BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Setiap
individu,
baik
anak,
remaja,
dewasa,
maupun
lanjut
usia
mengharapkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan individu bersifat subjektif. Perasaan bahagia atau tidak bahagia merupakan hasil proses afektif dan kognitif dengan memaknai suatu keadaan ke dalam perasaan. Istilah happiness bersinonim dengan subjective emotional well-being merujuk pada evaluasi subjektif individu terhadap kehidupannya. Oishi, Diener, & Lucas (2009) menyebutkan komponen kebahagiaan meliputi emosi menyenangkan (pleasant emotions), emosi tidak menyenangkan (unpleasant emotions), kepuasan hidup (life satisfaction), dan domain satisfaction. Masing-masing komponen dapat dibagi menjadi aspek spesifik dari pengalaman hidup, misalnya cinta, perkawinan, kesehatan, dan pekerjaan. Sejumlah
literatur
melaporkan
level
kebahagiaan
optimal
memiliki
konsekuensi positif terhadap berbagai domain kehidupan. Menurut ideal functioning
models,
individu
bahagia
dikarakteristikkan
dengan
memiliki
hubungan cinta (loving relationships), memiliki kontribusi terhadap lingkungan sosial dan pekerjaan (Allport; Keyes & Haidt; Maslow; Peterson & Seligman; Rogers; Ryan & Deci; Ryff & Singer; Sheldon, dalam Oishi, Diener, & Lucas 2009). Studi lain melaporkan salah satu prediktor berpengaruh terhadap wellbeing, kebahagiaan, kepuasan hidup, kondisi mental kognitif dan afektif positif yaitu status kesehatan (Larson; Okun & George, dalam Angner, Ghandhi, Purvis, Amante, & Allison 2013).
1
2
PSENI Survey (Poverty and Social Exclusion in Northern Ireland Survey) mengenai masalah kesehatan dan level kebahagiaan. Survei ini berisi pertanyaan evaluasi status kesehatan, menanyakan responden apakah dirinya memiliki masalah kesehatan atau disabilitas (meliputi masalah penglihatan, arthritis dan rheumatism, jantung, tekanan darah, nyeri punggung, asma, diabetes, dan kesehatan mental) dan tingkat keparahan masalah atau disabilitas (sangat parah, cukup parah, tidak parah). Hasil survei menunjukkan adanya relasi antara berbagai jenis masalah dan level kebahagiaan, dari 1545 individu tidak memiliki masalah kesehatan, 72 persen mendeskripsikan bahagia dan hanya 3 persen mendeskripsikan tidak bahagia. Sementara, proporsi individu memiliki masalah kesehatan mendeskripsikan bahagia adalah jauh lebih rendah, dan proporsi mendeskripsikan tidak bahagia adalah jauh lebih tinggi dibanding proporsi individu tidak memiliki masalah kesehatan (Borooah, 2006). Ada hubungan berlawanan (strong inverse relation) antara tingkat keparahan masalah dan proporsi individu merasa bahagia, 32 persen individu dengan masalah jantung sangat parah mendeskripsikan bahagia dan 29 persen mendeskripsikan tidak bahagia. Di sisi lain, 65 persen individu dengan penyakit jantung
tidak
parah
mendeskripsikan
bahagia
dan
hanya
6
persen
mendeskripsikan tidak bahagia. Hasil survei juga melaporkan bagi individu dengan masalah kesehatan, ada perbedaan jelas antara masalah kesehatan fisik dan mental dari segi dampaknya terhadap kebahagiaan. Bagi individu dengan derita fisik parah, diabetes, jantung, dan nyeri punggung menunjukkan proporsi terendah mendeskripsikan bahagia dan proporsi tertinggi mendeskripsikan tidak bahagia. Sementara, individu dengan masalah kesehatan mental (kecemasan dan depresi) menunjukkan hanya 4 persen individu dengan masalah kesehatan
3
mental berat mendeskripsikan bahagia dan 60 persen mendeskripsikan tidak bahagia, hanya 32 persen individu dengan masalah kesehatan mental tidak berat mendeskripsikan bahagia, dan 22 persen individu dengan masalah kesehatan mental cukup berat mendeskripsikan tidak bahagia (Borooah, 2006). Studi di atas menunjukkan level kebahagiaan ditentukan oleh status kesehatan. Individu dengan penyakit serius cenderung melaporkan dirinya tidak bahagia, artinya memiliki level subjective emotional well-being rendah. Individu dengan penyakit serius mengalami peristiwa hidup stressful berpotensi menurunkan level positive affect dan kepuasan hidup, serta cenderung meningkatkan level negative affect. Salah satu penyakit serius yang dapat dialami individu sebagai peristiwa hidup stressful, dapat mengubah kehidupan serta berpotensi menurunkan level kebahagiaan atau emotional well-being adalah penyakit ginjal stadium akhir (endstage renal disease/ESRD). Johnson et al. (dalam Angner et al., 2013) melaporkan pasien penyakit ginjal stadium akhir menjalani dialisis menunjukkan level kualitas hidup rendah, dan level kualitas hidup lebih baik pasca berhasil menjalani transplantasi ginjal. Studi oleh Ginieri-Coccossis, Theofilou, Synodinou, Tomaras, & Soldatos (2008) melaporkan pasien penyakit ginjal stadium akhir menjalani treatment hemodialisis lebih dari empat tahun memiliki kualitas hidup rendah terutama pada domain physical health, social relationships, dan environment. Pasien menjalani treatment hemodialisis kurang dari empat tahun memiliki level tinggi pada kecemasan dan insomnia, pasien menjalani treatment hemodialisis lebih dari empat tahun memiliki kesehatan mental buruk, dan pasien menjalani treatment
