BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Demokrasi yang sehat dapat dilihat melalui pembangunan masyarakat politik yang baik dan kondusif. Budiarjo (2008) mengatakan, salah satu perwujudan demokrasi yang menunjukkan pembangunan masyarakat politik adalah rakyat diberikan kesempatan untuk berperan secara aktif dalam memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan pemilihan umum (pemilu). Pada saat pemilu berlangsung rakyat diberikan kesempatan untuk berperan secara aktif untuk menentukan kebijakan-kebijakan dasar yang akan diwujudkan oleh partai/ kandidat yang akan dipilih yang diharapkan dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya. Pemilu disebut pula sebagai pesta demokrasi yang dilakukan oleh sebuah negara. Melalui pemilu rakyat memunculkan para calon pemimpin dan melakukan penyaringan calon-calon tersebut berdasarkan nilai yang berlaku. Keikutsertaan rakyat dalam pemilu dipandang sebagai wujud partisipasi dalam proses pemerintahan, karena melalui pemilu rakyat ikut menentukan kebijaksanaan dasar yang akan dilaksanakan oleh pemimpin terpilih. Pemilu merupakan wujud yang paling nyata dalam sebuah sistem demokrasi. Indonesia telah melaksanakan pemilu sebanyak sebelas kali. Pemilu pertama kali dilakukan pada tahun 1955. Kemudian diadakan lagi pada tahun 1971, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014
(pusakaindonesia.org, 2014). Pemilu di Indonesia
ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten. Namun, dimulai pada tahun 1999 pasca berakhirnya masa Orde Baru banyak terjadi perubahan dalam dunia politik Indonesia, baik dalam sistem politik, pemilu maupun sikap masyarakat terhadap politik (Samego, 1998). 1
2
Salah satu perubahan yang terjadi dalam kebijakan pemilu adalah munculnya amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002, yang menyatakan bahwa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya dipilih oleh MPR disepakati untuk secara langsung dipilih oleh rakyat Indonesia (rumahpemilu.org, 2014). Sejak tahun 2004 dengan siklus yang sama yaitu lima tahun sekali, Presiden dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemilihan Presiden langsung telah dilaksanakan sebanyak tiga kali, yaitu tahun 2004, 2009 dan 2014. Berdasarkan data dari kpu.go.id (2014), pelaksanaan pemilu tahun 2004 dibagi menjadi dua tahap, yaitu pemilu Legislatif (Pileg) dan pemilu Presiden (Pilpres). Pemilu presiden pertama ini dilakukan dengan dua putaran, putaran pertama terdapat lima pasang calon, pada putaran kedua terdiri dari tiga pasang calon dengan perolehan suara terbanyak. Selanjutnya, pemilu tahun 2009 diikuti oleh 38 partai politik. Pada pemilu ini sistem proporsional terbuka diterapkan dalam Pileg. Sistem proporsional terbuka merupakan sistem pemilih tidak lagi memilih partai politik melainkan langsung memilih Calon Legislatif (Caleg). Pemilu Presiden 2009 terdapat tiga pasang calon dan dilakukan hanya satu putaran. Pada tahun 2014, Pileg dan Pilpres kembali dilangsungkan di Indonesia. Terdapat 15 partai yang terdaftar sebagai peserta pemilu. Ketentuan untuk mengajukan calon pasangan Presiden dan wakil Presiden adalah Sebuah partai politik atau koalisi partai politik harus memenangkan 25 persen suara sah atau memperoleh paling sedikit 20 persen kursi DPR (rumahpemilu.org, 2014). Hal itu tertuang dalam Bab II Pasal 5 ayat (4) UUD. Pasal tersebut, tepatnya berbunyi:
"Proses lanjut usulan pasangan calon oleh parpol atau gabungan parpol hanya dapat dilakukan oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu anggota DPR yang memperoleh suara dalam Pemilu secara kumulatif nasional sekurang-kurangnya 20 persen."
