbit Fokusmedia, Bandung, 2004, hlm.1. 6) Undang-Undang Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Dihimpun oleh Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1993, hlm.1.
10
Pancasila sebagai dasar filosofis Negara kesatuan Republik Indonesia menjadi tonggak dan nafas bagi pembentukan aturan-aturan hukum. Menurut Otje Salman dan Anthon F Susanto menyatakan bahwa :7) “Memahami Pancasila berarti menunjuk kepada konteks histories yang lebih luas. Namun demikian ia tidak saja menghantarkannya ke belakang tentang sejarah ide, tetapi lebih jauh mengarah kepada apa yang harus dilakukan pada masa mendatang. Pada tanggal 16 April 1985, Majelis Umum Perserikatam Bangsa-bangsa telah mengeluarkan resolusi PBB Nomor A/RES/39/248 tentang Pedoman Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection). Resolusi ini membuka mata dunia tentang praktik-praktik ketidakadilan yang dialami konsumen. Kepentingan-kepentingan konsumen yang seharusnya dilindungi menurut resolusi itu adalah sebagai berikut di bawah ini:8) 1. perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamananya, 2. promosi dan perlindungan kepentingan social ekonomi konsumen, 3. tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi, 4. pendidikan konsumen, tersedianya upaya ganti rugi yang efektif, 5. kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi teersebut
7) Otje Salman dan Anthon F Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Rafika Aditama, Bandung, 2004, hlm.161. 8) Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindakan Korporasi , Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm.12.
11
untuk menyarankan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Pada 20 April 1999 ketika pemerintahan Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (LNRI Tahun 1999 Nomor 42,TLNRI Nomor 3281) yang berlaku efektif setahun setelah diundangkannya yaitu pda tanggal 20 April Tahun 2000. Undang-undang tentang Perlindungan Konsemen atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dapat dikatakan sebagai suatu payung perlindungan hukum bagi konsumen. Sedangkan bentuk perlindungan konsumen lainnya di luar UUPK ini dijadikan acuan dengan menempatkan UUPK sebagai sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Hal ini berdasarkan pada pasal 64 (Bab XIV Ketentuan Peralihan) yang secara tersirat menyebutkan bahwa UUPK merupakan ketentuan khusus (lex specialis) terhadap ketentuan peraturan perundangundangan yang sudah ada sebelum UUPK, sesuai asas lex specialis derogate legi generalis. Artinya ketentuan-ketentuan diluar UUPK tetap berlaku selama tidak diatur secara khusus dalam UUPK dan atau tidak bertentangan dengan UUPK. Berlakunya Undang-undang No.8 Tahun1999 tantang Perlindungan Konsumen, diharapkan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen
12
(UUPK) dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan hak dan kewajiban baik sebagai pelaku usaha maupaun konsumen.9) Menurut pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), bahwa:10) “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Berdasarkan pasal tersebut yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasi dengan cara membayar utang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontaktual. Kemudian pasal 1 angka 3 UUPK menyebutkan bahwa: “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum tang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Berdasarkan penjelasan pasal 1 angka 3 UUPK, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Berbicara mengenai hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen, maka akan dibahas pula mengenai perikatan. Menurut Ilmu Penetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi 9)
Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm.2. 10) Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
13
antara dua orang atau lebih, yang terketak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.11) Berdasarkan pasal 1233 KUH Perdata, perikatan dapat terjadi baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lain atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, dan suatu perjanjian adalah sah jika memenuhi persyaratan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: 1. 2. 3. 4.
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; suatu sebab yang halal.
Suatu perjanjian yang sah, yaitu yang memenuhi syarat-syarat dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut, menurut ketentuan pasal 1338 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alas an-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Selain bersumber dari perjanjian, perikatan juga dapat timbul dari undangundang. Maksudnya adalah bahwa perikatan dapat lahir antara orang/pihak yang satu dengan pihak lainnya, tanpa orang-orang yang bersangkutan
11)
Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.1.
14
menghendakinya, atau lebih teoatnya tanpa memperhitungkan kehendak mereka. Bahkan bisa saja terjadi, bahwa perikatan timbul karena orang-orang/ para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu; perikatan bisa lahir karena kedua pihak berada dalam keadaan tertentu atau mempunyai kedudukan tertentu.12) Adapun hubungan hukum seperti tersebut di atas menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, baik bagi konsimen maupun bagi pelaku usaha. Pasal 4 UUPK mengatur mengenai hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh pihak pelaku usaha, yaitu meliputi: 1. hak atas kenyamanan, keamana, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan bararang dan/atau jasa; 4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
12)
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.48.
15
Selain mengatur hak-hak konsumen, UUPK juga mengatur mengenai kewajiban-kewajiban konsumen sebagaimana terdapat dalam pasal 5 UUPK, yaitu: 1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Dapat dilihat bahwa di dalam kewajiban-kewajiban konsumen yang tercantum dalam pasal 5 UUPK tersebut, terdapat kewajiban konsumen untuk membaca atau mengikutu petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan. Hal ini diperlukan, karena seringkali pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen sering tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya tersebut. Dengan pengaturan kewajiban ini, pelaku usaha tidak bertanggung jawab apabila kerugian yang diderita konsumen diakibatkan karena konsumen mengabaikan kewajiban tersebut.13) Selain hak dan kewajiban konsumen, UUPK juga mengatur mengenai hakhak pelaku usaha sebagaimana terdapat di dalam pasal 6 UUPK, yang menyatakan bahwa hak pelaku usaha adalah:
13)
Ahmadi Miru, Hukum Prlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.48.
16
1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; 3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; 4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Sedangkan mengenai kewajiban pelaku usaha diatur dalam pasal 7 UUPK yang menyebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah: 1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha 2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jijir mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5. memberi kesempatan kepada konsemen untuk menguji, dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 6. memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Meski telah diatur mengenai kewajiban maupun bagi pelaku usaha, tidak sedikit dijumpai pihak konsumen yang menderita kerugian diakibatkan mengkonsumsi produk cacat. Adapun yang dimaksud dengan produk cacat adalah;
17
“Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannyan, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang”.14) Suatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya) Karena: 1. Kesalahan produksi Kesalahan produksi ini dapat dibedakan atas dua bagian, yiatu pertama adalah kesalahan yang meliputi kegagalan pada sarana produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu, sedangkan yang kedua adalah produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksud oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian normal.15) 2. Cacat Desain Pada cacat desai ini, cacat terjadi pada tingkat persiapan produk. Hal ini terdiri atas desain, komposisi, atau konstruksi. 3. Cacat Peringatan atau Cacat Instruksi Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi
dengan
peringatan-peringatan
tertentu
atau
instruksi
penggunaan tertentu.
14) Imran Nating, “Perlindungan Konsumen dengan Product Liability”, http://www.solusihukum.com, di-download tanggal 10 Maret 2009 Pukul 19.30 WIB. 15) A.Z.Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Yogyakarta, 2001, hlm.249.
18
Terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang menjual produk yang cacat dapat diajukan gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum kepada pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata: “Tiap-tiap perbuatan yang melanggar hukum dan yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-uunsur sebagai berikut: 1. Adanya perbuatan melawan hukum 2. Adanya unsur kesalahan 3. Adanya kerugian 4. Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukan bahwa adanya kerugian yang
disebabkan oleh kesalahan seseorang.
Adanya unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan melawan hukum memenuhi unsur-unsur berikut:16) 1. Bertentangan dengan hak orang lain; 2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri; 3. Bertentangan dengan kesusilaan;
16) J.J Amstrong Sembiring, “Strict Liabilyty Dalam Institusi Ekonomi: Harapan dan CitaCita Sebagai Kaidah Hukum Berlaku di Suatu Negara”, http://greasy.com/Komparta/strict_Product_liability.html, di-download tanggal 10 Maret 2009 Pukul 19.30 WIB.
19
4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda. Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif, artinya untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur tersebut. Jika suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.17) Pasal 1 angka 1 UUPK menyebutkan bahwa: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Sehingga
pada
dasarnya
konsumen
memerlukan
suatu
bentuk
pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh adanya cacat, khususya cacat tersembunyi yang terdapat pada pasal 1504 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, dimana pasal tersebut mewajibkan penjual untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan karena penggunaan produk yang dijualnya. Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur tentang ganti kerugian terhadap produk cacat. Adanya produk cacat merupakan tanggung jawab pelaku usaha serta termasuk dalam perbuatan melanggar hukum yang disertai dengan unsur tanggung jawab yang mutlak. Dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen
diatur
mengenai
perbuatan
menimbulkan kerugian dan atau membahayakan konsumen.
17)
Ibid
yang berakibat
20
Pasal 19 ayat (1) Undang-undang No.8 Tahun 1998, menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Secara teoritik. Undangundang ini mengandung prinsip-prinsip tanggung jawab pelaku usaha, sebagai berikut:18) 1. Contractual Liability Pertanggung jawaban kontraktual adalah tanggung jawab pedagang atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha (barang dan/atau jasa), atas kerugian yang dialami oleh konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya atau manfaat jasa yang diberikannya. Jadi, dalam hal ini terdapat hubungan perjanjian (privity contract) antara pelaku usaha dengan konsumen. 2. Produck Liability Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha (produsen barang) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada product liability (pertanggung jawaban produk), yaitu tanggung jawab secara tidak langsung (strict liability) dari pelaku usaha (produsen barang) atas kerugian yang dialami konsumen. Intisari dari product liability adalah tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hokum yang telah dimodifikasikan menjadi strict liability.
18)
Johanes Gunawan, Jurnal Hukum Bisnis Voleme 8, Yayasan Pengembangan Bisnis, Jakarta, 1999, hlm 45.
21
3. Profesional Liability Apabila terjadi hubungan perjanjian (privity contract) antara pelaku uasha (pemberi jasa) dengan konsumen, tetapi prestasi pemberi jasa tersebut tidak
diukur
sehingga
merupakan
perjanjian
ikhtisar
(Inspaning
Verbintenis). Maka, tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada professional
liability
(Pertanggung
jawaban
professional)
yang
mempergunakan tanggung jawab secara langsung (strict liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami oleh konsumen. Sebaliknya dalam hal hubungan perjanjian (privity contract) antara pelaku usaha (pemberi jasa) dengan konsumen dan prestasi pemberi jasa tersebut terukur sehingga meruoakan perjanjian hasil (Resultaat Verbentenis), maka tanggung jawab pelaku usaha menggunakan tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian kontrak (contractual liability) dari pelaku usaha. 4. Criminal Liability Dalam hal hubungan pelaku usaha (barang dan/atau jasa) dengan Negara dalam memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat (konsumen), maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada criminal liability (pertanggung jawaban kriminal), yaitu tanggung jawab pidana dari pelaku uasha (barang dan/atau jasa) atas keselamatandan keamanan masyarakat.
22
F. Metode Penelitian Metode menurut Peter R.Senn adalah merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang memiliki langkah-langkah yang sistematis.19) Adapun dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu merupakan suatu penelitian kepustakaan atau penelitian terhadap data sekunder.
Langkah-langkah yang ditempuh peneliti adalah
sebagai berikut: 1. Spesifikasi Hukum Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang bertujuan menggambarkan atau melukiskan tentang suatu hal yang terjadi atau yang sedang berlangsung pada saat tertentu dan pada tempat tertentu. 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan sumbersumber data sekunder, yaitu peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum, dan pendapat-pendapat para sarjana hukum terkemuka, yang kemudian dianalisis serta menarik kesimpulan dari permasalahan yang akan digunakan untuk menguji dan mengkaji data sekunder tersebut, dengan dasar bahwa penelitian ini ditujukan untuk mengkaji penerapan norma-norma hukum yang berlaku khususnya Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 19)
Peter R.Senn dalam Bambang Sanggono, Metode Penelitian Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 46.
