BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sekarang ini, kebiasaan atau kecanduan merokok bukan lagi menjadi bagian hidup dari orang dewasa saja tetapi juga menjadi bagian dari anak remaja. Menurut World Health Organization (WHO), remaja ialah anak yang telah mencapai umur 10 – 19 tahun. Biasanya, dalam masa itu terjadi percepatan pertumbuhan, pematangan fisik, bergejolaknya keingintahuan dan emosional, serta terjadi proses – proses pencarian jati diri yang sering menimbulkan berbagai permasalahan. Pada masa itu pula, remaja akan mudah sekali tergoda dan tertarik untuk mencoba sesuatu yang baru, salah satunya merokok. Ketertarikan remaja untuk merokok tersebut dilatarbelakangi oleh banyak hal, antara lain: pertama, dari kebiasaaan orang tua, terutama ayah yang menjadi figur utama dalam keluarga ataupun sebagian ibu yang juga merupakan perokok aktif. Apalagi jika kebiasaan tersebut dilakukan di dalam rumah. Kondisi ini akan semakin mengkhawatirkan karena rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman dan nyaman untuk menghabiskan waktu bersama keluarga justru menjadi tempat yang paling sering digunakan untuk merokok. Seringnya merokok di dalam rumah tentu akan mengancam dan mengganggu kesehatan anggota rumah yang lain seperti istri dan anak. Paparan asap rokok tersebut sangat membahayakan orang – orang di sekitarnya apalagi jika hal itu dilakukan secara berulang dan dalam waktu yang lama.
1
Kebiasaan merokok tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan anggota keluarga yang lain, tetapi juga sangat memungkinkan untuk ditiru atau diikuti oleh anak terutama pada saat anak tersebut memasuki usia remaja yang haus akan keingintahuan. Keinginan anak untuk mengetahui dan mencoba merokok akan muncul dan hal ini dapat menimbulkan kebiasaan baru pada anak yang bersangkutan. Berbagai penelitian juga membuktikan jika salah satu penyebab utama anak dapat menjadi perokok ialah karena terpengaruh oleh kebiasaan orang tuanya sendiri yang merupakan perokok. Kedua, lingkungan pertemanan. Lingkungan pertemanan juga dapat mempengaruhi remaja yang bersangkutan untuk menjadi perokok. Di mana lingkungan yang baik akan menghasilkan pertemanan yang baik, sebaliknya lingkungan pertemanan yang tidak baik akan menghasilkan pertemanan yang tidak baik pula. Ini sama halnya dengan keputusan remaja dalam memilih lingkungan pertemanannya. Diusia yang sedang mencari jati diri, lingkungan pertemanan sangat mempengaruhi kebiasaan remaja yang rawan dengan pengaruh-pengaruh negatif, termasuk merokok. Lingkungan pertemanan ini dapat mendorong remaja untuk merokok karena adanya pengaruh dan tekanan dari teman sebaya yang lain, rasa stress, bosan, ataupun dari keinginan diri sendiri agar terlihat dewasa, gagah serta ingin menunjukkan sifat menentang. Ketiga, dari tayangan iklan rokok di berbagai media, seperti iklan rokok di televisi, koran, majalah, sponsor kegiatan hingga iklan di luar ruangan. Tayangan iklan rokok tersebut menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi remaja untuk merokok. Bahkan penelitian dari Amerika Serikat mengungkapkan bahwa iklan
2
rokok dapat berpengaruh pada kebiasaan anak merokok dan menghambat orang tua untuk melarang anaknya merokok, apalagi jika iklan rokok tersebut memperlihatkan sisi maskulinitas seorang pria yang akan menambah rasa percaya diri jika merokok.1 Selain itu, iklan rokok menjadi semakin menarik karena diperankan oleh public figure (artis – artis yang sedang naik daun) dikalangan remaja sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi remaja lainnya untuk ikut mencoba rokok yang diiklankan tersebut. Fenomena menarik juga terjadi di Indonesia, perusahaan rokok seringkali menjadi sponsor untuk acara atau kegiatan – kegiatan yang identik dengan kegiatan olahraga, seni, konser musik, sehingga sangat dekat dengan remaja. Bahkan banyak yang menafsirkan jika kebiasaan merokok tersebut dapat menciptakan keberhasilan, kebahagiaan, dan ketenangan. Hal ini ditunjukkan dengan data yang dimiliki oleh Komnas Perlindungan Anak tahun 2008 yang mencatat jika daya tarik remaja terhadap rokok dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya 99,7% melihat iklan rokok di televisi, 87,7% melihat iklan rokok di luar ruangan, 76,2% melihat iklan rokok di koran dan majalah, serta 81% karena mengikuti kegiatan yang disponsori oleh industri rokok.2 Dari data tersebut, juga menunjukkan bahwa iklan rokok mampu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keinginan remaja untuk merokok. Tak bisa dipungkiri lagi jika rokok merupakan produk yang dapat diterima dengan cukup mudah dikalangan masyarakat. Bahkan sejumlah studi mengatakan 1 2
Aditama, Thandra Yoga. (1997). Rokok dan Kesehatan. Jakarta : UI Press Damayanti,2013 dalam Komnas Perlindungan Anak dalam http://idai.or.id/public-articles/seputarkesehatan-anak/overview-adolescent-health-problems-and-services.html diakses pada 29 April 2015 pukul 17:10
3
jika perilaku merokok tersebut dimulai sejak usia 11 – 13 tahun.3 Lebih dari itu, menurut hasil penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dalam Lisnawati yang dilakukan tahun 2007, 2010, dan 2013 menunjukkan bahwa proporsi perokok terus meningkat pada usia ≥ 15 tahun. Berikut rinciannya: Gambar 1. Proporsi Penduduk Usia ≥15 Tahun yang Merokok 40,00%
35,00%
2013; 36,30% 2007; 34,20%
2010; 34,70%
30,00% Proporsi Penduduk Usia ≥15 Tahun Yang Merokok
Sumber: Lisnawati,Winda (2014)4 Berdasarkan data dari WHO tahun 2008, Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar ke-3 di dunia setelah Cina dan India. Bahkan menurut survey dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2011, prevalensi perokok di Indonesia naik menjadi peringkat ke-2 terbesar di dunia.5 Lebih lanjut, berdasarkan laporan dari WHO tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi perokok di Indonesia di atas usia 10 tahun sebesar 46,8% laki – laki dan 3,1%
3
Bart, Smet. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia Lisnawati,Winda. (2014). Makalah Faktor dalam Tindakan Pengambilan Keputusan Merokok. Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat 5 Direktorat PPTM, P2PL Kementerian Kesehatan RI. (2012). Aliansi Bupati/Walikota Dalam Pengendalian Masalah Kesehatan Akibat Tembakau Dan Penyakit Tidak Menular dalam http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-ptm.pdf, diakses pada 11 Maret 2016 pukul 1:21 4