4
hemodialisis jangka panjang memiliki level rendah pada domain physical, psychological, dan social well-being. Penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD) merupakan suatu kondisi ditandai oleh menurunnya fungsi ginjal secara bertahap dari waktu ke waktu. Penyakit ginjal kronis adalah kondisi yang merusak ginjal dan menurunkan kemampuan ginjal untuk menjaga individu tetap sehat melakukan aktivitas sehari-hari. Apabila penyakit ginjal semakin memburuk, maka sampah hasil metabolisme dalam darah dapat meningkat dan mengakibatkan individu menjadi sakit, misalnya hipertensi, anemia, nutrisi buruk, dan gangguan saraf. Penyakit ginjal juga meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Beberapa risiko tersebut dapat terjadi secara perlahan dalam jangka waktu panjang. Penyakit ginjal kronis dapat disebabkan oleh diabetes, hipertensi, dan beberapa penyakit. Beberapa simptom penyakit ginjal kronis meliputi merasa lebih cepat lelah dan memiliki sedikit energi, mengalami kesulitan berkonsentrasi, menurunnya nafsu makan, sulit tidur, mengalami kram otot, mengalami bengkak pada beberapa bagian tubuh, dan memiliki kulit kering serta gatal. Pemeriksaan dan pengobatan secara dini dapat menjaga agar penyakit ginjal kronis tidak semakin
memburuk.
Apabila
penyakit
ginjal mengalami progres
dapat
mengakibatkan kidney failure atau end-stage renal disease/ESRD yang membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal untuk bertahan hidup (National Kidney Foundation: About Chronic Kidney Disease, 2013d). Dialisis adalah treatment yang melakukan beberapa hal dilakukan oleh ginjal sehat, artinya dialisis berfungsi untuk menggantikan kerja ginjal. Dialisis diperlukan ketika individu mengalami end-stage renal disease/ESRD, yaitu ketika individu kehilangan sekitar 85 hingga 90 persen fungsi ginjal dan memiliki
5
glomerular filtration rate (GFR) < 15. Glomerular filtration rate (GFR) merupakan tes terbaik untuk mengukur tingkat fungsi ginjal dan menentukan stadium penyakit ginjal. Dokter dapat menghitung glomerular filtration rate dari hasil tes kreatinin darah, usia, jenis kelamin, dan ukuran tubuh (National Kidney Foundation: Glomerular Filtration Rate, 2013). Dialisis berfungsi menggantikan kerja ginjal bagi individu yang mengalami gagal ginjal, dialisis menjaga keseimbangan
tubuh
dengan
mengeluarkan
cairan
dan
sampah
sisa
metabolisme agar tidak menimbun dalam tubuh, menjaga zat kimia tertentu dalam darah agar tetap pada level aman, misalnya kalium, natrium, dan bikarbonat, serta membantu mengontrol tekanan darah (National Kidney Foundation: Dialysis, 2013). Dialisis dapat dilakukan di rumah sakit maupun di rumah. Ada dua jenis dialisis, yaitu hemodialisis dan dialisis peritoneal. Hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh ke sebuah mesin ginjal buatan (artificial kidney machine), dan dikembalikan ke tubuh melalui tabung yang menghubungkan pasien dengan mesin. Mesin dialisis dan filter khusus (artificial kidney/dialyzer) digunakan untuk membersihkan darah. Dokter membuat akses pada pembuluh darah agar darah dapat menuju dialyzer dengan melakukan operasi kecil pada lengan pasien. Hemodialisis berlangsung selama sekitar empat jam dan dilakukan dua hingga tiga kali seminggu dengan bantuan tim medis, dokter dan perawat. Dialisis peritoneal, darah dibersihkan di dalam tubuh pasien. Dokter melakukan pembedahan untuk menempatkan tabung plastik (catheter) di dalam perut pasien untuk membuat akses. Selama treatment, daerah perut (rongga peritoneal) diisi dengan dialysate secara perlahan melalui catheter. Darah tetap berada dalam arteri dan vena melapisi rongga peritoneal. Cairan dan sampah sisa metabolisme
6
