BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masa pra-dewasa merupakan periode penting untuk merencanakan dan menentukan masa depan seseorang (Code & Bernes, 2006; Germeijs & De Boeck, 2002; Santrock, 2011; Tien, 2001). Individu pra-dewasa masih dalam tahap pencarian identitas melalui proses menjajaki dan mempersiapkan diri untuk mampu menetapkan berbagai keputusan penting dan jangka panjang dalam kehidupan (Tien, 2001). Masa Pra-dewasa merupakan waktu terbaik bagi individu untuk menjajaki dan menetapkan karir yang akan dituju (Code & Bernes, 2006). Menurut Collin & Young (2000) karir adalah posisi pekerjaan yang dimiliki oleh individu. Karir yang dipilih memiliki peranan jangka panjang yang sangat besar dalam kehidupan individu, seperti berperan menentukan kemampuan finansial, pergaulan, dan gaya hidup Santrock (2011). Menurut Collin & Young (2000) karir didefinisikan dengan sangat beragam dalam konteks masyarakat modern saat ini. Karir dapat merujuk pada pekerjaan jangka panjang yakni situasi kerja yang dialami secara terus-menerus oleh seseorang dalam kurun waktu yang panjang (Arthur, Khapova, & Wilderom, 2005). Menurut Collin & Young (2000) pada dunia modern saat ini berganti pekerjaan menjadi hal yang lazim dilakukan sehingga seseorang dapat berganti karir beberapa kali dalam hidupnya dan karir tidak lagi hanya terbatas pada pekerjaan yang dilakukan seseroang sepanjang hayat. Istilah karir, pekerjaan, atau vokasi dapat digunakan untuk merujuk pada suatu pekerjaan yang menjadi
bagian dari identitas diri, direncanakan sebagai masa depan, dan bernilai bagi kehidupan seseorang. Perkembangan karir merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat individu, proses tersebut melibatkan perkembangan fisik, kognitif dan emosional individu (Bozgeyikli, Eroglu, & Hamurcu, 2009). Menurut Super (dalam Kazdin, 2000) perkembangan karir berlangsung sejak masa kanak-kanak hingga usia lanjut. Keputusan karir seseorang berkembang dalam lima tahapan dimulai dari tahap pertumbuhan (usia 0-14 tahun), tahap eksplorasi (usia 15-24 tahun), tahap penetapan (usia 25-44 tahun), dan berakhir pada tahap pemeliharaan (usia 4565). Berdasarkan tahapan tersebut maka individu Pra-dewasa (18-25 tahun) telah berada pada tahapan yang disebut tahap eksplorasi karir menuju pada tahap penetapan karir. Menurut Super (dalam Kazdin, 2000) pada tahap eksplorasi individu pradewasa melewati tiga sub-tahap perkembangan karir. Sub-tahap pertama disebut sub-tahap tentatif (15-17 tahun) yang telah dimulai sejak masa remaja merupakan periode dimana individu mulai mengkristalisasi pilihan karir. Subtahap kedua disebut sub-tahap transisi (18-21 tahun) yang ditandai dengan pilihan karir yang mulai tertuju pada suatu bidang dan adanya upaya untuk memperoleh kesempatan berkarir di bidang tertentu. Sub-tahap ketiga merupakan masa percobaan awal yaitu ketika seseorang telah memiliki pekerjaan pertamanya dan mencoba pengalaman kerja sesungguhnya, individu pada masa ini masih belum menetapkan komitmen yang kuat terhadap pekerjaan yang dipilih. Individu yang telah berusia 21-23 tahun telah dapat menentukan beberapa pilihan karir yang sesuai dengan potensi yang dimiliki (Talib & Aun, 2009). Masa
pra-dewasa
merupakan
periode
perkembangan
karir
yang
merupakan