3
Hasil pileg pada tanggal 9 April 2014 menghadirkan fakta bahwa tak ada satu pun partai politik yang mendapatkan dukungan mencapai sedikitnya 25 persen suara sah (nasional.kompas.com, 2014). Situasi ini mengharuskan para partai untuk bertolak pada koalisi politik, baik dalam rangka memenangkan pemilu presiden maupun untuk mengamankan dukungan DPR pada saat menjalankan pemerintahan. Koalisi partai politik hanya terbagi menjadi menjadi dua kubu, yaitu koalisi partai PDIP, NASDEM, HANURA, PKB, dan PKPI mengusung Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai Capres dan Cawapres, kemudian Koalisi Partai Gerindra, PAN, PKS, PPP, Golkar, PBB mengusung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa sebagai Capres dan Cawapres (bbc.com, 2014). Pilpres 2014 ini merupakan fenomena yang belum pernah terjadi di Indonesia yaitu koalisi partai yang terbagi menjadi dua bagian, sehingga hanya muncul dua pasang calon presiden dan wakil presiden. Padahal Indonesia merupakan negara dengan sistem multi partai, seharusnya ketika pilpres berlangsung akan banyak calon presiden dan wakil presiden muncul dari beberapa partai besar. Rachman (dalam Sufa, 2014) mengatakan, terbatasnya jumlah calon Presiden memberi ruang yang lebih pada masyarakat untuk membandingkan kedua pasangan secara langsung. Perbandingan tersebut dapat dilakukan melalui sisi kepribadian kandidat, serta gagasan dan komitmen dari masing-masing calon. Hal tersebut akan terlihat pada kampanye terbuka dan debat calon presiden. Munculnya sikap kritis pemilih atas perbandingan kepribadian para calon disebabkan oleh ketatnya persaingan menjelang pemilihan presiden. Sebastian (dalam Ericssen, 2014) mengatakan bahwa kepribadian kandidat dianggap sebagai penentu dalam pilpres 2014. Hadirnya dua pasang calon presiden mengarahkan para pemilih untuk memilih tidak hanya melalui kondisi dan situasi politik pada saat itu, melainkan juga mempertimbangkan aspek kepribadian dari para pemimpin. Sebagai contoh, popularitas Joko Widodo meningkat dikarenakan aktivitas
4
“blusukan” yang sering dilakukannya, yaitu suatu kegiatan berbaur dengan masyarakat luas untuk melakukan interaksi. Hal tersebut membentuk kesan pada bahwa Joko Widodo merupakan sosok yang merakyat dan tidak elitis, sehingga mengguggah perhatian masyarakat (Sebastian, 2014). Contoh lainnya, karakter Prabowo Subianto yang tegas dan berani serta merupakan antitesis dari figur Presiden sebelumnya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono akan menarik banyak perhatian masyarakat. Muluk, Rumeser, Abidin, Sari (2014) melakukan survey kepribadian untuk melihat kepribadian para calon kandidat menurut kajian politik. Salah satu hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Prabowo adalah seorang pemimpin yang bersikap tegas, ambisius, berani, emosional, dominan, otoriter dan keras kepala. Sedangkan, dalam urutan tersebut ketegasan Jokowi mendapat nilai terendah. Sosok kepribadian Jokowi mendapat nilai tertinggi sebagai pemimpin yang bekerja keras, sederhana, jujur, rendah hati, tenang, dan pengabdi. Berdasarkan data yang dirilis oleh KPU, jumlah total pemilih yang terdaftar pada Pilpres 2014 yaitu 186.612.255 orang penduduk Indonesia. Dalam jumlah tersebut 20-30% merupakan pemilih pemula, yang berarti sekitar 55.983.676. Jumlah suara yang cukup besar memberikan pengaruh yang cukup besar pula pada Pilpres 2014. Menurut pasal 1 ayat (22) UU No. 10 Tahun 2008, pemilih pemula adalah warga negara Indonesia yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/ pernah kawin. Sehingga dapat ditentukan bahwa pemilih pemula pada Pilpres 2014 berada pada rentang usia antara 17-22 tahun. Karena belum berafiliasi secara ekstrim dengan partai politik yang ada, pemilih pemula diharapkan akan cenderung objektif dalam menentukan pilihan. Didukung oleh perkembangan teknologi dewasa ini, pemilih pemula yang lebih akrab dengan teknologi informasi akan mampu mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan untuk menentukan
