BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Seiring pertumbuhan ekonomi dewasa ini, saat ini Pajak menjadi tulang
punggung bagi penerimaan Negara. Lebih dari 80% penerimaan Negara bersumber dari penerimaan Pajak. Dalam rangka mengamankan penerimaan Negara tersebut maka Negara melalui Direktorat Jendral Pajak senantiasa melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan Pajak baik melalui intensifikasi maupuan ekstensifikasi. Salah satu program dalam intensifikasi Pajak adalah melalui penyusunan rasio total bencmarking yang didasarkan atas surat edaran Nomor SE139/PJ/2010. Lahirnya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah merubah banyak Aspek Tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan. Mulai tahun pajak 2009 Pemerintah menerapkan tarif Pajak tunggal yaitu 28% dan tahun Pajak 2010 diturunkan lagi menjadi 25%. Pada saat situasi perekonomian Indonesia yang belum membaik, persaingan tarif dengan Negara lain dan desakan era pasar bebas, justru menjadi peningkatan yang sangat signifikan dari target peneriman Negara yang berasal dari Pajak yang tercantum dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2010. 1
2
Upaya tambahan dalam rangka mencapai target penerimaan tersebut Direktoran Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) melakukan upaya-upaya empat langkah sebagai berikut : 1. Melanjutkan reformasi birokrasi, yaitu meningkatkan sumber daya manusia dalam rangka mengisi reformasi jilid II yang terdapat enam pilar utama yang harus dilaksanakan diantaranya berkaitan dengan sumber daya manusia, seperti rekruitmen yang terbaik, training-training yang terspesialisasi, peningkatan kemampuan bahasa (Jepang, Mandarin) dan memperdalam pengetahuan teknologi informasi. 2. Memberikan insentif perpajakan kepada kelompok usaha dan atau sektorsektor tertentu sebagai contoh insentif perpajakan antara lain berupa adanya penurunan tariff Pajak Penghasilan sebesar 3% (dari 28% menjadi 25%), penurunan tariff PPh bagi perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) mendapat penurunan PPh Badan sebesar 5%, khusus untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah dengan dimaksukkannya produk pertanian primer sebagai barang tidak kena pajak, penghapusan PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) untuk mendorong berkembangnya industry manufaktur dan fasilitas sektor industri tertentu di daerah tertentu seperti PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah khusus untuk sektor-sektor tertentu.
3
3. Melanjutkan program pemetaan Wajib Pajak, profil Wajib Pajak, dan membuatkan tolak ukur yang menjadi pembanding antara satu Wajib Pajak dengan Industri sejenis. 4. Penegakan Hukum. Semakin meningkatnya pendanaan APBN dari tahun ketahun yang bersumber dari pemerimaan pajak, menuntut keikutsertaan aktif Wajib Pajak dengan semakin meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak. Kepatuhan ini meliputi kepatuhan dalam pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya. Kepatuhan memenuhi Kewajiban Perpajakan secara sukarela (voluntary of compliance) merupakan hal utama dari Self assessment system, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan kemudian secara akurat dan tepat waktu dalam membayar dan melaporkan pajaknya. Dalam rangka meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhdap Wajib Pajak Oleh Kantor Pelayan Pajak, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak telah menyusun rasio total benchmarking. Rasio total benchmarking tersebut dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menilai kewajaran kinerja keuangan dan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak. Rasio total benchmarking memiliki karakteristik sebagai berikut : Rasio Total Benchmarking disusun berdasarkan kelompok usaha, Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio yang berkaitan dengan tingkat laba dan input-input perusahaan. Ada keterkaitan antar rasio benchmark,
4
fokus pada penilaian kewajaran kinerja keuangan dan
kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan. Total benchmarking hanya merupakan suatu alat bantu (supporting tools) yang dapat digunakan oleh aparat pajak dalam membina Wajib Pajak dan menilai Kepatuhan Perpajakannya dalam menganalisis kinerja laporan keuangan perusahaan . Untuk mengetahui kinerja penerimaan Pajak di setiap Negara, salah satu tolak ukur atau indikator yang digunakan adalah tax ratio yaitu, perbandingan antara jumlah penerimaan Pajak yang dibandingkan dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Rasio ini pada umumnya digunakan sebagai salah satu tolak ukur atau indikator untuk melakukan penilaian terhadap kinerja penerimaan perpajakan mengingat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang menunjukkan output nasional merupakan indikator kesejahteraan masyarakat. Salah satu langkah yang bisa ditempuh sesuai dengan Komponen Sistem Perpajakan Inti ( Core Tax System ) pada PINTAR ( Program for Indonesian Tax Administration Reform ) adalah Program Benchmarking Perpajakan untuk setiap sektor usaha, yang bertujuan untuk menilai kewajaran kinerja keuangan dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Wajib Pajak yang memiliki kinerja keuangan yang lebih rendah daripada benchmark, tidak selalu berarti Wajib Pajak tersebut tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Namun, dalam aplikasinya Wajib Pajak yang memiliki
5
kinerja keuangan dibawah benchmark dianggap tidak patuh. Selain itu, terdapat anggapan dari Wajib Pajak bahwa benchmark yang ditetapkan terlampau tinggi dan tidak menggambarkan keadaan riil dari Wajib Pajak di Indonesia. Benchmarking ini secara metodelogi sangat penting dalam mendiagnosa permasalahan yang ada dalam suatu sistem perpajakan di suatu Negara. Dengan melakukan perbandingan atau Benchmarking ini suatu Negara dapat melihat komparasi antara negaranya dengan standar internasional. Hasil dari analisa Benchmarking ini dapat menjadi awal dari penelusuran masalah yang lebih mendalam. Beberapa hal yang menjadi objek Benchmarking antara lain : struktur perpajakan (tax structure), kinerja penerimaan (revenue performance), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), struktur organisasi (tax administration organization), SDM, system, kerangka Hukum, dan factor-faktor lain yang berhubungan dengan bagaimana sebuah system perpajakan berjalan. Masing-masing faktor mempunyai indikator-indikator yang lebih detail baik kuantitatif maupun kualitatif. Dari hasil Benchmarking tersebut diharapkan dapat diketahui secara persis permasalahan yang masih timbul dan penyesuaian-penyesuaian yang perlu dilakukan sekaligus mengetahui posisi tawar Negara kita dalam menarik investor dengan data perbandingan yang ada. Satu Benchmarking yang benar-benar menyeluruh akan lebih
6
memberikan gambaran dan arahan prioritas-prioritas perbaikan system perpajakan yang harus segera dilakukan. Kepatuhan Wajib Pajak dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakkannya. Wajib Pajak yang patuh adalah Wajib Pajak yang sadar Pajak, paham atas hak dan kewajiban perpajakannya, dan diharapkan peduli pajak yaitu melaksanakan perpajakkannya dengan benar. Benchmarking dalam dunia bisnis merupakan suatu proses sistematik dalam membandingkan produk, jasa atau praktik suatu organisasi terhadap kompetitor atau pemimpin industri untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tingkat kinerja yang tinggi. Dalam melakukan benchmarking , suatu organisasi membandingkan nilai-nilai tertentu (dari dalam organisasi) dengan suatu titik referensi atau standar keunggulan yang sebanding. Dengan melakukan perbandingan tersebut, perusahaan dapat melakukan evaluasi yang kemudian dapat menentukan langkah yang sistematik dan terarah untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Model ini diadopsi pula oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka melaksanakan fungsinya memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak. Dengan berasumsi bahwa Wajib Pajak dengan karakteristik yang sama akan cenderung memiliki perilaku bisnis yang sama, kondisi keuangan dan perpajakan masing-masing Wajib Pajak dapat dibandingkan dengan suatu benchmark yang memiliki karakteristik Wajib Pajak yang bersangkutan. Dengan melakukan
7
