1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, industri asuransi jiwa di Indonesia mengalami perkembangan cerah. Dalam Paparan Kinerja Industri Asuransi Jiwa Kuartal Kedua 2013, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyatakakan bahwa pendapatan total dari 45 perusahaan asuransi jiwa pada tahun 2013 mencapai 71,83 triliun rupiah atau tumbuh 22,85 persen dibandingkan dengan tahun lalu yaitu sebesar 58,46 triliun rupiah. AAJI menyatakan bahwa perkembangan pasar asuransi di Indonesia akan terus naik melampaui 30% (Budianto, 2013). Meskipun perkembangan industri asuransi dinilai pesat, pangsa pasar asuransi jiwa di Indonesia sebenarnya terbilang kecil. Penetrasi pasar asuransi baru mencapai 5% dari 237 juta penduduk Indonesia (Rahayu, 2013). Indonesia ada di posisi 3 di bawah Singapura dan Malaysia. Perbandingan jumlah agen dengan jumlah nasabah juga sangat besar di mana satu agen di Indonesia melayani 700 nasabah. Di Singapura dan Malaysia, satu agen berbanding 300 dan 400 orang nasabah. Bila melihat angka-angka itu, harapan akan berkembangnya pasar asuransi jiwa masih terbuka lebar mengingat munculnya kelas menengah baru yang perkembangannya mencapai 42,7% (Setiawan, 2011).
2
Perkembangan industri asuransi jiwa tidak dapat dilepaskan dari ujung tombak perusahaan asuransi, yakni tenaga penjual yang disebut sebagai agen asuransi jiwa, atau sering disebut agen asuransi. AAJI menjelaskan bahwa agen asuransi adalah motor penggerak bagi penjualan produk asuransi, sekaligus memberikan sosialisasi asuransi jiwa dan mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya asuransi dan perencanaan keuangan jangka panjang (Putra, 2014. Hingga saat ini, penjualan polis asuransi masih tergantung pada satu jalur, yakni melalui agen asuransi (Putra, 2014). Hackman dan Oldham (1976) menyatakan ada 5 karakteristik sebuah pekerjaan, yakni variasi kemampuan (skill variety), identitas pekerjaan (task identity), signifikansi tugas (task significance), kebebasan atau otonomi (autonomy) dan umpan balik pekerjaan (feedback). Dengan pisau analisis dari karakteristik pekerjaan Hackman dan Oldham, Sondari (2008) menemukan bahwa profesi sebagai agen asuransi adalah pekerjaan dimana seorang agen asuransi membutuhkan banyak keterampilan yang beragam, antara lain keterampilan
dalam
penjualan,
keterampilan
bernegosiasi,
keterampilan
berhubungan dengan orang lain (human relation), keterampilan persuasif, dan ketrampilan lain (skill variety). Pekerjaan agen asuransi juga memiliki identitas tugas yang tinggi dimana pekerjaan ini menuntut agen asuransi untuk menyelesaikan hampir keseluruhan proses dari alur proses bisnis asuransi, mulai
dari
pencarian
prospek, perencanaan
penjualan,
pendekatan,
penutupan, transaksi dan pemeliharaan pelanggannya (task identity). Pekerjaan sebagai agen asuransi jiwa memberikan kebebasan penuh (autonomy) kepada para agen dalam pelaksanaan tugasnya. Secara umum agen asuransi jiwa tidak diwajibkan hadir ke kantor setiap hari, memiliki kebebasan
3
mengenai cara pendekatan kepada prospek, cara penjualan, dan lain-lain. Pekerjaan agen asuransi juga memiliki signifikansi tugas yang tinggi karena pekerjaannya menawarkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dan masyarakat dimana produk asuransi dapat memberikan perlindungan kepada pemegang polisnya. Pekerjaan agen asuransi jiwa juga memberikan
umpan
