BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pada dasarnya hubungan antarmanusia dapat terbentuk melalui pertemuan
yang intensif. Pembentukan hubungan manusia, dikenal sebagai bonding pada umumnya terdiri atas konfrontasi dan interaksi yang menumbuhkan keintiman satu sama lain.1 Lebih jauh, kekerasan–dalam hubungannya dengan pembentukan hubungan dan kedekatan–merupakan salah satu hal yang mengokohkan keterikatan. Kekerasan menjadikan individu yang tertindas berpikir secara persuasif terhadap penindas. Asumsi tersebut berlandaskan pada mekanisme pertahanan
diri,
sebuah
reaksi
formasi
2
dari
ketidaksadaran
yang
mengidentifikasikan ancaman atau kecemasan menjadi tenaga pelindungnya. Belakangan ini, kasus-kasus mengenai kekerasan dalam pembentukan hubungan banyak bermunculan, misalnya, kekerasan dalam rumahtangga, hubungan percintaan, hubungan keluarga, ataupun hubungan pertemanan. Berkaitan dengan kasus-kasus tersebut, teori mengenai kekerasan dalam hubungan tampaknya merupakan satu langkah signifikan guna memahami fenomena bonding. Manusia sebagai makhluk sosial, pada hakikatnya mempunyai ketergantungan satu sama lain. Dengan demikian, interaksi manusia merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, meskipun terdapat risiko kekerasan.
1
Anonim, T.t, http://en.wikipedia.org/wiki/Human_bonding, diakses 12 Februari 2014. Dalam psikoanalisis, reaksi formasi adalah mekanisme pertahan diri dimana kecemasan digantikan oleh kebalikannya. Contohnya, Sayu ketika dalam situasi penyanderaan berusaha menempatkan diri diantara para penyamun meskipun menyebabkan kecemasan karena kebenciannya. Dengan menempatkan diri diantara para penyamun, kecemasan dalam diri Sayu dialihkan dengan alasan ketidakberdayaan dalam bertahan hidup. 2
1
2
Ketergantungan manusia untuk saling berhubungan, mengimplikasikan kekerasan dalam pembentukan hubungan sebetulnya telah ada sejak manusia mulai saling berinteraksi. Dewasa ini kasus kekerasan dalam pembentukan hubungan mulai dianggap sebagai tindak penindasan/ penganiayaan. Beberapa kasus yang terjadi, yaitu istri yang dianiaya suami, anak yang diperlakukan keras oleh orangtuanya, perilaku dominasi pada pasangan kekasih, dan lain-lain. Meskipun demikian, reaksi individu yang teraniaya terhadap penindasan tidak selalu berupa penolakan. Pada beberapa situasi, ternyata kekerasan dapat menimbulkan keterikatan. Fenomena kekerasan dalam pembentukan hubungan tidak hanya mempengaruhi manusia secara praktis. Pikiran manusia yang berhubungan dengan kebudayaan dan produk-produknya juga ikut terpengaruh. Secara konkret jejak pengaruh tersebut tampak pada karya seni yang merupakan media ekspresi ide dan perasaan manusia. Ekspresi pengarang pada karya sastra dimunculkan dalam cerita, terutama perilaku dan interaksi antartokoh. Pembentukan hubungan dan kekerasan juga merupakan hal yang sering muncul dalam karya sastra. Meskipun dapat menggambarkan pikiran manusia, perspektif yang terungkap dalam karya sastra akan selalu terbatas. Karenanya, upaya memahami karya sastra dalam sebuah penelitian tidak cukup hanya dengan membaca. Di dalam penelitian ini, upaya pemahaman terhadap karya sastra dilakukan dengan memaparkan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra secara struktural.
