BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di seluruh dunia. Saking derasnya arus wacana mengenai demokrasi, hanya sedikit saja negara yang berani menyebut dirinya tidak menganut sistem demokrasi. Meski gelombang demokrasi sempat terhambat pada tahun 1950an hingga 1970an, gagasan demokrasi tetap menjadi primadona dalam wacana politik setiap negara di hampir seluruh belahan dunia (Markoff, 1996: 2-3). Indonesia yang merdeka setelah Perang Dunia II, merupakan salah satu negara yang terpengaruh dengan gagasan demokrasi. Buktinya, ide demokrasi menjadi salah satu pilar penting dalam dasar negara Indonesia, Pancasila. Sila keempat dalam Pancasila mengandung nilai demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Artinya, rakyat berhak ikut serta dan berperan dalam aktivitas politik dan aktivitas ekonomi. Indonesia merdeka dibayangkan sebagai negara yang demokratis, baik secara politik ataupun ekonomi. Para pemimpin di Indonesia dengan caranya masing-masing berusaha merancang agar Indonesia menjadi salah satu model negara yang demokratis. Soekarno pada tahun 1959 menerapkan suatu model demokrasi yang ia sebut sebagai demokrasi terpimpin (guided democracy). Demokrasi terpimpin dirancang oleh Soekarno untuk mengatasi kegaduhan politik di parlemen setelah Pemilu 1955. Pada paruh kedua tahun 1960, Soeharto naik menggantikan Soekarno sebagai Presiden RI. Saat menjabat sebagai Presiden RI, Soeharto menerapkan
model demokrasi yang disebutnya sebagai demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila (Pancasila’s democracy) muncul sebagai reaksi atas demokrasi terpimpin Soekarno yang cenderung otoriter. Selain itu, demokrasi terpimpin yang dikreasi Soekarno dianggap tidak “konsekuen” dengan nilai-nilai Pancasila karena gaya kepemimpinannya yang otoriter dan berani membubarkan parlemen (Alfian, 1986: 138). Pada tahun 1996, muncullah riak-riak protes dari mahasiswa yang memprotes pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Soeharto. Puncaknya pada tahun 1998 saat gelombang besar rakyat dan mahasiswa beraliansi menuntut agar Soeharto turun dari jabatan kepresidenan. Namun, saat Soeharto tumbang di tahun 1998, demokrasi tidak ikut tumbang. Justru isu demokrasi lah yang digunakan sebagai senjata untuk melengserkan Soeharto. Kenyataan bahwa demokratisasi adalah isu yang dipakai untuk melengserkan Soeharto, sama juga menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila model Soeharto dianggap masih kurang demokratis. Praktik berdemokrasi di Indonesia dulu dan kini erat kaitannya dengan bangunan wacana mengenai demokrasi yang berkembang di Barat. Sementara itu, bangunan demokrasi Barat hampir selalu dikaitkan dengan pengalaman demokrasi zaman Yunani klasik, yakni seluruh masyarakat ikut terlibat dan berpartisipasi dalam proses-proses politik dalam polis. Konsekuensinya, demokrasi hampir selalu dikait-kaitkan dengan persoalan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, isu partisipasi menjadi suatu hal yang penting dibicarakan bagi negara yang mengaku demokratis. Maka selanjutnya yang menjadi tantangan negara
demokratis hampir di seluruh dunia adalah membuat suatu sistem yang mampu menjamin partisipasi masyarakat dalam politik. Satu di antara sistem yang dimaksud adalah pemilihan umum (pemilu). Tentang hal ini, Dhakidae (1986: 169) menyebutkan, “hampir tidak ada bangsa yang baru merdeka tidak menetapkan pemilihan umum sebagai program politik berikutnya.” Sebagaimana negara lain yang mengaku demokratis, pemilu merupakan agenda penting yang telah berulangkali diselenggarakan di Indonesia. Sejak kemerdekaannya, Indonesia terhitung sudah menyelenggarakan pemilu sebanyak sepuluh kali. Berturut-turut, pemilu ini berlangsung di tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997. 