BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orangtua yang tidak boleh diabaikan. Dalam Pasal 45 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, menentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak yang belum dewasa sampai anak yang bersangkutan tersebut dewasa atau dapat berdiri sendiri. Orangtua merupakan yang pertama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial, sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 UndangUndang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam kehidupan bermasyarakat, anak sering kali menjadi korban kejahatan misalnya korban kekerasan fisik, korban pemerkosaan, korban
1
2
penculikan dan lain-lain sebagainya. Faktor yang menyebabkan anak rentan menjadi
korban tindak pidana yaitu karena: (a) Anak masih memerlukan
bimbingan orang tua; (b) Anak memiliki fisik yang lemah; (c) Anak memiliki kondisi yang masih labil; (d) Anak belum bisa memilih mana yang baik dan yang buruk; (e) Anak memiliki usia yang belum dewasa; (f) Anak perempuan lebih sering menjadi korban; (g) Anak memerlukan pendidikan dan sekolah; (h) Anak memiliki pergaulan; (i) Anak masih mampu dipengaruhi mass media.1 Fenomena tindak pidana yang terjadi pada anak – anak di Indonesia mulai menuai sorotan keras dari berbagai kalangan pada saat banyak stasiun televisi swasta menayangkannya secara vulgar pada program kriminal, seperti: kasus perkosaan yang dilakukan oleh keluarga korban atau orang – orang dekat korban, kasus sodomi, perdagangan anak untuk dieksploitasi menjadi pekerja seks komersil hingga kasus pembunuhan. Dari program kriminal ini anak dapat meniru tindakan dan perbuatan yang dilakukan dalam media tersebut. Banyaknya kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang – orang sebagai tempat berlindung. Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Menurut Arif Gosita, anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban dalam tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta
1
Moelyatno dalam Tolib Setiady. 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, H. 185.
3
maupun pemerintah) baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Yang dimaksud
dengan
korban
adalah
mereka
yang
menderita
kerugian
(mental,fisik,sosial) karena tindakan yang pasif, atau tindakan aktif orang lain atau kelompok baik secara langsung atau tidak langsung. 2 Pengertian dari korban langsung adalah mereka yang secara langsung menjadi sasaran atau objek perbuatan pelaku. Sedangkan korban tidak langsung adalah mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami penderitaan atau nestapa. Misalnya saja pembunuhan terhadap seorang laki-laki yang merupakan kepala keluarga maka istri dan anak-anaknya merupakan korban tidak langsung dari pembunuhan tersebut.3 Seiring dengan perkembangan jaman dan semakin majunya teknologi, anak yang biasanya disoroti hanya sebagai korban dari suatu tindak pidana, saat ini telah berbalik menjadi pelaku dari tindak pidana. Dalam kehidupan anak di masyarakat tentunya setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang dewasa. Anak memiliki fase pertumbuhan untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa. Sesuatu yang tidak dapat dipungkiri bahwa selama fase pertumbuhannya, sikap mental maupun perilakunya cenderung labil atau tidak stabil. Anak bisa saja melakukan perbuatan yang tercela, misalnya perbuatan mencuri, tawuran atau perkelahian antar teman bahkan sampai melakukan
2
3
Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademi Presindo, Jakarta, h.35.
G.Widiartana, 2009, Victimologi, Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, Atmajaya, Yogyakarta, h.22.
