BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah laut dalam perkembangannya kini tidak lagi berfungsi hanya sebagai sumber mata pencaharian untuk menangkap ikan, lalu lintas perdagangan dan pelayaran internasional, lebih dari itu kini manusia telah memaksimalkan pemanfaatan laut dengan menggunakan ilmu pengetahuan serta tekhnologi yang kini terus berkembang. Oleh karenanya fungsi laut kini telah bertambah lagi dengan ditemukannya berbagai energi atau sumber daya alam yang terkandung di dalam dasar laut. Mulai dari gas alam, sumber daya minyak (hydrocarbon) hingga bahan galian yang lainnya yang belum dikembangkan secara maksimal. Hal tersebutlah yang membuat negara-negara berusaha semaksimal mungkin mengolah wilayah laut demi meningkatkan ekonomi negara dan kesejahteraan rakyatnya. Dengan adanya perkembangan fungsi laut tersebut banyak negara terdorong untuk melakukan klaim terhadap wilayah laut yang berdekatan dengan pantainya, tujuannya jelas untuk mengekspansi kedaulatan wilayah negaranya serta untuk melakukan penguasaan dan pemanfaatan terhadap potensi yang dimiliki dalam wilayah laut. Menurut Barry Buzan, dalam tiga dekade terakhir sejak Perang Dunia II, lautan telah menjadi suatu sumber pertikaian dan konflik antar negara yang begitu penting. Tidak berbeda jauh dengan anggapan Hanry Kissinger mantan mentri luar negeri Amerika Serikat yang menyatakan bahwa
1
potensi lautan kini semakin menjadi harapan umat manusia, meskipun sangat potensial pula sebagai sumber konflik.1 Sebenarnya penguasaan laut telah lama dilakukan oleh negara-negara, dimulai sejak berakhirnya kekuasaan Roma dan lahirnya negara-negara kecil yang berada di sekeliling lautan, sehingga pada saat itu melahirkan suatu konsepsi hukum laut. Dalam sejarah perkembangan hukum laut, khususnya hukum laut internasional mengenal dua konsepsi yang dicetuskan oleh bangsa Romawi, yaitu diantaranya:2 1. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, dan karenanya itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara; 2. Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki dan karenanya itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara. Dua konsepsi tersebut merupakan awal mula mengenai penguasaan laut yang dikenal pada masa Imperium Roma. Namun akhirnya dua konsepsi tersebut berakhir bersamaan dengan runtuhnya Imperium Roma. Dengan runtuhnya Imperium Roma tidak berarti aturan mengenai hukum laut ikut berakhir pula. Aturan-aturan mengenai hukum laut justru terus dikembangkan oleh para pakar hingga terus mengalami perkembangannya dalam hukum laut internasional. 1 2
Syamsumar Dam, 2010, Politik Kelautan, Cetakan pertama, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 2 Hasyim Djalal dalam Dikdik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional, Refika Aditama, Bandung, hal. 2
2
Keberhasilan hukum internasional dibidang kelautan ditandai dengan berhasilnya mengkodifikasi aturan-aturan hukum laut pada tahun 1958 dengan lahirnya United Nations Conventions The Law of The Sea yang pertama (UNCLOS I) yang berlangsung di Jenewa dari tanggal 24 Februari hingga 27 April 1958, namun konvensi ini mengalami kegagalan karena masyarakat internasional belum mencapai kesepakatan mengenai persoalan lebar laut teritorial. Sama halnya dengan UNCLOS II di tahun 1960 yang merupakan kelanjutan dari UNCLOS I, konvensi ini bahkan tidak menghasilkan hal yang berbeda dari sebelumnya atau dengan kata lain gagal menghasilkan suatu kesepakatan tentang lebar laut teritorial. Sehingga pada akhirnya dilakukan kembali kongres yang sama di tahun 1973 sampai 1982 yang menghasilkan