BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Banyak fasilitas yang dibangun oleh Belanda untuk menunjang segala aktivitas Belanda selama di Nusantara. Fasilitas yang dibangun Belanda dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu fasilitas yang bersifat umum dan fasilitas militer. Fasilitas peninggalan Belanda yang bersifat umum antara lain stasiun, makam, gereja, sekolah, kantor dan kompleks pemukiman. Sementara itu, benteng adalah contoh fasilitas militer yang banyak dibangun oleh Belanda (Abbas, 1997:11). Sebagai sarana militer, benteng sangat penting kedudukannya dalam mempertahankan daerah yang dikuasai Belanda. Belanda mulai membangun benteng sejak awal abad ke-17. Benteng yang paling awal dibangun di Nusantara adalah Benteng Oranje di Ternate. Benteng ini merupakan benteng buatan VOC yang dibangun pada tahun 1607 sebagai fasilitas pendukung yang akan mempermudah VOC dalam melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah (Iriyanto, 2010: 67). Di Banda juga terdapat dua buah benteng serupa, yaitu Benteng Nassau dan Benteng Belgica. Kedua benteng ini dibangun untuk mendukung pertahanan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan di sekitar Banda (Santosa, 1998: 42-50). Pada masa awal kedatangan Belanda, banyak
1
2
benteng dibangun sebagai sarana penunjang kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Belanda. Pada awal abad ke-17 benteng ini dimanfaatkan untuk sarana pengawasan terhadap perdagangan dan pemukiman orang-orang Belanda. Benteng juga secara tidak langsung merupakan penyangga utama kegiatan monopoli rempah-rempah. Pada tahun 1619 markas besar VOC berpindah dari Ambon ke Batavia (Iriyanto, 2010: 75). Adanya pemindahan markas besar VOC ini membuat pembangunan benteng banyak dilakukan di Pulau Jawa. Terdapat setidaknya 34 buah benteng besar yang tersebar di seluruh Pulau Jawa. Setiap benteng terletak di sebuah wilayah atau kota tertentu yang menjadi basis dari pemerintahan Belanda, baik itu pusat maupun kedaerahan (Abbas, 2001: 65). Salah satu benteng yang paling awal berdiri di Pulau Jawa berada di Banten. Kota Banten merupakan kota yang terletak di tepi pantai dan terletak di antara dua sungai yang mengalir di sisi barat dan timurnya (Nayati, 1985: 28). Kota ini merupakan lokasi pertama pendaratan pedagang Belanda di Jawa. Pendaratan tersebut terjadi pada tahun 1596. Pada saat itu Banten merupakan daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Banten. Banten tidak hanya memiliki letak yang strategis karena terletak di jalur perdagangan internasional, Banten juga merupakan penghasil lada (Nayati, 1985: 4). Oleh sebab itu Banten menjadi salah satu kota penting bagi pedagang Belanda di Jawa saat awal kedatangannya di Nusantara. Benteng Spelwijk yang berada di Kota Banten dibangun pada tahun 1685 merupakan benteng dengan tiga buah bastion yang masing-masing menghadap ke
3
arah yang berbeda. Satu menghadap ke barat laut atau menghadap ke arah sungai Cibanten, satu menghadap ke arah timur laut atau menghadap ke laut dan sebauh bastion lainnya menghadap ke arah tenggara (Abbas, 2001: 38). Dilihat dari arah hadap bastion, benteng Speelwijk ini secara jelas dapat diketahui fungsi utama benteng yaitu sebagai sarana pengawasan. Pada saat itu Banten merupakan pelabuhan terbesar di Jawa dan banyak didatangi berbagai pedagang baik nusantara, Asia dan Eropa. Maka sangat jelas jika benteng Spelwijk dibangun untuk mengawasi kegiatan perdagangan di wilayah tersebut. Sejak tahun 1619 Kota Batavia menjadi markas besar VOC. Adanya pertikaian antara pedagang Belanda dengan Kerajaan Banten yang berakibat tidak diijinkannya pedagang Belanda memperluas dan memperkuat Benteng Spelwijk menjadikan Belanda mencari tempat baru (Nayati, 1985). Pelabuhan Jayakarta dikuasai Belanda setelah peperangan, dan digunakan sebagai pusat aktivitas perdagangan. Jayakarta kemudian diganti namanya menjadi Batavia. Kota Batavia terus berkembang setelah menjadi markas besar VOC. Perkembangan ini terus terjadi hingga 1627, akan tetapi pembangunan kota baru selesai pada tahun 1650 (Abrianto, 2007: 63). Di Batavia terdapat sebuah benteng yang dikenal dengan nama Fort Batavia. Benteng ini merupakan sebuah pengembangan dari pembangunan pos perdagangan. Pada awalnya kompleks benteng tersebut merupakan dua buah pos perdagangan bernama Nassau dan Mauritius yang kemudian dibangun benteng sehingga kedua pos menjadi bagian dari benteng itu sendiri (Abbas, 2001: 36).