4
pembunuhan. Tindakan-tindakan seperti ini dapat dikategorikan sebagai kenakalan anak. Dari data yang diperoleh pada Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Komnas PA mencatat sebanyak 2.008 kasus kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah terjadi di sepanjang kuartal pertama 2012. Jumlah itu meliputi berbagai jenis kejahatan seperti pencurian, tawuran, dan pelecehan seksual yang dilakukan siswa SD hingga SMA. Menurut Ketua Komnas PA, ada dua (2) penyebab aksi kejahatan yang diperbuat anak usia sekolah yakni imitasi anak atas segala tindakan kekerasan yang mereka lihat dan juga faktor pelepasan ekspresi yang tersumbat.4 Kenakalan anak bukan hanya merupakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga mengancam masa depan bangsa dan Negara. Atas dasar ini, anak perlu dilindungi dari perbuatan-perbuatan yang merugikan, agar anak sebagai generasi penerus bangsa tetap terpelihara demi masa depan bangsa dan Negara. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, kadangkadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Pelanggaran hukum yang dilakukan olah anak mengakibatkan anak harus berhadapan dengan penegak hukum dalam suatu proses peradilan pidana anak
4
Bidang Human POLDA Metro Jaya, http://humaspoldametrojaya.blogspot.com , diakses pada tanggal 29 Oktober 2013, pukul 10.30 WITA.
5
yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan proses persidangan di pengadilan. Ketentuan hukum yang berlaku untuk anak yang melakukan tindak pidana adalah hukum pidana umum. Namun untuk proses peradilannya berlaku undangundang khusus yakni Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Pembedaan perlakuan antara UU No.3 Tahun1997 dengan UU No.11 Tahun 2012 ini terletak pada hukum acara dan ancaman pidananya. Anak yang melakukan suatu tindakan kriminal disebut anak nakal. Dalam hal ini perlu diketahui terlebih dahulu batasan pengertian tentang “anak”. Pada peraturan perundang-undangan di Indonesia batasan mengenai pengertian anak terutama dalam hal batasan usia tidak selalu sama. Dengan kata lain terjadi hiterogenitas dari ketentuan yuridis yang mengatur tentang batasan umur pada anak. Namun secara mayoritas ketentuan mengatur bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 2 pengertian anak nakal adalah : a.
Anak yang melakukan tindak pidana
b.
Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
6
Pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 yang selanjutnya disebut UUSPPA ini penyebutan anak nakal tidak dipergunakan lagi, diganti dengan menyebutkan “anak yang berkonflik dengan hukum” yang selanjutnya hanya disebut anak hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3). Penggunaan istilah anak untuk menggantikan istilah anak nakal tersebut hanya sebagai penghalusan bahasa (eufemisme) agar tidak memberikan stigma negatif. Konsep anak nakal berdasarkan philosofi Parens Patriae yang berasal dari ungkapan latin in loco parentis semula dimaksudkan sebagai ungkapan campur tangan kekuasaan Negara dalam mengawasi anak yang berada dalam tahanan daripada ungkapan penempatan kepentingan Negara melampaui dan mengungguli kepentingan orang tua.5 Badan Pembinaan Hukum Nasional mengungkapkan bahwa di Inggris telah ada sejak jaman dulu, raja mempunyai hak prerogatif untuk bertindak sebagai parens patriae ialah melindungi rakyat yang memerlukan bantuan termasuk anak-anak. Artinya bahwa penguasa harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan sedangkan anak yang melakukan kejahatan bukannya dipidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan. Perlindungan anak terwujud dengan diawali pembentukan pengadilan anak (Juvenile Court).6
5 Abintoro Prakoso, 2013, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta, h. 16. 6
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1979, Lokakarya tentang Peradilan Anak, Binacipta, Bandung, h. 81.
7
Alasan pengaturan tentang pengadilan anak diatur secara khusus karena mengingat sifat dan psikis anak dalam beberapa hal yang memerlukan “perlakuan khusus”serta perlindungan yang khusus pula, terutama tindakan-tindakan yang dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani dari anak tersebut. Perlakuan khusus ini dimulai sejak penahanan sampai pada proses pidana selanjutnya yakni disidik menggunakan pendekatan yang efektif,afektif dan simpatik. 7 Setelah melalui proses penyidikan, anak lalu melalui proses persidangan di pengadilan anak dengan hakim khusus yang memiliki pemahaman khusus mengenai masalah anak. Kemudian anak akan dijatuhi putusan berupa tindakan ataupun pidana sesuai dengan batasan umur yang telah ditentukan dan juga perbuatan yang dilakukan yang akan menjadi pertimbangan hakim anak dalam putusan tersebut. Dalam putusan hakim tersebut anak bisa saja dijatuhi sanksi tindakan misalnya berupa pengembalian kepada orang tua, penjabutan surat ijin mengemudi dan lain-lain sebagaimana diatur dalam Pasal 82 dan 83 UU-SPPA. Namun tidak menutup kemungkinan juga hakim akan menjatuhkan putusan berupa sanksi pidana kepada anak berupa pidana pokok yang terdiri dari pidana peringatan, pidana dengan syarat, pelatihan kerja, pelatihan dalam lembaga dan lain-lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 81 UUSPPA.