UNCLOS III di tahun 1982 dan telah diberlakukan sejak tanggal 16 November 1994. Pada Januari 2013 Konvensi PBB mengenai hukum laut ini telah memiliki 165 negara anggota yang berasal dari Asia, Afrika, Eropa, Amerika dan Oceania serta Timor Leste yang merupakan negara penandatangan terakhir yaitu pada 8 Januari 2013.3 Delapan negara yang berbatasan dengan Laut Timur pun telah bergabung dengan konvensi ini diantaranya Vietnam, China, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand.4 Konvensi inilah yang hingga kini dijadikan pedoman oleh masyarakat internasional dalam mengelola serta memanfaatkan wilayah laut. UNCLOS 1982 telah membagi zona laut yang didasarkan pada yurisdiksi suatu negara, khususnya bagi negara pantai dan negara kepulauan. Kemudian 3 4
List selengkapnya terdapat di halaman Lampiran. http://biengioilanhtho.gov.vn/eng/the1982unitednationsconventionon-nd-027a9b92.aspx, diakses terakhir pada 24 Desember 2012
3
UNCLOS 1982 juga memberikan penjelasan mengenai bagian-bagian wilayah laut yang dapat dimiliki oleh suatu negara serta bagian laut yang tidak boleh dimiliki oleh negara melainkan diperuntukkan bagi semua masyarakat internasional seperti laut lepas dan dasar laut samudra atau kawasan yang ditetapkan sebagai warisan bersama bagi umat manusia (common heritage of mankind). Selain itu pula UNCLOS 1982 telah memberikan aturan pemanfaatan dan pengelolaan bagi negara-negara yang boleh dan diizinkan untuk mengeksplorasi serta mengeksploitasi lautnya, yaitu bagi negara pantai maupun negara yang tidak berpantai ataupun bagi negara-negara yang secara geografis tak beruntung. Jadi dapat dilihat bahwa UNCLOS 1982 sendiri telah memberikan izin kepada negara-negara pantai untuk mengklaim wilayah laut yang berdekatan dengan pantainya. Meskipun ketentuan mengenai pengklaiman wilayah laut telah diatur dalam UNCLOS 1982, namun tidak sedikit negara-negara pantai yang masih memiliki sengketa dengan negara yang berdekatan, baik itu negara yang berhadapan ataupun negara yang berdampingan. Tidak terkecuali dalam hal kepemilikan wilayah laut berikut pulau-pulau yang berada di sekitar wilayah laut tersebut.
Hingga sekarang penguasaan wilayah laut masih memiliki potensi
konflik yang cukup tinggi termasuk klaim terhadap pulau-pulau yang berada di sekitarnya. Laut China Selatan adalah salah satu perairan terluas di dunia yang menyimpan potensi konflik tersebut, dengan potensi sumber daya alam hayati dan sumber daya mineral yang tinggi, baik dari sumber daya perikanannya maupun
4
minyak bumi dan gas alam serta tidak kalah pentingnya bahwa Laut China Selatan pun berperan sebagai jalur perdagangan dan pelayaran internasional. Laut China Selatan menurut UNCLOS III termasuk dalam tipe laut yang setengah tertutup (semi-enclosed sea)5, dimana dalam ketentuan Konvensi dijelaskan bahwa laut tertutup atau laut setengah tertutup berarti suatu teluk, lembah laut (basin), atau laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri seluruhnya terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi eksklusifnya dua
atau lebih negara pantai.6 Terdapat beberapa negara yang
mengelilingi Laut China Selatan yang diantaranya adalah China termasuk Taiwan, Thailand, Filipina, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Brunei Darussalam, Singapura dan Kamboja. Selain dikelilingi oleh negara-negara, kawasan laut ini juga banyak memiliki pulau-pulau kecil dan gugusan karang yaitu, gugusan pulau-pulau Pratas, gugusan Kepulauan Paracel dan gugusan Kepulauan Spratly yang merupakan gugusan kepulauan terbesar.7 Pulau-pulau ini menyimpan potensi konflik regional yang tinggi dikarenakan negara-negara yang berada di sekitar laut tersebut saling mengajukan klaim terhadapnya. Khususnya atas pulau-pulau serta karang di sekitar Kepulauan Spratly yang merupakan sebuah fitur laut tidak berpenghuni yang dipersengketakan dan diklaim oleh beberapa negara (klaim multilateral), diantaranya China termasuk Taiwan dan beberapa negara-negara 5