dikeluarkan dari darah dan masuk ke dialisat (National Kidney Foundation: Hemodialysis, 2013). Data pasien penyakit ginjal stadium akhir terus meningkat. United States Renal Data System (USRDS) Annual Data Report mencatat tahun 2010 tingkat kasus penyakit ginjal stadium akhir masih cukup stabil, yaitu 348 per juta populasi. Penyakit ginjal stadium akhir akibat diabetes relatif stabil selama dekade terakhir, yaitu 152 per juta populasi, akibat hipertensi menurun 2,0 persen, yaitu 99 per juta populasi, akibat diabetes meningkat empat hingga lima kali lebih tinggi pada pasien African American usia muda. Secara umum, penyakit ginjal stadium akhir meningkat 1,7 persen, yaitu mencapai 1,763 (United States Renal Data System Annual Data Report, 2012). USRDS Annual Data Report (2012) menulis tahun 2010 pasien baru dialisis maupun transplantasi menjalani end-stage renal disease therapy mencapai 116,946, yaitu sekitar 349 per juta populasi. Selama tahun 2010, sejumlah 594,374 menerima treatment, yaitu sekitar 1,763 per juta populasi, menjalani perawatan dialisis mencapai lebih dari 415,000, sementara 179,361 menjalani cangkok (functioning graft), dan 91,001 meninggal dunia. Sejumlah 17,778 melakukan transplantasi ginjal, diantaranya 6,273 dari donor hidup, dan hampir 35,000 masuk dalam daftar tunggu transplantasi. USRDS Annual Data Report (2012) mencatat tahun 2010 prevalensi populasi dialisis meningkat 3,8 persen, yaitu mencapai 415,013, dan saat ini 46 persen lebih besar dari tahun 2000. Prevalensi populasi transplantasi meningkat 4,0 persen, yaitu mencapai 179,361, sementara jumlah insiden meningkat 0,4 persen, yaitu mencapai 116,946. Prevalensi kasus meningkat 1,7 persen, sedikit lebih rendah dari tahun 2009, yaitu 1,9 persen sekitar 1,763 per juta populasi, 21
7
persen lebih tinggi dari tahun 2000. Sejak tahun 2004 tingkat kenaikannya tetap antara 1,7 hingga 2,3 persen. Prevalensi terbesar pada populasi African American dan Native American, yaitu 5,242 dan 2,566 per juta populasi, dibanding kulit putih dan Asia, yaitu sekitar 1,311 dan 2,101. Tingkat insiden yaitu 348 per juta populasi, tingkat tertinggi terjadi di Ohio Valley, sebagian Texas dan California, dan Southwestern States. Di Indonesia, jumlah pasien penyakit ginjal kronis meningkat secara cepat. Hal ini menjadi masalah medis, sosial, dan ekonomi yang dahsyat bagi pasien dan keluarga (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Insiden dan prevalensi penyakit ginjal stadium akhir di berbagai daerah di Jawa dan Bali terus meningkat dari waktu ke waktu (Prodjosudjadi, 2006). Di Indonesia, insiden dari tahun 2002 hingga 2006 secara berurutan adalah 2077, 2039, 2594, 3556, dan 4344. Tingkat insiden per juta populasi setiap tahun secara berurutan adalah 14,5, 14,0, 18,0, 24,6, dan 30,7. Prevalensi dari tahun 2002 hingga 2006 secara berurutan adalah 1425, 1656, 1908, 2525, dan 3079. Tingkat prevalensi per juta populasi secara berurutan adalah 10,2, 11,7, 13,8, 18,4, dan 23,4 (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Di Jawa Timur, menurut kepala instalasi hemodialisis RSU Dr. Soetomo Surabaya, jumlah pasien membutuhkan hemodialisis secara rutin mencapai 350 hingga 400 pasien. Berdasarkan data tahun 2011, pasien menjalani hemodialisis sebagian besar dari Surabaya (54 persen), Mojokerto (12 persen), Sidoarjo (8 persen), Bangkalan (6 persen), Gresik dan Lamongan (3 persen) (Tujuh RS Di Jatim Akan Buka Layanan Cuci Darah, 2011). Diagnosis penyakit kronis, seperti end-stage renal disease/ESRD dapat dialami individu sebagai peristiwa hidup stressful berpotensi menurunkan level
8
emotional well-being. Ahli psikologi mendeskripsikan emotional well-being meliputi komponen affective berfokus pada emosi positif yakni perasaan bahagia, serta komponen cognitive berfokus pada evaluasi kehidupan yakni kepuasan hidup (Bryant & Veroff; Lucas, Diener, & Suh; Shmotkin, dalam Snyder & Lopez 2007; Lamers, Bolier, Westerhof, Smit, & Bohlmeijer, 2012). Sebagian individu cenderung menunjukkan level emotional well-being stabil dari waktu ke waktu, terutama ketika keadaan hidup yang dijalani tetap stabil. Headey dan Wearing (dalam Lent, 2007) melaporkan kepuasan hidup maupun pengalaman dari positive dan negative affect menunjukkan stabilitas selama periode dua hingga enam tahun. Akan tetapi, ketiga komponen emotional wellbeing bukanlah sebuah harga mati, beberapa individu menunjukkan perubahan besar pada emotional well-being dari waktu ke waktu, dan terjadinya peristiwa hidup stressful, seperti penyakit kronis merupakan kondisi berkontribusi terhadap menurunnya level emotional well-being. Peristiwa hidup berkaitan stres kronis berpotensi menurunkan level kepuasan hidup, meskipun terdapat perbedaan individu yang substansial pada adaptasi emosi setelah peristiwa stressful (Lucas et al., dalam Lent 2007). Emotional well-being individu dengan penyakit kronis dapat kembali ke level pre-diagnosis secara bertahap, proses pemulihan emosi ditentukan oleh berbagai faktor meliputi masalah waktu, faktor internal (karakteristik individu, kepribadian), dan faktor eksternal (kualitas hubungan interpersonal). Penyakit ginjal stadium akhir berelasi dengan meningkatnya insiden distress psikologis. Ketangguhan terhadap adaptasi psikologis dan sosial diperlukan oleh pasien untuk mengatasi kondisi kesehatan berkontribusi terhadap meningkatnya distress psikologis. Hubungan antara gangguan fisik terkait penyakit dan level