balik langsung kepada pemangku pekerjaannya. Untuk kinerja yang baik, dia akan mendapatkan komisi berupa uang sesuai presentase pendapatan dan peluang promosi yang lebih besar. Sementara kinerja yang buruk akan membawa hasil yang buruk pula pada kompensasi dan promosi (Sondari, 2008) Dalam konteks industri asuransi di Indonesia, lebih lanjut Lavandria (2009) menemukan bahwa menjual asuransi dinilai sebagai pekerjaan yang cukup berat mengingat orang Indonesia belum mempunyai pengetahuan dan kesadaran yang tinggi akan pentingnya berasuransi. Lagipula, agen asuransi tidak menjual barang yang bisa disentuh tangible, tetapi menjual barang yang tidak bisa disentuh (intangible) yakni polis asuransi yang berisi jaminan perlindungan atau proteksi dalam menghadapi risiko kesehatan, kecelakaan dan kematian. Produk seperti ini tidak bisa ditawarkan secara massal, karena setiap produk asuransi unik dan khusus bagi setiap orang (personal selling). Oleh karena itu penyampaian informasi asuransi kepada calon nasabah harus bersifat khusus dan langsung bagi setiap calon pembeli. Selain itu diperlukan juga kepribadian yang pantang menyerah, tangguh, dan tahan banting (hardiness) serta keahlian dan ketrampilan yang khusus untuk melakukan penjualan polis asuransi. Kinerja agen asuransi adalah konsekuensi atau hasil dari perilaku yang dilakukan oleh agen asuransi dalam mencapai tujuan organisasi, yakni menjual
4
produk asuransi. Pengukuran kinerja penjualan berdasarkan pada pendekatan hasil, yakni volume penjualan yang bisa diperoleh dalam satu periode tertentu (Busch & Bush, 1978). Agen asuransi memiliki kinerja baik apabila mereka mampu mendapatkan premi sesuai yang ditargetkan oleh perusahaan dalam periode tertentu. Sedangkan, indikasi kinerja buruk antara lain adalah rendahnya volume penjualan dari premi yang didapat oleh agen sehingga tidak sesuai dengan harapan perusahaan (Boles, Bellenger & Barksdale, 2000; Djauhari & Rachmansyah, 2010). Kinerja rendah mengakibatkan agen secara otomatis tersingkir (terminasi) atau dengan sengaja mengundurkan diri (drop out). Mutiarasari (2009) mengadakan penelitian mengenai intensi turn over pada agen asuransi Bumiputera 1912 di Semarang. Penelitiannya mengungkap bahwa banyak agen yang merasa kesulitan atau tidak mampu dalam menawarkan produk asuransi dan membujuk calon nasabah untuk membeli produknya sehingga kinerjanya buruk. Untuk menjual produk asuransi, memang dibutuhkan pribadi yang adaptif, pantang menyerah dan tahan banting (hardiness) (Mutiarasari, 2009). Djauhari dan Rachmansyah (2010) mengadakan penelitian mengenai buruknya kinerja penjualan Asuransi Jiwa yang ditandai dengan kinerja yang fluktuatif di AJB Bumiputera 1912 Kantor Cabang Semarang dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Terjadinya fluktuasi penjualan tersebut dapat diakibatkan karena kurangnya pengetahuan pasar, kurangnya pengetahuan pengelolaan wilayah, tidak adanyanya jaringan pemasaran yang berkualitas, kompetensi tenaga penjualan yang rendah serta kemampuan pemantauan diri tenaga penjual yang masih rendah. Dengan demikian, banyak agen asuransi
5
yang kurang memenuhi kualifikasi sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Meskipun pemaparan di awal menunjukkan pertumbuhan pasar asuransi mempunyai prospek yang cerah, perusahaan asuransi seyogyanya peka terhadap masalah-masalah yang timbul dan menghadapi permasalahan di atas dengan meningkatkan kualitas agen asuransi dan strategi penjualannya serta meningkatkan kualitas perekrutan agen asuransi. Agen-agen asuransi yang berkualitas dengan pelayanan yang baik diharapkan akan menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya asuransi, sehingga mereka mau membeli produk asuransi yang ditawarkan. Sebagai akibatnya, kinerja agen asuransi meningkat dan semakin berkembang. Di sisi lain, peningkatan kinerja agen asuransi bertujuan untuk menyambut era perdagangan bebas di Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) yang dimulai pada tahun 2015 nanti. Bisnis asuransi sebagai bagian dari bisnis perdagangan jasa keuangan mau tidak mau harus selalu berbenah untuk menghadapi berbagai situasi persaingan dan perubahan pasar. Perusahaan asuransi baik