Zou Keyuan, 2005, Law of The Sea In East Asia, RoutledgeTaylor and Francis Group, New York, hlm. 43 6 Lihat Pasal 122, BAB IX United Nations Convention The Law of The Sea 1982 7 Ign.Agung Setyawan, 2010, Komunikasi Negosiasi China Terhadap Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan, dalam Jurnal Komunikasi Massa Vol.3 No.2 bulan Juli, diakses dari www.perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/index.php?act=view&id=1_la&aid=200&Jurnal%20Komu nikasi%20Massa, pada 9 Oktober 2012
5
anggota ASEAN yang terdiri dari Vietnam8, Brunei9, Filipina, dan Malaysia, kemudian gugusan kepulauan Paracel yang diperebutkan oleh China termasuk Taiwan dan Vietnam.10 China merupakan negara yang pertama kali sekaligus sangat dominan dalam mengklaim pulau-pulau kecil dan karang yang berada di kawasan Laut China Selatan tersebut. Sebenarnya ada dua klaim yang dilakukan oleh China terhadap wilayah Laut China Selatan, yang pertama klaim China terhadap yurisdiksi wilayah laut di kawasan Laut China Selatan, kedua klaim China terhadap kedaulatan atas empat gugusan pulau yang berbeda, yaitu, Kepulauan Paracel, Spratly, Pratas dan Macclesfield. Namun, dari klaim-klaim yang telah disebutkan, klaim terhadap gugusan Kepulauan Spratly yang menjadi sorotan masyarakat internasional karena memiliki implikasi yang besar bagi hubungan internasional di kawasan tersebut.11 Klaim terhadap kepemilikan Kepulauan Spratly inilah yang akan dikaji lebih jauh oleh peneliti dalam penelitian ini. Klaim kedaulatan terhadap wilayah Spratly ini jelas tercermin pada beragam nama yang digunakan untuk menyebut pulau di Laut China Selatan tersebut. China menyebut Kepulauan Spratly dengan sebutan Nansha Qundao, Vietnam menyebutnya sebagai Vạn LýTruong Sa atau Beting Sepuluh Ribu Liga, Filipina menyebutnya dengan Kalayaan/Freedomland, Malaysia menyebut 8
Vietnam resmi menjadi anggota ke-7 ASEAN pada tanggal 29-30 Juli 1995 dalam Pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN ke-28 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. 9 Brunei Darussalam resmi menjadi anggota ke-6 ASEAN pada tanggal 7 Januari 1984 dalam Sidang Khusus Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) di Jakarta, Indonesia. 10 Budi Susilo Supandji, http://lemhannasjurnal.com/?pg=esai_detail&mn_id=10&esai_id=11, diakses terakhir pada 15 September 2012 11 Chi Kin Lo, 1989, China’s policy Toward Teritorial Dispute, Routledge, New York, hlm. 25
6
Kepulauan Spratly dengan sebutan Tarumbun Layang-Layang, kecuali Brunei yang tetap menyebutnya dengan Kepulauan Spratly seperti halnya yang dikenal oleh masyarakat internasional.12 Kepulauan Spratly yang terletak di Laut China Selatan tersebut dalam konteks sumber daya alam yang ada di daratannya sebenarnya tidak memiliki nilai ekonomis yang signifikan, karena fitur-fitur utama dari pulau-pulau tersebut adalah bebatuan, terumbu karang, pasir yang tidak sesuai untuk bercocok tanam dan tidak mampu menyokong kehidupan serta aktifitas manusia.13 Kepulauan Spratly adalah kumpulan pulau-pulau kecil serta karang yang luas daratannya kurang dari 4 km², tetapi melingkupi lautan seluas 410.000 km². Namun, setidaknya ada tiga hal yang membuat Kepulauan Spratly ini strategis, yaitu;14 1. Penguasaan terhadap pulau-pulau yang menjadi bagian dari Kepulauan Spratly tersebut akan sangat menentukan garis batas negara yang menguasainya, dan berakses pada luas jangkauan wilayah kedaulatan yang akan dimiliki. 2. Wilayah Kepulauan Spratly merupakan bagian dari jalur lalu lintas internasional, baik untuk kapal dagang dan kadang kapal militer,
12
Jerry Indrawan, 2011, http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauanseparatly.html, diakses pada 29 November 2012 13 Athanasius Aditya Nugraha, 2011, Manuver Politik China Dalam Konflik Laut China Selatan, Jurnal Pertahanan Vol.1 No.3, Oktober 2011, http://idu.ac.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=106&Itemid=309, diakses terakhir pada 28 November 2012 14 Chinese Outpost, 20 Juni 2011, terkutip dalam Sandy Nur Ikfal Raharjo, http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/politik-internasional/472-sengketakepulauan-spratly-tantangan-bagi-indonesia-sebagai-ketua-asean-2011, diakses terakhir pada 28 November 2012
7
sehingga akan sangat menentukan bagi posisi geostrategis negara tersebut. 3. Lautan di wilayah sekitar kepulauan ini diduga mengandung cadangan minyak dan gas alam yang besar. Walaupun belum ada penelitian yang berhasil mengkalkulasi berapa jumlahnya secara pasti, tetapi sedimentasi dari lembah laut yang ada di wilayah tersebut menunjukkan tanda-tanda kandungan minyak dan gas. Menurut penelitian yang diadakan oleh The Committee for Coordination of Joint Prospecting For Mineral Resources In Asian offshore Areas, Economic Commission for Asia and The Far East, sejak dasawarsa 1960-an telah ditemukan mineral potensial terutama minyak dan gas.15 Selain kandungan minyak dan gas, Laut China Selatan juga berpotensi besar akan variasi jenis ikan. Letak geografi laut yang berdekatan dengan beberapa selat memungkinkan migrasi ikan-ikan dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) satu ke ZEE lainnya. Ketiga faktor di ataslah yang membuat lima negara terus memperkuat klaim mereka dan terus berupaya untuk mendapatkan kedaulatannya di teritorial tersebut. China termasuk Taiwan mengklaim kawasan Laut China Selatan khususnya di wilayah Kepulauan Spratly berdasarkan aspek history right, menurut pemerintah China Kepulauan Spratly telah diduduki dan dikuasai oleh kekaisaran Dinasti Chi’ing pada 1400 setelah masehi, sedangkan menurut Vietnam, kepulauan Spratly telah dicantumkan sejak 1802 sebagai wilayah kekuasaannya 15
Setyaningsih Aryani, Kepentingan Nasional China Dalam Konflik Laut China Selatan, https://sidos.unisri.ac.id/publikasi/69Jurnal%20China, diakses terakhir pada 13 September 2012
8
pada masa Kekaisaran Giang Long. Demikian juga halnya Filipina yang mengklaim kepulauan tersebut berdasarkan prinsip discovery dimana wilayah yang ditemukan menurut Filipina adalah terra nullius sebagai salah satu dasar pengklaiman, yaitu prinsip kewilayahan tidak bertuan sehingga dapat dimiliki oleh negara mana saja, dimana pada tahun 1947 warga negaranya Thomas Cloma berhasil menemukan kepulauan ini. Malaysia mengatakan bahwa berdasarkan UNCLOS 1982 sebagian pulau-pulau di Kepulauan Spratly adalah bagian dari Sabah, sama halnya Brunei yang juga mengakui bahwa fitur yang menjadi klaimnya di Kepulauan Spratly merupakan bagian dari wilayahnya sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982 dan setelah memperoleh kemerdekaan dari negara Inggris pada tahun 1984.16 Sehingga klaim dari negara-negara ini pada akhirnya mengakibatkan overlapping kepemilikan terhadap Kepulauan Spratly. Dalam hal overlapping kepemilikan wilayah, khususnya terhadap sebuah pulau oleh suatu negara yang berpotensi menimbulkan sengketa tentu tidak terlepas kaitannya dengan hukum internasional, khususnya hukum laut internasional. Persoalan klaim teritorial di wilayah Laut China Selatan yang diklaim oleh beberapa negara anggota ASEAN dimana sebagian besar diklaim oleh negara China menunjukkan bahwa perlu adanya pengaturan yang jelas yang dapat diterima secara universal. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini akan menjelaskan bagaimana peran hukum internasional dapat diterapkan untuk menjelaskan pemasalahan, upaya penyelesaian sengketa dan untuk mengetahui 16
Sulfa, 2008, Peran Indonesia Dalam Menciptakan Ketahanan Regional dalam jurnal “SELAMI IPS”, edisi nomor 24 volume 1 Tahun XIII Agustus 2008, diakses dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/124086167_1410-2323.pdf, 15 September 2012
9
status klaim negara-negara yang bersengketa, apakah pengajuan klaim dari negara-negara tersebut sah berdasarkan hukum internasional. Berikut merupakan gambaran geografi pulau-pulau yang berada di kawasan Laut China Selatan serta gugusan pulau-pulau yang dipersengketakan termasuk Kepulauan Spratly.
Gambar 1: Negara-negara yang berada di kawasan Laut China Selatan17
17
http://gdb.voanews.eu/8AF4255D-8CD7-4038-904F-DC07DF0C41BA_mw1024_s.jpg, diakses terakhir pada 21 November 2012
10
Gambar 2. Kelompok Gugus Kepulauan Paracel :1, Kepulauan Spratly:2, Kepulauan Pratas:3 dan Kepulauan Macclesfield:418
B. Rumusan Masalah: Dari uraian latar belakang penelitian di atas, maka ada beberapa rumusan masalah yang akan penyusun ajukan, diantaranya yaitu: 1. Bagaimanakah status hukum terhadap klaim kedaulatan yang diajukan oleh negara-negara yang bersengketa dalam melaksanakan penguasaan Kepulauan Spratly di wilayah Laut China Selatan ? 2. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa terhadap klaim kedaulatan teritorial yang terjadi di wilayah Laut China Selatan berdasarkan hukum internasional?
18
Sumber dari situs http://www.kk.mercubuana.ac.id/files/99011-9-426062419782.doc, diakses terakhir pada 21 November 2012
11
C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai “Penyelesaian Sengketa Terhadap Klaim Kedaulatan Teritorial di Wilayah Laut China Selatan Berdasarkan Hukum Internasional”, sepanjang pengetahuan peneliti melalui bacaan-bacaan pustaka, ditemukan beberapa karya ilmiah yang hampir sama, namun memiliki perbedaan dalam aspek-aspek tertentu dengan permasalahan yang dikaji penulis saat ini. Penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian dan karya-karya ilmiah telah dilakukan, dan telah ditemukan berbagai hasil penelitian, artikel maupun jurnal, baik itu jurnal internasional dan jurnal nasional yang juga membahas permasalahan serupa. Akan tetapi, calon peneliti juga menemukan bahwa meskipun membahas permasalahan serupa, akan tetapi tidak ditemukan hasil penelitian maupun jurnal yang secara spesifik membahas status hukum (legal status) klaim yang diajukan oleh negara-negara yang terlibat dalam sengketa di Kepulauan Spraty, Laut China Selatan dan pengaturan instrument hukum internasional dalam upaya penyelesaian sengketanya. Dari sekian banyak hasil penelitian dan jurnal internasional serta nasional, peneliti hanya mengangkat beberapa tulisan yang dianggap
memiliki kemiripan substansi dengan
permasalahan yang dirumuskan oleh peneliti, tulisan tersebut yakni sebagai berikut: 1. Jurnal internasional “The South China Sea dispute: Evolution, Conflict Management and Resolution”
oleh Lalita Boonpriwan. Substansi
jurnal ini dijadikan bahan rujukan oleh peneliti dalam penelitian ini.