kesempatan yang luas bagi individu untuk menjajaki minat karir, mencari pengalaman kerja, menentukan pilihan karir yang spesifik. Proses tersebut pada akhirnya membantu individu untuk dapat memutuskan suatu keputusan karir bagi dirinya. Masa pra-dewasa ini juga merupakan kesempatan untuk mempersiapkan diri dan mempelajari berbagai keahlian yang dibutuhkan demi memperoleh karir yang diharapkan (Wade & Tavris, 2008). Sebagian individu mengalami kondisi yang berbeda dalam proses pengambilan keputusan karir. Temuan penelitian membuktikan bahwa tidak semua orang mampu menentukan pilihan karir (Patton & Creed, 2001; Tien, 2001; Vondracek, Hostetler, Schulenberg & Shimizu, 1999). Sebagian individu merasakan kesulitan dalam proses pengambilan keputusan karir sehingga permasalahan tersebut dirasa sulit untuk diatasi. Kesulitan menentukan pilihan karir menimbulkan rasa cemas berlebihan dalam menjalani proses eksplorasi karir, individu merasa terbebani dengan kegiatan eksplorasi karir, tidak percaya diri, tidak yakin dengan kemampuannya sendiri, merasa tidak mengetahui kemampuan diri, dan kekurangan informasi mengenai dunia kerja serta informasi tentang karir yang akan dituju (Talib & Aun, 2009). Kondisi ketidakmampuan untuk memutuskan karir yang akan dituju oleh individu disebut dengan kebimbangan karir (Germeijs & Boeck, 2002; Guay, Senecal, Guathier, & Fernet, 2003; Guay, Ratelle, Senecal, Larose, & Deschenes, 2006; Osipow, 1999; Vondracek, Hostetler, Schulenberg, & Shimizu, 1999). Kebimbangan karir rentan dirasakan oleh individu yang tengah berada pada masa peralihan (Hartung, Porfeli, & Vondracek, 2008). Pada mahasiswa strata-1 masa peralihan terjadi antara masa penyelesaian pendidikan menuju
masa percobaan melamar pekerjaan. Berdasarkan usianya mahasiswa strata-1 di Indonesia dapat dikategorikan sebagai individu pra-dewasa karena berusia antara 18-23 tahun selama menempuh pendidikan Strata-1 (Wade & Tavris, 2008). Mahasiswa perlu mengeksplorasi minat pekerjaan dan menyusun perencanaan karir secara aktif karena diharapkan dapat segera memulai karir setelah menyelesaikan pendidikan (Talib & Aun, 2009). Penelitian menemukan bahwa sebagian individu tidak merasa terganggu dengan kebimbangan karir karena mampu menempatkan kebimbangan karir sebagai suatu kondisi yang wajar terjadi dan harus dilalui selama proses pengambilan keputusan karir (Osipow,1999; Creed, Patton, & Prideaux, 2006). Persoalan muncul apabila kebimbangan karir dibiarkan berlangsung lama maka sehingga menyebabkan ketidakjelasan keputusan karir dalam waktu lama karena tidak kunjung merasa cocok dengan peluang kerja yang ada (Tien, 2001). Hal ini akhirnya dapat mengakibatkan individu memilih karir yang tidak disukai dapat berdampak kurang baik bagi kehidupannya di masa depan (Creed dkk, 2006). Kebimbangan karir mengakibatkan kejenuhan dan penolakan dari dalam diri untuk menjalani proses pengambilan keputusan karir (Marcionetti, 2014; Tien, 2001). Kesulitan yang dirasakan oleh para lulusan universitas dalam memilih atau memperoleh pekerjaan merupakan indikasi adanya kebimbangan karir (Talib & Aun, 2009). Angka pengangguran yang tinggi merupakan indikator lemahnya perencanaan karir lulusan universitas (Greenbank, 2010; Talib & Aun, 2009). Angka pengangguran di Indonesia saat ini tergolong tinggi (Suryadarma, Suryahadi, & Sumarto, 2007). Berdasarkan Berita Resmi Statistik No. 38/05/Th. XVVI, tanggal 5 Mei 2014, berdasarkan data statistik Survey Angkatan Kerja