23
3. Tahap Penelitian Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data sebagai berikut: a. Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data berdasarkan referensi dari buku-buku kepustakaan berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian guna mendapatkan bahan hukum: 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat seperti norma dasar maupun peraturan perundangundangan yang terkait dengan penelitian ini, yaitu Kitab Undangundang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang dibahas. 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum yang dimaksud disini tidak mengikat, yang terdiri dari buku-buku, makalah, hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. 3) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang sifatnya melengkapi kedua bahan hukum di atas, terdiri dari kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris, berbagai majalah dan surat kabar.
24
b. Studi lapangan yang sifatnya sebagai penunjang terhadap data kepustakaan tersebut di atas. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ada tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview sebagai pelengkap. Untuk penelitian ini peneliti membatasi hanya menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis. 5. Analisis Data Analisis data yang dipilih melalui data sekunder yang telah dipilih melelui studi kepustakaan seperti tersebut diatas, kemudian disusun secara sistematis sehingga diperoleh gambaran menyeluruh mengenai asas hukum, kaidah hukum, dan ketentuan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Selanjutnya data penelitian yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Data yang diperoleh dalam penelitian akan dikaji secara logis dan mendalam. Hasil analisis akan disajikan secara deskriptif. 6. Lokasi Penelitian a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Jalan Lengkong Besar No.68 Bandung b. Perpustakaan Universitas Pasundan, Jalan Taman Sari No.8 Bandung c. Perpustakaan Fakultas Umum Universitas Padjajaran, Jalan Dipati Ukur Nomor 46 Bandung.
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PRODUK IMPOR, PRODUK CACAT DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Tinjauan Umum Terhadap Produk Impor 1. Pengertian Produk Produk menurut Kotler dan Amstrong adalah : “A product as anything that
can be offered to a market for attention, acquisition, use or
consumption and that might satisfy a want or need”. Artinya produk, adalah segala sesuatu yang ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, dipergunakan dan yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan konsumen20). Menurut Stanton, “A product is asset of tangible and intangible attributes, including packaging, color, price quality and brand plus the services and reputation of the seller”. Artinya produk adalah kumpulan dari atribut-atribut yang nyata maupun tidak nyata, termasuk di dalamnya kemasan, warna, harga, kualitas dan merk ditambah dengan jasa dan reputasi penjualannya21). Secara konseptual pengertian produk menurut Tjipto adalah pemahaman subyektif dari produsen atas “sesuatu” yang bisa ditawarkan sebagai usaha untuk mencapai tujuan organisasi melalui pemenuhan kebutuhan dan
20) 21)
Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, Jakarta : Jilid II, Erlangga 1993, hlm. 48. ibid, hlm. 50.
25
26
keinginan konsumen, sesuai dengan kompetensi dan kapasitas organisasi serta daya beli. a. Lima Tingkatan Produk Menurut Kotler ada lima tingkatan produk, yaitu:22) 1) Core Benefit (namely the fundamental service of benefit that costumer really buying), yaitu manfaat dasar dari suatu produk yag ditawarkan kepada konsumen. 2) Basic Product (namely a basic version of the product), yaitu bentuk dasar dari suatu produk yang dapat dirasakan oleh panca indra. 3) Expected Product (namely a set of attributes and conditions that the buyers normally expect and agree to when they purchase this product), yaitu serangkaian atribut-atribut produk dan kondisikondisi yang diharapkan oleh pembeli pada saat membeli suatu produk. 4) Augmented product (namely that one includes additional service and benefit that distinguish the company’s offer from competitor’s offer) yaitu sesuatu yang membedakan antara produk yang ditawarkan oleh badan usaha dengan produk yang ditawarkan oleh pesaing. 5) Potential Product (namely all of the argumentations and transformations that this product that ultimately undergo in the
22)
Philip Kotler, Op.Cit, hlm.25.
27
future), yaitu semua argumentasi dan perubahan bentuk yang dialami oleh suatu produk dimasa datang. b. Klasifikasi Produk Banyak klasifikasi suatu produk yang dikemukakan ahli pemasaran, diantaranya pendapat yang dikemukakan oleh Kotler. Menurut Kotler, produk dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu:23) 1. Berdasarkan wujudnya, produk dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok utama, yaitu : a) Barang Barang merupakan produk yang berwujud fisik, sehingga bisa dilihat, diraba atau disentuh, dirasa, dipegang, disimpan, dipindahkan, dan perlakuan fisik lainnya. b) Jasa Jasa merupakan aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual (dikonsumsi pihak lain). Seperti halnya bengkel reparasi, salon kecantikan, hotel dan sebagainya. Kotler juga mendefinisikan jasa sebagai berikut : “ Jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apa pun. Produknya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik.
23)
Philip Kotler, ibid, hlm. 17.
28
2. Berdasarkan aspek daya tahannya produk dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu a. Barang
tidak
tahan
lama
(nondurable
goods)
Barang tidak tahan lama adalah barang berwujud yang biasanya habis dikonsumsi dalam satu atau beberapa kali pemakaian. Dengan kata lain, umur ekonomisnya dalam kondisi pemakaian normal kurang dari satu tahun. Contohnya: sabun, pasta gigi, minuman kaleng dan sebagainya. b. Barang
tahan
lama
(durable
goods)
Barang tahan lama merupakan barang berwujud yang biasanya bisa
bertahan
lama dengan
banyak
pemakaian
(umur
ekonomisnya untuk pemakaian normal adalah satu tahun lebih). Contohnya lemari es, mesin cuci, pakaian dan lain-lain. 3. Berdasarkan tujuan konsumsi yaitu didasarkan pada siapa konsumennya dan untuk apa produk itu dikonsumsi, maka produk diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: a) Barang
konsumsi
(consumer’s
goods)
Barang konsumsi merupakan suatu produk yang langsung dapat dikonsumsi tanpa melalui pemrosesan lebih lanjut untuk memperoleh manfaat dari produk tersebut. b) Barang
industri
(industrial’s
goods)
Barang industri merupakan suatu jenis produk yang masih memerlukan pemrosesan lebih lanjut untuk mendapatkan suatu
29
manfaat tertentu. Biasanya hasil pemrosesan dari barang industri diperjual belikan kembali. Menurut Kotler, ”barang konsumen adalah barang yang dikonsumsi untuk kepentingan konsumen akhir sendiri (individu dan rumah tangga), bukan untuk tujuan bisnis”. Pada umumnya barang konsumen dibedakan menjadi empat jenis : a) Convenience goods Barang yang pada umumnya memiliki frekuensi pembelian tinggi (sering dibeli), dibutuhkan dalam waktu segera, dan hanya memerlukan
usaha
yang
minimum
(sangat
kecil)
dalam
pembandingan dan pembeliannya. Contohnya antara lain produk tembakau, sabun, surat kabar, dan sebagainya. b) Shopping goods Barang-barang yang dalam proses pemilihan dan pembeliannya dibandingkan oleh konsumen diantara berbagai alternatif yang tersedia. Contohnya alat-alat rumah tangga, pakaian, furniture, mobil bekas dan lainnya. c) Specialty goods Barang-barang yang memiliki karakteristik dan/atau identifikasi merek yang unik dimana sekelompok konsumen bersedia melakukan usaha khusus untuk membelinya. Misalnya mobil Lamborghini, pakaian rancangan orang terkenal, kamera Nikon dan sebagainya.
30
d) Unsought goods Merupakan barang-barang yang tidak diketahui konsumen atau kalaupun sudah diketahui, tetapi pada umumnya belum terpikirkan untuk membelinya. Contohnya asuransi jiwa, ensiklopedia, tanah kuburan dan sebagainya. 2. Pengertian Impor Secara harfiah, impor bisa diartikan sebagai kegiatan memasukan barang dari suatu Negara (luar negeri) ke dalam wilayah pabean negara lain. Hal ini berarti melibatkan 2 (dua) negara, dalam hal ini bisa diwakili oleh kepentingan 2 (dua) perusahaan antardua negara tersebut
yang
berbeda dan pastinya juga peraturan serta perundang-undangan yang berbeda pula. Negara yang satu bertindak sebagai supplier dan satunya bertindak sebagai penerima.24) Pengertian impor menurut Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/M-DAG/PER/10/2008 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia “Impor adalah Barangbarang yang dimasukkan dari luar negeri, mengimpor adalah memasukan barang dari luar negeri, pengimpor adalah orang yang memasukan barang
24)
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Lengkap, Media Center, hlm. 45.
31
dari luar negeri, importir adalah orang atau pedagang yang memasukan barang dagangan dari luar negeri”.25) Sebelum seseorang atau suatu perusahaan memutuskan untuk melakukan impor suatu barang, ada baiknya harus memiliki pengetahuan mengenai tatacara, peraturan, prosedur impor yang berlaku, khususnya di wilayah Kepabeanan Republik Indonesia. Dengan demikian, pengertian produk impor dapat didefinisikan sebagai barang yang dimasukan atau ditawarkan dari suatu Negara (luar negeri) ke dalam wilayah pabean negara lain secara legal yang bertujuan untuk
mendapatkan perhatian dari konsumen, agar membeli dan
mempergunakannya umumnya dalam proses perdagangan. Impor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirimmaupunpenerima. 3. Macam-Macam Hambatan Impor26) Hambatan impor mempunyai berbagai bentuk. Negara-negara semakin kreatif menetapkan hambatan baru dari waktu ke waktu. Hambatan perdagangan yang paling baru dan nyata adalah tarif impor. Tarif impor adalah jumlah tetap per unit (tarif spesifik) atau persentase tetap dari harga barang impor (tariff pajak berdasarkan nilai barang). Umumnya eksportir dapat menyuplai sejumlah barang ke negara pengimpor tetapi barangbarang tersebut akan dibebani pajak dinegara tujuan.