lokal maupun asing di Indonesia harus mulai berbenah supaya mampu saling bersaing dengan sehatuntuk memperebutkan kue pasar asuransi Indonesia. Dengan demikian, usaha untuk selalu meningkatkan kualitas agen asuransi sebagai ujung tombak dari bisnis asuransi sehingga mempunyai kinerja yang baik bukanlah sebuah ide yang jelek. Kinerja individu dalam organisasi dipengaruhi oleh beberapa. French (2011) menyatakan bahwa kinerja dapat dijelaskan melalui interaksi antara variabel karakteristik individu, usaha (effort) serta dukungan dari organisasi dan lingkungan (French, 2011). Karakteristik individu mengacu pada karakteristik
6
kognitif maupun non kognitif. Beberapa di antaranya adalah umur, jenis kelamin, suku, kemampuan, bakat, karakteristik kepribadian, nilai, sikap, dan persepsi (French, 2011). Atribut individual itu sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan. Sementara itu effort mengacu kepada kemauan (willingness) untuk berperilaku ketika melakukan pekerjaannya. Dengan demikian, effort berkaitan erat dengan motivasi bekerja (French, 2011). Selanjutnya, dukungan organisasi adalah faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi individu untuk melakukan pekerjaannya. Jadi, meskipun karakteristik individu sesuai dengan pekerjaan, dan motivasi tinggi, akan tetapi tidak didukung dengan situasi pekerjaan yang memadai, hasil akhir kinerja tidak akan baik. Dukungan organisasi antara lain adalah perencanaan organisasi, pembiayaan, teknologi, instruksi dari pemimpin dan beberapa faktor dukungan organisasi (French, 2011). Dalam bidang penjualan, Churchill, Ford, Hartley dan Walker (1985) menyatakan bahwa kinerja seorang tenaga penjual ditentukan oleh bakat (aptitude), tingkat kemampuan dan ketrampilan (skill level), motivasi, persepsi terhadap perannya (role perception), variabel personal dan lingkungan atau organisasinya, serta dipengaruhi oleh tipe produk dan tipe konsumen yang dihadapi oleh tenaga penjual. Selain itu, Barker (1999) secara khusus dalam bidang penjualan juga memberikan penjelasan bahwa kinerja penjualan bukanlan sebuah konsep yang satu, tetapi terdiri dari beberapa faktor yang saling berkaitan, yakni kinerja sebagai perilaku dan kinerja sebagai hasil. Perlu diingat bahwa dalam bidang penjualan, yang diutamakan adalah bagaimana hasil yang diperoleh dalam organisasi itu. Kinerja sebagai perilaku terdiri dari kinerja perilaku penjualan dan kinerja perilaku bukan penjualan (non selling performance). Kinerja sebagai
7
perilaku dipengaruhi oleh beberapa hal seperti karakteristik individu dan faktor organisasi secara langsung. Karakteristik individu yang dimaksud antara lain adalah kepribadian, umur, masa kerja, suku dan atribut individu lain. Sementara itu faktor dukungan dari organisasi antara lain adalah sistem kontrol yang diterapkan oleh pemimpin, manajer serta dukungan dari organisasi. Dengan demikian, secara tidak langsung, kinerja hasil juga dipengaruhi oleh kinerja karakteristik individu dan dukungan dari organisasi (Barker, 1999). Rendahnya volume penjualan agen asuransi disebabkan oleh kegagalan dalam melakukan transaksi. Kegagalan itu biasanya disebabkan kesalahan dalam melakukan pendekatan interpersonal dengan calon pembeli serta kurangnya pengalaman dan pengetahuan. Sedikit banyak kegagagalan dan keberhasilan agen dalam mengupayakan terjadinya transaksi ditentukan oleh kemampuannya
membawakan
diri,
melakukan
pendekatan,
melakukan
