BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1958, hubungan antara inflasi dan pengangguran yang dikenal sebagai kedua indikator makro ekonomi memiliki hubungan negatif yang digambarkan oleh Kurva Phillips (Phillips, 1958). Sejak saat itu, Kurva Phillips menjadi salah satu landasan pemerintah dalam menentukan kebijakan pemerintah (Furuoka, 2009) dan digunakan sebagai alat analisis dalam menentukan target inflasi agar tidak mengorbankan tingkat pengangguran yang lebih besar pada suatu negara (Islam, et al, 2003:107). Seiring dengan teori Kurva Phillips, maka otoritas moneter dapat mempertahankan tingkat pengangguran yang lebih rendah secara permanen dengan menerima beberapa derajat inflasi. Kebijakan moneter dan fiskal yang dikelola secara aktif dapat digunakan untuk mempertahankan tingkat tenaga kerja secara maksimum sepanjang waktu (Kadioglu, et al, 2000). Namun, banyak studi yang kini menunjukkan bahwa hubungan antara inflasi dengan pengangguran tidak lagi berbanding terbalik. Studi-studi sebelumnya, Phelps (1967), Leijonhufvd (1968), dan Brinner (1977), menyatakan bahwa hubungan yang berbanding terbalik antara inflasi dengan pengangguran tidak lagi berlaku pada negara-negara industri. Hal ini kemudian ditambahkan oleh Friedman (1968) bahwa hubungan trade off antara inflasi dengan pengangguran bersifat temporer dan accidental sehingga tidak berlaku pada jangka panjang. Namun, studi lainnya, Fuhrer (1995) menyatakan bahwa Kurva Phillips masih berlaku di Inggris. Sementara itu, Malinov dan Sommers pada tahun 1997 juga menemukan bahwa kurva phillips masih ada di negara-negara anggota OECD.
1
Pendapat mengenai adanya trade off jangka panjang antara inflasi dengan pengangguran merupakan suatu kesalah pahaman mengenai kebijakan moneter (The Economist, 1999). Kenyataannya, isu mengenai tingkat pengangguran maupun tingkat inflasi di berbagai negara di dunia ditanggapi berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan prioritas negara tersebut.
Tentunya, terdapat berbagai perbedaan karakteristik negara sesuai dengan
tingkat pendapatan negara tersebut sehingga mempengaruhi perilaku pengambilan keputusan negara tersebut. Negara-negara maju cenderung memiliki sistem kebijakan moneter yang stabil, sehingga tingkat pengangguran juga cenderung konsisten (Debelle dan Laxton, 1997). Menurut World Bank, berdasarkan pendapatan per kapita, negara diklasifikasikan menjadi empat bagian yakni negara berpendapatan rendah (low income):
US$ 12,476. Dari keempat klasifikasi tersebut, negara-negara dengan klasifikasi menengah, menengah rendah dan menengah tinggi, memiliki fenomena yang menarik. Negara-negara menengah memiliki tingkat dukungan yang tinggi serta peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berisiko kepada kemungkinan tingkat inflasi yang tinggi (Gaur, 2009). Lima negara yang termasuk klasifikasi negara berpendapatan menengah rendah (lower middle income), yakni Indonesia, Filipina, Sri Lanka, Thailand dan Albania, cenderung memiliki tingkat inflasi sekitar 5%-10% pada dekade 2000-an, sebelumnya kelima negara ini pernah mencapai tingkat inflasi diatas 10%, hal ini disebabkan oleh goncangan perekonomian internasional ataupun kondisi internal perekonomian negara tersebut. Indonesia misalnya, pernah mengalami inflasi yang tinggi tahun 1998 sebesar 58% akibat 2
Krisis Asia tahun 1997 yang melanda Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Tingkat inflasi Indonesia pada tahun 1997-1998 tersebut merupakan tingkat inflasi tertinggi di Asia (Siregar dan Rajaguru, 2005). Adanya ketidakstabilan nilai rupiah karena adanya permasalahan politik dalam negeri dan adanya ketidakpastian di pasar valuta asing menjadi penyebab tekanan inflasi yang tajam selama beberapa tahun tersebut (IMF, 2002). Sementara itu, Albania pernah mengalami hiper inflasi pada tahun 1992 sebesar 226%, inflasi yang dihadapi oleh Albania ini terjadi akibat sistem perekonomian Albania yang berubah dari terpusat menjadi perekonomian yang berbasis pasar. Namun, pada kenyataannya Albania mampu mengatasi permasalahan hiper inflasi tersebut dengan menerapkan berbagai kebijakan fiskal dan moneter, serta didukung dengan adanya stabilitas politik dalam negeri (Haderi, et.al, 1999). Gambar 1.1 Inflasi di Lower Middle Income Countries 250
