1
BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Keberadaan Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan hal yang sangat penting karena merupakan jiwa dan pandangan hidup bangsa dan Pancasila berhakikat sebagai pokok kaidah fundamental negara (Notonagoro, 1959). Pancasila menjadi pedoman bagi hidup kenegaraan dan hukum Republik Indonesia dalam konkritnya dan tidak sekadar cita-cita asbtraktnya saja (Notonagoro, 1980). Pancasila merupakan manifestasi bangsa Indonesia sebagai satu jiwa yang disebut kepribadian bangsa (Abdullah, 1984). Pancasila juga merupakan pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) tertib hukum Indonesia termasuk Undang-Undang Dasar negara Indonesia tahun 1945 (Mahfud, 1999). Pancasila telah berhasil menjaga kesatuan dan keutuhan sebuah bangsa yang beranekaragam. Pancasila merupakan dasar filsafat negara yang mampu memberikan pengarahan tujuan sehingga dapat dijadikan pedoman bagi perjalanan hidup bangsa di kemudian hari (Darmosoegondo, 1975). Para pendiri bangsa sudah mencapai kesepakatan tentang Pancasila sebagai ideologi bangsa, namun pro kontra di masyarakat masih sangat hangat mencuat dari sejak awal kemerdekaan sampai saat ini. Kenyataan sejarah yang penuh dengan perdebatan antar elemen kebangsaan, Pancasila tidak pernah duduk tenang sebagai ideologi negara yang diharapkan sebagai jalan kemaslahatan untuk hidup damai, tenang, dan sejahtera dalam keberagaman. Kesadaran terhadap hakikat Pancasila itu di saat sekarang sangat kurang di masyarakat, bahkan
2
menurut Ali (2010) di era reformasi, Pancasila justru dipersoalkan oleh sejumlah anak bangsa dan dikambinghitamkan sebagai penyebab terjadinya keterpurukan di hampir semua bidang kehidupan. Kegamangan terhadap ideologi Pancasila dikemukakan juga oleh Presiden SBY menyatakan bahwa: “Kita merasakan, dalam tahun terakhir ini, di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negeri kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, Undang-undang 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan, dan lain-lain. Karena bisa-bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dainggap tidak reformis” (Yudhoyono, 2006). Berbagai ancaman dan gugatan terhadap Pancasila tidak dipungkiri lagi keberadaannya, sebut saja di kalangan umat Islam, keinginan sebagian kaum muslim di tanah air untuk memformalisasikan syariat Islam sudah tidak asing di masyarakat. Beberapa penelitian menyebutkan kenapa pemikiran-pemikiran radikal itu terus muncul kepermukaan, di antaranya adanya pemahaman yang salah terhadap keyakinan agama. Keyakinan akan suatu ajaran agama melalui teks-teks kitab suci menjadi faktor yang mencengkram erat pola pikir semua manusia, termasuk kaum muslim yang berpegang teguh pada Alqur’an dan Hadits. Melalui doktrin-doktrin agama mereka sangat yakin dan konsisten dalam melaksanakan ajarannya. Misalnya perspektif seorang salah satu tokoh Islam Isha Anshary pernah mengungkapkan: “Ketuhanan Yang Maha Esa bagi kami hanjalah merobek dua kalimah sjahadat dan memperkosa rangka tubuh agama kami sendiri. Dengan segala ketulusan dan kepastian kami njatakan, apabila Negara Republik Indonesia tidak memberikan kemerdekaan kepada umat
3