25)
ibid, hlm. 45. Ratya Anindita & Mchael .Reed, Bisnis Dan Perdagangan Internasional, ANDI, Yogyakarta, 2008, hlm. 31 26)
32
Hambatan impor umum lainnya adalah kuota imppor, yang membatasi kuantitas produk yang dapat memasuki suatu Negara. Terkadang kuota ini telah ditetapkan jumlahnya dalam suatu Negara, misalnya China hanya dapat mengimpor 70 % mainan anak ke Indonesia. Perusahaan harus memiliki lisensi impor atau visa sebelum mengirim produk ke negara pengimpor. Jika harga domestic di Negara pengimpor lebih tinggi daripada harga di pasar dunia maka lisensi impor tersebut akan mempunyai nilai. Lisensi impor dapat dilelang kepada penawar tertinggi, di jual dengan harga tertentu kepada perusahaan pengimpor atau didistribusikan melalui agen pemerintah. Cara pendistribusian lisensi ini merupakan salah satu faktor yang menentukan efeknya terhadap kesejahteraan. Tingkat kuota tarif (tariff-rate quota) merupakan kombinasi dari kuota impor dan tarif impor. Dalam kebijakan ini jumlah atau nilai impor yang tetap diperhitungkan dengan tarif istimewa (preferential tariff) yang terkadang bernilai nol dan seluruh impor yang melebihi kuota dikenakan tarif yang lebih tinggi. Sering kali tarif yang lebih tinggi menjadi hambatan sehingga tidak ada impor diatas kuota. Kebijakan ini memberikan negara pengekspor suatu akses ke pasar Negara pengimpor akan tetapi harga domestic di Negara pengimpor dapat tetap berada di atas harga pasar dunia ditambah tariff istimewa. Dalam beberapa decade terakhir beberapa Negara memilih mengikuti kebijakan tersebut, yaitu menjaga harga produk pertanian pertanian tetap
33
stabil dinegaranya. Ada dua kebijakan pasar impor yang memperbolehkan kebijakan domestic ini berlaku: pemerintah dapat mengontrol impor melalui stete trading (sehingga mereka mengimpor dengan harga dunia dan menjual dengan harga tetap domestik) atau system variable levy (pajak yang bervariasi) dapat berlaku (di mana tariff impor merupakan selisih antara harga tetap domestik dan harga dunia). 4. Alasan-Alasan Hambatan Perdagangan27) Ada banyak alasan mengapa pemerintah membuat hambatan impor meskipun
dalam
kebijakan
ini
mengurangi
kesejahteraan
secara
keseluruhan atas konsumen dan produsen umumnya pemerintah ingih meretribusikan kesejahteraan di ketiga kelompok utama, yaitu Produsen, konsumen dan pemerintah. Pemerintah sering bergantung pada tarif impor dan pendapatan lainnya dari hambatan perdagangan untuk memberikan porsi yang substansial pada budget pemerintah. Mengumpulkan pajak atas barang impor adalah hal yang paling mudah untuk menghasilkan pendapatan daripada menerbitkan dan memberlakukan kebijakan pajak pendapatan, dan hal tersebut lebih memungkinkan untuk diwujudkan daripada mengumpulkan pajak penjualan daripada pedagang eceran. Alasan hambatan impor yang dilegitimasi secara ekonomi hanyalah jika Negara pengimpor merupakan Negara besar sehingga dapat menggunakan kekuatan pasarnya untuk memperoleh kesejahteraan dari Negara lain di dunia. Dalam kasus ini Negara pengimpor mempunyai
27)
ibid, hlm.32
34
pengaruh yang besar sehingga jika ia membatasi impornya maka harga di pasar dunia akan turun. Turunnya harga di pasar dunia akan menguntungkan Negara pengimpor dan meningkatkan kesejahteraannya. Negara pengimpor mendapatkan kesejahteraan dari Negara pengekspor dengan cara mengubah pola impornya. 5. Efek Kebijakan Impor Yang Spesifik28) Analisis terhadap setiap kebijakan impor akan dimulai dari kasus perdagangan bebas dan mengukur kerugian yang ditimbulkan oleh berbagai macam hambatan perdagangan. Analisis kesejahteraan dapat memperhitungkan kerugian konsumen, produsen dan pemerintah. Kecuali jika ada pertimbangan lainnya misalnya diasumsikan kasus Negara kecil, biaya transportasi bernilai nol, dan pasar persaingan sempurna. Perdagangan bebas digunakan sebagai dasar analisis karena perdagangan bebas merupakan kebijakan yang bertujuan memaksimalkan kesejahteraan Negara. Dalam setiap kasus, kurva penawaran dan permintaan yang efektif adalah penting bagi analisis tersebut. Kurva penawaran efektif mencakup pemasok internasional dan domestic, dan kurva permintaan efektif mencakup konsumen internasional dan domestic.
28)
ibid, hlm.32
35
B. Tinjauan Umum Terhadap Produk Cacat 1. Pengertian Produk Cacat Tidak semua barang yang beredar di pasar memiliki kualitas yang prima. Ada saja barang-barang yang dipasarkan ala kadarnya, bahkan tidak memenuhi standar-standar yang telah digariskan. Oleh karena itu sebagai pembeli yang pintar harus punya kesadaran untuk selalu meneliti sebelum membeli agar tidak menyesal dikemudian hari. Namun apa daya apabila barang yang telah kita beli memiliki kekurangan, baik telah rusak, catnya luntur, retak dan sebagainya. Atau pada pembelian atau penjualan barang-barang yang menurut sifatnya mudah rusak, seperti penjualan barang pecah belah, apabila penjualan tersebut dalam jumlah yang besar, dimungkinkan ditemukan ada beberapa barang yang pecah atau retak. Permasalahan yang timbul apakah ada perlindungan hukum terhadap pembeli yang mendapatkan bahwa barang yang dibelinya adalah cacat. Menurut Imran Nating yang dimaksud dengan produk cacat, adalah: “Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannyan, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang”.29) Pertama yang perlu dipahami adalah apa yang disebut dengan produk cacat. Sebuah Produk disebut cacat bila produk itu tidak aman dalam 29)
Imran Nating, “Perlindungan Konsumen dengan Product Liability”, http://www.solusihukum.com, di-download tanggal 10 Maret 2009 Pukul 19.30 WIB.
36
penggunaannya serta tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu. namun ada beberapa pertimbangan untuk mengatakan bahwa suatu produk adalah cacat, mempertimbangkan tersebut terutama tentang: a.
penampilan produk
b.
kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk
c.
saat produk tersebut diedarkan.
Penjelasan pertimbangan tersebut adalah, pertimbangan pertama lebih mudah untuk dilihat, faktornya apakah penampilan produk tersebut baik atau mencurigakan. Karena apabila tampilannya sudah mencurigakan dan pembeli masih membelinya maka pembeli tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum. Mengacu kepada KUHPerdata Pasal 1505. “si Penjual tidaklah diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh si Pembeli.” Rasio pasal tersebut adalah sudah tahu barang yang mau dibeli mencurigakan atau cacat mengapa masih dibeli? Dalam kondisi ini pembelilah yang bertanggung jawab. Pertimbangan kedua, kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk. Apabila anda membeli suatu produk kecantikan dengan harapan untuk memutihkan kulit anda, dan memang tertera dalam kemasan produk itu, namun hasilnya anda malah menghitam atau terbakar tentu barang tersebut cacat. Pertimbangan ketiga yang lebih rumit. Pertimbangan pada saat produk tersebut diedarkan. Disini dipertimbangkan suatu Produk tidak
37
cacat apabila saat lain setelah produk tersebut beredar, dihasilkan pula produk (bersamaan) yang lebih baik. Mengenai definisi mengenai produk yang cacat sendiri sebenarnya sudah ada upaya untuk mendefinisikannya, salah satunya definisi yang dilakukan oleh Tim Kerja Penyusun Naskah Akademis Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI. Mereka merumuskan produk yang cacat, sebagai berikut: “Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena kesengajaan, atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syaratsyarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagai layaknya diharapkan orang”.30) Namun demikian apakah hukum kita tidak mengatur mengenai hal tersebut. Ternyata KUH Perdata memberikan pengertian juga mengenai cacat. Diartikan cacat dalam KUHPerdata sebagai cacat yang “sungguhsungguh” bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu “tidak dapat digunakan” dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh benda itu, atau cacat itu mengakibatkan “berkurangnya manfaat” benda tersebut dari tujuan yang semestinya. Konteks KUH Perdata mengatur masalah cacat tersembunyi ini merupakan salah satu kewajiban dari penjual dalam perjanjian jual beli (transksi jual beli). Namun apabila dikaitkan Perlindungan konsumen itu merupakan tanggung jawab pelaku usaha atau produsen.
30)
www. Produk Cacat. Republika Online. http// www. Republika.co.id., di download tanggal 28 Agustus 2009.
38
KUH Perdata mengatur mengenai produk cacat dapat dilihat dalam Pasal 1504 sampai Pasal 1512, dikenal dengan terminologi cacat tersembunyi. Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi dalam hal demikian. Sehingga apabila pembeli mendapatkan barangnya terdapat cacat tersembunyi maka terhadapnya diberikan dua pilihan. Pilihan tersebut sesuai dengan Pasal 1507 KUHPerdata,yaitu: a. Mengembalikan barang yang dibeli dengan menerima pengembalian harga, b. Tetap memiliki barang yang dibeli dengan menerima ganti rugi dari penjual. Suatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya) Karena: a. Kesalahan produksi Kesalahan produksi ini dapat dibedakan atas dua bagian, yiatu pertama adalah
kesalahan yang meliputi kegagalan pada sarana produksi,
pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu, sedangkan yang kedua adalah produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksud oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian normal.31)
31)
A.Z.Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Yogyakarta, 2001, hlm.249.
39
b. Cacat Desain Pada cacat desai ini, cacat terjadi pada tingkat persiapan produk. Hal ini terdiri atas desain, komposisi, atau konstruksi. c. Cacat Peringatan atau Cacat Instruksi Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Mengenai tanggung jawab para pihak terhadap adanya cacat tersembunyi dapat saja dilimpahkan pada pembeli (konsumen) atau penjual (produsen atau pelaku usaha) tergantung pada kondisinya. 1. Apabila cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak penjual namun penjual tetap menjualnya, maka penjual wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga; 2. Apabila ada cacat dan penjual dan pembeli mengetahui tetapi tetap membeli produk tersebut maka si penjual dibebaskan dari tanggung jawab. 3. Apabila cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh penjual, maka penjual hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos yang dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang);
40
4. Apabila barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang tersembunyi, maka penjual tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli. Yang menjadi permasalahan apabila si penjual memperjanjikan untuk
tidak
menanggung
cacat
tersembunyi,
KUH
Perdata
memperbolehkan hal tersebut, Pasal 1506 KUH Perdata: “Ia diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui tentang adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal yang demikian, telah diminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menaggung suatu apapun juga” Hal ini diperkuat dengan Pasal 1493 KUHPerdata yang menyatakan : “Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini; bahwa mereka diperbolehkan mengadakan
persetujuan/perjanjian
bahwa si penjual tidak akan
diwajibkan menanggung sesuai apapun”. Klaim terhadap cacat tersembunyi memiliki jangka waktu. Mengenai berapa lama si pembeli berhak mengklaim adanya cacat tersembunyi, Undang-Undang tidak memberikan batasan. Hanya harus diajukan dalam waktu singkat, jika tidak maka dianggap meskipun ada cacat tersembunyi pembeli telah menerimanya.
41
2. Kriteria atau Ukuran terhadap Barang yang Dikaitkan Cacat dan Berbahaya. Produk disebut penggunaannya,
tidak
cacat bila memenuhi
produk itu tidak aman syarat-syarat
keamanan
dalam tertentu
sebagaimana yang diharapkan orang dengan mempertimbangkan berbagai keadaan, terutama tentang : a. penampilan produk b. kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk c. saat produk tersebut diedarkan Pengertian cacat dalam KUH Perdata diartikan sebagai cacat yang “sungguh-sungguh” bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu “tidak dapat digunakan” dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh benda itu, atau cacat itu mengakibatkan “berkurangnya manfaat” benda tersebut dari tujuan yang semestinya. Dari pengertian ini maka ada satu tanggung jawab bagi produsen untuk mengutamakan kualitas barang yang diproduksi daripada mengejar kuantitas atau jumlah barang yang diproduksi. 3. Kerugian Akibat Barang yang Cacat dan Berbahaya Kerugian yang dialami oleh konsumen akibat barang yang cacat diatur dalam ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata. Pertanggung jawaban untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda didasarkan pada ajaran resiko sedangkan yurisprudensi Belanda berpendapat bahwa tanggung jawab timbul apabila kerugian yang terjadi merupakan akibat dari kelalaian
42
dalam mengawasi benda yang berada pada pengawasannya. Pada ayat (3) ini menunjukkan pada kerusakan akan sesuatu benda atau lukanya seseorang yang ditimbulkan dengan perantaraan sesuatu benda. Apabila seseorang menimbulkan kerugian tersebut mirip perbuatan melawan hukum dan kerugian itu ditimbulkan oleh benda tanpa perbuatan manusia maka pertanggung jawabannya terletak pada pihak yang mengawasi benda tersebut serta bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang terjadi. Dalam transaksi yang dilakukan konsumen, konsumen menghadapi permasalahan yang sulit diatasi oleh konsumen dengan sendiri. Perangkat peraturan perundang-undangan yang pelaksanaan wewenang administratif aparat pemerintah masih belum mendukung dalam memenuhi kebutuhan hidup konsumen. Dalam kenyataan konsumen Indonesia masih sering mengalami kasus-kasus yang sangat merugikan dirinya baik secara materil maupun immateril. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional Indonesia, dimana kekecewaan yang dinyatakan oleh konsumen karena kualitas produk yang tidak memenuhi standar. Beberapa faktor yang mempengruhi produsen kurang menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi konsumen atau menjamin
43
keselamatan
dan
keamanan
dalam
mengkonsumsi
produk
yang
dihasilkannya:32) 1. Rendahnya kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang kurang hatihati dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan produsen. 2. Adanya kebijaksanaan resmi pemerintah tentang pemakaian barang berbahaya atau adanya barang yang mempunyai cacat, yang bertentangan
dengan
peraturan-peraturan
yang
berlaku
yang
menyangkut dengan keamanan dan keselamatan masyarakat. 3. Masih rendahnya kesadaran masyarakat konsumen dan produsen lapisan bawah serta kurangnya penyuluhan hukum sehingga mereka tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada. 4. Adanya kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang yang cacat dan berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen, kelemahan pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba. 4. Tanggung Jawab Produsen Terhadap Kerugian yang Dialami oleh Konsumen Tanggung jawab produk adalah istilah yang dialih bahasakan dari product liability, berbeda dengan ajaran pertanggung jawaban hukum pada umumnya dimana tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain) adalah tanggung jawab mutlak produsen yang disebut dengan strict liability). 32)
Zumrotin, Problematika Perlindungan Konsumen di Indonesia Sekarang dan Yang Akan Datang, YLKI, Jakarta, 1997, hlm.10.