Nasional (Sakernas) tahun 2014 diketahui bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,70 persen yakni lebih kurang sejumlah 7,15 juta jiwa. Pengangguran terbuka adalah orang yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan, dan sudah punya pekerjaan tetapi belum dimulai (www.bps.go.id, 2014b). Berdasarkan data tersebut, sejumlah 398.398 orang pengangguran terbuka adalah lulusan universitas, 195.258 orang adalah lulusan diploma, dan angka pengangguran terbuka tertinggi adalah pada lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) yakni sejumlah 1.893.509 orang. Adapun jumlah keseluruhan penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun yang telah bekerja pada tahun 2014 adalah 118,17 juta jiwa, namun hanya sebanyak 8,85 juta jiwa lulusan universitas yang tercatat telah memperoleh pekerjaan. Jumlah lulusan pendidikan Diploma yang telah memiliki pekerjaan tahun 2014 adalah 3,13 juta jiwa (www.bps.go.id, 2014a). Hasil survey tersebut memperlihatkan bahwa saat ini masih banyak lulusan universitas yang masih belum diserap oleh lapangan pekerjaan. Indikasi kebimbangan karir yang semakin luas dialami mahasiswa Strata-1 di Indonesia tidak hanya dapat diketahui melalui hasil survey seperti yang telah dikemukakan. Wawancara kepada mahasiswa strata-1 semester 6 (enam) jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) Institut Pertanian Bogor pada tanggal 23 Oktober 2014 dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui
kebimbangan karir yang dirasakan oleh mahasiswa Strata-1. Berdasarkan hasil wawancara Subyek 1 mengungkapkan pendapatnya tentang rencana karir setelah kelulusan sebagai berikut: “Saya masih belum tahu mau kerja dimana, mungkin BKKBN atau di LSM yang di bidang KB. Tapi rata-rata lulusan sini kerjanya di Bank, saya gak mau kerja di bank. Saya kalau mau lanjut S2 nanti maunya di
jurusan lain. Sekarang saya belum ada rencana apa-apa cuma dijalani dulu. ...Kalau orang tua memang sudah pernah menanyakan tentang kerjaan tapi saya masih belum tau mau jawab apa”. Wawancara lainnya dilakukan pada Subyek 2 melalui pesan singkat Whatsapp kepada mahasiswa strata-1 yang masih berada pada semester 1 (satu) jurusan Psikologi
Universitas
Islam
Indonesia
Yogyakarta.
Hasil
wawancara
mengungkapkan hal berikut: “Saya ingin menjadi konsultan handal dan ingin menjadi Menteri perlindungan anak, karena menurut saya banyak anak Indonesia yang belum mendapat haknya secara utuh. Ya, karena ilmu saya masih seumur jagung jadi pemikirannya belum pasti, setiap mendapatkan ilmu baru pemikiran saya selalu berubah tentang ingin menjadi apa kelak.” Berdasarkan kedua hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa keduanya belum memiliki pilihan karir yang jelas dan pasti. Mahasiswa semester satu tersebut mengakui bahwa rencana karir dapat berubah-ubah seiring dengan peningkatan ilmu pengetahuan yang diperoleh walaupun sebelumnya dirinya telah memiliki aspirasi karir. Hal ini menunjukkan bahwa subjek masih mengalami kebimbangan karir. Mahasiswa
semester
6
(enam)
mengungkapkan
bahwa
ia
mulai
mempertimbangkan faktor ketersediaan lapangan kerja yang terbatas serta tren pekerjaan seperti apa yang diperoleh oleh para lulusan dari jurusannya yang umumnya tidak sesuai dengan bidang ilmu sebelumnya di program Strata-1. Subjek juga mengungkap adanya peningkatan keingintahuan dari orang tua mengenai rencana karir yang akan dituju oleh subjek setelah kelulusan, padahal subjek masih merasa kebingungan untuk mengejar karir atau melanjutkan kuliah ke jenjang magister pada jurusan yang berbeda. Temuan wawancara tersebut sesuai dengan pendapat Creed dkk (2006) bahwa kebimbangan karir yang dialami dapat disebabkan oleh faktor eksternal