Islam melaksanakan adjaran dan hukum Islam secara mutlak, Islam sebagai kekuasaan tinggi jang wajib di patuhi, maka bagi kami berarti bahwa Islam dan kaum muslimin masih hidup di alam pendjadjahan” (Anshary, 1958 ). Menurut Kaelan (2007) pemaknaan terhadap Pancasila ini terjadi karena ada kesalahan epistimologis yang sangat fatal adalah memahami dan meletakkan Pancasila sebagai varian yang setingkat dengan agama. Perspektif di atas sangat sesuai dengan apa yang diungkapkan dalam buku Reformasi Prematur bahwa: “Bagitu pentingnya memantapkan kesakralan serta karakter Pancasila, maka Pancasila mengisyaratkan bahwa kesadaran akan Tuhan itu bukan milik siapapun secara khusus. Tuhan menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang mampu melingkupi Kristen, Islam, Budha, Hindu dan bukan juga Animisme” (Chaidar, 1998). Munculnya paradigma yang membandingkan antara agama dan ideologi Pancasila menurut Riberu karena terdapatnya kemiripan antara ideologi dan agama, yaitu bahwa kedua-duanya menghendaki agar penganutnya bersikap dan bertindak
sesuai
dengan
ajaran-ajaran
yang
terkandung
di
dalamnya
(Sastrapratedja, dkk., 1986), namun antara keduanya terdapat perbedaan yaitu bahwa ideologi merupakan eksplisitasi pandangan hidup bangsa (Poespowardojo, dalam Oesman, Oetojo, dan Alfian, 1991). Di pihak lain agama bersumber kepada wahyu Tuhan, akan tetapi keduanya erat berkait dengan kehidupan manusia sesuai dengan kodratnya. Dalam buku Reformasi Prematur juga disebutkan bahwa Pancasila tidak jauh beda dengan berhala (Thogut) sebagai manana dikutip bahwa: “Pancasila telah menjadi berhala yang dipertuhankan oleh seluruh rakyat Indonesia. Semua dosa penyembahan berhala ini harus
4
ditanggung secara personal oleh Soeharto, Soekarno dan semua pengikut sadarnya atau antek-anteknya” (Chaedar, 1998). Beberapa sudut pandang terhadap Pancasila di atas, salah satu yang menjadi titik permasalahannya yaitu tentang hubungan antara agama dan negara. Hal ini tentunya menjadi permasalahan klasik yang muncul ketika awal mula kemerdekaan Indonesia hingga saat ini. Pengaruh dari pemahaman-pemahaman di atas beberapa pakar menduga menjadi salah satu alasan terjadinya teror-teror yang sempat terjadi dalam dekade terakhir ini, baik pengeboman, penyerangan terhadap aparat polisi dan sebagainya. Temuan terakhir bahwa salah satu tokoh Jamaah Islamiyyah Abu Bakar Baasyir telah mencetak sebuah buku yang dinamakan Tadzkiroh yang didalamnya memuat pemahaman-pemahaman yang hampir sama dengan beberapa pemahaman yang telah disebutkan di atas. Melihat hasil penyelidikan aksi-aksi teror selama ini, ternyata tim Densus 88 menemukan berbagai bukti yang mengarah kepada pelaku-pelaku yang mengatasnamakan jihad, misalnya temuan buku-buku jihad di setiap lokasi penggerebekan para terduga teroris dan itu mengarah kepada komponen pesantren baik itu kiyai maupaun para santri. Pemerintah melalui tim Densus ketika itu langsung memberikan warning bahwa pesantren-pesantren telah terindikasi menjadi tempat munculnya embrio-embrio teroris dan langsung melakukan tindakan sweeping atau penggerebekan beberapa pesantren. Kondisi fenomena ini menjadi sangat menarik untuk dijadikan bahan penelitian terkait dengan perspektif para santri terhadap Pancasila selama ini. Pesantren merupakan lokus yang sangat tepat dalam penelitian ini, karena
5
pesantren merupakan tempat dimana para santri dididik, dibina dan diajarkan tentang ilmu-ilmu agama khususnya agama Islam (Ismail, 1996). Pesantren persatuan Islam merupakan salah satu dari ribuan lembaga Islam yang kental dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sistem dan kebijakan lembaga pendidikannya baik itu tujuan, kurikulum dan pendanaannya itu semua bermuara kepada ideologi yang dipertahankannya yaitu ideologi Islam bahkan dijadikan hegemoni saingan terhadap kebijakan pendidikan sentralistik yang dibuat pemerintah, yang berdasarkan ideologi Pancasila (Suharto, 2013). Sebagaimana diketahui bahwasanya Persatuan Islam merupakan sebagai salah satu ormas Islam yang berpegang teguh pada al-Quran dan Hadits sebagai pokok pedomannya dan mempunyai misi besar untuk memurnikan ajaran-ajaran yang dianggap sudah melenceng dari al-Quran dan Hadits dan terlaksananya syariat Islam secara kaffah di berbagai aspek kehidupan. Arah