4
perempuan, dengan total perokok sebanyak 62,8 juta orang dan 40% diantaranya berasal dari kalangan sosial – ekonomi rendah.6 Meningkatnya jumlah perokok ini harus segera disikapi dengan tepat sasaran karena kebiasaan merokok tidak hanya memberikan dampak negatif bagi diri sendiri (perokok aktif) tetapi juga orang lain yang berada di sekitarnya (perokok pasif). Dari sisi kesehatan, kebiasaan merokok dapat menyebabkan kecanduan dan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan lainnya seperti: jantung, stroke, penyakit paru, kanker, impotensi, bahkan gangguan pada ibu hamil dan janin. Gangguan kesehatan ini timbul karena dalam satu batang rokok mengandung berbagai zat adiktif berbahaya seperti: nikotin, tar, dan lain sebagainya. Selain memberikan dampak buruk bagi kesehatan, kebiasaan merokok juga memberikan dampak ekonomi, baik secara pribadi, daerah, ataupun nasional. Secara pribadi, berdasarkan hasil riset dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008, menunjukkan bahwa presentase pengeluaran masyarakat termiskin untuk membeli rokok per bulan adalah tiga kali lebih besar daripada pengeluaran untuk biaya kesehatan dan empat kali lebih besar daripada untuk biaya pendidikan. Jika konsumsi rokok rata – rata per hari 1 bungkus, maka kesempatan yang hilang dari 10 tahun merokok setara dengan biaya haji, sekolah, dan DP rumah yaitu sekitar Rp36.000.000,00.7
6
WHO, 2011 dalam Tesis Pengaruh Faktor Pengelola Terhadap Kepatuhan Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Kawasan Tanpa Rokok Pada Hotel Berbintang di Kabupaten Badung. Devhy,Ni Luh P.Denpasar:Universitas Udayana 7 Presentase pengeluaran untuk rokok,http://www.promkes.depkes.go.id/dl/factsheet3conv.pdf, diakses pada 26 Mei 2015 pukul 08:48
5
Sedangkan dampak ekonomi bagi daerah maupun nasional dapat ditinjau dari sisi pengeluaran di mana pemerintah harus menanggung kerugian karena pendapatan dari cukai rokok tidak sebanding dengan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh rokok. Pada tahun 2012, pendapatan negara dari cukai rokok hanya sebesar Rp 55 triliun. Berdasarkan pendapatan tersebut negara harus menanggung kerugian mencapai Rp 254,41 triliun, dengan rincian untuk pembelian rokok Rp 138 triliun, biaya perawatan inap dan rawat jalan Rp 2,11 triliun, dan kehilangan produktivitas akibat kematian prematur dan morbiditas ataupun disabilitas sebesar Rp 105,3 triliun.8 Untuk mengatasi hal tersebut, selain pemerintah dan orang tua, sekolah juga mempunyai peran besar dalam menekan bertambahnya perokok pemula, khususnya remaja. Berbagai upaya pun dilakukan oleh sekolah melalui berbagai cara mulai sosialisasi – sosialisasi tentang bahaya merokok, memasukkan tema rokok ke dalam mata pelajaran tertentu, hingga melalui instrumen yaitu peraturan sekolah. Di Kabupaten Kulon Progo, sekolah diwajibkan untuk menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sebagai upaya dalam melindungi warganya terutama remaja yaitu siswa siswi di sekolah tersebut. Hal ini semakin terdorong dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sehingga respon terhadap penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di sekolah pun juga dipengaruhi oleh Perda tersebut yang mana menjadikan sekolah lebih mempunyai kekuatan baik secara legalitas ataupun secara hukum. 8
Mardiyani, 2013 dalam http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/09/19/mtd6bmkerugian-akibat-rokok-capai-rp-25441-, diakses pada 4 Mei 2015 pukul 21:07
6
Sekolah menjadi salah satu Kawasan Tanpa Rokok (KTR) karena di tempat itulah anak – anak dan remaja akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar. Proses tersebut penting untuk mendapatkan perhatian lebih dari sekolah, melihat anak – anak dan remaja di Kabupaten Kulon Progo yang terkena dampak rokok ataupun sebagai perokok pemula sekarang ini semakin meningkat jumlahnya. Hal itu didukung oleh data survei yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2011, dengan 1049 responden di 21 Puskesmas, menyatakan jika sebanyak 26,76% atau sekitar 280 perokok aktif di Kulon Progo sudah mulai merokok sejak memasuki sekolah di tingkat SLTP. Bahkan pada urutan kedua sebanyak 13,9% anak – anak tersebut sudah mulai merokok sejak SD karena mengikuti teman – temannya.9 Hasil survei tersebut tentu saja memprihatinkan dan membutuhkan keseriusan sekolah yang didukung pula oleh pemerintah dalam upaya penanggulangannya. Di mana, pada usia – usia tersebut anak – anak sedang mengalami masa peralihan yang dipenuhi oleh rasa penasaran, ingin mencoba – coba, dan rasa gengsi yang cukup tinggi. Seperti yang banyak terjadi dalam pergaulan remaja sekarang, apabila tidak merokok maka seringkali dianggap sebagai “banci” ataupun “pengecut” oleh teman – temannya. Untuk itu perlu bekal agama dan norma – norma yang cukup bagi remaja supaya tidak terpengaruh oleh hal – hal yang sebenarnya kurang bermanfaat bagi mereka.
9
Has,
2011 dalam Dinas Kesehatan Kulon Progo dalam http://jogja.tribunnews.com/2011/12/12/27-persen-perokok-di-kulonprogo-adalah-anakanak-usia-smp diakses pada 29 April 2015 pukul 17:10
7
Di SMA S Negerri 1 Wates, Kabupaten n Kulon Prrogo, juga ditemukan b berbagai faaktor yang mempengaaruhi pengetahuan sisswa terhaddap rokok. B Berdasarkan n hasil kuesioner yang ddibagikan peneliti kepadda 90 siswa siswi s SMA N 1 Wates, Kabupaten K K Kulon Progoo, ditemukann bahwa iklann rokok mennjadi faktor u utama yang mendorong pengetahuaan ataupun raasa ingin tahhu siswa sisw wi SMA N 1 Wates terh hadap rokok.. Adapun haasilnya adalahh sebagai beerikut: Gam mbar 2. Faktoor yang Mem mpengaruhi Pengetahuann Siswa Sisw wi SMA N 1 Watees terhadap Rokok R
s 7% 6 siswa; 8 siswa; 9% 31 siswa; 34%
455 siswa; 50%
Iklann Rokok Linggkungan Keluaarga Tem man Linggkungan Sekolah
Sumberr: Hasil Kuesioner dasarkan hasil tersebut, m maka dipero oleh data bahhwa 50% darri 90 siswa Berd s siswi SMA N 1 Wates mendapatkan m n pengetahu uan tentang rokok r dari ik klan rokok. Y Yang mana sebagian beesar dari merreka yang mengetahui m r rokok dari ikklan adalah s siswa siswi yang tidak mempunyai m anggota keluuarga sebagaai perokok. Sedangkan 3 34% siswa siswi SMA A N 1 Wattes yang mengetahui rrokok dari lingkungan l k keluarga, sebbagian besarr karena adaa anggota keeluarganya yyang merokook terutama a ayah.