maupun internal diri seseorang. Kebimbangan karir dapat muncul karena individu belum siap untuk mengambil keputusan atau karena ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menentukan keputusan dalam hal apapun (Patton & Creed, 2001; Guay dkk, 2003; Germeijs & Boeck, 2002). Kebimbangan karir juga dapat terjadi karena individu merasa memiliki kemampuan dalam segala bidang pekerjaan sehingga ia tidak dapat menentukan salah satu bidang yang ia minati untuk merintis karir (Vondracek dkk, 1999). Kebimbangan karir mungkin dapat terjadi karena pengaruh dari lingkungan seperti akibat rendahnya dukungan keluarga dan masyarakat terhadap karir yang dipilih oleh individu (Nota, Ferrari, Solberg, & Soresi, 2007). Ekspektasi yang tinggi dari orang tua dan masyarakat terhadap masa depan karir seseorang juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kebimbangan karir (Ferry, 2006). Fenomena seperti ini kerap terjadi di tengah masyarakat seperti adanya anggapan masyarakat mengenai pekerjaan yang dinilai pantas dan tidak pantas bagi seorang sarjana. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keputusan karir seseorang baik dari dalam maupun dari luar diri. Faktor dari dalam diri lebih mudah untuk dikendalikan daripada faktor dari luar diri (Mau, 2000). Kemampuan mengambil keputusan karir atas keinginan sendiri dan mengerahkan kemampuan untuk mencapainya menunjukkan otonomi yang tinggi dalam pengambilan keputusan karir (Creed dkk, 2006). Menurut Ryan & Deci (2006) otonomi merupakan kemampuan seseorang mengatur diri sendiri (self-governance). Otonomi yang tinggi tercermin dari tindakan otentik yaitu individu melakukan suatu tindakan atas keinginan sendiri secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati (Deci & Ryan, 2000a). Individu yang otonom dapat meregulasi dirinya untuk menjalani apa yang
telah ia putuskan dengan sepenuh hati tanpa mengabaikan keterhubungan tindakannya dengan lingkungan sosial (Ryan & Deci, 2006; Deci & Ryan, 2000a). Otonomi dapat dibedakan berdasarkan gaya regulasi motivasi individu dalam melakukan suatu tindakan (Ryan, Chirkov, Kim, & Kaplan, 2003). Menurut Deci & Ryan (2000a) berdasarkan teori determinasi diri terdapat lima gaya regulasi motivasi yang dapat digunakan individu dalam melakukan suatu tindakan, antara lain adalah gaya regulasi eksternal, introjeksi, identifikasi, integrasi, dan interinsik. Gaya regulasi motivasi menentukan bagaimana seseorang
mengatur
pikiran,
perasaan,
dan
perilakunya
dalam
setiap
tindakannya. Setiap individu memiliki kecenderungan tertentu dalam merasakan setiap pengalaman yang dialami, sehingga interpretasi pengalaman tersebut mempengaruhi individu dalam meregulasi tindakannya (Deci & Ryan, 2000a). Kecenderungan tersebut disebut dengan orientasi kausalitas (Deci & Ryan, 1985) Menurut Deci & Ryan (1985) terdapat tiga orientasi penyebab yang membedakan perilaku individu. Individu yang cenderung berperilaku berdasarkan ketertarikan, karena suatu nilai yang diyakini dengan
sungguh-sungguh, dan
kemanfaatan tindakan bagi dirinya disebut dengan orang yang berorientasi otonomi. Individu yang tindakannya cenderung karena pertimbangan sosial atau karena adanya pengaruh dari luar dirinya, seperti adanya penghargaan atau hukuman, maka individu tersebut tergolong kepada orang yang berorientasi kontrol. Kelima gaya regulasi motivasi tersusun dalam suatu rentang yang disebut dengan kontinum regulasi motivasi atau kontinum otonomi relatif (Ryan & Deci, 2006).