1999, 2004 dan terakhir 2009. Di Indonesia, keberhasilan menyelenggarakan pemilu seringkali dijadikan ukuran berhasil tidaknya proyek demokrasi. Rezim Soeharto yang otoriter itu dapat mengklaim dirinya demokratis setelah berhasil menyelenggarakan pemilu dengan teratur, 5 tahun sekali. Kebiasaan memandang pemilu sebagai ukuran berhasil tidaknya proyek demokrasi agaknya masih bertahan hingga sekarang, paling tidak berlaku di kalangan para pejabat publik dan elit politik. Oleh karenanya, berhasil tidaknya demokrasi menjadi persoalan berhasil tidaknya pemilu. Sementara itu, ada kecenderungan kuat bahwa pemilu dikatakan berhasil jika banyak pemilih yang berhasil menggunakan hak pilihnya secara benar. Semakin tinggi masyarakat menggunakan hak pilihnya secara benar, semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat. Sebaliknya, semakin rendah jumlah masyarakat yang menggunakan hak pilihnya secara benar, semakin rendah pula tingkat partisipasi masyarakat. Terkait dengan itu, dalam konteks Indonesia,
fenomena masyarakat tidak menggunakan hak pilih secara benar sering juga disebut dengan “golput” (golongan putih). Dalam pemilu legislatif yang pernah digelar di Indonesia, angka golput menunjukkan trend yang semakin meningkat. Pada Pemilu 1955, jumlah golput mencapai 8,6 persen dari total pemilih pemilu. Sementara itu, pada Pemilu 1971, jumlah golput bisa ditekan menjadi 3,4 persen saja. Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1992 jumlah golput terus menanjak namun tidak mencapai angka 7 persen dari total pemilih pemilu. Pada Pemilu 1997, jumlah golput menembus angka 7,3 persen dan menurun menjadi 6,4 persen pada Pemilu 1999. Angka golput meningkat secara drastis pada Pemilu 2004, yakni 15, 9 persen (LSI, 2007: 2). Pada Pemilu 2009, angka golput memperlihatkan kenaikan fantastis hingga mencapai 29,1 persen dari total jumlah pemilih. Mengingat ukuran keberhasilan demokrasi di Indonesia cenderung dilihat dari banyak sedikitnya jumlah golput, bisa dipahami mengapa para elit politik menjadi risau akan masa depan demokrasi Indonesia. Pengalaman pemilu 2009 yang sarat dengan banyaknya jumlah golput merangsang munculnya inisiatif untuk menekan angka golput pada pemilu 2014. Salah satu di antaranya adalah dengan membentuk lembaga independen di bawah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bernama “Relawan Demokrasi” (Marbun, 2014). Dalam sebuah edaran resmi dari KPU, Relawan Demokrasi adalah mitra KPU untuk “menjalankan agenda sosialisasi dan pendidikan pemilih berbasis kabupaten/kota”. Relawan Demokrasi juga diharap mampu “mendorong tumbuhnya kesadaran tinggi serta tanggung jawab penuh masyarakat untuk
menggunakan haknya dalam pemilu secara optimal”. Isu utama yang melatar belakangi berdirinya lembaga ini ada dua. Pertama, partisipasi pemilih dalam pemilu yang cenderung menurun. Kedua, buruknya kualitas pemilih. Artinya jelas bahwa anjloknya kualitas dan kuantitas pemilih dalam pemilu adalah isu utama yang hendak diatasi oleh KPU. (KPU, 2013) Relawan Demokrasi akan disebarkan di kabupaten/kota. Salah satunya adalah Kabupaten Banyumas (selanjutnya akan ditulis Banyumas saja). Di Banyumas, Relawan Demokrasi resmi diluncurkan pada bulan September 2013. Anggota relawan demokrasi berjumlah 15 orang. Sesuatu yang perlu jadi perhatian khusus ialah bahwa keseluruhan anggota Relawan Demokrasi di Banyumas adalah pemuda. Ini bisa dilihat dari persyaratan keanggotan relawan demokrasi yang berumur 17-25 tahun. Artinya, kaum pemuda adalah agen inti untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Banyumas dalam pemilu (KPU Banyumas, 2013). Sesuatu hal yang menarik adalah bahwa kaum muda adalah penyumbang besar meningkatnya angka golput di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Ketua KPU Pusat, Husni Kamil Manik (Giri, 2013). Terkait dengan itu semua, tentu menjadi satu hal yang menarik untuk menyelidiki peran kaum muda yang tergabung bersama “Relawan Demokrasi” dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif 2014 di Banyumas. Perlu disimak, apakah di tengah tren pemuda yang memilih golput, para pemuda yang tergabung dalam Relawan Demokrasi Banyumas dapat berperan secara maksimal dalam
mengembangkan demokrasi dan pada gilirannya menciptakan ketahanan politik di Banyumas.