12
Jurnal ini merupakan hasil penelitian yang membahas tentang sengketa pengklaiman di wilayah Laut China Selatan. Mulai dari membahas latar belakang timbulnya sengketa pengklaiman di wilayah Laut China Selatan dan juga mengenai pendekatan-pendekatan alternatif yang dapat
digunakan
dalam
penyelesaian
sengketa
ini
terutama
menggunakan pengembangan sumber daya dan peningkatan kerjasama yang menjadi pendekatan untuk penyelesaian konflik di kawasan yang melibatkan ASEAN, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian peneliti adalah penelitian ini lebih cenderung membahas sengketa ini dalam aspek hubungan internasional, tidak membahas lebih lanjut mengenai status hukum klaim yang diajukan oleh setiap negara terhadap kepemilikan serta penguasaan pulau-pulau di Kepulauan Spratly, Laut China Selatan. 2. Jurnal internasional dengan dengan tema “UNCLOS and Sovereignty Claims in the South China Sea” oleh Joshua P Rowan. Substansi jurnal ini menjadi rujukan peneliti dalam penelitian ini. Jurnal ini mengkaji kaitan antara UNCLOS 1982 dan pengklaiman Laut China Selatan. Jurnal ini pun menceritakan latar belakang mengapa lima negara yang terlibat dalam sengketa mengklaim wilayah Laut China Selatan. Namun tidak membahas adanya pengaturan upaya penyelesaian sengketa pengklaiman Laut China Selatan dalam lingkup hukum internasional secara menyeluruh dan tidak adanya penjelasan status klaim yang diajukan para pihak yang bersengketa. Artinya, meskipun
13
memiliki kemiripan objek pembahasan yaitu mengenai pengklaiman kedaulatan di wilayah Laut China Selatan, penelitian yang dilakukan oleh kedua peneliti tersebut diatas memiliki perbedaan tersendiri dengan penelitian ini. 3. Jurnal Nasional oleh Ign. Agung Setyawan dengan judul “Komunikasi Negosiasi China Terhadap Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan”. Jurnal yang menjadi rujukan peneliti ini membahas mengenai kedudukan Laut China Selatan bagi negara-negara yang bersengketa, khususnya bagi negara China yang sangat konsisten dengan argumennya dalam mengklaim wilayah laut tersebut. Pemaparan jurnal ini menitikberatkan pada upaya penyelesaian sengketa yang pernah dilakukan oleh ASEAN untuk mengurangi ketegangan yang terjadi di kawasan sengketa. Berbeda dengan penelitian dalam tesis ini, selain meneliti mengenai peran ASEAN penelitian dalam tesis ini juga mengkaji tentang upaya penyelesaian sengketa pengklaiaman Laut China Selatan dalam kerangka hukum internasional pada umumnya dan hukum laut internasional pada khususnya. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti telah ajukan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
14
1. Untuk mengetahui status hukum (legal status) klaim kedaulatan masingmasing negara yang bersengketa di Kepulauan Spratly wilayah Laut China Selatan. 2. Untuk mengetahui bagaimana mengupayakan penyelesaian sengketa terhadap klaim kedaulatan teritorial yang terjadi di wilayah Laut China Selatan berdasarkan hukum internasional. E. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang tentunya ingin dicapai peneliti melalui penelitian ini, antara lain sebagai berikut : 1. Dalam lingkup akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan dan pengkajian ilmu hukum internasional, khususnya dalam bidang hukum penyelesaian sengketa
internasional
dan
hukum
laut
internasional
dalam
mengumpulkan informasi dan data yang selengkap-lengkapnya guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, sehingga dari informasi tersebut dapat dirumuskan suatu kesimpulan yang tepat sesuai dengan hukum yang menjadi dasar dalam menjawab permasalahan di atas; 2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan peneliti dalam bidang hukum internasional pada umumnya dan dalam bidang hukum laut internasional dan hukum penyelesaian sengketa internasional pada khususnya.
15