pemikiran
ini
tentunya
sangat
berpengaruh kepada pembentukan pola pikir berparadigma terhadap seluruh elemen organisasi yang dinaunginya termasuk baik itu masyarakat umum dalam aktivitas jamaah pengajiannya, dan para santri kader muda yang terlahir dari lembaga pendidikan formal atau nonformal. Berangkat dari dasar pemikiran yang mereka miliki, tentunya sangat
berpengaruh pada pola tingkah laku dalam
berkehidupan sehari-hari khususnya di lingkungan pesantren itu sendiri. Pengalaman dan fakta yang terjadi pada aktivitas pesantren yang berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, di antaranya tidak ada upacara bendera yang menjadi kebiasaan setiap hari senin sebagaimana mestinya. Menurut pendapat santri alasan mereka tidak pernah melaksanakan upacara bendera karena
6
dikhawatirkan terjerumus kepada musyrik, bagi mereka yang harus dihormati itu bukan bendera tapi Tuhan. Selain itu, fenomena menarik yang terjadi di pesantren ini adalah tidak mengikuti libur nasional ketika perayaan umat agama lain, karena dengan mengikuti libur mereka dikhawatirkan membenarkan ajaran di luar Islam dan ikut libur itu merupakan bentuk menyerupai kegiatan kaum di luar Islam. Dalam Islam ada Hadits Nabi yang mengatakan “barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaumnya itu”. Ditinjau dari sisi pengajaran langsung dalam proses belajar mengajar di kelas maupun pelajaran non formal misalkan dalam pengajian umum, bina santri, khitobah santri atau diskusi-diskusi lainnya, tidak jarang para ustadz/ustadzah mengkritisi dengan sikap sinis dan antipati menyinggung sistem pemerintahan ataupun ideologi negara Pancasila. Beberapa fakta di atas dapat diidentifikasi terjadinya variasi perspektif Pancasila sebagai ideologi di kalangan santri yang lebih menekankan ajaran Islam sebagai satu-satunya ideologi atau way of life, bahkan mereka memandang Pancasila sebagai suatu wujud yang negatif, jangankan memandang dengan dua mata, dengan satu mata pun mereka tidak tertarik dengan yang namanya Pancasila. Terlepas apakah benar ataupun salah tapi ini adalah pengalaman peneliti sebagai santri yang pernah mengenyam pendidikan selama enam tahun di sana. Indikasi ke arah itu didukung pendapat Federspiel (1996), bahwa sudah menjadi ciri khas Persis jika anggota-anggotanya memandang Islam sebagai ideologi dengan sebuah klaim utama terhadap loyalitas dan Pancasila dipandang
7
sebagai ideologi yang bertentangan dengannya, sehingga menjadi sebuah kesalahan kalau umat Islam lalu memilih Pancasila sebagai ideologinya. Oleh karena itu, ini menjadi sangat penting untuk dipahami lebih dalam perspektif terhadap Pancasila sebagai ideologi negara untuk mencari titik temu antara penafsiran agama melalui teks-teks kitab sucinya dan realitas sosial kehidupan dalam konteks ke-Indonesiaan di tengah kondisi negara yang sudah merdeka hampir tiga perempat abad. Apakah kondisi pemahaman-pemahaman yang merebak di masyarakat akan berpengaruh terhadap Pancasila sebagai ideologi yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia yang sekaligus akar pertahanan terjaganya NKRI? Maka dalam penelitian yang akan dilaksanakan ini akan mengambil judul: “Perspektif Santri Terhadap Pancasila dan Implikasinya Bagi Ketahanan Ideologi” (Kajian Fenomenologi Para Santri di Pesantren Persatuan Islam No. 44 Kabupaten Sumedang, Jawa Barat).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya, untuk membatasi penelitian agar menjadi tidak bias, maka rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana perspektif para santri terhadap Pancasila? 2. Bagaimana implikasi perspektif santri tentang Pancasila terhadap ketahanan ideologi?