8
Kemudian, dengan diterapkannya Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di SMA Negeri 1 Wates dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Di mana, sebelum adanya kebijakan tersebut sekolah sudah mempunyai peraturan mengenai larangan merokok tetapi implementasinya belum efektif karena masih banyak siswa yang melanggar dengan merokok di jam – jam tertentu seperti jam istirahat. Tempat yang seringkali digunakan untuk merokok seperti di kantin, toilet, dan tempat – tempat tersembunyi yang dijadikan sebagai tempat “nongkrong” atau berkumpul dengan teman - temannya. Namun setelah adanya penerapan KTR ini SMA N 1 Wates menjadi lebih serius dalam menerapkan peraturan mengenai larangan merokok karena didukung secara hukum oleh Perda KTR yang mana apabila melanggar kebijakan tersebut maka pimpinannya langsung dalam hal ini Kepala Sekolah yang akan mendapatkan teguran atau sanksi dari pemerintah bahkan hingga sanksi pidana. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini menjadi menarik dan penting dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di SMA N 1 Wates, Kabupaten Kulon Progo.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimanakah faktor – faktor yang mempengaruhi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di SMA N 1 Wates?
9
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini ialah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di SMA N 1 Wates
D. Manfaat Penelitian D.1 Manfaat Akademis 1.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan rujukan dalam
bidang
penelitian
kebijakan
publik
khususnya
mengenai
implementasi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). 2. Bagi peneliti diharapkan dapat menambah pengalaman dan meningkatkan kemampuan dalam melakukan penelitian sosial terutama dalam bidang implementasi kebijakan kaitannya dengan remaja dan peneliti selanjutnya. D.2 Manfaat Praktis 1. Diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat tentang implementasi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan pengaruhnya terhadap remaja. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo dalam meningkatkan kepatuhan sekolah terhadap implementasi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
10
E. Literature Review Melalui literature review ini, peneliti akan melihat beberapa penelitian yang mirip dengan penelitian yang akan dilakukan terkait dengan penerapan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan hubungannya dengan remaja. Salah satu tulisan mengenai efektivitas penerapan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diungkapkan oleh Nizwardi Azkha (2013) dalam Jurnal Kesehatan “Studi Efektivitas Penerapan Kebijakan Perda Kota Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam Upaya Menurunkan Perokok Aktif di Sumatera Barat Tahun 2013”. Dalam tulisan tersebut, penulis menyatakan bahwa kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) belum efektif dalam menurunkan jumlah perokok aktif di tiga kota di Sumatera Barat terutama karena dipengaruhi oleh pelaksanaan kebijakan yang kurang lebih sedang diimplementasikan selama tiga tahun. Selain itu, komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah sebagai pembuat kebijakan juga menjadi salah satu faktor penting efektifnya suatu kebijakan. Penelitian tersebut dilakukan secara dua tahap yaitu menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif pada tahap kedua. Perbedaan penelitian dengan yang dilakukan peneliti adalah tujuan penelitian di mana penelitian yang dilakukan adalah untuk melihat upaya dalam mendukung penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sedangkan penelitian ini lebih melihat pada studi efektivitas Perda. Selain itu, penelitian ini lebih melihat dari sudut pandang kesehatan, sedangkan yang dilakukan peneliti yaitu dari sudut pandang sosial politik.
11
Kemudian, dituliskan juga oleh Muhammad Fahry Nasyruddin (2013) dalam penelitian tentang “Implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Sekolah (Studi Kualitatif Pada SMP Negeri 21 Semarang). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan subyek penelitian dari pihak sekolah. Hasil penelitian menunjukkan jika implementasi kawasan tanpa rokok di SMP Negeri 21 Semarang belum berjalan optimal. Hal tersebut terbukti dengan masih ditemukannya beberapa pelanggaran di kawasan tanpa rokok di SMP Negeri 21 Semarang. Namun, indikator yang digunakan peneliti untuk melihat kurang optimalnya implementasi KTR tersebut kurang jelas dan tidak cukup kuat. Kurang optimalnya implementasi kebijakan tidak hanya disimpulkan berdasarkan adanya pelanggaran tetapi juga atas pertimbangan indikator – indikator lain sesuai dengan teori – teori yang sudah ada. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada indikator yang digunakan untuk mengukur implementasi KTR di sekolah. Yang mana, pada penelitian ini peneliti akan menggunakan indikator – indikator yang dikemukakan oleh Christoper Hood meliputi nodality, authority, treasure, dan organization. Sedangkan persamaannya yaitu sasaran penelitian yang merupakan remaja usia sekolah dan sekolah sebagai obyeknya. Selain itu juga pada pendekatan penelitian yaitu pendekatan kualitatif.
F. Kerangka Teori Dalam menjawab rumusan masalah, peneliti akan menggunakan teori yang relevan dengan tema yang dibahas yaitu model implementasi kebijakan menurut
12
Christoper Hood. Model tersebut dipilih karena mampu menjawab rumusan masalah secara relevan dan terperinci terkait dengan faktor – faktor yang mempengaruhi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di SMA N 1 Wates. Sebelumnya, peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai konsep implementasi kebijakan publik menurut beberapa ahli, diantaranya sebagai berikut.
F.1 Implementasi Kebijakan Publik
F.1.1 Definisi Implementasi Kebijakan Publik Menurut Donald S. Van Metter dan Carl E. Va dalam Widodo mengartikan implementasi kebijakan publik yaitu : Policy implementation encompasesses those action by public and private individual (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decision. This include both one time efforts to transfrom decisions into operational terms, as well as continuing efforts to achieve the large and small changes mandated by policy decision.10 (Implementasi kebijakan menekankan pada suatu tindakan, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu (atau kelompok) swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan – tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan sebelumnya. Pada suatu saat tindakan – tindakan ini berusaha mentransformasikan keputusan – keputusan menjadi pola – pola operasional serta melanjutkan usaha – usaha tersebut untuk mencapai perubahan baik besar maupun kecil yang diamanatkan oleh keputusan – keputusan kebijakan tertentu. Sedangkan Mazmanian dan Sabatier dalam Widodo menjelaskan makna implementasi adalah: To understand what actually happens after a program is enacted or formulated is the subject of policy implementation. Those event and activities that occur after the issuing of outhoritative public policy 10
Widodo, Op.Cit., hlm.86.
