BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa Kerajaan Aceh, struktur pemerintahan dibagi dalam lima tingkatan, yaitu : (1) Sultan yang memimpin kerajeun dan daerah taklukannya, serta mengkoordinir para Ulee Balang, (2) Panglima Sagoe yang membawahi beberapa daerah Ulee Balang. (3) Ulee Balang mengkoordinir beberapa mukim, (4) Imeum mukim yang membawahi beberapa gampong, dan (5) Geusyiek yang memimpin gampong sebagai unit pemerintahan terendah. Mukim terbentuk bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh. Keberadaannya memiliki dasar yang kuat baik untuk pengaturan kehidupan sosial (adat) maupun untuk kehidupan beragama (hukom), dan juga kemudian pemerintahan. (Said, 1981 :403) Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imeum Mukim tetap diakui, bahkan diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur General van Nederland Indie van 18 November 1937 Nomor 8, dengan nama Imeumschaap. Masa penjajahan Jepang, pemerintahan oleh Imeum Mukim pun tetap diakui berdasarkan Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944. (Syahbandir, 1995: 3) Setelah Indonesia Merdeka ketentuan-ketentuan tentang pemerintahan mukim tetap diberlakukan, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Untuk mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur
pemerintahan desa, Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun 1946,
yang menurut kedua peraturan tersebut,
Universitas Sumatera Utara
Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulhee Balang, karena lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan tersebut di atas, melainkan berada di bawah camat dan membawahi beberapa gampong. (Amin, 1978: 40) Pada masa rezim Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara sentralistik, yang diikuti dengan politik hukum univikasi untuk seluruh wilayah Indonesia. Sehingga, dengan paradigma seperti ini, maka sistem pemerintahan di daerah diupayakan berlangsung secara seragam se-Indonesia. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, keberadaan pemerintahan Mukim ini tidak lagi mendapat pengakuan dari pemerintah. Dengan demikian, mukim tidak lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan dalam struktur pemerintahan di Aceh. Namun dalam prakteknya ternyata pemberlakuan kedua undang-undang tersebut tidak serta merta dapat menghapuskan keberadaan lembaga adat mukim yang ada di Aceh. Pemerintah Daerah lstimewa Aceh mengeluarkan Peraturan Daerah Tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam Pasal 5 Perda Nomor 2 Tahun 1990 ditentukan bahwa "Kedudukan Imeum Mukim diakui dan diberikan kedudukan sebagai koordinator Kepala Desa dan Kepala Kelurahan dan Lembaga Adat sepanjang yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat". Kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan daerah Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Mukim sebagai Kesatuan masyarakat adat dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Djuned, 2003: 38)
Universitas Sumatera Utara
Seiring dengan berjalannya proses reformasi sistem pemerintahan di Indonesia, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memberikan semangat baru untuk menghidupkan kembali sistem adat dan kelembagaan pada tingkat gampong di Aceh. Khusus bagi Aceh, dalam rangka penyelesaian konflik, Pemerintah memberlakukan pula Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan tersebut menurut Pasal 3 ayat (2) meliputi: (1) penyelenggaraan kehidupan beragama, (2) penyelenggaraan kehidupan adat, (3) penyelenggaraan pendidikan, dan (4) peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Berdasarkan ketentuan di atas jelaslah bahwa undang-undang ini kembali memperkuat keberadaan lembaga adat, termasuk lembaga adat Mukim. Selanjutnya, melalui Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Pemerintahan Mukim dimasukkan kembali dalam struktur pemerintahan di Aceh. Pengukuhan keberadaan mukim semakin kuat dengan diundangkannya Qanun (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Setelah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), keberadaan mukim sebagai unit pemerintahan kembali mendapat pengakuan, pengaturan, dan pengukuhannya dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab XV tentang mukim dan gampong.