7
Wagiati Sutedjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, h.29.
8
Berdasarkan putusan hakim anak pada pengadilan anak, anak yang diserahkan kepada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang selanjutnya disebut LAPAS Anak disebut Anak Negara dan anak yang oleh pengadilan dijatuhi pidana dinamakan Anak Pidana. Pembinaan Anak Pidana dan Anak Negara dilaksanakan pada LAPAS Anak. Pembinaan tersebut melalui tahap pra-pembinaan, pembinaan dalam lembaga permasyarakatan dan asimilasi di luar Lembaga Pemasyarakan. LAPAS merupakan subsistem dari sistem pemasyarakatan di Indonesia, karena dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia setelah narapidana dan anak pidana dibina dalam LAPAS maka akan ada pembinaan lanjutan di masyarakat yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). LAPAS anak di Indonesia sudah banyak menunjukan proses pembinaan dan pembimbingan sesuai dengan kemampuannya. Banyak anak nakal yang sudah menjadi orang sukses dan tidak lagi melakukan tindak pidana. Namun, pada saat yang bersamaan faktanya masih banyak anak nakal yang mengulangi tindak pidana kembali (residivis). Bahkan ada anak yang kualitas dan kuantitas tindak pidananya lebih serius dibandingkan dengan kondisi anak sebelum dibina dan dibimbing di LAPAS. Contohnya berita di media massa berulang kali mengangkat citra buruk LAPAS, dari beragam kekerasan di dalamnya, sampai tuduhan bahwa LAPAS merupakan sarang penyimpan dan peredaran narkotika paling aman dibandingkan ditempat luar. Fakta membuktikan bahwa banyak kasus peredaran narkotika
9
dikendalikan dari dalam LAPAS, bahkan dijadikan tempat peredaran narkoba. 8
Bahkan ada berita juga yang mengabarkan bahwa sebelum memasuki LAPAS
Anak tidak mengenal narkotika, namun setelah keluar dari LAPAS Anak menjadi seorang pemakai narkotika. Dengan kata lain, pembinaan anak didalam LAPAS ternyata tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Undang-Undang. LAPAS dapat menimbulkan dampak negatif kepada anak-anak mengingat kondisi LAPAS yang menempatkan narapidana dengan berbagai jenis dan latar belakang kejahatan yang berbeda-beda dalam satu tempat LAPAS/RUTAN. Hal ini sangat memungkinkan atau berpotensi terjadinya penularan kejahatan. Penularan kejahatan ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya karena tingkah laku seorang anak sudah terkontaminasi dengan aspek negatif sub-daya yang ada di LAPAS Anak. Semestinya pembinaan anak dalam LAPAS dilakukan dengan konsep individualisasi pembinaan, sehingga dapat mengeliminasi faktor penyebab terjadinya kejahatan yang berasal dari dalam individu. 9 Keadaan LAPAS yang seperti ini membuat kondisi lapas tidak jauh berbeda dengan kondisi penjara. Padahal tujuan dari penjara dan LAPAS ini
8 A. Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, 2011, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung, h. 5.
9
Paulus Hadisuprapto, 1997, Juvinile Dilenquency: Pemahaman dan Pencegahannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Paulus Hadisuprapto I), h.35.