Menurut Deci & Ryan (2000b) tindakan yang menggunakan gaya regulasi motivasi interinsik adalah bentuk perilaku yang dilatarbelakangi orientasi otonomi disebut dengan tindakan dengan determinasi diri. Terdapat pula tindakan yang berorientasi otonomi tetapi belum bersumber dari motivasi interinsik, yaitu tindakan yang bersumber dari regulasi motivasi integrasi dan regulasi motivasi teridentifikasi. Regulasi motivasi terintegrasi terwujud dalam perilaku dan nilai yang telah tersintesis ke dalam kehidupan sehari-hari dan terkoordinasi dengan setiap tindakannya. Adapun regulasi motivasi identifikasi digunakan oleh seseorang yang memilih tindakan karena dianggap sebagai pilihan terbaik atau karena tindakan tersebut dianggap lebih bermanfaat atau lebih penting bagi dirinya walaupun tidak sesuai dengan keinginannya. Tindakan yang berorientasi otonomi hanya dapat muncul apabila individu mempergunakan gaya regulasi interinsik, integrasi, atau identifikasi (Deci & Ryan, 2000a). Proses pengambilan keputusan karir yang didasari keinginan sendiri dan dijalani dengan sepenuh hati tersebut dapat menghindari munculnya kebimbangan karir. Individu yang berorientasi otonomi dalam pengambilan keputusan karir dapat dengan mudah menentukan pilihan karirnya sendiri tanpa terpengaruh oleh orang lain (Soenens & Vansteenkiste, 2009). Orientasi otonomi dalam pengambilan keputusan karir membantu individu merasa lebih yakin untuk menentukan pilihan karir sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa terpengaruh oleh faktor dari luar diri sehingga mengurangi resiko munculnya kebimbangan karir (Guay, 2005). Menurut Guay dkk (2003) dalam pengambilan keputusan karir individu perlu merasa memiliki kompetensi untuk menyelesaikan tugas-tugas pemilihan karir. Teori determinasi diri menempatkan kompetensi sebagai konsep yang
semakna dengan efikasi diri yaitu suatu keyakinan yang dirasakan seseorang bahwa dirinya mampu melakukan suatu tindakan (Ryan & Deci, 2006; Deci & Ryan, 2000a). Efikasi diri didefinisikan sebagai keyakinan yang dirasakan seseorang atas kemampuan yang ia miliki untuk dapat melakukan suatu tindakan dan mencapai hasil tertentu (Bandura, 1986). Berdasarkan proposisi teori sosial kognitif dari Bandura, Hackett dan Betz pada tahun 1981 mengkonstruksikan efikasi diri dalam pengambilan keputusan dalam pengukuran psikologi vokasional tentang pemilihan karir pada subyek wanita (Miguel, Silva, & Prieto, 2013). Pengertian efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir adalah keyakinan individu bahwa dirinya mampu menyelesaikan tugas-tugas dalam pemilihan karir dalam upaya memperoleh suatu keputusan karir (Flores, Ojede, Huang, Gee, & Lee, 2006). Menurut Osipow (1999) efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir merupakan salah satu variabel kognitif yang penting untuk mengatasi kebimbangan karir. Konsep efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir dari Hackett dan Betz merupakan konsep yang paling populer dalam pengukuran efikasi diri dalam keputusan karir dan paling banyak digunakan dalam penelitian hingga saat ini (Miguel, Silva, & Prieto, 2013). Menurut Flores dkk (2006) tingkat efikasi diri dalam pemilihan karir yang tinggi terbukti menurunkan kebimbangan karir karena dapat memperkuat keyakinan akan keputusan karir yang ditetapkan. Tingkat efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir mempengaruhi bentuk perilaku eksplorasi karir, integrasi akademik, dan kematangan karir. Individu dapat lebih bersungguhsungguh dalam bertindak apabila memahami sasaran yang akan dicapai dan merasa mampu untuk mencapainya (Deci & Ryan, 2000a). Mahasiswa yang
merasakan efikasi diri yang tinggi serta berorientasi otonomi dalam menghadapi proses pengambilan keputusan karir akan lebih mudah menentukan karir. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diketahui bahwa otonomi dan efikasi diri yang dirasakan individu berperan dalam pengambilan keputusan karir. Individu yang memiliki otonomi dan efikasi diri akan lebih mudah mengatasi tugas-tugas pemilihan karir seperti mengukur kemampuan diri sendiri dan kesesuaian kemampuan dengan dunia kerja (Guay dkk, 2006). Kebimbangan karir merupakan kondisi dimana seseorang tidak mampu menentukan suatu pilihan karir. kebimbangan karir tersebut dapat dipengaruhi oleh otonomi yang dirasakan
dalam
pengambilan
keputusan
karir
dan
efikasi diri
dalam