5
pilihan. Indonesia sendiri disebut sebagai ibukota media sosial di dunia, karena pengguna akun media sosial yang sangat aktif, dengan jumlah 69 juta orang memiliki akun Facebook dan lebih dari 30 juta akun Twitter (bbc.com, 2014), sehingga pemilih pemula dapat memiliki informasi yang cukup banyak terkait pemilihan umum presiden yang akan dilakukan, kelebihan dan kekurangan dari masing-masing kandidat dan pada akhirnya dapat menentukan pilihan secara objektif. Berdasarkan penelitian Ha & Lau (2015) dengan 20.000 pemilih terdaftar di Kanada pada tahun 2007-2008, ditemukan bahwa faktor individual yaitu traits kepribadian berhubungan dengan correct voting. Correct voting didefinisikan sebagai keputusan dalam menentukan pilihan yang dibuat dalam kondisi full information (memiliki semua informasi yang relevan). Ha & Lau (2015) berargumen bahwa traits kepribadian mempengaruhi correct voting melalui pengaruhnya terhadap mekanisme pemrosesan informasi politik seseorang. Selain itu, penelitian tersebut juga menemukan bahwa traits kepribadian memoderasi pengaruh identifikasi partai terhadap pilihan yang dibuat. Dengan kata lain seseorang yang sudah mengidentifikasikan dirinya terhadap suatu partai tertentu belum tentu akan membuat pilihan hanya karena pengaruh identifikasi partai saja, tapi sebagian juga dipengaruhi oleh kepribadiannya. Penelitian di Amerika Serikat oleh Krosnick (2008), juga menemukan bahwa terdapat unsur psikologis yang mempengaruhi keputusan memilih calon kandidat pada pilpres. Seseorang dapat merasa berafiliasi dengan suatu partai karena partai tersebut mewakili keinginan-keinginan pemilih, misalnya suatu kebijakan terkait isu-isu yang paling diutamakan oleh partai tersebut. Kedua, persepsi seorang pemilih terhadap kepribadian kandidat (inteligensi, pengetahuan, kepercayaan, kemampuan memimpin) juga memprediksi hasil keputusan pemilih dalam memilih. Sehingga faktor-faktor yang
6
mempengaruhi perilaku memilih tidak hanya dipengaruhi oleh faktor demografis tetapi juga kepribadian. Menurut Caprara, Schwartz, Capanna, Vechione, & Barbaranelli (2006), individu cenderung memilih pemimpin atau pun koalisi partai politik yang memiliki kecenderungan kesamaan kepribadian dengan individu tersebut. Aspek kepribadian (personality) yang dianggap mempengaruhi pilihan politik adalah ciri-sifat kepribadian (traits) dan nilai (values). Faktor karakteristik kepribadian ini memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap perilaku memilih dibandingkan dengan faktor demografis seperti, gender, pendidikan dan usia. (Caprara & Zimbardo, 2004). Caprara & Barbaranelli (1999), mengemukakan bahwa Big Five Personality dianggap sebagai kerangka kepribadian yang paling tepat untuk digunakan dalam menilai perbedaan kepribadian ciri sifat (traits) individu, karena kerangka big five dianggap dapat menyajikan suatu fungsi integrasi yang dapat mewakili berbagai macam sistem yang mendeskripsikan kepribadian dalam suatu kerangka yang umum. Selain itu teori kepribadian big five sendiri sudah mulai dikembangkan lebih dari 70 tahun yang lalu (Church & Burke dalam Aldemir, 2005), dan sudah banyak digunakan diberbagai negara dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. John, Dohanue & Kettle (1991) mengemukakan
kelima
faktor
tersebut
adalah,
extraversion,
agreebleness,
conscientiousness, neuroticism/emotional stability, dan opennes. Extraversion ditandai oleh individu yang memiliki semangat dan antusiasme yang tinggi, serta tegas dan asertif. Agreeableness ditandai dengan individu yang selalu fokus pada hal-hal positif yang ada pada diri orang lain. Conscientiousness ditandai dengan individu yang bertanggung jawab, teliti, dapat diandalkan dan teratur. Neuroticism, ditandai dengan individu yang pencemas, sering merasa khawatir dengan hal-hal kebanyakan dianggap sepele oleh orang lain. Openness, ditandai dengan ketebukaan wawasan dan orisinalitas ide.