presentasi, dan strategi dalam meyakinkan atau mempengaruhi calon nasabah. Sebuah presentasi penjualan yang efektif harus adaptif dan fleksibel. Mengadaptasi bukanlah sekedar menggunakan bahasa atau sekedar mengolah kata-kata yang diucapkan pada calon nasabah. Adaptasi adalah proses penjualan (penjualan adaptif) yang berarti mengantisipasi kebutuhan sekaligus penolakan calon pembeli maupun memikirkan dan menerapkan strategi yang tepat untuk menghadapinya (Yudiani, 2002). Seorang agen asuransi hendaknya mampu melakukan pendekatan (selling approach) dan presentasi penjualan yang dapat mempengaruhi dan menimbulkan minat serta kesadaran konsumen akan pentingnya asuransi dan pada akhirnya akan membeli produk asuransi itu. Pendekatan penjualan yang digunakan tenaga pemasar sering disebut personal selling, yakni pendekatan
8
yang menyampaikan informasi tentang produk secara khusus bagi setiap calon pembeli. Dalam personal selling, seorang agen asuransi perlu memiliki kemampuan mengontrol tingkah laku, ekspresi dan menyesuaikan diri dengan situasi sosial yang dihadapi, agar dalam melayani pelanggan mampu memberikan kesan yang baik, di mana ia berusaha menampilkan diri sebaik mungkin di depan orang lain dan memperhatikan kesan-kesan yang diterima orang lain terhadap perilakunya. Ketika berhadapan dengan pelanggan, mereka mampu bersikap dan mampu menyesuaikan pendekatan ataupun cara pelayanan agar lebih sesuai dengan harapan setiap pelanggan. Perilaku penjualan seperti dimaksud diatas adalah perilaku penjualan adaptif, yakni kemampuan beradaptasi ketika menghadapi karakteristik nasabah yang berbeda-beda. Menurut Weitz dan Wright (1978) yang dimaksud penjualan adaptif adalah proses penjualan yang terdiri dari pengumpulan informasi tentang harapan-harapan
para
pelanggan,
mengembangkan
strategi
penjualan
berdasarkan informasi tersebut, menyalurkan signal yang dapat dipahami untuk melaksanakan
strategi,
mengevaluasi
pengaruh
dari
pesan-pesan,
dan
melakukan penyesuaian diri berdasarkan evaluasi. Boorom, Goolsby, dan Ramsey (1998) menemukan adanya kemampuan adaptasi dalam penjualan berhubungan secara positif dengan kinerja penjualan para tenaga penjual atau sales. Babakus, Cravens, Grant, Ingram, dan LaForge (1996) juga menemukan hubungan positif antara kemampuan penjualan adaptif dengan kinerja tenaga penjual. Senada dengan penelitian sebelumnya, Baldauf dan Cravens (2002) juga menemukan bahwa kemampuan tenaga penjual, produk dari industri itu sendiri dan perkembangan industri mempunyai efek
9
terhadap kinerja dan efektivitas penjualan. Kemampuan tenaga penjual yang dimaksud adalah kemampuan penjualan adaptif (adaptive selling). Perilaku
penjualan
adaptif dipengaruhi oleh
beberapa
hal. Dua
diantaranya adalah faktor kepribadian dengan kemampuan pemantauan diri (self monitoring), adaptif, serta termotivasi tinggi (Spiro & Weitz, 1990). Hal ini sesuai dengan karakteristik yang nampak dalam pribadi orang dengan faktor kepribadian conscientiousness yang ditandai dengan kedisiplinan tinggi (self discipline) dan motivasi tinggi untuk berprestasi (achievement of striving) ( McCrae & Costa, 1999). Selain itu, penjualan adaptif juga dipengaruhi oleh bagaimana manajer berperilaku atau sistem kontrol yang dilakukan oleh pemimpin di dalam perusahaan itu. Pemimpin yang memberikan contoh, selalu memotivasi, memberikan kebebasan terhadap tenaga penjualnya untuk melakukan penjualan adaptif ternyata berpengaruh terhadap bagaimana tenaga penjual berperilaku (Spiro & Weitz, 1990). Dengan demikian, tipe pemimpin memberikan pengaruh terhadap bagaimana anak buah melakukan penjualan secara adaptif. Dengan
demikian,
perilaku
penjualan
adaptif
yang
merupakan
kemampuan untuk menyesuaikan perilaku menjual ketika berinteraksi dengan calon nasabah adalah salah satu prediktor tingkat kinerja agen asuransi. Semakin mahir agen asuransi dalam menyesuaikan perilakunya ketika menghadapi nasabah, termasuk menghadapi penolakan, diharapkan dia akan mempunyai yang tingkat kinerja yang tinggi. Oleh karena itu, perusahaan perlu membekali agen asuransi dengan berbagai kemampuan penjualan seperti perilaku penjualan adaptif.