13
directives, which included both the effort to administer and the subtantives, which impacts on the people and event.11 (Hakikat utama implementasi kebijakan adalah memahami apa yang seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan. Pemahaman tadi mencakup usaha – usaha untuk mengadministrasikannya dan untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian – kejadian). Untuk itu, dapat disimpulkam bahwa implementasi kebijakan merupakan proses – proses yang dilakukan setelah ditetapkannya suatu kebijakan untuk menciptakan suatu perubahan dan mencapai tujuan. Proses tersebut banyak melibatkan sumber daya seperti manusia, dana, dan kemampuan organisasional yang dilakukan pemerintah atau swasta (individu atau kelompok). Pelaksanaan implementasi kebijakan melibatkan banyak aktor yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Menurut Wahab, implementasi kebijakan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, diantaranya: (1) pembuat kebijakan, (2) pejabat – pejabat pelaksana di lapangan, dan (3) sasaran kebijakan (target groups).12 Kemudian, Wahab juga melihat fokus utama dari sudut pandang aktor – aktor tersebut terhadap implementasi kebijakan, diantaranya, yang pertama “pembuat kebijakan akan fokus pada sejauh mana kebijakan tersebut telah dicapai dan apa alasan yang menyebabkan kebijakan tersebut berhasil atau gagal”. Kedua, dilihat dari sudut pandang implementor maka akan fokus pada “tindakan pejabat dan instansi di lapangan untuk mencapai program supaya berhasil”. Terakhir, dari sudut pandang target groups maka implementasi akan lebih dipusatkan pada apakah implementasi kebijakan sudah benar – benar dapat mengubah pola
11 12
Ibid.,hlm.87. Wahab, S. A. (2005). Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: PT Bumi Aksara. hlm.63.
14
hidupnya dan memberikan dampak positif panjang bagi peningkatan mutu hidup mereka termasuk pendapatan.13 Sama seperti tahapan kebijakan yang lain, implementasi kebijakan juga melibatkan banyak aktor dan tidak selalu berjalan mulus. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut. Untuk itu maka digunakan model – model implementasi kebijakan guna menyederhanakan pemikiran mengenai variabel atau faktor – faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik. Banyak model implementasi kebijakan menurut para ahli diantaranya George Edward III, Grindle dan Christoper Hood.
F.2 Model Implementasi Kebijakan F.2.1 Model Implementasi Kebijakan George Edward III Menurut George Edward III dalam Widodo disebutkan bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan antara lain yaitu faktor komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.14
13 14
Ibid. Widodo, Joko. (2010). Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayu Media.hlm.96
15
Gambar 3. Model Implementasi Kebijakan Goerge Edward III
Sumber: Edward III15 a. Komunikasi Menurut Edward III, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Dalam hal ini, komunikasi – komunikasi harus akurat dan dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana16 Informasi juga perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus disediakan dan disiapkan untuk mencapai tujuan dan sasaran kebijakan sesuai yang diharapkan. Edward III juga mengatakan bahwa komunikasi kebijakan mempunyai beberapa dimensi, diantaranya dimensi transmisi, kejelasan dan konsistensi. 1. Dimensi transmisi melihat agar kebijakan publik tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan, tetapi juga pada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik langsung ataupun tidak langsung. 2. Dimensi kejelasan melihat agar kebijakan ditransmisikan secara jelas kepada pelaksana, target grup, ataupun pihak – pihak lain yang 15
Edward III, George. (1980). Implementing Public Policy. Washington:Congressional Quaterly Inc. hlm.148. 16 Winarno, Budi. (2005). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo. hlm.175
16
berkepentingan sehingga mereka dapat mengetahui maksud, tujuan, sasaran, serta substansi kebijakan dan dapat mengetahui apa yang harus dipersiapkan dan dilaksanakan untuk untuk mensukseskan kebijakan tersebut secara efektif dan efisien. 3. Dimensi konsistensi dibutuhkan supaya kebijakan yang diambil tidak simpang siur dan membingungkan bagi pelaksana kebijakan, target grup ataupun aktor – aktor lain yang berkepentingan.17 b. Sumber Daya Menurut Edward III, sumber daya merupakan salah satu faktor penting dalam implementasi kebijakan. Sumber daya tersebut meliputi sumber daya manusia, sumber daya anggaran, sumber daya peralatan, dan sumber daya kewenangan.18 1. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia menjadi salah satu variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Seperti yang disampaikan oleh Edward III bahwa “probably the most essential resources in implementing policy is staff”19 (barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staff). Selain itu, Edward III juga menambahkan bahwa: “No matter how clear and consistent implementation order are and no matter accurately they are transmitted, if personnel responsible for carrying out policies lack the resources to do an effective job, implementing will not effective”.20(bagaimanapun akuratnya dalam memfungsikan aturan tersebut, jika personil yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan kurang memiliki sumber daya untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif).
17
Widodo, Joko. (2010). Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayu Media.hlm.96 18 Ibid.,hlm.98. 19 Ibid. 20 Ibid.
17
Sehingga, pendapat tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sumber daya terpenting dalam suatu implementasi kebijakan adalah aspek kualitas sumber daya manusia. Hal itu menyangkut staff dengan keahlian dan kemampuan profesional dalam menjalankan tugasnya. 2. Sumber Daya Anggaran Menurut Edward III, terbatasnya anggaran dapat menyebabkan terbatasnya kualitas pelayanan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat. Hal tersebut diperkuat oleh pendapatanya yang menyatakan bahwa “budgetary limitation, and citizen opposition limit the acquisition of adequate facilities. This is turn limit the quality of service that implementor can be provide to public.”21(keterbatasan anggaran dan oposisi warga membatasi akuisisi fasilitas yang memadai. Ini membatasi kualitas pelayanan yang implementor dapat berikan kepada publik) Selain itu, Edward III juga menyatakan jika terbatasnya insentif yang diberikan kepada implementor menjadi penyebab utama gagalnya pelaksanaan program dalam implementasi kebijakan. Kesimpulannya, Edward III menganggap bahwa terbatasnya sumber daya anggaran akan berpengaruh pada keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Selain itu, akan berpengaruh pula pada tidak optimalnya pelaksanaan program dan rendahnya disposisi para pelaku kebijakan. 3. Sumber Daya Peralatan Menurut Edward III, sumber daya peralatan ialah sarana yang digunakan dalam operasionalisasi implementasi kebijakan meliputi tanah, gedung, dan sarana 21
Ibid.,hlm.100.