Universitas Sumatera Utara
Dengan telah dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan dalam peraturan perundang-undangan (UU dan Qanun/Perda), maka keberadaan Imeum Mukim mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian, keberadaannya tidak saja hanya diakui dalam tataran sosial budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi kedalam tataran juridis formal. Sehingga, keberlakuan dan penegakan hukumnya telah mendapat dukungan kuat dari institusi resmi negara dan pemerintahan. Masyarakat Aceh mempunyai hubungan yang erat dengan lembaga imeum mukim. Karena mereka mengenal imeum mukiem dan lebih terbuka dalam merencanakan atau mendiskusikan berbagai hal yang menyangkut kepentingannya dengan Imeum Mukim. Dengan demikian diharapkan Imeum Mukim dapat berperan dalam mengajak masyarakat untuk menghasilkan suatu rencana yang dilakukan oleh semua pihak yang terkait dalam suatu bidang dan berbagai pihak merencanakan secara bersama-sama. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan mengungkapkannya dalam bentuk skripsi dengan judul: “Peranan Imeum Mukim Terhadap Perencanaan Partisipatif Masyarakat Kemukiman Blang Siguci Kec. Idi Tunong Kab. Aceh Timur Provinsi Aceh”
1.2 Perumusan Masalah Agar penelitian dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahnya sehingga menjadi jelas dimana harus memulai, kemana harus pergi, dan dengan apa ia melakukan penelitian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perumusan masalah penting dilakukan agar jelas arah suatu penelitian. (Arikunto, 1993: 17)
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang masalah, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Peranan Imeum Mukim Terhadap Perencanaan Partisipatif Masyarakat Kemukiman Blang Siguci Kec. Idi Tunong Kab. Aceh Timur Provinsi Aceh”
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu yang dapat diperoleh setelah penelitian selesai. Dengan demikian pada dasarnya tujuan penelitian memberikan informasi mengenai apa yang akan diperoleh setelah selesai melakukan penelitian. (Hasan,2002: 44) Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui sejauh mana peranan Imeum Mukim di Kemukiman Blang Siguci Kec. Idi Tunong Kab. Aceh Timur Provinsi Aceh. 2. Untuk mengetahui bagaimana perencanaan partisipatif masyarakat di Kemukiman Blang Siguci Kec. Idi Tunong Kab. Aceh Timur Provinsi Aceh. 3. Untuk mengetahui bagaimana peranan Imeum Mukim terhadap perencanaan partisipatif masyarakat Kemukiman Blang Siguci Kec. Idi Tunong Kab. Aceh Timur Provinsi Aceh. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Secara Subjektif, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk melatih, meningkatkan, dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan metedologis penulis dalam menyusun suatu wacana baru dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan wawasan khususnya mengenai peranan Imeum Mukim terhadap perencanaan partisipatif masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2. secara praktis, penelitian ini menjadi sumbangan pemikiran bagi Imeum Mukim di Kemukiman Blang Siguci Kec. Idi Tunong Kab. Aceh Timur Provinsi Aceh mengenai peranan dalam membuat perencanaan partisipatif masyarakat. 3. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa bagi Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.
1.5 Kerangka Teori Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan masalah perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian mempunyai dasar yang kokoh dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error). (Sugiyono, 2004: 55) Menurut Hoy dan Miskel (dalam Sugiyono, 2004: 55) teori adalah seperangkat konsep, asumsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilihnya. Dalam penelitian ini yang menjadi kerangka teorinya adalah sebagai berikut:
1.5.1. Perencanaan Perencanaan adalah suatu proses atau kegiatan dalam rangka menyusun rencana kegiatan. Perencanaan dapat dibagi dalam beberapa jenis yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Perencanaan Komprehensif Perencanaan komprehensif atau perencanaan agregatif, meliputi perencanaan semua aspek secara holistik mengikutsertakan model – model pertumbuhan yang memproyeksikan pertumbuhan variabel-variabel ekonomi seperti pendapatan nasional, pengeluaran pemerintah, konsumsi, tabungan, investasi, impor, ekspor, kesempatan kerja, jumlah permintaan, jumlah penawaran, tingkat bunga, perpajakan. Sasarannya meliputi sektor pemerintah dan swasta. (Kunarjo, 1996: 11) b. Perencanaan Parsial Perencanaan ini dimulai secara bagian per bagian melalui pembangunan proyek-proyek. Investasi pada proyek kadang – kadang sulit dihubungkan dengan perencanaan komprehensif. Biasanya ditujukan untuk menanggulangi sasaran jangka pendek, misalkan meningkatkan ekspor atau penanggulangan bencana alam. (Kunarjo, 1996: 12). c. perencanaan dari atas ke bawah (top down planning) Yang disebut “atas” disini dapat berarti Pemerintah Pusat atau unit Perencanaan Nasional atau dapat juga berarti perencanaan makro. Sebaliknya yang disebut “bawah” dapat berarti Pemerintah Daerah/ Departemen atau dapat juga berarti perencanaan mikro. Perencanaan ini adalah sistem perencanaan yang sasarannya ditetapkan dari tingkat nasional secara sentralistik atau dalam tingkat makro kemudian setelah itu dijabarkan ke dalam sasaran mikro atau dalam perencanaan tingkat daerah. Kelemahannya adalah bahwa model ini menciptakan program atau proyek – proyek yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam menentukan pilihan program proyek. d. Perencanaan dari bawah ke atas (bottom up planning)
Universitas Sumatera Utara
Perencanaan tingkat mikro, baik proyek dan program biasanya dilaksanakan untuk menunjang sasaran perencanaan makro. Dengan demikian rencana pembiayaan untuk pelaksanaan perencanaan mikro seharusnya konsisten dengan pencapaian sasaran makro. Pada perencanaan ini, proyek – proyek yang diusulkan biasanya terdiri atas proyek – proyek yang telah dinilai dan dianggap sesuai. Kelebihan dari sistem ini adalah bahwa karena ada partisipasi dari masyarakat maka rencana akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan akan didukung dalam implementasinya. Masyarakat ikut bertanggung jawab dan akan merasa memiliki.
Perencanaannya
mempunyai
potensi
untuk
dapat
meningkatkan
kesejahteraan. (Kunarjo, 1996: 13) Perencanaan yang baik mempunyai beberapa persyaratan sebagai berikut: 1. Didasari tujuan pembangunan, biasanya mencakup hal-hal pokok seperti: a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi. b. Meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat. c. Meningkatkan kesempatan kerja. d. Meningkatkan pemerataan pembangunan antar daerah. 2. Konsisten dan Realistis a. Keadaan sekarang. b. Keberhasilan dan kegagalan di waktu yang lampau. c. Potensi yang ada. d. Kemampuan merealisirkan potensi. e. Kendala. 3. Pengawasan yang kontinyu Perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan adalah tiga unsur yang tidak dapat dipisah-pisahakan.