10
Selain karena kurangnya kemampuan dalam perilaku penjualan, agen asuransi juga menghadapi kesulitan-kesulitan, persaingan dengan agen lain, serta penolakan dari calon nasabah, yang seringkali menyebabkan banyak agen asuransi patah arang. Penelitian Mutiarasari (2009) dan Lavandria (2009) mengungkap bahwa agen asuransi seringkali mudah putus asa, tidak ulet, mudah menyerah, ketika menghadapi penolakan dari calon nasabah dan menghadapi kesulitan dalam menjual maupun merekrut agen baru. Agen asurani dengan kepribadian yang ulet dan tahan banting (hardiness) yang ditemukan mempunyai kinerja yang tinggi (Lavandria, 2009). Barker (1999) menyatakan bahwa karakteristik tenaga penjual yang efektif adalah mempunyai motivasi dari dalam dirinya untk mengerjakan yang terbaik,
mempunyai semangat menghasilkan
prestasi,
berkembang
dan
terstimulasi serta mampu mengatasi tantangan dari pekerjaannya. Tenaga penjual yang berkinerja tinggi lebih inovatif dan kreatif. Lebih lanjut Barker (1999) menyatakan bahwa karyawan tenaga penjual dengan kinerja tinggi terstimulasi oleh pekerjaan mereka sehingga mereka bekerja keras, loyal pada perusahaan, dan mencapai prestasi lebih baik serta lebih berani dalam mengambil resiko. Barrick dan Mount
(1991), Ones, Viswesvaran dan Schmidt (1993),
Thoresen, Bradley Bliese, dan Thoresen (2004) serta penelitian Salleh dan Kamarrudin (2011) menyatakan bahwa faktor kepribadian conscientiousness yang sering diterjemahkan sebagai kepribadian ulet (Hadjam & Widiarso, 2011) atau keuletan mempengaruhi kinerja seseorang. Faktor kepribadian yang ulet digambarkan sebagai pribadi yang dapat diandalkan (dependable), berorientasi pada tujuan (goal oriented), penuh perencanaan (planful), dan berorientasi kepada pencapaian prestasi (achievement oriented) (Jex & Britt, 2008).
11
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kepribadian Conscientiousness yang ditandai dengan pribadi yang tangguh, tahan banting, termotivasi untuk mencapai prestasi tertinggi, bertanggungjawab dan penuh perencanaan, mampu memprediksi tingginya kinerja penjualan seseorang. Dewasa ini, perusahaan asuransi menerapkan sistem pemasaran berjenjang atau sering disebut multilevel marketing (MLM) dalam usahanya untuk menjual produk asuransi. Hal ini nampak dalam perekrutan agen baru dan pembagian bonus atau komisi. Dengan demikian, selain menjual produk asuransi, seorang agen asuransi juga bisa mencari agen baru untuk dijadikan penjual-penjual baru yang ada di bawahnya (downline). Rukmana (2012) menemukan bahwa sistem pemasaran berjenjang di perusahaan asuransi Prudential sangat efektif untuk pemasaran produk. Selain itu sistem ini sangat efisien karena sistem pemasaran berorientasi perorangan atau pemasaran dari mulut ke mulut (Rukmana, 2012). Dengan sistem pemasaran berjenjang, seorang agen asuransi bisa merekrut agen baru yang akan diletakkan dibawahnya. Agen dipimpin oleh seorang leader yang ada di atasnya, dan dia juga bisa menjadi seorang leader sekaligus agen untuk memimpin para agen di bawahnya. Menurut AAJI, seorang leader bertugas untuk merekrut, membina, memelihara dan memotivasi orangorang yang ada di bawahnya (downline) termasuk para agen.. Dengan kepemimpinan
demikian, dari
kinerja
seorang
agen
leader.
