BAB I PENGANTAR
1.1
Latar Belakang
Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia, menurut Notonegoro, berasal dari adat istiadat, kebudayaan, dan agama bangsa Indonesia (Suwarno, 1993: 82-84), lebih lanjut Notonegoro mengatakan bahwa sebelum dan sesudah bernegara Indonesia, bangsa Indonesia sudah ber-Pancasila (Mubiyarto, 2004: 77). Posisi keberadaan Pancasila sama kuatnya dengan keberadaan manusia Indonesia itu sendiri. Soekarno menyebutkan dalam pidato 1 Juni 1945 bahwa Pancasila sebagai suatu weltanschauung yaitu pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai yang bersifat spesifik atas pengalaman dan kondisi lingkungan sehingga menghasilkan sistem sosiokultural (Ali, 2009: 19). Pancasila sejak awal pembentukan sampai saat ini mengalami perdebatan, berbagai upaya dilakukan untuk menggeser Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dewasa ini perkembangan dunia semakin modern dan mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan masyarakat dunia memberi dampak yang positif dan negatif terhadap arah masyarakat modern ke depan. Menurut Muhaimin, dinamika global saat ini cenderung mengarah pada liberalisme dan post modernisme (Muhaimin, 1 Juni 2015). Manusia modern cenderung bersikap materialistik dan positivistik dalam menjalani kehidupan. Hegemoni sikap tersebut akan membuat krisis multidemensi bagi manusia itu sendiri dalam segala aspek kehidupan sosial karena ketidaksesuaian antara unsur-unsur masyarakat
1
2
(Soekanto, 2000: 45). Sikap materialistik dan posivitistik mengantarkan manusia dalam penghancuran jiwa dan munculnya krisis multidimensi. Menurut Kartanegara (Kartanegara, 2006: 266), krisis multidimensi ini menimbulkan disorientasi pada manusia modern. Manusia modern cenderung semakin jauh dari nilai-nilai ketuhanan yang berdampak pada psikologis dan spiritual yang lambat laun akan menyebabkan “kehampaan spiritual” (Subeidi, 2011: 120). Jika manusia mengalami “kehampaan spiritual” maka akan menyebabkan mudah terombang ambing keadaan kehidupan yang tidak menentu. Kemajuan masyarakat modern cenderung mengandalkan kecerdasan akal yang berbahaya bagi dirinya maupun orang lain jika tidak diikuti kecerdasan hati. Akal yang tidak dibimbing oleh kecerdasan hati akan kehilangan pegangan hidup dan membimbing manusia ke arah pragmatisme. “Kehampaan spiritual” disebabkan karena melemahnya pegangan hidup manusia yang berporos pada pusat eksistensi yaitu Tuhan (Azra, 1998: 101). Dampaknya ialah manusia mengalami beban psikologis seperti resah, gelisah, stress, dan kehilangan tujuan hidup. Menurut Warsono, generasi muda Indonesia saat ini mengalami dua sisi yaitu krisis jati diri (identitas) dan krisis nasionalisme. Sementara itu kondisi berbangsa dan bernegara saat ini mengalami krisis nilai-nilai ketuhanan, krisis nilai-nilai moral, krisis nilainilai psikologis (mental), dan krisis nilai-nilai sosial (Adz Dzakiey, 2009: xixxxi). Padahal pemuda mempunyai posisi yang strategis dalam segala aspek kehidupan terutama dalam mengawal tercapainya tujuan kemerdekaan Tanah Air (Ma’arif, 1 Juni 2015).