pengambilan keputusan karir. Peneliti tertarik untuk menguji hubungan otonomi dan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir terhadap kebimbangan karir pada mahasiswa Strata-1. Peneliti juga ingin menguji hubungan antara gaya regulasi motivasi dalam pengambilan keputusan karir terhadap kebimbangan karir agar dapat mengetahui gaya regulasi motivasi apa yang paling mempengaruhi dalam pengambilan keputusan karir mahasiswa Strata-1. B. Rumusan Masalah Penelitian ini ingin menguji apakah terdapat hubungan antara otonomi dan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir terhadap kebimbangan karir pada Mahasiswa Strata-1? Apakah semakin tinggi efikasi diri dan otonomi diri dalam pengambilan keputusan karir maka kebimbangan karir pada Mahasiswa Strata-1 menjadi semakin rendah? Penelitian ini juga ingin menguji apakah terdapat hubungan antara gaya regulasi motivasi sebagai aspek dari otonomi dalam pengambilan keputusan karir terhadap kebimbangan karir?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji hubungan otonomi dan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir terhadap kebimbangan karir pada Mahasiswa Strata-1. Penelitian ini juga bertujuan untuk menguji hubungan antara gaya regulasi motivasi sebagai aspek otonomi dalam pengambilan keputusan karir
apakah yang paling mempengaruhi kebimbangan karir yang dirasakan
mahasiswa Strata-1 dalam pengambilan keputusan karir. D. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat memperkaya temuan empiris mengenai hubungan otonomi dan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir terhadap kebimbangan karir pada Mahasiswa Strata-1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan keilmuan psikologi terutama terhadap kaitannya dengan kebimbangan karir pada mahasiswa Strata-1. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis berupa informasi dalam memahami hubungan antara otonomi dan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir terhadap kebimbangan karir. Penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan karir khususnya pada Mahasiswa Strata-1. E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Perbedaan penelitian ini dengan penelitian mengenai kebimbangan karir yang telah ada adalah pada subjek penelitian yang diteliti. Penelitian yang telah ada umumnya dilakukan pada remaja berusia 16-18 tahun yang masih
menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas
(seperti pada: Ferry, 2006;
Guay, 2005; Guay, Senecal, Guathier, & Fernet, 2003; Marcionetti, 2014; Nota, Ferrari, Solberg, & Soresi, 2007; Saka & Gati, 2007; Talib & Aun, 2009). Subjek penelitian ini adalah lulusan Strata-1 dengan usia 18-25 tahun yang sedang memasuki masa Pra-dewasa. Perbedaan lain dari penelitian ini adalah karena meneliti kebimbangan karir yang dihubungkan dengan otonomi teori determinasi diri pada mahasiswa Indonesia. Penelitian tentang otonomi berdasarkan teori determinasi masih jarang dilakukan di Indonesia, padahal proposisi orientasi otonomi dan kontrol di dalam tindakan individu seperti yang dijelaskan dalam teori determinasi diri dapat menjelaskan motivasi bertindak individu yang dengan latar belakang budaya Indonesia lebih baik dibandingkan teori motivasi yang membedakan motivasi secara dikotomis. Menurut Deci & Ryan (2000a) teori determinasi diri tidak hanya membedakan motivasi berdasarkan jenisnya tetapi juga kualitas dan bentuknya, inilah alasan mengapa teori determinasi diri tidak mengklasifikasi jenis motivasi secara kaku tetapi menempatkannya sebagai kecenderungan yang dapat berubah di dalam diri seiring dengan pengalaman yang diperoleh seseorang. Perubahan tersebut dijelaskan dalam kontinum regulasi motivasi. Kontinum regulasi motivasi atau disebut juga kontinum otonomi sesuai untuk menjelaskan perilaku orang Indonesia dalam banyak aspek kehidupan, seperti untuk menjelaskan bagaimana orientasi otonomi individu dari masyarakat yang kolektif seperti Indonesia yang lebih mempertimbangkan orang lain bila dibandingkan dengan individu yang berbudaya individualistis. Penelitian ini dapat mengkonfirmasi pengaruh Indonesia terhadap otonomi mahasiswa Indonesia
dalam berbagai aspek kehidupannya, khususnya dalam menetapkan keputusan karir. Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas maka penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang ada sebelumnya dalam segi subyek penelitian. Adapun subyek penelitian yang menggunakan mahasiswa Strata-1 yang merupakan individu yang dilatarbelakangi oleh budaya timur dan nilai-nilai bangsa indonesia yang kolektif. Perbedaan tersebut diharapkan dapat memberikan temuan yang dapat menerangkan hubungan otonomi dan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir terhadap kebimbangan karir pada individu dengan latar belakang budaya kolektif.