18
– sarana yang lain yang akan memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan.22 4. Sumber Daya Kewenangan Sumber daya kewenangan menjadi salah satu sumber daya yang paling penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan. Menurut Edward III, suatu lembaga yang mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan sendiri akan berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan di lembaga itu. Kewenangan tersebut menjadi penting terutama ketika mereka dihadapkan oleh suatu masalah dan harus segera diselesaikan dengan suatu keputusan. Oleh karena itu, pelaku utama kebijakan harus diberi wewenang yang cukup untuk membuat keputusannya sendiri.23
c. Disposisi Menurut Edward III, disposisi diartikan sebagai kemauan, keinginan, dan kecenderungan para pelaku kebijakan dalam melaksanakan kebijakan tersebut secara sungguh – sungguh sehingga dapat mencapai tujuan awal kebijakan.24 Faktor – faktor yang menjadi perhatian Edward III terkait disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari: 1. Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan berbagai hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila aktor pelaksana kebijakan yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat – pejabat yang lebih atas. Oleh karena itu, pengangkatan dan pelaksana aktor pelaksana kebijakan haruslah orang – orang yang mempunyai dedikasi tinggi terhadap kebijakan yang telah ditetapkan, terlebih lagi pada kepentingan masyarakat. 22
Ibid.,hlm.102. Ibid.,hlm.103. 24 Ibid.,hlm.104. 23
19
2. Insentif. Insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan, yaitu dengan memanipulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, sehingga memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan dapat mempengaruhi tindakan dari para pelaksana kebijakan. Penambahan keuntungan atau biaya tertentu dapat menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan menjalankan perintah dengan baik.25 d. Struktur Birokrasi Menurut Edward III, belum efektifnya implementasi kebijakan bisa jadi karena dipengaruhi oleh struktur birokrasi yang tidak efisien. Struktur birokrasi tersebut mencakup beberapa aspek seperti struktur birokrasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit – unit organisasi dan sebagainya.26 Selanjutnya, Edward III melihat bahwa terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi.27 Dijelaskan oleh Edward bahwa: “Jelas atau tidaknya standar operasi baik yang menyangkut mekanisme, sistem, prosedur pelaksanaan kebijakan, tugas pokok, fungsi dan kewenangan, tanggung jawab diantara pelaku dan tidak harmonisnya di antara hubungan organisasi pelaksana yang satu dengan yang lain ikut pula menentukan berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan.”28 Namun, berdasarkan hasil penelitiannya, Edward III menjelaskan bahwa SOP sangat mungkin menjadi kendala dalam implementasi kebijakan baru, yang membutuhkan cara – cara baru, ataupun tipe personel baru untuk melaksanakan kebijakan – kebijakan.
25
Agustinus, Leo. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: AIPI. hlm.159-160. Op.cit.,hlm. 106. 27 Winarno, Budi. (2005). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo. hlm.150. 28 Op.cit.,hlm.107. 26
20
Selanjutnya, Edward III menjelaskan jika fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga membutuhkan koordinasi.29 Untuk itu, maka struktur birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi.
F.2.2 Model Implementasi Kebijakan Marilee S. Grindle Implementasi kebijakan kemudian tidak hanya dipahami sebagai dimensi yang bersifat prosedural. Pembahasan mengenai implementasi kebijakan juga harus dikupas secara mendalam supaya sensitifitas terhadap masalah – masalah sosial lebih meningkat dan dampak kebijakan tersebut sebagai aktivitas pemerintah dapat lebih terjelaskan (policy outcome). Sehingga, secara tidak langsung hal tersebut akan lebih mengarahkan penelitian untuk semakin tajam membahas persoalan yang diangkat. Pertama, menurut Grindle implementasi kebijakan dapat diwujudkan jika ada
kesinambungan
antara
tujuan
kebijakan
dan
outcome
kebijakan.
Kesinambungan tersebut dapat tercapai dengan adanya “policy delivery system”. Dijelaskan pula oleh Grindle delivery system, yaitu identifies two major dimensions that affect the implementation process : the content of the policy and the context, or sociopolitical setting, in which the implementation is attempted. (Mengidentifikasi dua dimensi utama yang mempengaruhi proses implementasi : isi kebijakan dan konteks, atau pengaturan sosial politik, di mana pelaksaannya dicoba). Kemudian, dalam sistem itu biasanya kebijakan diterjemahkan dalam 29
Op.cit.,hlm.155.
21
program – program di mana setiap program berisi instrumen yang dapat berfungsi untuk
memastikan
bahwa
implementasi
program
berpengaruh
terhadap
tercapainya tujuan kebijakan.30 Selain itu, Grindle juga menjelaskan jika terdapat dua variabel utama yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu policy content dan policy context. Policy content merupakan hasil dari policy making yang akan di-deliver melalui sebuah kebijakan sehingga akan berpengaruh pada dampak perubahan yang dihasilkan, tempat diimplementasikannya kebijakan dan pelaku kebijakan. Sedangkan policy context berhubungan dengan lingkungan di mana kebijakan tersebut berlangsung, termasuk implementasi kebijakan. Menurut Grindle, elemen – elemen dari policy context terdiri dari kekuatan, kepentingan, strategi aktor yang terlibat, karakteristik rezim dan institusi, kepatuhan dan responsivitas. Elemen – elemen dalam policy context tersebut seringkali diabaikan oleh sebagian orang yang menganggap jika hasil dari policy content sudah kompatibel dan sesuai dengan keadaan yang diharapkan masyarakat, sehingga semuanya akan patuh dan taat terhadap kebijakan tersebut. Namun, dalam kenyataannya policy content sangat rentan memunculkan respon – respon dari masyarakat yang melawan
ataupun
menolak
kebijakan.
Sehingga
perlu
kiranya
tetap
memperhatikan dimensi dari policy context. Salah satunya yaitu untuk melihat interaksi dan strategi aktor – aktor terlibat ketika melakukan upaya administratif untuk melakukan implementasi kebijakan.
30
Grindle, Merilee S. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World. Princeton University Press, NJ. Chap.1. hlm.6-8
22
Melalui interaksi tersebut maka dapat memunculkan proses tawar – menawar, akomodasi, ataupun berbagai konflik. Sehingga selain untuk menunjukkan proses – proses administratif, akan muncul pula proses – proses politis. Lebih jelasnya, Grindle menjelaskan dua proses tersebut dalam skema berikut: Gambar 4. Proses Implementasi Kebijakan Sebagai Proses Administratrif dan Proses Politis
Sumber : Grindle31
Kedua, Santoso juga menjelaskan jika implementasi kebijakan merupakan proses administratif untuk mengeksekusi keputusan – keputusan politis dengan mendayagunakan
serangkaian
instrumen
kebijakan
untuk
menghasilkan
perubahan sosial ke arah yang dikehendaki, yang mencakup pula serangkaian
31
Ibid., hlm.11.
23
proses negosiasi antara implementor dengan sasaran kebijakan untuk memastikan tercapainya misi kebijakan.32 Berdasarkan definisi - definisi implementasi kebijakan publik yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat diambil jika titik tekan implementasi kebijakan publik berada pada wilayah delivery policy system, yaitu upaya untuk menghubungkan tujuan kebijakan (policy output) dengan praktek pelaksanaan kebijakan (policy outcome). Dengan kata lain, mendefinisikan implementasi kebijakan sebenarnya juga sedang mengukur keberhasilan implementasi suatu kebijakan yang dihubungkan dengan kerangka content dan context.