9
emotional well-being merupakan catatan penting dalam konteks penelitian klinis. Sejumlah studi melaporkan level disfungsi emosi pada pasien penyakit ginjal stadium akhir berparalel dengan tingkat lemahnya kondisi fisik (Gulledge et al.; Peterson & Perl; Simmons et al., dalam Christensen, Turner, Slaughter, & Holman 1989), hal ini sebagai konsekuensi dari progres penyakit sehingga level emotional well-being menjadi semakin menurun. Bagi pasien penyakit ginjal stadium akhir, hemodialisis merupakan treatment untuk bertahan hidup, memungkinkan pasien bertahan hidup dengan dialisis dan penyakit kronis. Studi oleh Son, Choi, Park, Bae, & Lee (2008) melaporkan pasien penyakit ginjal stadium akhir menjalani hemodialisis dianggap rentan terhadap masalah emosi karena stres kronis berkaitan dengan batasan diet dan waktu terkait penyakit dan efek samping pengobatan. Treatment hemodialisis berlangsung dua hingga tiga kali seminggu, masalah metabolik, serta masalah ekonomi dan pekerjaan sebagai dampak dari ketergantungan terhadap dialisis dapat memberikan kontribusi terhadap menurunnya emotional well-being. Studi tentang psychological dan emotional well-being pada pasien penyakit ginjal stadium akhir telah dilakukan, beberapa mendeskripsikan pengalaman kualitatif hidup dengan penyakit kronis ini (Polaschek, 2003). Hasil studi kualitatif terkait pengalaman pasien renal failure adalah mengenai ancaman terhadap kehidupan. Studi interpretatif kualitatif oleh Hagren, Pettersen, Severinsson, Lutzen, & Clyne (2001) menemukan tema terkait penderitaan meliputi mesin hemodialisis seperti benang kehidupan, hilangnya kebebasan, terganggunya hubungan perkawinan, keluarga, kehidupan sosial, ketergantungan pada pengasuh (caregiver), serta tema terkait berkurangnya penderitaan meliputi memperoleh perasaan optimisme dan mencapai perasaan otonomi pribadi.
10
Taskintuna dan Ozcurumez (2010) mendeskripsikan penyakit ginjal stadium akhir sebagai hilangnya fungsi ginjal secara progresif dan irreversible, menuntut rezim perawatan kompleks dapat berdampak pada hampir semua aspek kehidupan, menuntut perubahan gaya hidup ekstrim, membutuhkan perawatan medis seumur hidup. Hilangnya fungsi organ ginjal merepresentasikan ancaman terhadap integritas psikologis dan dapat menjadi trauma psikologis. Respon psikologis pasien merefleksikan proses kognitif, emosi, perilaku yang kompleks, meliputi well-being, hubungan interpersonal, aktivitas sosial, rasa aman, perasaan takut mati, penolakan. Penyakit ginjal dapat diinternalisasikan sebagai peristiwa traumatis dapat menimbulkan berbagai masalah emosi, respon emosi meliputi perasaan takut, marah, rasa malu, bersalah, sedih, bahkan mati rasa. Hidup dengan penyakit kronis seperti penyakit ginjal stadium akhir berarti melakukan coping dengan akumulasi dari stressors yang dapat menimbulkan kecemasan dan depresi. Diagnosis penyakit kronis adalah titik awal munculnya stressors. Ada bermacam respon individu dengan penyakit kronis terhadap pengalaman penyakit kronis dan menjalani treatment medis. Sebagian pasien penyakit kronis mengalami distress ekstrim, namun sebagian menunjukkan respon lebih resilien dengan sedikit gangguan pada level well-being, serta menunjukkan konsekuensi psikologis dan fisik lebih positif. Pada konteks diagnosis medis, resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempertahankan level well-being atau segera kembali ke level prediagnosis (Moskowitz, 2010). Level normatif dari well-being bukan hanya menghindari level klinis depresi dan kecemasan, namun juga kapasitas untuk mengalami positive affective states. Ahli psikologi mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas untuk bangkit kembali (bounce back) atau pulih (recover) dari
11
stres, beradaptasi dengan kondisi stressful, tidak menjadi ill meski mengalami kesulitan hidup (adversity), dapat berfungsi baik meski mengalami stress atau adversity (Carver; Tusaie & Dyer, dalam Smith, Dalen, Wiggins, Tooley, Christopher, & Bernard 2008). Sebagian individu pernah mengalami setidaknya satu peristiwa hidup stressful yang menimbulkan tantangan bagi well-being. Individu yang memiliki respon resilien terhadap peristiwa stressful dapat mengalami dampak psikologis negatif dari peristiwa stressful, namun well-being cenderung kembali ke level sebelum peristiwa dengan lebih cepat dibanding individu yang tidak memiliki respon resilien. Brooks dan Goldstein (2004) mengungkapkan pentingnya