4
Sementara itu, di Makassar juga terdapat sebuah benteng perdagangan yang cukup besar bernama Benteng Rotterdam. Benteng ini merupakan sebuah perkembangan dari sebuah benteng bernama Benteng Ujung Pandang yang sebelumnya sudah ada di lokasi tersebut sejak pertengahan abad ke-16. Perjanjian Bongaya yang disepakati pada tahun 1667 membuat Benteng Ujung Pandang jatuh ke tangan Belanda dan kemudian dikembangkan menjadi benteng yang lebih modern. Benteng Rotterdam merupakan salah satu benteng dengan komponen bagian dalamnya yang lengkap karena dilengkapi berbagai macam fasilitas penunjuang baik perdagangan maupun pertahanan seperti gudang logistik, gudang mesiu, menara jaga bertingkat hingga gereja (Abbas, 2005). Memasuki abad ke-18, mulai banyak benteng yang dibangun di daerah pedalaman. Hal ini bukan berarti Belanda mengurangi pembangunan benteng di daerah pesisir karena pada abad yang sama pembangunan benteng di daerah pesisir juga dilakukan. Benteng yang berada di daerah pedalaman menjadi bukti terdapat strategi baru yang diterapkan oleh Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Pulau Jawa. Benteng Vastenberg dan Benteng Vredeburg merupakan dua buah benteng yang dibangun di daerah pedalaman dalam rangka menguasai Kerajaan Mataram Islam. Benteng Vastenberg berada di Surakarta sedangkan benteng Vredeburg terletak di Yogyakarta. Kedua benteng ini dibangun di dekat pusat kekuasaan dengan tujuan mengawasi aktivitas pemerintahan kedua kerajaan tersebut dan mengantisipasi pemberontakan yang mungkin terjadi (Abbas, 2001: 83).
5
Dari uraian tentang benteng di atas dapat diketahui bahwa pada awalnya benteng dibangun untuk kepentingan ekonomi yaitu untuk mengawasi aktivitas perdagangan yang terjadi di wilayah benteng baik darat maupun laut. Kemudian fungsi benteng yang dibangun Belanda semakin berkembang menjadi kompleks bangunan yang banyak dilengkapi fasilitas yang menunjang aktivitas ekonomi, sosial, religi, militer maupun politik. Terbukti dengan semakin beragamnya fasilitas pendukung yang ada dalam benteng seperti pemukiman untuk orang-orang Belanda, gereja dan barak-barak militer. Pada masa akhir pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Nusantara, semakin banyak benteng yang dibangun untuk keperluan pertahanan untuk mengatasi pemberontakan warga pribumi maupun untuk mengantisipasi serangan dari pihak asing (Abbas, 2005: 46). Pemukiman Belanda di luar benteng kemudian dikembangkan. Rumah pejabat dan berbagai fasilitas pemerintahan seperti kemiliteran, perkantoran, perdagangan, peribadatan, rekreasi, dan sekolah dibangun untuk kenyamanan orang-orang Belanda dalam berdagang. Keberadaan benteng kolonial dalam suatu wilayah juga dapat dijadikan indikasi peran wilayah pada masa pemerintahan Belanda (Abbas, 1997: 20). Peran itu berkaitan dengan kemampuan suatu wilayah menjadi sumber keuntungan yang besar bagi pihak Belanda. Secara terstuktur dan terencana, Belanda mengelola konsep huluhilir secara terpadu untuk mencapai keuntungan. Konsep hulu-hilir merupakan konsep industri yang menyatukan aktivitas di hulu dan hilir, aktivitas hulu berupa kegiatan pengadaan barang atau produksi sementara aktivitas hilir adalah aktivitas