F.2.3 Model Implementasi Kebijakan Christoper Hood Menurut
Hood, terdapat 4 (empat) faktor
yang mempengaruhi
implementasi kebijakan publik, yaitu nodality (informasi), authority (otoritas), treasure (harta), dan organization (organisasi).33 Keempat faktor tersebut dikenal dengan akronim NATO. Adapun penjelasannya sebagai berikut: a. Nodality Faktor nodality berorientasi pada upaya pemangku kepentingan dalam mempersiapkan strategi dan posisi pemerintah, mulai dari mengumpulkan hingga menyebarkan informasi kepada masyarakat. Sehingga, kegiatan utama yang terjadi adalah komunikasi pesan. Kredibilitas menjadi kendala utama dalam efektivitas mekanisme ini, yaitu apakah pemerintah dapat mempercayai informasi 32
Santoso, P. (2010) dalam Santoso, Purwo. (2002). Modul Kuliah Kebijakan Pemerintahan dan Implementasinya, Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik, Yogyakarta: Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM. 33 Dunleavy, Patrick and Gita Subrahmanyam. (1993). Policy Instrument: A Report to the National Audit Office, LSE Public Policy Group
24
yang masuk, dan apakah informasi pemerintah yang keluar akan dipercaya. Selain itu, juga apakah informasi dari pemerintah tersebut dapat diterima dengan baik dan sesuai sasaran, atau justru hilang begitu saja. Nodality juga berhubungan dengan respon awal pemerintah sebagai pembuat
kebijakan
tentang
apa
yang
seharusnya
dilakukan
termasuk
memberitahukan kepada khalayak. Seperti yang dikatakan oleh Stephen H. Linder ett,all yang menyatakan bahwa: “ ...pemerintah memiliki peranan sentral untuk memanajerial agar informasi ke khalayak dapat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Apapun yang disampaikan ini tentunya mengandung maksud baik, meskipun pada kenyataannya terdapat upaya manipulasi dengan tujuan dan maksud tertentu.”34 Selain itu, nodality juga mempunyai arti penting dalam menyampaikan pesan agar khalayak dapat terpengaruh dan ikut serta dalam kebijakan pemerintah. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor, diantaranya:35 1. Akuntabilitas dari para pembuat kebijakan Nodality berhubungan dengan pemerintah. Selama pemerintah memiliki ‘track record’ yang baik, akuntabel dan transparan dalam membangun pelayanan publik, maka kemungkinan besar masyarakat akan menerima kebijakan yang dibuat pemerintah dan kecil kemungkinan untuk menolak berbagai inisiatif pemerintah.
34
Stephen H. Linder dan B. Guy Peters (Ed). 1998. Study of Policy Instruments : Four Schhols of Thought, dalam William Scott, Public Policy Instruments : Evaluating the tool of Public Administration . Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham, hlm.36. 35 Ibid.
25
2. Adanya ikatan – ikatan emosional pembuat kebijakan Faktor ini berhubungan dengan ada atau tidaknya benang – benang emosional yang terjalin antara masyarakat dengan pembuat kebijakan. Artinya, ketiadaan sekat – sekat (emotional constrictor) akan memudahkan transformasi nilai antara pembuat kebijakan dengan masyarakat. 3. Rasionalitas khalayak Faktor ini berhubungan dengan daya pikir khalayak. Semakin majunya tingkat rasional, baik pada aspek budaya ataupun pengetahuan, maka akan menyulitkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam menembus khalayak.
b. Authority Faktor ini berkaitan dengan respon dan sensitivitas dari aktor daerah maupun pusat. Artinya, berkaitan dengan kemampuan pemerintah memfasilitasi, melarang, atau mengatur kegiatan para pelaku lain, dan menguasai sumber daya, atau menerbitkan peraturan atau melakukan amandemen terhadap peraturan – peraturan administratif, atau dengan menguasai sumber daya melalui pajak atau piranti lainnya. Aktivitas yang berlangsung di sini, pada hakikatnya merupakan pemaksaan (coercion) terhadap para pelaku sosial lainnya oleh pemerintah.36 Hambatan utama dalam faktor ini adalah dasar pemerintah yang digunakan pemerintah untuk melegitimasi langkah – langkahnya. Hood menekankan jika
36
Harahap, Zairin. (2004). Kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta Mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Udara (Studi Kasus Pencemaran Udara yang Disebabkan Angkutan Umum Bus Kota). Tesis. Jurusan Ilmu Administrasi Negara. Universitas Gadjah Mada
26
otoritas yang dirinci dilakukan dengan disertai bukti – bukti seperti izin, sertifikat, lisensi, penghargaan, dan sebagainya.
c. Treasure Faktor ini berkaitan dengan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah. Seperti kemampuan pemerintah dalam mengatur sumber keuangan yang berasal dari pajak, hutang, hibah, ataupun menentukan harga barang dan jasa. Sehingga, semakin besar dan maksimalnya sumber daya, baik materiil ataupun non-materiil, maka akan semakin mendukung efektivitas kebijakan publik. Pada faktor ini, Hood menyampaikan jika aktivitas mendasar yang terjadi adalah pertukaran, yaitu pemerintah membeli atau membayar subsidi kepada perusahaan untuk tujuan kerjasama demi tercapainya tujuan kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, pertukaran juga dapat dilihat sebagai perolehan hak yang memang seharusnya diterima, bukan imbal balik bagi pemerintah.
d. Organization Menurut Hood, pada faktor ini berkaitan dengan memperkerjakan personil atau mengelompokkannya secara efektif ke dalam struktur birokrasi, menetapkan jadwal institusional, menciptakan memori kolektif organisasional, dan berbagai aturan atau prosedur operasi standar untuk merespon masalah.37 Kegiatan utama yang terjadi dalam faktor ini yaitu upaya dalam melakukan treatment terhadap
37
Ibid.
27
masalah, memberi pengamanan, melakukan pergeseran, dan berbagai upaya lain yang dilakukan demi kepentingan publik. Berdasarkan keempat faktor menurut Hood tersebut, kemudian Purwo Santoso mencoba menjelaskan secara lebih sederhana bahwa nodality pada dasarnya berfungsi sebagai instrumen untuk mengubah perilaku institusi sosial yang ada. Sehingga, pemerintah harus dapat memastikan bahwa informasi yang dikeluarkan benar – benar informasi yang memang dibutuhkan oleh sasaran kebijakan. Authority berhubungan dengan tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pengawasan untuk mengawal kebijakan. Dalam hal ini, pemerintah dapat menggunakan kewenangannya untuk memberi atau tidak memberi izin terhadap kegiatan masyarakat. Treasure yaitu termasuk uang. Dalam berbagai kondisi, uang dapat menjadi insentif atau disinsentif bagi suatu aktor. Organization, dibutuhkan dalam mengurusi pengawasan kebijakan. Sehingga, organisasi harus mempunyai struktur organisasi, job description yang jelas, serta sumber daya khususnya sumber daya manusia yang mendukung.38 Selanjutnya, Purwo Santoso juga mengatakan bahwa faktor nodality pada dasarnya berkaitan dengan isi kebijakan (content of policy), pemahaman implementor terhadap kebijakan, dan penerimaan pihak – pihak yang dituju atau yang menjadi sasaran tujuan kebijakan. Sedangkan faktor authority, terasure, dan organization adalah terkait dengan konteks kebijakan yang mencakup perijinan, pengawasan pengawasan, penjatuhan sanksi, pengenaan pajak, fasilitas – fasilitas 38
Harahap, Z. (2004). Kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta Mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Udara (Studi Kasus Pencemaran Udara yang Disebabkan Angkutan Umum Bus Kota). Yogyakarta: Tesis Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM.