3
Pemuda merupakan garda depan dalam pembangunan suatu bangsa sebagai tulang punggung bagi suatu negara. Pemuda merupakan entitas masa “transisi” yaitu dari anak-anak menuju masa dewasa, dari pendidikan menuju pekerjaan, dari keluarga asal ke keluarga tujuan (Lloyd, 2005; Roberts, 2009). Posisi pemuda yang demikian itu mempunyai peranan penting dalam perubahan sosial untuk menjaga sikap nasionalisme yaitu berpegang pada falsafah Pancasila. Peran penting pemuda berbanding lurus dengan tantangan yang dihadapi baik dari dalam diri generasi muda sendiri maupun tantangan dari luar yaitu pembangunan masyarakat dan lingkungan (Depag RI, 1987: 12-13). Salah satu tantangan dari luar diri pemuda ialah terdapat ancaman yang bersifat jangka panjang dengan merusak moral dan mental dalam berbagai macam cara (Alfandi, 2002: 208). Penurunan kualitas moral merupakan ancaman pemuda saat ini. Hal ini dapat dilihat dari berbagai contoh kasus yang merebak seperti adanya praktek korupsi, konflik sosial, meningkatnya kriminalitas, dan lain-lain (Megawangi, 2004: 14). Pemuda saat ini cenderung membicarakan hal-hal yang bersifat rasional seperti mode dan gaya hidup dibandingkan semangat ideologi kebangsaan (Adib, 2010: 80). Menurut Prabowo, pemuda kurang menghayati simbol-simbol kebangsaan seperti Lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih (Kusumawardani dan Faturochman, 2004: 61). Perubahan kondisi sosiokultul Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini, perlu disikapi secara serius oleh para pemuda guna berperan aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu cara yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ialah melalui
4
peningkatan kualitas pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan pembukaan UndangUndang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang diturunkan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut telah mengamanahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Gollnick dan Chin tujuan pendidikan ialah meningkatkan pemahaman diri (jati diri), memahami kepekaan sosial, meningkatkan kemampuan untuk merasakan dan memahami interpretasi kebangsaan, serta memahami latar belakang munculnya satu pandangan atau konsep (Gollnick dan Chin, 1991: 6). Salah satu sistem pendidikan yang efektif dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya ialah melalui pondok pesantren. Posisi pondok pesantren merupakan posisi yang strategis dalam mengajarkan agama Islam sebagai pondasi pembentukan jati diri pemuda sesai nilai-nilai Pancasila. Pendidikan agama mempunyai peran strategis dalam upaya mengembalikan pendidikan pada keluhuran akhlaq, etika, dan moral (Muhaimin, 1993: 61). Ada beberapa kelebihan dalam sistem pendidikan pondok pesantren yaitu menggunakan pendekatan holistik, adanya kebebasan yang terpimpin, kemandirian, kebersamaan, serta khidmah kepada guru dan orang tua (Sauri, 2011). Pendekatan holistik yang diterapkan pada pondok pesantren merupakan pendidikan pada dimensi jiwa (batiniah) dan jasmani (lahiriah) sebagai dasar pembentukan jati diri.
5
Pesantren
merupakan
lembaga
pendidikan
agama
Islam
yang
berkembang di masyarakat Indonesia yang tumbuh secara natural (Umiarso, 2011: 9) dan identik dengan makna keaslian Indonesia (Madjid, 1997: 7). Menurut Syukur, pesantren merupakan cikal bakal lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang mengutamakan penguatan akhlaq (Sidiq, 2011: vi) khususnya pondok pesantren yang berthariqah. Pondok pesantren yang berthariqah lebih mengutamakan pendidikan integritas moral (tasawuf) dan intelektual dari seorang guru kepada santrinya. Adanya guru dan murid dalam sistem pondok pesantren mempunyai kesamaan struktur sosial organisasi thariqah terdapat istilah mursyid/guru dan salik/murid (Shodiq, 2008: 3-4). Posisi pesantren di Indonesia mempunyai peran strategis dalam proses Penguatan jati diri manusia sesuai jiwa keislaman dan keindonesiaan. Salah satu pondok pesantren yang mengembangkan basis thariqah sebagai pembentukan jati diri santri adalah Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy Kota Semarang. Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy Kota Semarang ialah KH. Drs. Muhammad Masroni dan Hj. Umi Khudlaifah al hafidzoh. Sejak awal pendirian pada tahun 2009, pondok pesantren ini mempunyai ciri khas khusus yaitu mengajarkan agama Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dan menekankan pendidikan Islam secara integral antara iman, Islam, dan ihsan serta penguatan nilai-nilai Pancasila untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Mufid, perkembangan pondok pesantren dalam sejarah Indonesia tidak hanya mengembangkan bidang keilmuan akan tetapi menjaga kesatuan persatuan Negara. (Radar Semarang, 2009: 5).