3
Roman Anak Perawan di Sarang Penyamun menceritakan enam orang komplotan penyamun yang menyandera seorang gadis dari korban rampokannya. Di dalam roman ini dikisahkan sang perawan lambat laun menyerah dan menumbuhkan rasa simpati kepada penyanderanya. Ketika hubungan yang dijalani oleh dua individu menyebabkan salah satu pihak mengalami tekanan, luka, atau intimidasi, dan pada pihak lain memberikan kendali berlebihan, maka terdapat indikasi telah terjadi penindasan. Perilaku semacam ini dikenal dengan istilah sindrom stockholm (juga dikenal sebagai trauma bonding atau betrayal bond), didefinisikan sebagai hubungan yang terbentuk antara korban penindasan dengan pelaku penindasan. Umumnya korban memiliki kesetiaan yang kuat terhadap pelaku, meskipun telah diperlakukan secara degradatif.3 Paradigma yang melekat pada fenomena ini cenderung negatif. Penyebabnya adalah kesulitan dalam memahami rasa simpati pada pelaku penindasan yang perilakunya bersebrangan dengan nilai-nilai norma yang berkembang di masyarakat. Hal yang layak diteliti muncul dari sudut pandang korban dengan keberpihakannya terhadap fenomena trauma bonding. Korban menciptakan keterikatan pada penyandera dalam situasi penyanderaan karena merasa sepenanggungan dengan penindasnya. Ketidakmampuan korban untuk lari dari
situasi
memaksanya
bertahan
hidup
dan
menerima
keberadaan
penyanderanya. Pada tahun 1973 di daerah Norrmalmstorg, Stockholm, Swedia, terjadi perampokan. Jan-Erik Olsson seorang narapidana yang baru saja melarikan diri 3
Julia Crane, 2012, www.counsellingwestonsupermare.co.uk/featured/trauma-bonding/, diakses 24 Januari 2015.
4
dari penjara mendatangi Kreditbanken dan menyandera empat orang. Setelah mengalami masa penyanderaan selama kurang lebih lima hari, para sandera menunjukkan
ciri-ciri
keterikatan
kepada
penyandera
dan
cenderung
mengungkapkan kekhawatirannya kepada polisi daripada para penyanderanya. Pada situasi ini sandera menumbuhkan rasa simpati terhadap penyandera, yang secara ironis telah menempatkan mereka pada keadaan penuh kekerasan dan tekanan psikis.4 Sindrom stockholm dikenal sebagai fenomena psikologis ketika seorang sandera menunjukkan simpati, empati, dan perasaan positif terhadap penyanderanya.5 Beberapa kasus, bahkan menungkapkan bahwa sandera mampu menunjukkan
perilaku
rela
mempertahankan
penyanderanya
dan
mengidentifikasikannya sebagai bagian dari penyanderanya.6 Sutan Takdir Alisjahbana dilahirkan di Natal, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 11 Februari 1908, dan meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 dalam usia 86 tahun. 7 Dalam sejarah sastra Indonesia, ia termasuk dalam angkatan pujangga baru. Sutan Takdir Alisjahbana dikenal juga dengan STA banyak menulis karya sastra indonesia terhitung sejak 1930-an. Karya pertamanya, Tak Putus Dirundung Malang (1929), namun lebih terkenal karena Layar Terkembang (1937). Di antara karya sastra yang diciptakan oleh STA adalah: Dian Yang Tak Kunjung Padam
4
Anonim, T.t, http://en.wikipedia.org/wiki/Norrmalmstorg_robbery, diakses 27 Desember 2014. Anonim, T.t, http://en.wikipedia.org/wiki/Stockholm_syndrome, diakses 27 Desember 2014. 6 Salah satu contoh kasus yang paling terkenal adalah penyanderaan Natasha Campus. Ketika diinformasikan bahwa penyanderanya bunuh diri karena Natasha melarikan diri, ia menangis dan menyebut polisi sebagai pembunuh. 7 Anonim, 2011, http://biografinya.blogspot.co.id/2011/10/sutan-takdir-alisjahbana.html, diakses 18 Oktober 2015. 5
5
(1932), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), Grotta Azzura, Kisah Cinta dan Cita (1970), dan Kalah dan Menang (1978).8 Roman Anak Perawan di Sarang Penyamun pertamakali diterbitkan tahun 1940. Penelitian ini menggunakan versi cetakan tahun 1989. Kandungan psikologi yang terdapat pada roman Anak Perawan di Sarang Penyamun diuraikan dari naskah roman. Di dalam penelitian ini naskah cetakan dipilih secara acak. Penggunaan naskah cetakan tahun 1989 berdasarkan pada kemampuannya mewakili persamaan yang terdapat dalam semua cetakan. Roman ini dicetak dua belas kali, dengan rincian sebagai berikut: 1940, 1963, 1964, 1975, 1977, 1980, 1982, 1984, 1985, 1989, 1990, dan 2008. Istilah sindrom stockholm baru muncul setelah peristiwa perampokan bank tahun 1973 di Stockholm, Swedia. Fakta ini membuktikan bahwa hubungan yang tumbuh dengan kekerasan dan tekanan bukanlah hal baru. Terdapat nilai universal mengenai ikatan antarmanusia dalam fenomena ini, permasalahannya bagaimana mengungkapkannya dengan bukti yang diperlukan. Sindrom stockholm adalah fenomena psikologis yang muncul secara khusus dengan karakteristik dan situasi yang spesifik. Dalam memahaminya secara mendalam perlu teori yang dapat bicara tentang fenomena ini secara valid berdasarkan fakta empiris dari kasus yang pernah terjadi. Maka secara substansial, teori yang tepat untuk menjawab permasalahan ini adalah psikologi sastra. Wellek dan Warren (2014:81) menyebutkan psikologi sastra mempunyai empat kemungkian pengertian. Pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai
8
Anonim, 2008, http://www.alisjahbana.org/riwayatHidup.html, diakses 18 Oktober 2015.