pembandingan tersebut, diharapkan Direktorat Jenderal Pajak dapat secara sistematis mendeteksi Wajib Pajak dengan risiko ketidakpatuhan yang tinggi, untuk kemudian dapat dilakukan tindak lanjut yang sesuai. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melihat kembali apakah rasio total benchmarking yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pajak memang terlalu tinggi dan tidak menggambarkan keadan riil dari Wajib Pajak di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan membandingkan rasio total benchmarking yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pajak dengan rasio hasil perhitungan di sektor perdagangan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penggunaan
perusahaan disektor perdagangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini dikarenakan perusahaan disektor perdagangan adalah salah satu KLU penyumbang pajak terbesar kepada Negara dan dalam pelaporan keuangan sudah dianggap sesuai dengan PSAK 46, sehingga data dan pelaporan keuangan dianggap dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal intensifikasi potensi pajak sektor-sektor
strategis, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak (DJP), masih mengandalkan Sembilan sektor strategis yaitu : Industri pengolahan; Perdagangan Besar dan Eceran (PBE); Perantara Keuangan; Pertambangan; Real Estate; Usaha Persewaan, dan Jasa Perusahaan; Transportasi; Pergudangan dan Komunikasi (TPK); Konstruksi; Pertanian, Perburuan dan Kehutanan (PPK); Penyedia Listrik, Gas, dan Air (LGA). ( lihat Tabel 1.1)
8
Oleh karena itu penelitian ini diberi judul “ ANALISIS RASIO TOTAL BENCHMARKING SEBAGAI ALAT MENILAI KEWAJARAN LAPORAN KEUANGAN DAN TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK PADA SEKTOR PERDAGANGAN. “
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah Rasio dalam Laporan Keuangan Perusahaan di Sektor Perdagangan sudah sesuai dengan ketentuan perpajakan ( Ratio Total Benchmarking ) ? 2. Seberapa tinggi tingkat kewajaran dan kepatuhan perusahaan di sektor perdagangan sebagai wajib pajak terhadap kewajiban perpajakan ?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
penelitian ini adalah :
9
1.3.1
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah Rasio dalam Laporan Keuangan Perusahaan di sektor perdagangan sudah sesuai dengan Ketentuan Perpajakan ( Rasio total benchmarking ) 2. Untuk mengetahui dan menganalisis seberapa tinggi tingkat kewajaran dan kepatuhan Perusahaan di sektor perdagangan sebagai Wajib Pajak terhadap Kewajiban perpajakan.
1.3.2
Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis & Akademis Secara ringkas, manfaat dari hasil penelitian ini ke depannya bagi penulis dan secara akademis adalah penelitian ini akan berguna sebagai upaya pendekatan ilmiah dan analisis akademis terhadap implementasi kebijakan publik terhadap terbitnya Rasio Total Benchmarking yang telah di tetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hal lain dalam kegunaan secara akademis dari penelitian ini adalah untuk melihat masalah-masalah atas implementasi kebijakan Rasio Total Benchmarking sebagai sebuah kebijakan serta memperkaya wawasan dan menambah literature kajian ilmu.
10
2. Bagi Perusahaan / Masyarakat Sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam menentukan rasio total Benchmarking yang sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan juga sebagai tambahan informasi bagi perusahaan untuk mengetahui dampak dari perbedaan rasio yang dapat menyebabkan dilakukannya pemeriksaan.
3. Bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Secara Praktis, hasil analisis dalam penelitian ini cukup berguna untuk menambah referensi dalam menjadikan rasio total Benchmarking secara umum bisa memenuhi kaidah komunikasi, sumber daya dan struktur birokasi dengan harapan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Ke depannya tidak hanya mampu memenuhi target penerimaan pajak tetapi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat mengoptimalkan penerapan sistem administrasi pajak modern melalui upaya peningkatan kepatuhan Wajib Pajak serta dapat di gunakan untuk menambah acuan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengkaji dan menyusun rancangan ketentuan perpajakan. Selain itu bisa menjadi bahan pertimbangan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat segera menambah jumlah data benchmarking untuk tahun 2008 ke atas dan memperluas klasifikasi lapangan usaha dalam rangka meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak.