BAB I PENDAHULUAN
Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA) Tahun 2004 merupakan pelaksanaan tahun keempat dan merupakan REPETA terakhir dari rangkaian Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000–2004. Penyusunan PROPENAS dan REPETA ini merupakan pelaksanaan dari amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999–2004, yaitu dalam Kaidah Pelaksanaan butir 4 dan butir 5. Dalam butir 4 disebutkan: “Garis-garis Besar Haluan Negara dalam pelaksanaannya dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional lima tahun (PROPENAS) yang memuat uraian kebijakan secara rinci dan terukur yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat”. Adapun dalam butir 5 disebutkan: “Program Pembangunan Nasional lima tahun (PROPENAS) dirinci dalam Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA) yang memuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan ditetapkan Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan amanat tersebut telah disusun Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000–2004 yang ditetapkan sebagai Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000. Di dalam PROPENAS ditetapkan 5 prioritas pembangunan nasional, yaitu: 1.
Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan kesatuan.
2.
Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik.
3.
Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan.
4.
Membangun kesejahteraan rakyat, beragama, dan ketahanan budaya.
5.
Meningkatkan pembangunan daerah.
meningkatkan
kualitas
kehidupan
Kelima prioritas tersebut mempunyai kedudukan yang setara dan perlu dilaksanakan secara bersamaan karena keberhasilan suatu prioritas akan ditentukan oleh kemajuan pelaksanaan prioritas yang lain, yang dalam pelaksanaan tahunan dirinci ke dalam REPETA. Dengan demikian, prioritas pembangunan nasional dalam
I–1
REPETA juga mempunyai kedudukan yang setara dan perlu dilaksanakan secara bersamaan. REPETA memuat keseluruhan kebijakan publik dan secara khusus membahas kebijakan publik yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan tersebut ditetapkan secara bersama-sama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. Dengan cakupan dan cara penetapan tersebut, REPETA mempunyai fungsi pokok: 1.
Menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (penyelenggara negara baik di pusat maupun didaerah) dan masyarakat (termasuk dunia usaha), karena memuat keseluruhan kebijakan publik.
2.
Menjadi pedoman dalam menyusun APBN, karena memuat arah kebijakan pembangunan nasional dalam satu tahun.
3.
Menciptakan kepastian kebijakan, karena merupakan komitmen bangsa yang ditetapkan bersama oleh eksekutif dan legislatif.
Mengingat ketersediaan sumber daya yang terbatas, maka perlu ditetapkan fokus prioritas pembangunan nasional tahunan yang mengarah pada rencana tindak pemecahan akar permasalahan. Prioritas pembangunan nasional untuk tahun 2004 ditetapkan dengan pertimbangan: 1.
Berdampak luas pada penyelesaian permasalahan mendasar yang dihadapi bangsa.
2.
Bersifat penting dan mendesak untuk segera dilaksanakan dalam tahun yang bersangkutan dengan mempertimbangkan pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam PROPENAS 2000-2004.
3.
Realistis untuk dilaksanakan
Perkembangan Keadaan Semenjak reformasi semua daya dan upaya seluruh bangsa telah banyak dicurahkan untuk memperbaiki segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai tantangan dan hambatan dicoba untuk dicarikan jalan keluarnya. Namun demikian, permasalahan yang begitu besar, tuntutan masyarakat yang meningkat dan berubah secara dinamik, serta makin terbatasnya sumber daya yang dapat digunakan membuat seolah-olah segala daya dan upaya tadi belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Selama beberapa tahun terakhir ini situasi politik belum sepenuhnya tenang, sementara itu terjadi berbagai gejolak keamanan yang cukup serius. Berkembangnya konflik vertikal maupun horizontal yang diperparah dengan kondisi perekonomian yang masih menyulitkan kehidupan rakyat, mendorong timbulnya perilaku anarki, destruktif dan tindakan otorianisme di kalangan masyarakat. Hal ini menimbulkan hambatan bagi tercapainya rasa aman dan tenteram bagi masyarakat, bahkan bila
I–2
berkelanjutan dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2002 perekonomian Indonesia hanya tumbuh 3,7 persen; lebih rendah dari sasaran yang diinginkan yaitu sekitar 4,0 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor pertanian yang tumbuh sekitar 1,7 persen; sedangkan industri pengolahan hanya tumbuh sekitar 4,0 persen. Dari sisi pengeluaran, perekonomian tahun 2002 lebih banyak didukung oleh konsumsi masyarakat dan pemerintah yang tumbuh masing-masing sekitar 4,7 persen dan 12,8 persen. Sedangkan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) serta ekspor barang dan jasa tumbuh negatif berturut-turut sekitar 0,2 persen dan 1,2 persen. Untuk investasi, selama tiga bulan pertama tahun 2003, nilai proyek yang disetujui dalam rangka penanaman modal dalam negeri (PMDN) mencapai Rp 2,26 triliun, turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sekitar Rp 3,49 triliun. Namun nilai proyek yang disetujui dalam rangka PMA mencapai sekitar US$ 2,49 miliar, naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sekitar US$ 1,31 miliar. Sementara itu kondisi sarana dan prasarana dasar ekonomi telah mengalami kemunduran yang sangat berarti selama krisis yang diakibatkan oleh kurangnya anggaran pemerintah untuk memelihara dan merehabilitasinya. Kerusakan infrastruktur dasar ini selain merupakan penghambat bagi masuknya investasi juga telah memberikan beban tambahan bagi perekonomian karena meningkatnya biaya pengguna dan biaya pemeliharaan dan rehabilitasinya. Pertumbuhan ekonomi tahun 2002 sekitar 3,7 persen tersebut tidak cukup untuk menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi tambahan angkatan kerja baru. Pada tahun 2002, jumlah pengangguran terbuka (penduduk usia kerja yang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja) mencapai 9,1 juta jiwa yang merupakan 9,1 persen dari total angkatan kerja. Keadaan ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 8,0 juta orang atau 8,1 persen dari total angkatan kerja. Sementara itu, jumlah penduduk miskin yang secara absolut masih sangat besar, sekitar 37,9 juta (18,4 persen) pada tahun 2001, hanya berkurang 0,2 persen menjadi 38,4 juta (18,2 persen) pada tahun 2002. Pola penyebaran penduduk miskin pada tahun 2002 menurut pulau tidak banyak berubah dengan pola penyebaran pada 1996 dan 1999. Pada 2002 sekitar 78,8 persen dari seluruh penduduk miskin berada di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Secara rinci penyebaran penduduk miskin pada 2002 di kepulauan Indonesia adalah: sekitar 57 persen dari total penduduk miskin berada di Jawa dan Bali, 21,8 persen di Sumatera, 7,4 persen di Sulawesi, 6,1 persen di Nusa Tenggara, 4 persen di Maluku dan Papua, serta 3,8 persen di Kalimantan. Di bidang pangan, perkembangan kondisi pangan dalam negeri mengalami berbagai tantangan. Produksi pangan yang pada tahun 2002 hanya mengalami I–3
sedikit peningkatan dibanding tahun 2001, dalam tahun 2003 ini diperkirakan juga tidak akan jauh berbeda. Pada awal tahun 2003 masa tanam padi mengalami keterlambatan yang disebabkan mundurnya musim hujan. Namun demikian, stok beras yang dimiliki pemerintah pada akhir tahun 2002 mencapai sekitar 1,6 juta ton. Kecukupan persediaan bahan pangan kemudian dipenuhi dari impor. Impor beras yang pada tahun 2001 hanya sekitar 1,4 juta ton, pada tahun 2002 mencapai dua kali lipat, yaitu sebesar 3,7 juta ton yang sebagian besar dilakukan oleh importir swasta. Jumlah pangan yang mencukupi tersebut telah menekan gejolak harga untuk konsumen, namun menimbulkan tekanan pada harga yang diterima petani produsen terutama jka impor dilakukan atau disalurkan ke pasar pada waktu panen. Sementara petani menghadapi kenaikan harga input, termasuk upah buruh, dan lahan usaha yang terbatas, maka rendahnya harga beras kurang mendorong petani untuk menerapkan teknologi dan berbagai upaya lain untuk meningkatkan produksinya. Keadaan tersebut juga mendorong terjadinya konversi lahan dari padi ke non padi dan dari pertanian ke non pertanian. Jika hal ini dibiarkan, maka pemenuhan kebutuhan pangan dari dalam negeri dikhawatirkan akan semakin menurun. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya mencakup pembangunan manusia, baik sebagai insan maupun sebagai sumber daya pembangunan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Melalui proses itu ingin dibangun manusia dan masyarakat yang maju dan mandiri. Kemandirian adalah kepercayaan terhadap kemampuan dan kekuatan sendiri bersendikan kepribadian. Kemandirian mencerminkan pula ketangguhan suatu bangsa. Dengan demikian, kemandirian merupakan sikap bangsa Indonesia dan sekaligus merupakan isu budaya dalam arti seluas-luasnya. Selain kemandirian di bidang ekonomi, sikap kemandirian harus dicerminkan dalam setiap aspek kehidupan, baik politik, iptek, pertahanan keamanan maupun sosial-budaya. Salah satu pemicu terpenting terjadinya krisis multi-dimensi adalah berkembangnya krisis moral yang melanda bangsa Indonesia. Agama sebagai landasan moral dan etika untuk berperilaku bagi pemeluknya merupakan salah satu faktor utama pembentuk kualitas sumber daya manusia. Dalam upaya menuju kemandirian, kualitas sumberdaya manusia dipengaruhi oleh perkembangan berbagai bidang, terutama pendidikan, iptek, agama, budaya dan kesehatan. Secara umum, kesejahteraan masyarakat masih relatif rendah. Hal ini terlihat antara lain dari menurunnya peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI) Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu dari peringkat negara ke 102 pada tahun 2001 menjadi ke 110 pada tahun 2002. Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas pembangunan manusia yang dipilah menurut jenis kelamin adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG/Gender-related Development Index, GDI). Peringkat IPG Indonesia mengalami peningkatan dari peringkat ke 92 pada tahun 2001 menjadi urutan ke 91 pada tahun 2002. Namun demikian, berbagai bentuk kesenjangan gender dapat ditemukan di hampir seluruh bidang pembangunan, seperti pendidikan, sosial dan budaya, ekonomi, politik dan hukum. Di bidang pendidikan, salah satu indikator yang menunjukkan masih rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia adalah masih cukup tingginya angka buta aksara penduduk usia 10 tahun ke atas yang pada tahun 2002 masih sebanyak 9,29 persen. Angka buta aksara penduduk perdesaan (12,54 persen) masih I–4
jauh lebih tinggi dari kondisi di perkotaan yang sudah mencapai 5,31 persen. Keragaman angka buta aksara antarprovinsi juga masih cukup besar dengan kisaran antara yang paling rendah yaitu di Sulawesi Utara (1,17 persen) sampai yang paling tinggi yaitu di Nusa Tenggara Barat (19,08 persen). Di samping itu permasalahan buta aksara menjadi lebih berat karena penduduk yang saat ini masih buta aksara merupakan kelompok tersulit (hard core) yang pada umumnya berusia lanjut, perempuan, miskin, dan tinggal di daerah perdesaan. Beberapa permasalahan lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah masih rendahnya partisipasi pendidikan khususnya untuk jenjang SLTP - MTs ke atas. APK SLTP – MTs, SLTA dan PT yang berturut- turut baru mencapai 75,27 persen, 44,52 persen dan 14,55 persen masih perlu ditingkatkan sehingga lebih banyak penduduk Indonesia yang memiliki latar pendidikan yang memadai. Selanjutnya, kualitas dan relevansi pendidikan yang rendah masih merupakan permasalahan yang perlu segera diselesaikan. Salah satu indikator input mutu pendidikan yang menunjukkan mutu pendidikan yang masih rendah adalah rendahnya proporsi guru yang layak dan sesuai untuk mengajar. Sementara dalam hal manajemen pendidikan, permasalahan yang masih dihadapi saat ini adalah pelaksanaan desentralisasi pembangunan pendidikan sampai tingkat kabupaten/kota dan otonomi pendidikan sampai unit pendidikan yang belum optimal. Standar pelayanan minimal yang ditetapkan sebagai acuan masing-masing kabupaten/kota untuk mengelola pembangunan pendidikan dan menjaga kualitas pelayanan pendidikan belum dapat diterapkan di seluruh kabupaten/kota. Semakin menurunnya kualitas pendidikan ini juga berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan terutama dari segi human skill. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pencapaian Teknologi (IPT – Technological Achievement Index) yang pada tahun 2001 hanya mencapai nilai indeks sebesar 0,211 dari skala 0,066 sampai dengan 0,744. Posisi ini meletakkan Indonesia pada deretan ke 60 dari 72 negara dan memasukkan Indonesia pada kondisi sedikit di atas kelompok negara-negara yang termarjinalisasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam pembangunan Iptek nasional terjadi permasalahan idle capacity pada sisi penyedia, belum tumbuhnya sisi pengguna iptek domestik, dan macetnya sistem transaksi. Idle capacity yang terjadi antara lain disebabkan oleh lemahnya sistem insentif dan sistem pembiayaan litbang. Sedangkan belum tumbuhnya sisi pengguna iptek domestik, khususnya industri dalam kegiatan litbang menyebabkan beban penelitian yang bersifat terapan dan pengembangan yang semestinya dapat ditanggung bersama antara lembaga litbang pemerintah (termasuk universitas) dan industri, terpaksa harus ditanggung secara sendirian oleh lembaga litbang pemerintah. Hal tersebut cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan nasional yang memerlukan kegiatan-kegiatan penelitian yang bersifat dasar (basic research). Sementara macetnya sistem transaksi disebabkan belum terbangunnya suatu sistem komunikasi dan hubungan yang terlembaga antara lembaga litbang (termasuk universitas) dan pihak industri. Sebagai akibatnya adalah terjadinya kegagalan pasar karena tidak selarasnya antara produksi yang dihasilkan oleh lembaga litbang dengan apa yang dikehendaki oleh pihak industri.
I–5
Permasalahan utama yang dihadapi dalam pembangunan bidang agama dalam tahun 2004 meliputi antara lain kerukunan antar dan intern umat beragama yang masih memprihatinkan. Selanjutnya, permasalahan yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji, pengelolaan zakat dan wakaf, serta kualitas pendidikan agama belum ditangani secara optimal. Selain itu, lembaga sosial keagamaan dan lembaga tradisional keagamaan belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan yang berkembang di masyarakat. Upaya menuju kemandirian antara lain akan ditempuh melalui pembangunan karakter bangsa. Selain melalui pembangunan pendidikan dan agama, pembangunan karakter perlu dilakukan melalui pembangunan kebudayaan. Masalah utama yang dihadapi dalam pembangunan kebudayaan adalah lemahnya ketahanan budaya yang tercermin dari lemahnya kemampuan dalam menyikapi dinamika perubahan yang dipicu antara lain dari derasnya serbuan budaya global. Kebudayaan nasional yang diharapkan mampu menjadi katalisator dalam mengadopsi nilai-nilai universal yang luhur dan sekaligus menjadi filter terhadap masuknya budaya global yang bersifat negatif ternyata belum mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Lemahnya ketahanan budaya juga ditunjukkan oleh terjadinya gejala krisis identitas akibat semakin melemahnya norma-norma lama dan belum terkonsolidasinya norma baru sehingga mengakibatkan terjadinya sikap ambivalensi dan disorientasi tata nilai. Selanjutnya, krisis multidimensi yang berkepanjangan telah memberikan kontribusi terhadap semakin melemahnya rasa kepercayaan diri dan kebanggaan sebagai suatu bangsa sehingga muncul sikap inferioritas yang pada akhirnya menyuburkan sikap ketergantungan kolektif sehingga memperlemah semangat nasionalisme. Lemahnya nasionalisme tersebut diperparah dengan rendahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman sebagai realitas obyektif bangsa Indonesia sehingga menyuburkan kohesifitas kelompok, etnik dan agama. Menguatnya kohesifitas primordial tersebut dapat berdampak pada semakin meningkatnya konflik sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Dampak dari krisis ekonomi telah memperlambat laju peningkatan derajat kesehatan dan gizi masyarakat. Hal ini antara lain terlihat dari beberapa indikator seperti angka kematian ibu melahirkan, angka kematian bayi, angka kesakitan penyakit demam berdarah dengue (DBD), angka kesakitan penyakit malaria, prevalensi penyakit tuberkulosis, prevalensi human immunodeficiency virus (HIV), angka kematian pneumonia, angka kematian diare pada balita, cakupan imunisasi, dan prevalensi gizi kurang pada balita. Dalam pembangunan kesehatan permasalahan yang dihadapi adalah: (1) terbatasnya kualitas dan jangkauan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat, termasuk ketersediaan obat dan pengawasan obat, makanan, dan bahan berbahaya lainnya; (2) belum optimalnya kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan secara lintas program, lintas sektor dan lintas wilayah/daerah, termasuk sistem pembiayaan dan informasi kesehatan; (3) belum optimalnya kemitraan dan pemberdayaan masyarakat, dan (4) terbatasnya kapasitas institusi kesehatan di daerah, kesenjangan pemerataan dan kualitas sumber daya manusia bidang kesehatan. Selanjutnya upaya-upaya dalam memperbaiki proses demokrasi serta penegakan hukum merupakan kunci dalam upaya mengembalikan suasana aman dan I–6
tenteram dalam masyarakat. Tuntutan terhadap pemberantasan KKN sangat menonjol pada awal reformasi. Memasuki tahun ketiga pelaksanaan Program Pembangunan Nasional (Propenas) terasa upaya untuk menanggulangi tindak praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam tubuh penyelenggara negara masih belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan. Di lingkungan eksekutif (pemerintah di Pusat maupun di Daerah), KKN tersebut dapat dilihat dari beberapa laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan adanya penyelewengan penggunaan keuangan negara. Belum berhasilnya upaya penanggulangan KKN tersebut antara lain disebabkan belum terinternalisasinya secara baik nilai-nilai luhur budaya bangsa dan agama. Namun demikian, pemerintah secara terus menerus melakukan berbagai pembenahan dan penyempurnaan terhadap upaya menanggulangi dan menuntaskan pemberantasan tindak pidana korupsi. Upaya tersebut tertuang pada ditetapkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang melalui pasal 53 memerintahkan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kemauan politik dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam kaitannya ini menjadi penentu bagi masyarakat apakah kewibawaan hukum dan lembaga peradilan serta lembaga penegak hukum dapat kembali diandalkan untuk menciptakan penegakan hukum yang konsisten dan komitmen yang tinggi. Masih berkaitan dengan tindakan penanggulangan KKN tuntutan masyarakat yang sangat menonjol adalah terciptanya kewibawaan hukum dan tegaknya lembaga peradilan serta lembaga penegak hukum. Sampai dengan tahun 2003, permasalahan hukum yang dihadapi oleh masyarakat sampai dengan saat ini masih dalam rangka mengembalikan kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya. Banyak kalangan masyarakat yang meyakini bahwa terjadinya perbaikan yang signifikan terhadap kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya akan memberikan dampak yang sangat luas terhadap penegakan hukum dan mengembalikan kembali kepercayaan masyarakat terhadap kewibawaan hukum dan secara tidak langsung akan menciptakan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Proses peralihan satu atap terhadap pembinaan, organisasi dan finansial lembaga peradilan kepada Lembaga Yudikatif yaitu Mahkamah Agung sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 11A UU Nomor 35 Tahun 1999 bahwa pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini berlaku. Tujuan dari UU Nomor 35 Tahun 1999 tersebut sebenarnya sangat jelas, yaitu untuk menciptakan pengelolaan lembaga peradilan yang mandiri dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan atau pihak manapun juga. Peradilan yang mandiri pun sebenarnya juga memerlukan pengawasan yang besar untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh hakim dalam mengartikan kemandiriannya. Untuk itu komitmen nasional telah tertuang dalam Amendemen keempat UUD 1945, dengan membentuk Komisi Judisial yang akan melakukan rekruitmen hakim agung dan melakukan pengawasan terhadap tingkah laku Hakim. Di samping itu besarnya perhatian masyarakat untuk ikut terlibat dalam proses penyusunan mekanisme pengawasan akan menjadi salah satu instrumen tindakan preventif terhadap penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan tindak pidana korupsi.
I–7
Salah satu langkah besar yang diambil oleh bangsa ini adalah melakukan perubahan yang sangat mendasar dalam menjalankan pemerintahan daerah. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta berbagai peraturan peraturan perundang-undangan pendukungnya memberikan peluang bagi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Berbagai upaya untuk mengembangkan otonomi daerah tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan di bidang pemerintahan umum yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja unit-unit organisasi pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Namun demikian, dalam perkembangan pelaksanaan otonomi daerah masih terdapat berbagai peraturan perundang-undangan baik di pusat (Undang-undang sektoral) maupun di daerah (Perda) yang saling tumpang tindih dan bahkan ada yang bertentangan dengan peraturan di atasnya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, dalam implementasi UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 masih adanya perbedaan penafsiran antara instansi baik di tingkat pusat maupun daerah, kelemahan koordinasi antara instansi serta hambatan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut. Perkembangan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan pelaksanaannya, kemampuan kapasitas aparat pemerintah pusat dan daerah, kemampuan pengelolaan keuangan daerah termasuk pemanfaatan sumber daya, hubungan antara legislatif dan eksekutif daerah, serta kelembagaan pemerintah daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan proses desentralisasi ditetapkan melalui beberapa tahapan, yaitu: (1) tahapan inisiasi, selama tahun 2001; (2) tahapan instalasi, yang berlangsung pada tahun 2002-2003; (3) tahapan konsolidasi, yang diproyeksikan dalam tahun 2004-2007; dan (4) tahapan stabilisasi, setelah tahun 2007, diharapkan bahwa lay-out atau bentangan daerah otonom secara lebih nyata telah dapat dilihat di seluruh wilayah daerah otonom di Indonesia. Upaya pembangunan yang dilakukan selama ini berdampak pada pengurangan sumber daya alam serta menurunnya kualitas lingkungan hidup. Upaya pembangunan yang berkelanjutan tidak mungkin terlaksana tanpa adanya kepedulian terhadap lingkungan. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dilakukan secara tidak terkendali di berbagai daerah, telah menyebabkan kerusakan lingkungan, merosotnya cadangan sumber daya alam, dan berkurangnya kualitas ruang tempat manusia dan mahluk hidup berada mempertahankan eksistensinya. Luas kawasan lindung yang telah ditentukan dalam PP 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) telah berkurang sepertiganya dengan laju kehilangan sekitar 600.000 hektar per tahun. Selain itu, upaya mengembalikan kawasan-kawasan lindung yang selama ini telah dirambah oleh perkembangan permukiman dan penjarahan sumber-sumber daya alam perlu mendapatkan perhatian yang lebih intensif dan terpadu mengingat kerugian yang telah ditimbulkan telah meningkat dengan pesat dan tidak tergantikan. Dalam upaya tersebut, perhatian yang semakin menguat diperlukan untuk mengembalikan fungsi kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi tata air, dan kawasan-kawasan pantai tempat hutan bakau dan terumbu karang berada, mengingat kawasan tersebut sangat vital sebagai bagian dari keberlanjutan berbagai spesies biota laut.
I–8
Pembangunan kehutanan dimasa datang akan memasuki era rehabilitasi dan konservasi dimana sumber daya hutan harus dikelola untuk tujuan pemulihan lingkungan guna perbaikan kegiatan ekonomi nasional jangka panjang. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kondisi dan potensi sumber daya hutan akhirakhir ini sudah semakin menurun, dan sejalan dengan hal tersebut, masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan kondisinya juga semakin memprihatinkan. Sementara itu, perkembangan aktivitas perekonomian yang berkaitan dengan sumber daya hutan menunjukkan kecenderungan semakin mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian sumber daya hutan, seperti illegal logging, over cutting, kebakaran hutan dan perambahan. Di bidang sumber daya air, terdapat kecenderungan peningkatan kebutuhan air yang tidak diikuti dengan kemampuan penyediaan yang akan mendorong terjadinya konflik pemanfaatan air, baik antar jenis pemanfaatan maupun antar daerah terutama pada sumber-sumber air lintas wilayah. Untuk itu perlu pengaturan peran dan wewenang antar kabupaten, kota, propinsi, dan pusat dalam pengelolaan sungai maupun sumber-sumber air lainnya. Sedangkan upaya pengawasan dan pemantauan dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan masih belum optimal. Keadaan ini tercermin dengan masih banyaknya praktek illegal, unregulated, and unreported fishing yang telah mengakibatkan kerugian negara sebesar US$ 1,36 miliar per tahun. Selain itu, belum optimalnya pengawasan dan pemantauan tersebut juga telah mengakibatkan terjadinya penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing secara ilegal terutama di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), yang mengakibatkan timbulnya kerugian negara sebesar US$ 2 miliar per tahun.
Prioritas REPETA 2004 Melihat perkembangan di atas serta menyadari keterbatasan sumber keuangan Pemerintah maka upaya-upaya perbaikan tidak cukup hanya dilakukan melalui kegiatan yang didukung oleh anggaran tetapi lebih penting adalah meningkatkan efektifitas peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Dengan demikian upaya Pemerintah yang akan dituangkan dalam REPETA 2004 dikelompokkan ke dalam 2 (dua) langkah pokok. Pertama, menggunakan kerangka kebijakan (regulatory framework) untuk merangsang partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pembangunan, sehingga memungkinkan pemerintah berkonsentrasi pada tugas yang memang merupakan tugas pokoknya. Kedua, memanfaatkan sumber daya yang dimiliki Pemerintah dengan sebaik-baiknya, dengan memilih kegiatan yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan serta berdampak luas pada kehidupan berbangsa dan negara. Berbagai kejadian dan cepatnya perubahan lingkungan baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri akan meningkatkan ketidakpastian dalam tahun 2004 serta menciptakan tantangan baru dalam jangka pendek. Perang di Irak dapat berdampak pada perekonomian global melalui meningkatnya harga minyak dan mengurangi tingkat kepercayaan konsumen dan investor. Diperkirakan perekonomian global akan tumbuh dalam kisaran 3 persen dalam tahun 2003. Kawasan Asia terkena dampak melalui penurunan pertumbuhan yang melambat pada I–9
ekspor dan investasi baru. Namun demikian, terdapat alasan yang dipercaya bahwa pengaruhnya kemungkinan akan menghilang pada akhir tahun. Perang di Irak yang berlangsung singkat diharapkan dapat membuat harga minyak kembali menuju harga pada kisaran 20 – 25 US$ per barel. Kondisi ini akan meningkatkan kepercayaan konsumen dan investor dalam semester dua pada tahun ini, dengan harapan bahwa perekonomian global akan tumbuh pada awal tahun 2004. Namun demikian, pemulihan keadaan ini akan sangat bergantung pada bagaimana upaya meneruskan rekonstruksi setelah perang berakhir. Pada kondisi domestik yang ada menunjukkan bahwa beberapa faktor akan mempengaruhi perekonomian. Di bidang politik, tercatat akan ada dua peristiwa penting, yaitu pemilihan secara nasional dalam tahun 2004 terdiri dari pemilihan untuk anggota DPR pada bulan April dan pemilihan presiden secara langsung tiga bulan setelah itu, pada bulan Juli. Selanjutnya, pada semester pertama 2004 negara akan lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada pemilihan umum dan pemerintahan baru belum akan terbentuk sampai dengan bulan Agustus. Suhu atau tensi politik akan meninggi menjelang kedua pemilihan tersebut sehingga para investor akan bersikap menunda perencanaannya untuk berinvestasi dan konsumen juga menunda pembeliannya. Keadaan ini akan berdampak pada perekonomian dalam semester pertama. Pada tingkatan tertentu pemilihan tersebut akan berdampak pada perekonomian tergantung pada bagaimana otoritas negara menjalankan keamanan dalam pemilihan umum dan bagaimana para politikus partai dapat mengatur pendukungnya. Indonesia juga dihadapkan pada beberapa tantangan dalam hal keamanan pada tahun 2004. Pertama adalah pentingnya mengatur momentum yang ada untuk menciptakan perdamaian dan keamanan di daerah-daerah konflik seperti di Aceh, Maluku, Papua dan beberapa di Kalimantan. Kedua, tantangannya adalah memberantas terorisme. Serangan teroris di Bali pada bulan Oktober 2002 telah berpengaruh berat pada sektor pariwisata di Indonesia, meningkatkan biaya asuransi dan berdampak pada kepercayaan investor di Indonesia. Kondisi ini memerlukan upaya terus menerus dan sumber-sumber untuk meningkatkan keamanan dalam negeri. Tahun 2004 adalah tahun yang sangat penting. Pada tahun itu kita bertekad untuk keluar dari program IMF. Pekerjaan utama adalah memastikan bahwa defisit fiskal dapat mencapai sasarannya. Tantangan yang lain adalah memastikan seluruh rencana tindak yang telah disusun berdasarkan Repeta ini dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan bertitik tolak pada berbagai keadaan tersebut, disusun prioritasprioritas pembangunan nasional dalam tahun 2004. Prioritas pertama adalah menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Salah satu kebijakan pokok dalam menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi adalah mengamankan kesinambungan fiskal. Defisit anggaran memang diturunkan lebih lanjut, namun kebutuhan pembiayaan secara keseluruhan masih tinggi. Hal ini karena diperkirakan tidak ada lagi rescheduling pinjaman luar negeri sementara pinjaman dalam negeri yang jatuh tempo jumlahnya meningkat. Upaya mengamankan kesinambungan fiskal ini akan mencakup langkah pengendalian
I – 10
defisit, melalui peningkatan penerimaan dan pengendalian pengeluaran, serta pengelolaan pinjaman pemerintah, baik dalam maupun luar negeri. Kemampuan dalam mengelola perekonomian paska IMF, termasuk dalam mengamankan APBN, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pelaku ekonomi dan mendorong laju investasi. Patut dicatat, dalam beberapa tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi dan investasi relatif rendah. Pada tahun 2002 perekonomian Indonesia hanya tumbuh 3,7 persen; lebih rendah dari sasaran yang diinginkan yaitu sekitar 4,0 persen. Dari sisi pengeluaran, perekonomian tahun 2002 lebih banyak didukung oleh konsumsi masyarakat dan pemerintah yang tumbuh masing-masing sekitar 4,7 persen dan 12,8 persen. Sedangkan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) serta ekspor barang dan jasa tumbuh negatif berturut-turut sekitar 0,2 persen dan 1,2 persen. Pertumbuhan investasi yang masih negatif ini cukup merisaukan, karena investasilah yang akan meningkatkan kapasitas terpasang dan menghasilkan pertumbuhan yang berkesinambungan. Secara keseluruhan, pokok kebijakan untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi akan mencakup 3 hal. Pertama, memelihara stabilitas ekonomi paska program IMF agar momentum pemulihan ekonomi yang sudah dicapai sampai tahun 2003 tidak terganggu oleh gejolak baru, yang dapat membahayakan kepastian usaha pada khususnya dan ketahanan ekonomi pada umumnya. Hal ini ditempuh dengan : (1) Memelihara kesinambungan fiskal, stabilitas moneter, dan keseimbangan eksternal; (2) Memperkuat ketahanan sektor keuangan melalui pembentukan Indonesia Financial Safety Net yang merupakan suatu paket yang mencakup pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan, Lender of the Last Resort, perlindungan simpanan dan pengelolaan krisis. Kedua, meningkatkan iklim investasi guna mendorong kinerja sektor riil, termasuk kegiatan yang mendorong peningkatan ekspor non-migas dan pariwisata, dengan: (1) Memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha dengan mempercepat proses penyelesaian RUU Penanaman Modal agar segera dapat diundangkan selambat-lambatnya sebelum Pemilu tahun 2004; (2) Memperjelas kewenangan pusat dan daerah di bidang penanaman modal dengan mempercepat keluarnya peraturan pelaksanaannya; (3) Menindaklanjuti prosedur perijinan investasi melalui pelayanan satu atap (One Roof Service) sebagaimana yang disetujui dalam Sidang Kabinet Tanggal 25 Nopember 2002; (3) Meningkatkan perlindungan investasi antara lain melalui pendayagunaan Tim Nasional Pengembangan Ekspor dan Perlindungan Investasi yang diketuai oleh Presiden RI yang merupakan tindak lanjut persetujuan dalam Sidang Kabinet Tanggal 25 Nopember 2002; (4) Meningkatkan konsistensi peraturan perundangan yang terkait dengan penanaman modal melalui sinkronisasi peraturan baik peraturan antar sektor ekonomi maupun antara pemerintah pusat dan daerah; (5) Menciptakan sistem insentif agar mampu bersaing dengan negara lain untuk menarik investasi pada sektor/bidang usaha dan lokasi tertentu; (6) Mengakselerasi peningkatan pemasaran pariwisata terutama ke luar negeri; dan (7) Meningkatkan kualitas dan diversifikasi produk pariwisata. Ketiga, membangun dan memelihara sarana dan prasarana. Oleh karena pembangunan infrastruktur memerlukan biaya investasi yang besar sedangkan anggaran pemerintah sangat terbatas, maka pemerintah akan menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi partisipasi sektor swasta untuk melakukan investasi di sektor infrastruktur. Untuk itu pemerintah memandang perlu untuk melakukan perubahanI – 11