44
Kerugian yang dialami oleh seseorang pemakai produk cacat atau berbahaya, bahkan pemakainya menjadi korban merupakan tanggung jawab mutlak produsen atau dipersamakan dengannya. Dalam hal ini produsen berarti : 33) 1. Pembuat produk. 2. Produsen bahan-bahan mentah atau komponen dari produk. 3. Setiap orang yang memasang merek, nama, atau memberi tanda khusus untuk pembeda produknya dengan orang lain. 4. Tanpa mengurangi tanggung jawab pembuat produk, setiap pengimpor produk untuk dijual, disewakan, atau dipasarkan. 5. Setiap pemasuk produk, apabila produk tidak diketahui atau pembuat produk diketahui tetapi pengimpornya tidak diketahui. Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak ini, produsen telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian kepada konsumen akibat produk cacat bersangkutan, kecuali apabila ia (produsen) dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan oleh produsen. Pada umumnya ganti rugi karena adanya cacat barang itu sendiri adalah tanggung jawab penjual. Dengan adanya product liability maka terhadap kerugian pada barang yang dibeli, konsumen dapat mengajukan tuntutan berdasarkan adanya kewajiban produsen untuk menjamin kualitas suatu produk.
33)
www.Produk.com, Republika Online, http// www.Repulika .co.id, senin, 25 September 2009.
45
Tuntutan ini dapat berupa pengembalian barang sambil menuntut kembali harga pembelian, atau penukaran barang yang baik mutunya. Tuntutan ganti rugi ini dapat ditujukan kepada produsen dan juga kepada penjual sebagai pihak yang menyediakan jasa untuk menyalurkan barang/produk
dari
produsen
kepada
pihak
penjual
(penyalur)
berkewajiban menjamin kualitas produk yang mereka pasarkan. Yang dimaksud dengan jaminan atas kualitas produk ini adalah suatu jaminan atau garansi bahwa barang-barang yang dibeli akan sesuai dengan standar kualitas produk tertentu. Jika standar ini tidak terpenuhi maka pembeli atau konsumen dapat memperoleh ganti rugi dari pihak produsen/penjual. Pasal 1504 KUH Perdata mewajibkan penjual untuk menjamin cacat yang tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya. Cacat itu mesti cacat yang sungguh-sungguh bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu tidak dapat dipergunakan dengan sempurna, sesuai dengan keperluan yang semestinya, atau cacat itu mengakibatkan berkurangnya manfaat benda tersebut dari tujuan pemakaian yang semestinya. Mengenai masalah apakah penjual mengetahui atau tidak akan adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan (Pasal 1506 KUH Perdata) baik dia mengetahui atau tidak penjual harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang dijualnya. Yang dimaksud dengan cacat tersembunyi adalah cacat yang mengakibatkan kegunaan barang tidak serasi lagi dengan tujuan yang
46
semestinya. Terhadap cacat yang mudah dilihat dan sepatutnya pembeli dapat melihat tanpa susah payah, maka terhadap cacat yang sedemikian penjual tidak bertanggung jawab. Karena terhadap cacat yang demikian harus menjadi tanggung jawab konsumen (pembeli). 34) Disinilah berlaku prinsip bahwa pembeli bertanggung jawab sendiri atas cacat yang secara normal patut diketahui dan mudah dilihat. Dengan demikian suatu cacat yang objektif mudah dilihat secara normal tanpa memerlukan pemeriksaan yang seksama dari ahli, adalah cacat yang tersembunyi. Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dibeli, pembeli (konsumen) dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan Pasal 1508 KUHPerdata : 1. Jika cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak penjual, maka penjual wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga; 2. Kalau cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh penjual, maka penjual hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos yang dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang);
34)
ibid
47
3. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang tersembunyi, maka penjual tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli. Terkecuali apabila penjual telah meminta diperjanjikan tidak menanggung sesuatu apapun dalam hal adanya cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya (Pasal 1506), maka hal itu berarti bahwa adanya cacat tersembunyi pada barang yang dibeli menjadi resiko pembeli sendiri. Misalnya pada penjualan barang-barang yang menurut sifatnya mudah rusak, seperti penjualan barang pecah belah (gelas, piring dan sebagainya), apabila penjualan tersebut dalam jumlah yang besar, maka apabila penjual telah meminta diperjanjikan tidak menanggung suatu apapun dalam hal adanya cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya, dan pihak pembeli telah menyanggupinya, maka hal ini berarti bahwa adanya cacat tersembunyi pada barang yang dibeli menjadi resiko pembeli sendiri. Klausula itu memang diperbolehkan oleh ketentuan dalam Pasal 1493 KUHPerdata yang menyatakan : “Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuanpersetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajibankewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini; bahwa mereka diperbolehkan mengadakan persetujuan/perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung sesuai apapun”.
48
Dalam hal adanya jaminan kecocokan atau kelayakan, maka biasanya dituntut agar barang itu : 35) a. Sama dengan barang yang pada umumnya disebut sebagai barang itu (sama dengan barang-barang sejenisnya); b. Mempunyai kualitas biasa kecuali dinyatakan tidak; c. Layak dipakai untuk keperluan biasa; dan d. Harus dibungkus dan diberi lebel yang memadai. Barang itu harus sesuai dengan keterangan yang terdapat pada pembungkus atau lebelnya.
C. Tinjauan Umum Terhadap Perlindungan Konsumen 1. Sejarah Perlindungan Konsumen Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa yang tersedia pada umumnyamerupakan barang dan/atau jasa sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Dengan “diversifikasi” produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan telekomunikasi dan informatika, dimana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batasbatas suatu wilayah Negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik
35)
ibid
49
yang berasal dari produk domestic dimana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari luar Negara. Kondisi seperti ini, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, sertasemakin terbuka lebar kebebasan untuk memiliki aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Namun, kondisi dan fenomena tersbut mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, melalui caa penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Hal tersebut bukanlah gejala regional saja, tetapi menjadi permasalahan yang mengglobal dan melanda seluruh konsumen di dunia. Timbulnya kesadaran konsumen ini telah melahirkan salah-satu cabang baru ilmu hukum, yaitu hukum perlindungan konsumen atau yang kadang kala dikenal juga dengan hukum konsumen (consumers law). Hukum perlindungan konsumen merupakan cabang hukum yang baru, namun bercorak universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun jika diteliti dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk dalam hukum perdata.
50
Perkembangan hukum konsumen di dunia bermula dari adanya gerakan perlindungan konsumen (consumers movement). Amerika Serikat tercatat sebagai Negara yang banyak memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen. Secara historis perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan-gerakan konsumen diawali pada abad ke19. Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan rasa mawaas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan dari masyarakat, kegiatan pronosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan, dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk merealisasikan cita-cita itu. Tokoh-tokoh yang telibat waktu itu mengadakan temu wicara dengan beberapa kedutaan asing. Departemen Perindustian, DPR, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Puncak lahirnya “Yayasan Lembaga Konsumen” dengan
moto
yang
telah
menjadi
landasan
dan
arahan
YLK,
yaitu:“melindungi konsumen, menjaga mertabat konsumen, dan membantu pemerintah”.
51
Setelah itu, suara-suara untuk memberdayakan konsumen semakin gencar, baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun melalui tulisan-tulisan di media massa. Puncaknya adalah lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.36) 2. Pengertian Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen adalah upaya yang dijamin adanya kepastian hukum
untuk
memberikan
perlindungan
kepada
konsumen.37)
Perlindungan konsumen dalam hal ini dimaksudkan adalah perlindungan hukum, yaitu jaminan terpenuhinya kepentingan kosumen. Istilah konsumen itu sendiri berasal dari alih bahasa Inggris dan Amerika, yaitu Consumer, Black’s Law Dictionary menyebutkan bahwa Consumer adalah a person who buys goods of services for personal, family, or household use, with no intention of release; a natural person who uses product for personal reather than business purposes.38) Atau jika diterjemahkan, konsumen adalah seseorang yang membeli barang atau jasa untuk kepentingan sendiri atau keluarga, atau keperluan rumah tangga, dengan tidak ada maksud untuk menjualnya kembali, seoramh yang menggunakan produk untuk kepentingan sendiri dan tidak ditunjukan untuk kepentingan bisnis. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian ini yaitu konsumen hanyalah orang pemakai akhir dari suatu produk barang dan jasa. Barang dan jasa tersebut akan dikonsumsi sendiri dan tidak akan diperjual belikan. 36)
www.YLKI.com. http\\ www.Sejarah YLKI.co.id, di download tanggal 30 September 2009. Black Law Dictionary, hlm 25. 38) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, hlm 4. 37)
52
Berdasarkan ilmu ekonomi, terdapat dua jenis konsumen, yaitu konsumen antara dan konsumen akhir.39) Pengelompokan kedua macam konsumen ini dapat dilihat dari tujuan penggunaan barang dan/atau jasa tersebut untuk memproduksi barang dan atau jasa lain untuk dijual kembali, maka disebut konsumen antara. Jika tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang diperlukan tersebut untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya, serta tidak untuk dijual kembali (tujuan non-komersial), maka konsumen yang demikian disebut konsumen akhir. Ketentuan Pasal 1 angka 2 UUPK memberikan batasan tentang konsumen sebagai berikut : “konsumen adalah setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan. Kita dapat melihat dari batasan yang diberikan dalam pasal ini bahwa yang ingin dilindungi oleh UUPK adalah konsumen akhir yang memakai barang dan/atau jasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga dan orang lain (konsumen non-komersial). Kedudukan seorang konsumen selalu dihadapkan dengan pelaku usaha, yaitu orang atau badan yang menjalankan usaha. Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK memberikan definisi sebagai berikut : “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan 39)
www.Perlindungan Konsumen.com. http\\ www. Konsumen antara.co.id. di download tanggal 30 September.