1.2 Rumusan Masalah Jika dilihat dari petunjuk pelaksanaan kerja Relawan Demokrasi, upayaupaya
yang
dilakukan
oleh
Relawan
Demokrasi
tidak
hanya
seperti
mengumpulkan data dan melakukan survey. Lebih dari itu, Relawan Demokrasi adalah mitra KPU untuk mensosialisasikan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemilu (KPU, 2013). Merujuk pada latar belakang masalah dan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam dua pertanyaan besar: 1) Apa dan bagaimana peran, kendala, dan upaya Relawan Demokrasi Banyumas dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat Banyumas pada Pemilu Legislatif 2014? 2) Apa dan bagaimana implikasi Relawan Demokrasi Banyumas terhadap ketahanan politik wilayah di Banyumas?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalahnya maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) mengetahui dan mendeskripsikan peran, kendala, dan upaya Relawan Demokrasi Banyumas dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat Banyumas pada Pemilu Legislatif 2014 2) Mengetahui dan mendeskripsikan implikasi Relawan Demokrasi Banyumas terhadap ketahanan politik wilayah di Banyumas?
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki berbagai macam manfaat. Adapun manfaatmanfaat itu dapat dibagi ke dalam 2 kategori, yakni manfaat teoretik dan manfaat praktis. 1) Manfaat teoritis Secara teoretik, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan akademis terkait dengan tema-tema mengenai demokrasi dan partisipasi politik di Indonesia. Harapannya, penelitian ini berguna untuk merangsang penelitianpenelitian lanjutan yang memfokuskan diri pada tema-tema serupa. 2) Manfaat praktis Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi para praktisi politik, pejabat publik dan masyarakat umum untuk dijadikan sebagai titik tolak dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia.
1.5 Keaslian Penelitian Harus diakui, penelitian mengenai partisipasi politik masyarakat dalam pemilu sudah pernah dilakukan oleh beberapa akademisi. Namun demikian, sejauh yang peneliti ketahui, belum pernah ada satupun usaha yang meneliti tentang peran pemuda khususnya pada kasus Relawan Demokrasi Banyumas dalam meningkatkan partisipasi politik di Banyumas. Jika dilihat dari judul dan topiknya, penelitian ini mengandaikan sebuah argumentasi bahwa dalam proses pembentukan masyarakat sipil indonesia yang demokratis
dibutuhkan
lembaga/aktor
yang
dipersiapkan
khusus
untuk
mengupayakan political engineering to society (pemberdayaan politik kepada masyarakat). Lembaga/aktor ini bisa LSM, elite penguasa, partai politik, ormas, dan lain-lain. terkait dengan ini, terdapat 3 penelitian yang berada dalam jalur pemikiran tersebut. Di antaranya adalah yang dikerjakan oleh Irwan Waris berjudul “Elite di Sulawesi Selatan: Studi Tentang Peranan Elite Lokal Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat” ( Tesis, UGM); Aji Wibowo berjudul “Peran Politik Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) dalam Pemilu 2004” (Tesis, UGM); Syamsul Bahri berjudul “Peran Elite Politik dalam Konflik Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) dan Implikasinya terhadap Ketahanan Wilayah: Studi di Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulteng” (Tesis UGM). Jika 3 penelitian di atas dibandingan dengan penelitian yang peneliti lakukan, harus diakui, ada benang merah yang menghubungkan yaitu keyakinan bahwa pembentukan masyarakat demokratis di Indonesia membutuhkan peran dari lembaga atau agen yang ada di luar masyarakat bersangkutan. Namun, dari
tiga penelitian di atas, belum ada yang secara tersurat menanyakan bagaimana peran pemuda dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Jika perspektif kepemudaannya yang diambil, ada persamaan dengan penelitian yang dilakukan Aji Wibowo tentang peran APMG. Akan tetapi penelitian Aji Wibowo menyoroti peran pemuda dalam meningkatkan kinerja mesin partai, tidak seperti yang peneliti yang sedang lakukan yaitu meneliti peran pemuda dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Mengingat hal itu semua maka dapat dinyatakan di sini
bahwa
penelitian
yang
dilakukan
oleh
peneliti
dipertanggungjawabkan keasliannya dan signifikan untuk dilakukan.
ini
dapat