1: Filipina
200
2: Indonesia
150
3: Sri Lanka
100
4: Thailand
50
5: Albania
0
-50 90
92
94
96
98 1 4
00
02 2 5
04
06 3
Sumber: World Economic Outlook (1990-2011)
3
08
10
Negara-negara dengan klasifikasi Upper Middle Income, seperti Bulgaria, Meksiko, Kolombia, Malaysia dan Kosta Rika memiliki kondisi inflasi yang tidak jauh berbeda dengan negara-negara menengah rendah, faktor stabilitas perekonomian dan politik juga masih mempengaruhi laju inflasi. Bulgaria, sebagai negara yang juga pernah mengalami hiper inflasi sebagaimana Albania, juga dapat mereduksi tingkat inflasi yang ada. pasca transformasi politik tahun 1989, Bulgaria melancarkan reformasi radikal ekonomi dengan stabilisasi keuangan, reformasi struktural dan swastanisasi secara luas. Kemudian, pada tahun 1997, Bulgaria melakukan Currency Board System demi membayar hutang luar negeri negara tersebut dan menekan hiper inflasi. Menurut Loria dan Ramirez (2011), ledakan inflasi di Meksiko akibat depresiasi nilai tukar pada dekade 70 dan 80-an berangsur-angsur dapat dikendalikan dan mengalami penurunan akibat adanya cuasi fixation pada nilai tukar nominal. Secara umum, target inflasi di Meksiko sangat berpengaruh dalam penyesuaian tingkat inflasi. Gambar 1.2 Inflasi di Negara Upper Middle Income Countries 1,200
1: Bulgaria
1,000
2: Meksiko
800
3: Kolombia
600
4: Malaysia
400
5: Kosta Rika
200
0 90
92
94
96
98 1 4
00
02 2 5
04
06 3
Sumber: World Economic Outlook (1990-2012)
4
08
10
Adanya pergeseran teori Kurva Phillips dari Kurva Phillips Tradisional yang memiliki hubungan berbanding terbalik menjadi hubungan yang positif antara inflasi dengan pengangguran pada studi-studi sebelumnya di negara maju, menjadi latar belakang penelitian ini. Secara khusus, penelitian ini membahas hubungan antara inflasi dengan pengangguran di kedua klasifikasi negara berkembang tersebut. 1.
Rumusan Masalah
Berbagai teori kini berkembang untuk menjelaskan hubungan antara tingkat inflasi dengan pengangguran dengan berbagai bukti empiris. Studi-studi empiris pada penelitian sebelumnya
menangkap
adanya
hubungan
yang positif
antara inflasi dengan
pengangguran, seperti oleh Friedman (1977) dengan studi kasus Inggris, Italia, dan Kanada, dan berbagai lokasi di negara-negara OECD (Doyle, 2006). Di sisi lain, Boelaert (1973), Assarson (2008), Clifton, et.al (2006) menyatakan masih terdapat hubungan negatif antara inflasi dengan pengangguran di berbagai negara. Selain perdebatan teoritis mengenai Kurva Phillips, kenyataannya negara-negara berkembang di dunia masih memiliki hambatan dalam mencapai tingkat inflasi dan pengangguran yang stabil. Ketidakstabilan ini berujung kepada risiko inflasi yang tinggi ataupun tingkat pengangguran yang besar, terlebih apabila kondisi internal suatu negara sedang buruk. 1.2 Pertanyaan Masalah Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang penulis paparkan sebelumnya, maka terdapat pertanyaan terhadap masalah yang akan diteliti, berupa: 1. Bagaimana hubungan antara inflasi dan pengangguran pada dua klasifikasi negara berkembang? 5
2. Bagaimana hubungan antara pertumbuhan jumlah uang beredar terhadap inflasi pada dua klasifikasi negara berkembang? 3. Bagaimana hubungan antara tingkat suku bunga terhadap inflasi pada dua klasifikasi negara berkembang?
1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui hubungan antara inflasi dengan pengangguran pada dua klasifikasi negara berkembang.
2.
Mengetahui hubungan antara pertumbuhan jumlah beredar terhadap inflasi pada dua klasifikasi negara berkembang.
3.
Mengetahui hubungan antara tingkat suku bunga terhadap inflasi pada dua klasifikasi negara berkembang.
1.4 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari empat bab yaitu bab 1 pendahuluan, bab 2 tinjauan pustaka, alat analisis, dan kerangka kerja penelitian, bab 3 analisis data, dan bab 4 kesimpulan dan saran. Bab 1 berisi uraian latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, alat analisis, dan sistematika penulisan. Bab 2 berisi landasan teori, alat analisis yang digunakan, serta kerangka kerja penelitian serta model dan hipotesis penelitian. Bab 3 berisi data dan hasil analisis. Bab 4 berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini.
6