53
kegiatan dalm wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri mupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi”. Hubungan pelaku usaha dengan konsumen berkaitan erat dengan pemanfaatan dan penggunaan suatu barang dan/atau jasa. Pengertian barang dapat dilihat didalam Pasal 1 angka 4 UUPK yang berbunyi : “Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”. Konsumen dan pelaku usaha merupakan dua kelompok penting yang masing-masing mempunyai kepentingan. Jika kepentingan dari para pihak tidak dapat berjalan dengan baik, maka kemungkinan timbulnya konflik akan terjadi. Untuk melindungi keseimbangan kepentingan para pihak maka diperlukan adanya hukum, yaitu hukum perlindungan konsumen. Pentingnya hukum perlindungan konsumen juga didasari karena setiap konsumen selalu memerlukan produk konsumen (barang dan/atau jasa) yang aman bagi keselamatan dan kesehatan serta jiwa manusia. Untuk menjamin hal-hal tersebut, maka diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum dan syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia yang harus dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.40)
40)
ibid
54
3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha. 1. Hak dan Kewajiban Konsumen Pada dasarnya jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka kita harus kembali kepada undang-undang. Undang-undang ini pada hukum perdata, selain dibentuk oleh pembuat undang-undang (lembaga legislative), juga dapat dilahirkan dari perjanjian antara pihak-pihak yang berhubungan hukum satu dan yang lainnya. Baik perjanjian yang dibuat oleh pembuat undang-undang, keduanya itu membuat perikatan diantara para pihak yang membuatnya. Perikatan tersebutlah yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan atau yang tidak boleh dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam perikatan. Dibuat berdasarkan kata sepakat dari para pihak tanpa adanya paksaan, kekhilafan maupun penipuan; 1. Dibuat oleh mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum; 2. Memiliki objek perjanjian yang jelas; 3. Didasarkan pada suatu klausula yang halal. Ketentuan Pasal 1338 ayat 10 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditegaskan lagi bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat secara sah adalah mengikat para pihak yang membuatnya sebagai Undang-undang diantara mereka. Persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan oleh salah satu pihak dalam perjanjian,
55
kecuali jika hal tersebut memang dikehendaki secara bersama-sama oleh kedua belah pihak, atau berdasarkan alas an yang dianggap cukup oleh Undang-undang. Artinya, selama terjadi kesepakatan diantara para pihak mengenai “harga” yang harus dibayar oleh konsumen dan “barang dan/atau jasa “ yang wajib disediakan oleh pelaku usaha, maka perjanjian telah mengikat, baik untuk konsumen jika kita kembali pada alas an pokok terjadi hubunga hukum perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha, yaitu kebutuhan akan barang dan/atau jasa tertentu, tentunya kita akan berharap
bahwa
konsumen
dapat
“menikmati”
penggunaan,
pemanfaatan, dan pemakaian yang layak dari barang dan/atau jasa tersebut. Berikut ini akan dibicarakan apa yang menjadi hak dan kewajiban konsumen tersebut. Mantan
Presiden
Amerika
Serikat,
John
F.Kennedy,
mengemukakan empat hak dasar konsumen41), yaitu: a. Hak memperoleh keamanan dan keselamatan (the right to safe products); b. Hak mendapat Informasi (the right to informed about products); c. Hak untuk memilih (the right to definite choice in selecting products);
41)
ibid
pernah
56
d. Hak untuk didengar (the right to be heard regarding consumer interest).
Berbagai permasalahan sehubungan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka gagasan dan beberapa tokoh sosial untuk mendirikan organisasi konsumen Indonesia, maka tanggal 11 Mei 1973, berdirilah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dengan motto melindungi konsumen, menjaga martabat produsen dan membantu pemerintahan. YLKI selain mengakui adanya empat hak konsumen yang dikemukakan oleh Kennedy di atas, menambah satu hak lagi, sehingga menjadi Panca Hak Konsumen yaitu: a. Hak atas keamanan dan keselamatan. Konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan keamanan dari produk
yang
ditawarkan.
Produk
tersebut
tidak
boleh
membahayakan bila dikonsumsi, sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani ataupun rohani. b. Hak atas informasi yang benar. Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai dengan informasi yang benar. Informasi itu diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk tersebut.
57
c. Hak untuk memilih. Konsumen berhak untuk menentukan pilihannya sendiri dan dapat menentukan secara bebas apakah akan membeli atau tidak membeli. d. Hak untuk didengar. e. Hak atas Lingkungan yang bersih. Setelah itu dalam Resolusi PBB No. 39/248 Tahun 1985 tentang perlindungan konsumen yang perlu dilindungi 42) meliputi: a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamananya; b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; d. Pendidikan konsumen; e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan dengan mereka.
42)
ibid
58
Undang-undang tentang perlindungan konsumen tidak hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha. Namun terlihat bahwa hak-hak yang diberikan kepada konsumen (diatur dalam Pasal 4) lebih banyak dibandingkan dengan hak pelaku usaha (dalam Pasal 7) lebih banyak dari kewajiban konsumen (yang termuat dalam Pasal5). Berikut ini adalah hak dan kewajiban konsumen yang diberikan oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen: Menurut ketentuan Pasal 5 UUPK, konsumen memiliki hak sebagai berikut: Hak atas kenyamanan, keamana, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; a. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan bararang dan/atau jasa; c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; d. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; e. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
59
f. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; h. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Dari sembilan butir hak yang diberikan diatas, terlihat bahwa masalah
kenyamanan
,keamanan,
dan
keselamatan
konsumen
merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen.
Barang
dan/atau
jasa
yang
penggunaannya
tidak
memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya bersandarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.
60
Disamping hak, konsumen juga mempunyai kewajiban, adapun kewajiban yang harus dipenuhi sebagai penyeimbang atas hak konsumen adalah: a. Kewajiban bersifat kritis. Dalam
berkehidupan
berkonsumsi,
konsumen
berkewajiban
menggunakan daya kritisnya mendahulukan kebutuhan dan tidak atas keinginan. Menggunakan daya piker sehingga tidak mudah terpengaruh oleh iklan tentang kehebatan suatu produk yang disampaikan pengusaha; b.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemekaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
c. Berkewajiban membekali diri dengan penetahuan tentang barang dan/atau jasa; d. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan tau jasa; e. Membayar dengan nilai tukar yang disepakati; f. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hal itu dimaksud agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya (konsumen); g. Kewajiban menggalang solidaritas antar konsumen.
61
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha. Selain hak dan kewajiban konsumen, pelaku usaha juga mempunyai hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki pelaku usaha adalah adanya faktor-faktor yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen meskipun kerusakan yang timbul akibat cacat pada produk. Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pelaku usaha berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, diantaranya:43) a. Kewajiban untuk memberikan jaminan terhadap keamanan dan keselamatan
konsumen
atas
kesehatan
jiwanyan
dalam
mengkonsumsi dan menggunakan barang dan/atau jasa, sehingga dalam hal ini pelaku usah aharus berhati-hati (caveat venditor) dalam mengeluarkan produknya; b. Kewajiban dalm mengeluarkan informasi yang benar, yaitu informasi yang diterima oleh konsumen melalui label atau iklan, maka pelaku usaha wajib menjamin informasi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. Kewajiban agar pihak konsumen dapat memilih barang dan/atau jasa yang diproduksinya; d. Kewajiban
untuk
mendengarkan
keluhan-keluhan
disampaikan oleh konsumen; e. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 43)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, hlm 11.
yang
62
f. Melakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif; g. Memberi kesempatan pada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; h. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian; i. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai penyeimbang atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha mempunyai hak-hak yang antara lain: a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik; c. Hak untuk melakukan pembelian dari sepatutnya di dalam penyelenggaraan hukum sengketa konsumen.
63
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. 4. Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha. Perbuatan yang dilarang bagi para pelaku usaha diatur dalam Bab IV Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, yang dimuat di dalam Pasal 10, dimulai dengan Pasal 8 sampai Pasal 17. Seperti setelah disinggung bahwa pelaku usaha menurut Undang-undang pelaku usaha adalah selain pelaku usaha pabrik ada pula pelakku usaha distributor (dan jaringannya), juga meliputi pelaku usaha periklanan. Jika dirunut ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 UUPK, terlihat bahwa pada dasarnya seluruh larangan yang berlaku bagi pelaku usaha pabrikan juga dikenakan bagi para pelaku usaha distributor, dan tidak semua larangan yang dikenakan bagi para pelaku usaha distributor (dan/atau jaringannya) dikenakan juga bagi para pelaku usaha pabrikan. Satu hal yang juga perlu diperhatikan disini bahwa Undang-undang secara tidak langsung juga mengakui adanya kegiatan usaha perdagangan: a. Yang dilakukan secara individual; b. Dalam bentuk pelelangan, denagn tidak membedakan jenis atau mcam barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
64
c. Dengan pesanan; d. Dengan harga khusus dalam waktu dan jumlah tertentu. Pada dasarnya Undanng-undang tidak memberikan perlakuan yang berbeda kepada masing-masing pelaku usaha yang menyelenggarakan kegiatan
usaha
tersebut,
sepanjang
para
pelaku
usaha
tersebut
menjalankannya secara benar dan memberikan informasi yang cukup, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak menyesatkan konsumen yang akan mempergunakan atau memakai atau memeanfaatkan barang dan/atau jasa yang diberikan tersebut. Tidak
memenuhi
atau
tidak
sesuai
dengan
standar
yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;44) a. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; b. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut jumlah yang sebenarnya; c. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau ketentuan barang dan/atau jasa tersebut; d. Tidak sesuai, dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
44)
ibid, hlm. 23.
65
e. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etika, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; f. Tidak
mencantumkan
tanggal
kadaluarsa
atau
jangka
waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik dalam barang tersebut; g. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; h. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat; i. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-undang Perlindungan Konsumen dapat dibagi kedalam dua larangan pokok, yaitu: a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai dan dimanfaatkan oleh konsumen; b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen. Adapun penjelasan adalah sebagai berikut:
66
1. Larangan Mengenai Kelayakan Produk.45) Larangan mengenai kelayakan produk, baik itu berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan tersebut. Kelayakan produk tersebut merupakan “standart minimum” yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Standar minimum tersebut kadang-kadang sudah ada yang menjadi “pengetahuan umum”, namun sedikit banyaknya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk itu informasi menjadi suatu hal yang penting bagi konsumen. Informasi yang demikian tidak hanya dari pelaku usaha saja, melainkan juga dari berbagai
sumber
lain
yang
dapat
dipercaya,
serta
dipertanggungjawabkan sehingga pada akhirnya konsumen tidak dirugikan, dengan membeli barang dan/atau jasa yang sebenarnya tidak layak untuk diperdagangkan.
2. Larangan Pemberian Informasi Yang Tidak Benar, Tidak Akurat Dan Menyesatkan.46) Telah dikatakan diatas bahwa informasi merupakan hal yang penting bagi konsumen, karena melalui informasi tersebut konsumen dapat mempergunakan hak pilihnya secara benar. Hak untuk memilih 45) 46)
www.Produk.com, Republika Online, http// www.Repulika .co.id, senin, 25 September 2009. ibid
67
tersebut merupakan hak dasar yang tidak dapat dihapuskan oleh siapapun juga. Dengan mempergunakan hak pilihnya tersebut, konsumen dapat memilih dan menentukan “cocok tidaknya” barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Selain dari persyaratan standar mengenai produk, yang relative baku dan berlaku secara universal untuk suatu jenis barang dan/atau jasa tertentu, adakalanya suatu barang dan/atau jasa dari jenis tertentu “mengklaim” adanya keistimewaan tertentu dari produk barang dan/atau jasa tersebut. Untuk itu, para pelaku usaha yang menghasilkan atau
memperdagangkan
barang
dan/atau
jasa
tersebut
harus
memberikan informasi mengenai “kelebihan” dan “kekurangan” dari barang dan/atau jasa itu sendiri. Pada uraian tersebut secara jelas, bahwa konsumen memang berada pada posisi yang kuranng diuntungkan dibandingkan dengan posisi dari pelaku usaha sebab keterlibatan konsumen dalam memanfaatkan barang dan/atau jasa yang tersedia sangat bergantung sepenuhnya pada informasi yang diberikan oleh pelaku usaha. Bahkan untuk produk-produk barang dan/atau jasa yang secara tegas sudah diatur kelayakan penggunaan, pemakaian, maupun pemanfaatannya pun, konsumen tidak memiliki banyak pilihan yang disediakan oleh para
pelaku
usaha.
Untuk
keperluan
itulah,
Undang-undang
memberikan aturan yang tegas mengenai hal-hal yang tidak boleh
68
dilakukan pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasanya kepada konsumen.