perubahan yang mendasar dalam peraturan/perundang-undangan, kelembagaan, dan kebijakan harga serta skema pembiayaan sektor infrastruktur. Hal ini dilaksanakan melalui: (1) Peningkatan upaya pembangunan sarana dan prasarana dasar; (3) Penyelesaian reformasi sektor sarana dan prasarana dasar penunjang ekonomi; (4) Penyempurnaan regulasi; (4) Peningkatan pendanaan pembangunan sarana dan prasarana dasar dengan melibatkan peran swasta yang semakin besar serta kualitas pelayanan; (5) Perbaikan tingkat pelayanan dan efisiensi penyediaan jasa sarana dan prasarana dasar; dan (6) Khusus untuk transportasi, mengupayakan peningkatan keselamatan sistem transportasi nasional. Perhatian khusus juga harus diberikan kepada usaha yang sungguh-sungguh untuk menjembatani kesenjangan dalam pembangunan sarana dan prasarana antara kawasan barat dan timur Indonesia. Manusia sebagai insan menjadi perhatian utama dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia karena menjadi dasar dari kehidupan dirinya. Pembangunan manusia sebagai insan menekankan harkat, martabat, hak dan kewajiban manusia, yang tercermin dalam nilai-nilai yang terkandung dalam diri manusia, baik etika, estetika maupun logika, yang meliputi nilai-nilai rohaniah seperti keluhuran budi pekerti, moral dan akhlak, serta kepribadian dan kejuangan. Selain itu, pembangunan manusia sebagai insan meliputi juga aspek jasmaniah, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan dan gizi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah berdampak pada terhambatnya berbagai upaya pembangunan manusia. Untuk itu prioritas kedua adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan sumber daya manusia bersifat lintas sektoral mencakup bidang-bidang kependudukan dan keluarga berencana, kesejahteraan sosial, pemberdayaan perempuan, pendidikan, pemuda, olahraga, iptek, agama, budaya serta kesehatan dan gizi. Untuk tahun 2004 ini upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia akan difokuskan pada pembangunan bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, agama, budaya serta kesehatan dan gizi. Berdasarkan keadaan dan permasalahan pembangunan pendidikan, pada tahun 2004 langkah kebijakan pembangunan pendidikan pada tahun 2004 diarahkan untuk (1) peningkatan perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan yang memberikan perhatian lebih besar pada kelompok miskin, penduduk yang tinggal di daerah perdesaan, dan pada provinsi-provinsi atau kabupaten/kota yang memiliki partisipasi pendidikan dibawah rata-rata nasional melalui antara lain penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, penyediaan berbagai pendidikan alternatif, beasiswa bagi masyarakat miskin, dan bantuan biaya operasional pendidikan bagi sekolah miskin yang pelaksanaanya tetap memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat; (2) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat melalui antara lain peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan lainnya, penyediaan sarana penunjang mutu pendidikan seperti buku dan peralatan pendidikan, penyusunan standar pelayanan minimal sampai tingkat kabupaten/kota, reposisi pendidikan kejuruan, penyempurnaan materi bahan ajar yang responsif gender; (3) melanjutkan pembaharuan sistem pendidikan melalui antara lain pengembangan kurikulum yang dapat melayani keberagaman peserta didik dan menjawab diversifikasi jenis pendidikan secara profesional; (4) optimalisasi desentralisasi dan otonomi pendidikan yang didukung dengan peningkatan partisipasi aktif masyarakat antara lain melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pendidikan berbasis masyarakat serta melanjutkan pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah dan pengembangan kerangka peraturan untuk mendorong pengelolaan pendidikan I – 12
yang menerapkan prinsip-prinsip good governance dengan mengedepankan akuntabilitas dan transparansi serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasannya; (5) memantapkan penerapan paradigma baru pendidikan tinggi yang memberikan kewenangan lebih luas kepada perguruan tinggi dalam pengelolaan pendidikan secara bertanggung jawab dan terakunkan sebagai aktualisasi otonomi keilmuan dan meningkatkan keikutsertaan masyarakat, dunia usaha serta industri dan pemerintah daerah untuk mendukung peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat; (6) memberdayakan lembaga pendidikan sekolah dan luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan antara lain melalui pengembangan pendidikan kecakapan hidup, dan (7) mengembangkan pendidikan bagi anak dini usia secara lebih luas dan berkualitas melalui antara lain penyediaan pelayanan pendidikan bagi anak usia pra sekolah dan meningkatkan pemanfaatan lembagalembaga lain seperti Posyandu dan Bina Keluarga Balita (BKB) dengan memberikan muatan pendidikan yang disesuaikan dengan tumbuh kembang anak. Berdasarkan keadaan dan permasalahan pembangunan iptek serta amanah UUD 1945 pasal 31 ayat 5 tentang kewajiban pemerintah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan bangsa, dan sejalan dengan pengertian umum tentang pertumbuhan daya saing bangsa yang sangat bergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kegiatan dan pemanfaatan penelitian dan pengembangan perlu semakin didorong dalam rangka memberi dukungan bagi pembangunan nasional. Untuk itu kebijakan pembangunan Iptek pada tahun 2004 diarahkan untuk (1) Penetapan fokus program iptek di bidang pangan, energi dan manufaktur, (2) Perumusan kebijakan pembangunan iptek selaras dengan kebijakan industri dan kebijakan lainnya, (3) Penyempurnaan pola insentif dan pembiayaan litbang, (4) Pengembangan kelembagaan untuk meningkatkan kapasitas lembaga litbang dan memperlancar transaksi hasil litbang, (5) Peningkatan penelitian-penelitian untuk memecahkan persoalan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum, (6) Penguatan kompetensi inti lembaga litbang termasuk optimalisasi dan mobilisasi potensi SDM iptek, (7) Pengembangan Instrumen Analisis Pencapaian Teknologi dalam bentuk statistik iptek dan indikator Iptek, dan (8) Mendorong tumbuhnya kegiatan litbang di industri. Kebijakan pembangunan bidang agama pada tahun 2004 diarahkan pada:(1) meningkatkan kerukunan antar dan intern umat beragama, (2) memberikan kemudahan dan perlindungan kepada umat beragama dalam menjalankan ibadah keagamaan, (3) meningkatkan kualitas pendidikan agama dan lembaga pendidikan keagamaan, dan (4) memberdayakan lembaga-lembaga sosial keagamaan dan tempat ibadah untuk lebih berperan dalam pembangunan masyarakat (community development). Pembangunan kebudayaan selama ini belum mampu memberikan warna yang signifikan terhadap kehidupan bangsa dan negara. Untuk itu, ke depan akan ditempuh berbagai kebijakan untuk meneguhkan peranan kebudayaan dalam pembangunan nasional yang tidak hanya sekedar sebagai salah satu komoditi pada sektor industri tetapi yang lebih mendasar adalah sebagai garda terdepan dalam pembangunan karakter dan peradaban bangsa. Untuk itu, berbagai upaya revitalisasi dan transformasi kebudayaan perlu dilakukan secara sistematis dalam rangka pembangunan dan pemantapan jatidiri bangsa melalui upaya pembangunan karakter bangsa, pengelolaan multikultur, pemantapan dan pengembangan berbagai wujud I – 13
ikatan bangsa serta pembangunan dan pengembangan modal sosial. Proses revitalisasi dan transformasi kebudayaan tersebut memerlukan waktu panjang sehingga perlu dituangkan dalam suatu rumusan strategi untuk dijadikan sebagai agenda nasional. Untuk itu, pada tahun 2004 akan disusun suatu rumusan Strategi Kebudayaan yang sekaligus memanfaaatkan hasil-hasil rumusan umum hasil Kongres Kebudayaan V. Kebijakan pembangunan kesehatan dan gizi diarahkan untuk (1) meningkatnya mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai lanjut usia; dan (2) meningkatkan dan memelihara mutu lembaga dan pelayanan kesehatan dan gizi melalui pemberdayaan sumber daya manusia bidang kesehatan yang berkelanjutan dan sarana prasarana bidang medis, termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau oleh masyarakat dan pengawasan obat, makanan dan bahan berbahaya lainnya. Strategi yang digunakan dalam melaksanakan pembangunan kesehatan dan gizi antara lain adalah (1) pemantapan desentralisasi di bidang kesehatan; (2) peningkatan peran masyarakat termasuk dunia usaha, (3) pemberdayaan masyarakat termasuk pemberdayaan perempuan dan keluarga; (4) penguatan kelembagaan termasuk peningkatan koordinasi antarsektor, antar wilayah dan antarlembaga. Pembangunan yang ingin kita wujudkan adalah pembangunan yang berkelanjutan, yang dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Karena itu prioritas pembangunan nasional tahun 2004 yang ketiga adalah Peningkatan Konservasi dan Rehabilitasi Potensi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup untuk memperbesar kapasitas bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Selama ini upaya konservasi dan rehabilitasi potensi sumberdaya alam cenderung dipandang sebagai penghambat bagi pembangunan ekonomi karena kegiatan tersebut dianggap sebagai biaya pembangunan, sementara aspek sebagai sumber pemupukan modal dan investasi jangka panjang kurang mendapat perhatian yang memadai. Akibatnya kerusakan sumberdaya alam dan menurunnya fungsi lingkungan hidup semakin meningkat yang menyebabkan penurunan kapasitas modal bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka melanjutkan kebijakan tahun-tahun sebelumnya, kebijakan pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup pada tahun 2004 perlu terus ditingkatkan dengan mengacu kepada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara lebih konkrit dan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada. Selama ini pembangunan berkelanjutan masih dipahami hanya sebagai upaya penyelamatan lingkungan dan belum memasukkan pertimbangan ekonomi dan sosial secara seimbang di dalam setiap sektor pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan harus dipahami sebagai pengarusutamaan (mainstreaming) dari prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan ke dalam program pembangunan nasional secara keseluruhan, dan bukan hanya merupakan satu program yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup saja.