kekuatan resiliensi dalam beradaptasi (adapting) dan mengatasi (coping) krisis kehidupan, seperti penyakit kronis. Schaumberg (2012) melaporkan pasien hemodialisis yang memiliki kualitas hidup lebih baik mendeskripsikan karena dirinya mampu survive dan resilien dalam hidup dengan menjalani hemodialisis. Oleh karena itu, respon resilien terhadap penyakit ginjal dan treatment hemodialisis dibutuhkan pasien karena dapat membantu mengurangi respon emosi negatif maupun stres sehingga mengarahkan emotional well-being tetap pada level normatif. Studi meta-sintesis oleh Bayhakki dan Hatthakit (2012) melaporkan empat metafora yang muncul pada pasien hemodialisis, meliputi mengalami belenggu fisik (physical shackle) dalam hidup, merasakan tekanan mental dan emosi, tergantung pada mesin hemodialisis, serta menghadapi banyak permasalahan (dealing with problems). Bagi pasien hemodialisis, belenggu fisik dalam kehidupan tercermin oleh adanya keterbatasan fisik (kehidupan yang dibatasi secara fisik). Keterbatasan
12
fisik dalam kehidupan disebabkan oleh kekurangan energi dan physical fatigue karena adanya batasan asupan makanan dan cairan, meningkatnya sampah metabolisme dalam tubuh. Masalah fisik terkait simptom sindrom uremik maupun hemodialisis kurang memadai dapat mengakibatkan keterbatasan fisik. Kurang energi (lemah) dialami pasien mengakibatkan physical fatigue dan menurunkan functional capacity. Kapasitas fungsional menurun terlihat pada ketidakmampuan berpartisipasi pada kegiatan ataupun menunjukkan peran. Clarkson dan Robinson (2010) menyebutkan keterbatasan dan ketidakmampuan yang dialami pasien hemodialisis, meliputi perjalanan dan wisata terbatas, diet ketat, asupan cairan terbatas, pendapatan terbatas, rencana tertunda, dan tidak ada aktivitas. Keterbatasan fisik dapat mengakibatkan pembatasan pada kehidupan sosial dan ketergantungan pada individu lain, misalnya keluarga, saudara, teman, dokter, dan perawat. Clarkson dan Robinson (2010) menyebut perubahan kehidupan sosial ini sebagai limited social contact dan dependent on others. Studi meta-sintesis oleh Bayhakki dan Hatthakit (2012) mengidentifikasi pasien hemodialisis mengalami distress mental dan emosi. Kelelahan mental (mental fatigue), seperti distress mental dan emosi merupakan masalah yang sering diidentifikasi sejumlah studi. Mental fatigue mengekspresikan pengalaman dari distress mental, fatigue mendeskripsikan perasaan unpleasant, sakit-sakitan, perasaan berat dialami sebagai suatu kondisi harus dihadapi dengan berjuang. Hal ini didukung bukti literatur bahwa depresi, ketidakpastian, marah, denial, worthlessness, cemas, hopelessness merupakan ekspresi dari distress mental dan emosi, dan ini merupakan respon emosi negatif dari kondisi pasien. Masalah fisik, distress mental dan emosi akibat penyakit dan treatment hemodialisis dapat mempengaruhi status mental dan emosi. Perubahan fisik dan status mental
13
emosi pasien hemodialisis dapat mempengaruhi relationships dan kehidupan sosial, misalnya perkawinan, keluarga, serta kehidupan sosial menjadi terganggu (Hagren et al., 2001). Masalah fisik dan mental emosi muncul akibat hemodialisis dipengaruhi oleh cara pandang, persepsi, dan respon dari significant others terhadap pasien hemodialisis. Significant others, seperti pasangan (suami/istri), anak, tetangga, kolega, dan teman dapat memiliki respon positif maupun negatif terhadap pasien. Apabila significant others mengekspresikan cara pandang, persepsi, dan respon negatif, maka dapat berdampak negatif terhadap hubungan dengan pasien dan dapat mengganggu relationships sehingga mengakibatkan status mental emosi pasien menjadi semakin memburuk. Pasien membutuhkan positive relationships dengan keluarga maupun sosial untuk mengurangi dampak negatif dari distress mental dan emosi. Berbagai studi melaporkan dampak positif dari positive social relationships terhadap kesehatan, menurunnya level stres, meningkatnya level well-being. Reis dan Gable (dalam Roffey, 2012) mendeskripsikan relationships sebagai sumber terpenting dari kepuasan hidup dan well-being. Schaumberg (2012) melaporkan hubungan positif (terutama dukungan keluarga) dapat membantu penyesuaian positif pada pasien selama tahap kronis saat menjalani hemodialisis. Sejumlah studi mengidentifikasi pentingnya lingkungan keluarga sebagai sumber dukungan sosial bagi individu dengan penyakit kronis. Dapat disimpulkan, hubungan positif dengan keluarga dan sosial dengan menyediakan dukungan emosi, kepedulian, empati, perawatan dapat memuaskan kebutuhan afektif (social support) berelasi dengan penyesuaian psikologis lebih positif sehingga dapat memperbaiki level emotional well-being.