10
sangatlah berbeda. Penjara lebih condong memiliki sifat pemidanaan yang retributif atau upaya pembalasan terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan pidana. Sedangkan LAPAS memiliki sifat dan tujuan untuk meresosialisasi dan merehabilitasi terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan pidana. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga "rumah penjara" secara berangsurangsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan re-integrasi sosial, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi Narapidana dan Anak Pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964. Saat ini Lembaga pemasyarakatan dirasa memang belum bisa menjadi pengayom narapidana dalam proses resosialisasi dan reintegrasi dalam rangka merehabilitasi diri narapidana agar kembali menjadi warga yang baik dan bertanggung jawab. Secara yuridis memang Anak Nakal sebagai anak yang
11
dijatuhi pidana atau tindakan akan dibina di LAPAS Anak. Namun secara empiris LAPAS Anak merupakan tempat yang paling memungkinkan terjadinya prisonisasi. Kondisi sosiologis di LAPAS Anak yang “memaksa anak” sehingga menyebabkan anak menerima nilai-nilai kejahatan dan membiasakan bertingkah laku buruk, oleh ahli kriminologi disebut Prisonisasi (prisonization). Prisonisasi merupakan proses terjadinya adaptasi tingkah laku anak di Lempaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak. Donald Clemmer adalah pencipta istilah terminologi “prisonization” (prisonisasi). Istilah tersebut merujuk pada proses asimilasi narapidana ke subkultur narapidana baik pandangan, norma, kebiasaan, dan budaya umum lainya yang sudah ada dalam LAPAS. Dengan demikian dapat dikatakan prisonisasi merupakan pembelajaran kejahatan di dalam LAPAS. 10 Keterbatasan dari LAPAS dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi menjadi salah satu penyebab utama terjadinya prisonisasi, dan efek dari prisonisasi ini akan semakin memperburuk kepribadian seorang anak dari sebelum memasuki LAPAS sehingga tujuan dari Undang-Undang Pemasyarakatan yang menjadikan LAPAS sebagai tempat mendidik, membina dan membimbing anak nakal kearah yang lebih baik agar tidak mengulangi tindak pidana lagi tidak bisa tercapai. Untuk itu proses prisonisasi ini sangat penting untuk dihindari bila perlu
10
Widodo, 2012, Prisonisasi Anak Nakal Fenomena dan Penanggulangannya, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, h. vi.
12
dihapuskan salah satunya adalah dengan mencari alternative lain seperti membina anak di luar LAPAS. Berdasarkan uraian latar belakang diatas dan alasan-alasan yang ada, maka penulis mengambil judul “PRISONISASI TERHADAP ANAK YANG DIBINA
PADA
LEMBAGA
PEMASYARAKATAN”
(Penelitian
Di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak Gianyar Di Karangasem)
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang sudah diuraikan diatas, adapun rumusan masalah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini adalah :
1. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya prisonisasi pada anak yang dibina pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak Gianyar Di Karangasem? 2. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam mencegah dan menanggulangi prisonisasi yang terjadi pada anak yang dibina pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak Gianyar Di Karangasem?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah, perlu ditentukan secara tegas
batasan materi yang dibahas dalam tulisan yang dimaksud sehingga pembahasan yang diuraikan nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang diinginkan. Hal ini diperlukan untuk menghindari pembahasan
13
menyimpang dari pokok permasalahan, maka ruang lingkup pembahasan masalah difokuskan pada hal-hal sebagai berikut, yaitu : 1. Mengenai
faktor-faktor
yang
dapat
menyebabkan
terjadinya
prisonisasi pada anak yang dibina pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak Gianyar Di Karangasem. 2. Mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi prisonisasi yang terjadi pada anak yang dibina pada Lembaga Pemasyrakatan Kelas IIB Anak Gianyar Di Karangasem.
1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : a. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi keilmuan secara ilmiah terkait pengembangan hukum pidana dan juga terkait dengan penanganan anak pada Lembaga Pemasyarakatan dalam hal pembinaan. b. Tujuan Khusus Dengan dilakukannya penulisan hukum ini, maka ada beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai adalah : 1. Untuk
mengetahui
dan
menganalisis
faktor-faktor
yang
dapat
menyebabkan terjadinya prisonisasi pada anak yang dibina pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak Gianyar Di Karangasem.
14
2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi prisonisasi yang terjadi pada anak yang dibina pada Lembaga Pemasyrakatan Kelas IIB Anak Gianyar Di Karangasem. 1.5.
Manfaat Hasil Penelitian 1.5.1. Manfaat teoritis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana, khususnya pemahaman teoritis mengenai penanganan anak yang berkonflik dengan hukum pada Lembaga Pemasyarakatan Anak.
1.5.2. Manfaat praktis. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi kongkrit bagi para lembaga penegak hukum seperti: kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terpadu di Indonesia dalam proses meminimalisasi dan menangulangi terjadinya prisonisasi pada anak yang dibina pada LAPAS Anak yang pada penulisan skripsi ini difokuskan pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak Gianyar di Karangasem.
15
Selain itu penulisan skripsi ini diharapkan mampu memberikan perubahan paradigma bagi hakim anak untuk menjadikan pembinaan anak di LAPAS hanya sebagai upaya paling akhir (ultimum remidium).
1.6. Landasan Teoritis Landasan teori yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini ialah teori yang terdapat dalam ilmu yang mempelajari mengenai kejahatan atau kriminologi. Penggolongan teori dalam kriminologi yang sesuai dengan pembahasan prisonisasi pada anak yang dibina dalam LAPAS. Adapun teori yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory) Menurut Sutherland, dalam buku Kriminologi karangan Yesmil Anwar dan Adang, memperkenalkan teori ini dengan dua versi pertama pada tahun 1939 dan kemudian pada tahun 1947. Dalam teori tersebut Sutherland berpendapat bahwa perilaku criminal merupakan perilaku yang dipelajari di dalam lingkungan sosial, artinya semua tingkah laku dipelajari dengan berbagai cara. 11
Berdasarkan buku Paulus Hadisuprapto yang berjudul Teori Kriminologi menyebutkan bahwa, Sutherland dalam versi pertamanya memaknai bahwa “ isi dari pola-pola yang terkandung didalam asosiasi” yang berbeda dari satu individu
11
Yesmil Anwar dan Adang, 2010, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, h.74-75.
16
dengan individu lainnya. Ia tidak pernah memaknai bahwa semakin ia berasosiasi dengan pelaku kejahatan akan menjadi sebab munculnya perilaku kejahatan, melainkan apa yang terkandung didalam komunikasi dari pihak lain yang menjadi fokus perhatiannya.12 Kemudian pada tahun 1947, Sutherland mengenalkan versi keduanya yang tercantum dalam buku karangan Yesmil Anwar dan Adang yang berjudul Kriminologi. Teori ini menentang bahwa tidak ada tingkah laku (jahat) yang diturunkan dari kedua orang tua. Dengan kata lain. Pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. 13 Teori Asosiasi Diferensial dalam versi kedua ini adalah sebagai berikut : 1. Perilaku kejahatan dipelajari. 2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dari komunikasi. 3. Dasar pembelajaran perilaku jahat terjadi dalam kelompok pribadi yang intim. 4. Ketika perilaku jahat dipelajari, pembelajaran itu termasuk pula: a) teknik melakukan kejahatan, yang kadang-kadang sangat sulit, kadangkadang sangat sederhana; b) arah khusus dari motif, dorongan rasionalisasi dan sikap-sikap. 5. Arah khusus dari motif dan dorongan dipelajari dari definisi aturan hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan.
12 Paulus Hadisuprapto, 2011, Teori Kriminologi (Latar Belakang, Intelektual Dan Perameternya), Selaras, Malang, (selanjutnya disebut Paulus Hadisuprapto II), h.44. 13
Yesmil Anwar dan Adang, Op.cit., h. 76.
17
6. Seseorang menjadi delinkuen disebabkan pemahaman terhadap definisidefinisi yang menguntungkan dari pelanggaran terhadap hukum melebihi definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum. 7. Asosiasi
yang
berbeda-beda
mungkin
beraneka
ragam
dalam
frekuensi,lamanya, prioritas dan intensitas. 8. Proses pembelajaran perilaku jahat melalui persekutuan dengan pola-pola kejahatan dan anti-kejahatan meliputi seluruh mekanisme yang rumit dalam setiap pembelajaran lainnya. 9. Walaupun perilaku jahat merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tetapi hal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut sejak perilaku tidak jahat adalah sebuah penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama. 2. Teori Pemidanaan Pemidanaan merupakan penjatuhan atau pengenaan penderitaan pada seseorang yang melanggar hukum oleh petugas yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Terdapat tiga teori pemidanaan yaitu sebagai berikut: a.
Teori pembalasan/teori absolute (vergerldingstheorien). Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk
yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat
18
penjatuhan pidana.14 Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.15 Menurut J.E. Sahetapy, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam. 16 b. Teori Tujuan (doeltheorien)/Teori Relatif. Teori pembalasan kurang memuaskan, kemudian timbullah teori tujuan. Teori ini memberikan dasar pemikirannya bahwa dasar hukuman dari pidana adalah terletak dari tujuannya sendiri. Teori ini terbagi menjadi dua bagian, pertama teori pencegahan umum (algemene preventive atau general preventive).17 Teori ini ingin mencapai tujuan dari pidana, yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatankejahatan. Sementara teori tujuan khusus (bijondere preventie,atau Speciale
14
Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta,(selanjutnya disebut Andi Hamzah I), h. 26.
Pradnya Paramita,
15
Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinneka Cipta, Jakarta, (selanjutnya disebut Andi Hamzah II), h. 31. 16
J.E. Sahetapy, 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni, Bandung, h. 149. 17
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 16.
19
Preventie) mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah penjahat dalam mengulangi lagi kejahatannya, dengan memperbaikinya lagi.
c. Teori Gabungan. Selain teori absolute dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga yaitu teori gabungan. Teori ini menggabungkan antara teori absolute dan teori relatif. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :18 1)
Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.
2)
Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.19
Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu :
18
Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 11-12. 19
Ibid.
20
1) Memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berarti menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat; 2) Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Ciri khas dari pandangan tersebut adalah pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam masyarakat secara wajar; 3) Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral, atau merupakan proses reformasi. Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya.20 3. Konsep Keadilan Restorative Konsep restorasi (restorative justice) di awali dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian kasus pidana yang di lakukan oleh anak di luar mekanisme peradilan konvensional yang di laksanakan oleh masyarakat yang disebut victim offender mediation. Program ini di laksanakan di Negara Kanada pada tahun 1970. Program ini pada awalnya dilakukan sebagai tindakan alternatif dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. Pelaku dan korban dipertemukan terlebih dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu usulan hukuman bagi anak pelaku yang kemudian akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara ini. Program ini menganggap pelaku dan korban sama-sama mendapat manfaat sebaik-baiknya sehingga dapat 20
Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 45.
21
mengurangi angka residivis di kalangan anak-anak pelaku tindak pidana serta memberikan rasa tanggung jawab bagi masing-masing pihak. Juan Sharpe mengemukakan ada lima prinsip dalam restorative justice, yaitu :21 1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memecah persoalan ini. 2. Restorative
justice
mencari
solusi
untuk
mengembalikan
dan
menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk jugaupaya penyembuhan atau pemulihan korban atas tindak pidanya yang menimpanya. 3. Restorative justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukkan rasa penyelesaian dan mengakui semua kesalahan-kesalahan serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain. 4. Restorative justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban
21
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung. h. 41.