Perencanaan
tanpa
pengawasan
akan
mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
penyimpangan-penyimpangan yang justru akan merugikan perencanaan itu sendiri. (Kunarjo, 1996: 14 – 25)
1.5.2 Partisipasi Partisipasi berasal dari kata participation, yang berarti ‘take a part’, terjemahan bebasnya dapat disampaikan adalah ‘ambil bagian atau melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain’. Partisipasi juga diartikan sebagai peran serta. Arti partisipasi dihubungkan dengan masalah sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang ikut merasakan sesuatu bersama-sama dengan orang lain sebagai akibat adanya interaksi sosial. Sementara itu Koentjaraningrat (1972) menyatakan bahwa partisipasi berarti memberikan sumbangan dalam turut menentukan arah atau tujuan pembangunan, dimana ditekankan bahwa partisipasi adalah hak dan kewajiban masyarakat untuk terlibat dalam suatu tindakan atau kegiatan. Partisipasi dapat dibagi dalam dua tipe yaitu partisipasi dalam aktivitas/kegiatan bersama dalam proyek pembangunan yang khusus dan partisipasi sebagai individu diluar aktivitas bersama dalam pembangunan. Tipe partisipasi yang pertama masyarakat diajak, dipersuasi, diperintahkan ataupun dipaksa oleh pejabat pemerintah yang berwenang untuk berpartisipasi dalam menyumbangkan harta atau tenaganya kepada proyek pembangunan, yang biasanya bersifat fisik. Sedangkan dalam bentuk partisipasi yang kedua, partisipasi terjadi dan tumbuh berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya memerlukan kesadaran. Dalam hal ini persuasi dan penerangan yang intensif sangat penting peranannya dan baru dapat berhasil kalau ada kerjasama yang baik serta adanya pengertian antara pejabat pemerintah dengan masyarakatnya. Menurut Pretty (1995) dalam DFID, jenis – jenis partisipasi yaitu;
Universitas Sumatera Utara
1. Partisipasi Pasif yaitu orang-orang berpartisipasi setelah diberitahu apa yang sudah dan akan terjadi. Hal ini merupakan suatu penyampaian yang sifatnya unilateral oleh sebuah manajemen administrasi atau proyek tanpa mendengar orang lain. Informasi yang disampaikan hanya berasal dari para profesional dari luar. 2. Partisipasi dalam pemberian informasi yaitu orang-orang berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti yang cermat dengan menggunakan cara penelitian kuesioner atau pendekatan serupa. Orang-orang tidak punya kesempatan untuk mempengaruhi cara kerja, dimana temuan-temuan dari penelitian tidak diumumkan atau diuji ketepatannya. 3. Partisipasi dengan cara konsultasi yaitu orang-orang berpartisipasi dengan cara
dihubungi/diajak
konsultasi
dan
orang
dari
luar
mendengar
pandangan – pandangan orang lain. Para profesional luar mendefinisikan masalah-masalah dan solusi, dan mungkin melakukan modifikasi dengan mempertimbangkan tanggapan dari orang lain. Proses konsultasi seperti itu tidak mengakui adanya andil dalam pengambilan keputusan, dan para profesional tidak diwajibkan untuk mempertimbangkan pandangan orang lain. 4. Partisipasi demi intensif material yaitu orang-orang berpartisipasi dengan menyediakan sumber daya, misalnya tenaga kerja, sebagai pengganti makanan, uang atau insentif barang lainnya. Banyak penelitian di daerah pertanian masuk dalam kategori ini, dimana para petani menyediakan lahan tetapi tidak terlibat dalam percobaan/eksperimen atau proses belajar.
Universitas Sumatera Utara
Seringkali kita melihat ini disebut sebagai partisipasi, namun orang-orang tidak punya pegangan. 5. Partisipasi fungsional yaitu orang-orang berpartisipasi dengan membentuk kelompok-kelompok untuk mencapai sasaran yang ditetapkan sebelumnya sehubungan dengan proyek yang dapat melibatkan pengembangan atau promosi dari organisasi sosial yang berdirinya adalah atas inisiatif orang luar. Keterlibatan semacam itu tidak cenderung terjadi pada fase awal dari siklus atau perencanaan proyek, tetapi lebih setelah dibuatnya keputusankeputusan penting. Institusi ini cenderung bergantung pada inisiator atau fasilitator dari luar, tetapi bisa mandiri. 6. Partisipasi interaktif yaitu orang-orang berpartisipasi dalam analisa secara bersama, yang menuju pada rencana tindakan dan pembentukan institusi lokal yang baru atau penguatan dari yang sudah ada. Ada kecenderungan untuk melibatkan metodologi antar disiplin ilmu yang mencari perspektif ganda/multiple dan menggunakan proses pembelajaran yang sistematis dan terstruktur. Kelompok-kelompok ini memegang kendali atas keputusankeputusan lokal, dengan demikian orang-orang mempunyai pegangan dalam mempertahankan struktur dan praktek. 7. Mobilisasi pribadi yaitu orang-orang berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara independen/ tidak tergantung pada institusi luar untuk merubah sistim-sistim. Mereka membuat kontrak dengan institusi-institusi luar dengan sumberdaya-sumberdaya dan penasehat teknis yang mereka perlukan, tetapi tetap mempertahankan kendali atas bagaimana sumberdayasumberdaya itu digunakan. Mobilisasi yang merupakan inisiatif sendiri
Universitas Sumatera Utara
seperti itu dan tindakan bersama, boleh atau tidak menentang distribusi kekayaan dan kekuasaan yang sudah ada tetapi tidak adil. Menurut Sutrisno (1995), manfaat partisipasi masyarakat yaitu : 1. Masyarakat mendapat informasi mengenai rencana pembangunan didaerahnya. 2. Masyarakat dapat menyampaikan informasi dan pendapatnya. 3. Pemerintah
mendapat
informasi
dari
masyarakat
sehingga
kebijaksanaan atau keputusan yang akan diambil akan lebih tepat, karena didalam informasi tersebut sering ditemukan masalah-masalah yang penting bagi masyarakat. 4. Masyarakat akan dapat menyiapkan diri dalam menerima manfaat tersebut (dampak positif) dan ikut menekan atau menghindari terkena dampak positif. Menurut DFID, manfaat pendekatan partisipatif yaitu: 1. Perencanaan dan pelaksanaan program atau proyek akan lebih sesuai dengan kondisi nyata (sosio-ekonomi, budaya, wacana, latar belakang masyarakat) serta kebutuhan/masalah yang dihadapi semua oleh pihak yang terlibat didalamnya serta sumberdaya yang tersedia, sehingga pelaksanaan kegiatan lebih bersifat terdesentralisasi dan unik untuk setiap lokasi. 2. Menimbulkan rasa memiliki dan tanggung jawab dari berbagai pihak terkait yang terlibat baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanan program sehingga hasil kegiatan atau program lebih berkelanjutan dan langgeng. 3. Memberdayakan semua pihak (stakeholder) yang terlibat karena adanya keterlibatan aktif dalam proses khususnya dalam proses pengambilan keputusan dan tanggung jawab yang dipikulnya.
Universitas Sumatera Utara
4. Pelaksanaan kegiatan lebih objektif dan fleksibel sesuai dengan kondisi nyata yang dihadapi berdasarkan sudut pandang yang berbeda. 5. Timbulnya transparansi karena adanya kebutuhan distribusi informasi dan kewenangan dalam proses pengambilan keputusan yang tepat dan cepat. 6. Pelaksanaan proyek atau program lebih terfokus dan berorientasi kepada permasalahan masyarakat. Kemungkinan muncul masyarakat yang tidak mau mendukung dan tidak mau berpartisipasi dalam suatu program, hal itu disebabkan oleh beberapa hal: 1. Masyarakat tidak diikutsertakan sejak penyusunan rancangan. 2. Masyarakat kurang diberikan kesempatan, peluang dan penghargaan terhadap partisipasi yang layak diberikannya. 3. Pemeran atau pelaku partisipasi dicurigai akan mengambil keuntungan pada proses kegiatan pembangunan. 4. Tingkat kehidupan dan penghidupan masyarakat yang terbatas, sehingga tidak mampu memberikan hasil yang diharapkan dalam pelaksanaan pembangunan. 5. Tata nilai dan adat budaya masyarakat yang masih perlu dibenahi. (Herbowo, 2001: 79)
1.5.3 Perencanaan Partisipatif Perencanaan partisipatif adalah suatu proses untuk menghasilkan rencana yang dilakukan oleh semua pihak yang terkait dalam suatu bidang dan pihak-pihak merencanakan secara bersama-sama dan terbuka. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan partisipatif, antara lain: 1. Perencanaan partisipatif harus didasarkan dengan kebutuhan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2. Sebagian besar masyarakat atau kelompok terlibat dalam pengambilan keputusan dan prosesnya. Termasuk yang terabaikan kalau berminat dan akan dipengaruhi oleh hasil perencanaan. 3. Tujuan dari perencanaan tersebut harus lebih cenderung kepada kemandirian masyarakat dan pada ketergantungan pada pihak lain. 4. Manfaat dari hasil perencanaan berkelanjutan dan bukan hanya sesaat. 5. Menggunakan bahan/sumber daya lokal sejauh mungkin. 6. Tidak merugikan orang lain yang tidak terlibat dalam prosesnya. Perencanaan
partisipatif
dapat
dimulai
dari
penjajagan
kebutuhan/permasalahan dan potensi sampai dengan penentuan dan perumusan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu proses perencanaan partisipatif terdiri dari beberapa langkah, yaitu: 1. Identifikasi masalah, potensi dan peluang. 2. Prioritaskan masalah, potensi dan peluang. 3. Menganalisa masalah, potensi dan peluang. 4. Menentukan pemecahan terhadap masalah tersebut. 5. Membuat suatu perencanaan untuk melaksanakan kegiatan pemecahan untuk menghindari masalahnya. Adapun ciri-ciri perencanaan partisipatif antara lain, yaitu: 1. Adanya hubungan yang erat antara masyarakat dengan kelembagaan secara terus-menerus. 2. Masyarakat atau kelompok masyarakat diberi kesempatan untuk menyatakan permasalahan yang dihadapi dan gagasan-gagasan sebagai masukan berharga. 3. Proses berlangsungnya berdasarkan kemampuan warga masyarakat itu sendiri. 4. Warga masyarakat berperan penting dalam setiap keputusan.
Universitas Sumatera Utara
5. Warga masyarakat mendapat manfaat dari hasil pelaksanaan perencanaan. (Herbowo, 2001: 78)
1.5.4 Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan merupakan suatu proses yang pada hakikatnya bertujuan untuk terwujudnya perubahan. Oleh karena itu, mulai dari titik mana kita melihat bahwa individu tegerak ingin melakukan suatu sikap dan perilaku kemandirian, termotivasi, dan memiliki ketrampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan dalam rambu-rambu nilai/norma yang memberikannya rasa keadilan dan kedamaian dalam mencapai tujuan bersama untuk kesejahteraan. Pemberdayaan pada awalnya digerakkan oleh kebutuhan organisasi atau komunitas yang berbeda. Harapan dari suatu organisasi pada prinsipnya cenderung diarahkan pada produktivitas, karena pemberdayaan akan meningkatkan produktivitas individu, maka perhatian utama adalah fleksibilitas, daya tanggap pelanggan dan kualitas yang merupakan tujuan dari kebanyakan organisasi modern yang mengadopsi pemberdayaan sebagai suatu kebijakan. Dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat yang dinamis, pemberdayaan lebih merupakan suatu upaya untuk memberikan kemampuan sekaligus kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam proses pembangunan. Untuk melaksanakan proses pemberdayaan, hal-hal yang perlu diperhatikan, adalah: 1. Pemimpin harus memiliki pemahaman yang jelas mengenai konsep pemberdayaan. 2. Konsep pemberdayaan mengasumsikan adanya perubahan dalam budaya, termasuk di dalamnya budaya organisasi dan perusahaan,
Universitas Sumatera Utara
3. Pemimpin, kaum birokrat, manajer, harus memiliki kesadaran dalam dirinya, bahwa dalam implementasi dari konsep-konsep pemberdayaan, pada akhirnya akan terjadi perubahan peran, yang berimbas pada peran mereka mungkin berkurang. 4. Individu, kelompok, dan masyarakat luas, harus siap merubah dirinya dan menghilangkan pengkondisian mental, hambatan mental, dan kenyamanan yang ada dalam diri mereka. 5. Proses pemberdayaan bukan suatu pendekatan yang seketika, namun membutuhkan waktu dan energi dalam pendekatannya, karena pemberdayaan bertujuan menangkap pikiran dan hati orang, sehingga hal itu sangat sulit ketika dalam proses pemberdayaan menghadapi kondisi keprihatinan, kecemasan dan adanya perasaan takut dari orang-orang akan kehilangan pekerjaannya. Pada era globalisasi dan perkembangan teknologi dan informasi, masalah persaingan dan kerjasama menjadi isu kompetisi yang penting. Gerakan ini cenderung memperjuangkan ruang gerak yang lebih terbuka untuk menciptakan legitimasi pemerintah
terhadap
arti
pentingnya
inisiasi
lokal.
Perubahan
paradigma
pembangunan kearah semakin dominan dan/atau eksisnya peran serta masyarakat yang menuntut adanya kesiapan masyarakat. Dari kesiapan masyarakat tersebut, memungkinkan terciptanya keterlibatan mereka dalam proses perencanaan dengan mengedepankan pendekatan bottom-up dengan harapan; a. Data dapat dikumpulkan, dikaji, dan diuji coba-kan secara langsung kepada masyarakat di lapangan,
Universitas Sumatera Utara
b. Pemecahan masalah sudah langsung dapat diterapkan selama berlangsungnya proses pemberdayaan, c. Munculnya penilaian dan/atau penghargaan atas hal-hal yang dirasakan oleh pihak yang berkepentingan, konteks kebudayaan, serta perubahan kondisi, d. Kelemahan dan kekuatan akan cepat langsung dipahami oleh masyarakat yang ikut dalam proses pemberdayaan, dan e. Semakin meningkatnya motivasi masyarakat untuk berpartisipasi, terutama dalam sikap pengambilan keputusan, hal ini karena mereka memahami masalah yang dirasakannya.
1.5.5 Imeum Mukim Mukim adalah seorang imeum (Imam) yang mengemban tugas sepenuhnya atau sebagian bersifat keagamaan dengan mengusahakan agar tegaknya hukom (syariat) dan terlaksananya kewajiban ibadah. Gelar imeum berkaitan erat dengan meusigit (Mesjid) serta ibadah yang berlangsung di dalamnya. Berdasarkan ulasan di atas, menunjukkan bahwa kesatuan masyarakat dalam sebuah mukim terbentuk dengan meusigit (Mesjid) sebagai pusat kehidupan sosial dan agama. (Zainuddin, 1961: 315) Selain itu, perubahan sebutan Imeum menjadi Imeum Mukim dan lahirnya lembaga imeum chik atau imeum meseujid menunjukkan adanya proses evolusi dalam sistem kelembagaan pada tingkat mukim. Pada mulanya Imeum menjalankan fungsi dan wewenangnya dalam bidang keagamaan, diantaranya mengatur dan mengurus kemakmuran mesjid serta masalah-masalah keagamaan lainnya, seperti pengaturan waktu khanduri moulud. Dalam perkembangannya kemudian ketika jumlah masyarakat dalam sebuah mukim semakin banyak dan hubungan antar gampong
Universitas Sumatera Utara
menjadi lebih kompleks, tentu saja diperlukan adanya lembaga atau pemimpin yang dapat mengkoordinir gampong-gampong dalam lingkup sebuah mesjid. Dari perkembangan dinamika sosial tersebut, Imeum yang sudah mendapatkan legalitas dari masyarakat sebagai pemimpin ummat yang bersifat spiritual dan ukhrawi, kemudian diangkat menjadi pemimpin adat yang bersifat duniawi. Sedangkan untuk mengurus hal-hal yang bersifat keagamaan (Hukom) yang sebelumnya diurus oleh imeum, dibentuk lembaga baru yang disebut dengan imeum meusigit atau imeum chik. Pada masa Kesultanan Aceh, jabatan Imeum Chik disebut juga sebagai Kadhi Mukim atau Tengku Kadhi. (Hasjmi, 1977: 134) Walaupun imeum yang kemudian menjadi Imeum Mukim dan menjadi pemimpin adat, yang dipilih dari kalangan cerdik pandai atau pemuka masyarakat, namun pada jabatan Imeum Mukim masih melekat tanggung jawabnya dalam bidang keagamaan. Hal itu tercermin pada syarat yang bersifat agama untuk menjadi seorang imeum mukim, disamping syarat yang bersifat adat, seperti yang ditentukan dalam Qanun Syara’ Kesultanan Aceh. Syarat yang bersifat keagamaan tersebut seperti mengetahui hukum syara’ Allah dan hukum syari’at nabi, takut atas perbuatan salah, dapat mengerjakan fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, dapat menjadi imam shalat Jum’at, dan dapat menjadi Khatib pada hari Jum’at. (Hasjmi, 1977: 92) Persyaratan yang bersifat keagamaan tersebut, tentu saja agar seorang imeum mukim dapat berperan untuk menjalankan peran dalam bidang keagamaan. Terutama ketika imeum mesjid tidak berada di tempat, seperti menjadi imam shalat berjamaah, menjadi khatib atau menjalankan fardhu kifayah lainnya. Kebutuhan akan adanya mukim dan prasyarat yang bersifat keislaman dalam pembentukan mukim dan pemerintahan mukim merupakan salah satu bentuk dari pelembagaan hal yang berkaitan dengan ibadah dalam kehidupan masyarakat Islam. (Syarif, 2005:63)
Universitas Sumatera Utara
A. Mukim Sebagai Masyarakat Hukum Adat Secara
juridis
lembaga
pemerintahan
mukim
baru
diakui
kembali
keberadaannya sejak tahun 2001 setelah diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam atau tepatnya pada tahun 2003 setelah diundangkannya Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang Pemerintahan Mukim. Namun Secara de facto, keberadaan mukim masih cukup eksis dan diakui di seluruh Nanggroe Aceh, sekalipun antara warga masyarakat Aceh terdapat beragam suku dan kultur yang berbeda. (Djuned, 2003: 38) Suatu masyarakat agar dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat (rechtgemeinschaap), haruslah terpenuhi beberapa syarat sebagaimana sering dikemukakan oleh para ahli dan kemudian ditegaskan pula dalam peraturan perundang-undangan. Syarat dimaksud adalah: 1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap); 2. Kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; 3. Wilayah hukum adat yang jelas; 4. Pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan 5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Semua persyaratan di atas dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari di gampong-gampong di Aceh. Sebagian besar warga gampong masih memiliki ikatan geneologis dengan sesamanya. Sehingga kepedulian dan kebersamaan di gampong dan juga di dalam suatu kemukiman – terutama yang bermukim bukan di perkotaan – saling keterikatan bukan hanya dikarenakan solidaritas teritorial, tetapi memang merasa sekaum seketurunan (gemeenschap). Adanya perasaan bersalah atau berdosa jika tidak melayat ke rumah warga gampong yang tertimpa musibah. Begitu juga jika
Universitas Sumatera Utara
ada tetangga yang melakukan hajatan (meukereuja), sejak malam hari hingga selesainya khanduri tersebut terus membantu dengan segala upaya agar acara dimaksud sukses dengan tiada kekurangan sesuatu apapun. Bahkan, seringkali pula pihak yang melakukan hajatan melimpahkan sepenuh penyelenggaraan khanduri tersebut pada geusyiek, selaku kepala gampong. Dalam kehidupan kemukiman di Aceh, masih ditemukan adanya lembagalembaga adat beserta perangkat penguasa adatnya. Hingga hari ini masih bisa ditemukan eksistensinya: 1. Lembaga pemerintahan mukim yang diketuai oleh imeum mukim, bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi beberapa gampong. 2. Lembaga keagamaan yang dipimpin oleh imeum meseujid, atau Imeum Chik adalah figur yang mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah kemukiman. 3. Lembaga musyawarah mukim yang dipimpin oleh tuha lapan/Peut Mukim adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga kemukiman anggota musyawarah kemukiman, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran,
pertimbangan,
atau
pendapat
kepada
Imeum
Mukim
dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim 4. Lembaga pemerintahan gampong dipimpin oleh geusyiek, adalah Kepala gampong, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong. 5. Lembaga keagamaan di gampong dipimpin oleh imeum meunasah, adalah pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara kematian di gampong.dan
Universitas Sumatera Utara
6. Lembaga musyawarah gampong oleh tuha peut. adalah para ureung tuha anggota musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong. 7. Lembaga adat persawahan yang dipimpin oleh kejruen blang, ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan. 8. Lembaga adat laoet yang dipimpin oleh panglima laoet, adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laot. 9. Lembaga adat perkebunan yang dipimpin oleh peutua sineboek, adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan / perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan. 10. Lembaga adat hutan yang dipimpin oleh panglima uteun atau pawang glee, adalah ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarag burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. 11. Lembaga adat lalulintas laut yang dipimpin oleh syahbanda, adalah pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.dan 12. Lembaga adat perdagangan yang dipimpin oleh haria peukan. adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pengutip retribusi pasar.