6
Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh pondok pesantren ini ialah tawajuhan Thariqah Asy Syadzaliyyah, peringatan Haul Akbar Syekh Abdul Qodir al Jailani, Syekh Abil Hasan Ali Asy Syadziliy, Habib Thoha bin Hasan bin Yahya, Habib Abdullah Bafaqih, dan Maulid Akbar yang dirangkai dengan Kirab 17 Bendera Merah Putih (Suara Merdeka, 2012: 24). Menurut Habib Luthfi bin Ali bin Yahya sebagai umat Islam harus meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad SAW salah satunya ialah menjaga keutuhan bangsa dan masyarakat karena Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati bagi segenap bangsa Indonesia (Suara Merdeka, 2014: 24). Kegiatan yang lain ialah Silaturrahim Ulama dan Umaro’ dalam memperingati Hari Raya Idul Adha 1426 H (TVRI, 24 September 2015). Menurut Komandan KODIM 0733/BS/SMG kegiatan yang dilakukan pondok pesantren ini merupakan bentuk pertahanan negara yang tangguh. Hal ini dikarenakan keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia, Kodim 0733/BS/Semarang, dapat memelihara dan meningkatkan keeratan hubungan militer dengan komponen bangsa yaitu masyarakat (Gema Diponegoro, 2014: 52). Meninjau dari uraian tersebut, penting untuk dilakukan penelitian tentang Penguatan Nilai-Nilai Pancasila dalam Pembentukan Jati Diri Pemuda dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Ideologi (Studi pada Santri di Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah). Hal ini dikarenakan pembentukan jati diri bagi kalangan pemuda dibentuk melalui nilai-nilai ajaran agama, kemudian diwujudkan dalam pengamalan yang sesuai nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
7
1.2
Permasalahan Penelitian
1. Bagaimana penguatan nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan jati diri santri di Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy Kota Semarang? 2. Bagaimana implikasi penguatan nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan jati diri terhadap ketahanan ideologi santri di Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy Kota Semarang?
1.3
Keaslian Penelitian
Kajian tentang Pancasila baik dalam perspektif falsafah, ideologi, landasan yuridis Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun implemetasiya dalam kehidupan bermasyarakat sudah banyak dilakukan oleh para pakar atau peneliti sebelumnya. Sejauh yang peneliti ketahui, ada beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan nilai-nilai Pancasila. Implementasi
Ideologi
Pancasila
Terhadap
Ketahanan
Nasional
(Manurung, 2009). Karya ini merupakan tesis yang dilakukan oleh Paryaman Manurung dan diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada tahun 2009. Penelitian tersebut mencoba untuk mengkaji, menjelaskan, dan mengevaluasi implementasi ideologi Pancasila terhadap kehidupan politik Bangsa Indonesia. Hal tersebut, didasarkan pada perkembangan lingkungan global maupun nasional dalam bidang politik. Ia memandang perkembangan politik berpengaruh pada perilaku politik di Indonesia sehingga diperlukan pedoman yaitu Pancasila sebagai dasar negara. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode penalaran deduktif dan induktif serta interpretasi. Hasil
8
penelitian menyebutkan bahwa ideologi Pancasila belum sepenuhnya dijadikan sebagai pedoman atau penuntun terhadap perkembangan kehidupan politik di Indonesia. Tarekat Kebangsaan: Kajian Antropologi Sufi Terhadap Pemikiran Nasionalisme Habib Luthfi. Karya jurnal ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pekalongan. Penelitian ini merupakan kajian tentang nasionalisme pemikiran Habib Luthfi bin Yahya. Fokus penelitian tersebut adalah pemikiran Habib Lutfi terkait dengan masalah nasionalisme, sedangkan metode yang dilakukan ialah dengan pendekatan kualitatif berdasarkan pada observasi lapangan dan kajian kepustakaan. Hasil penelitian tersebut adalah adanya penyatuan pemikiran antara thariqah dengan nasionalisme, hal tersebut terlihat pada aspek landasan pokok dalam memahami nasionalisme yaitu: landasan teologis dan landasan historis. Implementasi dari pemikiran nasionalisme Habib Luthfi ialah Merah Putih: Harga Mati, Cinta Tanah Air, Menuju Indonesia Jaya, dan Mencintai Nabi dan Mencintai Ibu Pertiwi (Khanafi, 2013: 336-358). Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Tradisi Pesantren (Studi pada PP Syekh Burhanuddin-Kampar Riau). Penelitian ini merupakan karya dari Zulkifli Mantodang yang diterbitkan oleh Universitas Negeri Medan tahun 2012. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap pembangunan karakter santri sebagai upaya pendidikan karakter bangsa. Metode penelitian yang digunakan ialah metode kualitatif dengan pendekatan observasi lapangan dan wawancara langsung. Hasil penelitian ini mengungkap bahwa pendidikan karakter yang dilakukan di Pondok Pesantren Syekh Burhanuddin dengan cara 1) menggunakan