BAB III PROSEDUR DAN PERMASALAHAN PRODUK MAINAN IMPOR YANG BERBAHAYA
A. Proses Prosedur Produk Impor Pengaturan dalam proses prosedur produk impor ini bertujuan agar para importer dalam melakukan kegiatannya, tidak bertentangan dengan peraturanperaturan yang telah ditentukan oleh WTO maupun peraturan yang ada di setiap masing-masing Negara. Adapun proses prosedur produk impor tersebut, yaitu :47) 1. Pre-Impor Pada tahapan ini, calon importer harus mempersiapkan kelengkapankelengkapan yang berkaitan dengan peijinan. Izin dari Departemen Perdagangan Calon importer harus mendapatkan izin khusus dari Departemen Perdagangan Republik Indonesia yang disebut dengan Angka Pengenal. SK Menteri Keuangan tentang Pembebasan Bea Masuk Seandainya calon importir menginginkan untuk menggunakan fasilitas pembebasan bea masuk dan atau pengagguhan bea masuk, biasanya dilakukan oleh importir yang juga melakukan kegiatan ekspor.
47)
Andi Susilo, Buku Pintar Ekspor-Impor, TransMedia, 2008, hlm.101.
69
70
Calon importer harus mengajukan fasilitas yang dinamakan KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor) yang berisi keterangan berikut. a. Pembebasan bea masuk dan penangguhan PPn dan ppnbm; b. pengembalian bea masuk dan pembayaran PPn dan ppnbm; c. pembebasan bea masuk dan penangguhan PPn dan ppnbm serta pembebasan bea masuk dan penangguhan ppn dan ppnbm. Jika semua kelengkapan dan persyaratan yang diajukan oleh calon importer telah terpenuhi, dalam tempo maksimal 14 hari kerja SK Menkeu tentang pemberian fasilitas KITE tersebut sudah bsa diterima. Pengimporan produk impor untuk barang-barang yang bukan barang baru, maka diperlukan izin yang khusus dari Departemen Perdagangan serta dari pihak Surveyor Independent ( SUCOFINDO atau Surveyor dari luar negeri SGS). Jadi, izin ini harus diperoleh dulu sebelum barang dikapalkan. Hal ini dimaksudkan, agar produk impor yang akan dikirim tersebut memang telah memenuhi standarisasi nasiaonal dan tidak melanggar peraturan yang berlaku. Akan tetapi, apabila barang yang akan diimpor adalah barang baru, secara otomatis izin khusus ini tidak diperlukan. 2. Proses Prosedur impor barang tertentu Dengan berlakunya, Peraturan Mentri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/M-DAG/PER/10/2008 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu maka produk impor mainan telah digolongkan menjadi produk impor tertentu
71
Pasal 1 ayat (2) Peraturan Mentri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/M-DAG/PER/10/2008 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu yang menyatakan bahwa : Produk Tertentu adalah produk-produk yang terkena ketentuan impor berdasarkan Peraturan Menteri ini yang meliputi elektronika, pakaian jadi, mainan anak-anak, alas kaki, dan produk makanan dan minuman. Dalam Pasal 2 Peraturan Mentri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/M-DAG/PER/10/2008 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu, disebutkan bahwa; 1) Produk Tertentu yang dapat diimpor sebagaimana tercantum dalam Lampiran I merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. 2) Perusahaan yang akan melakukan impor Produk Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat penunjukan sebagai IT-Produk Tertentu dari Menteri. 3) Permohonan untuk mendapat penunjukan sebagai IT-Produk Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diajukan secara tertulis kepada Direktur dengan melampirkan dokumen : a. Fotokopi Angka Pengenal Importir (API); b. Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan (TDP); c. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); d. Fotokopi Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) untuk Produk Tertentu yang importasinya terkena ketentuan wajib NPIK;
72
e. Fotokopi Nomor Identitas Kepabeanan (NIK); f. Surat pernyataan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II berisi rekapitulasi realisasi impor per Produk Tertentu dengan Pos Tarif/HS 4 (empat) digit selama 12 (dua belas) bulan terakhir yang ditandatangani oleh Pimpinan Perusahaan di atas meterai yang cukup; dan g. Rencana impor dalam 1 (satu) tahun yang mencakup jumlah, jenis barang, Pos Tarif/HS 10 (sepuluh) digit dan pelabuhan tujuan. 4) Terhadap permohonan tertulis perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur dapat meminta rekomendasi terlebih dahulu dari instansi teknis dan/atau asosiasi terkait sebagai bahan pertimbangan untuk menerbitkan atau menolak permohonan perusahaan dimaksud. 3. Pelaksanaan Impor Impor bisa dilakukan oleh calon importer dengan 2 macam cara, yaitu impor dengan memakai L/C dan impor tanpa L/C (non L/C) setelah terjadinya kesepakatan antara eksportir dan importer, pelaksanaan impor bisa dilakukan. Selama masa menunggu kedatangan barang impor tersebut, importer akan menerima Surat Pemberitahuan Kedatangan Dokumen dari pihak bank ( jika impor menggunakan L/C) atau akan menerima dokumen impor via international courier langsung dari tangan eksportir ( jika impor dilakukan tanpa menggunakan L/C)
73
Selain itu, importer juga akan menerima surat pemberitahuan kedatangan kapal ( Notice of Arrival) dari pihak shipping company atau international freight forwarder. Setelah kapal (feeder vessel) pembawa barang impor tiba di pelabuhan tujuan, importer akan menukarkan satu lembar bill of lading dengan delivery order ( bisa dilakukan atau diwakilkan oleh EMKL atau PPJK) di shipping company atau international freight forwarder guna kepentingan mengeluarkan peti kemas. Dengan demikian, dokumen yang sudah berada di tangan importer sebagai berikut: a.
Bill of Lading
b.
Packing List
c.
Invoice
d.
Certificate of Fumigation (jika ada)
e.
SK Menkeu tentang Pembebasan beam masuk (jika memakai fasilitas KITE)
f. Certificate of Insurance (jika ada) g. Izin Khusu ( jika barang impor merupakan barang bekas) h. Delivery Order dari Shipping Company Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut, importer menyiapkan PIB (Pemberian Impor Barang), (bisa diwakilkan atau diwakilkan oleh EMKL/PPJK), dan kemudian importer akan menghitung sendiri pajak dan bea masuk yang harus dibayarkan berkaitan dengan impor barang tersebut.
74
B. Permasalahan Produk Mainan Impor Yang Berbahaya Selama ini, banyak produk mainan impor yang mengandung bahan berbahaya seperti timbal (Pb). Mainan impor tersebut pada umumnya berasal dari berbagai Negara. Bukan hanya produk makanan yang dicurigai mengandung bahan pengawet berbahaya, mainan anak-anak produk impor pun banyak yang mengandung bahan pengawet berbahaya. Asosiasi Penggiat Mainan
Edukatif
dan
Tradiosional
Indonesia
(Apmeti)
baru
saja
mengumumkan 80 persen mainan produk impor yang beredar di Indonesia mengandung racun dan logam berat. Mainan tersebut sebagian besar terbuat dari plastik, seperti bola, mobil-mobilan dan boneka. Harga mainan ini lebih murah 50 persen dari produk lokal. 48) Bahan-bahan yang tercampur dalam mainan itu jika terkena panas akan mengurai. Dalam waktu tertentu anak-anak yang menggunakan mainan itu bisa terkena autis, sakit pernapasan dan lemah konsentrasi, karena menghirup racun. Amerika Serikat lebih dulu menghentikan impor mainan, kita baru sadar sekarang dan baru akan mengambil sikap. Tetapi pemerintah hendaknya bijaksana dalam menyikapi banyaknya produk impor yang mengandung racun. Yang pertama dan utama harus dilindungi adalah masyarakat, khususnya anak-anak yang menjadi konsumen utama permen, gula-gula, manisan dan mainan. Kalau hanya demi hubungan baik dan devisa harus mengorbankan rakyat, tentunya kurang bijak. Karena itu
48) )
Ahmadi Syaiful, “Mainan Impor Berbahaya” http://greasy.com/Komparta/mainan_Impor_berbahaya.html, di-download tanggal 15 Agustus 2009 Pukul 19.30 WIB.
75
kebijakan menghentikan impor produk-produk berbahaya jangan dikalahkan kepentingan sesaat. Sementara itu, kita sadar perlindungan masyarakat dari produk-produk impor yang berbahaya masih lemah. Salah satu buktinya, sampai saat ini Indonesia belum memiliki badan pengawas dan perlindungan khusus untuk produk mainan impor yang menyalahi prosedur perizinan atau mengandung zat berbahaya, seperti merkuri. Sejauh ini, badan pengawas yang ada baru untuk produk makanan dan obat-obatan, yakni BPOM. Padahal prosedur perizinan produk mainan dengan makanan dan minuman sangat berbeda. Pada makanan dan minuman, ada nomor izin tertulis yang tertera dalam kemasan. Sementara pada produk mainan, tidak ada nomor izin. Dalam kasus makanan dan minuman yang bila suatu saat ditemukan jenis makanan/minuman yang berbahaya, produk bisa ditarik dari pasar dan produsen/pengedar bisa dituntut. Namun untuk menarik produk mainan (yang berbahaya atau mengandung zat berbahaya), prosedur hukumnya masih belum jelas. Terdapat dua kelemahan pemerintah berkaitan dengan perlindungan konsumen yang memakai produk bergerak, seperti mainan anak-anak. Hal ini terbukti dengan maraknya mainan anak-anak buatan China dengan aneka warna yang menarik dan harganya relatif murah dijual di Indonesia, hal ini sangat perlu diwaspadai oleh masyarakat umum. Unsur timbal yang terkandung pada mainan anak-anak buatan China tersebut diduga sangat tinggi dan melewati batas yang diizinkan untuk kesehatan manusia. Hal itu yang menjadi penyebab utama mainan berbahaya bagi anak-anak.
76
Menurut peneliti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) I.r Ilyani S Andang, menyatakan produk-produk mainan yang mengandung zat racun timbal mesti segera ditarik dari pasaran. “Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mencegah anak-anak agar tidak mengalami gangguan kesehatan dari mainan yang mengandung zat berbahaya tersebut,”. Dampak yang ditimbulkan dari zat timbal tidak bisa dideteksi sedini mungkin, tetapi efeknya bisa timbul beberapa tahun mendatang, setelah ada akumulasi dalam tubuh si anak. Ia juga menjelaskan, efek zat timbal itu bisa merusak hati, penyakit liver dan penyakit ginjal. 49) Staf pengajar jurusan teknik kimia Fakultas Teknik Undip Dra Wahyuningsih, M.Si, mengatakan bahwa timbal termasuk salah satu bahan logam yang berbahaya bagi kesehatan selain logam Merkuri. “Kandungan timbal yang tinggi dapat menyebabkan keracunan kronik pada otak dan mengganggu sistem syaraf tubuh. Khususnya pada anak-anak, yang suka mengulum dan mencium mainan,” ujarnya. Menurut dia, unsur timbal ini dapat menyebabkan penyakit pernafasan dan pencernaan akut. Unsur timbal juga berisiko tinggi merusak kerja sistem metabolisme tubuh seperti ginjal dan hati.50) Mudahnya mainan produksi Cina diperjualbelikan di Indonesia disebabkan, belum adanya Undang-undang khusus yang melindungi atau mengatur keberadaan produksi mainan, seperti UU 7/1996 tentang Pangan. Dengan demikian ketika terdapat kandungan zat kimia berbahaya dalam 49) 50)
ibid ibid
77
produk mainan, pemerintah tidak memiliki kekuatan hukum untuk memberikan sanksi terhadap pelakunya. Selain itu, pemerintah tidak memberi nomor registrasi pada produk mainan impor, sebagaimana yang lazim tertera pada setiap produk makanan. Dengan begitu sulit untuk mencari tahu siapa yang harus bertanggung jawab apabila ditemukan mainan yang mengandung zat berbahaya bagi anak-anak. Bila nanti ditemukan mainan yang mengandung merkuri, misalnya, masyarakat tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Meski belum diketahui siapa yang salah, bukan berarti mainan impor berbahaya itu dibiarkan meracuni anak-anak Indonesia. Dengan demikian, Pemerintah sudah seharusnya menangani cepat kasus ini dan pencegahan sedini mungkin perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan, unsur timbal banyak digunakan sebagai bahan pembuatan cat atau pewarna mainan anak, seperti mobil-mobilan dan robot. Belum kuatnya peraturan baku standar kandungan logam pada mainan anak dan lemahnya pemerintah (Bea Cukai) membatasi impor barang tersebut membuat masalah ini semakin memprihatinkan. Selain itu, sangat dibutuhkan keseriusan dari pemerintah guna meminimalisir peredaran mainan impor yang mengandung racun timbal dikarenakan mainan, sandal, dan sepatu buatan China ke Indonesia banyak dibeli oleh konsumen karena harganya yang dijual murah dan Pemerintah harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan anak-anak, tanpa harus menunggu lahirnya Undang-undang.