6
tipe atau sebagai pribadi. Kedua, studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, studi mengenai dampak sastra terhadap pembaca (psikologi pembaca). Dalam penelitian ini, psikologi sastra difokuskan dalam kemungkinan ketiga, yaitu mengenai penerapan hukum psikologi yang terdapat dalam karya sastra. Relevansi kemungkinan ketiga berlandaskan pada asumsi terjadinya sindrom stockholm pada tokoh Sayu, sehingga penelitian ini menganalisis fenomena tersebut dengan teori yang mampu mendefinisikan sindrom stockholm. Penelitian ini mengasumsikan Anak Perawan di Sarang Penyamun menerapkan fenomena psikologis sindrom stockholm sebagai salah satu hal yang mempengaruhi keutuhan roman sebagai karya sastra. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian dilaksanakan dengan kajian psikologi sastra terhadap roman Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana. Asumsinya adalah roman Anak Perawan di Sarang Penyamun mempunyai kandungan fenomena psikologis sindrom stockholm. Penelitian ini berupaya melihat keberadaan sindrom stockholm dalam cerita sebagai salah satu bagian yang berpengaruh dalam hubungan sebab-akibat yang terkandung di dalam roman. Sebagai upaya memudahkan proses penelitian, terlebih dahulu dilaksanakan analisis struktur dengan menyistematikkan unsurunsur intrinsik. Karya sastra yang dianalisis merupakan dokumentasi fiksi dari gejala kejiwaan manusia yang tidak selalu lazim ditemukan. Berangkat dari alasan tersebut, penulis melakukan analisis psikologi sastra terhadap roman Anak Perawan di Sarang Penyamun.
7
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan dua masalah yang dipecahkan di
dalam penelitian ini. 1) Bagaimanakah struktur roman Anak Perawan di Sarang Penyamun
karya Sutan Takdir Alisjahbana?
2) Bagaimanakah fenomena sindrom stockholm yang terjadi pada tokoh cerita dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana?
1.3
Tujuan Di dalam setiap penelitian, tentu terdapat tujuan yang hendak dicapai.
Adapun tujuan penelitian ini terbagi menjadi dua berdasarkan apa yang hendak dicapai.
1.3.1
Tujuan Umum
1) Menambah khazanah penelitian sastra dalam bidang psikologi sastra. 2) Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra.
1.3.2
Tujuan Khusus
1) Memahami struktur roman Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana.
8
2) Memahami fenomena sindrom stockholm yang terjadi pada tokoh cerita dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana.
1.4
Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan studi terhadap tulisan yang mempunyai
keterkaitan dan hubungan dengan penelitian yang dilaksanakan. Isinya berupa hubungan antartulisan, tidak selalu berisi tulisan dengan hubungan yang identik, tetapi bisa juga memiliki keterkaitan yang searah. Kajian pustaka berisi uraian sistematis tentang kajian penelitian yang telah dilaksanakan dengan memuat teori, metode, perbedaan, dan kontribusi bagi penelitian yang dilaksanakan, sehingga pembaca bisa memahami tujuan dan kejelasan penelitian yang dilaksanakan. Bagian ini menguraikan beberapa tulisan yang memiliki keterkaitan baik secara tema, metode, teknik, ataupun penulisan yang memberi kontribusi bagi penelitian. Selain pustaka, penelitian ini juga mengandalkan jaringan internet untuk memperkaya data mengenai penelitian yang sudah dilaksanakan. Roman Anak Perawan di Sarang Penyamun belum pernah dijadikan objek penelitian di lingkungan Universitas Udayana. Penulis mencatat beberapa kajian yang pernah dilakukan di luar lingkungan Universitas Udayana yang mempunyai objek kajian serupa ataupun memberikan kontribusi pada arah penelitian ini. Asti Susanti dari Universitas Diponegoro tahun 2012 melakukan penelitian dengan judul Eksistensi Tokoh Medasing Terhadap Roman Anak Perawan di Sarang Penyamun Karya Sutan Takdir Alisjahbana Sebuah Tinjauan Eksistensi
9
Kierkegaard. Penelitian ini lebih mengonsentrasikan perhatiannya pada tingkah laku dan eksistensi tokoh Medasing berdasarkan apa yang ia perbuat dengan berlandaskan teori eksistensialisme Soren Kierkegaard. Penelitian yang dilakukan Susanti memiliki kesamaan objek dengan penelitian ini. Meskipun memiliki arah kajian yang berbeda, penelitian yang dilaksanakan Susanti digunakan sebagai contoh analisis terhadap tokoh Medasing dalam penelitian ini. Siti Makbulah dari Universitas Negeri Jember tahun 2014 melaksanakan penelitian dengan judul Aspek Humaniora Roman Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana. Dipaparkan dalam penelitian ini adalah nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam roman. Penelitian yang dilaksanakan oleh Makbulah memiliki kesamaan objek dengan penelitian ini. Penelitian Makbulah memiliki objek penelitian yang sama, namun menggunakan fokus kajian yang berbeda dari penelitian ini.