14
Studi
meta-sintesis
oleh
Bayhakki
dan
Hatthakit
(2012)
mencatat
permasalahan lain muncul dari pasien hemodialisis adalah tergantung pada mesin hemodialisis. Mesin hemodialisis merupakan bagian penting dari hidup pasien sehingga tidak dapat dipisahkan. Sebagai peralatan untuk menghilangkan sampah metabolisme dari tubuh, mesin hemodialisis tidak hanya memberikan dampak positif, namun juga dampak negatif berdasarkan sudut pandang pasien (Polaschek, 2003). Berkurangnya sampah metabolisme, cairan berlebih dalam tubuh membuat pasien merasa lebih segar, merupakan dampak positif dari treatment hemodialisis. Ketergantungan pada mesin hemodialisis dikarenakan harus menjalani hemodialisis dua hingga tiga kali seminggu dapat menjadi dampak negatif. Mesin hemodialisis membuat pasien menjadi tergantung pada peralatan medis, merasa tidak dapat pergi kemanapun untuk waktu lama karena harus ke rumah sakit untuk menjalani treatment. Pada dasarnya, mesin hemodialisis diciptakan untuk memberikan keuntungan bagi pasien, namun cara pandang
pasien
dan
level
pengetahuan
tentang
mesin
hemodialisis
mempengaruhi bagaimana pasien memandang, mempersepsi, dan merespon kebutuhannya terhadap mesin hemodialisis. Bagi pasien, pandangan positif terhadap mesin dapat menciptakan dampak positif, sebaliknya pandangan negatif terhadap mesin dapat menciptakan dampak negatif, baik secara fisik maupun mental. Pasien hemodialisis memiliki beban serius berdampak terhadap well-being, dihadapkan pada stressors serius yang muncul dari sifat kronis penyakit ginjal dan treatment medis (Theofilou, 2012). Studi pada penyakit kronis melaporkan well-being dan kesehatan mental berelasi dengan representasi kognitif dari penyakit dan treatment medis. Ketika dihadapkan pada suatu penyakit, individu
15
menciptakan model dan representasi dari penyakitnya untuk memahami (make sense) dan merespon permasalahan yang dihadapi (Hagger & Orbell, 2003). Theofilou (2012) melaporkan belief pasien hemodialisis bahwa kesehatan dapat dikendalikan, dan berelasi dengan menurunnya tingkat depresi. Bagi pasien, kemampuan mengendalikan yang baik pada level awal depresi akan mengurangi respon emosi negatif dan menghasilkan pemahaman lebih baik/positif mengenai penyakit ginjal serta merasakan manfaat menjalani treatment hemodialisis. Berdasar uraian di atas, maka resiliensi, positive social relationships dengan menyediakan dukungan sosial, serta health belief lebih positif dibutuhkan oleh pasien penyakit ginjal stadium akhir menjalani hemodialisis karena dapat mengurangi respon emosi negatif dan berdampak positif terhadap kondisi fisik, sehingga dapat mengarahkan emotional well-being tetap pada level normatif. Lamers et al. (2012) melaporkan emotional well-being memprediksi prognosis jangka panjang dari penyakit fisik, bahwa peningkatan emotional well-being dapat memperbaiki prognosis penyakit fisik. Studi meta-analisis oleh Chida dan Steptoe (2008) melaporkan efek protektif dari well-being terhadap bertahan hidup individu dengan renal failure, bahwa well-being berelasi dengan kesehatan fisik lebih baik pada individu dengan penyakit kronis. Pasien penyakit ginjal stadium akhir telah mengalami kesehatan fisik berkurang, maka emotional well-being bagi individu pasien bermanfaat karena merefleksikan emosi atau perasaan positif yang dapat mengarah kepada pemahaman lebih baik/positif mengenai penyakit ginjal, merasakan manfaat treatment hemodialisis sehingga menghasilkan kepatuhan terhadap rezim perawatan batasan diet, asupan cairan, komitmen waktu terhadap prosedur hemodialisis, dengan demikian dapat mengurangi keparahan simptom penyakit ginjal.
16
Merujuk pada uraian di atas bahwa emotional well-being bermanfaat bagi pasien penyakit ginjal stadium akhir menjalani hemodialisis. Mengacu pada kajian literatur dan hasil studi bahwa emotional well-being dapat diprediksi melalui respon resilien terhadap pengalaman penyakit ginjal dan treatment hemodialisis, positive social relationships dengan keluarga maupun sosial, serta health belief terhadap penyakit ginjal dan treatment hemodialisis. Oleh karena itu, peneliti bermaksud meneliti peran resiliensi, positive social relationships, dan health belief terhadap emotional well-being pasien hemodialisis.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka muncul pertanyaan yang dijadikan permasalahan penelitian meliputi: 1. Bagaimana keterkaitan antara satu prediktor atau faktor pendukung emotional well-being pasien hemodialisis dengan prediktor atau faktor pendukung yang lain? 2. Seberapa besar kontribusi masing-masing prediktor atau faktor pendukung terhadap emotional well-being pasien hemodialisis?
C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Merujuk pada latar belakang dan rumusan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menguji peran resiliensi, positive social relationships, dan health belief terhadap emotional wellbeing pasien hemodialisis, serta untuk mengetahui seberapa besar kontribusi masing-masing prediktor terhadap emotional well-being pasien hemodialisis.