78
C. Peranan Pemerintah Terhadap Produk Impor Yang Membahayakan Konsumen Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha, serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha, pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen tersebut meliputi:51) a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; c. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia, serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. Ini berarti bahwa Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen juga mengakui adanya hak-hak dari konsumen untuk membentuk organisasi yang dianggap dapat membantu maupun melindungi kepentingan merekaq dalam berhadapan maupun berdialog dengan pelaku usaha, serta untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan penerapan ketentuan Peraturan
perlindungan konsumen, serta
perundang-undangan, bersama dengan
pemerintah.
51)
Buletin Perlindungan Konsumen, Mendirikan Dan Memberdayakan Konsumen Indonesia, Edisi 003. PDN.5-2004, Departemen Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia. Hlm. 2.
79
Organisasi, lembaga atau badan, serta fungsi, tugas, susunan organisasi maupun keanggotaan, yang dapat dibentuk berdasarkan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen. 1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Salah satu badan yang diatur secara khusus dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, adalah BPKN yang mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan
perlindungan
kosumen
di
Indonesia.
BPKN
berkedudukan di ibu kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada presiden. Adapun tugas dari BPKN : a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan dibidang perlindungan konsumen; b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen; c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen; d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; e. Menyebarluaskan informasi melalui media tentang perlindunga konsumen, dan memasyarakatkansikap kepribadian kepada konsumen; f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; g. Melakukan survey yang menyangkut kebutuhan konsumen. Untuk membiayai operasional BPKN dibebankan kepada APBN dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
80
2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Selain lembaga yang resmi dibentuk oleh pemerintah, menurut ketentuan dalam Bab VIII Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, pemerintah dalam Bab IX, Pasal 44 memungkinkan dibentuknya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. LPKSM diberikan kesempatan berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. Dalam rumusan Pasal 44 ayat (3), dikatakan bahwa lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dank ehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlikannya; c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. D. Penyelesaian Sengketa. Undang-undang tentang perlindungan konsumen dalam Pasal 23 mengatakan bahwa:”apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha distributor menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan perselisihan yang timbul
81
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan ditempat kedudukan konsumen” Disini terlihat bahwa Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen memberikan alternative penyelesaian sengketa melalui badan diluar sistem peradilan yang disebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), selain melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen. 1. Penyelesaian Sengketa Dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen. Maslah penyelesaian sengketa dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam Bab X yang terdiri dari empat Pasal yaitu, Pasal 45 sampai dengan Pasal 48. Jika kita mebaca dalam rumusan yang diberikan pasal-pasal tersebut, dan beberapa ketentuan yang diatur dalam Bab XI Undangundang Perlindungan Konsumen tentang BPSK, ada dua hal pokok yang dapat dikemukakan disini, yaitu: 1. Penyelesaian sengketa diluar Pengadilan melalui BPSK bukan suatu keharusan untuk ditempuh konsumen sebelum pada akhirnya sengketa tersebut diselesaikan melalui lembaga peraqdilan. Walaupun demikian, hasil keputusan BPSK memiliki suatu daya hukum yang cukup untuk memberikan shock theraphy bagi pelaku usaha yang nakal, karena putusan tersebut dapat dijadikan bukti permulaan bagi penyidik. Ini berarti penyelesaian sengketa melalui BPSK, tidak menghilangkan
82
tanggung jawab pidana menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Untuk mengakomodasi kewenangan yang diberikan oleh undangundang tentang Perlindungan Konsumen kepada BPSK selaku lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan persengketaan konsumen diluar pengadilan, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen memberikan kewenagan kepada BPSK untuk menjatuhkan sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang melanggar larangan-larangan tertentu yang berlaku bagi pelaku usaha. BPSK sebagai suatu lembaga penylesaian perselisihan diluar pengadilan
dalam
memutuskan
pelaksanaan
atau
penetapan
eksekusinya harus meminta keputusan dari pengadilan. 2. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen , membedakan jenis gugatan dapat diajukan ke BPSK berdasarkan persona standi in judicio, rumusan Pasal 46 ayat (1) yang menyatakan bahwa setyiap gugatan atau pelanggaran oleh pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. Seorang konsumen yang dirugukan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsuman yang mempunyai kepentingan yang sama; c. LPKSM yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
83
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan aggaran dasarnya; d. Pemerintah dan/atau instansi apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit. Hal ini merupakan aturan umum. Karena itu dalam ketentuan Pasal 46 ayat (2) ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, LPKSM, atau pemerintah sebagaimana pada huruf b, huruf c, dan huruf d diatas hanya dapat diajukan kepada peradilan umum. Ketentuan tersebut sebenarnya hanya berupa penegasan kembali dari ketentuan Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini, tidak menutup kemungkinan dilakukan penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa, selalu diupayakan untuk menyelesaikan secara damai diantara kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa sacara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau BPSK, dan
84
tidak
bertentangan
dengan
Undang-undang
tentang
Perlindungan
Konsumen. 2. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk pemerintah ditiap-tiap Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa kinsumen diluar pengadilan. Uraian mengenai kelembagaan dan keanggotaan, tugas dan wewenang serta penyelesaian sengketa oleh BPSK dengan ditempuh secara khusus dalam Bab XI Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, yang dimulai dari Pasal 49 sampai dengan Pasal 58. Menurut Pasal 52, Bpsk mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: a. Melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. Melaprkan keada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini; e. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
85
g. Memanggil
pelaku
usaha
yang
diduga
telah
melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui terhadap pelanggaran terhadap Undang-undang ini; i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK; j. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tudak adanya kerugian di pihak konsumen; l. Memberikan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Keanggotaan BPSK terdiri dari unsur pemerintah, unsur konsumen dan pelaku usaha, dengan ketentuan bahwa setiap unsur diwakili oleh sedikitdikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustian dan Perdagangan.
86
3. Penyelesaian Sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen BPSK membentuk majelis, dengan jumlah anggota yang harus berjumlah ganjil, yaitu terdiri sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur, dan dibantu oleh seorang panitera. Menurut ketentuan Pasal 54 ayat (4), ketentuan teknis dari pelaksanaan tugas majelis BPSK yang akan menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen yang diserahkan kepadanya dalam janka waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK. Lembaga penyelesaian diluar pengadilan, yang dilakukan melalui BPSK ini memang dikhususkan bagi konsuman perorangan yang memiliki perselisihan dengan pelaku usaha. Sifat penyelesaian sengketa yang cepat dan murah yang memang dibutuhkan oleh konsumen perorangan tampaknya sudah cukup terakomodasi dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen.
BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN PRODUK IMPORT MAINAN ANAK YANG MENGANDUNG UNSUR BERBAHAYA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen dari Produk Impor Mainan Anak-Anak yang Mengandung Unsur Berbahaya. Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 21 ayat (1) menyebutkan bahwa:” Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri”. Walaupun importir bertanggung jawab sebagai pembuat barang diimpor dan/atau sebagai penyedia jasa asing, akan tetapi tidak bisa ditafsirkan kedalam kedudukan sebagai perwakilan. Oleh karena itu jika perwakilan memberikan konsekuensi seolah importir sebagai penghubung kepentingan konsumen dengan pembuat barang impor atau penyedia jasa asing yang tunduk pada ketentuan UUPK, tetapi tidak menjangkau pelaku usaha asing. Dalam hubungan ini bisa dilihat, UUPK menempatkan importir dan/atau sebagai penyedia jasa asing, yang bertanggung jawab secara mandiri terhadap konsumen yang menderita kerugian akibat produk yang diedarkannya
87
88
sekalipun penyebab kerugian konsumen adalah cacat produksi dari produsen luar negeri. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian yang diderita importir yang disebabkan oleh cacat produksi barang dan/atau jasa impor, menjadi urusan pribadi importir yang bersangkutan. Importir dapat menuntut produsen luar negeri, tetapi bukan mewakili konsumen Indonesia dan tidak berdasarkan UUPK, melainkan berdasarkan ketentuan dalam kontrak dagang internasional. Ketentuan dalam Pasal 8 merupakan satu-satunya ketentuan umum yang berlaku secara general bagi kegiatan usaha dari para pelaku usaha pabrikan atau distributor di Negara Republik Indonesia. Larangan tersebut meliputi kegiatan pelaku usaha untuk melaksanan kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa yang: a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan; b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut jumlah yang sebenarnya; d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau ketentuan barang dan/atau jasa tersebut; e. Tidak sesuai, dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etika, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik dalam barang tersebut;
89
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat; j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undangundang Perlindungan Konsumen dapat dibagi kedalam dua larangan pokok, yaitu: a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai dan dimanfaatkan oleh konsumen; b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen. Perlindungan terhadap konsumen seharusnya terealisasi, dimana telah jelas dan kuat secara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 Undang– undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, yang menyatakan: 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
90
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4. Pemberian ganti rugi sebagai mana dimaksud pada ayat(1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Namun dalam kenyataannya, manusialah yang menjadi penghambat atas pelaksanaan Perlindungan Konsumen, terlepas dari manusia sebagai konsumen itu sendiri manusia juga sebagai pelaku usaha. Adapun penghambat yang ada adalah: a. kelalaian; b. kecerobohan; c. ketidaktahuan, dan d. kurangnya pengetahuan. Dari hal diatas kelalaian sering sekali mejadi faktor yang menghambat pelaksanaan Perlindungan Konsumen, dimana manusia sebagai konsumen terkadang lalai dan tidak memeperhatikan dengan benar apa maksud dan tujuan pesan yang sebenarnya.
91
Faktor kecorobohan ini sering juga terjadi baik oleh konsumen sendiri atau pelaku usaha. Pada konsumen kecerobohan bukanlah menjadi hal yang jarang terjadi, justru kecerobohan sering sekali ada. Semua dikarenakan kurangnya pengetahuan konsumen tentang produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Sehingga pada akhirnya konsumen yang menjadi pihak yang sering kali mengalami kerugian. Sementara itu untuk pelaku usaha, faktor kecerobohan sering terjadi dan menjadi penghambat dalam pelaksanaan Perlindungan Konsumen. Sebagaimana Pelaku Usaha hanya lebih memperhatikan materi.
B. Upaya Konsumen dan Pemerintah Dalam Penyelesaian Masalah Mengenai Produk Impor Mainan Anak yang Mengandung Unsur Berbahaya Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Konsumen sebagai pengguna produk mainan tersebut bersama pemerintah sudah seharusnya berupaya untuk mengatasi produk impor mainan yang mempunyai dampak buruk bagi anak-anak. Adapun usaha-usaha yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
Pemerintah melakukan penyuluhan mengenai pentingnya pengetahuan atas hukum Perlindungan Konsumen kepada masyarakat sebagai konsumen, dengan melakukan berbagai macam sosialisai, penataran, seminar,
mengenai
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
No.8
Tahun
1999
tentang
92
2.
Pemerintah harus segera menerbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk mainan. Standarisasi ini perlu, sebagai pegangan bagi aparat di lapangan untuk memeriksa sekaligus menarik produk impor yang berbahaya yang diperdagangkan secara bebas di pasaran. Langkah itu beralasan dilakukan karena aneka produk mainan impor, baik yang masuk secara legal maupun ilegal, menguasai pasar produk mainan di Indonesia. Selain murah, aneka warna produk mainan impor juga amat menarik.
3.
Pemerintah dan konsumen bekerjasama untuk senantiasa mengawasi dan segera melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila mengetahui adanya pelaku usaha yang dengan sengaja menjual mainan yang mengandung bahaya di pasaran. Selama ini Indonesia tidak mempunyai standarisasi terhadap mainan
yang boleh masuk dengan kategori tertentu, sulit untuk menyeleksi produk mainan yang aman untuk kesehatan, khususnya terhadap anak-anak. SNI produk mainan harus segera dikeluarkan sebelum berdampak serius terhadap anak-anak. Pemerintah tidak bisa mendiamkan masalah ini. Pemerintah harus tanggap dengan melakukan pemeriksaan ke pasar-pasar. Apabila terbukti membahayakan kesehatan, seharusnya pemerintah berani bertindak cepat dengan melarang impor produk mainan impor ini. Produk mainan yang masuk secara legal ke Indonesia seharusnya menginformasikan kandungan bahan-bahan yang digunakan. Soal itu harus disampaikan dalam bahasa Indonesia sehingga mudah dipahami masyarakat. Sementara itu, pengawasan atas peredaran produk mainan impor sulit
93
dilakukan. Karena Indonesia belum memiliki SNI untuk produk-produk tersebut. Tetapi jika sudah meresahkan masyarakat, pihak yang bersangkutan bisa mengambil sampel untuk diteliti. Jika diperlukan, importir bersangkutan akan dipanggil demi kepentingan penyidikan. Selain itu konsumen dapat mengajukan gugatan perdata sebagai ganti rugi akibat memakai barang tersebut. Walaupun belum adanya Undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai mainan yang berbahaya tetapi hal tersebut dapat diselesaikan melalui Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen yang diatur dalam UUPK Pasal 45 Ayat (1), terdapat dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa konsumen tersebut, yaitu: a. Melalui lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha b. Melalui peradilan yang berada di lingkup peradilan umum.
1. Melalui BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah di tiap-tiap Daerah Tingkat II untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Undang-undang
Perlindungan
Konsumen
dalam
upaya
memberdayakan konsumen untuk menuntut haknya terhadap pelaku usaha, menentukan bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha di tempat konsumen bersangkutan berdomisili. Namun, cukup menyulitkan jika konsumen tersebut menuntut pelaku usaha melalui
94
lembaga peradilan umum. Cara-cara yang di tempuh oleh konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen adalah: a. Arbitrase Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdsata diluar pengadilan formil yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Di Indonesia telah lama dibentuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia, sejak 30 November 1977, berdasarkan Surat Keputusan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Nomor SKEP/152/ DPH/1977. Penyelesaian sengketa melalui peradilan Arbitrase dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, jika para puhak tersebut telah mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian yang menjadi pokok sengketa atau mengadakan pokok perjanjian arbitrase setelah adanya sengketa di antara mereka. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase ini karena putusannya
langsung,
final
dan
mempunyai
kekuatan
hukum
eksekutorial jika telah didaftarkan ke pengadilan negeri, sehingga apabila pihak yang telah dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang dimenangkan dapat meminta eksekusi kepada pengadilan. Namun, terdapat perbedaan antara arbitrase dengan alternative penyelesaian sengketa yang lain yaitu:
95
1. Biaya Mahal Karena walaupun secara teori biayanya lebih murah daripada penyelesaian melalui pengadilan umum atau secara litigasi, namun berdasarkan pengalaman dan pengamatan, biaya yang dikeluarkan hamper sama dengan biaya yang dikeluarkan dengan menempuh jalur litigasi, karena terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan dan terkadang biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar daripada biaya litigasi. Komponen biaya tersebut terdiri atas biaya administrasi, honor arbiter, serta biaya saksi dan ahli. 2. Penyelesaian yang lambat Karena walaupun banyak sengketa yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu 60 hari sampai 90 hari, namun banyak juga penyelesaian yang memakan waktu panjang, bahkan ada yang bertahu-tahun, apalagi jika dalam pemilihan hukum yang ditetapkan “choice of law” , maka penyelesaiannya akan bertambah rumit dan panjang. Berkenaan dengan penyelesaian melalui arbitrase, Goodpaster, dkk. Meyatakan bahwa bahwa sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase seringkali lebih cepat, tidak terlalu formal dan lebih murah daripada proses formal di perdilan umum. Lebih cepat karena para pihak tidak perlu menunggu dalan antrian proses litigasi pengadilan dan perkara mereka tidak mengenal pemeriksaan pendahuluan yang ekstensif,
senagaimanadalam
pengadilan.
Sementara
perkara
96
penyelesaian sengketa berlangsung, para pihak dapat terus melaksanakan kegiatan bisnis mereka tanpa perlu merasakan kekecewaan yang terjadi dalam
proses
pengadilan.
Faktor-faktor
serupa
ini
membantu
mengurangi biaya pemeriksaan. Jadi, arbitrase juga seringkali lebih murah daripada proses litigasi di peradilan umum, sebab tidak ada upaya hukum terhadap putusan arbitrase. 52) 2. Konsiliasi Konsiliasi merupakan salah satu alternative penyelesaian sengketa yang juga bisa ditempuh konsumen di luar pengadilan, yang diartikan sebagai : “An independent (conciliator) brings the parties together and encourage a mutually acceptable of the dispute by facilitating communication between the parties”.53) Penyelesaian sengketa ini bayak memiliki kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan permasalahan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun demikian, pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikatnya seperti putusan arbitrase. 3. Mediasi Mediasi
adalah
alternative
penyelesaian
sengketa
dimana
permasalahan diserahkan kepada seorah mediator yang memberikan 52)
Gery Goodpaster, dkk. Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang secra Umum dan Arbitrase Dagang Indonesia, dalam arbitrase Indonesia – Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 20. 53)
Lamuel W. Dowdy. et. Al., Preapered by Consumer Dispute Resulution Program staff Attorney, Federal Trade Commision- Division of Product Realibity, Washington, D.c., hlm. 5, dikutip dari Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 254.
97
pandangan-pandangan
hukumnya mengenai sengketa yang sedang
dipermasalahkan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, namun dalam hal ini para pihak mengusahakan kepada mediator untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka.54) Menurut Kovact, sebagaimana dikutip oleh Suhud Margono mediasi adalah “Facilitated negotiation, it process by which a neutral third party, the mediator, assist disputing parties in reaching a mutually satisfaction solution.” 55) Dari rumusan tersebut di atas, dapat ditarik beberapa hal penting yaitu : a. Mediasi
adalah
proses
penyelesaian
sengketa
berdasarkan
perundingan; b. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa dalam perundingan; c. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penylesaian;
54)
Gary Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengeta, artikel dalam arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 11, dikutip dari Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law : Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 180. 55)
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase : Prose Pelembagaan dan Aspek Hukum,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 65, dikutip dari Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyber law : Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 181.
98
d. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung; e. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yamh dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa. Penegakan perlindungan hukum terhadap konsumen perlu diterapkan, hal ini ditunjang dengan dibuatnya suatu undang-undang tentang perlindungan konsumen yang merupakan penetapan dari perintah UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum didalam setiap kepentingan masyarakat, ketidakpastian akan perlindungan hukum terhadap konsumen merupakan hambatan pada upaya perlindungan konsumen. Pada kenyataannya telah terbentuk suatu lembaga yang bertujuan untuk membawa konsumen dalam mempertahankan haknya sebagai konsumen yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, akan tetapi para konsumen tetap masih enggan menempuh melalui lembaga peradilan bagi dirinya sehingga lebih bersifat pasrah terhadap apa yang dialaminya. Suatu produk yang cacat bila produk tidak aman dalam penggunaannya tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana diharapkan dengan pertimbangan berbagai keamanan, terutama tentang : a. penampilan produk b. penggunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk. c. saat produk tersebut diedarkan Selanjutnya pasal 1367 KUHPerdata sangat tepat sebab tanggung jawab mutlak terhadap produsen untuk memberikan ganti rugi kepada
99
konsumen akibat dari kerugian yang dialami konsumen yang disebabkan oleh barang yang cacat dan berbahaya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Pengawasan pemerintah terhadap pelaku usaha/ dan atau importir dalam hal ketersediaan produk impor mainan dilakukan dengan berbagai macam cara dan aturan, akan tetapi pemerintah belum mempunyai Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mainan. Standarisasi ini perlu, sebagai pegangan bagi aparat di lapangan untuk memeriksa sekaligus menarik produk impor yang berbahaya yang diperdagangkan secara bebas di pasaran. Langkah itu beralasan dilakukan karena aneka produk mainan impor, baik yang masuk secara legal maupun ilegal, menguasai pasar produk mainan di Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 (1) UUPK yang berisi mengenai pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Upaya Konsumen dan Pemerintah Dalam Penyelesaian Masalah Mengenai Produk Impor Mainan Anak 1.Pemerintah melakukan penyuluhan mengenai pentingnya pengetahuan atas hukum Perlindungan Konsumen kepada masyarakat sebagai konsumen, dengan melakukan berbagai macam sosialisai, penataran,
100
101
seminar, mengenai Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2.Pemerintah harus segera menerbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk mainan. Standarisasi ini perlu, sebagai pegangan bagi aparat di lapangan untuk memeriksa sekaligus menarik produk impor yang berbahaya yang diperdagangkan secara bebas di pasaran. 3.Pemerintah dan konsumen bekerjasama untuk senantiasa mengawasi dan segera melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila mengetahui adanya pelaku usaha yang dengan sengaja menjual mainan yang mengandung bahaya di pasaran. Selain itu konsumen dapat mengajukan gugatan perdata sebagai ganti rugi akibat memakai barang tersebut. Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen yang diatur dalam UUPK Pasal 45 Ayat (1), terdapat dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa konsumen tersebut, yaitu: a.Melalui lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha b.Melalui peradilan yang berada di lingkup peradilan umum. c.Penyelesaian perkara diluar pengadilan yaitu: 1. Arbitrase Cara penyelesaian suatu sengketa perdsata diluar pengadilan formil yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. 2. Konsiliasi
102
Penyelesaian sengketa ini banyak memiliki kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan permasalahan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun demikian, pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikatnya seperti putusan arbitrase. 3.Mediasi alternatif penyelesaian sengketa dimana permasalahan diserahkan kepada seorang mediator yang memberikan pandangan-pandangan
hukumnya
mengenai sengketa yang sedang dipermasalahkan.
B. Saran 1. Sudah seharusnya pemerintah mengoptimalkan pengawasanya terhadap para pelaku usaha dalam hal ketersediaan produk mainan impor hingga ke konsumen. Pemerintah tidak hanya meningkatkan pengawasan saja tetapi harus dengan tegas mengamalkan UUPK yakni yang tertera dalam Pasal 8 (4) yang berisi,
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menarikny dari peredaran, dan pemerintah harus segera membuat Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk mainan. Peran serta masyarakat pun yang dalam hal ini sebagai konsumen sangat diperlukan untuk ikut serta dalam mengawasi dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib, apabila terdapat pelaku usaha yang melanggar aturan yang sudah di tetapkan di dalam UUPK.
103
2. Faktor- faktor yang yang dapat menyelesaikan masalah mengenai Produk Impor Mainan Anak; 1. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam usaha perlindungan terhadap konsumen dibutuhkan kodifikasi hukum atas adanya suatu bentuk ketentuan yang khusus mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen. 2. Disamping itu pengkodifikasian terhadap ketentuan perlindungan hukum konsumen diperlukan juga pembaharuan terhadap prosedur pengajuan gugatan oleh konsumen terhadap produsen. Pembaharuan ini apalagi setelah keluarnya UU No. 8 Tahun 1999 diharapkan masyarakat tidak merasa enggan untuk mempertahankan haknya sebagai konsumen. 3. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merupakan lembaga swadaya masyarakat diharapkan dapat lebih efektif lagi dalam upaya perlindungan konsumen dimana konsumen tidak selalu mengetahui keberadaan barang yang dikonsumsinya.