I – 14
Arah ke depan kebijakan pembangunan kehutanan dilaksanakan atas dasar etika pembangunan yang menjamin keberlanjutan sistem dan fungsi sumber daya hutan, yang menghargai keterkaitan dan saling ketergantungan antara sumber daya hutan dengan rakyat secara luas dan komunitas yang mengelilinginya, serta bersifat akomodatif dan partisipatif untuk terwujudnya kepastian hukum dan status kawasan hutan; terjaganya fungsi hutan dari kegiatan-kegiatan illegal; pulihnya kondisi hutan melalui upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara optimal; terwujudnya konservasi sumber daya hutan; optimalisasi manfaat hutan secara ekonomi, sosial dan ekologi dengan fokus pada pengembangan unit-unit kegiatan yang berbasis masyarakat; dan tercapainya penguatan kelembagaan kehutanan. Arah kebijakan pengelolaan sumber-sumber air diprioritaskan untuk meningkatkan kinerja kelembagaan pengelolaan sumber daya air dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mendorong efektivitas dan efisiensi pengelolaan yang berkelanjutan dengan melakukan pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab serta memisahkan antara fungsi regulasi dan operasi. Sedangkan arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang perlu ditempuh antara lain menggalakkan budidaya yang berdaya saing dan berwawasan lingkungan dan usaha perikanan tangkap nasional yang berbasis kerakyatan; memperkuat pengawasan dan pengendalian dalam pendayagunaan sumberdaya kelautan dari kegiatan perusakan dan pencurian; membenahi perijinan penangkapan, termasuk ijin bagi kapal ikan asing yang beroperasi di perairan Indonesia; membangun pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat; serta memelihara kelestarian sumberdaya alam dan ekosistem pesisir, laut dan perairan tawar dalam rangka meningkatkan populasi sumberdaya ikan dan biota lainnya (restocking). Sementara itu arah kebijakan pembangunan sumberdaya mineral dan pertambangan, khususnya yang berkaitan dengan konservasi dan rehabilitasi adalah mengembangkan sumberdaya pertambangan yang berwawasan lingkungan, meningkatkan penegakan hukum dalam upaya mencegah perusakan lingkungan, meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana alam geologi, serta melanjutkan proses penyusunan undang-undang pertambangan umum dengan secara lebih ketat melakukan monitoring dan pembahasan dengan pihak yang berkaitan. Prioritas Keempat dalam REPETA 2004 adalah Meningkatkan Penanggulangan Kemiskinan dan Menjamin Ketahanan Pangan. Pemerintah telah melakukan penanggulangan kemiskinan melalui berbagai kebijakan dan program seperti: pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, bantuan prasarana dan sarana pertanian, dan bantuan prasarana permukiman kumuh perkotaan. Upaya penanggulangan kemiskinan tersebut sejak tahun 1994 lebih diintensifkan lagi melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), dan pada saat krisis ekonomi 1997 telah diluncurkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Meskipun telah banyak kebijakan pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan, namun dirasakan bahwa selama ini upaya penanggulangan kemiskinan tersebut lebih condong kepada pengembangan proyek-proyek yang ditangani secara I – 15
sektoral dan cenderung tidak terintegrasi. Selain itu seringkali ditemukan regulasiregulasi pemerintah yang kurang berpihak kepada kaum miskin. Pada beberapa kasus, ditemukan regulasi yang diarahkan untuk meningkatkan devisa negara atau pendapatan pada skala daerah, justru menjadi penyebab terjadinya proses pemiskinan. Berdasarkan kompleksitas permasalahan kemiskinan, maka upaya penanggulangannya perlu dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan para pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat). Pokokpokok yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan kemiskinan secara menyeluruh dan terpadu tersebut antara lain adalah, pertama permasalahan kemiskinan perlu dipandang sebagai gejala multidimensi, sehingga dalam penanggulangannya dibutuhkan strategi penanggulangan kemiskinan yang menyeluruh. Kedua, perlunya pengarusutamaan untuk mengkonsistensikan mulai dari strategi, kebijakan makro sampai kebijakan mikro operasional. Ketiga perlunya melibatkan berbagai pelaku pembangunan (pemerintah, swasta, dan masyarakat) mulai dari penyusunan kebijakan dan program, pelaksanaan kebijakan dan program sampai dengan pemantauan dan evaluasinya. Keempat perlunya memperhatikan prinsip good governance, dalam perumusan strategi penanggulangan kemiskinan, agar dapat dihindari penyimpangan dan kebocoran dalam tahap pelaksanaan kebijakan dan program. Penanggulangan kemiskinan didekati melalui dua cara yaitu: (1) meningkatkan pendapatan masyarakat miskin, dan (2) mengurangi beban untuk pengeluaran kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Pada tahun 2004, pemerintah akan terus melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) penanggulangan kemiskinan dalam proses penyusunan RAPBN. Sedangkan arah kebijakan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat pada 2004 meliputi: (1) penyusunan dokumen strategi penanggulangan kemiskinan jangka menengah dan jangka panjang (PRSP); (2) perluasan kesempatan kerja dan berusaha (broadening the opportunity) bagi masyarakat miskin; (3) pemberdayaan masyarakat (community empowerment) agar dapat memperoleh kembali hak-hak ekonomi sosial dan politiknya; (4) peningkatan kapasitas (capacity building) atau kemampuan masyarakat miskin agar mampu bekerja dan berusaha lebih produktif; dan (5) perlindungan sosial (social protection) pada masyarakat miskin yang dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat dalam beraktivitas dan berusaha. Sementara itu untuk mendorong peningkatan ketersediaan pangan dan menghindari kebijakan yang bersifat adhoc, perlu diadakan review dan penataanulang kebijakan di bidang pangan yang komprehensif. Dalam rangka itu, peningkatan ketersediaan pangan terutama dari dalam negeri akan terus dilakukan melalui upaya peningkatan produksi pangan, pengamanan terhadap gejolak harga serta peningkatan pengawasan dan pengaturan pemasukan/pengeluaran bahan pangan yang dapat membahayakan ketahanan pangan nasional. Selanjutnya, diversifikasi perlu dimantapkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras sekaligus meningkatkan pendapatan petani. Diversifikasi pangan dari sisi produksi, perlu diimbangi upaya diversifikasi konsumsi dalam rangka kecukupan konsumsi gizi masyarakat. Diversifikasi produksi perlu dikaitkan dengan upaya peningkatan pendapatan, yaitu untuk meningkatkan diversifikasi dari usahatani padi ke non padi, misalnya palawija, hortikultura, dan ternak, sehingga akan mengurangi ketergantungan pendapatan petani terhadap pola produksi musiman dan harga yang I – 16
berfluktuasi. Dengan demikian, diversifikasi bukan merupakan beban namun merupakan upaya untuk menstabilkan pendapatan petani, sehingga akan meningkatkan pendapatan petani sekaligus mengurangi kemiskinan. Diversifikasi konsumsi terus diupayakan dengan terus meningkatkan kesadaran gizi masyarakat dan sumber-sumber bahan makanan yang dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut. Melalui fokus pemenuhan gizi yang baik, maka pemenuhan kebutuhan konsumsi dari berbagai bahan pangan dapat dilakukan sesuai dengan kondisi produksi lokal yang beragam. Peningkatan ketahanan pangan juga dilakukan pula dengan upaya-upaya untuk menjamin tingkat pemenuhan pangan keluarga terutama keluarga miskin, melalui distribusi bahan pangan yang lancar dan efisien, dan memberikan bantuan pangan, terutama pangan kepada masyarakat miskin. Distribusi pangan juga perlu dibenahi untuk menjamin kelancaran distribusi sehingga permainan stok dan harga dapat dicegah. Selanjutnya, secara kelembagaan, kebijakan ketahanan pangan yang terdesentralisasi perlu dikembangkan, baik dari sisi tatanan lembaga, pembagian wewenang dan penerapan instrumen yang sesuai, sehingga jaminan ketahanan pangan tidak hanya akan