17
2. Manfaat a. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan serta memperkaya wawasan terhadap disiplin ilmu psikologi positif dan psikologi kesehatan, khususnya pemahaman teori berkaitan dengan faktor-faktor berperan terhadap emotional well-being pasien hemodialisis. Hasil penelitian juga dapat dijadikan dasar untuk mengetahui prediktor apa saja yang berperan terhadap emotional well-being pasien hemodialisis. b. Manfaat praktis Bagi pasien hemodialisis, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai emotional well-being dan prediktornya, dapat membantu pasien untuk lebih merasakan afeksi positif serta mengurangi respon emosi negatif yang dapat mengarah kepada pemahaman lebih baik/positif mengenai penyakit ginjal, merasakan manfaat treatment hemodialisis sehingga menghasilkan kepatuhan terhadap rezim perawatan batasan diet, asupan cairan, komitmen waktu terhadap prosedur treatment hemodialisis, dengan demikian dapat bermanfaat untuk mengurangi keparahan simptom penyakit ginjal. Bagi rumah sakit, praktisi kesehatan, dan psikolog, informasi mengenai emotional well-being dan prediktornya diharapkan dapat membantu mendorong perkembangan afeksi positif dan kondisi fisik, serta dapat merancang program intervensi untuk mempromosikan emotional well-being pasien hemodialisis.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Studi mengenai well-being maupun health-related quality of life pasien penyakit ginjal stadium akhir menjalani treatment hemodialisis telah banyak
18
dilakukan di luar negeri, demikian dengan prediktor apa saja yang berkontribusi terhadap well-being dan health-related quality of life pasien hemodialisis. Sejauh peneliti ketahui penelitian mengenai emotional well-being pasien hemodialisis secara simultan memakai prediktor resiliensi, positive social relationships, dan health belief belum pernah dilakukan, khususnya di Universitas Gadjah Mada. Studi oleh Tanyi (2002) pada wanita dengan penyakit ginjal stadium akhir menjalani treatment hemodialisis di Amerika. Studi ini menguji tingkat korelasi antara spiritual well-being, adjustment to illness, dan self-perceived health pada wanita tinggal di komunitas penyakit ginjal stadium akhir menjalani hemodialisis. Desain studi ini adalah deskriptif/korelasional dengan metode survei. Sampel studi terdiri dari 65 wanita dari lima pusat rawat jalan hemodialisis (outpatient hemodialysis centers) di daerah metropolitan, berusia 24-82 tahun, didiagnosis penyakit ginjal stadium akhir dan telah menjalani hemodialisis selama minimal enam bulan. Statistik deskriptif diperoleh tingkat cukup tinggi pada spiritual wellbeing, adjustment, dan self-perceived health secara keseluruhan. Hasil studi melaporkan spiritual well-being dan adjustment tidak berelasi secara signifikan, self-perceived health dan spiritual well-being juga tidak berelasi secara signifikan, namun berelasi secara signifikan dengan tipe tertentu dari adjustment. Thomas (2003) menguji pengaruh faktor religiusitas, dukungan sosial, dan health locus of control terhadap health-related quality of life pasien hemodialisis African-American. Studi ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain relational cross-sectional. Populasi studi meliputi African-American dengan penyakit ginjal stadium akhir menjalani hemodialisis. Sampel studi terdiri dari 176 pasien hemodialisis African-American dari empat klinik hemodialisis di Virginia. Sampel studi adalah pria dan wanita telah menjalani treatment hemodialisis
19
selama setidaknya satu bulan, kriteria waktu satu bulan digunakan karena pasien menjalani treatment hemodialisis kurang dari sebulan cenderung masih unstable. Studi ini menggunakan lima instrumen meliputi Religious Involvement for AfricanAmerican, Medical Outcomes Study Social Support Scale, Form C of the Multidimensional Health Locus of Control Scale, Version 2 of the SF-36, dan demographic profile. Hasil studi diperoleh ada korelasi antara konstruk sosiokultural dan psikologi sosial yang mempengaruhi health-related quality of life. Bukti lain menjawab sub pertanyaan ada atau tidak pengaruh religiusitas, dukungan sosial, dan health locus of control terhadap health-related quality of life. Studi mengenai health-related quality of life diukur melalui Physical Component Summary maupun Mental Component Summary mengindikasikan religiusitas berpengaruh negatif dengan health-related quality of life ketika diukur melalui Physical Component Summary. Health locus of control berpengaruh positif dengan health-related quality of life ketika diukur melalui Mental Component Summary. Studi ini menyimpulkan religiusitas dan dukungan sosial pada tingkat lebih rendah, health locus of control memiliki kontribusi terhadap health-related quality of life, meskipun dalam tingkat bervariasi dan konfigurasi berbeda, studi ini menegaskan kembali konstruk ini menguji pengaruh healthrelated quality of life pada pasien hemodialisis African-American. Studi oleh Al-Arabi (2003) mengeksplorasi dan mendeskripsikan korelasi antara dukungan sosial dan metode coping, dan kontribusinya terhadap prediksi kualitas hidup pasien hemodialisis. Studi ini menggunakan konsep stress dan coping theory sebagai conceptual framework. Cross-sectional study dengan desain exploratory correlational mengeksplorasi korelasi antar variabel. Data studi diperoleh dari 80 klien di sebuah pusat dialisis dengan instrumen kuantitatif,