1.5
Landasan Teori Sebuah penelitian tentu membutuhkan teori yang relevan dengan masalah
yang dianalisis. Sebagai alat, teori berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian (Ratna, 2004:9). Dalam penelitian ini, digunakan teori struktural dalam rangka menyistematikkan unsur intrinsik roman Anak Perawan di Sarang Penyamun. Teori psikologi sastra digunakan dengan mengadaptasi beberapa teori psikologi klinis yang relevansinya mengidentifikasi perilaku tokoh Sayu terhadap fenomena sindrom stockholm.
10
1.5.1
Teori Struktural Menurut pernyataan Abrams (dalam Teeuw, 2015:94) terdapat empat
pendekatan dalam memahami karya sastra, yakni: pendekatan objektif, pendekatan
ekspresif,
pendekatan
pragmatik,
dan
pendekatan
mimetik.
Pendekatan objektif menekankan karya sastra sebagai struktur yang bersifat otonom (Teeuw, 2015:94). Aristoteles (dalam Teeuw, 2015:94) sebagai landasan pernyataan karya sastra merupakan struktur yang otonom, menyatakan bahwa dalam tragedi action, tindakan, bukan character, watak, yang terpenting. Efek tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya, dan untuk menghsilkan efek yang baik plot harus mempunyai keseluruhan atau kelengkapan, wholeness; syarat utamanya adalah order, aplitude atau complexity, unity, dan connection atau coherence. Teeuw (2015:106) menjelaskan tujuan strukturalisme adalah memaparkan secermat mungkin keterkaitan seluruh unsur yang membangun sebuah karya sastra. Relevansinya searah dengan pandangan karya sastra sebagai kesatuan yang objektif dan berdiri sendiri secara faktual. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, setiap karya sastra merupakan ragam yang khas yang baru muncul kekhasannya setelah menjadi suatu keterpaduan. Eksistensi karya sastra memiliki keragaman dalam unsur pembangunnya. Sebuah prosa dapat menonjol dalam unsur penokohan yang unik dan impresif, sedangkan prosa lain bisa menonjol dalam unsur tema. Dominasi unsur bukan berarti ketiadaan unsur yang lain, namun menunjukkan kekuatan unsur dalam keragaman karya sastra. Upaya memahami keberadaan unsur-unsur ini lebih
11
mudah berkat keberadaan teori struktural. Kemampuan teori struktural mengeksplisitkan unsur-unsur karya sastra secara mendetail, menunjukkan peran masing-masing unsur dalam karya sastra. Pada lingkungan penelitian sastra, sering timbul keraguan mengenai relevansi penggunaan teori struktural terutama dalam fokus non-struktur, misalnya psikologi sastra. Teeuw (2015:119) menyatakan bahwa pendekatan struktural terhadap karya sastra tidak perlu dan tidak dapat dimutlakkan. Meskipun begitu, untuk melakukan penelitian lanjutan pendekatan struktural perlu dilakukan karena kemampuannya mengeksplisitkan dan menyistemasikan hasil membaca dan menyimak karya sastra. Pendekatan struktural terhadap karya sastra tidak lain hanyalah langkah dalam menyempurnakan pemahaman terhadap proses yang dituju. Jika dianalogikan dalam kehidupan, pendekatan struktural bisa menyerupai upaya seseorang yang ingin menaiki bukit dengan membuat jalan sengked terlebih dahulu, sebenarnya tidak perlu dilakukan tetapi dapat mempermudah perjalanan. Secara tradisional struktur karya sastra terbagi menjadi dua bagian, yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang terdapat dalam karya sastra. Unsur-unsur ini dapat diperoleh dengan membaca dan menyimak karya sastra tersebut, sedangkan unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur di luar karya sastra yang secara tidak langsung mempengaruhi bangunan sebuah karya sastra (Nurgiyantoro, 2005:23). Dalam penelitian ini, roman Anak Perawan di Sarang Penyamun sebagai fakta objektif yang berdiri sendiri di atas kepaduannya terdiri atas beberapa unsur intrinsik. Menurut Wellek dan Warren (dalam Ratna, 2013:22), analisis intrinsik adalah tinjauan terhadap objek dari dalam, tanpa
12