28
yang tersedia, serta kejelasan dari organisasi yang meliputi struktur, wewenang, serta kualitas dan kuantitas sumber daya manusia.39 Berdasarkan pada beberapa model implementasi kebijakan yang telah dijelaskan di atas, maka penulis memilih model implementasi Christoper Hood meliputi 4 (empat) faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu nodality, authority, treasure, dan organization sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Model tersebut dipilih karena pas dan relevan untuk melihat fokus penelitian yang tergolong kecil yaitu hanya di SMA N 1 Wates, berbeda dengan model Implementasi Edward III dan Grindle yang lebih melihat implementasi kebijakan dalam skala luas bahkan di tingkat nasional.
G. Definisi Konseptual 1. Kebijakan Publik Segala tindakan pemerintah yang dibuat untuk memecahkan masalah dengan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan dan melalui beberapa tahapan mulai dari agenda setting hingga evaluasi kebijakan. Tindakan tersebut juga akan menimbulkan dampak – dampak tertentu. 2. Implementasi Kebijakan Proses yang melibatkan berbagai sumber daya baik manusia, dana, kemampuan organisasional ataupun lingkungan yang dilakukan baik oleh pemerintah ataupun swasta untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan. 39
Ibid.
29
3. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Tempat – tempat yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan yang dibatasi atau dilarang untuk digunakan melakukan kegiatan – kegiatan yang berhubungan dengan rokok, seperti merokok, mengiklankan rokok, menjual rokok, dan sebagainya. 4. Remaja Masa peralihan di mana terjadi perubahan baik secara fisik ataupun psikologis dari masa anak – anak ke masa dewasa. Perubahan secara fisik yaitu pada organ – organ seksual yang sudah mencapai kematangan. Sedangkan secara psikologis yaitu pada intelektual, emosi, dan kehidupan sosial. Masa ini biasanya terjadi pada usia 10 – 19 tahun.
H. Definisi Operasional Berdasarkan keempat faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut Christoper Hood, maka definisi operasional yang perlu diuraikan dengan indikator – indikatornya adalah sebagai berikut: 1. Nodality (informasi), dapat dilihat dari: a. Kejelasan isi kebijakan b. Sosialisasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah c. Penerimaan kelompok – kelompok yang terkena kebijakan 2. Authority, dapat dilihat dari: a. Pengawasan kepatuhan terhadap kebijakan
30
b. Pemberian sanksi terhadap pihak atau kelompok yang melanggar kebijakan 3. Treasure, dapat dilihat dari: a. Anggaran b. Adanya sistem insentif dan disinsentif yang diberikan kepada sasaran kebijakan c. Tersedianya fasilitas yang dibutuhkan dalam melaksanakan kebijakan 4. Organization, dapat dilihat dari: a. Kejelasan struktur organisasi pelaksana kebijakan b. Kejelasan job description (wewenang, tugas, tanggung jawab) masing – masing pelaksana dari badan atau lembaga yang menerapkan kebijakan c. Tersedianya sumber daya manusia, yang mencakup kualitas ataupun kuantitas pegawai yang melaksanakan kebijakan
I. Metode Penelitian I.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif. Metode kualitatif yang digunakan untuk mengeksplorasi kasus ialah metode studi kasus. Menurut Creswell, studi kasus akan fokus melihat suatu kejadian baik yang mencakup individu, kelompok budaya, ataupun suatu potret kehidupan.40
40
Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design : Choosing Among Five Tradition. London : SAGE Publications. hlm. 37-38.
31
Selanjutnya, Creswell juga mejelaskan lebih lanjut tentang beberapa karakteristik studi kasus, diantaranya : (1) Mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi; (2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh waktu dan tempat; (3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa, dan (4) Menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks atau setting untuk suatu kasus.41 Sehingga, dalam penelitian ini studi kasus yang digunakan oleh peneliti termasuk ke dalam karakteristik nomor (3), di mana studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di SMA N 1 Wates. Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka teori yang telah dijelaskan sebelumnya tidak bersifat mengikat dan hanya digunakan sekedar untuk mengarahkan kesimpulan. Faktor – faktor yang mempengaruhi kebijakan yang erat kaitannya dengan isi ataupun konteks kebijakan (konsep Hood), hanya sebagai landasan teori yang berfungsi menjadi alat ukur dan alat pemetaan saat implementasi di lapangan. Konsep tersebut tidak mengikat dan tidak dapat membatasi dalam pengambilan data.
Sehingga, adanya fleksibilitas dalam
pengambilan data di lapangan tersebut kemudian akan memudahkan peneliti untuk bekerja dalam setiap proses pengambilan data. Peneliti memilih untuk menggunakan metode studi kasus karena metode tersebut sangat bermanfaat 41
Ibid.
32
dalam mengungkapkan atau memecahkan masalah yang unik dan spesifik. Namun, metode studi kasus juga mempunyai kelemahan salah satunya yaitu tentang keabsahan suatu informasi atau data yang didapatkan.
I.2 Lokasi Penelitian Lokasi studi kasus berada di SMA N 1 Wates, Kabupaten Kulon Progo. SMA dipilih sebagai lokasi penelitian karena remaja merupakan subyek dalam penelitian ini. Selain itu pemilihan lokasi penelitian ini juga atas pertimbangan jarak dan relasi peneliti. Di mana peneliti sendiri bertempat tinggal di Kulon Progo sehingga lebih dekat ketika melakukan penelitian. Peneliti juga lebih mudah membangun relasi sehingga dapat memudahkan dalam memperoleh data – data yang sulit didapatkan.
I.3 Sumber Data Arikunto dalam Prastowo menyebutkan jika secara umum terdapat tiga jenis sumber data yaitu Paper, Person, dan Place.42 Sumber data paper berarti merujuk pada dokumen – dokumen, keterangan, arsip, surat keputusan, dan sebagainya yang dapat digunakan sebagai sumber bacaan peneliti untuk mendapatkan data yang berhubungan dengan penelitiannya. Person berarti tempat peneliti bertanya – tanya mengenai variabel yang sedang diteliti atau data – data yang mendukung penelitiannya. Sedangkan place merujuk pada tempat, ruang,
42
Prastowo, A. (2011). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. hlm.33.
33
laboratorium, bengkel, kelas, dan sebagainya yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya kegiatan yang berhubungan atau mendukung data penelitian. Sedangkan secara umum, sumber data terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang langsung diperoleh langsung pada obyek penelitian. Sedangkan data sekunder yaitu data pendukung atau melengkapi data primer. Data sekunder dapat diperoleh dari kutipan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini, data berhubungan dengan subyek penelitian. Data primer yaitu data yang bersumber dari subyek penelitian primer. Sedangkan data sekunder yaitu data yang bersumber dari subyek penelitian sekunder. Karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka obyek penelitian tidak menjadi fokus utama. Fokus penelitian lebih ditekankan pada subyek sebagai basis utama sumber data. Sedangkan obyeknya ialah situasi sosial yang terjadi di lapangan. Di mana situasi tersebut akan berkembang apa adanya dan tidak dapat direkayasa oleh peneliti saat melakukan observasi.