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan lembaga adat di suatu kemukiman tergantung pada dimana letak geografi kemukiman tersebut. Sehingga, bisa jadi, pada suatu kemukiman ada lembaga adat yang tidak ada pada kemukiman lainnya. Misalnya, lembaga adat laoet hanya ada pada kemukiman yang wilayahnya di pesisir laut. Begitu pula lembaga adat hutan hanya ada pada kemukiman yang memiliki wilayah hutan. Namun ada pula kemukiman yang memiliki lembaga adat hutan dan juga lembaga adat laut, jika di kemukiman tersebut terdapat wilayah laut dan gunung. Suatu kemukiman adalah suatu juridiksi territorial yang jelas dan tegas dalam masyarakat Aceh. Artinya, jelas wilayahnya dan jelas pula batas-batasnya. Hanya saja, seringkali batas-batas tersebut tidak tersurat didalam suatu naskah tertulis, tetapi hanya berupa batas-batas alam yang mengacu pada penuturan para endatu terdahulu. Batas ini dapat berupa krueng, tereubeng, alue, juroeng, ateung, lueng, dan lain-lain. Pada masa Kerajaan Aceh hingga awal kemerdekaan, dan juga akhir-akhir – kecuali Era Orde Baru – di gampong-gampong dan juga di kemukiman memiliki system musyawarah penyelesaian sengketa. Pada masa Sultan Iskandar Muda, “perkara-perkara kecil biasanya diselesaikan oleh keuciek dengan tengku meunasah yang dibantu oleh tuha peut tanpa vonis. Maksud dari Tanpa vonis yaitu tanpa kalah atau menang karena persengketaan itu diselesaikan secara damai yang disebut dengan hukom peujroh (hukum kebaikan). Sehingga dari aspek historis, sejak dahulu kala gampong telah memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara kecil, pencurian kecil, perkelahian, perkara-perkara sipil yang kecil-kecil yang nilai perkaranya tidak lebih dari 100 ringgit, dan lain-lain. (Taqwaddin, 2009) Sekarang, dengan berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Aceh telah mulai lagi dilakukan penyelesaian perkara secara adat di gampong-gampong dan bahkan sampai pada tingkat kemukiman. Kini malah sistem penyelesaian sengketa secara adat
Universitas Sumatera Utara
telah mendapat pengaturannya yang cukup tepat di dalam satu bab tersendiri pada Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat. Masyarakat masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Masih banyak warga gampong yang menggantungkan hidupnya pada hutan dengan memungut hasil hutan sebagai mata pencahariannya. Meu glee, meu awe, meu rusa, meu uno, dan lain-lain adalah kegiatan pemungutan hasil hutan di Aceh yang dilaksanakan dengan segala kearifan tradisional. Bahkan pemungutan hasil hutan berupa kayu pun lazim dilakukan oleh warga gampong yang berdomisili di sekitar hutan.