6
lanjutan yang meliputi kegiatan pengemasan hingga pemasaran pada konsumen (Yuliastuti, 2010: 4-5). Dalam hal mendistribusikan hasil pertanian pada masa penjajahan Belanda juga memanfaatkan konsep ini. Barang yang didapatkan atau diproduksi di daerah pedalaman atau hulu sungai kemudian dikirimkan menuju ke hilir sungai untuk dibawa menuju ke pelabuhan dan kemudian dipasarkan ke pasar Eropa. Fasilitas pertahanan, pelabuhan, pemukiman pendukung administrasi dan pertahanan, serta sarana transportasi dibangun untuk menjaga dan memperlancar keuntungan bagi pemerintahan Belanda. Cilacap merupakan salah satu daerah di Jawa yang dianggap memiliki peran yang besar bagi pihak Belanda. Di Cilacap, terdapat benteng-benteng yang dibangun Belanda sebagai sarana pendukung konsep hulu-hilir. Sejak menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1830, Cilacap dianggap sebagai wilayah yang berpotensi sebagai daerah pengembangan ekonomi yang cukup menguntungkan. Cilacap merupakan satu-satunya wilayah di pesisir selatan Jawa yang memungkinkan untuk dijadikan pelabuhan perdagangan, pada tahun 1831 Belanda mulai mengembangkan Cilacap sebagai kota pelabuhan (Zuhdi, 2002:1). Kondisi geografis Cilacap sangat mendukung karena keadaan pantainya yang tenang. Ombak besar yang datang dari Samudera Hindia tertahan oleh keberadaan Pulau Nusakambangan. Pulau ini merupakan pulau yang terletak di sebelah selatan wilayah Kabupaten Cilacap dan dipisahkan dari Pulau Jawa oleh sebuah selat, Pulau ini memiliki panjang kira-kira 40 km dan lebar 6 km. Secara alamiah
7
Nusakambangan memiliki fungsi sebagai pelindung pesisir pantai Cilacap dari keganasan ombak Samudera Hindia (Zuhdi, 2002: 10). Dengan keadaan pantai yang tenang maka akan mudah bagi kapal-kapal dagang untuk berlabuh di Cilacap, sehingga kondisi ini membuat pantai Cilacap sangat cocok untuk dijadikan pelabuhan. Kebijakan cultuurstelsel atau Tanam Paksa yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sejak tahun 1830 berhasil membuat hasil pertanian penduduk di wilayah Keresidenan Banyumas, Bagelen dan sebagian kecil daerah di Keresidenan Priangan (Zuhdi, 2002: 27-33) meningkat pesat sehingga pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membutuhkan cara transportasi untuk mengangkut hasil pertanian dari daerah ke Eropa. Untuk mendukung dan menjaga proses perdagangan di Jawa Tengah bagian selatan ini, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun berbagai macam fasilitas pendukung yang dibangun dalam berbagai tahap pembangunan sehingga Cilacap menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk beraktivitas, terutama untuk aktivitas perdagangan. Hal tersebut membuat Cilacap menjadi wilayah hilir yang penting bagi pemerintah Belanda. Untuk mendukung dan menjaga proses perdagangan di Jawa Tengah bagian selatan ini, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun berbagai macam fasilitas pendukung yang dibangun dalam berbagai tahap pembangunan sehingga Cilacap menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk beraktivitas, terutama untuk aktivitas perdagangan.
8
Benteng Pendem dibangun secara bertahap dari tahun 1861 dan dianggap telah selesai pembangunannya pada tahun 1879. Pada masa pemerintahan Belanda, Benteng ini dikenal dengan nama Kust Betterj Op De Landtong Te Tjilatjap. Nama Benteng Pendem diberikan karena ketika ditemukan kembali dalam keadaan terpendam (Abbas, 2001: 20). Saat ini Benteng Pendem Cilacap dimanfaatkan sebagai salah satu bagian dari objek wisata Teluk Penyu. Kompleks bangunan asli benteng ini sudah tidak utuh lagi karena sebagian besar bangunan di bagian timur laut benteng hilang karena telah dimanfaatkan sebagai kompleks kilang minyak Pertamina. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda selesai melakukan pembangunan Benteng Karang Bolong selesai pada tahun 1855 (Samingan, 2012: 151). Benteng Karang Bolong terletak di ujung timur Pulau Nusakambangan. Benteng ini dibangun di atas sebuah bukit dan dilengkapi sebuah bangunan menara. Saat ini sebagian besar bangunan penunjangnya masih utuh, akan tetapi saat ini perawatan yang dilakukan di benteng ini kurang maksimal. Saat ini Benteng Karang Bolong dimanfaatkan sebagai objek wisata akan tetapi tidak berada di bawah pengawasan Dinas Pariwisata. Benteng Pendem dan Benteng Karang Bolong didukung fasilitas penjagaan lain, yaitu Mercusuar Cimiring dan yang kedua adalah Benteng Klingker. Mercusuar Cimiring merupakan sebuah menara pengawasan dan penanda yang dibangun di ujung timur Pulau Nusakambangan bagian selatan. Sementara itu Benteng Klingker adalah sebuah benteng yang terletak di pesisir utara Pulau Nusakambangan. Seluruh
9
fasilitas peninggalan Belanda yang berada di Cilacap tersebut dibangun di wilayah yang saling berdekatan.
I.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang diajukan adalah: 1. Apa yang melatar belakangi pemilihan lokasi pembangunan benteng peninggalan Belanda di Kabupaten Cilacap? 2. Bagaimana keterkaitan fungsi benteng peninggalan Belanda di Kabupaten Cilacap pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda?
I.3 Tujuan dan Batasan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui latar belakang pemilihan lokasi pendirian benteng-benteng peninggalan Belanda di Cilacap serta keterkaitan fungsi antara benteng-benteng yang memiliki lokasi pendirian cukup berdekatan tersebut. Tujuan selanjutnya adalah untuk mengatahui peran Kota Cilacap pada masa pemerintahan Kolonial Belanda yang tentu saja memiliki hubungan dengan berbagai tinggalan budaya yang ada di Cilacap. Dari penelitian ini akan diketahui peran penting kota Cilacap pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan bagaimana pemerintah Belanda merencanakan suatu kegiatan yang holistik antara hulu-hilir.
10
Batasan waktu tahun penelitian ini adalah dari tahun 1830 hingga tahun 1942. Batasan waktu ini dipilih karena pada tahun 1830 merupakan awal kota Cilacap menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda setelah terlepas dari wilayah kekuasaan Keraton Surakarta. Setahun setelahnya merupakan tahun ketika Cilacap mulai dikembangkan menjadi kota pelabuhan. Batas tahun 1942 dipilih karena tahun ini merupakan tahun berakhirnya kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda di Cilacap.