7
Caprara, Barbaranelli, dan Zimbardo (1999) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh ciri sifat kepribadian pada perilaku memilih dalam memilih koalisi partai politik yang dilakukan pada pemilihan umum di Italia pada tahun 1994. Penelitian ini menemukan bahwa extraversion, agreeableness dan openness memiliki hubungan yang signifikan terhadap pilihan pada koalisi partai sayap-kiri. Kemudian agreeableness dan openness dengan nilai yang rendah dan conscientiousnee yang tinggi secara signifikan memiliki hubungan terhadap pilihan koalisi partai sayap-kanan. Penelitian lainnya pada tahun 2007 yang dilakukan oleh Barbaranelli, Caprara, Vecchione, Fraley dengan 6000 orang subjek pada pemilu di Amerika Serikat menunjukkan hasil serupa bahwa terdapat hubungan antara ciri sifat kepribadian dengan perilaku memilih. Masih di tahun yang sama Schoen & Schuman (2007) melakukan penelitian di Jerman dan menemukan hasil bahwaciri sifat kepribadian memiliki hubungan dengan sikap pemilih dan perilaku memilih. Vecchione dan Caprara (2009), meneliti tentang faktor kepribadian (ciri sifat dan efikasi diri) yang berpengaruh partisipasi politik. Hasilnya adalah faktor openness dan extraversion memiliki kontribusi dalam partisipasi politik. opennes dan extraversion menimbulkan variasi yang signifikan pada efikasi diri dalam berpolitik yang kemudian mengarahkan pada perilaku memilih. Keempat penelitian tersebut menunjukkan bahwa ciri sifat kepribadian memiliki hubungan dengan perilaku memilih. Pemilih pemula yang menjadi fokus pada penelitian ini diketahui sebagai generasi yang sadar teknologi sehingga mudah mendapatkan informasi terkait isu-isu politik termasuk calon presiden. Kampanye yang disuarakan melalui berbagai media antara lain media cetak, media elektronik, media sosial, menonjolkan berbagai kelebihan serta kekurangan dari masing-masing kandidat calon presiden yang sedikit banyak akan mempengaruhi perilaku memilih pemilih pemula dalam menentukan pilihan pada calon presdien yang akan didukungnya. Kepribadian merupakan salah satu faktor yang
8
diperkirakan berpengaruh dalam proses analisis dan penentuan calon presiden yang akan dipilih sesuai dengan ketertarikan dan kesesuaian diri berdasarkan informasi yang diperoleh dari media tersebut di atas. Perbedaan kedua calon kandidat yang cukup menonjol dianggap akan menarik perhatian para pemilih dengan karakteristik yang mirip. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan di negara-negara barat menemukan adanya hubungan antara ciri sifat kepribadian dengan perilaku memilih (Caprara, Barbaranelli, Zimbardo, 1999; Barbaranelli, Caprara, Vecchione, Fraley, 2007; Schoen & Schuman, 2007; Vecchione & Caprara, 2009). Hal tersebut memunculkan pertanyaan apakah ciri sifat kepribadian pemilih memiliki hubungan dengan perilaku memilih pemilih di Indonesia, khususnya pemilih pemula mahasiswa Psikologi? B. Tujuan Penelitian Penelitian-penelitian sebelumnya di barat menunjukkan bahwa ciri sifat kepribadian berhubungan dengan perilaku memilih (Caprara, Barbaranelli, Zimbardo, 1999; Barbaranelli, Caprara, Vecchione, Fraley, 2007; Schoen & Schuman, 2007; Vecchione & Caprara, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk melihat kesesuaian temuan penelitian tersebut jika subjek merupakan mahasiswa Fakultas Psikologi. C. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan penelitian dalam bidang Psikologi Sosial tentang bagaimana kepribadian seseorang dapat mempengaruhi perilaku yang muncul, terutama pada perilaku memilih (voting behavior). 2. Manfaat Praktis Kepribadian pemilih memiliki kaitan dengan perilaku memilih pada Pemilu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menunjukkan data pemilih
9
Prabowo Subianto dan Joko Widodo berdasarkan kepribadian ciri sifat para pemilih yang termasuk pada kategori pemilih pemula.