9
62 kitab kuning sebagai dasar pembentukan karakter santri, 2) upaya pembentukan karakter dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, dan 3) menjadikan pengajar sebagai tumpuan tauladan (Mantodang, 2014: 1-2). Tesis karya Abdul Fatah yang berjudul Perspektif Santri terhadap Pancasila dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Ideologi. Karya ini diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 2014. Fatah memberikan fokus penelitian terhadap pemahaman para santri di Pesantren Persatuan Islam No. 44 Darussalam Kabupaten Sumedang, Jawa Barat terhadap Pancasila. Adapun pendekatan penelitian ini dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian ini mengungkapkan fakta bahwa secara mayoritas perspektif para santri terhadap ideologi Pancasila kurang positif. Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya. Para santri kurang mendukung ideologi Pancasila sebagai dasar negara Kesatuan Republik Indonesia dan menginginkan adanya perubahan ideologi negara yaitu Islam. (Fatah, 2014: 134-135). Hasil penelitian terdahulu memberi gambaran bahwa nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai landasan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menunjukkan jati diri dan karakter bangsa. Pendidikan karakter bangsa ditunjukkan melalui tradisi pondok pesantren yang tidak terpisahkan antara landasan agama dan landasan negara. Meski terdapat pondok pesantren yang bertolak belakang dengan landasan negara (Pancasila). Hal lain telah ditunjukkan bahwa terdapat penyatuan pemikiran antara thariqah (orang yang menempuh jalan yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan kebangsaan sebagai upaya pembentukan jati diri bangsa.
10
Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian pada santri pondok pesantren seagai upaya membentuk jati diri dan ketahanan ideologi. Peneliti memfokuskan penelitian ini pada penguatan nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan jati diri pemuda, sedangkan lokus penelitian ialah santri di Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy Kota Semarang. Jenis penelitian yang digunakan peneliti ialah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Melalui metodologi penelitian ini diharapkan memberi wawasan baru terkait penguatan nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan jati diri pemuda sehingga dapat dijadikan sebagai referensi dalam membentuk jati diri bangsa.
1.4
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis penguatan nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan jati diri pemuda pada santri di Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy Kota Semarang. 2. Menganalisis
implikasi
penguatan
nilai-nilai
Pancasila
dalam
pembentukan jati diri pemuda terhadap ketahanan ideologi pada santri di Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy Kota Semarang.
1.5
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang peneliti lakukan di antaranya: 1. Manfaat secara teoritis akademis Memperkaya kajian teoritis ilmu pengetahuan civitas akademik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tentang penguatan nilai-nilai
11
Pancasila melalui pondok pesantren yang basis pengajarannya melalui metode thariqah dalam pembentukan jati diri pemuda. 2. Manfaat bagi Program Studi Ketahanan Nasional Penelitian ini diharapkan menjadi tambahan referensi pengetahuan tentang penguatan nilai-nilai Pancasila bagi mahasiswa melalui pendidikan pondok pesantren pesantren yang basis pengajarannya melalui metode thariqah dalam memperkokoh ketahanan ideologi. 3. Manfaat bagi mahasiswa Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang upaya mahasiswa dalam penguatan nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan pondok pesantren yang basis pengajarannya melalui metode thariqah sebagai bentuk persiapan pemimpin dimasa mendatang.