terjadi pada tingkat makro namun juga pada tingkat rumah tangga dan diversifikasi penyediaan pangan sesuai kondisi lokal akan dapat tercapai. Prioritas kelima adalah Pemantapan Pembangunan Daerah. Dengan ditetapkannya tahun 2004 sebagai tahap konsolidasi maka arah kebijakan pada tahun 2004 adalah: (1) penyempunaan persyaratan pembentukan daerah otonom baru; (2) penyusunan undang-undang perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional; (3) peningkatan peran pemerintah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah; (4) peningkatan peran dan fungsi instansi perencanaan pembangunan di daerah; (5) peningkatan kemampuan aparat pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik dan kepemerintahan yang baik melalui penyiapan kerangka kebijakan pelatihan nasional SDM aparatur daerah, pedoman standar kompetensi aparatur daerah, dan sistem pengelolaan SDM; (6) peningkatan kinerja lembagalembaga pemerintah daerah melalui penataan organisasi dan hubungan kerja; (7) peningkatan kemampuan pengelolaan keuangan daerah yang berbasis kinerja dan kapasitas keuangan daerah secara mandiri, berkesinambungan, dan mendukung iklim investasi yang baik; (8) peningkatan peran masyarakat dan lembaga-lembaga nonpemerintah sebagai mitra kerja dalam proses merumuskan kebijakan, perencanaan, dan pemantauan pembangunan; serta (9) peningkatan kemampuan teknis anggota DPRD. Dalam era otonomi daerah, tantangan pengembangan wilayah adalah: (1) masih besarnya kesenjangan pembangunan antar daerah dan perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat (quality of life) antar daerah dan antar desa-kota yang diperkirakan akan semakin meningkat di era otonomi daerah apabila faktor-faktor penyebabnya tidak ditangani secara mendasar; (2) masih banyaknya daerah-daerah terisolasi dan tertinggal; (3) belum adanya perjanjian kesepakatan batas negara pada beberapa bagian wilayah perbatasan; serta (4) masih tingginya kebutuhan masyarakat akan rumah terutama rumah sederhana serta sarana dan prasarana permukiman yang mendukungnya. Selanjutnya, arah kebijakan pengembangan potensi wilayah yang akan dilakukan pada tahun 2004 difokuskan pada: (1) peningkatan ekonomi wilayah untuk mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah; (2) pengembangan I – 17
wilayah strategis dan cepat tumbuh untuk mendorong pengembangan wilayahwilayah di sekitarnya; (3) penanganan wilayah khusus Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan Maluku untuk mewujudkan kedamaian dan kehidupan yang normal melalui stabilitas sosial, politik, dan keamanan; (4) pembangunan wilayah tertinggal untuk mempercepat pertumbuhannya dengan strategi pemberdayaan masyarakat; (5) pengembangan daerah perbatasan untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI serta untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan; (6) peningkatan penataan ruang dan pengelolaan pertanahan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan rasa keadilan; (7) penguatan keterkaitan kegiatan ekonomi antara perdesaan dan perkotaan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah masyarakat miskin; serta (8) penyediaan perumahan sederhana serta sarana dan prasarana permukiman untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Prioritas Pembangunan Nasional 2004 yang keenam adalah Pemantapan Pembangunan Politik. Proses konsolidasi demokrasi Indonesia akan melalui ujian sangat penting dengan dilaksanakannnya serangkaian Pemilu 2004 yang dimulai pada 5 April 2004 mendatang. Keberhasilan proses demokratisasi selanjutnya akan sangat ditentukan oleh tingkat legitimasi hasil Pemilu 2004, yang merupakan pemilu kedua setelah pelaksanaan Pemilu 1999, pasca berakhirnya rezim otoriter Orde Baru. Hasilnya, selain diharapkan makin mencerminkan kedaulatan rakyat, juga diharapkan dapat memperkuat fondasi dan momentum bagi upaya membangun kelembagaan dan tradisi berdemokrasi yang sesungguhnya, sebagai bagian dari upaya besar untuk melepaskan Indonesia dari suasana transisi politik yang seolaholah tidak pernah berakhir selama beberapa dasawarsa terakhir. Oleh karena itu, Pemilu 2004 perlu mendapatkan prioritas perhatian politik. Beberapa persiapan krusial yang berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilu 2004 telah dilakukan secara bertahap sejak pertengahan tahun 2002. Persiapan pemilu yang sangat penting selama tahun 2002 ditandai ditetapkannya beberapa landasan hukum dan perundang-undangan utama yang menjadi pedoman utama Pemilu 2004. Untuk keikutsertaan partai-partai politik dalam pemilu, telah ditetapkan UU No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik pada akhir tahun 2002. Pada bulan Februari tahun 2003 telah pula diselesaikan UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD dan DPD. Diharapkan pembahasan perundang-undangan bidang politik lainnya, yaitu UU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD, serta UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden akan dapat diselesaikan segera dalam semester I tahun 2003. Selain agenda pelaksanaan Pemilu 2004, permasalahan agenda politik yang mesti mendapatkan prioritas perhatian adalah persoalan separatisme dan konflik sosial politik di Aceh dan Papua. Pemberlakuan UU No. 18 tahun 2002 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi DI Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan UU No. 21 Tahun 2002 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua ternyata tidak secara otomatis menyelesaikan persoalan konflik politik menyangkut kedua daerah tersebut. Apapun program dan kegiatan yang menyangkut penyelesaian konflik di berbagai daerah, terutama dalam kaitannya dengan persoalan Aceh dan Papau, maka jalan damai dalam bingkai NKRI hendaknya tetap menjadi prioritas utama. Penyelesaian politik secara damai merupakan amanat Tap MPR No. V/MPR/2000 I – 18
tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Upaya penyelesaian damai tidak boleh digagalkan hanya karena masuknya kepentingan-kepentingan politik sempit yang justru dapat memperparah keadaan di daerah-daerah konflik. Proses penyelesaian konflik secara damai dengan melibatkan pihak ketiga sebagai fasilitator dapat menjadi alternatif penyelesaian, dengan tetap memperhatikan keutuhan NKRI sebagai acuan utama. Kebijakan utama yang akan ditempuh dalam tahun 2004 adalah (1) menyelesaikan perbaikan dan menyusun perundang-undangan di bidang politik untuk mendukung pelaksanaan Pemilu 2004, menyusun peraturan pelaksanaan, sekaligus melakukan sosialisasinya; (2) memfasilitasi sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilu; (3) mendorong peningkatan budaya dan etika politik demokratis melalui pelembagaan kerjasama antara pemerintah, partai politik, organisasi kemasyarakatan, LSM dan Pers dalam pelaksanaan pendidikan politik masyarakat; serta melakukan sosialisasi secara terpadu; (4) meningkatkan upayaupaya politik untuk mengatasi permasalahan di provinsi Aceh dan Papua, serta memelihara dan menjaga situasi damai di beberapa daerah sumber konflik sosial politik; (5) melakukan penataan dan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas lembaga-lembaga penyelenggara negara, khususnya lembaga-lembaga penyelenggara negara yang baru produk amandemen UUD 1945; (6) melakukan penyempurnaan peraturan ketatanegaraan yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah, serta meningkatkan dan memberdayakan kelembagaan politik di daerah dalam konteks hubungan perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah; (7) mendorong upaya-upaya untuk memperoleh dukungan masyarakat internasional terhadap integritas wilayah dan kesatuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia, membantu pemulihan ekonomi, serta membantu pemulihan citra Indonesia di berbagai kawasan; (8) mendorong peran diplomasi Indonesia dalam merespons isu-isu global yang krusial dari isu perdagangan bebas, globalisasi hingga isu terorisme internasional, HAM, serta isu hubungan bilateral dengan negara-negara