asuransi dipengaruhi juga
Pemimpin
mengubah,
oleh
memotivasi,
mentransformasi, dan mendorong anak buah agar menjadi sukses. Avolio, Bass, dan Jung (1999) menyatakan bahwa ada empat komponen yang menjelaskan ciri
pemimpin
dengan
kepemimpinan
transformasional,
yakni
1)
yang
12
berpengaruh ideal (idealized influence), 2) mampu memberikan inspirasi motivasi (inspirastional motivation), 3) mampu memberi stimulasi intelektual (intellectual stimulation), dan 4) mampu memberikan perhatian kepada setiap individu yang dipimpinnya (individualized consideration). Banyak penelitian yang menghubungkan secara langsung antara kepemimpinan transformasional dengan meningkatnya kinerja anak buah dalam organisasi (Bass, Avolio, Jung, & Berson, 2003; Howell & Avolio, 1993). Sementara itu, beberapa peneliti (DeGroot, Kiker & Cross, 2000; Lowe, Kroeck & Sivasubramaniam, 1996) membuat meta-analisis yang menemukan hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja organisasi. Keller (1992) membuat penelitian mengenai kepemimpinan transformasional dalam bidang pengembangan proyek dan riset kelompok yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dan kinerja. Sementara itu Dvir, Eden, Avolio dan Shamir (2002) menyatakan adanya peningkatan kinerja tim atau kelompok dipengaruhi oleh kepemimpinan transformasional yang diterapkan oleh pemimpin. Dari berbagai penelitian mengenai gaya kepemimpinan transformasional, dapat disimpulkan bawah gaya kepemimpinan transformasional yang diterapkan oleh pemimpin secara langsung mampu meningkatkan kinerja anak buahnya. Dalam dunia asuransi, seorang leader yang memang mempunyai tugas utama untuk memotivasi, merekrut dan mengajari para agen diharapkan juga mampu mempengaruhi kinerja agen yang ada dibawahnya (downline) agar semakin baik. Dengan menerapkan kepemimpinan transformasional, diharapkan leader dapat mempengaruhi anak buah sehingga mempunyai kinerja yang semakin baik.
13
Penelitian
dengan
menempatkan
kepemimpinan
transformasional
sebagai variabel independen yang secara langsung mempengaruhi kinerja karyawan telah banyak dilakukan. Namun, penelitian yang menempatkan bahwa kepemimpinan secara tidak langsung mempengaruhi kinerja anak buah sedikit dilakukan.
Penelitian
Baldatuf
dan
Cravens
(2002)
penyatakan
bahwa
karakteristik tenaga penjual, faktor organisasi dan lingkungan memberikan pengaruh bagi hubungan antara perilaku kerja tenaga penjualan dan kinerja organisasi penjualan dengan dimediasi oleh beberapa faktor seperti perilaku kinerja tenaga penjual itu sendiri. Faktor organisasi yang dimaksud antara lain adalah dukungan organisasi dan tipe manajemen yang berupa kepemimpinan yang diberikan oleh organisasi kepada karyawan. Variabel ini memberikan pengaruh positif terhadap hubungan antara perilaku kerja tenaga penjual dengan hasil yang diperoleh oleh organisasi (Baldauf & Cravens, 2002). Sementara itu, penelitian Wisker (2011) juga menempatkan perilaku penjualan adaptif secara signifikan sebagai mediator antara sistem kontrol yang dilakukan oleh atas dan kinerja penjualan tenaga penjual. Demikian pula penelitian mengenai faktor kepribadian conscientiousness yang mempengaruhi secara langsung terhadap kinerja seseorang telah banyak dilakukan. Namun, Barrick dan Mount (2003) menganjurkan untuk menggunakan variabel lain sebagai mediator untuk menjembatani antara faktor kepribadian dengan kinerja seseorang. Penelitian Dong, Wang dan Gao (2009) dengan menggunakan model persamaan struktural menempatkan perilaku penjualan adaptif sebagai mediator antara faktor kepribadian conscientiousness dengan kinerja penjualan pada tenaga penjual.