20
kuesioner data biografis, dan panduan wawancara semi terstruktur. Instrumen studi meliputi (a) Social Support Resource Measure, (b) Weinert Personal Resource Questionnaire 85, (c) Jalowiec Coping Scale, dan (d) Cantril’s Ladder. Partisipan studi adalah 80 pasien dewasa berusia 20-80 tahun, dan 70 persen dari partisipan adalah African-American. Hasil studi diperoleh ketersediaan dukungan sosial berelasi dengan problem-oriented coping. Kepuasan terhadap sumber dukungan sosial tidak berelasi dengan penggunaan problem-oriented coping atau emotion-oriented coping. Dukungan sosial yang dirasakan berelasi secara signifikan dengan penggunaan problem-oriented coping. Dukungan sosial, problem-oriented coping, dan emotion-oriented coping tidak memprediksi kualitas hidup pasien hemodialisis. Metode kualitatif dengan purposive sampling dari partisipan yang memberikan jawaban terbaik pada pertanyaan disajikan di panduan wawancara. Data wawancara ditranskrip dan dianalisis menggunakan content dan thematic analysis. Ada empat kategori terkait makna kualitas hidup, (a) hidup yang dibatasi, (b) bertahan hidup, (c) perasaan baik (feeling good), (d) kesembuhan (healing happens). Saran dari studi ini agar penelitian berikutnya dapat mentargetkan prediktor signifikan dari kualitas hidup. Curtin, Sitter, Schatell, & Chewning (2004) melaporkan perilaku manajemen diri dan pengetahuan terhadap kondisi (atau treatment) mempengaruhi functioning dan well-being pasien hemodialisis. Aktivitas manajemen diri yang digunakan pasien hemodialisis meliputi strategi kooperatif/partisipatori dan protektif/proaktif. Cross-sectional study ini mengukur manajemen diri dan pengetahuan pada 372 pasien hemodialisis dari 17 fasilitas dialisis. Hasil studi melaporkan pasien memiliki self-managers rendah. Strategi manajemen diri paling umum digunakan adalah aktivitas kooperatif/partisipatori self-care selama
21
hemodialisis dan tanggungjawab bersama dalam perawatan. Analisis regresi linear ganda diperoleh self-care selama hemodialisis berkorelasi positif dengan physical functioning diukur melalui SF-12 Physical Component Summary Scale. Usia, diabetes, dan strategi protektif/proaktif (selective symptom management dan assertive self-advocacy) berkorelasi negatif dengan Physical Component Summary Scale. Selective symptom management berkorelasi negatif dengan mental health functioning diukur melalui SF-12 Mental Component Summary Scale, sementara pengetahuan pasien tentang penyakit ginjal atau treatment berkorelasi positif dengan Mental Component Summary Scale. Hasil akhir dilaporkan skor SF-36 Physical dan Mental Component Scale berkorelasi dengan penggunaan perilaku manajemen diri kooperatif/partisipatori, mortalitas, rawat inap, meminimalkan kebutuhan strategi protektif/proaktif, dan meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit ginjal memiliki manfaat jangka panjang. Gillanders, Wild, Deighan, & Gillanders (2008) mengeksplorasi korelasi dari dua strategi regulasi emosi, yaitu reappraisal dan suppression, serta dampaknya terhadap well-being dan kidney disease management. Studi ini menggunakan desain cross-sectional study dengan partisipan 106 pasien hemodialisis dan 94 teman atau kerabat. Strategi regulasi emosi reappraisal dan suppression diukur melalui Emotion Regulation Questionnaire. Sementara, affect, psychosocial functioning, dan well-being diukur melalui Positive Negative Affect Scale, the Brief COPE Questionnaire, the Kidney Disease Quality of Life Short Form, dan the Brief Symptom Inventory. Hasil studi Emotion Regulation Questionnaire mengukur reappraisal dan suppression, diperoleh meningkatnya penggunaan reappraisal berelasi dengan rendahnya tingkat kecemasan dan meningkatnya penerimaan terhadap penyakit, juga berelasi dengan meningkatnya pengalaman
22
dan ekspresi dari emosi positif dan rendahnya pengalaman dan ekspresi dari emosi negatif. Sementara, suppression berelasi dengan rendahnya ekspresi emosi positif, meningkatnya depresi dan somatisasi, serta meningkatnya ketidakpuasan terhadap waktu digunakan berurusan dengan penyakit ginjal. Suppression juga berelasi dengan rendahnya coping emosi, dan meningkatnya ketidakpuasan terhadap dukungan yang diterima. Dapat disimpulkan, strategi regulasi emosi reappraisal memiliki hubungan klinis dan psikososial lebih positif dibanding strategi regulasi emosi suppression. Strategi regulasi emosi digunakan pasien memiliki implikasi penting bagi well-being dan manajemen penyakit. Sejumlah studi di atas melaporkan berbagai prediktor berperan terhadap well-being maupun health-related quality of life pasien hemodialisis. Penelitian ini mencoba menguji prediktor lain mungkin berperan terhadap emotional well-being pasien penyakit ginjal stadium akhir menjalani treatment hemodialisis. Prediktor atau faktor pendukung lain yang akan diuji pada penelitian ini adalah resiliensi, positive social relationships, dan health belief, yang dilaksanakan di instalasi hemodialisis RSU Dr. Soetomo Surabaya.