tetangga seperti tenaga kerja, imigran gelap, perdagangan obat-obat berbahaya dan terlarang, pencurian ikan, serta isu-isu teritorial dan konflik perbatasan. Tuntutan masyarakat setelah reformasi yang sampai saat ini belum terpenuhi adalah pemberantasan KKN dan Penegakan Hukum. Prioritas ketujuh adalah pemberantasan KKN dan Penegakkan Hukum. Pada tahun 2004, kegiatan penuntasan tindak pidana korupsi diperkirakan masih akan menghadapi berbagai permasalahan pelik penuh dengan berbagai tantangan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kasus korupsi yang berhasil diungkap telah sangat merugikan negara dan penanganannya harus sesegera mungkin agar dampaknya tidak meluas dan semakin memperlemah perekonomian bangsa. Tindakan kongkrit yang telah diamanatkan rakyat melalui UU No. 30 tahun 2002 perlu segera diimplementasikan. Pelaksanaan lebih lanjut UU Nomor 30 Tahun 2002 adalah pengangkatan Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sampai dengan saat ini masih terkendala dalam menentukan kriteria dan seleksi yang ketat terhadap anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Langkah lain yang juga sangat mendesak untuk dilakukan adalah mempercepat pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun pembentukan Pengadilan tersebut juga terkendala antara lain dalam merumuskan dan menentukan kriteria dan seleksi, serta rekrutmen yang ketat dalam rangka menciptakan hakim yang benar-benar bersih, konsisten dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun. I – 19
Pada tahun 2004, untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, maka kebijakan Pemberantasan KKN dan Penegakan Hukum akan dilakukan dengan: (1) Mempercepat proses pengangkatan dan fungsionalisasi Anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tidak mengenyampingkan proses seleksi yang ketat namun efektif; dan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; (2) Mempercepat penyusunan mekanisme kerja dan koordinasi antara Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan instansi terkait lain seperti Kejaksaan dan Kepolisian sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam menginterpretasikan kewenangan yang tertuang dalam UU Nomor 30 Tahun 2002; (3) Meningkatkan integritas dan profesionalisme Hakim dan aparat penegak hukum serta penyelenggara lainnya terutama bagi mereka yang menangani dan menjalankan fungsi pemberantasan tindak pidana korupsi yang merupakan salah satu pencerminan adanya kemauan politik dari lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif; (4) Mulai melakukan upaya preventif seperti peningkatan pengawasan terhadap kinerja birokrasi, pengembangan budaya kerja yang sesuai dengan etika birokrasi, peningkatan motivasi dan profesionalisme penyelenggara birokrasi, serta melakukan pemangkasan birokrasi dan menetapkan prosedur birokrasi yang jelas dan efisien terutama dalam melakukan kegiatan pelayanan publik; (5) Meningkatkan koordinasi yang harmonis untuk mempercepat peralihan pembinaan satu atap kepada lembaga Mahkamah Agung sesuai UU Nomor 35 Tahun 1999; (6) Mempercepat pembentukan Komisi Judisial untuk menyusun sistim rekruitmen dan promosi Hakim yang transparan dan akuntabel; dan (7) Mengupayakan peningkatan kesejahteraan Hakim dan aparat penegak hukum sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang berkepentingan; dan (8) Meningkatkan mekanisme akuntabilitas publik dari peradilan terhadap proses penanganan kasus. Ketujuh prioritas pembangunan nasional tahun 2004 tersebut di atas tidak akan dapat terlaksana tanpa adanya jaminan keamanan yang memadai. Untuk itu prioritas kedelapan adalah Pemantapan Pembangunan Pertahanan dan Keamanan. Permasalahan bidang pertahanan dan keamanan yang perlu mendapatkan perhatian adalah berkaitan dengan komitmen terhadap keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, pemahaman dan pelaksanaan otonomi daerah yang sempit dapat berpotensi meningkatkan ancaman adanya disintegrasi bangsa. Terjadinya globalisasi dan berlakunya pasar bebas di tingkat regional (Asean Free Trade Area/AFTA) diperkirakan menimbulkan gangguan keamanan nasional sebagai akibat perbedaan kemampuan berkompetisi dalam dunia usaha maupun kesempatan kerja. Globalisasi dan pasar bebas juga memungkinkan terjadinya pergerakan manusia ke daerah/negara yang surplus dan meninggalkan daerah/negara yang minus yang berpotensi menimbulkan benturan budaya dan kepentingan. Akibat selanjutnya adalah mengemukanya kepentingan ekonomi dan menurunnya nasionalisme yang diindikasikan dengan menurunnya kesadaran bela negara. Kondisi sosial, perbedaan kesejahteraan, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, serta kepadatan penduduk merupakan kondisi yang berpotensi meningkatkan kesempatan dan kemauan melakukan tindak kejahatan konvensional mulai dari penipuan, perampokan, penganiayaan sampai dengan pembunuhan. Semakin deras arus globalisasi dan pasar bebas serta semakin tinggi perbedaan tingkat kesejahteraan, pengangguran, dan kepadatan penduduk akan semakin berpotensi meningkatkan intensitas kejahatan di masyarakat. Kondisi ini akan I – 20
memperberat upaya penangkalan dan menuntut peningkatan profesionalisme fungsi kepolisian. Perkembangan organisasi kejahatan internasional yang didukung perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta teknologi persenjataan, menyebabkan kejahatan transnasional semakin meningkat. Di dukung oleh kemudahan keluar masuk suatu negara sebagai efek globalisasi dan pasar bebas, akan semakin meningkatkan arus lalu lintas kejahatan transnasional yang pada gilirannya akan memberikan citra buruk bagi Indonesia di mata internasional jika tidak mampu mengantisipasinya secara baik. Dalam REPETA 2004 kebijakan yang akan ditempuh untuk mengatasi permasalahan pertahanan dan keamanan adalah: (1) Mencegah dan menangkal serta menindak kekuatan-kekuatan yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Rerpublik Indonesia dengan membangun sistem pertahanan yang mempunyai efek penggetar dan efek pemukul yang tangguh. Strategi optimalisasi sistem pertahanan yang menempatkan TNI sebagai komponen utama pertahanan negara harus mampu meningkatkan profesionalisme TNI dalam mengelola SDM TNI, doktrin TNI, organisasi TNI dan sistem senjata TNI secara lebih baik; (2) Meningkatkan kredibilitas serta citra baik TNI dan Polri sebagai upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui penghormatan terhadap hak azasi manusia, tunduk pada hukum, netral terhadap kepentingan politik, serta mampu melakukan kerjasama dengan lembaga pemerintah yang lain; (3) Melanjutkan pembangunan lembaga kepolisian yang efektif, efisien dan akuntabel. Dengan demikian lembaga kepolisian dituntut untuk memiliki profesionalisme dalam mengintegrasikan aspek struktural (institusi, organisasi, susunan dan kedudukan); aspek instrumental (filosofi, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan, fungsi, dan iptek); dan aspek kultural (manajemen sumber daya, manajemen operasional, dan sistem pengamanan di masyarakat. Peningkatan profesionalisme SDM kepolisian dalam menjalankan fungsinya memerlukan penguatan terhadap motivasi, pendidikan, pelatihan, peralatan serta kesejahteraan; (4) Memulai mengembangan sistem dan prosedur penegakkan keamanan dan hukum di laut, beserta institusi dan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Maritim) terbesar di dunia; (5) Meningkatkan upaya pencegahan tindak kejahatan konvensional dengan menekankan pada upaya pembinaan masyarakat, turjawali (pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli), melakukan respon cepat dalam menangani permasalahan keamanan, pembangunan sosial ekonomi masyarakat yang merupakan subyek dan obyek kriminalitas; (6) Meningkatkan kerjasama internasional dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan transnasional, terutama dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme internasional; dan (7) Pemulihan keamanan dan rehabilitasi daerah-daerah konflik.
I – 21