mempertimbangkan relevansi unsur-unsur yang ada di luarnya. Stanton (2012:22) mengemukakan bahwa unsur-unsur intrinsik karya sastra merupakan fakta cerita, yang terdiri atas penokohan (karakterisasi), alur cerita (plot), dan latar (setting). Penggunaan teori struktural yang dikemukakan Stanton berdasar pada kemampuan teorinya untuk menyistematikkan unsur-unsur karya sastra. Unsurunsur yang akan dianalisis meliputi fakta cerita yang dikemukakan stanton yakni: penokohan, alur, dan latar. Di dalam penelitian ini, analisis struktur ditujukan untuk mempermudah proses penguraian unsur intrinsik karya sastra yang diperlukan dalam analisis psikologi sastra yang dilaksanakan selanjutnya.
1.5.2
Teori Psikologi Sastra Psikologi sastra merupakan interdisiplin antara ilmu psikologi dan ilmu
sastra (Minderop, 2010:59). Asumsi awalnya adalah karya sastra sebagai produk kejiwaan (proses kreatif) seorang pengarang. M.H. Abrams (dalam Minderop, 2010:60) mengatakan bahwa karya sastra tampak sebagai cerminan perilaku manusia, jendela di mana kita dapat memahami dunia dan kepribadian si pengarang yang memang perlu dipahami. Pandangan tersebut berlandaskan pada asumsi terhadap karya sastra sebagai cerminan perasaan, pikiran dan lebih ekstrem lagi sebagai impuls seksual yang terpendam dari si pencipta (Minderop, 2010:61). Penelitian ini berupaya memaparkan kemutakhiran roman Anak Perawan di Sarang Penyamun secara psikologis. Jika melihat keberadaan novel ini yang mendahului peristiwa diidentifikasikannya fenomena sindrom stockholm tentu kita
13
dapat mengasumsikan bahwa hal yang terjadi pada tokoh cerita dalam roman ini secara universal bukanlah hal baru. Peristiwa yang terjadi dalam roman ini sangat dekat dengan realitas, sehingga identifikasi fenomena sindrom stockholm di dalam cerita perlu dilaksanakan berdasarkan landasan teori yang valid. Istilah psikologi sindrom stockholm muncul tahun 1973, sedangkan roman ini muncul lebih awal, yakni tahun 1940. Meskipun keberadaan dua hal ini terpisah zaman, penelitian ini berusaha mengaitkannya dengan perilaku manusia secara universal. Sebagai upaya interpretasi, penelitian ini mempertimbangkan beberapa hal yang menyangkut latar belakang karya sastra dan pengaruh zaman terhadap karya sastra. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah fenomena sindrom stockholm dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun. Istilah sindrom stockholm berasal dari peristiwa penyanderaan yang menyebabkan korbannya mempunyai keterikatan pada penyanderanya yang terjadi di Stockholm, Swedia. Menurut De Fabrique (Ott, 2007:12), sindrom stockholm mempunyai tiga karakteristik. Pertama, sandera mempunyai perasaan positif terhadap penyandera. Kedua, sandera merasa takut, tidak bisa percaya, dan marah terhadap pihak penyelamat. Ketiga, penyandera menunjukkan perasaan positif terhadap sandera, serta mulai melihat mereka sebagai manusia. Meskipun kondisi yang terjadi dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun tidak dapat sembarangan dinyatakan sebagai kasus sindrom stockholm, tetapi analisis awal menunjukkan adanya ciri-ciri sindrom stockholm pada tokoh Sayu. Pembentukan fenomena ini dapat diobservasi melalui perilaku Sayu yang
14
berkembang
menjadi
kooperatif
bersamaan
dengan
peningkatan
waktu
penyanderaan. Posisi tokoh Sayu (sandera) dipengaruhi oleh tokoh Medasing (penyandera), yang diasumsikan mengalami sindrom lima. Perubahan profesi Medasing dari penyamun menjadi seorang saudagar merupakan salah satu amanat utama dalam roman ini. Karya sastra semacam ini diupayakan untuk menggiring pembacanya pada tingkatan katarsis. 9 Katarsis memiliki makna pembersihan atau pencerahan. Istilah ini pertamakali digunakan dalam perdebatan antara Plato dan Aristoteles untuk melukiskan akibat yang ditimbulkan melalui pertunjukan karya seni, dalam hubungan ini tragedi dan karya seni yang lain (Ratna, 2004:84). Pertimbangan mengenai katarsis berhubungan dengan pandangan roman yang dikaji sebagai sastra pencerahan. Batasannya adalah peranan sindrom stockholm sebagai bagian dari roman Anak Perawan di Sarang Penyamun.