14
Sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Barker (1999), bahwa kinerja penjualan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan: faktor-faktor karakteristik tenaga penjual faktor kepribadian, peran dari manajer sebagai pemimpin dengan model gaya kepemimpinannya dan kinerja sebagai perilaku yakni perilaku penjualan adaptif, maka penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Barker itu. Kinerja, secara khusus dalam bidang penjualan, tidak hanya dapat dijelaskan oleh beberapa faktor, tetapi ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Industri asuransi di Indonesia diprediksi akan berkembang pesat dan mempunyai prospek yang cerah (Windarto, 2013). Sebagai konsekuensi, kebutuhan akan agen juga akan meningkat. Untuk mendukung kinerja perusahaan asuransi, terutama menghadapi persaingan di era perdagangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) tahun 2015 nanti, dibutuhkan agen-agen asuransi yang berkualitas sehingga menghasilkan kinerja yang bagus dan kompetitif. Dengan demikian, agen asuransi semakin baik dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya asuransi, menjual produk asuransi dan memperluas pasar asuransi di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa kinerja agen asuransi dapat dipengaruhi oleh dua variabel independen yakni faktor kepribadian conscientiousness dan gaya kepemimpinan transformasional yang diterapkan pemimpin serta perilaku penjualan adaptif sebagai variabel mediator. Diharapkan dengan tingginya ketrampilan perilaku penjualan adaptif, agen-agen dengan kepribadian yang ulet dan didukung oleh penerapan kepemimpinan transformasional dari pemimpin diharapkan akan membuat kinerja agen asuransi akan tinggi pula. Oleh karenanya, penulis memandang penelitian ini relevan
15
dilakukan untuk menguji peran ketiga faktor itu dalam mempengaruhi kinerja agen asuransi. B. Rumusan Permasalahan Bisnis asuransi dinilai mempunyai prospek yang cerah. Tren baik ini perlu ditanggapi oleh perusahaan antara lain dengan peningkatan kualitas agen asuransi agar bisnis asuransi berkembang makin luas. Sementara itu, perilaku penjualan adaptif, penerapan kepemimpinan transformasional serta faktor kepribadian ulet dinilai mampu mempengaruhi kinerja individu dan organisasi. Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, peneliti merumuskan pertanyaan sebagai berikut. Apakah dengan kemampuan penjualan adaptif sebagai mediator, faktor kepribadian ulet atau conscientiousness dan dukungan dari gaya kepemimpinan transformasional memberi pengaruh terhadap kinerja dari agen asuransi? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji kesesuaian data empiris yang diperoleh apakah konsisten dengan model yang dikembangkan. Penelitian ini juga bertujuan untuk menguji peran perilaku penjualan adaptif sebagai mediator antara
faktor
kepemimpinan
transformasional
dan
kepemimpinan
transformasional terhadap kinerja agen asuransi. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk menjadi bahan kajian teoritis bagi penelitian berikutnya terutama yang berkaitan dengan kinerja agen asuransi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberi acuan dalam implementasi strategi penjualan bagi agen asuransi maupun bagi para leader
16
agen asuransi. Dengan demikian penelitian ini bisa memberi sumbangan bagi praktisi pengembangan di industri asuransi.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian untuk menguji faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja agen asuransi telah banyak dilakukan. Penelitian Phalestie (2007) terhadap agen asuransi di Jakarta dengan variabel tipe kepribadian dan kemampuan
komunikasi
interpersonal
dengan
kinerja
agen
asuransi
menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara trait kepribadian conscientiousness Sementara
itu,
Prastikasari
dan prestasi kerja pada agen asuransi. (2010)
menemukan
bahwa
variabel
conscientiousness paling berpengaruh terhadap kinerja agen Asuransi Bersama Bumiputera Cabang Malang Dieng setelah mengadakan penelitian yang berjudul Pengaruh Dimensi Kepribadian terhadap Kinerja Karyawan dinas Luar pada Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Cabang Malang Dieng. Penelitian Setiobudi (2007) terhadap 120 agen asuransi Sinar Mas di Semarang yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Selling Skill terhadap kinerja Tenaga penjualan menyingkap bahwa kemampuan penjualan adaptif sebagai salah satu faktor berpengaruh terhadap keterampilan menjual dan keterampilan menjual berpengaruh positif terhadap kinerja agen asuransi. Senada dengan penelitian sebelumnya, Purnamasari (2012) juga melakukan penelitian ekperimen dengan memberikan pelatihan ketrampilan penjualan adaptif dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja tenaga penjual di toko busana Muslim melalui peningkatan Kemampuan Orientasi Pelanggan.