I.4 Teknik Pengumpulan Data Telah dipaparkan sebelumnya bahwa jenis data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Pada dasarnya, data primer dapat diperoleh melalui wawancara mendalam atau in-depth interview dan kuesioner. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi dan studi pustaka. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
34
Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan atau data – data untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dengan bertatap muka secara langsung antara peneliti dan respondennya dengan menggunakan sebuah alat yang dinamakan interview guide.43 Peneliti menggunakan metode “in-deph interview” sehingga klasifikasi aktor – aktor yang terlibat dalam kasus ini akan terlihat jelas. Wawancara dari Pemerintah Kabupaten Kulon Progo akan dilakukan kepada Bupati Kabupaten Kulon Progo, Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo. Sedangkan pihak lain yang akan diwawancarai yaitu pihak dari SMA N 1 Wates dan lembaga Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC). b. Kuesioner Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam penelitian sosial. Melalui kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari responden (orang yang menjadi subyek penelitian).44 Peneliti akan mengajukan pertanyaan – pertanyaan yang berkaitan dengan informasi (data) untuk memetakan masalah penelitian. Responden dari kuesioner ini adalah siswa – siswi SMA N 1 Wates. c. Observasi Observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang bersifat sekunder. Observasi dilakukan dengan mengamati gejala – gejala yang diteliti. Dalam hal ini, panca indera manusia (penglihatan dan pendengaran) diperlukan untuk menangkap gejala – gejala tersebut. Observasi dalam penelitian ini akan
43 44
Nazir, M. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.hlm.234. Adi, Rianto. (2005). Metode Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.hlm.77.
35
dilakukan dengan melihat dan mengamati langsung kawasan tanpa rokok di SMA N 1 Wates.
d. Studi Pustaka Studi pustaka juga termasuk ke dalam data sekunder. Data yang diperoleh dari teknik studi pustaka merupakan kumpulan data – data yang telah diteliti oleh pihak lain yang berkaitan dengan penelitian ini, serta dokumen – dokumen yang mendukung. Menurut Koentjaraningrat dalam Adi, data yang berbentuk tulisan seperti surat – surat, catatan harian, laporan, dan sebagainya merupakan dokumen dalam arti sempit. Sedangkan dokumen dalam arti luas meliputi monumen, foto, tape, dan sebagainya.45 Dokumen dalam penelitian ini akan merujuk pada Perda Kulon Progo mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan dokumen – dokumen lain yang dapat mendukung data dalam penelitian.
I.5 Teknik Analisis Data Teknik analisis data diharapkan dapat membantu peneliti dalam menyusun data supaya lebih mudah ditafsirkan dan diketahui maknanya tidak hanya oleh peneliti tetapi juga oleh orang lain yang membaca. Peneliti juga dituntut untuk mempunyai strategi – strategi tertentu supaya proses penulisan tidak berhenti di tengah jalan. Selain itu juga supaya dapat memberikan hasil maksimal dari teknik pengolahan data dan seleksi data hasil penelitian.
45
Ibid., hlm.61.
36
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis data interaktif. Menurut Miles and Hubberman, teknik analisis data dan aktivitas dalam analisis meliputi: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing / verification).46 Reduksi data yaitu dilakukan dengan cara membuat ringkasan dari data yang diperoleh dalam penelitian. Penyajian data yaitu berisi kalimat – kalimat atau model matriks dari data hasil penelitian supaya dapat lebih mudah dipahami oleh pembaca. Sedangkan yang terakhir kesimpulan dan verifikasi yaitu kesimpulan yang bersifat sementara dan dapat berubah karena ada verifikasi data – data di lapangan.
J. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terangkum ke dalam 5 (lima) bab. Bab 1, Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, literature review, definisi konseptual, definisi operasional, metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data, serta sistematika penulisan. Pada bab ini juga memuat kerangka teori yang digunakan untuk membingkai persoalan yang diangkat dalam penelitian. Landasan teori yang digunakan yaitu model implementasi kebijakan menurut Christoper Hood yang terdiri dari empat faktor yaitu, nodality, authority, treasure, dan organization . Landasan teori tersebut yang kemudian akan digunakan sebagai pisau untuk 46
Milles, M.B. and Hubberman, M.A. 1984. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication.
37
membedah analisis dan menjawab rumusan masalah serta tujuan penelitian yang sudah dipaparkan sebelumnya. Pada Bab 2 akan difokuskan untuk membahas tentang persoalan persoalan remaja di SMA N 1 Wates. Penjelasan mengenai persoalan – persoalan remaja dan rokok di SMA N 1 Wates tersebut penting untuk dibahas karena untuk melihat urgensi adanya kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di SMA N 1 Wates. Pada Bab 3 peneliti akan menjelaskan tentang posisi SMA N 1 Wates dalam mendukung KTR. Posisi SMA N 1 Wates tersebut akan dilihat dari beberapa sisi, mulai dari Kepala Sekolah, Guru/Karyawan, dan Siswa. Indikator yang akan digunakan peneliti diantaranya yaitu melihat ada atau tidak peraturan khusus menyangkut rokok yang dibuat oleh sekolah mulai dari sebelum dan sesudah adanya Perda KTR. Selain itu juga akan melihat peran guru dalam mengajarkan pendidikan anti rokok terhadap siswa – siswanya, ataukah justru masih terdapat guru yang merokok di dalam lingkungan sekolah. Selanjutnya dari sisi siswa, peneliti akan melihat ketaatan siswa dalam menaati peraturan, apakah masih ada yang merokok di dalam lingkungan sekolah atau justru mereka menaati peraturan sekolah tetapi masih merokok di luar sekolah. Pada Bab 4 akan berisi analisis faktor – faktor yang mempengaruhi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di SMA N 1 Wates. Faktor – faktor tersebut akan disesuaikan dengan keempat faktor dalam pisau analisis yaitu model implementasi menurut Christoper Hood yang terdiri dari nodality, authority, treasure, dan organization. Sehingga melalui analisis tersebut akan terlihat
38
bagaimana faktor – faktor tersebut mempengaruhi kebijakan KTR di SMA N 1 Wates. Bab terakhir yaitu Bab 5, Penutup. Pada bab ini peneliti akan menyimpulkan tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di SMA N 1 Wates. Kesimpulan ini juga akan menjawab hubungan antara rumusan masalah, tujuan penelitian, rasionalisasi penjelasan yang tertera dalam setiap bab, serta kesimpulan akhir yang dibangun. Dengan begitu, harapannya, hasil dari penelitian ini dapat menjadi salah satu kontribusi terhadap perkembangan studi implementasi terutama di tingkat lokal. Selain itu, bab ini juga akan berisi saran yang diberikan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian. Harapannya saran tersebut dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah, pihak SMA N 1 Wates ataupun aktor – aktor lain yang terlibat sebagai masukan untuk implementasi kebijakan KTR menjadi lebih baik.
39