1.6
Metode dan Teknik Sebelum membahas metode dan teknik yang diterapkan, di bawah ini
diuraikan definisi metode dan teknik dengan sumber pijakan yang valid dan relevan. Pembatasan ini dilakukan karena definisi metode dan teknik sering kabur satu dengan yang lain. Metode berasal dari kata metodhos, bahasa Latin, sedangkan methodos berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian lebih luas 9
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008:650) katarsis adalah penyucian diri yang yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan diri dari ketergangguan. Dalam psikologi, katarsis merupakan metode pengobatan orang yang berpenyakit saraf untuk mencurahkan segala isi hatinya.
15
metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkahlangkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat (Ratna, 2004:34). Teknik berasal dari kata tekhnikos bahasa Yunani, berarti alat, atau seni menggunakan alat. Sering terjadi kekeliruan antara metode dan teknik. Perbedaannya adalah pada tingkat abstraksinya, teknik bersifat lebih konkret daripada metode dan dapat dideteksi secara indrawi (Ratna, 2004:37).
1.6.1
Tahapan Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data pada penelitian
ini adalah metode kepustakaan. Ratna (2004:39) mengemukakan bahwa metode kepustakaan adalah cara penelitian yang mengandalkan tulisan-tulisan, baik lama maupun modern. Ratna juga menambahkan bahwa metode kepustakaan dalam ilmu sastra merupakan ciri khas yang muncul dari hakikat karya sastra. Teknik yang digunakan adalah teknik baca, simak, dan catat.
1.6.2
Tahapan Analisis Data Proses analisis data pada penelitian ini dilaksanakan dengan metode
formal dan metode deskriptif analitik. Penelitian dilaksanakan dengan mempertimbangkan hal-hal formal, aspek-aspek bentuk dalam karya sastra. Analisis diuraikan dalam bentuk deskriptif dengan mengoptimalkan validitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Data dianalisis dengan menggunakan teknik simak dan catat. Teknik simak dan catat merupakan lanjutan dari teknik membaca
16
sebagai pengembangan terhadap pemahaman yang didapatkan dari proses membaca.
1.6.3
Tahapan Penyajian Hasil Analisis Data Setelah hasil penelitian diperoleh, hasil analisis data disajikan dengan
metode deskriptif analitik. Penyajian hasil analisis data diuraikan dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam baku dengan format penulisan skripsi yang telah ditentukan. Teknik penulisan hasil analisis data menggunakan sistematika sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka atau penelitian sebelumnya, landasan teori, dan metode dan teknik. Bab II berisi analisis strukturalisme roman Anak Perawan di Sarang Penyamun. Dalam bab II struktur roman akan dibatasi meliputi tiga unsur intrinsik yakni penokohan, alur, dan latar. Bab III menguraikan analisis psikologi sastra roman Anak Perawan di Sarang Penyamun dengan fokus penelitian terhadap fenomena sindrom stockholm yang dimunculkan pengarang pada roman. Pertama-tama akan diselidiki mengenai struktur kepribadian beberapa tokoh utama dengan berlandaskan teori psikoanalisa (id, ego, dan superego). Selanjutnya analisis sindrom stockholm dilaksanakan dengan berpijak pada teori klinis. Tidak lupa mempertimbangkan beberapa hal yang menyangkut masalah interpretasi. Bab IV merupakan penutup dan berisi simpulan dan saran terhadap penelitian yang telah dilaksanakan.