8
1.3 Keaslian Penelitian Penelitian
tentang
perspektif
santri
terhadap
ideologi
Pancasila
menggunakan pendekatan fenomenologi merupakan suatu rencana kajian yang sangat menarik karena objek yang diteliti adalah sebuah pesantren yang mana kurikulum pendidikannya berbasis agama sehingga dianggap sangat penting untuk meneliti pemahaman santri tentang mata pelajaran yang bersifat umum termasuk pendidikan tentang pemahaman Pancasila. Penelitian yang relevan dengan hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Chotimah ditulis pada tahun 2008, yang berjudul “Pemantapan Pemahaman Ideologi Pancasila Dalam Rangka Ketahanan Nasional”. Dalam kesimpulannya dinyatakan bahwa dilihat nilai-nilai dasar yang ada pada Pancasila, maka Pancasila termasuk dalam tingkatan yang tinggi sebagai ideologi. Kondisi masyarakat Indonesia pada saat ini berada pada level yang kualitasnya kurang signifikan dengan keluhuran nilai-nilai Pancasila. Hal itu dimungkinkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia sudah menjauh dari paham ideologi yang dianutnya sendiri bahkan sampai pada level keengganan berbicara tentang Pancasila. Kondisi semacam ini mendorong bangsa Indonesia pada situasi yang lemah ketahanan nasionalnya dari aspek ideologi. Selain itu ada juga penelitian yang ditulis oleh Paryaman Manurung ditulis pada tahun 2009 yang berjudul “Implementasi Ideologi Pancasila Terhadap Ketahanan Nasional. Dalam kesimpulannya menyatakan bahwa ideologi Pancasila sebagai falsafah
dan
dasar
negara
harus
dijadikan
sebagai
penuntun
dalam
penyelenggaraan negara, baik dalam penetapan keputusan politik negara maupun
9
pada tahap implementasinya. Nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila
mereflesikan
nilai-nilai
keserasian,
persatuan
dan
kesatuan,
kekeluargaan, kebersamaan dan kearifan dalam membina kehidupan nasional. Danang Tanjung Laksono tahun 2008: Pemahaman Pancasila Sebagai Pandangan Hidup dan Intensitas Bimbingan Moral Orang Tua, Serta Pengaruhnya Terhadap Kesadaran Bahaya Perilaku Menyimpang Pada Remaja Di Kabayanan Desa Mulur Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa peranan keluarga sebagai lambaga pendidikan pertama memiliki fungsi yang penting terutama dalam penanaman sikap, nilai hidup serta berfungsi menumbuhkan kesadaran bahaya perilaku menyimpang pada remaja. Penanaman kesadaran perilaku menyimpang pada hakikatnya merupakan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila, karenanya perlu ditanamkan di kalangan remaja. Pembinaan mental ideologi Pancasila dimaksudkan agar anakanak nakal atau menyimpang itu memahami sila-sila Pancasila dan mengusahakan agar dapat melatih kebiasaan hidup berPancasila di lingkungan mereka. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas tentang Pancasila, penelitian ini lebih fokus mendalami perspektif santri terhadap Pancasila. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi terhadap santri, sedangkan penelitian sebelumnya belum ada yang menggunakan metode pendekatan fenomenologi. Kekhasan lainnya yang ada dalam penelitian ini adalah subjek penelitiannya adalah seorang santri dan lokusnya adalah pesantren, sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan
10
wawasan baru tentang fokus tema yang membahas perspektif santri terhadap Pancasila yang selama ini belum ditemukan penelitian terkait tema itu.
1.4 Tujuan Penelitian Dalam penelitian yang berjudul “Perspektif Santri Terhadap Pancasila dan Implikasinya Bagi Ketahanan Ideologi” (Kajian Fenomenologi Para Santri di Pesantren Persatuan Islam No. 44 Kabupaten Sumedang, Jawa Barat), bertujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tentang perspektif santri terhadap Pancasila. 2. Untuk mengetahui implikasi dari perspektif santri terhadap Pancasila bagi ketahanan ideologi.
1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dalam dilaksanakannya penelitian ini, dari segi akademik diharapkan peneliti bisa memberikan informasi baru bagi para akademisi dan peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian berkaitan tentang tentang perspektif santri terhadap Pancasila sebagai fenomena yang menarik yang terjadi di masyarakat untuk kepentingan terkait ilmu dan wawasan yang dapat dijadikan sebagai data yang valid. Manfaat praktisnya, penelitian ini akan memberikan informasi bagi pemerintah bagaimana mengukur pemahaman masyarakat terhadap ideologi negara sehingga menjadi tugas bersama untuk solusi titik temu antara perdebatan hubungan agama dan negara ini.