I.4 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai latar belakang pemilihan lokasi benteng dan fungsi benteng telah banyak dilakukan. Aris Sumarno (1990) telah melakukan penelitian mengenai arsitektur dan seni bangunan yang terdapat pada Benteng Pendem Ngawi. Dalam penelitian yang dilakukan menggunakan beberapa Benteng yang berada di Jawa sebagai pembanding. Benteng-benteng tersebut diantaranya adalah Benteng Pendem Cilacap, Benteng Vredeburg di Yogyakarta dan Benteng Willem II di Ungaran. Penelitian ini mengungkapkan bahwa Benteng Pendem Ngawi merupakan Benteng Pertahanan jika dilihat dari berbagai komponen yang berada di dalam wilayah Benteng. Penelitian terhadap seluruh benteng yang berada di Pulau Jawa. Dalam tesis berjudul “Dutch Forts of Java A Locational Studi,” disebutkan mengenai 34 buah benteng yang berada di Jawa. Novida Abbas (2001) menyebutkan bahwa benteng
11
dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu benteng yang berada di pesisir dan pedalaman. Fungsi utama benteng yang ada di Jawa sangat tergantung pada lokasi pembangunan benteng tersebut. Tulisan mengenai keadaan Pulau Nusakambangan yang dimanfaatkan sebagai Pulau Boei sebelumnya juga pernah diakukan. Samingan (2012) memperoleh gambaran tentang perubahan lansekap Pulau Nusakambangan kaitannya dengan pemanfaatannya sebagai pulau untuk para tahanan. Penelitian ini juga menghasilkan gambaran mengenai pemanfaatan para narapidana dalam pembangunan fasilitasfasilitas yang berada di Cilacap. Penelitian mengenai Pelabuhan Cilacap sebelumnya telah dilakukan. Zuhdi (2002) melakukan penelitian tentang perkembangan pelabuhan Cilacap sebagai pelabuhan ekspor dan impor. Perkembangannya dimulai pada tahun 1831 ketika Cilacap mulai dikembangkan sebagai pelabuhan dagang hingga tahun 1942 ketika Jepang mulai menguasai Jawa. Penelitian ini, dengan judul “Fungsi Benteng Peninggalan Belanda di Kabupaten Cilacap: Pendekatan Lokasional” akan membahas latar belakang yang menyangkut aspek ekonomi, politik dan aspek lingkungan yang menjadi alasan dari pemilihan lokasi pendirian benteng dan fasilitas pendukungnya di Kabupaten Cilacap. Keterkaitan fungsi antar benteng juga akan menjadi salah satu objek kajian dalam penelitian ini untuk mengetahui peran benteng dan fasilitas pendukung lainnya bagi kota Cilacap pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda.
12
I.5 Metode Penelitian Dalam penelitian mengenai latar belakang pemilihan lokasi pembangunan benteng di Kabupaten Cilacap ini akan dilakukan dengan pendekatan lokasional. Pendekatan lokasional adalah upaya untuk menjelaskan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada latar belakang pemilihan lokasi pendirian benteng (Abbas, 2001: 8). Faktor yang dimaksud adalah meliputi faktor lingkungan sekitar benteng yang meliputi kondisi geografis sekitar benteng, ekonomi yang dalam hal ini berkaitan dengan perdagangan dan pelabuhan, dan faktor politik. Untuk mengetahui faktor lingkungan yang berpengaruh pada latar belakang pemilihan lokasi pembangunan benteng akan dilakukan pengamatan terhadap lingkungan di sekitar benteng. Pengamatan untuk mengetahui aspek ekonomi yang mungkin menjadi pendukung alasan pemilihan lokasi kedua benteng akan dilakukan dengan pengamatan terhadap fasilitas pendukung ekonomi milik Belanda di beberapa daerah yang berdekatan dengan Kabupaten Cilacap. Sementara itu aspek politik akan diamati dengan cara mencari informasi mengenai seberapa penting peran Kota Cilacap dalam hubungannya dengan kondisi politik yang berlaku pada saat itu. Tahapan yang dilakukan selanjutnya adalah penyusunan data. Data primer dan data sekunder yang telah didapatkan diurutkan sesuai dengan jenisnya. Data berupa deskripsi arsitektur dan deskripsi mengenai keberadaan infrastruktur benteng akan
13
dipisahkan dengan data mengenai lingkungan sekitar benteng. Pemisahan data ke dalam masing-masing jenisnya ini bertujuan untuk mempermudah proses analisis. Analisis merupakan tahapan selanjutnya. Data primer dan skunder yang telah dikumpulkan dan dibagi ke dalam beberapa jenis sesuai dengan keperluannya dan dianalisis dan dikorelasikan satu sama lainnya untuk menjawab permasalahan yang ada. Permasalahan mengenai latar belakang pemilihan lokasi akan didukung analisisnya dengan menggunakan data yang berhubungan dengan lingkungan sekitar benteng dan juga beberapa data penunjang lain yang berhubungan dengan aspek ekonomi dan politik. Deskripsi arsitektur dan infrastruktur benteng digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai fungsi kedua benteng dan keterkaitan kedua benteng satu sama lain. Keseluruhan tahapan di atas akan digunakan untuk menjawab bagaimana keterkaitan fungsi fasilitas-fasilitas peninggalan Belanda di Kabupaten Cilacap pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.