17
Sementara itu, Praja (2012) mengadakan penelitian studi kasus secara kualitatif mengenai peran manajer sebagai pemimpin untuk meningkatkan kinerja agen asuransi PT Prudential Life Insurance. Penelitiannya terhadap manajer unit dan agensi menyingkap bahwa peran manajer tidak hanya sebagai pemimpin tetapi sekaligus sebagai motivator, pemberi teladan, pengembangan sumber daya manusia, penunjuk arah, sahabat, guru, orang tua, serta rekan kerja. Ciriciri tersebut merupakan penerapan dari gaya kepemimpinan transformasional oleh manajer atau pemimpin dari agen asuransi. Dengan demikian, pemimpin agensi
menggunakan
gaya
kepemimpinan
transformasional
untuk
mempengaruhi kinerja anak buah dengan menjadi motivator, guru dan sahabat. Sementara itu, sebagai pemimpin tertinggi agensi, manajer menerapkan kepemimpinan transaksional sebagai pemberi reward dan punishment kepada agen asuransi. Mulyaningrum
(2010)
mengadakan
pelatihan
kepemimpinan
transformasional dan transaksional terhadap para agen asuransi Asuransi Jiwa Bumiputera. Setelah mengadakan pelatihan kepemimpinan, kinerja agen asuransi diukur. Penelitiannya mengungkap adanya peningkatan kinerja agen asuransi. Kedua variabel, yakni pelatihan kepemimpinan dan kepemimpinan meningkatkan kinerja karyawan Asuransi Jiwa Bumiputera. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mariam (2009) pada 115 agen asuransi
PT
Asuransi
Jasa
Indonesia
menggunakan
variabel
gaya
kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja agen yang dimediasi oleh kepuasan kerja. Penelitiannya menunjukkan adanya pengaruh signifikan dan positif antara kepemimpinan dengan kinerja agen asuransi.
18
Penelitian Risakotta (2003) menemukan bahwa keempat faktor dari kepemimpinan
transformasional
penjualan 50 karyawan
mempunyai
pengaruh
terhadap
kinerja
dari berbagai divisi PT Sari Husada Yogyakarta.
Keempat faktor berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan, F = 14,474. Faktor inspirasional memiliki kontribusi yang paling besar dengan R2 = 0,278. dari perhitungan tersebut diperoleh keoefeisin pengaruh sebesar 52,4% dan sisanya sebesar 47,6% dipengaruhi oleh faktor yang lain. Dalam
penelitian
ini,
peneliti menggunakan
tiga
variabel,
yakni
kepribadian ulet, persepsi terhadap kepemimpinan transformasional serta kemampuan penjualan adaptif sebagai variabel mediator yang diharapkan mampu menjelaskan kinerja agen asuransi. Berbeda dengan penelitian sebelumnya (Djauhari & Rahmansyah, 2010; Bajari, 2006; Setiobudi, 2007), kinerja agen asuransi tidak hanya diukur melalui volume penjualan individu maupun secara bersama, tetapi juga bagaimana agen mampu mempertahankan pelanggan tetap membayar polis asuransi secara rutin yang dibandingkan dengan target penjualan yang ditetapkan oleh perusahaan.