B. Mukim Sebagai Pemerintahan Resmi Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa hirarkhi peraturan perundangundangan Republik Indonesia, adalah : 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden, dan 5. Peraturan daerah (atau qanun) Keberadaan Pemerintahan Mukim sekarang telah diatur secara cukup jelas dan tegas dalam undang-undang dan qanun. Yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada Bab XV dengan judul Mukim dan Gampong. Dan sebagai penjabaran atau peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut telah pula diundangkan Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Bahkan di dalam Pasal 3 qanun tersebut
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan bahwa Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam. Dengan telah dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan apalagi dengan cara cukup eksplisit – dalam peraturan perundang-undangan (UU dan Qanun), maka keberadaannya telah mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian, keberadaannya tidak saja hanya diakui dalam tataran sosial budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi kedalam tataran juridis formal. Sehingga, keberlakuan dan penegakan hukumnya telah mendapat dukungan kuat dari institusi resmi negara dan pemerintahan. Namun masalahnya adalah bagaimanakah upaya yang akan dilakukan dalam rangka memberlakukan dan menegakkan Qanun tentang Pemerintahan Gampong tersebut, sehingga eksistensi mukim bukan lagi hanya sebagai lembaga adat yang tak punya kuasa memerintah. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengembalikan fitrah mukim sebagai lembaga pemerintahan yang handal di Aceh, yaitu : 1. Sosialisasi yang massif dan mencerdaskan kepada semua pihak terkait (stakeholders) untuk memberitahukan dan menegaskan bahwa pemerintahan mukim bukan lagi hanya pemerintahan adat yang tak memiliki kuasa memerintah. Tetapi kini pemerintahan mukim telah menjadi lembaga pemerintahan resmi di dalam Pemerintahan Aceh dan Republik Indonesia. 2. Pihak
pemerintahan
atasan
harus
memberikan
porsi
kekuasaan
dan
kewenangannya yang jelas dan tegas tentang organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan yang dituangkan dalam qanun kabupaten sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Universitas Sumatera Utara
3. Pihak Kecamatan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebaiknya melalui pemerintahan mukim. Tidak langsung ke pemerintahan gampong. Sebaiknya lagi, Sekretaris mukim diangkat dari atau menjadi pegawai negeri sipil, sebagaimana halnya sekretaris gampong. 4. Masyarakat kemukiman harus kembali mendukung eksisnya pemerintahan mukim sebagai kekayaan warisan leluhur (indatu), dengan cara membantu, mendukung, dan mematuhi kebijakan yang ditempuh oleh pimpinan kemukiman (imeum mukim, imeum mesjid dan tuha lapan).
1.6 Definisi Konsep Konsep menegaskan dan menetapkan apa yang diobservasi. Konsep juga memungkinkan peneliti untuk megomunikasikan hasil-hasil penelitiannya. Setiap konsep
yang
dibangun
haruslah
memenuhi
syarat,
salah
satunya
adalah
mendefinisikan konsep secara konkret. Karena semakin abstrak rumusan konsep itu akan semakin sulit pula memahami maknanya dalam realitas. (Suyanto, 2005 : 50) Adapun definisi konsep dalam penelitian ini yaitu: 1. Mukim atau Kemukiman adalah kesatuan masyarakat hukum yang dipimpin oleh seorang Imeum Mukim yang berkedudukan sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa Gampong yang berada langsung dibawah dan bertanggungjawab
kepada
Camat,
yang
bertugas
menyelenggarakan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syariat Islam. 2. Perencanaan partisipatif adalah suatu proses untuk menghasilkan rencana yang dilakukan oleh semua pihak yang terkait dalam suatu bidang dan berbagai pihak merencanakan secara bersama-sama dan terbuka.
Universitas Sumatera Utara
1.7 Definisi Operasional Dalam penelitian lapangan, konsep yang relevan dan berkedudukan sentral dalam terlebih dahulu harus dibuat operasional. Jadi, tidak cukup kiranya jika konsep itu hanya sekedar didefinisikan secara eksplisit. (Suyanto, 2005 : 50) Adapun yang menjadi definisi operasional dalam penelitian ini yaitu: 1. Variabel bebas Peranan Imeum Mukim, indikatornya adalah: a. Mukim sebagai lembaga hukum adat 1) menyelesaikan sengketa yang timbul didalam masyarakat secara adat. 2) membuat aturan yang diakui secara adat untuk dilaksanakan oleh masyarakat agar perencanaan yang di buat berjalan dengan baik. b. Mukim Sebagai Pemerintahan Resmi 1) Pemerintah Kecamatan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebaiknya melalui pemerintahan mukim tidak langsung pada Gampong.
2) Melakukan
koordinasi
dengan
Geusyik
(kepala
Desa)
dalam
merencanakan pembangunan dan melibatkan masyarakat dalam setiap perencanaan pembangunan. 3) Membuat keputusan yang mengikat sesuai dengan aturan yang berlaku dan adat setempat.
2. Variabel terikat Perencanaan Partisipatif masyarakat, indikatornya adalah: 1) Perencanaan partisipatif harus didasarkan dengan kebutuhan masyarakat. 2) Tujuan dari perencanaan tersebut harus lebih cenderung kepada kemandirian masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
3) Manfaat dari hasil perencanaan berkelanjutan dan bukan hanya sesaat. 4) Menggunakan bahan/sumber daya lokal sejauh mungkin.
Universitas Sumatera Utara
1.8 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, definisi konsep, definisi operasional, dan sistematika penulisan. BAB II METODE PENELITIAN Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data. BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang gambaran lokasi penelitian, sejarah singkat mukim, kedudukan, tugas, fungsi, dan organisasi dan kelengkapan. BAB IV PENYAJIAN DATA Bab ini membahas tentang hasil data yang diperoleh dari lapangan selama penelitian berlangsung dan juga dokumen-dokumen lain yang akan dianalisis. BAB V ANALISI DATA Bab ini berisikan tentang kajian dan analisis data yang diperoleh saat penelitian dan memberikan interpretasi terhadap masalah yang diajukan. BAB VI PENUTUP Bab ini memuat kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan dan
saran-
saran yang dianggap perlu.
Universitas Sumatera Utara